SlideShare a Scribd company logo
1 of 20
Download to read offline
Kritik Terhadap Sains Barat Modern
Perspektif Seyyed Hossein Nasr1
Oleh : Dr. Budi Handrianto, SSi., MPd.I.2
Bismillahirrahmaanirrahiim
Pengantar
Setelah dunia Barat3 keluar dari abad kegelapan (dark ages), kemudian terjadi
Revolusi Sains (1500-1700) dan masa Renaisans (Renaissaince), mereka mengambil alih
kepemimpinan intelektual khususnya di bidang sains. Peradaban Barat maju dengan pesat
di segala bidang terutama setelah berkembangnya ilmu pengetahuan dan sains terapan
(teknologi) di sana. Memasuki abad ke-20 perkembangan sains dan teknologi makin
pesat dikarenakan dunia diwarnai dengan berbagai peperangan. Setelah perang dingin
usai, Barat mengembangkan paradigma baru perang yaitu perang melawan terorisme,
yang tidak kalah dahsyat kerusakannya dari perang-perang sebelumnya. Kondisi tersebut
mendorong masing-masing negara Barat mengembangkan sains dan teknologinya.
Memasuki abad ke-21, Peradaban Barat makin mengukuhkan diri menjadi
penguasa dunia dengan sains dan teknologi sebagai panglima. Kemajuan ilmu di segala
bidang di Barat (termasuk di dalamnya Jepang dan Korea), baik ilmu-ilmu alam (fisika,
kima, biologi/kedokteran, matematika, astronomi dan lainnya) maupun ilmu-ilmu
sosial/humaniora, baik ilmu-ilmu teoritis maupun ilmu-ilmu praktis, menjadi standar
bagi dunia saat ini. Kemajuan di bidang teknologi elektronika, kedokteran, nuklir,
teknologi nano, dan sebagainya membuat Barat menjadi negara adi daya dan
”menguasai” bangsa-bangsa lain di dunia. Saat ini teknologi telekomunikasi terutama
internet dengan perusahaan globalnya membuat Barat merajai dunia dan menjadi kiblat
bagi kemajuan dunia, khususnya di bidang sains dan teknologi.
Namun demikian meskipun telah menghasilkan teknologi tinggi dan canggih yang
bermanfaat bagi manusia, sains Barat modern telah melahirkan pula bencana, baik
kepada kemanusiaan, alam dan etika. Kerusakan akibat sains dan teknologi Barat yang
dihasilkan dari peradaban Barat jarang sekali disadari oleh manusia kebanyakan. Bahkan
para pakar pun –karena terbuai dengan kemajuan tersebut, merasa kemajuan inilah yang
terbaik yang dilakukan manusia di muka bumi selama ini. Padahal, tidak sedikit
1 Disampaikan dalam Diskusi Dwipekanan Insists,8 Februari 2014.
2 Peneliti Insists bidang Sains Islam.
3 Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, istilah “Barat” tidak merujuk pada suatu tempat atau bangsa,
meskipun tempat dan bangsa terlibat di dalamnya. Akan tetapi Barat sesungguhnya lebih tepat dipahami
sebagai suatu pandangan alam (worldview), yakni pandangan tentang hakikat semesta yang timbul dalam
jangka lebih dari dua ribu tahun secara evolusi. Alam pikiran Barat merupakan suatu paduan tradisi
kesejarahan Yahudi-Kristen dengan tradisi kebudayaan Yunani-Romawi. Lebih jelas mengenai pandangan
alam Barat silakan lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan
Alam, Pulau Penang, Malaysia, Universiti Sains Malaysia, 2007, hlm. vii.
2
kerusakan yang ditimbulkan oleh sains dan teknologi modern Barat. Paling tidak, pada
kerusakan tersebut, sains dan teknologi Barat mempunyai kontribusi yang cukup
signifikan. Akan tetapi suara-suara kritikan terhadap kemajuan sains dan teknologi Barat
terdengar minor dan kadang -kalaupun terdengar sering dipandang sinis bahkan
dilecehkan. Hal itu tidak menyurutkan mereka melakukan kritik dan membongkar efek-
efek negatif sains dan teknologi.
Daftar dampak hitam ilmu pengetahuan dan teknologi Barat yang berkembang
saat ini masih terus bertambah. Masyarakat luas memang tengah terpana dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan Barat. Namun sedikit
sekali yang merasakan dampak negatifnya. Dunia di ambang kehancuran baik fisik
maupun moral apabila perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini tidak
dievaluasi dan dilakuan re-orientasi.
Implementasi sains Barat modern dan pengembangan teknologi terapan baik
makro maupun mikro menjadi tidak manusiawi lagi. Hal ini dikarenakan landasan
filosofis epistemologis yang mendasari berdirinya sains Barat. Mengutip C. Verhaak,
Francis Bacon memberikan pengaruh pemikiran bahwa sains dapat dikatakan bermakna
bila ia dapat meningkatkan kekuasaan manusia, baik atas alam maupun sesama.4 Sains
baru disebut berguna apabila menguntungkan manusia, tanpa peduli efek negatif yang
dihasilkannya.
Kondisi Sains Barat yang seperti ini tidak mengherankan karena Sains Barat yang
dikembangkan ini dibentuk dari acuan pemikiran filsafat Barat yang dituangkan dalam
pemikiran yang paling berpengaruh yaitu sekularisme, utilitarianisme dan materialisme.
Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran dan makna ilmu itu sendiri.5
Kerusakan ilmu pengetahuan dan sains karena landasan filosofisnya tersebut
mendapatkan kritik banyak pihak, baik ilmuwan muslim maupun ilmuwan Barat itu
sendiri. Nama-nama yang populer dalam pembahasan Filsafat Ilmu yang mengkritik
paradigma sains Barat modern, terutama kritik terhadap paham positivisme adalah Karl
R. Popper, para filosof Mazhab Frankfurt, Paul Feyerabend, Withehead, Paul Illich,
Thomas Kuhn, dan lainnya. Mereka berpendapat bahwa ilmu atau sains Barat itu sarat
dengan nilai-nilai ideologis yang tersembunyi yang mempunyai maksud tersendiri ketika
seseorang mempelajarinya. Maksud yang tidak terkendali itulah yang menyebabkan
manusia menjadi mahluk yang tidak lagi mengelola alam, tapi justru mengeksploitasi dan
merusaknya.
Dari kalangan ilmuwan muslim kritik terhadap sains tidak kurang gencarnya.
Nama-nama seperti Seyyed Hossein Nasr, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Ismail Raji
Al-Faruqi, Ziauddin Sardar, dan lain-lain adalah ilmuwan Islam kontemporer yang keras
mengkritik sains Barat dan menyerukan Islamisasi sains. Mereka secara senada
mengatakan bahwa sains yang berkembang di Barat dan di dunia muslim saat ini tidak
bebas nilai (value free), tapi sarat dengan nilai (value ladden) yaitu nilai-nilai yang
terkandung dalam paham sekularisme, materialisme, rasionalisme, empirisisme,
idealisme dan positivisme. Nilai-nilai yang terkandung dalam paham tersebut telah jauh
dari nilai-nilai spiritual dan agama. Karena tidak ada tolok ukur kebenaran agama di sana
4 C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991. Hal. 182.
5 Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemper : Sejarah, Perkembangan dan Arah
Tujuan”, Jurnal Islamia, Vol. II No. 6/Juli-September 2005.
3
maka aspek aksiologis sains menjadi tidak terkendali dan sekedar menjadi pemuasan
hawa nafsu maupun kepentingan ekonomi kapitalis.
Para ilmuwan muslim tersebut, selain melakukan kritik keras terhadap sains Barat
modern, juga membangun konsep kembali mengenai sains Islam. Mereka melakukan
islamisasi sains Barat dan merujuk kembali kepada kejayaan sains Islam di masa lampau.
Di antara keempat ilmuwan muslim kontemporer yang disebut di atas, yang keras
mengkritik Barat dan menyodorkan solusi “sains Islam” adalah Seyyed Hossein Nasr.
Nasr adalah ilmuwan muslim yang saat ini di antara sedikit ilmuwan yang otoritatif di
bidangnya. Nasr adalah guru besar bidang studi Islam di Georges Washington University
di Washington DC, Amerika Serikat. Ilmuwan kelahiran Teheran, Iran tahun 1933 itu
lulus S1 di bidang fisika pada universitas yang sangat prestisius di bidang sains yaitu
MIT (Massachussets Institute of Technology). Gelar magister didapatkan di bidang
geologi dan geofisika di Harvard. Sedangkan gelar doktornya diperoleh pada tahun 1958
dalam usia yang relatif muda yaitu 25 tahun, dalam bidang filsafat dan sejarah sains
dengan spesifikasi filsafat sains Islam di Harvard University, sebuah universitas terbaik
di dunia saat ini. Dengan gelar akademik dan spesialisasi tersebut memberikan academic
credential kepada Nasr untuk menjadi ilmuwan yang kredibel dan otoritatif mengkritik
Barat. Kehidupan Nasr di masa kecil hingga dewasa di dunia Islam (Teheran-Iran) yang
tumbuh di dalam lingkungan intelektual Islam Syiah, ditambah berguru pada ulama-
ulama Syiah setelah selesai belajar di AS, juga telah memberikan otorisasi padanya untuk
mengkritik Barat dari sudut pandang Islam.
Dengan karya tulisnya berupa lebih dari 50 buku dan 500 artikel6, belum
termasuk ceramah, seminar, interview dan sebagainya, Nasr termasuk yang paling
lantang mengkritik Barat modern. Buku Nasr berjudul Islam in The Modern World :
Challanged by The West, Threatened by Fundamentalism, Traditional Islam in the
Modern World, Man and Nature : The Spiritual Crisis in Modern Man, The Need for a
Sacred Science, Religion and The Order of Nature, Islam and the Plight of Modern Man,
Living Sufism, The Heart of Islam : Enduring Values for Humanity, dan A Young
Muslim’s Guide to the Modern World adalah di antara buku-buku yang mengkritik Barat
dan mengkritisi krisis lingkungan yang tengah berlangsung di dunia modern.
Sejarah Sains Barat Modern
Sains Barat modern adalah sains yang menganggap satu-satunya realitas adalah
segala sesuatu yang dapat diindra. Dalam sistem ini, ilmu dianggap absah hanya jika ia
terkait dengan tatanan perisitwa-peritswa fisik alam kejadian serta hubungan-hubungan
yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, tujuan penelitan di dalam sains adalah untuk
menggambarkan dan mensistematisasikan apa yang terjadi di alam, termasuk objek-objek
dan kejadian-kejadian di dalamnya. Sementara itu alam semesta menurut sains Barat
dikosongkan dari unsur-unsur ruhani sehingga sains Barat menjadi sekuler dan akhirnya
anti-Tuhan.
6 Sampai tahun 2000, Nasr sudah menulis 60 buku dan 504 artikel, belum termasuk terjemahan ke berbagai
bahasa. Lihat Bibliography of The Writings of Seyyed Hossein Nasr yang dikompilasi oleh Mehdi
Amintazavi, Zailan Moris dan Ibrahim Kalin dengan Editor Lucian W. Stone, Jr dalam Lewis Edwin Hahn,
Randall E. Auxier dan Lucian W. Stone, The Philoshophy of Seyyed Hossein Nasr, Illinois, Open Court
Publishing Company, 2001, hlm. 831-964.
4
Mengapa sains Barat modern bisa menjadi sekular dan ateis? Untuk
mempermudah memahami hal tersebut maka kita bisa melihat perkembangan sains Barat
modern dari faktor sejarah dan keterkaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang ada di
dalamnya, terutama sejak abad ke-16 hingga abad ke-20. Sejarah sains Barat yang
dihadirkan dalam pembahasan ini merujuk pada perkembangan filsafat sains, bukan
semata-mata perkembangan penemuan-penemuan di bidang disiplin, sebagaimana sejarah
sains Islam. Hal ini dikarenakan objek yang akan diteliti dan dikritisi bukan soal
penemuan sains Barat modern, tapi pada unsur-unsur filosofinya. Dengan demikian,
nama-nama yang hadir dalam bahasan ini lebih pada ilmuwan filosof daripada ilmuwan
saintis.
Barat atau kala itu diwakili oleh gereja, yang sebelumnya sangat terikat dengan
nilai-nilai kristiani dan memegang teguh ajaran agama berangsur-angsur menjadi liberal
dan sekuler. Paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan akhirnya Barat menjadi sekular-
liberal. Adian Husaini menyebutkan tiga faktor yang menjadi latar belakang Barat
menjadi demikian dan kemudian mengglobalkan pandangan hidup dan nilai-nilainya ke
seluruh dunia, termasuk ke dunia Islam, pertama trauma sejarah, khususnya yang
berhubungan dengan dominasi agama Kristen di jaman pertengahan. Kedua problema
keaslian teks bible dan ketiga problema teologis Kristen.7
Pada abad pertengahan, masyarakat Barat didominasi oleh gereja yang bersifat
intoleran terhadap ide-ide yang berkembang di luar gereja. Ilmu pengetahuan tidak
berkembang saat itu karena semua sendi-sendi kehidupan diatur oleh gereja secara
dogmatis. Lalu muncullah masa Renaisans di mana kaum cendekiawan mulai bangkit dan
membebaskan diri dari gereja. Kebenaran tidak lagi bersumber dari teks-teks suci,
melainkan pada langkah-langkah metodis berupa mengamatan empiris dan perumusan
hipotesa.8
Pada masa Renaisans inilah kebebasan dalam segala bidang berkembang.
Manusia yang sebelumnya merupakan objek dalam lingkup anggota alam semesta
menjadi subjek yang menentukan. Ungkapan bahwa manusia adalah tuhan dan Tuhan
adalah manusia merupakan manifestasi dari kebebasan manusia itu sendiri. Manusia
bebas menentukan tuhannya dan –dalam teologi Kristen Tuhan adalah manusia, yaitu
Yesus yang manusia dianggap sebagai anak tuhan. Selain bebas menentukan tuhannya,
manusia juga bebas menetapkan mana-mana nilai (value) yang dianggapnya baik dan
mana-mana yang dianggap buruk. Akhyar dan Donny menyebut era manusia sebagai
subjek kehidupan sebagai “antroposentrisme periode modern”.9
Dengan subjektivitas manusia Barat era ini maka manusia menetapkan standar-
standar dalam kehidupan, di luar atau bahkan menyimpang dari standar yang ditetapkan
gereja kala itu. Di bidang pemerintahan, kekuasaan merupa kontrak sosial (De Contract
Social) antara pemimpin dengan rakyatnya, pemimpin bukan sebagai wakil Tuhan di
muka bumi. Filsafat sains rasional yang berkembangpun menggantikan filsafat teologi
yang sangat doktrinal dari teks-teks kitab suci. Menurut Akhyar dan Donny, filsafat sains
7 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Depok,
Gema Insani Press, 2005, hlm. 28.
8 Akhyar Yusuf Lubis dan Donny Gahral Adian, Pengantar FIlsafat Ilmu Pengetahuan : Dari David Hume
Sampai Thomas Kuhn, Jakarta, Koekoesan, 2011, hlm. 39.
9 Ibid. hlm. 40.
5
di Barat kala itu didominasi oleh dua aliran yang berkembang di dua wilayah yang
berbeda dengan ciri khas masing-masing, yaitu aliran rasionalisme berkembang di Eropa
daratan dan aliran empirisisme yang berkembang di daratan Inggris.
Rasionalisme adalah paham yang menekankan pikiran (rasio) sebagai sumber
utama pengetahuan dan pemegang otoritas terakhir dalam penentu kebenaran.
Pengetahuan diperoleh tanpa melalui pengalaman indrawi tapi dengan cara deduktif.
Pengalaman indrawi (empiris) justru dicurigai karena selalu berubah-ubah seperti lilin
yang terbakar mencair dan berubah bentuk atau tanaman yang bermula benih menjadi
tumbuh dan layu (mati) atau pensil yang dimasukkan ke air dalam gelas menjadi bengkok
dan sebagainya.10
Bermula dari seorang filosof Barat bernama Rene Descartes (1596-1650) yang
bergelar Bapak Filsafat Modern mengemukakan sebuah diktum yang terkenal sampai saat
ini yaitu cogito ergo sum, yang artinya “aku berfikir maka aku ada”. Descartes tidak saja
mengukur suatu kebenaran dengan rasio, tapi mengakui eksistensi seseorang hanya
mereka yang menggunakan rasio sebagai asas tingkah lakunya. Descartes adalah filosof
Perancis yang meletakkan dasar-dasar rasionalisme bagi ilmuwan Barat yang
berkembang di masa-masa berikutnya. Sebelumnya, dia belajar pada para pastur dan
menemukan keraguan di dalam filsafat teologi karena otoritas gereja selalu menjadi tolok
ukur suatu kebenaran tanpa memberikan ruang sedikitpun pada rasio. Descartes adalah
orang yang pertama meletakkan dasar metode keraguan untuk memperoleh pengetahuan
(dubium methodicum) yang sampai sekarang dianut para ilmuwan. 11
Menurut Descartes, segala sesuatu yang bisa disangsikan wajib disangsikan
karena sesuatu yang selama ini diterima indra secara empiris bisa jadi sebuah mimpi atau
khayalan saja. Dengan penyangkalan tersebut mulailah proses berpikir rasio sehingga
kebenaran yang dicapai tidak disangsikan lagi. Karena penampakan dari luar tidak dapat
dipercaya maka seseorang mesti mencari kebenaran-kebenaran di dalam dirinya sendiri
yang bersifat pasti. Sesuatu yang di dalam diri manusia merupakan ide-ide bawaan dari
lahir yang sifatnya pasti, murni dan bebas dari kontaminasi unsur-unsur indrawi. Ide-ide
bawaan tersebut adalah ide tentang diri yang berkesadaran (res cogitans), ide tentang
materi yang berkeluasan (res extensa) dan ide tentang wujud yang sempurna (Tuhan).12
Descartes menyebut pikiran sebagai ide bawaan yang sudah melekat sejak lahir.
Menurutnya, aku ini bukan hanya pikiran, tapi juga sesuatu yang bisa diraba dan dilihat.
Jasmaniku merupakan kesan yang menipu, tapi kesan itu ada sejak lahir menunjukkan
kejasmanian merupakan ide bawaan. Descartes juga mengatakan bahwa Allah juga
merupakan ide bawaan.13
Sebagai ilmuwan pelopor kebebasan berpikir, Descartes “belum berani”
menghapus peran Tuhan dalam kehidupan. Dia masih menyelaraskan antara iman dan
akal. Sebuah pertanyaan darinya muncul, “Bagaimana ide tentang Tuhan sebagai tidak
terbatas dapat dihasilkan oleh manusia yang terbatas?” Jawabannya, “Jelas, Tuhanlah
yang meletakkan ide tentang diri-Nya di benak manusia, karena kalau tidak, keberadaan
10 Ibid. hlm. 41.
11 Ibid, hlm. 43.
12 Ibid. hlm. 44.
13 F. Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, hlm. 35
6
ide tersebut tidak bisa dijelaskan.14 Kaum rasionalis pada umumnya “menyelamatkan”
ide tentang keberadaan Tuhan dengan asumsi bahwa Tuhan yang menciptakan akal kita
adalah juga Tuhan yang menciptakan dunia.15 Inti ide rasionalisme yang dikembangkan
oleh Descartes, Voltaire, Diderot, D’Alambert, Leibniz, Christian Wolff, Blasise Pascal,
Baruch de Spinoza dan lain-lain adalah bahwa kebenaran tentang alam semesta diyakini
tidak berasal dari pengalaman empiris, melainkan dari pikiran yang menghasilkan ide-ide
yang jelas.
Ide tentang kebebasan berpikir yang berseberangan dengan ide rasionalisme
adalah empirisisme. Penganut paham empirisisme berpendapat bahwa pengalaman,
terutama panca indra merupakan sumber pengetahuan manusia dan tolok ukur kebenaran.
Dengan demikian mereka menggunakan pengamatan, penelitian dan metode induktif lain
untuk mendapatkan pengetahuan dan kebenaran. Pengalaman indrawi adalah satu-
satunya sumber dan penjamin kebenaran pengetahuan.
Ada beberapa aliran empirisisme. Empirisisme atomistik yang muncul pada abad
ke-17 adalah paham yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah kumpulan
informasi yang terpisah-pisah. Tidak ada hubungan antara satu informasi dengan
informasi yang lain. Ada juga empirisisme logis atau positivisme logis yang berpendapat
bahwa sumber kebenaran hanyalah pengalaman yang dapat diamati dan bahasa sebagai
gambaran kenyataan. Pandangan empirisisme logis ini ditentang oleh kaum pragmatis
yang mengusung ide empirisisme radikal. Menurut mereka, yang dimaksud pengalaman
adalah seluruh kejadian yang berasal dari berbagai jenis peristiwa yang dialami manusia
sebagai mahluk yang bertubuh baik jasmani maupun ruhani.
Di antara yang ditentang kaum empirisisme terhadap kaum rasionalisme adalah
ide bawaan dalam diri manusia, yang menurut mereka tidak ada. Karena manusia lahir –
menurut kaum empirisisme bagaikan kertas kosong yang tidak membawa ide apa-apa.
Kertas kosong inilah yang kemudian diisi dengan pengalaman-pengalaman empiris
sehingga menjadi satu ide yang menyatu dengan dirinya. Penolakan yang keras terhadap
ide bawaan ini dikemukakan oleh John Locke (1632-1704). Kalaupun ada ide bawaan,
kata Locke, itu diperoleh dari rangkaian pengalaman-pengalaman yang dialaminya. Ide
manusia pada dasarnya terbagi dua, yaitu ide sederhana yang merupakan pengalaman
langsung indrawi (misal : api itu panas) dan ide kompleks yang merupakan refleksi dari
ide-ide sederhana yang membentuk pengetahuan (misal : air kalau dipanaskan menguap).
Locke merumuskan hubungan antara akal manusia dan dunia luar. Pertanyaannya,
apakah ide dalam akal merepresentasikan kenyataan yang sesungguhnya? Bagi Locke,
ada dualisme kualitas benda yaitu kualitas primer (kepadatan, ukuran keluasan, gerak,
diam, angka dan semuanya yang mutlak dan tidak terpengaruh persepsi manusia) dan
kualitas sekunder (warna, rasa, bunyi, bau yang sifat relatif ketika diindra). 16 Selain John
Locke, tokoh-tokoh empirisisme adalah Thomas Hobbes (1588-1679), David Hume
(1711-1776), dan George Berkeley (1685-1753). Ide Locke mengenai adanya
korespondensi antara pengetahuan manusia dan dunia luar mendapatkan pertentangan
dari David Hume. Hume merasa prihatin bahwa metafisika tradisional bercampur dogma-
14 Akhyar Yusuf Lubis dan Donny Gahral Adian, Pengantar FIlsafat Ilmu, hlm. 45.
15 Ibid. hlm. 45.
16 Ibid. Hlm. 47.
7
dogma Katolik, jargon-jargon politis dan takhayul rakyat. Karena itu Hume ingin
membersihkan filsafat dari simbol-simbol religius dan metafisis (sekularisasi).17
Hume dikenal sebagai ilmuwan berpaham empirisisme yang sangat ekstrim. Dia
melawan paham rasionalistis tentang ide bawaan. Hume juga menyerang pemikiran
religius keagamaan yang percaya bahwa Tuhan membiarkan alam berjalan mekanistis.
Dalam hal ini Hume melawan ide kausalitas.18
Menurut Hume, pengetahuan faktual harus didasarkan pada fakta, bukan sekedar
relasi ide. Pikiran tidak bisa memastikan kebenaran pengetahuan faktual tanpa merujuk
pada dunia luar. Seperti kebenaran “hari ini akan hujan” atau “hari ini tidak akan hujan”
harus dipastikan melalui pengamatan. Hume menjadi terkenal karena kritiknya yang
keras terhadap ide lama bahwa pikiran manusia mampu menjangkau alam semesta yang
hakiki karena tidak bisa dipastikan dengan pengalaman yang faktual. Menurut Bertrand
Russel dalam History of Western Philosophy (1972), menjatuhkan argumen Hume yang
mengkritik ide tersebut, menjadi obsesi para filosof pembela tradisi filsafat tersebut.19
Paham empirisisme ini menjadi bertolak belakang dengan paham rasionalisme
dan sedikit demi sedikit menghilangkan unsur spiritual (Tuhan) dalam gambaran dunia.
Benda dan ide di dunia ini dipersempit dengan fakta indrawi saja karena itulah
kebenaran. Sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta indrawi atau pengamatan empiris,
tidak diterima sebagai kebenaran.
Adalah Imannuel Kant (1724-1804) yang mendamaikan kedua paham
pengetahuan di atas. Kant, yang awalnya berpaham rasionalisme, merasa terusik dengan
pendapat Hume. Kant berkata, “I freely admit that remembance of David Hume was the
