3. YANG DIMAKSUD
DENGAN IMAMAH
Imam An-Nawawi
(Ulama Sunni):
“Imamah, Khilafah,
dan Imaratul
Mukminin adalah
SINONIM. Yang
dimaksud dengannya
adalah
KEPEMIMPINAN
UMUM DALAM
URUSAN-URUSAN
AGAMA DAN DUNIA.”
Artinya IMAMAH
bukan Negara Sekular.
Al-Majmu’ Syarh Al-
Muhadzdzab, juz 21,
hlm 26
4. Imam Al-Ijiy
(Ulama Sunni):
“(Imamah
adalah): penerus
Rasulullah saw
dalam
menegakkan
agama yang
wajib ditaati
oleh segenap
umat Islam.”
Negara sekular
bukan Imamah.
Al-Mawaaqif fiy
‘Ilm Al-Kalaam,
hlm 395
5. Imam Al-Khatthabi
(Ulama Sunni):
“makna dari ‘Rasulullah
saw tidak beristikhlaf’
adalah bahwa beliau
tidak menunjuk
seseorang menjadi
khalifah, itu tidak berarti
bahwa Beliau tidak
memerintahkan hal
tersebut (mengangkat
Imam), tidak
mengajarkannya, dan
membiarkan perkara
(agama Islam)
terbengkalai tanpa ada
yang mengurusi. … “.
Masih menurut Beliau:
Penundaan pemakaman
jenazah Rasulullah saw
menunjukkan wajibnya
KHILAFAH.
(Tharh At-Tatsriyb fiy
Syarh At-Taqriyb, juz 8,
hlm 75)
6. Hadits Rasulullah saw dalam Musnad Ahmad bin Hambal, nomor hadits 22273, bahwa masa
kekhilafahan umat Islam hanya 30 tahun, setelah itu tidak ada lagi khilafah.
7. Al-Hafizh Ahmad bin
al-Shiddiq al-Ghumari
(Ulama Sunni),
menjelaskan dalam
kitabnya,
Muthabaqat al-
Ikhtira’at
al-’Ashriyyah limaa
Akhbara bihi Sayyid
al-Bariyyah, hal. 43,
bahwa Nabi saw telah
mengabarkan, “Umat
Islam akan dipimpin
oleh banyak
penguasa (tanpa
penguasa tunggal).”
8. 1. Menurut Jumhur ‘Ulama Sunni umat Islam dilarang mempunyai lebih dari
satu pemimpin.
Imam Abu Zakariyya An-Nawawi (Ulama Sunni): “Para ulama bersepakat
bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah dalam satu masa, baik wilayah
Negara Islam luas maupun tidak.” Syarh An-Nawawî ‘alâ Muslim, juz 12 hal
321.
9. Imam Ibnu Katsir (Ulama Sunni): “Dan adapun pengangkatan dua imam atau lebih di muka bumi,
maka hal itu tidak boleh, berdasarkan Sabda Nabi saw: “Barang siapa yang mendatangi kalian
sementara urusan kalian terkumpul (pada satu khalifah) dia ingin memecahbelah kalian maka
bunuhlah dia seketika bagaimanapun dia.” Yang demikian ini adalah pendapat jumhur Ulama, ...”
Tafsîr Ibn Katsîr, juz 1 hlm 222.
10. Imam As-Sinqithi (Ulama Sunni): Menurut
Jumhur ‘Ulama: Bahwasannya Imam yang
agung (khalifah) tidak boleh berjumlah
lebih dari satu, bahkan wajib berjumlah
satu, …” Adhwâ’ Al-Bayân fî Îdhâh Al-
Qur’ân bi Al-Qur’ân, juz 1 hlm 83
11. Sementara hadits Rasulullah saw tentang akan berbilangnya pemimpin
umat Islam adalah berbentuk ikhbaar (pemberitaan) bukan berbentuk
tasyrii’ (penetapan hukum syara’). Sama halnya dengan pemberitaan
Beliau akan banyaknya perilaku Zina dan Riba di akhir zaman, sama
sekali tidak menunjukkan bahwa dua dosa besar tersebut nantinya
dimaklumi sebagai sesuatu yang boleh.
