SlideShare a Scribd company logo
1 of 36
TUGAS KELOMPOK
KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MORALITAS DAN
KEAGAMAAN REMAJA SERTA IMPLIKASINYA DALAM
PENDIDIKAN
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam memenuhi tugas
Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
Dosen Pengampu : Siti Nurlaila, S. Psi., M.Psi.
Disusun Oleh :
Kelompok VIII
Bayu Triatmojo ( 14330001 )
Luthfi Khairani ( 14330017 )
Rafita Al Qorny (14330031 )
PRODI : PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
2015
Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT, yang mana telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya, Sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik yang berjudul karakteristik
perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam
pendidikan, bisa tepat waktu yang mana teleh ditentukan oleh Siti Nurlaila,
S. Psi., M.Psi dan Arin. N. M. Pd.Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas
pada Program Study Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pengetahuan.
Demikian makalah ini kami tunjukan kepada Ibu Dosen Program Study
FKIP Siti Nurlaila, S. Psi., M.Psi. Kami menyadari bahwa kami memiliki
keterbatasan dan kemampuan sehingga bnanyak pihak yang membimbing kami
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari walaupun
berusaha dengan segenap kemempuan kami, Namun Makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karna itu segala kritik yang sifatnya membangun ataupun
memperbaiki dari kekuragan kami akan kami trima dengan kelapangan dada.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Metro,07 Mei 2015
DAFTAR ISI
COVER ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
Bab I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C. Batasan Masalah ..................................................................................... 3
D. Tujuan Diskursus ..................................................................................... 3
E. Metode Pemecahan Masalah ................................................................... 4
Bab II PEMBAHASAN.............................................................................. 4
A. Karakteristik Nilai, Moral, Dan sikap Remaja ........................................... 4
B. Pengertian Nilai, Moral, Dan Sikap ........................................................... 6
C. Perkembangan Moralitas .......................................................................... 9
D. Perkembangan Spiritual ............................................................................. 13
E. Pengertian Agama, Pendidikan Agama Dan Pendidikan
Keagamaan...................................................................................................15
F. Hubungan Antara Nilai, Moral, Sikap, Dan Keagamaan ............................ 16
G. Prinsip Dasar Psikologi Perkembangan Agama .......................................... 17
H. Konsep Perkembangan Moral Dan Keagamaan Anak .............................. 21
I. Tahapan Perkembangan Moral Dan Keagamaan Anak .............................. 22
J. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral,
Sikap, Dan Keagamaan Anak.........................................................................30
K. Proses Pembelajaran Untuk Membantu Perkembangan Nilai,
Moral, Sikap Dan Keagamaan Subjek Didik..................................................31
Bab III PENUTUP ..................................................................................... 34
Kesimpulan .................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 35
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai persoalan mengenai konsep dan aplikasi tentang nilai, moral,
sikap dan keagamaan anak, merupakan masalah yang sekarang ini sangat banyak
meminta perhatian, terutama bagi para pendidik, ulama, pemuka masyarakat dan
para orang tua. Terlebih tantangan zaman yang semakin kuat, dengan adanya
globalisasi dan slogan Global Village menjadikan para remaja mudah terbujuk
oleh gemerlapnya dunia hedonis, konsumeris dan dugem yang makin menjauhkan
anak dari nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan. Tidak henti-hentinya kita
mendengar berita tentang tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak,
Adapun moral sama dengan etika, atau kesusilaan yang diciptakan oleh
akal, adat dan agama, yang memberikan norma tentang bagaimana kita harus
hidup. (Panuju, 1995). Moral dapat diukur secara subyektif dan obyektif. Kata
hati atau hati nurani memberikan ukuran yang subyektif, adapun norma
memberikan ukuran yang obyektif. (Hardiwardoyo,1990). Apabila hati nurani
ingin membisikan sesuatu yang benar, maka norma akan membantu mencari
kebaikan moral. Anak yang berusaha hidup baik secara tekun dalam waktu lama
dapat mencapai keunggulan moral yaitu bersikap batin dan berbuat lahir secara
benar.
Kita barang kali sangat terkejut ketika untuk pertama kali mendapati anak
kita yang masih belia berani melontarkan kata-kata kotor kepada guru atau orang
tuanya sendiri. Mungkin pula anak yang tadinya manis dan baik tiba-tiba mencuri
uang dalam jumlah besar, memeras teman sekelas, nyontek, belajar merokok,
memfitnah teman, atau membaca buku porno. Apakah hal demikian normal ?
Meskipun saat ini semakin banyak anak terlibat kasus yang menyangkut
moral, kita tidak boleh beranggapan bahwa hal ini wajar. Pelanggaran moral
bukanlah hal yang dapat dianggap remeh. Seyogyanyalah pelanggaran moral oleh
anak dikoreksi dan tidak dibiarkan begitu saja.
Semakin seriusnya perilaku tak bermoral yang dilakukan anak yang masih
muda memberi petunjuk akan semakin beratnya tantangan bagi orang tua dalam
mendidik anak. Mengapa anak berperilaku buruk? Salah satu kemungkinannya
adalah karena semakin jarangnya kehdirang orang tua di rumah. Jumlah waktu
yang dipakai orang tua untuk mengajar anak-anaknya hidup secara benar juga
semakin berkurang. Akibatnya pengenalan anak terhadap kehidupan orang tuanya
sendiri juga semakin sedikit. Padahal anak perlu menyaksikan orang tuanya secara
langsung untuk memperoleh contoh nyata hidup yang bermoral.
Kesulitan bertambah ketika anak justru memperoleh pengajaran yang
kurang patut, baik melalui televisi, teman sekolah, maupun dari orang dewasa di
sekitarnya. Ketika perilaku butuk anak terbentuk menjadi pola kebiasaan, perilaku
itu sudah semakin sulit dibelokkan lagi. Karena itu, kita perlu memanfaatkan
waktu sebaik-baiknya untuk membentuk perilaku moral anak-anak kita.
Norma-norma lama sudah tidak meyakinkan lagi untuk menjadi pegangan.
Kenyatannya, anak tidak dapat lari dari hati nuraninya, tapi hati nurani pun tidak
berdaya menemukan kebenaran, apabila norma-norma yang biasanya dipakai
sebagai landasan pertimbangan menjadi serba tidak pasti. Anak berhadapan
dengan berbagai tipe manusia, tutur kata, gaya hidup, dan tingkah laku
moral.yang bervariasi. Pola kehidupan masyarakat pun semakin cenderung
individualis, dengan kontrol sosial yang relatif longgar. Munculah fenomena baru
sebagai model bagi anak yaitu teman sepermainannya, atau tokoh-tokoh serial
televisi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan Diskursus
yang kami ajukan “Perkembangan Moral dan Keagamaan (Pembentuk
Kepribadian dan Sikap Insan)” dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa pengertian Nilai, Moral dan Sikap?
2. Apa pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan?
3. Bagaimana hubungan antara Nilai, Norma, Sikap dan Keagamaan?
4. Apa yang dimaksud dengan konsep perkembangan Moral dan Keagamaan
anak?
5. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan moral dan Keagamaan anak ?
6. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan Nilai, Moral, Sikap
dan Keagamaan anak?
7. Bagaimana Proses pembelajaran untuk membantu perkembangan Nilai, Moral,
Sikap dan Keagamaan Subjek Didik?
D. Tujuan Diskursus
Tujuan diajukannya diskursus ini ialah untuk mengetahui;
1. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap
2. Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
3. Hubungan antara Nilai, Norma, Sikap dan Keagamaan
4. Konsep perkembangan Moral dan Keagamaan anak
5. Tahapan-tahapan perkembangan moral dan Keagamaan anak
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan
Keagamaan anak
7. Proses pembelajaran untuk membantu perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan
Keagamaan Subjek Didik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Nilai, Moral, Dan Sikap Remaja
Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha
melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka
masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting Dalam Pembentukan nilai
(Harrocks, 1976; Adi, 1986; Monks, 1989). Salah satu karakteristik remaja sangat
menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan
pentingnya tata nilai dan pengembangan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan
sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk
menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang (Sarwono,
1989). Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara identifikasi dan
imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha
mengembangkannya sendiri.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah
bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan
berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu
memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja
terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terkait pada waktu, tempat, dan
situasi, tetapi jugapada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka (Gunarsa,
1988). Perkembanagan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh
kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada
karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu
mempertanggung-jawabkannya secara pribadi (Monks, 1989). Perkembanagan
pemikiran moral remaja yang demikina, jika meminjam teori perkembangan
moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahapan konvensional. Pada akhir
masa remaja seseorang akan memasuki tahapan perkembangan pemikiran moral
yang disebut tahap pascakonvensional ketika orinalitas pemikiran moral remaja
sudah semakin jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian
pribadi yang tidak terganung lagi pada pendapat atau pranata yang bersifat
konvesional.
Tingkat perkembangan fisik dan psikisn yang dicapai remaja yang
berpengaruh pada perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup
menyolok dan ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap
menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya (Gunarsa,
1989). Apabila kalau orang tua atau orang dewasa berusaha memaksa nilai-nilai
yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang
ditumjukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai unjuk
kemampuan berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas.
Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah
serta berkembang kearah moralitas yang lebih matang dan mandiri.
B. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap
Menurut Spranger, Nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan
panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam
situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia itu
terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejarahan. Meskipun
menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia,
tetapi Spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah
”roh subjektif” (subjective spirit). Sementara itu, kekuatan nilai-nilai budaya
merupakan ”roh objektif” (objective spirit). Dalam kacamata Spranger, kekuatan
individual atau roh subjektif didudukkan dalam posisi primer karena nilai-nilai