very thing that many years first interrupted my dogmatic slumber and gave a completely
different direction to my researches in the field of speculative philosophy.” (aku
mengakui bahwa ingatanku pada Hume-lah yang bertahun-tahun mengganggu kamar
tidur dogmatisku dan memberi arah yang benar-benar baru dalam penelitianku dalam
bidang filsafat spekulatif).20 Kant dianggap sebagai peletak dasar paham idealisme.
Seperti Hume, Kant menganggap ide-ide metafisika seperti kausalitas, substansi
diri dan Tuhan memang tidak bisa diasalkan pada kesan-kesan indrawi. Namun, Kant
tidak berhenti pada halte pemberhentian tempat Hume berteduh, melainkan tetap
mempertanyakan bagaimana metafisika sebagai pengetahuan apriori dimungkinkan.21
Kant menolak Hume bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Ia
menunjukkan bahwa ada keputusan sintetik apriori seperti yang ditemukan dalam disiplin
etika, fisika, metafisika dan matematika. Keputusan tentang sebab-akibat memang tidak
ditemukan dalam pengalaman manusia, tapi hal tersebut bukan sekedar kebiasaan
manusia. Dalam relasi hubungan sebab akibat, kita merasakan adanya universalitas, yaitu
berlaku pada semua perubahan dan bukan satu atau beberapa perubahan saja. Selain itu
kita juga merasakan adanya keniscayaan bahwa setiap perubahan memiliki sebab.22
17 F. Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, hlm. 75
18 Ibid. hlm. 76.
19 Akhyar Yusuf Lubis dan Donny Gahral Adian, Pengantar FIlsafat Ilmu, hlm 50.
20 Ibid. hlm. 51.
21 Ibid, hlm. 52.
22 Ibid. hlm. 54.
8
Paham idealisme yang dikembangkan Kant ini menolak klaim metafisika atas
pengetahuan tentang semesta di balik penampakan. Metafisika yang sebelumnya bersifat
dogmatis karena mengklaim pengetahuan tentang objek sebagaimana adanya, tanpa
melakukan kritik pendahuluan terhadap kemampuan yang dimilikinya. Akhirnya Kant
mengembangkan filsafat transendental yang menyelidiki cara akal manusia memahami
objek di dalamnya.
Ide Kant ini membawa pengaruh pada filosof lain, di antaranya Georg Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831) yang melahirkan filsafat dialektika Hegel tesis-antitesis.
Intinya adalah pengetahuan itu selalu berproses. Tahap yang sudah dicapai, disangkal
atau didebat untuk melahirkan tahap baru. Sebuah tesis dibuat antitesisnya untuk
melahirkan sintesis. Jika yang menyangkal (antitesis) kalah kuat dengan yang disangkal
(tesis) maka tesis tersebut tetap dipertahankan dan menjadi sintesis. Selain itu ada Fichte
(1762-1814), Scheilling (1775-1854) dan Schopenhauer (1788-1860) yang ikut
mengembangkan paham idealisme.
Ide ini kemudian melahirkan paham positivisme dan materialisme yang berujung
pada ateisme yang diusung oleh, di antaranya Ludwig Feurbach (1804-1872) yang
berpendapat bahwa prinsip filsafat paling tinggi adalah manusia, bukan Tuhan. Juga
tokoh ateis yang melahirkan paham komunis yaitu Karl Marx (1818-1883), ia
berpendapat bahwa agama adalah ’keluhan mahluk yang tertekan”. Agama adalah candu.
Agama adalah faktor sekunder, faktor primernya adalah ekonomi.23 Ironisnya, Karl Marx
hidup dan meninggal dalam kemelaratan.
Selain Karl Marx, ilmuwan Barat sekular yang membawa pengaruh luas dalam
dunia ilmu pengetahuan adalah Charles Robert Darwin (m. 1882). Ia menulis sebuah
buku yang berjudul The Origin of Species (asal usul spesies) di mana dinyatakan bahwa
Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Mahluk hidup bisa hidup dan bertahan karena
faktor adaptasi pada lingkungan (adaptation to the environment). Mereka yang mampu
beradaptasilah yang akan bertahan di muka bumi (survival for the fittest).
Ide empirisisme kembali berpengaruh ketika muncul paham positivisme.
Positivisme dikemukakan pertama kali oleh ilmuwan Perancis Henry Saint Simon (1760-
1825) dan dikembangkan oleh muridnya yang bernama Auguste Comte (1789-1857).
Henrylah yang pertama kali menggunakan istilah positivisme namun Comte yang
mempopulerkannya sehingga Comte lebih dikenal sebagai pendiri madzab positivisme. Ia
pulalah yang dijuluki Bapak sosiologi karena dia yang pertama memperkenalkan istilah
tersebut.
Positivisme mengembangkan paham empirisisme yang lebih ekstrim dengan
mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu positif atau sains yang
berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara ketat.24 Dengan demikian,
positivisme mengistirahatkan filsafat dari kerja spekulatifnya mencari-cari hakikat
ontologis maupun metafisis yang telah dijalani selama ribuan tahun. Penganut
positivisme yakin bahwa masyarakat akan maju jika menghargai sains dan teknologi.
23 Adnin Armas, “Westernisasi dan Islamisasi”, hlm. 10
24 Akhyar dan Donny, Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 59.
9
Slogan positvisme adalah savoir pour prevoir, prevoir pour pouvoir (dari ilmu muncul
prediksi dan dari prediksi muncul aksi).25
Positivisme ini berkembang ketika terjadi Revolusi Perancis yang penuh
anarkisme. Comte, waktu itu merasa terganggu dengan anarkisme tersebut dan bersikap
kritis terhadap filosof pencerahan Perancis. Comte mengembangkan positivisme untuk
melawan apa yang diyakini sebagai filsafat negatif dan destruktif dari para filosof
pencerahan yang masih bergelut dengan khayalan metafisika.
Di tangan Comte, sebagaimana dikutip Adnin, pengetahuan positif-ilmiah atau
yang biasa dikenal dengan sains ilmiah bersifat pasti dan nyata. Dengan demikian, segala
yang bersifat tidak terindra seperti metafisika ditolak dengan alasan bahwa segala sesuatu
yang dapat diketahui manusia adalah apa yang ditangkap oleh panca indra. Comte
memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat.
Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis; pertama,
fase teologis, bisa juga disebut sebagai fase fiktif. Kedua, fase metafisik, bisa juga
disebut sebagai fase abstrak. Ketiga, fase saintifik, bisa juga disebut sebagai fase positif.
Karakteristik dari setiap fase itu bertentangan antara satu dengan yang lain. Dalam fase
teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan ghaib. Dalam
fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan
abstrak, atau entitas–entitas yang nyata, yang menggantikan kekuatan ghaib. Dalam fase
positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang
mutlak.26 Pendapat Comte, yang menolak agama, diikuti oleh para sosiolog yang lain
seperti Emile Durkheim (m. 1917) dan Herbert Spencer. Agama, tegas Spencer, bermula
dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain.27
Paham positivisme ini berkembang sangat pesat bahkan mendominasi kehidupan
Barat sampai sekarang. Positivisme tidak lagi menjadi sebuah aliran filsafat, tapi sudah
merupakan “agama” baru bagi masyarakat Barat terutama kaum intelektualnya karena
sudah merupakan pandangan-dunia (world view) tersendiri. Dalam paham positivisme,
objetivitas merupakan satu doktrin utama. Objek-objek fisik harus ada secara indrawi dan
hadir independen dari subjeknya.
Ide positivisme mempunya enam ciri. Pertama, bebas-nilai. Dikotomi yang tegas
antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti berjarak dengan dunia dan bersikap
imparsial-netral. Kedua, fenomenalisme yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus
pada fenomena semesta. Metafisika yang mengandaikan sesuatu di belakang fenomena
ditolak mentah-mentah. Ketiga, nominalisme, yaitu befokus pada individu-individu
partikular karena itu adalah kenyataan satu-satunya. Semua bentuk universalisme adalah
semata penamaan dan bukan kenyataan itu sendiri. Keempat, reduksionisme. Alam
semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi. Kelima, naturalisme. Yaitu
paham tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang menisbikan
penjelasan adi-kodrati. Keenam, mekanisme. Yaitu paham yang mengatakan bahwa
25 Ibid. hlm. 60.
26 Auguste Comte, Introduction to Positive Philosophy, hlm1-2. Lihat Adnin, “Westernisasi”, hlm. 11.
27 Jonathan H. Turner, Herbert Spencer : A Renewed Appreciation, 1 : hlm. 136-138. Lihat Adnin,
“Westernisasi”, hlm. 11.
10
semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis sebagaimana layaknya
mesin.28
Para ilmuwan yang mengembangkan paham ini selain Henry dan Comte di
antaranya adalah John Stuart Mill, James Mill, Jeremy Betham di Inggris, Giambista
Vico, Carlo Cattaneo, dan Guissepe Ferrari di Itali, Ernst Las, Friederich Jodl, Eugen
Duhring di Jerman.
Lalu berbagai disiplin ilmu lain yang ateistik juga bermunculan. Bidang psikologi
digemakan oleh Sigmund Freud dengan teori psikoanalisanya. Di bidang filsafat ada
Friedrich Nietzche (1844-1900) dengan semboyannya ”God is dead” dan Jacques Derrida
pada abad 20 dengan semboyan ”The author is dead.” Dan masih banyak bidang ilmu
yang dikembangkan oleh mereka yang berpaham ateis akibat meletakkan dasar keilmuan
hanya kepada rasio dan panca indra. Sains di Barat telah melahirkan paham-paham liar
seperti ateisme, relativisme, skeptisme, liberalisme dan sebagainya. Di dalam paham-
paham tersebut tidak ada tempat bagi Al-Wahyu. Bahkan kehidupan transenden pun tidak
diakui karena hanya yang nyatalah dan dapat dibuktikan secara empiris sajalah yang
diterima.
Dari situlah mulai dirasakan bahwa dasar awal kebangkitan rasio bagi Barat
sekular telah melahirkan kepincangan, kekacauan dan kerusakan di dunia ini. Paham
utama dalam peradaban Barat seperti sekularisme, utilitarianisme dan materialisme telah
membuat ilmu pengetahuan kehilangan tujuan yang hakiki dan hanya berfungsi
memenuhi hawa nafsu dan kebutuhan jangka pendek. Meskipun ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mereka ciptakan mampu melahirkan peradaban Barat yang sepertinya
terlihat maju sekarang ini, namun diakui kemajuan tersebut tidak membawa pada
ketenangan, kedamaian dan keadilan.
Problematika Sains Barat Modern
Melalui interaksi sains dan teknologi, peradaban Barat mengukuhkan
superioritasnya atas bangsa-bangsa lain. Sains, sebagai fondasi dan mesin teknologi,
telah menjadi senjata rahasia Barat yang canggih. Sains, meskipun sudah dipisahkan,
berbeda dengan teknologi. Orang Islam sering salah kaprah mengidentifikasi peradaban
Barat dengan kemajuan teknologi seperti alat-alat listrik, elektronik, otomotif,
transportasi, senjata pemusnah massal dan lain-lain. Kemudian umat Islam berusaha
mengimitasinya yang pada akhirnya merugikan mereka sendiri.
Kita harus sadar bahwa sains itu bukan teknologi. Sains berhubungan dengan ide-
ide dan cara-cara yang abstrak sementra teknologi bertujuan memproduksi benda-benda
yang dapat berguna untuk meningkatkan taraf hidup. Dengan kata lain, teknologi
merupakan aplikasi pengetahuan ilmiah dan tanpa pemahaman dan penguasaan landasan
ilmiahnya, hanya memproduksi piranti teknologis melalui imitasi adalah sangat
beresiko.29 Kalaupun bisa diambil dari apa yang ada pada kemajuan teknologi Barat
adalah teknologi yang sifatnya mempermudah aspek keseharian dalam kehidupan.
28 Akhyar dan Donny, Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 63.
29 Cemil Akdogan, “Asal-Usul Sains Modern dan Kontribusi Muslim”, Jurnal Islamia Vol I No. 4, Januari –
Maret 2005, hlm. 94.
11
Sedangkan problematika yang ada di Barat terletak pada sains yang mendasari lahirnya
teknologi tersebut.
Sains Barat modern yang sampai saat ini didominasi oleh paham positivisme tentu
saja tidak sepi dari kritik, baik dari ilmuwan Barat sendiri maupun dari ilmuwan Islam.
Beberapa ilmuwan yang mengkritik di antaranya adalah Karl Popper, Thomas Kuhn,
Madzab Frankfurt, Paul Feyerabend, dan Rorty. Pada dasarnya kritikan tersebut
merupakan respon terhadap ciri-ciri positivisme di atas. Paling tidak kritik terhadap
positivisme ada empat. Pertama, fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori. Fakta
selalu dipahami dalam kerangka teoritis tertentu. Kedua, falibilitas teori. Tidak satu teori
pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empirik, kemungkinan
munculnya fakta anomali selalu ada. Ketiga, fakta tidak bebas, melainkan sarat-nilai.
Keempat, interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukan reportase
objektif, melainkan hasil interaksi manusia dan alam semesta yang sarat persoalan dan
senantiasa berubah.30
Yang menjadi problem utama dari sains Barat modern adalah landasan ide
positivisme. Jika dikatakan ilmu itu bebas-nilai maka yang dimaksud bukan bebas nilai
sama sekali, tapi bebas dari hal-hal yang bersifat non-indrawi termasuk persoalan
metafisika. Padahal setiap manusia mempunyai perspektif masing-masing dalam melihat
sesuatu. Dalam benak seseorang sudah ada paradigma maupun worldview yang berbeda-
beda sehingga persepsi terhadap fakta pun berbeda. Pandangan para ahli tentang sains itu
tidak bebas nilai sudah dikemukakan di depan, baik oleh ilmuwan Barat maupun Islam.
Soal fenomenalisme di mana pengetahuan yang absah hanya pada fenomena alam
yang tampak saja, berarti metafisika yang merupakan alam di balik fenomena ditolak
oleh sains Barat. Inilah problem besar bagi sains karena dalam Islam, juga agama-agama,
aspek metafisika justru menjadi faktor utama karena Tuhan adalah sosok dzat yang tidak
tampak langsung secara indrawi. Sains Barat “menyingkirkan” Tuhan sedikit demi
sedikit karena saat itu para wakil Tuhan di muka bumi (gereja) banyak melakukan
penyelewengan, termasuk inkuisisi yang menghantui masyarakat Barat. Ilmuwan Barat
seakan-akan ingin menyingkirkan sumber masalah selama ini yang menyengsarakan dan
mengakibatkan anarkisme, baik dari kalangan gereja maupun penentangnya.
Nominalisme dalam paham positivisme sains Barat juga tidak mungkin. Mereka
mengklaim bahwa kenyataan satu-satunya adalah individu secara partikular, bukan
universal. Padahal akal manusia selalu menghubung-hubung informasi satu dengan yang
lain. Bahkan banyak hal tidak bisa diukur karena berhubungan satu sama lain.
Reduksionisme dalam sains Barat juga bermasalah. Alam semesta ini hanya
direduksi menjadi fakta-fakta fisik saja. Padahal fakta-fakta non-fisik lebih banyak lagi.
Hal ini karena menurut sains Barat, pengetahuan disebut ilmiah apabila saintifik empiris.
Jika tidak, maka gugurlah dari keilmiahannya atau dianggap tidak absah. Reduksionisme
ini telah membuang banyak sekali ilmu pengetahuan yang tidak dimasukkan dalam unsur
empirisisme. Sains Barat juga mereduksi otoritas dan intuisi menjadi nalar dan
pengalaman indrawi saja. Memang benar pada mulanya dalam hal otoritas dan intuisi,
penalaran dan pengalaman selalu berasal dari seorang yang menalari dan mengalami, tapi
ini tidak kemudian berarti karena itu otoritas dan intuisi dapat direduksi menjadi nalar
dan pengalaman indrawi belaka.31
30 Ibid. hlm. 77.
31 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, hlm. 29.
12
Ciri khas sains Barat yaitu naturalisme dan mekanisme juga sudah banyak yang
menentang. Kajian ini sudah sejak lama dibicarakan oleh para filosof, termasuk filosof
muslim seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina dan Ibn Rusyd. Dengan menjadikan hukum alam
yang mekanistik maka peran Tuhan mengatur alam raya ini menjadi tidak ada. Tuhan
bagaikan Sang Pembuat Jam (Watch Maker) di mana setelah jam dibuat maka jam
tersebut bergerak sendiri sampai mati. Selama jam tersebut berjalan, sang pembuat jam
tidak berperan sama sekali.
Jika dalam sains Barat saluran pengetahuan hanya berupa panca indra, maka
dalam Islam justru panca indra merupakan saluran pengetahuan yang paling rendah.
Dalam Islam ada berbagai saluran pengetahuan, dimulai dari yang paling rendah yaitu
panca indrawi, kemudian meningkat kepada yang lebih tinggi yaitu akal, intuisi dan
terakhir yang paling tinggi adalah wahyu. Panca indra merupakan saluran yang paling
rendah karena hanya menangkap partikular-partikular pada dunia di sekitarnya. Dengan
demikian maka pengetahuan yang dicapai hanyalah pengetahuan praktis-empiris. Di luar
pengetahuan tersebut maka tidak digolongkan sebagai ilmu. Mereka sering
menyampaikan ungkapan, “seing is believing”, suatu kebenaran baru akan diyakini
apabila mereka mengalaminya secara langsung melalui panca indra. Padahal dalam Islam
justru sebaliknya, yaitu “believing is seeing”, artinya jika manusia percaya (yakin, iman)
maka ia akan melihat kebesaran-Nya. Keyakinan seorang muslim terhadap Sang Pencipta
(al-Khaliq) akan memantapkan posisi diri dan alam semesta sebagai ciptaan-Nya (created
book), sebagaimana kitab suci yang merupakan firman-Nya.
Problem sains Barat yang mengusik keimanan –termasuk keimanan seorang
muslim adalah tersingkirnya Tuhan di dalam sains. Sains Barat yang dipandang netral
(bebas nilai) karena bersifat positivistik pada tahap asumsi-asumsi dan preposisi-
preposisi tidak melibatkan Tuhan alias ateistik. Jadi, sains Barat modern yang
berkembang saat ini adalah sains sekular dan anti Tuhan.
Sifat sains Barat modern yang seperti itu telah membawa masalah besar bagi umat
Islam saat ini. Sebab, sains Barat modern tersebut diajarkan kepada anak-anak muslim
mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Padahal, dengan mempelajari sains
Barat yang sekuler tersebut akan membuat seorang muslim jauh dari Tuhannya. Semakin
dalam akan semakin jauh karena sifat kesekulerannya. Walaupun tidak sedikit ilmuwan
yang mempelajari sains Barat yang shalih dalam beragama, namun keshalihannya
tersebut bukan didapat dari dirinya mempelajari sains Barat tersebut. Keshalihannya bisa
jadi dia dapatkan ketika pendidikan masa kecil dari orang tua ataupun lingkungannya.
Kemungkinan juga bisa didapatkan dari lingkungan tempat dia tinggal dan yang
bersangkutan termasuk rajin mengaji dan sebagainya.
Efek negatif dari sains Barat ini telah lama disadari oleh kaum ilmuwan muslim.
Mereka berusaha untuk mengembalikan sains pada asalnya yaitu dari Sang Maha
Pencipta alam ini dan memberikan unsur spiritual pada sains. Dengan kata lain, sains
Barat modern harus di-Islamisasi. Beberapa ilmuwan muslim yang lantang menyuarakan
ide Islamisasi sains pada akhir abad ke-20 adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas,
Seyyed Hossein Nasr, Ismail Raji al-Faruqi, Ja’far Idris, Ziauddin Sardar, Ibrahim Kalin,
Muzaffar Iqbal, dan lain-lain.
13
Pandangan Nasr terhadap Sains Barat Modern dan Kritik Terhadapnya
Kritik Nasr terhadap sains Barat modern tidak lepas dari kritikannya terhadap
peradaban dan kebudayaan Barat itu sendiri. Nasr melihat kebudayaan modern di Barat
(sebagai representasi) sejak jaman Renaisans merupakan eksperimen yang gagal karena
mereduksi seluruh kualitas kepada kuantitas, atau mereduksi seluruh yang esensial dalam
pengertian metafisika kepada pengertian materiil dan subtansial dalam pengertian fisik.32
Sejak jaman Renaisans dan revolusi ilmiah, sains mengarah pada paham sekuler dan pada
beberapa kasus bertentangan dengan agama. Sekularisasi terjadi pada kosmologi
tradisional, di mana kosmologi Ibn Sina sekalipun diterima garis besarnya, tapi dikritik
oleh orang-orang seperti William dari Auvergne, yang ingin melenyapkan malaikat-
malaikat itu dari alam semesta.33
Dalam buku Knowledge and the Sacred, Nasr memulai pembahasannya dengan
judul Knowledge and its Desacralization. Menurut Nasr, pada awalnya realitas itu berupa
wujud, ilmu pengetahuan dan kebahagian spiritual (the sat, chit, and ananda dalam
tradisi Hindu) atau qudrah, hikmah dan rahmah. Ketiganya karena berasal dari Yang
Maha Suci (sakral) maka merekapun sakral. Namun seiring dengan berlalunya waktu,
ilmu pengetahuan berpisah dengan wujud dan kebahagiaan dan akhirnya ilmu
pengetahuan mengalami desakralisasi.34 Masa desakralisasi ini dimulai di dunia Barat,
sejak renaisans yang dipelopori oleh ilmuwan yang dijuluki Bapak filosof modern yaitu
Descartes.35
Descartes dalam mencari basis baru untuk ilmu pengetahuan menyerukan
pengguaan akal sebagai subjek berpikir, bukan wahyu atau intelek yang merupakan
fungsi dari hati setiap manusia. Ungkapannya yang terkenal cogito, “aku berpikir”, maka
“Aku” yang dimaksud tidak merujuk kepada Tuhan tapi manusia sebagai subjek.36
Selanjutnya, seiring dengan perkembangan pemikiran tentang filsafat ilmu di Barat
(sudah dibahas di bagian sebelumnya), ilmu pengetahuan dan sains makin menjauh dari
nilai-nilai spiritual. Nasr menyebut, ilmu pengetahuan telah mengalami sekularisasi
(istilah al-Attas westernisasi), mulai dari sekularisasi alam raya hingga sekularisasi akal
sebagai cara berpikir. Namun demikian, Nasr tidak menjelaskan lebih dalam mengenai
sekularisasi ilmu itu sendiri.
Peradaban modern yang merupakan hasil kelahiran dan perkembangan paham
rasionalisme dan empirisisme membuat sains berkembang tanpa nilai-nilai kesakralan.
Bagi Nasr, term modern tidak menunjukkan suatu keberhasilan dalam penguasaan atau
dominasi atas dunia alam, melainkan, "modern" berarti sesuatu yang dilepas (cut off) dari
Yang Transenden, dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitasnya mengatur segala
32 Seyyed Hossein Nasr, Spritualitas dan Seni Islam (Terjemahan Sutejo), Bandung: Mizan, 1993, hlm. 38.
33 Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature : The Spiritual Crisis in Modern Man, London, Mandala Book,
1976, hlm. 62.
34 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred, Edinburg: Edinburg University Press, 1981, hlm. 6.
35 Ibid. hlm. 33.
36 Ibid. hlm. 34.
14
sesuatu, yang dikenal melalui pewahyuan.37 Dengan demikian, dalam pandangan Nasr
istilah modern, nampaknya menunjuk pada pandangan dan cara hidup masyarakat di
Barat. Barat, dimaksudkan sebagai kualitas kehidupan yang rasionalistik, kapitalistik,
sekularistik, dan cenderung melepaskan pandangan keagamaan. Di samping itu, meski
Nasr tidak bermaksud membedakan dua wilayah itu secara geografis, namun yang di
maksud Barat dalam pandangan Nasr adalah suatu wilayah (geografis) yang berbeda