Jadi, apabila terjadi khalifah atau pemimpin umat Islam berjumlah lebih
dari satu maka itu adalah kemungkaran, merubahnya dengan cara yang
baik adalah kewajiban kaum muslim. Dan aktivitas izaalatu- l-munkaraat
(menghilangkan kemungkaran) bukanlah amalan yang sia-sia.
Apalagi, pemimpin-pemimpin yang ada saat ini bukan pemimpin umat
Islam, mereka sendiri tidak ingin disebut sebagai pemimpin umat Islam,
dan negaranya juga tidak mau disebut sebagai negara Islam. Bahkan
mereka berusaha mencegah negara mereka untuk menjadi negara Islam.
12. 2. Selain memberitakan akan berakhirnya
kepemimpinan tunggal umat Islam, Rasulullah
saw juga memberitakan akan datangnya
kembali kekhilafahan atau kepemimpinan
tunggal umat Islam (Musnad Ahmad nomor
hadits 18596)
13. Al-Imam al-Hafizh
Abu Bakar Ahmad
bin al-Husain al-
Baihaqi, berkata
dalam kitabnya,
Dalail al-Nubuwwah
wa Ma’rifat Ahwal
Shahib al-Syari’ah,
juz 6, hal. 491,
bahwa maksud
khilafah al-
nubuwwah dalam
hadits Hudzaifah
adalah Khalifah
Umar bin Abdul Aziz.
14. Syaikh Yusuf bin Ismail
al-Nabhani al-Asy’ari al-
Syafi’i, ulama Sunni,
kakek Syaikh
Taqiyyudin al-Nabhani,
pendiri Hizbut Tahrir,
menyebutkan dalam
kitabnya, Hujjatullah
‘ala al-’Alamin fi
Mu’jizat Sayyid al-
Mursalin, hal. 527,
bahwa yang dimaksud
dengan khilafah al-
nubuwwah dalam
hadits Hudzaifah
tersebut adalah
khilafahnya Umar bin
Abdul Aziz.
15. 1. Bahwa khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah yang disebut hadits Ahmad adalah masa
Khalifah Umar bin Abdil ‘Aziz ra. adalah merupakan asumsi seorang perawi bernama
Habib bin Salim rahimahullaah, dia tidak termasuk hadits Rasulullah saw.
2. Habib bin Salim rahimahullaah sendiri tidak meyakini akan asumsinya tersebut, beliau
hanya mengatakan “berharap”:
3. Kalaupun ada yang berpendapat demikian tentunya tidak berupa keyakinan yang
kemudian menafikan kemungkinan-kemungkinan lainnya, karena landasannya
sebatas asumsi seorang perawi yang beliau sendiri bahkan tidak sampai meyakininya.
16. 4. Menurut hadits
Muslim Nomor 2913:
Akan ada kembali
kekhilafahan,
(a)Hadits menyebutkan
munculnya khalifah di
akhir umat Nabi
Muhammad saw.,
(b)Keterangan dua orang
perawinya Abu
Nadhrah dan Abu
Al-’Alaa’ saat ditanya
oleh Al-Jurairiy,
Jelas yang dimaksud
bukan kalifah ‘Umar
bin ‘Abdil ‘Aziz,.
Mengatakan tidak
akan ada lagi khalifah
berarti mengingkari
hadits shahih ini.
17. 5. Masih dari sumber
yang sama, yaitu
hadits nomor 2914:
akan muncul
kembali Khalifah di
Akhir Zaman.
Tentunya bukan
kalifah ‘Umar bin
‘Abdil ‘Aziz, karena
beliau hidup dekat
dengan masa
kenabian dan bukan
di akhir zaman.
Mengatakan tidak
akan ada lagi
khalifah berarti
mengingkari hadits
shahih ini.
18. Abu Ya’la Al-
Mushiliy
meriwayatkan
hadits dari jalan Abu
Hurairah, bahwa
khilafah di akhir
zaman nanti adalah
khilafahnya Al-
Imam Al-Mahdi.