budaya hanya akan berkembang dan bertahan apabila didukung dan dihayati oleh
individu. Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis, yaitu:
1. Nilai Teori/Nilai Keilmuan (I): Dasar Pertimbangan Rasional, kontras dengan
nilai (A)
2. Nilai Ekonomi (E) Dasar Pertimbangan Ada Tidaknya Keuntungan finansial,
kontras dengan nilai (S)
3. Nilai Sosial/Nilai Solidaritas (Sd) dasar pertimbangan tidak menghiraukan
keberuntungan/ketidakberuntungan, kontras dengan nilai (K)
4. Nilai Agama (A) dasar pertimbangan benar menurut ajaran agama, kontras
dengan nilai (I)
5. Nilai Seni (S) dasar pertimbangan rasa keindahan/rasa seni terlepas dari
pertimbangan material, kontras dengan nilai (E)
6. Nilai Politik/Nilai Kuasa (K) dasar pertimbangan kepentingan diri/kelompok,
kontgras dengan nilai (Sd) (Mohammad Asrori, 2008:153-154)
Sementara itu, istilah Moral berasal dari berasal dari kata latin “Mos,
Moris dan Mores”, yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau
tatacara dalam kehidupan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai
tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi/kaidah norma dan pranata
yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan
masyarakat. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan
melakukan peraturan, nilai – nilai dan prinsip-prinsip moral/aspek kepribadian
yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara
harmonis, adil dan seimbang. (Mohammad Asrori, 2008:155) dan (Yusuf : 2007 :
132).
Moral juga diartikan sebagai ajaran baik dan buruk perbuatan dan
kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto, 1956 : 957). Dalam
moral didiatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu
perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan
kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang
salah. Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain,
memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara
hak orang lain, larangan berjudi, mencuri, berzina, membunuh dan meminum
khamar. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut
sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Sejalan dengan perkembangan social, perkembangan moral keagamaan
mulai disadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh, harus atau
terlarang untuk melakukannya. Aturan-aturan perilaku yang boleh atau tidak
boleh disebut moral.
Proses penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dari
lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau
persetujuan, kecaman atau atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang
mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Sedangkan Sikap, menurut Fishbein (1985) ialah predisposisi
(kecenderungan) emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten
terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel latent yang mendasari,
mendireksi dan mempengaruhi perilaku. Sikap diekspresikan ke dalam kata-
kata/tindakan hasil reaksi terhadap objek, baik orang, peristiwa, situasi dan lain
sebagainya.
Sedangkan sesuai dengan konsep Chaplin (1981) dalam ”Dictionary of
Psychology” menyamakan sikap dengan pendirian. Menurutnya Sikap yaitu
predisposisi/kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus
untuk bertingkah laku/bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap oranglain,
objek, lembaga/persoalan tertentu. Sehingga Sikap merupakan predisposisi untuk
mereaksi terhadap orang, lembaga/peristiwa, baik secara positif maupun
negatif/predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan kategorisasi. Sedang Stephen
R. Covey (1989) mengemukakan tiga teori determinisme (faktor yang
menentukan) yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi,
untuk menjelaskan sikap manusia,yaitu:
a. Determinisme Genetis (genetic determinism) sikap individu diturunkan oleh
sikap kakek-neneknya
b. Determinisme Psikis (psychic determinism) sikap individu merupakan hasil
dari perlakuan, pola asuh/pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya
c. Determinisme lingkungan (environmental determinism) perkembanagn sikap
seseorang itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tinggal dan
bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut (Mohammad Asrori,
2008:159-161)
C. Perkembangan Moralitas
Moralitas dapat didefinisikan sebagai cara. Namun, secara umum
moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan
yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri
ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar
standar tersebut. Dalam definisi ini, individu yang matang secara moral tidak
membiarkan masyarakat untuk mendikte mereka karena mereka tidak
mengharapkan hadiah atau hukuman yang berwujud ketika memenuhi atau tidak
memenudi standar moral. Mereka menginternalisasi prinsip moral yang mereka
pelajari dan memenuhi gagasannya, walaupun tidak ada tokoh otoritas yang hadir
untuk menyaksikan atau mendorong mereka.
Moralitas memiliki tiga komponen, yaitu komponenafektif, kognitif, dan
perilaku. Komponen afektif atau emosional terdiri dari berbagai jenis perasaan
(seperti perasaan bersalah atau malu, perhatian terhadap perasaan orang lain, dan
sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pemikiran
atau tindakan moral. Komponen kognitif merupakan pusat di mana seseorang
melakukan konseptualisasi benar dan salah dan membuat keputusan tentang
bagaimana seseorang berperilaku. Komponen perilaku mencerminkan bagaimana
seseorang sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong,
curang, atau melanggar aturan moral lainnya.
Komponen afektif moralitas (moral affect) merupakan berbagai jenis
perasaan yang menyertai pelaksanaan prinsip etika. Islam mengajarkan
pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu
yang penting. Hadist menyatakan:
Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda “Malu itu
pertanda dari iman.” (HR Buhari dan Muslim)
Malu dikatakan sebagai sebagian dari iman karena rasa malu dapat menjauhkan
diri dari perbuatan yang tidak bermoral.
Komponen kognitif moralitas (moral reasoning) merupakan pikiran yang
ditunjukkan seseorang ketika memutuskan berbagai tindakan yang benar atau
yang salah. Islam mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan ke dalam jiwa
manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan ketakwaan. Manusia memiliki akal
untuk memilih jalan mana yang ia akan tempuh. Dalam Al-quran dinyatakan:
) ‫َن‬‫ف‬ْ ‫س‬ٍَ‫و‬ ‫ن‬َ‫ا‬ َ‫س‬ ‫و‬َّ‫ا‬‫ه‬َ‫ا‬ َ‫)7س‬ ) ‫َن‬‫ف‬ْ ٍَ‫ا‬َََ َ‫س‬ ‫َن‬‫ف‬َ‫ٍر‬‫ه‬َ‫ه‬ ‫ن‬َََََْ‫ا‬‫ه‬َ‫ا‬َ 8) ) ‫َن‬‫ف‬‫ن‬‫س‬‫ف‬َ‫ل‬ ‫ا‬ََ‫ا‬ ََْ‫ز‬‫ا‬ َ‫ا‬ ‫ا‬‫ا‬َ(9) ‫ا‬‫ا‬َ( َ‫س‬ ‫َن‬‫ف‬‫ن‬‫س‬‫و‬ََ ‫ا‬ََ‫ا‬ َ‫َنا‬‫ا‬ (10)
Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah
orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya. (Q. S. al-Syams [91]: 7-10).
Pilihan manusia tentang jalan yang akan ia pilih dalam konflik ini menentukan
apakah ia menjadi orang yang baik atau tidak.
Komponen perilaku moralitas (moral behavior) merupakan tindakan yang
konsisten terhadap tindakan moral seseorang dalam situasi di mana mereka harus
melanggarnya. Islam menggambarkan bahwa memilih melakukan jalan yang
benar seperti menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh
jalan yang mendaki lagi sukar. (QS Al-Balad [90]: 10-11).
Melakukan sesuatu pada jalan yang benar merupakan pilihan bagi umat Islam,
meskipun sulit.
Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam
dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, dalam
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, teman
sebaya, atau guru), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik,
yang boleh dikerjakan dan tingkah laku yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
1. Teori Psikoanalisa tentang Perkembangan Moral
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan
pembagiaan struktur kepribadian manusia atas tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id
adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan
tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri dari aspek psikologis,
yaitu sub sistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas.
Sedangkan superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social
yang berisikan sistem nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan benar
dan salahya sesuatu.
2. Teori Belajar-Sosial tentang Perkembangan Moral
Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas
stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman dan peniruan
digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak.
3. Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral
Teori kognitif piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip-
prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui
dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget perkembangan
moral digambarkan melalui aturan permainan. Berdasarkan hasil
observasinya tahapan aturan-aturan permainan yang digunakan anak-anak, piaget
menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan
atas dua tahap, yaitu:
1. Tahap Heterononous Morality
Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 6 hingga
9 tahun. Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu konsep
bahwa bila suatu aturan yang dilanggar, hukuman akan segera dijatuhkan.
2. Tahap Autonomous Morality
Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 9 hingga
12 tahun. Anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukuman-hukuman
merupakan ciptaan manusia dan dalam penerapan suatu hukuman atau suatu
tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya.
3. Teori Kohlberg tentang Perkembangan Moral
Tokoh yang paling dikenal dalam kaitannya dengan pengkajian
perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlberg (1995). Melalui disertasinya
yang sangat monumental yang berjudul The Development of Mades of Moral
Thinking and Choice in the Years 10 to 16 yang diselesaikannya di University of
Chicago pada tahun 1958, dia melakukan penelitian empiris lintas kelompok usia
tentang cara pertimbangan moral terhadap 75 orang anak dan remaja yang berasal
dari daerah sekitar Chicago. Anak-anak dibagi ke dalam tiga kelompok usia, yaitu
kelompok usia 10, 13, dan 16 tahun. Penelitiannya dilakukan denagn cara
menghadapkakn para subjek penelitia/responden kepada berbagai dilema moral, di
mana mereka harus memilih antara tindakan menaati peraturan atau memenuhi
kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan beraturan dan selanjutnya
mencatat semua reaksi mereka. Teori Kohlberg tentang perkembangan moral
merupakan pelumas, modifikasi, dan redefeni atas teori Piaget. Hal penting dari
teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan
moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku
moral dalam arti perbuatan nyata.
Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlberg (1995) menarik sejumlah
kesimpulan sebagai berikut:
a) Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan
moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung suatu
tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi
kognitif yang bersifat aktif terhadap titik pandang masing-masing individu
sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak, kewajiban, dan
keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang baik dan adil. Kesemuanya
merupakan tindakan kognitif.
b) Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan
formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.
c) Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16
tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.
Moral merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi remaja, terutama
sebagai pedoman untuk menentukan identitas dirinya, mengembangkan
hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran
yang selalu terjadi dalam masa transisi. Moralitas pada hakitatnya adalah
penyelesaian konflik antara dirinya dan orang lain, antara hak dan kewajiban
(Setiono, 1994).
D. Perkembangan Spiritual
1. Pengertian Spiritualitas
Kata spiritualitas berasal dari bahasa inggris yaitu spirituality, kata
dasarnya spirit yang berarti roh, jiwa, semangat (Echols dan Shadily, 1997). Kata
spirit sendiri berasal dari kata latin spiritus yang berarti luas atau dalam (breath),
keteguhan hati atau keyakinan (courage), energi atau semangat (vigor), dan
kehidupan (Ingersoll, 1994). Kata sifat spiritual berasal dari kata latin spiritualis
yang berarti of the spirit (kerohanian). Ingersoll (1994) mengartikan spiritualis
sebagai wujud dari karakter spiritual, kualitas, atau sifat dasar.
Menurut Aliah B. Purwakania Hasan (2006), spiritualitas memiliki ruang
lingkup dan makna pribadi yang luas, hanya saja spiritualitas dapat dimengerti
dengan membahas kata kunci yang sering muncul ketika orang-orang
menggambarkan arti spiritualis bagi mereka. Dengan mengutip hasil penelitian
Martsolf dan Mickley, Aliah B. Purwakania Hasan menyebutkan beberapa kata
kunci yang bisa dipertimbangkan, yaitu:
1) Meaning (makna)
2) Values (nilai-nilai)
3) Transcendence (transendensi)
4) Connecting (bersambung)
5) Becoming (menjadi)
2. Spiritualitas dan Religiusitas
Agama memang tidak mudah untuk didefinisikan secara tepat, karena
agama mengambil bentuk bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-
bangsa di dunia. Secara etimologi, religion (agama) berasal dari bahasa latin
religio, yang berarti suatu hubungan antara manusia dan Tuhan. Berbeda dengan
agama, spiritualitas lebih banyak melihat aspek dalam lubuk hati, riak getaran hati
nurani pribadi, sikap personal yang bagi banyak orang lain merupakan misteri,
karena intimitas jiwa. Dalam ini, spiritualitas mencakup citra rasa totalitas
kedalam pribadi manusia.
Istilah spiritulitas dan religius sering kali dianggap sama, namun banyak
pakar yang menyatakan keberatannya jika kedus istilah ini dipergunakan saling
silang. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri, dan kesadaran individu tentang
asal, tujuan dan nasib. Agama (religius) adalah kebenaran mutlak dari kehidupan
yang memiliki manifestasi fisik di atas dunia. Agama memiliki kesaksian iman,
komunitas, dan kode etik. Dengan kata lain, spiritualitas memberikan jawaban
siapa dan apa orang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama
memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (perilaku atau
tindakan). Dalam konsep Islam, manusia dipandang sebagai makhluk Allah yang
diserahi tugas sebagai khalifah di muka bumi. Dalam pembukaan Al-quran, surat
Al-Fatihah, Allah merupakan Tuhan Pengatur seluruh alam semesta:
Segala puji [2] bagi Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al-Fatihah [1]: 2).
Dengan demikian, Allah adalah pencipta alam semesta dan Dian juga
menjaga dan memeliharanya. Implikasinya adalah segala sesuatu bersumber
kepadaNya (baik terlihat atau tidak, diketaui atau tidak) dan segala sesuatu
bergantung kepadaNya dalam hal pemenuhan kebutuhan, pertumbuhan dan
perkembangan. Interpretasi ini juga tercantum dalam Al-quran ayat berikut ini:
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. (QS. Az
Zumar [39]: 62).
E. Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Agama dari sisi etimologi berasal dari bahasa Yunani ”a” yang berarti
tidak dan ”gama” yang bermakna kacau balau, carut marut, tak teratur. Sehingga
agama ialah suatu tatanan yang berfungsi memberikan keteraturan. Sementara dari
sisi terminologi, menurut Hendropuspito (1983) dalam bukunya Sosiologi Agama,
menerangkan bahwa Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh
penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang
dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri
mereka dan masyarakat luas umumnya. Sehingga unsur-unsur Agama memuat:
a. Agama disebut jenis sistem sosial. Menjelaskan bahwa agama adalah fenomena
sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena
terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan
terarahkan kepada tujuan tertentu
b. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris . hal ini menyatakan
bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar”
yang di-”huni” oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan manusia
dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan roh tertinggi
c. Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya
sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud kepentingan (keselamatan)
ialah keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan keselamatan di ”dunia lain”
yang dimasuki manusia setelah kematian.
Thomas F.O Dea mendefinisikan agama sebagai pendayagunaan sarana-
sarana supra empiris untukmaksud-maksud non empiris atau supra empiris.
Sementara itu, J. Milton Yinger melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan
praktek dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga
menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Sedangkan Dunlop melihat agama
sebagai sarana terakhir yang sanggup menolong manusia bilamana instansi
lainnya gagal tak berdaya.
Sedangkanaspek agama menurut Joachim Wach ada tiga, yakni: pertama
unsur teoritisnya, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, kedua unsur
praktisnya ialah yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga
aspek sosiologisnya bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi
sosial. (Hendropuspito, 1983: 34-35)
Sementara itu Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan definisinya
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat
1 Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetrahuan dan
membentuk sikap kepribadian dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan
ajaran agamanya. Sedangkan Ayat 2 Pendidikan Keagamaan ialah pendidikan
yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang
menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan menjadi ahli ilmu
agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
F. Hubungan Antara Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan
Nilai merupakan tatanan tertentu atau kriteria di dalam diri individu yang
dijadikan dasar untuk mengevaluasi suatu sistem tertentu. Pertimbangan nilai
adalah penilaian individu terhadap suatu objek/sekumpulan objek yang lebih
mendasarkan pada sistem nilai tertentu daripada hanya sekedar karakteristik objek
tersebut. Moral merupakan tatanan perilaku yang memuat nilai-nilai tertentu
untuk dilakukan individu dalam hubungannya dengan individu
lain/kelompok/masyarakat. Moralitas merupakan pencerminan dari nilai-nilai dan
idealitas seseorang. Dalam moralitas terkandung aspek-aspek kognitif, afektif dan
perilaku, sedangkan sikap merupakan predisposisi tingkah laku/kecenderungan
bertingkah laku yang sebenarnya, juga merupakan ekspresi/manifestasi dari
pandangan individu terhadap suatu objek/sekumpulan objek. Sikapmerupakan
sistem yang bersifat menetap dari komponen kognisi, afeksi, dan konasi.
Perubahan pengetahuan individu tentang objek/sekumpulan objek
(sistem/konsep nilai, moral, sikap dan agama) akan menimbulkan perubahan
perasaan individu yang bersangkutan mengenai objek/sekumpulan objek tersebut
dan selanjutnya akan mempengaruhi kecenderungannya untuk bertindak terhadap
objek/sekumpulan objek tersebut. Keagamaan ialah segala sesuatu yang berkaitan
dengan agama baik nilai, moral, sikap maupun prilaku individu yang dilandasi
nilai, moral dan sikap dalam ajaran agama.
Dengan demikian, dapat ditarik konklusi bahwa nilai merupakan dasar
pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu, moral merupakan perilaku
yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan
predisposisi/kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu
objek/sekumpulan objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada
dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral
tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan
objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yang dimiliki, individu akan
menentukan prilaku mana yang harus dilakukan dan mana yang harus
dihindarkan. Ini akan tampak dalam sikap dan prilaku nyata sebagai perwujudan
dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya. Sedangkan Keagamaan
merupakan fundamen dan spirit bagi lahirnya sistem dan konsep nilai, moral dan
sikap yang dimiliki individu yang termanifes dalam prilaku individu terkait,
dalam kehidupan sehari-harinya. (Mohammad Asrori, 2008:162)
G. Prinsip Dasar Psikologi Perkembangan Agama
Salisu Shehu (1999) menyusun prinsip dasar psikologis perkembangan diri
Perspektif islam yang tediri dari kehidupan manusia (pertumbuhan dan
perkembangan) merupakan proses kumulatif dan simultan, meliputi keberadaan
fenomenal duniawi, dan melewatu periode kritis dan sensitive tertentu.
Kehidupan Manusia (Pertumbuhan dan Perkembangan) Merupakan Proses Yang
Bertahap dan Berangsu-angsur
Hal ini Merupakan prinsip pertamam dari perkembangan yang dapat
dipahami dari Al-Qur’an, ketika menyatakan bahwa Allah adalah Maha Pencipta,
Maha Penjaga. Dan Maha Pemelihara segala sesuatu, Al-Qur’an juga menyatakan
bahwa Allah menciptakan manusia dari berbagai tahap progresif pertumbuhan dan
perkembangan. Dengan kata lain, kehidupan manusia memiliki pola dalam
tahapan-tahapan tertentu yang termasuk tahapan dari pembuahan sampai
kematian. Tahapan yang terjadi yang dilewati manusia dalam pertumbuhan dan
perkembangannya bukan terjadi karena factor peluang atau kebetulan, namun ini
merupakan sesuatu yang telah dirancang, ditentukan dan ditetapkan langsung oleh
Allah Swt. Banyak ayat Al-Qur’an yang Menyatakan hal ini. Salah satu
contohnya adalah sebagai berikut:
Artinya:
yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak
mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia
telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya. (QS Al-Furqaan [25] : 2)
Hal ini dengan jelas menyatakan bahwa kehidupan dari segala sesuatu
telah ditentukan dengan cara demikian rupa sehingga setiap aspek secara
proporsional telah terlengkapi. Dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia,
dan segala tahapan yang dikemukakan di atas telah ditentukan sesuai ukurannya
dan semua manusia harus melewati semua tahapan tersubut. Pertumbuhan dan
perkembangan tidak terjadi serta merta dlam satu waktu, namun melalui tahapan
yang telah ditentukan ukurannyan yang membuatnya berjalan dengan proses yang
berangsur-angur atau gradual. Ayat berikut ini dengan jelas menyatakan bahwa
manusia diciptakan dab ditentukan untuk berkembang dalam tahapan.
Artinya :
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?. Padahal Dia
sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. ( QS.
Nuh [71] : 13-14)
Ibnu Katsir melaporkan bahwaAbdullah Ibn dan lain-lain menerjemahkan
ayat ini dalam pengertian bahwa manusia diciptakan dari nutfah (tetesan),
kemudian diubah menjadi alaqah (segumpal darah), kemudian menjadi mudhgah
(segumpal daging), dan seterusnya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:
Artinya :
sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). (QS
Al-Insyqaq [85] : 19)
Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa ‘Ikrimah (salah satu murid Ibn Abbas)
menerjemahkan ayat ini dalam pengertish bahwa manusia tumbuh dari satu
keadaan ke keadaan lain sedemikian rupa, menjadi kanak-kanak setelah bayi,
menjadi tua setelah muda dan kuat.
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa manusia tumbuh dan berkembang
mengikuti tahapan tertentu. Tahapan ini secara khusus dinyatakan dalam berbagai
ayat Al-Qur;an yang lain dengan cara yang lebih rinci. Selain itu, Nabi