dengan dunia Timur, Asia, China, Jepang dan India misalnya. Barat adalah dunia Eropa
yang pada abad ke-17 mengalami masa Renaisans.38
Dengan begitu, dalam pengertian Nasr dunia modern adalah dunia yang sudah
terpisah dari yang trasenden dari prinsip-prinsip langgeng yang dalam realitas mengatur
materi dan yang diberikan. Maka bagi Nasr, modern bukanlah kontemporer, maju, lanjut
dan berkembang, tapi merupakan lawan dari tradisi, lawan dari yang sakral dan
transenden.39
Secara garis besar, dalam pengamatan Nasr, dunia sekarang ini dilanda oleh dua
tragedi; satu di Barat dan lainnya di Timur. Di Barat terjadi krisis peradaban modern –
yang merupakan produk Barat sendiri– paling dapat dirasakan, karena ia biasanya
berkaitan dengan berbagai bentuk lingkungan hidup. Tetapi, sampai sekarang krisis itu
belum terpecahkan. Bahkan, gagasan-gagasan yang diajukan untuk memecahkan
persoalan ini menjadi faktor tambahan yang membawa kepada krisis lebih lanjut. Dalam
kerangka pemecahan krisis tersebut, orang dihimbau untuk dapat mengendalikan hawa
nafsu; menjadi humanis rasional. Kenyataannya, sedikit sekali yang menyadari bahwa
seruan itu mustahil dijalankan selama tidak ada kekuatan ruhaniah/spiritual untuk dapat
mengontrol kecenderungan yang merusak dan mengikuti hawa nafsu di dalam diri
manusia.40
Nasr memberikan pandangannya tentang karakteristik dasar dari pemikiran
modern yaitu pertama antropomorfismenya (manusia sebagai pusat perhatian). Jelas saja,
karena mereka tidak mengakui sesuatu yang di luar manusia. Mungkin mereka
menyangkal bahwa sains modern tidak antropomorfik, tetapi pernyataan tersebut
hanyalah ilusi belaka. Sains modern adalah sains yang menggambarkan alam semesta, di
mana manusia sebagai mahluk yang mempunyai ruh (spirit), pikiran (mind) dan jiwa
(psyche) tidak mendapat tempat. Sains modern menetapkan hanya rasio dan panca indra
yang menentukan keabsahan sains. Sebaliknya, sains tradisional tidak antropomorfis,
dalam arti lokus (tempat) dan wadah pengetahuan bukan pikiran manusia tetapi
Kecerdasan Ilahi.41 Kedua, karakteristik yang erat kaitannya dengan antropomorifme
adalah tiadanya prinsip-prinsip yang menjadi ciri dunia modern. Untuk dapat berfungsi
37 Ali Maksum, Tasawwuf sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep
Tradisionalisme Seyyed Hossein Nasr, Surabaya, PSAPM dan Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 21. Lihat
Muhammad Anas, “Kritik Hossein Nasr atas Problem Sains dan Modernitas”, artikel lepas,
www.matapenainstitute.com diakses 18 Februari 2013 pukul 11.46.
38 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim (Terjemahan
Hasti Tarekat), Bandung, Mizan, 1994, hlm. 2.
39 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern (Terjemahan Anas Mahyuddin), Bandung,
Pustaka, 1983, hlm. 11.
40 Muhammad Anas, “Kritik Hossein Nasr atas Problem Sains dan Modernitas”, hlm. 13.
41 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern (Terjemahan Luqman Hakim),
Bandung, Pustaka, 1987, hlm. 100.
15
sebagai prinsip bagi sesuatu, sifat manusia itu terlampau tidak langgeng, berubah-ubah
dan bergejolak. Itulah mengapa model berpikir yang tidak mampu melampaui level
manusiawi dan yang tetap antropomorfik mustahil bila tidak tercerai dari prinsip-prinsip.
Baik empirisisme, rasionalisme maupun rasionalisme-empirik tidak dapat bertindak
sebagai prinsip-prinsip dalam pengertian metafisika. Ketiganya absah dalam tingkat
masing-masing, sebagaimana halnya dengan sains yang mereka hasilkan.42
Karakteristik ketiga adalah tiadanya kepekaan terhadap yang sakral. Manusia
modern secara praktis dapat didefinisikan sebagai jenis manusia yang telah kehilangan
kepekaan ini, dan pemikirannya memperlihatkan secara mencolok tiadanya kepekaan
terhadap yang sakral. Tidak mungkin jika sebaliknya, mengingat humanisme modern
tidak terpisahkan dari sekularisme. Berbeda dengan perspektif Islam yang tidak mengenal
konsep-konsep yang profan maupun sekular karena dalam Islam. Tradisi Islam tidak
pernah dapat memberima pola pikir yang tidak mempunyai jejak Yang Sakral.
Pertentangan Islam dengan pemikiran modern tidak mungkin terjadi pada tingkat yang
serius bila keunggulan Yang Sakral dalam perspektif Islam dan ketiadaannya dalam
pemikiran modern tidak dipertimbangkan.43
Ketiga karakteristik masyrakat modern itulah yang dikritik Nasr dengan
mempertentangkannya dengan tradisi Islam dan tradisi secara umum. Masyarakat modern
yang bersandar pada manusia, tidak punya prinsip metafisik dan jauh dari yang sakral
menyebabkan krisis kemanusian maupun lingkungan yang menjadi perhatian Nasr.44
Kritik Nasr terhadap kehidupan modern ini didasarkan pada ketidakpuasan
dirinya ketika menimba ilmu di Barat tingkat sarjana dan magister. Ketika di Iran dengan
didikan keagamaannya, Nasr terbiasa dengan dasar Al-Quran dan spiritualitas sebagai
rujukan ilmu. Namun di Barat, kedua hal tersebut disingkirkan dan peran manusia untuk
menentukan kebenaran sangat dominan. Dengan perbedaan pandangan masing-masing
orang, maka kebenaran di Barat menjadi relatif. Ketika manusia Barat menentukan nilai-
nilai kebenaran menurut dirinya sendiri, maka mereka membuang hal-hal yang bersifat
spiritual, sakral atau metafisik. Paling tidak mereka menyingkirkan unsur-unsur
transenden dari kehidupan sehari-hari dan memberinya ruang hanya dalam kehidupan
privat yang tidak boleh diatur oleh pemerintah. Seperti itulah gambaran kehidupan dalam
peradaban Barat sekarang ini.
Bangunan peradaban Barat yang demikian itu telah membawa konsekuensi
sendiri yang ujung-ujungnya adalah timbulnya berbagai krisis dalam segala dimensinya.
Akar dari seluruh krisis di dunia modern adalah kesalahan dalam mengkonsepsikan
manusia. Peradaban dunia modern yang ditegakkan di atas landasan konsep manusia
yang tidak menyertakan hal yang paling esensial bagi manusia itulah yang menjadikan
kegagalan proyek modernisme.45
42 Ibid. hlm. 101.
43 Ibid. hlm. 110.
44 Selain Nasr yang mewakili kalangan tradisionalis, kelompok pos-modernis pun mengkritisi dampak
negatif sains modern terhadap masyarakat modern. Seperti modernisme telah gagal mewujudkan perbaikan
ke arah masa depan yang lebih baik, sains modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang -
wenangan kekuasaan, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta, ada keyakinan bahwa sains
modern mampu memecahkan segala persoalan manusia, dan sains modern kurang memperhatikan dimensi
mistis-metafisis manusia. Lihat Pauline Marry Rosenau, Postmodernisme and Social Sciences : Insight,
Inroads, and Intrusion, Princeton, Princeton University Press, 1992, hlm. 19.
45 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, hlm. 15
16
Akibat pemisahan unsur-unsur transenden dalam kehidupan maka disadari atau
tidak telah terjadi krisis nilai-nilai dan lingkungan dalam masyarakat Barat yang
membawa ancaman serius. Kemajuan sains dan teknologi di Barat ternyata telah
membawa manusia pada nestapa yang menuju kehancuran. Kritik Nasr terhadap
peradaban Barat juga membuatnya mengkritik sains Barat modern yang juga merupakan
anak kandung peradaban tersebut.
Nasr pun melakukan kritik terhadap Sains Modern yang dianggapnya sebagai
sains yang sekular. Meskipun Nasr tidak pernah secara jelas mendefinisikan dan
menguraikan mengenai sekularisme, tapi Nasr menganggap sekularisme sebagai “sesuatu
yang asalnya hanya dari manusia, bukan dari Tuhan dan yang landasan metafisikanya
adalah pemisahan ontologi antara manusia dan Tuhan.” 46Dalam pandangan sekularisme,
Tuhan atau agama hanya berada untuk mengurus masalah privat dan individu, hubungan
pribadi antara manusia dan Tuhan. Kehidupan manusia secara umum, seperti dalam dunia
pendidikan, sosial budaya, ekonomi dan politik, tidak dibenarkan agama ikut campur
mengurusnya. Sains Barat modern yang sampai saat ini dipelajari adalah sains yang
sekular, di mana di dalamnya tidak ada urusan agama dan Tuhan sedikitpun. Sains Barat
sekular itulah yang dikritik Nasr. Ada lima analisis kritis Nasr terhadap sains Barat
modern yaitu47 :
Tidak Ada Jejak Tuhan di Alam Raya
Pandangan sekular tentang alam semesta yang melihat tidak ada jejak Tuhan
(vestigia Dei) di dalam keteraturan alam terutama dalam kosmologi Kristen. Alam bukan
lagi sebagai ayat-ayat Alah tetapi entitas yang berdiri sendiri. Sebuah anekdot terkenal
dalam sejarah sains, Laplace seorang ahli matematika Perancis yang termasyhur
menerangkan model alam semestanya kepada Napoleon tanpa menyebutkan peran Tuhan
dalam sains. Bukan karena ia memusuhi agama, namun ia menilainya sebagai sesuatu
yang tidak relevan. Tuhan merupakan “hipotesis yang tumpang tindih” sehingga Laplace
merasa tidak perlu menyebutkannya.48
Nasr mengkritik sains Barat modern yang tidak menempatkan posisi Tuhan di
dalam epistemologi dan ontologinya. Malah Tuhan dihilangkan dari wacana sains karena
tidak ada dalam alam fisik, tidak dapat diindra, tidak empiris dan tidak ilmiah. Dengan
kekuatan rasio dan kajian empirisnya, sains Barat modern “tidak membutuhkan Tuhan”
untuk asumsi dasar, presuposisi, proses dan hasil aktivitas sains.
Akhirnya, sains pun bingung untuk menentukan awal mula asal kehidupan ini
baik alam raya maupun manusia. Berbagai teori spekulasipun dipaparkan untuk menutupi
kekurangan atau kebingungan tersebut. Demikian juga kesudahan alam ini, tidak
sedikitpun pengetahuan mereka miliki. Sehingga muncul suatu hukum bahwa benda atau
energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan, teori big bang, teori evolusi,
manusia purba dan sebagainya. Sains Barat modern, ibarat sebuah buku yang hilang
46 Seyyed Hossein Nasr, “Religion and Secularism, Their Meaning and Manifestation in Islamic History”,
dalam The Islamic Quarterly, jil. 6. No. 1 & 2, Januari-April 1961, lihat Wan Daud, Filsafat dan Praktik,
hlm. 401.
47 Ibrahim Kalin, “The Sacred versus the Secular : Nasr on Science”, dalam Lewis Edwin Hahn, The
philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 453.
48 “I Had no need of that hypothesis”, kata Laplace. Lihat Roger Hahn, “Laplace and The Mechanistic
Universe” dalam David Linberg (Ed.), God and Nature, Berkeley and Los Angeles, University of
California Press, 1986. Lihat catatan kaki no. 24 Ibrahim Kalin, “The Sacred”, hlm. 460.
17
halaman depan dan halaman belakangnya. Sains Barat modern yang mengandalkan
empirisnya ternyata juga berspekulasi tentang penciptaan dan kemusnahan alam raya ini.
Sains Barat modern hanya berbicara soal kekinian, sesuai sifat dan nama sekularisme itu
sendiri, yaitu paham yang berbicara tentang “kini” dan “di sini”.
Alam Bersifat Mekanistis
Alam raya atau kosmos digambarkan secara mekanistis (sebab-akibat) bagaikan
mesin dan jam. Alam menjadi sesuatu yang bisa ditentukan dan diprediksikan secara
mutlak -yang menggiring kepada munculnya masyarakat industri modern dan
kapitalisme. Newton adalah orang yang pertama memperkenalkan istilah hukum alam
(natural law) di mana semua kejadian di alam raya ini berjalan dengan sendirinya sesuai
dengan hukumnya. Seperti apel yang jatuh dari pohon, maka dikatakan oleh Newton ada
sebuah hukum yang mengaturnya yaitu hukum gravitasi.
Alam diibaratkan sebuah mesin atau jam yang jika sudah dinyalakan oleh
penciptanya maka mesin atau jam tersebut berjalan dengan sendirinya sampai mati.
Tuhan adalah watch maker, Sang pembuat jam. Ketika jam sudah jadi dan berjalan maka
menurut sains Barat modern, Tuhan tidak ikut serta di dalamnya.
Mengenai alam ini bersifat mekanistis sudah didiskusikan oleh para ahli sejak
dulu. Alam memang berjalan sesuai dengan hukumnya. Tetapi ternyata tidak selalu
hukum ini berjalan sesuai dengan yang sudah terjadi. Ada beberapa “penyimpangan” atau
anomali yang kadang terjadi yang tidak bisa dijelaskan oleh manusia. Maka sering kita
dengar ada istilah “faktor X” di mana manusia tidak mengetahui mengapa hukum alam
tersebut tidak terjadi.
Kritik Nasr berkaitan dengan pandangan sains Barat modern bahwa alam bersifat
mekanistis karena akidah Islam menyatakan bahwa jika Allah sudah menghendaki
sesuatu itu terjadi, sesuai atau tidak sesuai dengan hukum alam, maka terjadilah. Orang
Islam mengenal istilah “kun fayakun” yaitu jika Allah berfirman, “jadi” maka “jadilah”.
Dalam ilmu statistika, sebuah kejadian selalu dinyatakan dengan faktor error, di mana
error ini adalah suatu kemungkinan lain yang terjadi meskipun peluangnya sangat kecil.
Rasionalisme dan empirisisme.
Sasaran kritik Nasr lainnya adalah paham rasionalisme dan empirisisme yang
mendasar aktivitas sains Barat modern. Dalam Islam, rasio dan metode penelitian empiris
induktif deduktif juga dipakai. Namun, sains Barat modern tidak mengakui selain itu.
Sedangkan dalam Islam, sesuai dengn objek ontologi sains, di luar yang empiris dan
rasional ada hal lain yang bisa diterima sebagai ilmu.
Dualisme Descartes
Nasr mengkritik landasan rasionalisme dalam sains Barat modern yang
mengandaikan sebelumnya pemisahan antara res cogitans dan res extensa, antara subjek
yang mengetahui dan objek yang diketahui. Landasan ini biasa disebut dengan dualisme,
yaitu pemisahan akal sebagai substansi yang berfikir (substance that think) dan materi
sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance). Menurut Christian Wolff
misalnya "The dualists (dualistae) are those who admit the existence of both material and
18
immaterial substances," tapi wujud materi dan jiwa tepisah49. Pemisahan ini merupakan
gagasan dari Descartes di mana dia menyangsikan segala sesuatu yang tampak dan
mengandalkan ide bawaan maupun keluasaan untuk berpikir. Tujuannya agar fakta-fakta
di dunia materi (fisika) dapat dijelaskan secara matematis geometris dan mekanis.
Gagasan dualisme yang berkembang di dunia Barat modern membuat manusia
Barat dalam melihat sesuatu selalu mendua. Antara lahir dan batin terpisah. Seseorang
menjadi pelacur dengan tujuan baik untuk menafkahi keluarganya adalah hal yang sering
kita dapati. Menurut Hamid, seorang dualis bisa saja berpesan "lakukan apa saja asal
dengan niat baik". Anak muda Muslim yang terjangkiti pikiran liberal akan berkata
`jalankan syariah sesuka hatimu yang penting mencapai maqasid syariah". Kekacauan
berfikir inilah kemudian yang melahirkan istilah "penjahat yang santun", "koruptor yang
dermawan", "atheis yang baik", "Pelacur yang moralis", dan seterusnya. Mungkin akibat
ajaran dualisme pula Pak Kyai menjadi salah tingkah dan berkata "Hati saya di Mekkah,
tapi otak saya di Chicago". Dualisme akhirnya bisa menjadi perselingkuhan intelektual.
Hatinya berzikir pada Tuhan tapi fikirannya menghujat-Nya50.
Sementara dalam Islam, aktivitas raga tergantung dari jiwanya. Nabi saw.
mengatakan innamal a’malu binniat. Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dengan
demikian maka dualisme Descartes bertentangan dengan cara pandang (worldview)
Islam. Perbedaan ini yang membuat Nasr juga mengkritik landasan sains Barat modern.
Eksploitasi Alam sebagai Sumber Kekuatan dan Dominasi.
Kemajuan sains modern telah dipakai kaum kapitalis untuk mengekspoitasi alam
dan menjadikannya kekuatan ekonomi. Kritik Nasr yang keras dalam hal kerusakan
manusia dan lingkungan ini membuat Nasr dinobatkan menjadi seorang environmentalis.
Dalam bukunya Man and Nature : The Spiritual Crisis in Modern Man, A Young
Muslim’s Guide to the Modern World, Islam in The Modern World : Challenged by the
West, The Threatened by Fundamentalims, Keeping Faith with Tradition, dan lainnya
banyak menyoroti masalah krisis dan kerusakan lingkungan akibat dominasi ekonomi
dari pemanfaatan sains.
Sains Barat modern telah mengalami desakralisasi dan melepaskan nilai-nilai
spiritual, termasuk Tuhan di dalamnya. Nasr melihat selain pada sains telah terjadi pula
desakralisasi terhadap filsafat, kosmos, bahasa dan agama. Oleh karena itu Nasr menolak
sains Barat modern yang relativistik, positivistik dan rasionalistik serta menyarankan
solusi berupa tradisionalisasi sains atau sains sakral sakral (scientia sacra).
Kritik yang dilancarkan Nasr kepada sains Barat modern ini mengacu pada
pandangan filsafat sains modern secara umum dan mainstream dalam pandangan
ilmuwan modern. Tentu saja tidak semua kritikan Nasr benar dan dapat ditelan mentah-
mentah. Di dalam masing-masing poin yang dikritiknya pun tidak seluruhnya salah.
Artinya, kritik Nasr pun perlu dikritisi. Misalkan Nasr menganggap bahwa hakikat dan
ciri sains Islam itu sangat berbeda dari hakikat dan ciri sains modern.51 Sedangkan
ilmuwan lain seperti al-Attas mengatakan bahwa antara sains Islam dengan sains Barat
modern ada persamaan penting yaitu dalam masalah sumber dan metode ilmu
49 Hamid Fahmy Zarkasy, Misykat : Refleksi tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi, Jakarta, Insists,
2012, hlm. 103.
50 Ibid. hlm. 107.
51 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, hlm. 21.
19
pengetahuan, kesatuan cara mengetahui secara rasional dan empiris, kombinasi realisme,
idealisme dan pragmatisme sebagai landangan kognitif filsafat ilmu, serta dalam masalah
filsafat dan sains mengenai proses.52 Persamaan tersebut ada pada aspek eksternal sedang
dalam aspek internal memang terdapat perbedaan yang sangat tajam karena perbedaan
cara pandang dunia (worldview).
Apabila kita kupas satu persatu, meskipun Nasr mengkritik dalam sains Barat
modern tidak ada jejak Tuhan di dalamnya, namun ada beberapa ilmuwan yang justru –
menurut pengakuan mereka, menemukan Tuhan di dalamnya. Beberapa ilmuwan besar
masih teguh kepada keyakinannya terhadap Tuhan, seperti Albert Einstein, Isaac Newton,
Galileo Galilei, Francis Bacon, Johannes Kepler, Blaise Pascal, dan lain-lain.
Kritik Nasr tentang mekanisme, rasionalisme dan empirisisme terhadap sains
Barat modern juga patut dikritisi karena paham atau teori seperti itu juga terdapat dalam
Islam. Seperti alam yang mekanistik itu sendiri digambarkan Allah sebagai sunatullah
atau aturan yang Allah buat di alam raya ini. Allah membuat hukum dan keteraturan di
alam raya ini.53 Hanya saja perbedaannya, dalam pandangan sains Barat modern, kalaulah
Tuhan itu ada maka Dia tidak terlibat dalam seluruh aktivitas alam raya ini. Tuhan
setelah menciptakan alam raya ini membiarkan alam bergerak sendiri sebagaimana mesin
atau jam. Dalam worldview Islam, Allah senantiasa terlibat dalam setiap aktivitas alam
raya. Bahkan keteraturan alam yang dibuat-Nya bisa dilanggar apabila Dia menghendaki.
Seperti mukjizat hilangnya rasa panas ketika membakar Nabi Ibrahim, laut yang bisa
dibelah oleh tongkat Nabi Musa, bayi Nabi Isa yang bisa berbicara dan sebagainya.
Dalam pandangan Islam, jika Allah menghendaki dengan mengatakan “kun”, jadilah,
“fayakun” maka jadilah. Jadi, pandangan alam ini mekanistik diakui dalam Islam tapi
disertai keyakinan bahwa di luar alam ini ada kekuatan yang mampu mengendalikan dan
mengubah mekanisme tersebut, yaitu Allah Sang Maha Pencipta.
Penggunaan rasio dan pengamatan indrawi juga tidak ditolak bahkan merupakan
salah satu saluran untuk mencapai ilmu. Namun jika hanya semata-mata mengandalkan
rasio dan empirisme, apalagi dengan menganggap di luar objek fisik itu tidak ada maka
hal itu menjadi bertentangan dengan Islam. Seperti disebutkan dalam sejarah sains Islam,
para ilmuwan Islam jaman dahulu seringkali melakukan observasi dan penelitian untuk
menggali rahasia alam. Nasr sendiri menyebut al-Biruni sebagai The Master of
Observation karena observasi dan berbagai macam percobaan ilmiah yang dilakukannya.
Kritik yang dilontarkan Nasr terhadap sains Barat modern tersebut sebenarnya
masih bersifat umum. Nasr tidak terlalu menekankan pada kajian metodologis, terutama
dalam metode ilmiah seperti metode induksi-induksi, metode tajribi, metode burhani-
irfani, kecuali beberapa dalam kajian tasawufnya. Sumber atau saluran ilmu juga tidak
banyak dikupas kecuali masalah intelek. Berbeda dengan kritik Karl R. Popper terhadap
metode induksi dan gagasannya tentang falsifikasi. Popper banyak membahas tentang
metode ilmiah baik induksi maupun deduksi yang selama ini menjadi landasan sains
Barat modern, terutama dalam kajian persoalan basis empiris. Sebagai profesor dalam
bidang logika dan metode ilmiah pada Universitas London, Popper menentang pendapat
bahwa ilmu-ilmu empiris dapat dicirikan lewat fakta yang menggunakan apa yang
mereka sebut dengan “metode induktif”. Popper mengkritik pendapat bahwa logika
52 Wan Daud, Filsafat dan Praktik, hlm404.
53 Ada banyak ayat-ayat Al-Quran yang menyatakan hal itu, di antaranya dalam Al-Quran surat Yasin (36) :
36-40.
20
penemuan ilmiah akan identik dengan logika induktif, yaitu dengan analisis logis
terhadap metode induktif ini. 54
Kritik-kritik terhadap sains Barat modern meskipun ada kesamaan dengan kritik
Islam, belum tentu dikatakan bahwa sains alternatif yang ditawarkannya sesuai dengan
sains Islam. Sama halnya dengan sains Barat modern yang dipaparkan oleh al-Attas, di
antara metodologi dan filsafat ilmu terdapat beberapa bahkan banyak kesamaan, namun
pada hal-hal prinsip pada sisi internalnya terhadap perbedaan yang tajam. Kritik Nasr
terhadap sains Barat modern dan kesamaan dengan kritik-kritik lainnya menunjukkan
adanya kebutuhan terhadap sains alternatif. Dalam kerangka pembangunan peradaban
Islam yang intinya adalah membangun ilmu pengetahuan Islam55, sains alternatif
daripada sains Barat modern adalah sains Islam atau Islamisasi terhadap sains Barat
modern.
Pekayon Jaya, 7 Februari 2014
54 Kajian mengenai hal ini bisa dilihat di bukunya Karl R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah (Terjemahan
Saut Pasaribu dan Aji Sastrowardoyo), Bandung, Pustaka Pelajar, 2011.
55 Hamid Fahmy Zarkasy, “Ilmu Asas Pencerahan Peradaban”, Jurnal Islamia tahun II No. 6, Juli-
September 2005, hlm. 6.