Itupun masanya
sangat singkat, yaitu
tujuh tahun saja.
Musnad Abu Ya’la,
juz 12 hlm 19.
19. Al-Mahdi memang
khalifah di akhir zaman,
tapi Beliau bukan satu-
satunya. At-Thabaraniy
meriwayatkan hadits
shahih bahwa Beliau
nanti dibai’at menjadi
khalifah setelah khalifah
sebelumnya wafat, itu
tandanya sebelum beliau
menjadi khalifah sudah
berlangsung masa
kekhilafahan.
Pertanyaannya,
darimana datangnya
kekhilafahan tersebut?
Apakah muncul dengan
sendirinya?
Majma’ Az-Zawaid, juz 7
hlm 433
20. Al-Imam Hujjatul
Islam al-Ghazali
berkata dalam al-
Iqtishad fi al-
I’tiqad, hal. 200,
“Kajian tentang
khilafah tidak
penting, dan
lebih selamat
tidak
mengkajinya.”
21. Syaikh Taqiyyuddin al-
Nabhani berkata
dalam kitab al-
Syakhshiyyat al-
Islamiyyah, juz 2, hal.
19 bahwa
“Bengpangku tangan
dari menegakkan
khilafah termasuk
dosa terbesar, dan
menghentikan
eksistensi Islam dalam
ranah kehidupan.
Semua kaum Muslim
dosa besar
karenanya.”
22. 1. Al-Imam Al-Ghazali (Ulama Sunni) berkata:
“menghindari pembahasan imamah lebih selamat
daripada membahasnya, iya kalau sudah benar
(pemahamannya), bagaimana jika ternyata salah?”.
Beliau kemudian membagi pembahasan imamah
menjadi tiga topik:
• Kewajiban mengangkat imam untuk membantah
kalangan yang mengingkari wajibnya imamah
• Apakah Imam telah ditetapkan oleh nash untuk
membantah pendapat sebagaimana yang dianut
Rafidhah bahwa Imam Ali bin Abi Thalib ra telah
ditetapkan sebagai Imam berdasarkan hadits Ghadir
Khum
• Akidah Ahlus Sunnah terhadap Shahabat Nabi dan
Khulafa Rasyidun untuk membantah kalangan
yang mengkultuskan mereka dan juga kalangan yang
mengingkari kekhalifahan mereka.
(Al-Iqtishaad fiy Al-I’tiqaad, hal. 200-207)
23. Berikut juga keterangan Imam
Hasan Al-’Aththar (Ulama Sunni)
dalam Hasyiyah beliau atas
Jam’u-l-jawaami’, juz 2 hlm 487:
24. 2. Yang menyatakan Imamah adalah kewajiban yang Sangat Besar bukan hanya Hizbut Tahrir.
Muhammad bin Ahmad As-Safarini Al-Hambali (Ulama Sunni), dalam Lawâmi’ Al-Anwâr, juz
2 hlm 419:
29. “Ekstrem”:
‘Umar bin
Khaththab ra.
memerintahkan
untuk membunuh
anggota syura’
dari kalangan
sahabat pilihan
jika menghambat
proses pemilihan
khalifah, dan para
sahabat lainnya
tidak ada yang
menolak bertanda
mereka setuju.
Al-Kaamil fi-t-
taariykh, juz 2 hlm
461
31. “Ekstrem”:
Imam Taqyuddin
Abu Bakr Al-
Hishniy (Ulama
Sunni)
menyebutkan
bahwa menurut
para ulama
istighfar yang
disertai dengan
diantaranya
keridhaan tidak
menerapkan
hudud adalah
terhitung sebagai
dosa!
Kifayatu-l-
Akhyaar, hlm 242
32. Al-Imam Fakhruddin al-Razi,
berkata dalam tafsirnya, al-Tafsir
al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz
13, hal. 204, bahwa tampilnya
seorang pemimpin yang zalim
adalah akibat kezaliman yang
dilakukan oleh rakyat.