Muhammad Saw, juga menyatakan tahapan ini lebih lanjut dalam beberapa Hadis.
Jika dianalisis Al-Qur’an dan Hadis secara umum membagi kehidupan manusia
(pertumbuhan dan perkembangan) di dunia menjadi dua kategori besar, Pra-
kelahiran dan pasca-kelahiran. Masing-masing tahap ini juga dapat dibagi atas
berbagai bagian lagi dengan istilah dan periode yang berbeda-beda.
Banyak ayat Al-Qur’an yang secara tahapan kehidupan manusia di dunia.
Meski dalam beberapa ayat yang lain, hanya menggambarkan tahap pertama
kehidupan manusia yaitu tahap pra-kelahiran. Salah satu contohnya adalah ayat
Al-Qur’an berikut ini:
Artinya:
Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan
daripadanya istrinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang
berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah
Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan? (QS Al-
Zumar [39] : 6)
Selain ini, berbagai ayat Al-Qur’an juga mengambarkan kedua tahapan (pra-
kelahiran dan pasca-kelahiran) dengan cara yang sangat jelas:
Artinya :
Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes, air
mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai
seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada
masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu
ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai
kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya). (QS Al-Mu’min
[40] : 67)
Al-Qur’an juga menyatakan bahwa tahap pertama memiliki aturan dan
waktu yang ditentukan untuk mencapai tugas perkembangannya. Setelah itu,
tahap pertama ini terputus dengan adanya kelahiran (melalui persalinan). Hal ini
dalam petikan ayat Al-Qur’an yang menyatakan:
Artinya:
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur),
maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari
segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar
Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu
sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara
kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui
lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini
kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu
dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.
(QS Al-Hajj [22] : 5)
H. Konsep Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak
Konsep perkembangan moral dapat kita cermati dari buah pikiran Piaget
dan Norman J.Bull. Jean Piaget adalah wakil Direktur Institute of Educational
Sciences dan Professsor Psikologi Eksperimental di University of Geneve. Piaget
secara intensif telah melakukan penelitian selama lebih dari 40 tahun terhadap
“Perkembangan Struktur Kognitif (Cognitive Structure) dan Pertimbangan Moral
(Moral Judgement). Piaget dan Norman J. Bull berpendapat bahwa pendidikan
moral akan berhasil, apabila pendidikan itu dilakukan sesuai dengan tahap
perkembangan moral anak. Dengan kata lain kedua ahli ini mencita-citakan
adanya strategi pendidikan moral yang disesuaikan dengan tahap-tahap
perkembangan moral anak. Piaget mendefinisikan tahap perkembangan moral
sebagai berikut: (1) Pre-moral yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati
peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada
peraturan dan harus menaati kekuasaan. (3) Autonomi yaitu anak telah
mempertimbangkan tujuan dan konsekuensi ketaatannya kepada peraturan.
Adapun Norman J. Bull (I969) berkesimpulan bahwa tahap perkembangan moral
itu adalah: (1) Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan. (2)
Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan,
dan merasa perlu menaati kekuasaan.(3) Sosionomi yaitu anak merasa bahwa
yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.
(4) Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada
peraturan.
Dalam perkembangan moral itu titik heterotomi dan autonomi lebih
menggambarkan proses perkembangan dari pada totalitas mental individu.
Melalui pergaulannya anak mengembangkan pemahamannya mengenai tujuan dan
sumber aturan. Sampai usia tujuh atau delapan tahun anak dikendalikan oleh
seluruh aturan. Terhadap aturan yang berasal dari luar, anak belum memiliki
pengertian dan motivasi untak konsisten. Pada tahap autonomi anak menyadari
akan aturan dan menghubungkannya dengan pelaksanaannya. Tahap berikutnya
adalah pelaksanaan autonomi.
I. Tahapan Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak
Pertama-tama moral berkembang melalui adopsi terhadap norma- norma
sosial. Dalam pengertin ini anak mengambil norma yang dipakai oleh orang-orang
dengan cara mencontoh. Oleh karena itu sebagai seorang guru hendaknya
memberi contoh pada muridnya untuk menanamkan norma yang sesuai.
Perkembangan moral dapat juga melalui pemahaman terhadap norma.
Pengalaman sosial ini didapat melalui interaksi dengan institusi sosial, sistem
hukum yang berlaku dan hubungan interpersonal. Bagaimana tahapan
perkembangan moral menurut pandangan berbagai tokoh Psikologi?
John Dewey mengemukakan perkembangan moral dalam tiga tahap, yakni:
1. Tahap Pra-Moral; ini ditandai bahwa anak belum menyadari
keterikatannya pada aturan
2. Tahap Konvensional; ini ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan
ketaatan pada kekuasaan
3. Tahap Otonom; ini ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada
aturan yang didasarkan pada resiprositas (imbalbalik yang sama)
(Mohammad Asrori, 2008:156)
Sedangkan menurut Norman J. Bull terdapat empat tahap perkembangan moral,
yakni:
1. Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan.
2. Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada
peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan.
3. Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada
peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok.
4. Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya
pada peraturan.
Sementara itu, Jean Piaget selain mengembangkan teori kognitif, juga
memperkenalkan teori perkembangn moral. Piaget membagi perkembangan moral
atas 3 tahap yaitu :
1. Pre Moral (0 sampai dengan 5 tahun)
Pada tahap ini anak tidak/belum merasa wajib untuk menaati peraturan.
2. Heteronomous Morality (+ 5 sampai dengan 10 tahun)
Pada tahap perkembangan moral ini, anak memandang aturan- aturan
sebagai otoritas yang dimiliki Tuhan, orang tua dan guru, yang tidak dapat
dirubah, dan harus dipatuhi dengan sebaik- baiknya.
3. Autonomous Morality atau Morallity of Cooperation (Usia 10 tahun ke
atas)
Moral tumbuh melalui kesadaran, bahwa orang dapat memilih pandangan
yang berbeda terhadap tindakan moral. Pengalaman ini akan tumbuh menjadi
dasar penilaian anak terhadap suatu tingkah laku. Dalam perkembangan
selanjutunya, anak berusaha mengatasi konflik dengan cara- cara yang paling
menguntungkan, dan mulai menggunakan standar keadilan terhadap orang lain.
Menurut Piaget, pengalaman ini menyadarkan anak bahwa norma bersifat
flexible, merupakan kesepakatan sosial, yang dapat disesuaikan dengan keinginan
mayoritas.
Lain halnya dengan Kohlberg. Lawrence Kohlberg, mengembangkan teori
perkembangan kognitif dari Jean Piaget, sehingga melahirkan teori perkembangan
moral. Melalui penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, akhirnya
dapat menyimpulkan tahap perkembngan moral individu.
Tahapan perkembangan moral dari Kohlberg dikelompokkan ke dalam
tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori
Perkembangan Kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-
tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam
tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati
suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan
lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Menurut Kohlberg (Crain, 1992: Gunarsa; Miller; papilia, Old dan Feldman,
1998) ada beberapa tahap perkembangan moral, diantaranya: preconventional
morality, morality of conventional role conformity, dan morality of autonomy
moral principle.
Tahap 1: Pre Conventional Morality/Pra-Konvensional (Anak usia 4-10 tahun)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi Relativis Instrumental/relativistic hedonism/resiprositas/minat pribadi
(imbalbalik/Apa untungnya buat saya?)
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-
anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini.
Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari
suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional
terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri
dalam bentuk egosentris.
Ketika berada dalam suatu tekanan, maka individu akan menuruti suatu
perintah/peraturan guna menghindari hukuman (punishment) dan ingin
memperoleh suatu hadiah (reward)
Fase pertama, individu memiliki orientasi kepatuhan dan berusaha
menghindari hukuman. Individu harus patuh pada otoritas (orang tua) Agar
menghindari hukuman. Dalam hal ini, seorang individu belum memiliki kesadaran
terhadap apa yang dilakukan. Kesadaran dan pemahaman, nilai benar- salah, amat
ditentukan oleh evaluasi penilaian orang lain (orang tua/ orang dewasa). Dengan
demikian kepatuhan individu bersifat semu dan wajar, bila individu tidak akan
patuh kalau bertindak tanpa diketahui oleh orang lain.
Dalam fase pertama ini, individu-individu memfokuskan diri pada
konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai
contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang
melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin
salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang
lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis
otoriterisme.
Fase kedua, Relativis Instrumental/relativistic hedonism/resiprositas/minat
pribadi, yakni ada faktor pribadi yang bersifat relatif dan memiliki prinsip
kesenangan. Anak akan mematuhi suatu aturan, kalau aturan tersebut membuat
dirinya senang atau menguntungkan dirinya.
Pada fase kedua ini menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku
yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap
dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai
tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti
“kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap
dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang
berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-
konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan
dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua,
perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
(Mohammad Asrori, 2008:156-157)
Tahap II: Morality of Conventional Role Conformity/Konvensional (Usia 10
tahun)
3.Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas/kesepakatan
antarpribadi/orientasi ”anak manis” ( Sikap anak baik)
4.Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial/hukum dan ketertiban
(Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang
dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat
konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Individu sebenarnya telah mnginternalisasikan nilai- nilai dari pihak
otoritas (orang tua, guru). Mereka mulai memperhatikan sifat- sifat yang baik
yang disenangi dan diharapkan orang lain. Mereka ingin menjadi goodboy atau
goodgirl. Agar dikatakan sebagai anak yang baik, maka individu akan melakukan
tindakan- tindakan yang menyenangkan orang lain. Tujuanya, agar dirinya mudah
diterima dalam lingkungan sosial masyarakat.
Fase ketiga, orientasi mngenai anak yang baik, yakni agar menjadi anak
yang baik, maka sikap dan perbuatan individu harus diterima oleh masyarakat.
Mau tidak mau, seorang anak harus patuh dan taat terhadap aturan-aturan yang
berlaku di masyarakat. Ketidak patuhan hanya akan mendatangkan cemooh atau
caci maki daroi orang lain, sehinggga memalukan diri sendiri atau menjatuhkan
harga diri.
Dalam fase tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran
sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang
lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran
yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi
harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut.
Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi
konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan
hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk
mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang
stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan
dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud baik ‘
Fase keempat, mempertahankan norma- norma sosial. Individu menyadari
kewajiban untuk ikut melaksanakan norma yang ada dan mempertahankan
pentingnya norma tersebut. Oleh Karena itu segala sikap dan tindakan dinilai dan
diawasi oleh diri sendiri serta mengontrol tindakan- tindakan orang lain, agar
sesuai dengan norma sosial.
Dalam fase empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan
konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat.
Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan
penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar
dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa
melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu – sehingga ada kewajiban
atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum,
maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan
dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik. (Mohammad
Asrori, 2008:157)
Tahap III: Morality of Autonomy Moral Principles/Pasca-Konvensional (Minimal
usia 13 tahun ke atas)
5. Orientasi kontrak sosial legalitas/utilitarian (ukuran perbuatan baik hasil
konsensus)
6. Prinsip etika universal/hati nurani universalitas (Principled conscience)
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari
tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-
individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas.
Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat
diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering
tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Orang mulai menyadari adanya konflik antara standar nilai moralitas
dengan pertimbangan prinsip kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Jadi, ia sudah
mampu menilai dan mengevaluasi suatu tindakan / keputusan itu benar atau salah
menurut pertimbangan hati nurani. Ia berani mengambil resiko terhadap
keputusan dan tindakanya secara terbuka. Ia tidak lagi takut terhadap ancaman
atau berkeinginan supaya memperoleh pengakuan social dari orng lain. Ia
berpegang prinsip- prinsip kebenaran manusia secara universal. Umunya mereka
yang telah mencapi golongan dewasa muda (21 tahun keatas) telah mencapai
tahap ini, sedangkan remaja dianggap belum memiliki kemampuan ini, karena
belum matang secara kapasitas intelektualnya.
Fase kelima, orientasi terhadap perjanjian antar dirinya dengan lingkungan
social. Individu menmpunyai kesadaran dan keyakinann pribadi bahwa dengan
berbuat baik, maka ia pun akan diperlakukan dengan baik pula oleh orang lain.
Dan keyakinan ini timbul dari hati nurani.
Dalam fase lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-
pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka
dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap
sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut – ‘memang anda
siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan dengan itu, hukum
dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang
tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi
terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut
diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini,
pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran fase lima.
Fase keenam, prinsip universal. Dengan semakin tumbuh dan berkembangnya
norma- norma etika dalam dirinya, maka individu akan menyesuaikan sikap dan
tindakanya agar sepadan dengan prinsip- prinsip kebenaran yang diakui secara
global. Jadi melampaui batas- batas suku, bangsa, agama dan jenis kelamin.
Dalam fase enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak
menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada
keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk
tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan
tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris
dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional.
Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan
seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila
berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini,
tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak
karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal,
atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia
merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara
konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam
dari model Kohlberg ini. (Mohammad Asrori, 2008:158)
J. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan
Keagamaan Anak.
Nilai, moral dan sikap serta perilaku keagamaan adalah aspek-aspek yang
berkembang pada diri individu melalui interaksi antara aktivitas internal dengan
pengaruh stimulus eksternal. Pada awalnya seorang anak belum memiliki nilai-
nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang
dipandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya. Selanjutnya, dalam
interaksinya dengan lingkungan, anak mulai belajar mengenai berbagai aspek
kehidupan yang berkaitan dengan nilai, moral dan sikap serta perilaku
keagamaannya. Dalam konteks ini, lingkungan merupakan faktor yang besar
pengaruhnya bagi perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan
individu.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral,
sikap dan perilaku keagamaan individu itu mencakup aspek psikologis, sosial,
budaya dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan
beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral, sikap
dan perilaku keagamaan individu yang tumbuh dan berkembang di dalamnya.
Remaja yang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi
yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan relegius dapat diharapkan berkembang
menjadi remaja yang memiliki nilai luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan
perilaku keagamaan yang terpuji. Sebaliknya, individu yang tumbuh dan
berkembang dalam kondisi psikologis yang penuh konflik, pola interaksi yang
tidak jelas, pola asuh yang penuh otoriter dan permisif, dan kurang relegius, maka
harapan agar anak dan remaja berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-
nilai luhur, moralitas tinggi, sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji menjadi
diragukan. (Mohammad Asrori, 2008:164-165)
K. Proses Pembelajaran untuk Membantu Perkembangan Nilai, Moral, Sikap
dan Keagamaan Subjek Didik
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-
nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai
model. Bagi mereka gambaran-gambaran yang diidentifikasi adalah orang-orang
dewasa yang simpatik, orang-orang terkenal dan hal-hal yang ideal yang
diciptakan sendiri.
Syamsu Yusuf (2007 : 133) menyatakan bahwa : “Perkembangan moral
seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-
nilai dari lingkungannya, terutama dari orang tuanya”.
Dari pernyataan diatas dapat dimengerti bahwa perkembangan moral anak
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitarnya, utamanya keluarganya yang
setiap hari berinteraksi dengan anak. Boleh jadi baik dan buruknya perkembangan
moral anak tergantung pada baik dan buruk moral keluarganya.
Agar perkembangan moral keagamaan anak dapat berkembang dengan baik
sebaiknya keluarga utamanya ayah dan ibu memperhatikan hal-hal sebagai berikut
:
1. Konsisten dalam mendidik
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam
melarang dan membolehkan tingkah laku tertentu pada anak. Pada kenyataanya
masih banyak kita jumpai orang tua yang tidak kompak dalam mendidik anaknya,
hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua dan juga dipengaruhi rasa
ego.
Ketidak kompakan orang tua dalam mendidik anaknya berakibat kurang
baik terhadap moral anak, biasanya mereka bingung membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, patuh pada
aturan bapak atau patuh pada aturan ibu, dan lain
sebagainya. Maka sebaiknya ayah dan ibu menyamakan persepsi dalam
memberikan didikan pada anak-anaknya.
2. Sikap orang tua dalam Keluarga
Sikap orang tua dalam keluarga secara tidak langsung mempengaruhi
perkembangan moral anak. Melalui proses peniruan (imitasi) mereka mereka
merekam sikap ayah pada ibu dan sebaliknya, sikap orang tua pada tetangga
tetangga sekitarnya akan dengan mudah ditiru oleh anak. Sikap yang otoriter
orang tua akan membuahkan sikap yang sama pada anak. Sebaliknya sikap kasih
saying, keterbukaan, musyawarah, dan konsisten, juga akan membuahkan sikap
yang sama pada anak.
Menurut penulis, sebaiknya orang tua memberikan contoh (tauladan)
moral yang baik pada anak-anaknya, agar dimasa yang akan datang anak-anaknya
menjadi orang yang berguna.
3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orang tua berkewajiban menanamkan ajaran-ajaran agama yang dianutnya
kepada anak, baik berupa bimbingan-bimbingan maupun contoh implementasinya
dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan orang tua dalam menjalankan moral
keagamaan merupakan cara yang paling baik dalam menanamkan moral
keagamaan anak.
Dengan perkembangan moral keagamaan yang baik pada anak sudah
barang tentu akan berpengaruh terhadap budi pekerti atau tingkah laku anak pada
masa yang akan datang.
Disamping faktor pengaruh keluarga, faktor lingkungan masyarakat dan
pergaulan anak juga mempengaruhi perkembangan moral keagamaan anak, pada
perkembangannya terkadang anak lebih percaya kepada teman dekatnya dari pada
orang tuanya, terkadang juga lebih mematuhi orang-orang yang dikaguminya
seperti ; gurunya, artis favoritnya, dan sebagainya.
Keluarga dengan moral keagamaan yang baik dan lingkungan masyarakat yang
baik, secara teoritis akan berpengaruh positif terhadap perkembangan moral
keagamaan yang baik pada anak.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis memberikan kesimpulan-kesimpulan, nilai diartikan
sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan
memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Moral berarti adat
istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan, sedangkan
moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai –
nilai dan prinsip-prinsip moral. Moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Sikap merupakan predisposisi untuk mereaksi terhadap orang, lembaga/peristiwa,
baik secara positif maupun negatif/predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan
kategorisasi. Keagamaan ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan agama baik
nilai, moral, sikap maupun prilaku individu yang dilandasi nilai, moral dan sikap
dalam ajaran agama. Antara Konsep dan Aplikasi Nilai, Moral, Sikap dan
Perilaku Keagamaan memiliki keterikatan antara satu dengan yang lain. Masing-
masing saling melengkapi dan merupakan rangkaian tak terpisahkan/sesuatu yang
integral baik yang Esoteris-Psikologis (Nilai, Moral) maupun Eksoteris-Fisiologis
(Sikap dan Perilaku Keagamaan) yang membentuk personality (kepribadian)
seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Asrori, Ali. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Bumi Aksara
Hasan. 2008. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
http://cheshuma.wordpress.com/2009/01/27/perkembangan-moral-dan-
keagamaan/
Mulyani. 2009. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka
Yusup. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