More Related Content

What's hot

Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Ltfltf
 
Makalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan modelMakalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan modelArif Abas
 
Post modernisme & post tradisionalisme
Post modernisme & post tradisionalismePost modernisme & post tradisionalisme
Post modernisme & post tradisionalismeujaroneto
 
261048 250735 makalah uts pancasila 2 kel 6
261048 250735 makalah uts pancasila 2  kel 6261048 250735 makalah uts pancasila 2  kel 6
261048 250735 makalah uts pancasila 2 kel 6adminpancasilamanaje1
 
Arah baru metode pemikiran hukum islam
Arah baru metode pemikiran hukum islamArah baru metode pemikiran hukum islam
Arah baru metode pemikiran hukum islamRaden Aziz
 
Abdullah ahmed an naim
Abdullah ahmed an naimAbdullah ahmed an naim
Abdullah ahmed an naimNabil Rahman
 
Sejarah pemikiranlai islam
Sejarah pemikiranlai islamSejarah pemikiranlai islam
Sejarah pemikiranlai islamWati Rahmawati
 
Kebijakan pendidikan diindonesia
Kebijakan pendidikan diindonesiaKebijakan pendidikan diindonesia
Kebijakan pendidikan diindonesiaHaubibBro
 
Makalah paham ahlussunnah waljama
Makalah paham ahlussunnah waljamaMakalah paham ahlussunnah waljama
Makalah paham ahlussunnah waljamaRinoputra Stain
 
Makalah pendekatan teks studi islam
Makalah pendekatan teks studi islamMakalah pendekatan teks studi islam
Makalah pendekatan teks studi islamRifiani Zemi
 
pemikiran asing, islam liberal dan sekularisme
pemikiran asing, islam liberal dan sekularismepemikiran asing, islam liberal dan sekularisme
pemikiran asing, islam liberal dan sekularismeSalam Salleh
 
Sekularisme, pluralisme, liberalisme & ajaran2 sesat
Sekularisme, pluralisme, liberalisme & ajaran2 sesatSekularisme, pluralisme, liberalisme & ajaran2 sesat
Sekularisme, pluralisme, liberalisme & ajaran2 sesatHidayat Shafie
 
Islam sebagai sasaran studi
Islam sebagai sasaran studiIslam sebagai sasaran studi
Islam sebagai sasaran studiLBB. Mr. Q
 
Sekalirsme, Liberalilsme, Pluralisme
Sekalirsme, Liberalilsme, PluralismeSekalirsme, Liberalilsme, Pluralisme
Sekalirsme, Liberalilsme, PluralismeSuardi Al-Bukhari
 

What's hot (19)

Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Fiqh kel 6
Fiqh kel 6
 
3 93-1-pb
3 93-1-pb3 93-1-pb
3 93-1-pb
 
Makalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan modelMakalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan model
 
ISLAM LIBERAL
ISLAM LIBERALISLAM LIBERAL
ISLAM LIBERAL
 
Post modernisme & post tradisionalisme
Post modernisme & post tradisionalismePost modernisme & post tradisionalisme
Post modernisme & post tradisionalisme
 
261048 250735 makalah uts pancasila 2 kel 6
261048 250735 makalah uts pancasila 2  kel 6261048 250735 makalah uts pancasila 2  kel 6
261048 250735 makalah uts pancasila 2 kel 6
 
Arah baru metode pemikiran hukum islam
Arah baru metode pemikiran hukum islamArah baru metode pemikiran hukum islam
Arah baru metode pemikiran hukum islam
 
Abdullah ahmed an naim
Abdullah ahmed an naimAbdullah ahmed an naim
Abdullah ahmed an naim
 
Bab 3
Bab 3Bab 3
Bab 3
 
Sejarah pemikiranlai islam
Sejarah pemikiranlai islamSejarah pemikiranlai islam
Sejarah pemikiranlai islam
 
Kebijakan pendidikan diindonesia
Kebijakan pendidikan diindonesiaKebijakan pendidikan diindonesia
Kebijakan pendidikan diindonesia
 
Ilmu kalam
Ilmu kalamIlmu kalam
Ilmu kalam
 
Makalah paham ahlussunnah waljama
Makalah paham ahlussunnah waljamaMakalah paham ahlussunnah waljama
Makalah paham ahlussunnah waljama
 
Pengantar studi islam Komprehensif
Pengantar studi islam KomprehensifPengantar studi islam Komprehensif
Pengantar studi islam Komprehensif
 
Makalah pendekatan teks studi islam
Makalah pendekatan teks studi islamMakalah pendekatan teks studi islam
Makalah pendekatan teks studi islam
 
pemikiran asing, islam liberal dan sekularisme
pemikiran asing, islam liberal dan sekularismepemikiran asing, islam liberal dan sekularisme
pemikiran asing, islam liberal dan sekularisme
 
Sekularisme, pluralisme, liberalisme & ajaran2 sesat
Sekularisme, pluralisme, liberalisme & ajaran2 sesatSekularisme, pluralisme, liberalisme & ajaran2 sesat
Sekularisme, pluralisme, liberalisme & ajaran2 sesat
 
Islam sebagai sasaran studi
Islam sebagai sasaran studiIslam sebagai sasaran studi
Islam sebagai sasaran studi
 