33. Hizbut Tahrir
merubah sistem
dengan berdakwah
di tengah-tengah
dan bersama umat
(masyarakat)
sampai mereka
menjadikan Islam
sebagai pandangan
hidupnya,
sehingga akhirnya
mereka sendirilah
yang menuntut
penerapan Syari’at
dan Khilafah.
34. Al-Imam Abu Ja’far
al-Thahawi (Ulama
Sunni) berkata dalam
al-’Aqidah al-
Thahawiyyah,
“bahwa Ahlussunnah
Wal-Jama’ah tidak
memiliki konsep
menggulingkan
pemerintahan yang
sah, meskipun
mereka telah berbuat
kezaliman.”
35. Yang haram digulingkan adalah
Pemerintahan Islam. Menurut Ibnu Katsir
(Ulama Sunni) bahwa jika pemerintah
Islam mengganti atau mencampur syari’at
Islam dengan syari’at lain, maka wajib
untuk dilengserkan. Tafsiyr Al-Qur-aan
Al-’Azhiym (tafsir Ibn Katsir) juz 3 hlm 131.
36. Adapun merubah
pemerintahan yang
tidak Islami, maka
dengan mencontoh
perjalanan dakwah
Rasulullah saw saat
periode Mekah, yaitu
dengan dakwah
tanpa kekerasan.
37. Syaikh Taqiyyuddin al-
Nabhani, pendiri
Hizbut Tahrir, dengan
mengadopsi dari
Mu’tazilah,
menegaskan dalam
kitabnya, al-
Syakhshiyyat al-
Islamiyyah, juz 1, hal.
71 dan 72, bahwa
perbuatan manusia
tidak ada kaitannya
dengan keputusan
Allah.
38. Al-Imam al-Hafizh
al-Kabir Abu Bakar
Ahmad bin al-
Husain al-Baihaqi,
w. 458 H, berkata
dalam kitabnya, al-
I’tiqad ‘ala Sadzhab
al-Salaf Ahl al-
Sunnah wa al-
Jama’ah, hal. 53-
54, bahwa semua
perbuatan manusia
adalah ciptaan
Allah dan terjadi
sesuai dengan
keputusan Allah.
39. Ungkapan bahwa
perbuatan manusia
yang bersifat ikhtiyariy
tidak termasuk Qadha’,
bukan berarti
menganggapnya
sebagai ciptaan
manusia. Karena:
1.Yang dimaksud
Qadha’ di situ adalah
perbuatan-perbuatan
yang terjadi di luar
kehendak manusia
yang telah ditetapkan
oleh Allah swt. (Asy-
Syakhshiyyah Al-
Islaamiyyah, juz 1 hlm
94)
40. 2. Perbuatan manusia
yang bersifat
pilihan adalah
berupa intifaa’
(pemanfaatan)
manusia atas
khashyyat (sifat-
sifat khusus) yang
telah Allah swt
tetapkan pada
benda-benda. (Asy-
Syakhshiyyah Al-
Islaamiyyah, juz 1
hlm 96)
Jadi Hizbut Tahrir
tidak pernah
mengatakan bahwa
manusia bisa
menciptakan
perbuatannya
42. 1. Yang dimaksud Ahlus Sunnah oleh Syaikh Taqyuddin An-Nabhaniy
dalam pembahasan Qadha dan Qadar adalah Al-Asy’ariyyah
2. Dalam pembahasan Qadha dan Qadar pada hakikatnya pendapat
keduanya (Ahlus Sunnah dan Jabariyyah) adalah sama, yaitu bahwa
perbuatan manusia baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan
adalah ketetapan dan ciptaan Allah swt. Bedanya Asy’ariyyah
mengenal apa yang dinamakan dengan Kasb Ikhtiyariy, yaitu hamba
kuasa memilih perbuatannya. Namun meskipun demikian yang terjadi
tetap apa yang telah ditetapkan Allah swt, baik dipilih maupun tidak.
Karena suatu perbuatan akan terjadi manakala kuasa manusia sejalan
dengan kuasa Allah swt.