More Related Content

What's hot

Kepribadian dalam psikologi islami
Kepribadian dalam psikologi islamiKepribadian dalam psikologi islami
Kepribadian dalam psikologi islamiErta Erta
 
makalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islam
makalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islammakalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islam
makalah Pendidikan Agama Islam - syari'at IslamKartika Dwi Rachmawati
 
Perkembangan Intelektual pada Fase Remaja
Perkembangan Intelektual pada Fase RemajaPerkembangan Intelektual pada Fase Remaja
Perkembangan Intelektual pada Fase RemajaOva Opayanti
 
Makalah Sejarah Peradaban Islam Periode Nabi Saw.
Makalah Sejarah Peradaban Islam Periode Nabi Saw.Makalah Sejarah Peradaban Islam Periode Nabi Saw.
Makalah Sejarah Peradaban Islam Periode Nabi Saw.PAUSIL ABU
 
Pengantar pemikiran pendidikan islam
Pengantar pemikiran pendidikan islamPengantar pemikiran pendidikan islam
Pengantar pemikiran pendidikan islamYusuf Hasyim Addakhil
 
Makalah Etika, Moral, Akhlak (Agama)
Makalah Etika, Moral, Akhlak (Agama) Makalah Etika, Moral, Akhlak (Agama)
Makalah Etika, Moral, Akhlak (Agama) Aisyah Turidho
 
Paper Landasan Pengembangan Kurikulum
Paper Landasan Pengembangan KurikulumPaper Landasan Pengembangan Kurikulum
Paper Landasan Pengembangan KurikulumRahmah Salsabila
 
Tanya Jawab Materi Pengantar Filsafat Ilmu Dari Sudut Pandang Ontologi, Epist...
Tanya Jawab Materi Pengantar Filsafat Ilmu Dari Sudut Pandang Ontologi, Epist...Tanya Jawab Materi Pengantar Filsafat Ilmu Dari Sudut Pandang Ontologi, Epist...
Tanya Jawab Materi Pengantar Filsafat Ilmu Dari Sudut Pandang Ontologi, Epist...YuliaKartika6
 