Sekalirsme, Liberalilsme, Pluralisme
Sekalirsme, Liberalilsme, PluralismeSekalirsme, Liberalilsme, Pluralisme
Sekalirsme, Liberalilsme, Pluralisme
 

Similar to Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)

Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaFilsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaAinina Sa'id
 
FKI Wahyu Thoha Ichsan(2205056042).pdf
FKI Wahyu Thoha Ichsan(2205056042).pdfFKI Wahyu Thoha Ichsan(2205056042).pdf
FKI Wahyu Thoha Ichsan(2205056042).pdfWahyuThoha
 
Filsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
Filsafat Modern dan Pembahasan PendidikanFilsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
Filsafat Modern dan Pembahasan PendidikanAna Safrida
 
Asal usul orientalisme
Asal usul orientalismeAsal usul orientalisme
Asal usul orientalismeDedy Irawan
 
pdf_20220827_032619_0000.pdf
pdf_20220827_032619_0000.pdfpdf_20220827_032619_0000.pdf
pdf_20220827_032619_0000.pdfMahathirAli1
 
Sains dan Islam
Sains dan IslamSains dan Islam
Sains dan Islamzarkashie
 
SosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptx
SosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptxSosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptx
SosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptxRazkyAhmad
 
LEMBAR KERJA MAHASISWA _sejarah sains_copy (1).pdf
LEMBAR KERJA MAHASISWA _sejarah sains_copy (1).pdfLEMBAR KERJA MAHASISWA _sejarah sains_copy (1).pdf
LEMBAR KERJA MAHASISWA _sejarah sains_copy (1).pdfRiyamaraAulia
 
14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf
14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf
14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdfAhmadIlhamRiwaldi
 
Writing History Thesis by Slidesgo(1).pptx
Writing History Thesis by Slidesgo(1).pptxWriting History Thesis by Slidesgo(1).pptx
Writing History Thesis by Slidesgo(1).pptxAnastasyaRumapea
 

Similar to Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr) (20)

Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaFilsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
 
Ayu iad
Ayu iadAyu iad
Ayu iad
 
Kel 8
Kel 8Kel 8
Kel 8
 
Pss tutor (2)
Pss tutor (2)Pss tutor (2)
Pss tutor (2)
 
FKI Wahyu Thoha Ichsan(2205056042).pdf
FKI Wahyu Thoha Ichsan(2205056042).pdfFKI Wahyu Thoha Ichsan(2205056042).pdf
FKI Wahyu Thoha Ichsan(2205056042).pdf
 
Ayu iad emerald
Ayu iad emeraldAyu iad emerald
Ayu iad emerald
 
Filsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
Filsafat Modern dan Pembahasan PendidikanFilsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
Filsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
 
Filsafat pendidikan
Filsafat pendidikanFilsafat pendidikan
Filsafat pendidikan
 
22B_121_INDAH QORY P..pptx
22B_121_INDAH QORY P..pptx22B_121_INDAH QORY P..pptx
22B_121_INDAH QORY P..pptx
 
Asal usul orientalisme
Asal usul orientalismeAsal usul orientalisme
Asal usul orientalisme
 
pdf_20220827_032619_0000.pdf
pdf_20220827_032619_0000.pdfpdf_20220827_032619_0000.pdf
pdf_20220827_032619_0000.pdf
 
Sains dan Islam
Sains dan IslamSains dan Islam
Sains dan Islam
 
Studiislam 161209154000
Studiislam 161209154000Studiislam 161209154000
Studiislam 161209154000
 
Makalahku filsafat modern
Makalahku filsafat modernMakalahku filsafat modern
Makalahku filsafat modern
 
SosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptx
SosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptxSosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptx
SosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptx
 
Filsafat manusia
Filsafat manusiaFilsafat manusia
Filsafat manusia
 
LEMBAR KERJA MAHASISWA _sejarah sains_copy (1).pdf
LEMBAR KERJA MAHASISWA _sejarah sains_copy (1).pdfLEMBAR KERJA MAHASISWA _sejarah sains_copy (1).pdf
LEMBAR KERJA MAHASISWA _sejarah sains_copy (1).pdf
 
14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf
14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf
14. Buku Studi Islam Interdisipliner - Editor 2015.pdf
 
Sekularisasi Agama
Sekularisasi AgamaSekularisasi Agama
Sekularisasi Agama
 
Writing History Thesis by Slidesgo(1).pptx
Writing History Thesis by Slidesgo(1).pptxWriting History Thesis by Slidesgo(1).pptx
Writing History Thesis by Slidesgo(1).pptx
 

More from Edi Awaludin

Diktat rehab hati 2016
Diktat rehab hati 2016Diktat rehab hati 2016
Diktat rehab hati 2016Edi Awaludin
 
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wpEbook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wpEdi Awaludin
 
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)Edi Awaludin
 
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)Edi Awaludin
 
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)Edi Awaludin
 
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)Edi Awaludin
 
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)Edi Awaludin
 
Ensiklopedia jual beli dalam islam
Ensiklopedia jual beli dalam islamEnsiklopedia jual beli dalam islam
Ensiklopedia jual beli dalam islamEdi Awaludin
 
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islamKompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islamEdi Awaludin
 
Ayat ayat ruqyah plus
Ayat ayat ruqyah plusAyat ayat ruqyah plus
Ayat ayat ruqyah plusEdi Awaludin
 
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]Edi Awaludin
 
Islamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islamIslamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islamEdi Awaludin
 
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradabPendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradabEdi Awaludin
 
Konsep ilmu dalam islam
Konsep ilmu dalam islamKonsep ilmu dalam islam
Konsep ilmu dalam islamEdi Awaludin
 
Jatuh bangunnya peradaban
Jatuh bangunnya peradabanJatuh bangunnya peradaban
Jatuh bangunnya peradabanEdi Awaludin
 
Demokrasi sejarah makna dan respon muslim
Demokrasi  sejarah makna dan respon muslimDemokrasi  sejarah makna dan respon muslim
Demokrasi sejarah makna dan respon muslimEdi Awaludin
 
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukup
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukupPendidikan karakter penting tapi tidak cukup
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukupEdi Awaludin
 
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan NusantaraBulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan NusantaraEdi Awaludin
 
Bulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ari
Bulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ariBulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ari
Bulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ariEdi Awaludin
 

More from Edi Awaludin (20)

Diktat rehab hati 2016
Diktat rehab hati 2016Diktat rehab hati 2016
Diktat rehab hati 2016
 
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wpEbook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
 
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
 
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
 
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)
 
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)
 
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
 
Ensiklopedia jual beli dalam islam
Ensiklopedia jual beli dalam islamEnsiklopedia jual beli dalam islam
Ensiklopedia jual beli dalam islam
 
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islamKompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
 
Ayat ayat ruqyah plus
Ayat ayat ruqyah plusAyat ayat ruqyah plus
Ayat ayat ruqyah plus
 
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
 
Islamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islamIslamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islam
 
Ayat ayat syifa
Ayat ayat syifaAyat ayat syifa
Ayat ayat syifa
 
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradabPendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
 
Konsep ilmu dalam islam
Konsep ilmu dalam islamKonsep ilmu dalam islam
Konsep ilmu dalam islam
 
Jatuh bangunnya peradaban
Jatuh bangunnya peradabanJatuh bangunnya peradaban
Jatuh bangunnya peradaban
 
Demokrasi sejarah makna dan respon muslim
Demokrasi  sejarah makna dan respon muslimDemokrasi  sejarah makna dan respon muslim
Demokrasi sejarah makna dan respon muslim
 
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukup
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukupPendidikan karakter penting tapi tidak cukup
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukup
 
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan NusantaraBulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
 
Bulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ari
Bulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ariBulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ari
Bulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ari
 

Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)