43. 3. Yang menyatakan bahwa Asy’ariyyah
memiliki kesamaan dengan Jabariyyah
bukan hanya Syaikh Taqyuddin. Berikut
Al-Imam Al-Ijiy (Ulama Sunni) dalam
kitabnya Al-Mawaqif hlm 428
45. Syaikh Taqiyyuddin
al-Nabhani, pendiri
Hizbut Tahrir,
berkata dalam al-
Syakhshiyyat al-
Islamiyyah, juz 1,
hal. 53, bahwa
“Ta’wil pertama
kali dilakukan oleh
kalangan teolog,
bukan ulama
salaf”.
46. Al-Imam al-Syaukani
(Ulama Syiah
Zaidiyah), berkata
dalam kitabnya
Irsyad al-Fuhul,
mengutip dari al-
Imam al-Zarkasyi
(Ulama Sunni) dalam
al-Burhan fi ‘Ulum
al-Qur’an, bahwa
ta’wil terhadap
nushush
mutasyabihat
dilakukan oleh
ulama salaf.
47. Hizbut Tahrir tidak
sedang mengkritik
ta’wil, melainkan
mengkritik manhaj
Kaum Mutakallimin
yang menjadikan
akal sebagai asas
dalam menta’wil,
bukan ayat Al-
Qur’an.
(Asy-Syakhshiyyah
Al-Islaamiyyah, juz
1 hlm 55-56)
48. Taqiyyuddin al-
Nabhani berkata
dalam kitabnya, al-
Syakhshiyyat al-
Islamiyyah, juz 1,
hal. 43, bahwa yang
dimaksud, “Qadar
dalam hadits Jibril
adalah ilmu Allah”.
Dengan demikian
berarti al-Nabhani
menisbatkan
keburukan kepada
Allah swt.
49. Syaikh Abdullah
al-Harari (Ulama
Sunni), berkata
dalam kitabnya,
al-Syarh al-Qawim
‘ala al-Shirath al-
Mustaqim, hal.
228, bahwa
“Maksud Qadar
dalam hadits Jibril
adalah al-Maqdur
(sesuatu yang
diputuskan Allah)
atau Makhluk,
yang boleh dilabel
sifa baik dan
buruk.”
51. Maksud dari iman kepada
Qada’ dan Qadar baik dan
buruknya dari Allah swt:
Mengimani bahwa
perbuatan-perbuatan
yang terjadi oleh manusia
atau atasnya yang
bersifat “memaksa” dan
khashiyyat yang ada
pada benda-benda
adalah dari Allah swt
bukan dari Manusia, dan
tidak ada peran manusia
di dalamnya. al-
Maqdur (sesuatu yang
diputuskan Allah). Jadi
tidak ada penisbatan
kejelekan kepada Allah
swt tersebut. (Asy-
Syakhshiyyah Al-
Islaamiyyah, juz 1 hlm 94)
52. Syaikh Taqiyyuddin
al-Nabhani berkata
dalam kitab al-
Syakhshiyyat al-
Islamiyyah, juz 1, hal.
132, bahwa “Para
nabi dan rasul itu
ma’shum setelah
menjadi nabi dan
rasul. Sedangkan
sebelum menjadi
nabi dan rasul,
mereka tidak
ma’shum.”
53. Al-Imam
Muhammad al-
Dasuqi (Ulama
Sunni), berkata
dalam kitabnya,
Hasyiyah ‘ala Ummi
al-Barahin, hal. 163,
“Para nabi itu
terjaga dari dosa
besar dan kecil,
sengaja dan tidak
sengaja, sebelum
dan sesudah
menjadi nabi.”
54. Imam Al-Amidiy
(Ulama Sunni):
menurut Qadhi Abu
Bakar Ibnu Al-’Arabiy
(Ulama Sunni) dan
jumhur ulama
madzhab kami
(Syafi’iyyah), serta
banyak dari kalangan
mu’tazilah, bahwa
para nabi
memungkinkan untuk
bermaksiat sebelum
kenabiannya, baik
dosa besar maupun
kecil, bahkan boleh
kerasulan orang yang
sebelumnya kafir. Al-
Ihkaam fiy Ushuuli-l-
Ahkaam, juz 1 hlm 227
56. Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani, Ulama Sunni dan kakek pendidi Hizbut Tahrir
berkata dalam kitabnya Hujjatullah ‘ala al-’Alamin, hal. 773, bahwa “Ijtihad telah
terputus sejak ratusan tahun yang lalu.”
57. Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani, berkata dalam kitabnya Hujjatullah ‘ala
al-’Alamin, hal. 775, bahwa “Yang mengaku mujtahid sekarang ini tidak punya akal,
dan tidak tahu malu.”
58. Az-Zarkasyi (Ulama
Sunni): Nukilan bahwa
ada kesepakatan atas
sudah tertutupnya pintu
ijtihad adalah hal aneh,
karena perkara ini
termasuk khilafiyyah.
Ulama Hanabilah
berpendapat: tidak
boleh ada suatu masa
yang kosong dari
keberadaan seorang
mujtahid. Pendapat ini
ditegaskan oleh Abu
Ishaq dan Az-Zubairiy.
Ibnu Daqiq: ini
pendapat pilihan kami!
Irsyaadu-l-fuhuwl, hlm
1037
59. Yang menyatakan
bahwa ijtihad lebih
mudah dilakukan di
masa sekarang bukan
hanya Syaikh
Taqyuddin An-
Nabhani. Asy-Syaukani
berkata ijtihad bagi
kalangan
mutaakhkhirun lebih
gampang dan mudah
daripada ijtihad bagi
kalangan
mutaqaddimun.
Irsyaadu-l-Fuhuwl, hlm
1039
60. Syaikh
Taqiyyuddin al-
Nabhani, pendidi
Hizbut Tahrir,
berkata dalam
kitab al-Nizham al-
Ijtima’i fi al-Islam,
hal. 57 bahwa
“laki-laki boleh
menyalami
perempuan dan
sebaliknya tanpa
tabir antara
keduanya.”
61. Membolehkan
bersalaman dengan
wanita ajnabiyyah
selama tidak
khawatir
menimbulkan fitnah
bukanlah pendapat
asing, bahkan dia
adalah pendapat
Mayoritas Ulama di
luar Syafi’iyyah. Lihat
keterangan Syaikh
Wahbah Az-Zuhailiy
(Ulama Sunni) dalam
Al-Fiqhu-l-Islaamiy
wa Adillatuhu, juz 3
hlm 567.
62. Naskah asli fatwa
Hizbut Tahrir hal.
226 yang
membolehkan
ciuman laki-laki dan
perempuan yang
bukan muhrim dan
bukan sumai istri,
asal tidak
bermaksud berzina.
63. Bahwa Hizbut Tahrir
membolehkan
berciuman dengan
wanita ajnabiyyah
adalah anggapan
keliru yang
bertentangan dengan
fakta, dan bahwa
naskah fatwa
tersebut sebagai
produk yang diadopsi
Hizb juga tidak benar.
An-Nizham Al-
Ijtimaa’iy fiy –l-
Islaam, hlm 57.
65. Bahwa Hizbut Tahrir
mengeluarkan fatwa
membolehkan
nonton film porno
adalah tuduhan keji.
Menurut Syaikh
Taqyuddin An-
Nabhaniy gambar
porno (baik yang
bergerak maupun
tidak) adalah
gambar terlarang
karena
bertentangan
dengan peradaban
islam. Nizhaam Al-
Islaam, hlm 68.
66. Amir Hizbut Tahrir
yang sekarang (Syaikh
‘Atha’ Abu Rusythah)
saat ditanya tentang
hukum melihat film
porno, beliau
menegaskan bahwa
melihat film porno
hukumnya haram
karena bisa menjadi
wasilah kepada
keharaman.
Ajwibah As-ilah:
http://www.hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php/HTAmeer/QAsingle/1543/
(16/02/12)
:لللللل
:لللللل
:لللللل
:لللللل
68. Menjadi agen (kaki-tangan/mata-mata) negara kafir menurut Hizbut Tahrir
adalah haram, dari sisi memberi jalan kepada kaum kafir untuk menang, dan
keharaman aktivitas memata-matai kaum muslim.