Presentasi integrasi iman, ilmu, dan amal
Presentasi  integrasi iman, ilmu, dan amalPresentasi  integrasi iman, ilmu, dan amal
Presentasi integrasi iman, ilmu, dan amalRizqy Putra
 
Eksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
Eksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam KehidupanEksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
Eksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam KehidupanOki Ma'arif
 
perkembangan kepribadian remaja dan implikasinya dalam pendidikan
perkembangan kepribadian remaja dan implikasinya dalam pendidikanperkembangan kepribadian remaja dan implikasinya dalam pendidikan
perkembangan kepribadian remaja dan implikasinya dalam pendidikanJeanny Jannah
 
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islamBagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islamchusnaqumillaila
 
Kumpulan pertanyaan & jawaban mata kuliah filsafat ilmu
Kumpulan pertanyaan & jawaban mata kuliah filsafat ilmuKumpulan pertanyaan & jawaban mata kuliah filsafat ilmu
Kumpulan pertanyaan & jawaban mata kuliah filsafat ilmuPutriAgilya
 

What's hot (20)

Makalah shalat
Makalah shalatMakalah shalat
Makalah shalat
 
Kepribadian dalam psikologi islami
Kepribadian dalam psikologi islamiKepribadian dalam psikologi islami
Kepribadian dalam psikologi islami
 
makalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islam
makalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islammakalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islam
makalah Pendidikan Agama Islam - syari'at Islam
 
Perkembangan Intelektual pada Fase Remaja
Perkembangan Intelektual pada Fase RemajaPerkembangan Intelektual pada Fase Remaja
Perkembangan Intelektual pada Fase Remaja
 
Ppt masyarakat dan pendidikan
Ppt masyarakat dan pendidikanPpt masyarakat dan pendidikan
Ppt masyarakat dan pendidikan
 
Ppt filsafat pancasila
Ppt filsafat pancasilaPpt filsafat pancasila
Ppt filsafat pancasila
 
Makalah Sejarah Peradaban Islam Periode Nabi Saw.
Makalah Sejarah Peradaban Islam Periode Nabi Saw.Makalah Sejarah Peradaban Islam Periode Nabi Saw.
Makalah Sejarah Peradaban Islam Periode Nabi Saw.
 
Pengantar pemikiran pendidikan islam
Pengantar pemikiran pendidikan islamPengantar pemikiran pendidikan islam
Pengantar pemikiran pendidikan islam
 
Metode studi islam
Metode studi islamMetode studi islam
Metode studi islam
 
Makalah Etika, Moral, Akhlak (Agama)
Makalah Etika, Moral, Akhlak (Agama) Makalah Etika, Moral, Akhlak (Agama)
Makalah Etika, Moral, Akhlak (Agama)
 
Paper Landasan Pengembangan Kurikulum
Paper Landasan Pengembangan KurikulumPaper Landasan Pengembangan Kurikulum
Paper Landasan Pengembangan Kurikulum
 
Tanya Jawab Materi Pengantar Filsafat Ilmu Dari Sudut Pandang Ontologi, Epist...
Tanya Jawab Materi Pengantar Filsafat Ilmu Dari Sudut Pandang Ontologi, Epist...Tanya Jawab Materi Pengantar Filsafat Ilmu Dari Sudut Pandang Ontologi, Epist...
Tanya Jawab Materi Pengantar Filsafat Ilmu Dari Sudut Pandang Ontologi, Epist...
 
ppt Ibadah
ppt Ibadah ppt Ibadah
ppt Ibadah
 
Presentasi integrasi iman, ilmu, dan amal
Presentasi  integrasi iman, ilmu, dan amalPresentasi  integrasi iman, ilmu, dan amal
Presentasi integrasi iman, ilmu, dan amal
 
Makalahku filsafat modern
Makalahku filsafat modernMakalahku filsafat modern
Makalahku filsafat modern
 
Eksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
Eksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam KehidupanEksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
Eksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
 
perkembangan kepribadian remaja dan implikasinya dalam pendidikan
perkembangan kepribadian remaja dan implikasinya dalam pendidikanperkembangan kepribadian remaja dan implikasinya dalam pendidikan
perkembangan kepribadian remaja dan implikasinya dalam pendidikan
 
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islamBagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
Bagaimana manusia bertuhan-- materi kuliah agama islam
 
Kumpulan pertanyaan & jawaban mata kuliah filsafat ilmu
Kumpulan pertanyaan & jawaban mata kuliah filsafat ilmuKumpulan pertanyaan & jawaban mata kuliah filsafat ilmu
Kumpulan pertanyaan & jawaban mata kuliah filsafat ilmu
 
4. fungsi fungsi bk
4. fungsi fungsi bk4. fungsi fungsi bk
4. fungsi fungsi bk
 

Viewers also liked

Makalah pembelajaran yang berpijak dari teori belajar konstruktivisme
Makalah pembelajaran yang berpijak dari teori belajar konstruktivismeMakalah pembelajaran yang berpijak dari teori belajar konstruktivisme
Makalah pembelajaran yang berpijak dari teori belajar konstruktivismeRAFITA AL QORNY
 
Tugas perkembangan remaja
Tugas perkembangan remajaTugas perkembangan remaja
Tugas perkembangan remajaMiftah Ridho
 
Problematika pendidikan game online
Problematika pendidikan game onlineProblematika pendidikan game online
Problematika pendidikan game onlineAnnie Ariani
 
Perkembangan Nilai dan Moral Akhir Masa Kanak-Kanak
Perkembangan Nilai dan Moral Akhir Masa Kanak-KanakPerkembangan Nilai dan Moral Akhir Masa Kanak-Kanak
Perkembangan Nilai dan Moral Akhir Masa Kanak-KanakRista Nurizki Putri
 
Makalah karakteristik remaja
Makalah karakteristik remajaMakalah karakteristik remaja
Makalah karakteristik remajaAaz M Hafidz Azis
 
Makalah perkembangan peserta didik
Makalah perkembangan peserta didikMakalah perkembangan peserta didik
Makalah perkembangan peserta didikDwi Wati
 
Makalah perkembangan moral oleh ryan khaidar putra
Makalah perkembangan moral oleh ryan khaidar putraMakalah perkembangan moral oleh ryan khaidar putra
Makalah perkembangan moral oleh ryan khaidar putraRyan Putra
 
POWER POWER POINT PERKEMBANGAN DAN KEMATANGAN KARIR PADA ANAK-ANAK
POWER POWER POINT PERKEMBANGAN DAN KEMATANGAN KARIR PADA ANAK-ANAKPOWER POWER POINT PERKEMBANGAN DAN KEMATANGAN KARIR PADA ANAK-ANAK
POWER POWER POINT PERKEMBANGAN DAN KEMATANGAN KARIR PADA ANAK-ANAKmaesaroh_rahmawati
 
Makalah perkembangan-nilai-moral-dan-sikap (1)
Makalah perkembangan-nilai-moral-dan-sikap (1)Makalah perkembangan-nilai-moral-dan-sikap (1)
Makalah perkembangan-nilai-moral-dan-sikap (1)Nanang Galing
 
Makalah Moral/Akhlaq
Makalah Moral/AkhlaqMakalah Moral/Akhlaq
Makalah Moral/AkhlaqErna Mariana
 
Perkembangan Kepribadian dan Perilaku Manusia
Perkembangan Kepribadian dan Perilaku ManusiaPerkembangan Kepribadian dan Perilaku Manusia
Perkembangan Kepribadian dan Perilaku Manusiapjj_kemenkes
 
Perkembangan bahasa peserta didik
Perkembangan bahasa peserta didikPerkembangan bahasa peserta didik
Perkembangan bahasa peserta didikPoetra Chebhungsu
 
Perkembangan manusia pada masa anak usia 6 12 tinjauan dari aspek biologis,em...
Perkembangan manusia pada masa anak usia 6 12 tinjauan dari aspek biologis,em...Perkembangan manusia pada masa anak usia 6 12 tinjauan dari aspek biologis,em...
Perkembangan manusia pada masa anak usia 6 12 tinjauan dari aspek biologis,em...weny maniez
 
Makalah Perkembangan Emosi
Makalah Perkembangan EmosiMakalah Perkembangan Emosi
Makalah Perkembangan Emosianna rasyla
 
Psikologi Perkembangan (Desmita)
Psikologi Perkembangan (Desmita)Psikologi Perkembangan (Desmita)
Psikologi Perkembangan (Desmita)Hariyatunnisa Ahmad
 
Makalah karakteristik aud
Makalah karakteristik audMakalah karakteristik aud
Makalah karakteristik audMitha Ye Es
 