  • 1. Kritik Terhadap Sains Barat Modern Perspektif Seyyed Hossein Nasr1 Oleh : Dr. Budi Handrianto, SSi., MPd.I.2 Bismillahirrahmaanirrahiim Pengantar Setelah dunia Barat3 keluar dari abad kegelapan (dark ages), kemudian terjadi Revolusi Sains (1500-1700) dan masa Renaisans (Renaissaince), mereka mengambil alih kepemimpinan intelektual khususnya di bidang sains. Peradaban Barat maju dengan pesat di segala bidang terutama setelah berkembangnya ilmu pengetahuan dan sains terapan (teknologi) di sana. Memasuki abad ke-20 perkembangan sains dan teknologi makin pesat dikarenakan dunia diwarnai dengan berbagai peperangan. Setelah perang dingin usai, Barat mengembangkan paradigma baru perang yaitu perang melawan terorisme, yang tidak kalah dahsyat kerusakannya dari perang-perang sebelumnya. Kondisi tersebut mendorong masing-masing negara Barat mengembangkan sains dan teknologinya. Memasuki abad ke-21, Peradaban Barat makin mengukuhkan diri menjadi penguasa dunia dengan sains dan teknologi sebagai panglima. Kemajuan ilmu di segala bidang di Barat (termasuk di dalamnya Jepang dan Korea), baik ilmu-ilmu alam (fisika, kima, biologi/kedokteran, matematika, astronomi dan lainnya) maupun ilmu-ilmu sosial/humaniora, baik ilmu-ilmu teoritis maupun ilmu-ilmu praktis, menjadi standar bagi dunia saat ini. Kemajuan di bidang teknologi elektronika, kedokteran, nuklir, teknologi nano, dan sebagainya membuat Barat menjadi negara adi daya dan ”menguasai” bangsa-bangsa lain di dunia. Saat ini teknologi telekomunikasi terutama internet dengan perusahaan globalnya membuat Barat merajai dunia dan menjadi kiblat bagi kemajuan dunia, khususnya di bidang sains dan teknologi. Namun demikian meskipun telah menghasilkan teknologi tinggi dan canggih yang bermanfaat bagi manusia, sains Barat modern telah melahirkan pula bencana, baik kepada kemanusiaan, alam dan etika. Kerusakan akibat sains dan teknologi Barat yang dihasilkan dari peradaban Barat jarang sekali disadari oleh manusia kebanyakan. Bahkan para pakar pun –karena terbuai dengan kemajuan tersebut, merasa kemajuan inilah yang terbaik yang dilakukan manusia di muka bumi selama ini. Padahal, tidak sedikit 1 Disampaikan dalam Diskusi Dwipekanan Insists,8 Februari 2014. 2 Peneliti Insists bidang Sains Islam. 3 Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, istilah “Barat” tidak merujuk pada suatu tempat atau bangsa, meskipun tempat dan bangsa terlibat di dalamnya. Akan tetapi Barat sesungguhnya lebih tepat dipahami sebagai suatu pandangan alam (worldview), yakni pandangan tentang hakikat semesta yang timbul dalam jangka lebih dari dua ribu tahun secara evolusi. Alam pikiran Barat merupakan suatu paduan tradisi kesejarahan Yahudi-Kristen dengan tradisi kebudayaan Yunani-Romawi. Lebih jelas mengenai pandangan alam Barat silakan lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Pulau Penang, Malaysia, Universiti Sains Malaysia, 2007, hlm. vii.
  • 2. 2 kerusakan yang ditimbulkan oleh sains dan teknologi modern Barat. Paling tidak, pada kerusakan tersebut, sains dan teknologi Barat mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. Akan tetapi suara-suara kritikan terhadap kemajuan sains dan teknologi Barat terdengar minor dan kadang -kalaupun terdengar sering dipandang sinis bahkan dilecehkan. Hal itu tidak menyurutkan mereka melakukan kritik dan membongkar efek- efek negatif sains dan teknologi. Daftar dampak hitam ilmu pengetahuan dan teknologi Barat yang berkembang saat ini masih terus bertambah. Masyarakat luas memang tengah terpana dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan Barat. Namun sedikit sekali yang merasakan dampak negatifnya. Dunia di ambang kehancuran baik fisik maupun moral apabila perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini tidak dievaluasi dan dilakuan re-orientasi. Implementasi sains Barat modern dan pengembangan teknologi terapan baik makro maupun mikro menjadi tidak manusiawi lagi. Hal ini dikarenakan landasan filosofis epistemologis yang mendasari berdirinya sains Barat. Mengutip C. Verhaak, Francis Bacon memberikan pengaruh pemikiran bahwa sains dapat dikatakan bermakna bila ia dapat meningkatkan kekuasaan manusia, baik atas alam maupun sesama.4 Sains baru disebut berguna apabila menguntungkan manusia, tanpa peduli efek negatif yang dihasilkannya. Kondisi Sains Barat yang seperti ini tidak mengherankan karena Sains Barat yang dikembangkan ini dibentuk dari acuan pemikiran filsafat Barat yang dituangkan dalam pemikiran yang paling berpengaruh yaitu sekularisme, utilitarianisme dan materialisme. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran dan makna ilmu itu sendiri.5 Kerusakan ilmu pengetahuan dan sains karena landasan filosofisnya tersebut mendapatkan kritik banyak pihak, baik ilmuwan muslim maupun ilmuwan Barat itu sendiri. Nama-nama yang populer dalam pembahasan Filsafat Ilmu yang mengkritik paradigma sains Barat modern, terutama kritik terhadap paham positivisme adalah Karl R. Popper, para filosof Mazhab Frankfurt, Paul Feyerabend, Withehead, Paul Illich, Thomas Kuhn, dan lainnya. Mereka berpendapat bahwa ilmu atau sains Barat itu sarat dengan nilai-nilai ideologis yang tersembunyi yang mempunyai maksud tersendiri ketika seseorang mempelajarinya. Maksud yang tidak terkendali itulah yang menyebabkan manusia menjadi mahluk yang tidak lagi mengelola alam, tapi justru mengeksploitasi dan merusaknya. Dari kalangan ilmuwan muslim kritik terhadap sains tidak kurang gencarnya. Nama-nama seperti Seyyed Hossein Nasr, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Ismail Raji Al-Faruqi, Ziauddin Sardar, dan lain-lain adalah ilmuwan Islam kontemporer yang keras mengkritik sains Barat dan menyerukan Islamisasi sains. Mereka secara senada mengatakan bahwa sains yang berkembang di Barat dan di dunia muslim saat ini tidak bebas nilai (value free), tapi sarat dengan nilai (value ladden) yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam paham sekularisme, materialisme, rasionalisme, empirisisme, idealisme dan positivisme. Nilai-nilai yang terkandung dalam paham tersebut telah jauh dari nilai-nilai spiritual dan agama. Karena tidak ada tolok ukur kebenaran agama di sana 4 C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991. Hal. 182. 5 Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemper : Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan”, Jurnal Islamia, Vol. II No. 6/Juli-September 2005.
  • 3. 3 maka aspek aksiologis sains menjadi tidak terkendali dan sekedar menjadi pemuasan hawa nafsu maupun kepentingan ekonomi kapitalis. Para ilmuwan muslim tersebut, selain melakukan kritik keras terhadap sains Barat modern, juga membangun konsep kembali mengenai sains Islam. Mereka melakukan islamisasi sains Barat dan merujuk kembali kepada kejayaan sains Islam di masa lampau. Di antara keempat ilmuwan muslim kontemporer yang disebut di atas, yang keras mengkritik Barat dan menyodorkan solusi “sains Islam” adalah Seyyed Hossein Nasr. Nasr adalah ilmuwan muslim yang saat ini di antara sedikit ilmuwan yang otoritatif di bidangnya. Nasr adalah guru besar bidang studi Islam di Georges Washington University di Washington DC, Amerika Serikat. Ilmuwan kelahiran Teheran, Iran tahun 1933 itu lulus S1 di bidang fisika pada universitas yang sangat prestisius di bidang sains yaitu MIT (Massachussets Institute of Technology). Gelar magister didapatkan di bidang geologi dan geofisika di Harvard. Sedangkan gelar doktornya diperoleh pada tahun 1958 dalam usia yang relatif muda yaitu 25 tahun, dalam bidang filsafat dan sejarah sains dengan spesifikasi filsafat sains Islam di Harvard University, sebuah universitas terbaik di dunia saat ini. Dengan gelar akademik dan spesialisasi tersebut memberikan academic credential kepada Nasr untuk menjadi ilmuwan yang kredibel dan otoritatif mengkritik Barat. Kehidupan Nasr di masa kecil hingga dewasa di dunia Islam (Teheran-Iran) yang tumbuh di dalam lingkungan intelektual Islam Syiah, ditambah berguru pada ulama- ulama Syiah setelah selesai belajar di AS, juga telah memberikan otorisasi padanya untuk mengkritik Barat dari sudut pandang Islam. Dengan karya tulisnya berupa lebih dari 50 buku dan 500 artikel6, belum termasuk ceramah, seminar, interview dan sebagainya, Nasr termasuk yang paling lantang mengkritik Barat modern. Buku Nasr berjudul Islam in The Modern World : Challanged by The West, Threatened by Fundamentalism, Traditional Islam in the Modern World, Man and Nature : The Spiritual Crisis in Modern Man, The Need for a Sacred Science, Religion and The Order of Nature, Islam and the Plight of Modern Man, Living Sufism, The Heart of Islam : Enduring Values for Humanity, dan A Young Muslim’s Guide to the Modern World adalah di antara buku-buku yang mengkritik Barat dan mengkritisi krisis lingkungan yang tengah berlangsung di dunia modern. Sejarah Sains Barat Modern Sains Barat modern adalah sains yang menganggap satu-satunya realitas adalah segala sesuatu yang dapat diindra. Dalam sistem ini, ilmu dianggap absah hanya jika ia terkait dengan tatanan perisitwa-peritswa fisik alam kejadian serta hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, tujuan penelitan di dalam sains adalah untuk menggambarkan dan mensistematisasikan apa yang terjadi di alam, termasuk objek-objek dan kejadian-kejadian di dalamnya. Sementara itu alam semesta menurut sains Barat dikosongkan dari unsur-unsur ruhani sehingga sains Barat menjadi sekuler dan akhirnya anti-Tuhan. 6 Sampai tahun 2000, Nasr sudah menulis 60 buku dan 504 artikel, belum termasuk terjemahan ke berbagai bahasa. Lihat Bibliography of The Writings of Seyyed Hossein Nasr yang dikompilasi oleh Mehdi Amintazavi, Zailan Moris dan Ibrahim Kalin dengan Editor Lucian W. Stone, Jr dalam Lewis Edwin Hahn, Randall E. Auxier dan Lucian W. Stone, The Philoshophy of Seyyed Hossein Nasr, Illinois, Open Court Publishing Company, 2001, hlm. 831-964.
  • 4. 4 Mengapa sains Barat modern bisa menjadi sekular dan ateis? Untuk mempermudah memahami hal tersebut maka kita bisa melihat perkembangan sains Barat modern dari faktor sejarah dan keterkaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya, terutama sejak abad ke-16 hingga abad ke-20. Sejarah sains Barat yang dihadirkan dalam pembahasan ini merujuk pada perkembangan filsafat sains, bukan semata-mata perkembangan penemuan-penemuan di bidang disiplin, sebagaimana sejarah sains Islam. Hal ini dikarenakan objek yang akan diteliti dan dikritisi bukan soal penemuan sains Barat modern, tapi pada unsur-unsur filosofinya. Dengan demikian, nama-nama yang hadir dalam bahasan ini lebih pada ilmuwan filosof daripada ilmuwan saintis. Barat atau kala itu diwakili oleh gereja, yang sebelumnya sangat terikat dengan nilai-nilai kristiani dan memegang teguh ajaran agama berangsur-angsur menjadi liberal dan sekuler. Paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan akhirnya Barat menjadi sekular- liberal. Adian Husaini menyebutkan tiga faktor yang menjadi latar belakang Barat menjadi demikian dan kemudian mengglobalkan pandangan hidup dan nilai-nilainya ke seluruh dunia, termasuk ke dunia Islam, pertama trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama Kristen di jaman pertengahan. Kedua problema keaslian teks bible dan ketiga problema teologis Kristen.7 Pada abad pertengahan, masyarakat Barat didominasi oleh gereja yang bersifat intoleran terhadap ide-ide yang berkembang di luar gereja. Ilmu pengetahuan tidak berkembang saat itu karena semua sendi-sendi kehidupan diatur oleh gereja secara dogmatis. Lalu muncullah masa Renaisans di mana kaum cendekiawan mulai bangkit dan membebaskan diri dari gereja. Kebenaran tidak lagi bersumber dari teks-teks suci, melainkan pada langkah-langkah metodis berupa mengamatan empiris dan perumusan hipotesa.8 Pada masa Renaisans inilah kebebasan dalam segala bidang berkembang. Manusia yang sebelumnya merupakan objek dalam lingkup anggota alam semesta menjadi subjek yang menentukan. Ungkapan bahwa manusia adalah tuhan dan Tuhan adalah manusia merupakan manifestasi dari kebebasan manusia itu sendiri. Manusia bebas menentukan tuhannya dan –dalam teologi Kristen Tuhan adalah manusia, yaitu Yesus yang manusia dianggap sebagai anak tuhan. Selain bebas menentukan tuhannya, manusia juga bebas menetapkan mana-mana nilai (value) yang dianggapnya baik dan mana-mana yang dianggap buruk. Akhyar dan Donny menyebut era manusia sebagai subjek kehidupan sebagai “antroposentrisme periode modern”.9 Dengan subjektivitas manusia Barat era ini maka manusia menetapkan standar- standar dalam kehidupan, di luar atau bahkan menyimpang dari standar yang ditetapkan gereja kala itu. Di bidang pemerintahan, kekuasaan merupa kontrak sosial (De Contract Social) antara pemimpin dengan rakyatnya, pemimpin bukan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Filsafat sains rasional yang berkembangpun menggantikan filsafat teologi yang sangat doktrinal dari teks-teks kitab suci. Menurut Akhyar dan Donny, filsafat sains 7 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Depok, Gema Insani Press, 2005, hlm. 28. 8 Akhyar Yusuf Lubis dan Donny Gahral Adian, Pengantar FIlsafat Ilmu Pengetahuan : Dari David Hume Sampai Thomas Kuhn, Jakarta, Koekoesan, 2011, hlm. 39. 9 Ibid. hlm. 40.
  • 5. 5 di Barat kala itu didominasi oleh dua aliran yang berkembang di dua wilayah yang berbeda dengan ciri khas masing-masing, yaitu aliran rasionalisme berkembang di Eropa daratan dan aliran empirisisme yang berkembang di daratan Inggris. Rasionalisme adalah paham yang menekankan pikiran (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan dan pemegang otoritas terakhir dalam penentu kebenaran. Pengetahuan diperoleh tanpa melalui pengalaman indrawi tapi dengan cara deduktif. Pengalaman indrawi (empiris) justru dicurigai karena selalu berubah-ubah seperti lilin yang terbakar mencair dan berubah bentuk atau tanaman yang bermula benih menjadi tumbuh dan layu (mati) atau pensil yang dimasukkan ke air dalam gelas menjadi bengkok dan sebagainya.10 Bermula dari seorang filosof Barat bernama Rene Descartes (1596-1650) yang bergelar Bapak Filsafat Modern mengemukakan sebuah diktum yang terkenal sampai saat ini yaitu cogito ergo sum, yang artinya “aku berfikir maka aku ada”. Descartes tidak saja mengukur suatu kebenaran dengan rasio, tapi mengakui eksistensi seseorang hanya mereka yang menggunakan rasio sebagai asas tingkah lakunya. Descartes adalah filosof Perancis yang meletakkan dasar-dasar rasionalisme bagi ilmuwan Barat yang berkembang di masa-masa berikutnya. Sebelumnya, dia belajar pada para pastur dan menemukan keraguan di dalam filsafat teologi karena otoritas gereja selalu menjadi tolok ukur suatu kebenaran tanpa memberikan ruang sedikitpun pada rasio. Descartes adalah orang yang pertama meletakkan dasar metode keraguan untuk memperoleh pengetahuan (dubium methodicum) yang sampai sekarang dianut para ilmuwan. 11 Menurut Descartes, segala sesuatu yang bisa disangsikan wajib disangsikan karena sesuatu yang selama ini diterima indra secara empiris bisa jadi sebuah mimpi atau khayalan saja. Dengan penyangkalan tersebut mulailah proses berpikir rasio sehingga kebenaran yang dicapai tidak disangsikan lagi. Karena penampakan dari luar tidak dapat dipercaya maka seseorang mesti mencari kebenaran-kebenaran di dalam dirinya sendiri yang bersifat pasti. Sesuatu yang di dalam diri manusia merupakan ide-ide bawaan dari lahir yang sifatnya pasti, murni dan bebas dari kontaminasi unsur-unsur indrawi. Ide-ide bawaan tersebut adalah ide tentang diri yang berkesadaran (res cogitans), ide tentang materi yang berkeluasan (res extensa) dan ide tentang wujud yang sempurna (Tuhan).12 Descartes menyebut pikiran sebagai ide bawaan yang sudah melekat sejak lahir. Menurutnya, aku ini bukan hanya pikiran, tapi juga sesuatu yang bisa diraba dan dilihat. Jasmaniku merupakan kesan yang menipu, tapi kesan itu ada sejak lahir menunjukkan kejasmanian merupakan ide bawaan. Descartes juga mengatakan bahwa Allah juga merupakan ide bawaan.13 Sebagai ilmuwan pelopor kebebasan berpikir, Descartes “belum berani” menghapus peran Tuhan dalam kehidupan. Dia masih menyelaraskan antara iman dan akal. Sebuah pertanyaan darinya muncul, “Bagaimana ide tentang Tuhan sebagai tidak terbatas dapat dihasilkan oleh manusia yang terbatas?” Jawabannya, “Jelas, Tuhanlah yang meletakkan ide tentang diri-Nya di benak manusia, karena kalau tidak, keberadaan 10 Ibid. hlm. 41. 11 Ibid, hlm. 43. 12 Ibid. hlm. 44. 13 F. Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, hlm. 35
  • 6. 6 ide tersebut tidak bisa dijelaskan.14 Kaum rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide tentang keberadaan Tuhan dengan asumsi bahwa Tuhan yang menciptakan akal kita adalah juga Tuhan yang menciptakan dunia.15 Inti ide rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes, Voltaire, Diderot, D’Alambert, Leibniz, Christian Wolff, Blasise Pascal, Baruch de Spinoza dan lain-lain adalah bahwa kebenaran tentang alam semesta diyakini tidak berasal dari pengalaman empiris, melainkan dari pikiran yang menghasilkan ide-ide yang jelas. Ide tentang kebebasan berpikir yang berseberangan dengan ide rasionalisme adalah empirisisme. Penganut paham empirisisme berpendapat bahwa pengalaman, terutama panca indra merupakan sumber pengetahuan manusia dan tolok ukur kebenaran. Dengan demikian mereka menggunakan pengamatan, penelitian dan metode induktif lain untuk mendapatkan pengetahuan dan kebenaran. Pengalaman indrawi adalah satu- satunya sumber dan penjamin kebenaran pengetahuan. Ada beberapa aliran empirisisme. Empirisisme atomistik yang muncul pada abad ke-17 adalah paham yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah kumpulan informasi yang terpisah-pisah. Tidak ada hubungan antara satu informasi dengan informasi yang lain. Ada juga empirisisme logis atau positivisme logis yang berpendapat bahwa sumber kebenaran hanyalah pengalaman yang dapat diamati dan bahasa sebagai gambaran kenyataan. Pandangan empirisisme logis ini ditentang oleh kaum pragmatis yang mengusung ide empirisisme radikal. Menurut mereka, yang dimaksud pengalaman adalah seluruh kejadian yang berasal dari berbagai jenis peristiwa yang dialami manusia sebagai mahluk yang bertubuh baik jasmani maupun ruhani. Di antara yang ditentang kaum empirisisme terhadap kaum rasionalisme adalah ide bawaan dalam diri manusia, yang menurut mereka tidak ada. Karena manusia lahir – menurut kaum empirisisme bagaikan kertas kosong yang tidak membawa ide apa-apa. Kertas kosong inilah yang kemudian diisi dengan pengalaman-pengalaman empiris sehingga menjadi satu ide yang menyatu dengan dirinya. Penolakan yang keras terhadap ide bawaan ini dikemukakan oleh John Locke (1632-1704). Kalaupun ada ide bawaan, kata Locke, itu diperoleh dari rangkaian pengalaman-pengalaman yang dialaminya. Ide manusia pada dasarnya terbagi dua, yaitu ide sederhana yang merupakan pengalaman langsung indrawi (misal : api itu panas) dan ide kompleks yang merupakan refleksi dari ide-ide sederhana yang membentuk pengetahuan (misal : air kalau dipanaskan menguap). Locke merumuskan hubungan antara akal manusia dan dunia luar. Pertanyaannya, apakah ide dalam akal merepresentasikan kenyataan yang sesungguhnya? Bagi Locke, ada dualisme kualitas benda yaitu kualitas primer (kepadatan, ukuran keluasan, gerak, diam, angka dan semuanya yang mutlak dan tidak terpengaruh persepsi manusia) dan kualitas sekunder (warna, rasa, bunyi, bau yang sifat relatif ketika diindra). 16 Selain John Locke, tokoh-tokoh empirisisme adalah Thomas Hobbes (1588-1679), David Hume (1711-1776), dan George Berkeley (1685-1753). Ide Locke mengenai adanya korespondensi antara pengetahuan manusia dan dunia luar mendapatkan pertentangan dari David Hume. Hume merasa prihatin bahwa metafisika tradisional bercampur dogma- 14 Akhyar Yusuf Lubis dan Donny Gahral Adian, Pengantar FIlsafat Ilmu, hlm. 45. 15 Ibid. hlm. 45. 16 Ibid. Hlm. 47.
  • 7. 7 dogma Katolik, jargon-jargon politis dan takhayul rakyat. Karena itu Hume ingin membersihkan filsafat dari simbol-simbol religius dan metafisis (sekularisasi).17 Hume dikenal sebagai ilmuwan berpaham empirisisme yang sangat ekstrim. Dia melawan paham rasionalistis tentang ide bawaan. Hume juga menyerang pemikiran religius keagamaan yang percaya bahwa Tuhan membiarkan alam berjalan mekanistis. Dalam hal ini Hume melawan ide kausalitas.18 Menurut Hume, pengetahuan faktual harus didasarkan pada fakta, bukan sekedar relasi ide. Pikiran tidak bisa memastikan kebenaran pengetahuan faktual tanpa merujuk pada dunia luar. Seperti kebenaran “hari ini akan hujan” atau “hari ini tidak akan hujan” harus dipastikan melalui pengamatan. Hume menjadi terkenal karena kritiknya yang keras terhadap ide lama bahwa pikiran manusia mampu menjangkau alam semesta yang hakiki karena tidak bisa dipastikan dengan pengalaman yang faktual. Menurut Bertrand Russel dalam History of Western Philosophy (1972), menjatuhkan argumen Hume yang mengkritik ide tersebut, menjadi obsesi para filosof pembela tradisi filsafat tersebut.19 Paham empirisisme ini menjadi bertolak belakang dengan paham rasionalisme dan sedikit demi sedikit menghilangkan unsur spiritual (Tuhan) dalam gambaran dunia. Benda dan ide di dunia ini dipersempit dengan fakta indrawi saja karena itulah kebenaran. Sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta indrawi atau pengamatan empiris, tidak diterima sebagai kebenaran. Adalah Imannuel Kant (1724-1804) yang mendamaikan kedua paham pengetahuan di atas. Kant, yang awalnya berpaham rasionalisme, merasa terusik dengan pendapat Hume. Kant berkata, “I freely admit that remembance of David Hume was the very thing that many years first interrupted my dogmatic slumber and gave a completely different direction to my researches in the field of speculative philosophy.” (aku mengakui bahwa ingatanku pada Hume-lah yang bertahun-tahun mengganggu kamar tidur dogmatisku dan memberi arah yang benar-benar baru dalam penelitianku dalam bidang filsafat spekulatif).20 Kant dianggap sebagai peletak dasar paham idealisme. Seperti Hume, Kant menganggap ide-ide metafisika seperti kausalitas, substansi diri dan Tuhan memang tidak bisa diasalkan pada kesan-kesan indrawi. Namun, Kant tidak berhenti pada halte pemberhentian tempat Hume berteduh, melainkan tetap mempertanyakan bagaimana metafisika sebagai pengetahuan apriori dimungkinkan.21 Kant menolak Hume bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Ia menunjukkan bahwa ada keputusan sintetik apriori seperti yang ditemukan dalam disiplin etika, fisika, metafisika dan matematika. Keputusan tentang sebab-akibat memang tidak ditemukan dalam pengalaman manusia, tapi hal tersebut bukan sekedar kebiasaan manusia. Dalam relasi hubungan sebab akibat, kita merasakan adanya universalitas, yaitu berlaku pada semua perubahan dan bukan satu atau beberapa perubahan saja. Selain itu kita juga merasakan adanya keniscayaan bahwa setiap perubahan memiliki sebab.22 17 F. Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, hlm. 75 18 Ibid. hlm. 76. 19 Akhyar Yusuf Lubis dan Donny Gahral Adian, Pengantar FIlsafat Ilmu, hlm 50. 20 Ibid. hlm. 51. 21 Ibid, hlm. 52. 22 Ibid. hlm. 54.
  • 8. 8 Paham idealisme yang dikembangkan Kant ini menolak klaim metafisika atas pengetahuan tentang semesta di balik penampakan. Metafisika yang sebelumnya bersifat dogmatis karena mengklaim pengetahuan tentang objek sebagaimana adanya, tanpa melakukan kritik pendahuluan terhadap kemampuan yang dimilikinya. Akhirnya Kant mengembangkan filsafat transendental yang menyelidiki cara akal manusia memahami objek di dalamnya. Ide Kant ini membawa pengaruh pada filosof lain, di antaranya Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) yang melahirkan filsafat dialektika Hegel tesis-antitesis. Intinya adalah pengetahuan itu selalu berproses. Tahap yang sudah dicapai, disangkal atau didebat untuk melahirkan tahap baru. Sebuah tesis dibuat antitesisnya untuk melahirkan sintesis. Jika yang menyangkal (antitesis) kalah kuat dengan yang disangkal (tesis) maka tesis tersebut tetap dipertahankan dan menjadi sintesis. Selain itu ada Fichte (1762-1814), Scheilling (1775-1854) dan Schopenhauer (1788-1860) yang ikut mengembangkan paham idealisme. Ide ini kemudian melahirkan paham positivisme dan materialisme yang berujung pada ateisme yang diusung oleh, di antaranya Ludwig Feurbach (1804-1872) yang berpendapat bahwa prinsip filsafat paling tinggi adalah manusia, bukan Tuhan. Juga tokoh ateis yang melahirkan paham komunis yaitu Karl Marx (1818-1883), ia berpendapat bahwa agama adalah ’keluhan mahluk yang tertekan”. Agama adalah candu. Agama adalah faktor sekunder, faktor primernya adalah ekonomi.23 Ironisnya, Karl Marx hidup dan meninggal dalam kemelaratan. Selain Karl Marx, ilmuwan Barat sekular yang membawa pengaruh luas dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Charles Robert Darwin (m. 1882). Ia menulis sebuah buku yang berjudul The Origin of Species (asal usul spesies) di mana dinyatakan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Mahluk hidup bisa hidup dan bertahan karena faktor adaptasi pada lingkungan (adaptation to the environment). Mereka yang mampu beradaptasilah yang akan bertahan di muka bumi (survival for the fittest). Ide empirisisme kembali berpengaruh ketika muncul paham positivisme. Positivisme dikemukakan pertama kali oleh ilmuwan Perancis Henry Saint Simon (1760- 1825) dan dikembangkan oleh muridnya yang bernama Auguste Comte (1789-1857). Henrylah yang pertama kali menggunakan istilah positivisme namun Comte yang mempopulerkannya sehingga Comte lebih dikenal sebagai pendiri madzab positivisme. Ia pulalah yang dijuluki Bapak sosiologi karena dia yang pertama memperkenalkan istilah tersebut. Positivisme mengembangkan paham empirisisme yang lebih ekstrim dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu positif atau sains yang berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara ketat.24 Dengan demikian, positivisme mengistirahatkan filsafat dari kerja spekulatifnya mencari-cari hakikat ontologis maupun metafisis yang telah dijalani selama ribuan tahun. Penganut positivisme yakin bahwa masyarakat akan maju jika menghargai sains dan teknologi. 23 Adnin Armas, “Westernisasi dan Islamisasi”, hlm. 10 24 Akhyar dan Donny, Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 59.
  • 9. 9 Slogan positvisme adalah savoir pour prevoir, prevoir pour pouvoir (dari ilmu muncul prediksi dan dari prediksi muncul aksi).25 Positivisme ini berkembang ketika terjadi Revolusi Perancis yang penuh anarkisme. Comte, waktu itu merasa terganggu dengan anarkisme tersebut dan bersikap kritis terhadap filosof pencerahan Perancis. Comte mengembangkan positivisme untuk melawan apa yang diyakini sebagai filsafat negatif dan destruktif dari para filosof pencerahan yang masih bergelut dengan khayalan metafisika. Di tangan Comte, sebagaimana dikutip Adnin, pengetahuan positif-ilmiah atau yang biasa dikenal dengan sains ilmiah bersifat pasti dan nyata. Dengan demikian, segala yang bersifat tidak terindra seperti metafisika ditolak dengan alasan bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui manusia adalah apa yang ditangkap oleh panca indra. Comte memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis; pertama, fase teologis, bisa juga disebut sebagai fase fiktif. Kedua, fase metafisik, bisa juga disebut sebagai fase abstrak. Ketiga, fase saintifik, bisa juga disebut sebagai fase positif. Karakteristik dari setiap fase itu bertentangan antara satu dengan yang lain. Dalam fase teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan ghaib. Dalam fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, atau entitas–entitas yang nyata, yang menggantikan kekuatan ghaib. Dalam fase positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang mutlak.26 Pendapat Comte, yang menolak agama, diikuti oleh para sosiolog yang lain seperti Emile Durkheim (m. 1917) dan Herbert Spencer. Agama, tegas Spencer, bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain.27 Paham positivisme ini berkembang sangat pesat bahkan mendominasi kehidupan Barat sampai sekarang. Positivisme tidak lagi menjadi sebuah aliran filsafat, tapi sudah merupakan “agama” baru bagi masyarakat Barat terutama kaum intelektualnya karena sudah merupakan pandangan-dunia (world view) tersendiri. Dalam paham positivisme, objetivitas merupakan satu doktrin utama. Objek-objek fisik harus ada secara indrawi dan hadir independen dari subjeknya. Ide positivisme mempunya enam ciri. Pertama, bebas-nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti berjarak dengan dunia dan bersikap imparsial-netral. Kedua, fenomenalisme yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena semesta. Metafisika yang mengandaikan sesuatu di belakang fenomena ditolak mentah-mentah. Ketiga, nominalisme, yaitu befokus pada individu-individu partikular karena itu adalah kenyataan satu-satunya. Semua bentuk universalisme adalah semata penamaan dan bukan kenyataan itu sendiri. Keempat, reduksionisme. Alam semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi. Kelima, naturalisme. Yaitu paham tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang menisbikan penjelasan adi-kodrati. Keenam, mekanisme. Yaitu paham yang mengatakan bahwa 25 Ibid. hlm. 60. 26 Auguste Comte, Introduction to Positive Philosophy, hlm1-2. Lihat Adnin, “Westernisasi”, hlm. 11. 27 Jonathan H. Turner, Herbert Spencer : A Renewed Appreciation, 1 : hlm. 136-138. Lihat Adnin, “Westernisasi”, hlm. 11.
  • 10. 10 semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis sebagaimana layaknya mesin.28 Para ilmuwan yang mengembangkan paham ini selain Henry dan Comte di antaranya adalah John Stuart Mill, James Mill, Jeremy Betham di Inggris, Giambista Vico, Carlo Cattaneo, dan Guissepe Ferrari di Itali, Ernst Las, Friederich Jodl, Eugen Duhring di Jerman. Lalu berbagai disiplin ilmu lain yang ateistik juga bermunculan. Bidang psikologi digemakan oleh Sigmund Freud dengan teori psikoanalisanya. Di bidang filsafat ada Friedrich Nietzche (1844-1900) dengan semboyannya ”God is dead” dan Jacques Derrida pada abad 20 dengan semboyan ”The author is dead.” Dan masih banyak bidang ilmu yang dikembangkan oleh mereka yang berpaham ateis akibat meletakkan dasar keilmuan hanya kepada rasio dan panca indra. Sains di Barat telah melahirkan paham-paham liar seperti ateisme, relativisme, skeptisme, liberalisme dan sebagainya. Di dalam paham- paham tersebut tidak ada tempat bagi Al-Wahyu. Bahkan kehidupan transenden pun tidak diakui karena hanya yang nyatalah dan dapat dibuktikan secara empiris sajalah yang diterima. Dari situlah mulai dirasakan bahwa dasar awal kebangkitan rasio bagi Barat sekular telah melahirkan kepincangan, kekacauan dan kerusakan di dunia ini. Paham utama dalam peradaban Barat seperti sekularisme, utilitarianisme dan materialisme telah membuat ilmu pengetahuan kehilangan tujuan yang hakiki dan hanya berfungsi memenuhi hawa nafsu dan kebutuhan jangka pendek. Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka ciptakan mampu melahirkan peradaban Barat yang sepertinya terlihat maju sekarang ini, namun diakui kemajuan tersebut tidak membawa pada ketenangan, kedamaian dan keadilan. Problematika Sains Barat Modern Melalui interaksi sains dan teknologi, peradaban Barat mengukuhkan superioritasnya atas bangsa-bangsa lain. Sains, sebagai fondasi dan mesin teknologi, telah menjadi senjata rahasia Barat yang canggih. Sains, meskipun sudah dipisahkan, berbeda dengan teknologi. Orang Islam sering salah kaprah mengidentifikasi peradaban Barat dengan kemajuan teknologi seperti alat-alat listrik, elektronik, otomotif, transportasi, senjata pemusnah massal dan lain-lain. Kemudian umat Islam berusaha mengimitasinya yang pada akhirnya merugikan mereka sendiri. Kita harus sadar bahwa sains itu bukan teknologi. Sains berhubungan dengan ide- ide dan cara-cara yang abstrak sementra teknologi bertujuan memproduksi benda-benda yang dapat berguna untuk meningkatkan taraf hidup. Dengan kata lain, teknologi merupakan aplikasi pengetahuan ilmiah dan tanpa pemahaman dan penguasaan landasan ilmiahnya, hanya memproduksi piranti teknologis melalui imitasi adalah sangat beresiko.29 Kalaupun bisa diambil dari apa yang ada pada kemajuan teknologi Barat adalah teknologi yang sifatnya mempermudah aspek keseharian dalam kehidupan. 28 Akhyar dan Donny, Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 63. 29 Cemil Akdogan, “Asal-Usul Sains Modern dan Kontribusi Muslim”, Jurnal Islamia Vol I No. 4, Januari – Maret 2005, hlm. 94.
  • 11. 11 Sedangkan problematika yang ada di Barat terletak pada sains yang mendasari lahirnya teknologi tersebut. Sains Barat modern yang sampai saat ini didominasi oleh paham positivisme tentu saja tidak sepi dari kritik, baik dari ilmuwan Barat sendiri maupun dari ilmuwan Islam. Beberapa ilmuwan yang mengkritik di antaranya adalah Karl Popper, Thomas Kuhn, Madzab Frankfurt, Paul Feyerabend, dan Rorty. Pada dasarnya kritikan tersebut merupakan respon terhadap ciri-ciri positivisme di atas. Paling tidak kritik terhadap positivisme ada empat. Pertama, fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori. Fakta selalu dipahami dalam kerangka teoritis tertentu. Kedua, falibilitas teori. Tidak satu teori pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empirik, kemungkinan munculnya fakta anomali selalu ada. Ketiga, fakta tidak bebas, melainkan sarat-nilai. Keempat, interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukan reportase objektif, melainkan hasil interaksi manusia dan alam semesta yang sarat persoalan dan senantiasa berubah.30 Yang menjadi problem utama dari sains Barat modern adalah landasan ide positivisme. Jika dikatakan ilmu itu bebas-nilai maka yang dimaksud bukan bebas nilai sama sekali, tapi bebas dari hal-hal yang bersifat non-indrawi termasuk persoalan metafisika. Padahal setiap manusia mempunyai perspektif masing-masing dalam melihat sesuatu. Dalam benak seseorang sudah ada paradigma maupun worldview yang berbeda- beda sehingga persepsi terhadap fakta pun berbeda. Pandangan para ahli tentang sains itu tidak bebas nilai sudah dikemukakan di depan, baik oleh ilmuwan Barat maupun Islam. Soal fenomenalisme di mana pengetahuan yang absah hanya pada fenomena alam yang tampak saja, berarti metafisika yang merupakan alam di balik fenomena ditolak oleh sains Barat. Inilah problem besar bagi sains karena dalam Islam, juga agama-agama, aspek metafisika justru menjadi faktor utama karena Tuhan adalah sosok dzat yang tidak tampak langsung secara indrawi. Sains Barat “menyingkirkan” Tuhan sedikit demi sedikit karena saat itu para wakil Tuhan di muka bumi (gereja) banyak melakukan penyelewengan, termasuk inkuisisi yang menghantui masyarakat Barat. Ilmuwan Barat seakan-akan ingin menyingkirkan sumber masalah selama ini yang menyengsarakan dan mengakibatkan anarkisme, baik dari kalangan gereja maupun penentangnya. Nominalisme dalam paham positivisme sains Barat juga tidak mungkin. Mereka mengklaim bahwa kenyataan satu-satunya adalah individu secara partikular, bukan universal. Padahal akal manusia selalu menghubung-hubung informasi satu dengan yang lain. Bahkan banyak hal tidak bisa diukur karena berhubungan satu sama lain. Reduksionisme dalam sains Barat juga bermasalah. Alam semesta ini hanya direduksi menjadi fakta-fakta fisik saja. Padahal fakta-fakta non-fisik lebih banyak lagi. Hal ini karena menurut sains Barat, pengetahuan disebut ilmiah apabila saintifik empiris. Jika tidak, maka gugurlah dari keilmiahannya atau dianggap tidak absah. Reduksionisme ini telah membuang banyak sekali ilmu pengetahuan yang tidak dimasukkan dalam unsur empirisisme. Sains Barat juga mereduksi otoritas dan intuisi menjadi nalar dan pengalaman indrawi saja. Memang benar pada mulanya dalam hal otoritas dan intuisi, penalaran dan pengalaman selalu berasal dari seorang yang menalari dan mengalami, tapi ini tidak kemudian berarti karena itu otoritas dan intuisi dapat direduksi menjadi nalar dan pengalaman indrawi belaka.31 30 Ibid. hlm. 77. 31 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, hlm. 29.
  • 12. 12 Ciri khas sains Barat yaitu naturalisme dan mekanisme juga sudah banyak yang menentang. Kajian ini sudah sejak lama dibicarakan oleh para filosof, termasuk filosof muslim seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina dan Ibn Rusyd. Dengan menjadikan hukum alam yang mekanistik maka peran Tuhan mengatur alam raya ini menjadi tidak ada. Tuhan bagaikan Sang Pembuat Jam (Watch Maker) di mana setelah jam dibuat maka jam tersebut bergerak sendiri sampai mati. Selama jam tersebut berjalan, sang pembuat jam tidak berperan sama sekali. Jika dalam sains Barat saluran pengetahuan hanya berupa panca indra, maka dalam Islam justru panca indra merupakan saluran pengetahuan yang paling rendah. Dalam Islam ada berbagai saluran pengetahuan, dimulai dari yang paling rendah yaitu panca indrawi, kemudian meningkat kepada yang lebih tinggi yaitu akal, intuisi dan terakhir yang paling tinggi adalah wahyu. Panca indra merupakan saluran yang paling rendah karena hanya menangkap partikular-partikular pada dunia di sekitarnya. Dengan demikian maka pengetahuan yang dicapai hanyalah pengetahuan praktis-empiris. Di luar pengetahuan tersebut maka tidak digolongkan sebagai ilmu. Mereka sering menyampaikan ungkapan, “seing is believing”, suatu kebenaran baru akan diyakini apabila mereka mengalaminya secara langsung melalui panca indra. Padahal dalam Islam justru sebaliknya, yaitu “believing is seeing”, artinya jika manusia percaya (yakin, iman) maka ia akan melihat kebesaran-Nya. Keyakinan seorang muslim terhadap Sang Pencipta (al-Khaliq) akan memantapkan posisi diri dan alam semesta sebagai ciptaan-Nya (created book), sebagaimana kitab suci yang merupakan firman-Nya. Problem sains Barat yang mengusik keimanan –termasuk keimanan seorang muslim adalah tersingkirnya Tuhan di dalam sains. Sains Barat yang dipandang netral (bebas nilai) karena bersifat positivistik pada tahap asumsi-asumsi dan preposisi- preposisi tidak melibatkan Tuhan alias ateistik. Jadi, sains Barat modern yang berkembang saat ini adalah sains sekular dan anti Tuhan. Sifat sains Barat modern yang seperti itu telah membawa masalah besar bagi umat Islam saat ini. Sebab, sains Barat modern tersebut diajarkan kepada anak-anak muslim mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Padahal, dengan mempelajari sains Barat yang sekuler tersebut akan membuat seorang muslim jauh dari Tuhannya. Semakin dalam akan semakin jauh karena sifat kesekulerannya. Walaupun tidak sedikit ilmuwan yang mempelajari sains Barat yang shalih dalam beragama, namun keshalihannya tersebut bukan didapat dari dirinya mempelajari sains Barat tersebut. Keshalihannya bisa jadi dia dapatkan ketika pendidikan masa kecil dari orang tua ataupun lingkungannya. Kemungkinan juga bisa didapatkan dari lingkungan tempat dia tinggal dan yang bersangkutan termasuk rajin mengaji dan sebagainya. Efek negatif dari sains Barat ini telah lama disadari oleh kaum ilmuwan muslim. Mereka berusaha untuk mengembalikan sains pada asalnya yaitu dari Sang Maha Pencipta alam ini dan memberikan unsur spiritual pada sains. Dengan kata lain, sains Barat modern harus di-Islamisasi. Beberapa ilmuwan muslim yang lantang menyuarakan ide Islamisasi sains pada akhir abad ke-20 adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas, Seyyed Hossein Nasr, Ismail Raji al-Faruqi, Ja’far Idris, Ziauddin Sardar, Ibrahim Kalin, Muzaffar Iqbal, dan lain-lain.
  • 13. 13 Pandangan Nasr terhadap Sains Barat Modern dan Kritik Terhadapnya Kritik Nasr terhadap sains Barat modern tidak lepas dari kritikannya terhadap peradaban dan kebudayaan Barat itu sendiri. Nasr melihat kebudayaan modern di Barat (sebagai representasi) sejak jaman Renaisans merupakan eksperimen yang gagal karena mereduksi seluruh kualitas kepada kuantitas, atau mereduksi seluruh yang esensial dalam pengertian metafisika kepada pengertian materiil dan subtansial dalam pengertian fisik.32 Sejak jaman Renaisans dan revolusi ilmiah, sains mengarah pada paham sekuler dan pada beberapa kasus bertentangan dengan agama. Sekularisasi terjadi pada kosmologi tradisional, di mana kosmologi Ibn Sina sekalipun diterima garis besarnya, tapi dikritik oleh orang-orang seperti William dari Auvergne, yang ingin melenyapkan malaikat- malaikat itu dari alam semesta.33 Dalam buku Knowledge and the Sacred, Nasr memulai pembahasannya dengan judul Knowledge and its Desacralization. Menurut Nasr, pada awalnya realitas itu berupa wujud, ilmu pengetahuan dan kebahagian spiritual (the sat, chit, and ananda dalam tradisi Hindu) atau qudrah, hikmah dan rahmah. Ketiganya karena berasal dari Yang Maha Suci (sakral) maka merekapun sakral. Namun seiring dengan berlalunya waktu, ilmu pengetahuan berpisah dengan wujud dan kebahagiaan dan akhirnya ilmu pengetahuan mengalami desakralisasi.34 Masa desakralisasi ini dimulai di dunia Barat, sejak renaisans yang dipelopori oleh ilmuwan yang dijuluki Bapak filosof modern yaitu Descartes.35 Descartes dalam mencari basis baru untuk ilmu pengetahuan menyerukan pengguaan akal sebagai subjek berpikir, bukan wahyu atau intelek yang merupakan fungsi dari hati setiap manusia. Ungkapannya yang terkenal cogito, “aku berpikir”, maka “Aku” yang dimaksud tidak merujuk kepada Tuhan tapi manusia sebagai subjek.36 Selanjutnya, seiring dengan perkembangan pemikiran tentang filsafat ilmu di Barat (sudah dibahas di bagian sebelumnya), ilmu pengetahuan dan sains makin menjauh dari nilai-nilai spiritual. Nasr menyebut, ilmu pengetahuan telah mengalami sekularisasi (istilah al-Attas westernisasi), mulai dari sekularisasi alam raya hingga sekularisasi akal sebagai cara berpikir. Namun demikian, Nasr tidak menjelaskan lebih dalam mengenai sekularisasi ilmu itu sendiri. Peradaban modern yang merupakan hasil kelahiran dan perkembangan paham rasionalisme dan empirisisme membuat sains berkembang tanpa nilai-nilai kesakralan. Bagi Nasr, term modern tidak menunjukkan suatu keberhasilan dalam penguasaan atau dominasi atas dunia alam, melainkan, "modern" berarti sesuatu yang dilepas (cut off) dari Yang Transenden, dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitasnya mengatur segala 32 Seyyed Hossein Nasr, Spritualitas dan Seni Islam (Terjemahan Sutejo), Bandung: Mizan, 1993, hlm. 38. 33 Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature : The Spiritual Crisis in Modern Man, London, Mandala Book, 1976, hlm. 62. 34 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred, Edinburg: Edinburg University Press, 1981, hlm. 6. 35 Ibid. hlm. 33. 36 Ibid. hlm. 34.
  • 14. 14 sesuatu, yang dikenal melalui pewahyuan.37 Dengan demikian, dalam pandangan Nasr istilah modern, nampaknya menunjuk pada pandangan dan cara hidup masyarakat di Barat. Barat, dimaksudkan sebagai kualitas kehidupan yang rasionalistik, kapitalistik, sekularistik, dan cenderung melepaskan pandangan keagamaan. Di samping itu, meski Nasr tidak bermaksud membedakan dua wilayah itu secara geografis, namun yang di maksud Barat dalam pandangan Nasr adalah suatu wilayah (geografis) yang berbeda dengan dunia Timur, Asia, China, Jepang dan India misalnya. Barat adalah dunia Eropa yang pada abad ke-17 mengalami masa Renaisans.38 Dengan begitu, dalam pengertian Nasr dunia modern adalah dunia yang sudah terpisah dari yang trasenden dari prinsip-prinsip langgeng yang dalam realitas mengatur materi dan yang diberikan. Maka bagi Nasr, modern bukanlah kontemporer, maju, lanjut dan berkembang, tapi merupakan lawan dari tradisi, lawan dari yang sakral dan transenden.39 Secara garis besar, dalam pengamatan Nasr, dunia sekarang ini dilanda oleh dua tragedi; satu di Barat dan lainnya di Timur. Di Barat terjadi krisis peradaban modern – yang merupakan produk Barat sendiri– paling dapat dirasakan, karena ia biasanya berkaitan dengan berbagai bentuk lingkungan hidup. Tetapi, sampai sekarang krisis itu belum terpecahkan. Bahkan, gagasan-gagasan yang diajukan untuk memecahkan persoalan ini menjadi faktor tambahan yang membawa kepada krisis lebih lanjut. Dalam kerangka pemecahan krisis tersebut, orang dihimbau untuk dapat mengendalikan hawa nafsu; menjadi humanis rasional. Kenyataannya, sedikit sekali yang menyadari bahwa seruan itu mustahil dijalankan selama tidak ada kekuatan ruhaniah/spiritual untuk dapat mengontrol kecenderungan yang merusak dan mengikuti hawa nafsu di dalam diri manusia.40 Nasr memberikan pandangannya tentang karakteristik dasar dari pemikiran modern yaitu pertama antropomorfismenya (manusia sebagai pusat perhatian). Jelas saja, karena mereka tidak mengakui sesuatu yang di luar manusia. Mungkin mereka menyangkal bahwa sains modern tidak antropomorfik, tetapi pernyataan tersebut hanyalah ilusi belaka. Sains modern adalah sains yang menggambarkan alam semesta, di mana manusia sebagai mahluk yang mempunyai ruh (spirit), pikiran (mind) dan jiwa (psyche) tidak mendapat tempat. Sains modern menetapkan hanya rasio dan panca indra yang menentukan keabsahan sains. Sebaliknya, sains tradisional tidak antropomorfis, dalam arti lokus (tempat) dan wadah pengetahuan bukan pikiran manusia tetapi Kecerdasan Ilahi.41 Kedua, karakteristik yang erat kaitannya dengan antropomorifme adalah tiadanya prinsip-prinsip yang menjadi ciri dunia modern. Untuk dapat berfungsi 37 Ali Maksum, Tasawwuf sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep Tradisionalisme Seyyed Hossein Nasr, Surabaya, PSAPM dan Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 21. Lihat Muhammad Anas, “Kritik Hossein Nasr atas Problem Sains dan Modernitas”, artikel lepas, www.matapenainstitute.com diakses 18 Februari 2013 pukul 11.46. 38 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim (Terjemahan Hasti Tarekat), Bandung, Mizan, 1994, hlm. 2. 39 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern (Terjemahan Anas Mahyuddin), Bandung, Pustaka, 1983, hlm. 11. 40 Muhammad Anas, “Kritik Hossein Nasr atas Problem Sains dan Modernitas”, hlm. 13. 41 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern (Terjemahan Luqman Hakim), Bandung, Pustaka, 1987, hlm. 100.
  • 15. 15 sebagai prinsip bagi sesuatu, sifat manusia itu terlampau tidak langgeng, berubah-ubah dan bergejolak. Itulah mengapa model berpikir yang tidak mampu melampaui level manusiawi dan yang tetap antropomorfik mustahil bila tidak tercerai dari prinsip-prinsip. Baik empirisisme, rasionalisme maupun rasionalisme-empirik tidak dapat bertindak sebagai prinsip-prinsip dalam pengertian metafisika. Ketiganya absah dalam tingkat masing-masing, sebagaimana halnya dengan sains yang mereka hasilkan.42 Karakteristik ketiga adalah tiadanya kepekaan terhadap yang sakral. Manusia modern secara praktis dapat didefinisikan sebagai jenis manusia yang telah kehilangan kepekaan ini, dan pemikirannya memperlihatkan secara mencolok tiadanya kepekaan terhadap yang sakral. Tidak mungkin jika sebaliknya, mengingat humanisme modern tidak terpisahkan dari sekularisme. Berbeda dengan perspektif Islam yang tidak mengenal konsep-konsep yang profan maupun sekular karena dalam Islam. Tradisi Islam tidak pernah dapat memberima pola pikir yang tidak mempunyai jejak Yang Sakral. Pertentangan Islam dengan pemikiran modern tidak mungkin terjadi pada tingkat yang serius bila keunggulan Yang Sakral dalam perspektif Islam dan ketiadaannya dalam pemikiran modern tidak dipertimbangkan.43 Ketiga karakteristik masyrakat modern itulah yang dikritik Nasr dengan mempertentangkannya dengan tradisi Islam dan tradisi secara umum. Masyarakat modern yang bersandar pada manusia, tidak punya prinsip metafisik dan jauh dari yang sakral menyebabkan krisis kemanusian maupun lingkungan yang menjadi perhatian Nasr.44 Kritik Nasr terhadap kehidupan modern ini didasarkan pada ketidakpuasan dirinya ketika menimba ilmu di Barat tingkat sarjana dan magister. Ketika di Iran dengan didikan keagamaannya, Nasr terbiasa dengan dasar Al-Quran dan spiritualitas sebagai rujukan ilmu. Namun di Barat, kedua hal tersebut disingkirkan dan peran manusia untuk menentukan kebenaran sangat dominan. Dengan perbedaan pandangan masing-masing orang, maka kebenaran di Barat menjadi relatif. Ketika manusia Barat menentukan nilai- nilai kebenaran menurut dirinya sendiri, maka mereka membuang hal-hal yang bersifat spiritual, sakral atau metafisik. Paling tidak mereka menyingkirkan unsur-unsur transenden dari kehidupan sehari-hari dan memberinya ruang hanya dalam kehidupan privat yang tidak boleh diatur oleh pemerintah. Seperti itulah gambaran kehidupan dalam peradaban Barat sekarang ini. Bangunan peradaban Barat yang demikian itu telah membawa konsekuensi sendiri yang ujung-ujungnya adalah timbulnya berbagai krisis dalam segala dimensinya. Akar dari seluruh krisis di dunia modern adalah kesalahan dalam mengkonsepsikan manusia. Peradaban dunia modern yang ditegakkan di atas landasan konsep manusia yang tidak menyertakan hal yang paling esensial bagi manusia itulah yang menjadikan kegagalan proyek modernisme.45 42 Ibid. hlm. 101. 43 Ibid. hlm. 110. 44 Selain Nasr yang mewakili kalangan tradisionalis, kelompok pos-modernis pun mengkritisi dampak negatif sains modern terhadap masyarakat modern. Seperti modernisme telah gagal mewujudkan perbaikan ke arah masa depan yang lebih baik, sains modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang - wenangan kekuasaan, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta, ada keyakinan bahwa sains modern mampu memecahkan segala persoalan manusia, dan sains modern kurang memperhatikan dimensi mistis-metafisis manusia. Lihat Pauline Marry Rosenau, Postmodernisme and Social Sciences : Insight, Inroads, and Intrusion, Princeton, Princeton University Press, 1992, hlm. 19. 45 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, hlm. 15
  • 16. 16 Akibat pemisahan unsur-unsur transenden dalam kehidupan maka disadari atau tidak telah terjadi krisis nilai-nilai dan lingkungan dalam masyarakat Barat yang membawa ancaman serius. Kemajuan sains dan teknologi di Barat ternyata telah membawa manusia pada nestapa yang menuju kehancuran. Kritik Nasr terhadap peradaban Barat juga membuatnya mengkritik sains Barat modern yang juga merupakan anak kandung peradaban tersebut. Nasr pun melakukan kritik terhadap Sains Modern yang dianggapnya sebagai sains yang sekular. Meskipun Nasr tidak pernah secara jelas mendefinisikan dan menguraikan mengenai sekularisme, tapi Nasr menganggap sekularisme sebagai “sesuatu yang asalnya hanya dari manusia, bukan dari Tuhan dan yang landasan metafisikanya adalah pemisahan ontologi antara manusia dan Tuhan.” 46Dalam pandangan sekularisme, Tuhan atau agama hanya berada untuk mengurus masalah privat dan individu, hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan. Kehidupan manusia secara umum, seperti dalam dunia pendidikan, sosial budaya, ekonomi dan politik, tidak dibenarkan agama ikut campur mengurusnya. Sains Barat modern yang sampai saat ini dipelajari adalah sains yang sekular, di mana di dalamnya tidak ada urusan agama dan Tuhan sedikitpun. Sains Barat sekular itulah yang dikritik Nasr. Ada lima analisis kritis Nasr terhadap sains Barat modern yaitu47 : Tidak Ada Jejak Tuhan di Alam Raya Pandangan sekular tentang alam semesta yang melihat tidak ada jejak Tuhan (vestigia Dei) di dalam keteraturan alam terutama dalam kosmologi Kristen. Alam bukan lagi sebagai ayat-ayat Alah tetapi entitas yang berdiri sendiri. Sebuah anekdot terkenal dalam sejarah sains, Laplace seorang ahli matematika Perancis yang termasyhur menerangkan model alam semestanya kepada Napoleon tanpa menyebutkan peran Tuhan dalam sains. Bukan karena ia memusuhi agama, namun ia menilainya sebagai sesuatu yang tidak relevan. Tuhan merupakan “hipotesis yang tumpang tindih” sehingga Laplace merasa tidak perlu menyebutkannya.48 Nasr mengkritik sains Barat modern yang tidak menempatkan posisi Tuhan di dalam epistemologi dan ontologinya. Malah Tuhan dihilangkan dari wacana sains karena tidak ada dalam alam fisik, tidak dapat diindra, tidak empiris dan tidak ilmiah. Dengan kekuatan rasio dan kajian empirisnya, sains Barat modern “tidak membutuhkan Tuhan” untuk asumsi dasar, presuposisi, proses dan hasil aktivitas sains. Akhirnya, sains pun bingung untuk menentukan awal mula asal kehidupan ini baik alam raya maupun manusia. Berbagai teori spekulasipun dipaparkan untuk menutupi kekurangan atau kebingungan tersebut. Demikian juga kesudahan alam ini, tidak sedikitpun pengetahuan mereka miliki. Sehingga muncul suatu hukum bahwa benda atau energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan, teori big bang, teori evolusi, manusia purba dan sebagainya. Sains Barat modern, ibarat sebuah buku yang hilang 46 Seyyed Hossein Nasr, “Religion and Secularism, Their Meaning and Manifestation in Islamic History”, dalam The Islamic Quarterly, jil. 6. No. 1 & 2, Januari-April 1961, lihat Wan Daud, Filsafat dan Praktik, hlm. 401. 47 Ibrahim Kalin, “The Sacred versus the Secular : Nasr on Science”, dalam Lewis Edwin Hahn, The philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 453. 48 “I Had no need of that hypothesis”, kata Laplace. Lihat Roger Hahn, “Laplace and The Mechanistic Universe” dalam David Linberg (Ed.), God and Nature, Berkeley and Los Angeles, University of California Press, 1986. Lihat catatan kaki no. 24 Ibrahim Kalin, “The Sacred”, hlm. 460.
  • 17. 17 halaman depan dan halaman belakangnya. Sains Barat modern yang mengandalkan empirisnya ternyata juga berspekulasi tentang penciptaan dan kemusnahan alam raya ini. Sains Barat modern hanya berbicara soal kekinian, sesuai sifat dan nama sekularisme itu sendiri, yaitu paham yang berbicara tentang “kini” dan “di sini”. Alam Bersifat Mekanistis Alam raya atau kosmos digambarkan secara mekanistis (sebab-akibat) bagaikan mesin dan jam. Alam menjadi sesuatu yang bisa ditentukan dan diprediksikan secara mutlak -yang menggiring kepada munculnya masyarakat industri modern dan kapitalisme. Newton adalah orang yang pertama memperkenalkan istilah hukum alam (natural law) di mana semua kejadian di alam raya ini berjalan dengan sendirinya sesuai dengan hukumnya. Seperti apel yang jatuh dari pohon, maka dikatakan oleh Newton ada sebuah hukum yang mengaturnya yaitu hukum gravitasi. Alam diibaratkan sebuah mesin atau jam yang jika sudah dinyalakan oleh penciptanya maka mesin atau jam tersebut berjalan dengan sendirinya sampai mati. Tuhan adalah watch maker, Sang pembuat jam. Ketika jam sudah jadi dan berjalan maka menurut sains Barat modern, Tuhan tidak ikut serta di dalamnya. Mengenai alam ini bersifat mekanistis sudah didiskusikan oleh para ahli sejak dulu. Alam memang berjalan sesuai dengan hukumnya. Tetapi ternyata tidak selalu hukum ini berjalan sesuai dengan yang sudah terjadi. Ada beberapa “penyimpangan” atau anomali yang kadang terjadi yang tidak bisa dijelaskan oleh manusia. Maka sering kita dengar ada istilah “faktor X” di mana manusia tidak mengetahui mengapa hukum alam tersebut tidak terjadi. Kritik Nasr berkaitan dengan pandangan sains Barat modern bahwa alam bersifat mekanistis karena akidah Islam menyatakan bahwa jika Allah sudah menghendaki sesuatu itu terjadi, sesuai atau tidak sesuai dengan hukum alam, maka terjadilah. Orang Islam mengenal istilah “kun fayakun” yaitu jika Allah berfirman, “jadi” maka “jadilah”. Dalam ilmu statistika, sebuah kejadian selalu dinyatakan dengan faktor error, di mana error ini adalah suatu kemungkinan lain yang terjadi meskipun peluangnya sangat kecil. Rasionalisme dan empirisisme. Sasaran kritik Nasr lainnya adalah paham rasionalisme dan empirisisme yang mendasar aktivitas sains Barat modern. Dalam Islam, rasio dan metode penelitian empiris induktif deduktif juga dipakai. Namun, sains Barat modern tidak mengakui selain itu. Sedangkan dalam Islam, sesuai dengn objek ontologi sains, di luar yang empiris dan rasional ada hal lain yang bisa diterima sebagai ilmu. Dualisme Descartes Nasr mengkritik landasan rasionalisme dalam sains Barat modern yang mengandaikan sebelumnya pemisahan antara res cogitans dan res extensa, antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Landasan ini biasa disebut dengan dualisme, yaitu pemisahan akal sebagai substansi yang berfikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance). Menurut Christian Wolff misalnya "The dualists (dualistae) are those who admit the existence of both material and
  • 18. 18 immaterial substances," tapi wujud materi dan jiwa tepisah49. Pemisahan ini merupakan gagasan dari Descartes di mana dia menyangsikan segala sesuatu yang tampak dan mengandalkan ide bawaan maupun keluasaan untuk berpikir. Tujuannya agar fakta-fakta di dunia materi (fisika) dapat dijelaskan secara matematis geometris dan mekanis. Gagasan dualisme yang berkembang di dunia Barat modern membuat manusia Barat dalam melihat sesuatu selalu mendua. Antara lahir dan batin terpisah. Seseorang menjadi pelacur dengan tujuan baik untuk menafkahi keluarganya adalah hal yang sering kita dapati. Menurut Hamid, seorang dualis bisa saja berpesan "lakukan apa saja asal dengan niat baik". Anak muda Muslim yang terjangkiti pikiran liberal akan berkata `jalankan syariah sesuka hatimu yang penting mencapai maqasid syariah". Kekacauan berfikir inilah kemudian yang melahirkan istilah "penjahat yang santun", "koruptor yang dermawan", "atheis yang baik", "Pelacur yang moralis", dan seterusnya. Mungkin akibat ajaran dualisme pula Pak Kyai menjadi salah tingkah dan berkata "Hati saya di Mekkah, tapi otak saya di Chicago". Dualisme akhirnya bisa menjadi perselingkuhan intelektual. Hatinya berzikir pada Tuhan tapi fikirannya menghujat-Nya50. Sementara dalam Islam, aktivitas raga tergantung dari jiwanya. Nabi saw. mengatakan innamal a’malu binniat. Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dengan demikian maka dualisme Descartes bertentangan dengan cara pandang (worldview) Islam. Perbedaan ini yang membuat Nasr juga mengkritik landasan sains Barat modern. Eksploitasi Alam sebagai Sumber Kekuatan dan Dominasi. Kemajuan sains modern telah dipakai kaum kapitalis untuk mengekspoitasi alam dan menjadikannya kekuatan ekonomi. Kritik Nasr yang keras dalam hal kerusakan manusia dan lingkungan ini membuat Nasr dinobatkan menjadi seorang environmentalis. Dalam bukunya Man and Nature : The Spiritual Crisis in Modern Man, A Young Muslim’s Guide to the Modern World, Islam in The Modern World : Challenged by the West, The Threatened by Fundamentalims, Keeping Faith with Tradition, dan lainnya banyak menyoroti masalah krisis dan kerusakan lingkungan akibat dominasi ekonomi dari pemanfaatan sains. Sains Barat modern telah mengalami desakralisasi dan melepaskan nilai-nilai spiritual, termasuk Tuhan di dalamnya. Nasr melihat selain pada sains telah terjadi pula desakralisasi terhadap filsafat, kosmos, bahasa dan agama. Oleh karena itu Nasr menolak sains Barat modern yang relativistik, positivistik dan rasionalistik serta menyarankan solusi berupa tradisionalisasi sains atau sains sakral sakral (scientia sacra). Kritik yang dilancarkan Nasr kepada sains Barat modern ini mengacu pada pandangan filsafat sains modern secara umum dan mainstream dalam pandangan ilmuwan modern. Tentu saja tidak semua kritikan Nasr benar dan dapat ditelan mentah- mentah. Di dalam masing-masing poin yang dikritiknya pun tidak seluruhnya salah. Artinya, kritik Nasr pun perlu dikritisi. Misalkan Nasr menganggap bahwa hakikat dan ciri sains Islam itu sangat berbeda dari hakikat dan ciri sains modern.51 Sedangkan ilmuwan lain seperti al-Attas mengatakan bahwa antara sains Islam dengan sains Barat modern ada persamaan penting yaitu dalam masalah sumber dan metode ilmu 49 Hamid Fahmy Zarkasy, Misykat : Refleksi tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi, Jakarta, Insists, 2012, hlm. 103. 50 Ibid. hlm. 107. 51 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, hlm. 21.
  • 19. 19 pengetahuan, kesatuan cara mengetahui secara rasional dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai landangan kognitif filsafat ilmu, serta dalam masalah filsafat dan sains mengenai proses.52 Persamaan tersebut ada pada aspek eksternal sedang dalam aspek internal memang terdapat perbedaan yang sangat tajam karena perbedaan cara pandang dunia (worldview). Apabila kita kupas satu persatu, meskipun Nasr mengkritik dalam sains Barat modern tidak ada jejak Tuhan di dalamnya, namun ada beberapa ilmuwan yang justru – menurut pengakuan mereka, menemukan Tuhan di dalamnya. Beberapa ilmuwan besar masih teguh kepada keyakinannya terhadap Tuhan, seperti Albert Einstein, Isaac Newton, Galileo Galilei, Francis Bacon, Johannes Kepler, Blaise Pascal, dan lain-lain. Kritik Nasr tentang mekanisme, rasionalisme dan empirisisme terhadap sains Barat modern juga patut dikritisi karena paham atau teori seperti itu juga terdapat dalam Islam. Seperti alam yang mekanistik itu sendiri digambarkan Allah sebagai sunatullah atau aturan yang Allah buat di alam raya ini. Allah membuat hukum dan keteraturan di alam raya ini.53 Hanya saja perbedaannya, dalam pandangan sains Barat modern, kalaulah Tuhan itu ada maka Dia tidak terlibat dalam seluruh aktivitas alam raya ini. Tuhan setelah menciptakan alam raya ini membiarkan alam bergerak sendiri sebagaimana mesin atau jam. Dalam worldview Islam, Allah senantiasa terlibat dalam setiap aktivitas alam raya. Bahkan keteraturan alam yang dibuat-Nya bisa dilanggar apabila Dia menghendaki. Seperti mukjizat hilangnya rasa panas ketika membakar Nabi Ibrahim, laut yang bisa dibelah oleh tongkat Nabi Musa, bayi Nabi Isa yang bisa berbicara dan sebagainya. Dalam pandangan Islam, jika Allah menghendaki dengan mengatakan “kun”, jadilah, “fayakun” maka jadilah. Jadi, pandangan alam ini mekanistik diakui dalam Islam tapi disertai keyakinan bahwa di luar alam ini ada kekuatan yang mampu mengendalikan dan mengubah mekanisme tersebut, yaitu Allah Sang Maha Pencipta. Penggunaan rasio dan pengamatan indrawi juga tidak ditolak bahkan merupakan salah satu saluran untuk mencapai ilmu. Namun jika hanya semata-mata mengandalkan rasio dan empirisme, apalagi dengan menganggap di luar objek fisik itu tidak ada maka hal itu menjadi bertentangan dengan Islam. Seperti disebutkan dalam sejarah sains Islam, para ilmuwan Islam jaman dahulu seringkali melakukan observasi dan penelitian untuk menggali rahasia alam. Nasr sendiri menyebut al-Biruni sebagai The Master of Observation karena observasi dan berbagai macam percobaan ilmiah yang dilakukannya. Kritik yang dilontarkan Nasr terhadap sains Barat modern tersebut sebenarnya masih bersifat umum. Nasr tidak terlalu menekankan pada kajian metodologis, terutama dalam metode ilmiah seperti metode induksi-induksi, metode tajribi, metode burhani- irfani, kecuali beberapa dalam kajian tasawufnya. Sumber atau saluran ilmu juga tidak banyak dikupas kecuali masalah intelek. Berbeda dengan kritik Karl R. Popper terhadap metode induksi dan gagasannya tentang falsifikasi. Popper banyak membahas tentang metode ilmiah baik induksi maupun deduksi yang selama ini menjadi landasan sains Barat modern, terutama dalam kajian persoalan basis empiris. Sebagai profesor dalam bidang logika dan metode ilmiah pada Universitas London, Popper menentang pendapat bahwa ilmu-ilmu empiris dapat dicirikan lewat fakta yang menggunakan apa yang mereka sebut dengan “metode induktif”. Popper mengkritik pendapat bahwa logika 52 Wan Daud, Filsafat dan Praktik, hlm404. 53 Ada banyak ayat-ayat Al-Quran yang menyatakan hal itu, di antaranya dalam Al-Quran surat Yasin (36) : 36-40.
  • 20. 20 penemuan ilmiah akan identik dengan logika induktif, yaitu dengan analisis logis terhadap metode induktif ini. 54 Kritik-kritik terhadap sains Barat modern meskipun ada kesamaan dengan kritik Islam, belum tentu dikatakan bahwa sains alternatif yang ditawarkannya sesuai dengan sains Islam. Sama halnya dengan sains Barat modern yang dipaparkan oleh al-Attas, di antara metodologi dan filsafat ilmu terdapat beberapa bahkan banyak kesamaan, namun pada hal-hal prinsip pada sisi internalnya terhadap perbedaan yang tajam. Kritik Nasr terhadap sains Barat modern dan kesamaan dengan kritik-kritik lainnya menunjukkan adanya kebutuhan terhadap sains alternatif. Dalam kerangka pembangunan peradaban Islam yang intinya adalah membangun ilmu pengetahuan Islam55, sains alternatif daripada sains Barat modern adalah sains Islam atau Islamisasi terhadap sains Barat modern. Pekayon Jaya, 7 Februari 2014 54 Kajian mengenai hal ini bisa dilihat di bukunya Karl R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah (Terjemahan Saut Pasaribu dan Aji Sastrowardoyo), Bandung, Pustaka Pelajar, 2011. 55 Hamid Fahmy Zarkasy, “Ilmu Asas Pencerahan Peradaban”, Jurnal Islamia tahun II No. 6, Juli- September 2005, hlm. 6.