Makalah pengertian pendidikan dan tujuannya
Makalah pengertian pendidikan dan tujuannyaMakalah pengertian pendidikan dan tujuannya
Makalah pengertian pendidikan dan tujuannyaMara Sutan Siregar
 

Viewers also liked (20)

Makalah pembelajaran yang berpijak dari teori belajar konstruktivisme
Makalah pembelajaran yang berpijak dari teori belajar konstruktivismeMakalah pembelajaran yang berpijak dari teori belajar konstruktivisme
Makalah pembelajaran yang berpijak dari teori belajar konstruktivisme
 
Tugas perkembangan remaja
Tugas perkembangan remajaTugas perkembangan remaja
Tugas perkembangan remaja
 
Problematika pendidikan game online
Problematika pendidikan game onlineProblematika pendidikan game online
Problematika pendidikan game online
 
Perkembangan Nilai dan Moral Akhir Masa Kanak-Kanak
Perkembangan Nilai dan Moral Akhir Masa Kanak-KanakPerkembangan Nilai dan Moral Akhir Masa Kanak-Kanak
Perkembangan Nilai dan Moral Akhir Masa Kanak-Kanak
 
Makalah karakteristik remaja
Makalah karakteristik remajaMakalah karakteristik remaja
Makalah karakteristik remaja
 
Makalah perkembangan peserta didik
Makalah perkembangan peserta didikMakalah perkembangan peserta didik
Makalah perkembangan peserta didik
 
Makalah perkembangan moral oleh ryan khaidar putra
Makalah perkembangan moral oleh ryan khaidar putraMakalah perkembangan moral oleh ryan khaidar putra
Makalah perkembangan moral oleh ryan khaidar putra
 
5 periode prenatal
5 periode prenatal5 periode prenatal
5 periode prenatal
 
POWER POWER POINT PERKEMBANGAN DAN KEMATANGAN KARIR PADA ANAK-ANAK
POWER POWER POINT PERKEMBANGAN DAN KEMATANGAN KARIR PADA ANAK-ANAKPOWER POWER POINT PERKEMBANGAN DAN KEMATANGAN KARIR PADA ANAK-ANAK
POWER POWER POINT PERKEMBANGAN DAN KEMATANGAN KARIR PADA ANAK-ANAK
 
Makalah perkembangan perilaku dan kepribadian
Makalah perkembangan perilaku dan kepribadianMakalah perkembangan perilaku dan kepribadian
Makalah perkembangan perilaku dan kepribadian
 
Makalah perkembangan-nilai-moral-dan-sikap (1)
Makalah perkembangan-nilai-moral-dan-sikap (1)Makalah perkembangan-nilai-moral-dan-sikap (1)
Makalah perkembangan-nilai-moral-dan-sikap (1)
 
Makalah Moral/Akhlaq
Makalah Moral/AkhlaqMakalah Moral/Akhlaq
Makalah Moral/Akhlaq
 
Perkembangan Kepribadian dan Perilaku Manusia
Perkembangan Kepribadian dan Perilaku ManusiaPerkembangan Kepribadian dan Perilaku Manusia
Perkembangan Kepribadian dan Perilaku Manusia
 
Perkembangan bahasa peserta didik
Perkembangan bahasa peserta didikPerkembangan bahasa peserta didik
Perkembangan bahasa peserta didik
 
Perkembangan manusia pada masa anak usia 6 12 tinjauan dari aspek biologis,em...
Perkembangan manusia pada masa anak usia 6 12 tinjauan dari aspek biologis,em...Perkembangan manusia pada masa anak usia 6 12 tinjauan dari aspek biologis,em...
Perkembangan manusia pada masa anak usia 6 12 tinjauan dari aspek biologis,em...
 
Makalah Perkembangan Emosi
Makalah Perkembangan EmosiMakalah Perkembangan Emosi
Makalah Perkembangan Emosi
 
6. revisi final permen 58
6. revisi final permen 586. revisi final permen 58
6. revisi final permen 58
 
Psikologi Perkembangan (Desmita)
Psikologi Perkembangan (Desmita)Psikologi Perkembangan (Desmita)
Psikologi Perkembangan (Desmita)
 
Makalah karakteristik aud
Makalah karakteristik audMakalah karakteristik aud
Makalah karakteristik aud
 
Makalah pengertian pendidikan dan tujuannya
Makalah pengertian pendidikan dan tujuannyaMakalah pengertian pendidikan dan tujuannya
Makalah pengertian pendidikan dan tujuannya
 

Similar to PERKEMBANGAN MORAL DAN KEAGAMAAN

HAKIKAT PERKEMBANGAN NILAI – NILAI KEAGAMAAN ANAK USIA.pptx
HAKIKAT PERKEMBANGAN NILAI – NILAI KEAGAMAAN ANAK USIA.pptxHAKIKAT PERKEMBANGAN NILAI – NILAI KEAGAMAAN ANAK USIA.pptx
HAKIKAT PERKEMBANGAN NILAI – NILAI KEAGAMAAN ANAK USIA.pptxNurLita34
 
Bimbingan Konseling Untuk Optimalisasi Perkembangan Moral Remaja
Bimbingan Konseling Untuk Optimalisasi Perkembangan Moral RemajaBimbingan Konseling Untuk Optimalisasi Perkembangan Moral Remaja
Bimbingan Konseling Untuk Optimalisasi Perkembangan Moral RemajaZuraHarahap20
 
REMAJA MASA KINI.pptx
REMAJA MASA KINI.pptxREMAJA MASA KINI.pptx
REMAJA MASA KINI.pptxJuliBriana2
 
Psikoma ok
Psikoma okPsikoma ok
Psikoma okwindah6
 
Bimbingan konseling tujuan fungsi dan ruang lingkup
Bimbingan konseling tujuan fungsi dan ruang lingkupBimbingan konseling tujuan fungsi dan ruang lingkup
Bimbingan konseling tujuan fungsi dan ruang lingkupaidadwiinizuka.blogspot.com
 
Kenakalan remaja
Kenakalan remajaKenakalan remaja
Kenakalan remajamutiaraps
 
Psikologi perkembangan
Psikologi perkembanganPsikologi perkembangan
Psikologi perkembanganpramithasari27
 
Perkembangan Remaja & Sekolah Ramah Anak (1).pptx
Perkembangan Remaja & Sekolah Ramah Anak (1).pptxPerkembangan Remaja & Sekolah Ramah Anak (1).pptx
Perkembangan Remaja & Sekolah Ramah Anak (1).pptxAtikIndarini3
 
4. OVERVIEW TEMA BANGUNLAH JIWA RAGANYA.pptx
4. OVERVIEW TEMA BANGUNLAH JIWA RAGANYA.pptx4. OVERVIEW TEMA BANGUNLAH JIWA RAGANYA.pptx
4. OVERVIEW TEMA BANGUNLAH JIWA RAGANYA.pptxFintoPurwanto2
 
Peran guru dalam membantu perkembangan remaja
Peran guru dalam membantu perkembangan remajaPeran guru dalam membantu perkembangan remaja
Peran guru dalam membantu perkembangan remajaLinda Rosita
 
makalah psikologi pendidikan, kel 3 - Copy.docx
makalah psikologi pendidikan, kel 3 - Copy.docxmakalah psikologi pendidikan, kel 3 - Copy.docx
makalah psikologi pendidikan, kel 3 - Copy.docxAnnisaNur96
 

Similar to PERKEMBANGAN MORAL DAN KEAGAMAAN (20)

HAKIKAT PERKEMBANGAN NILAI – NILAI KEAGAMAAN ANAK USIA.pptx
HAKIKAT PERKEMBANGAN NILAI – NILAI KEAGAMAAN ANAK USIA.pptxHAKIKAT PERKEMBANGAN NILAI – NILAI KEAGAMAAN ANAK USIA.pptx
HAKIKAT PERKEMBANGAN NILAI – NILAI KEAGAMAAN ANAK USIA.pptx
 
Bimbingan Konseling Untuk Optimalisasi Perkembangan Moral Remaja
Bimbingan Konseling Untuk Optimalisasi Perkembangan Moral RemajaBimbingan Konseling Untuk Optimalisasi Perkembangan Moral Remaja
Bimbingan Konseling Untuk Optimalisasi Perkembangan Moral Remaja
 
Tugas mandiri agama
Tugas mandiri agamaTugas mandiri agama
Tugas mandiri agama
 
REMAJA MASA KINI.pptx
REMAJA MASA KINI.pptxREMAJA MASA KINI.pptx
REMAJA MASA KINI.pptx
 
Psikoma ok
Psikoma okPsikoma ok
Psikoma ok
 
Guru dan-cabaran-semasa
Guru dan-cabaran-semasaGuru dan-cabaran-semasa
Guru dan-cabaran-semasa
 
Bimbingan konseling tujuan fungsi dan ruang lingkup
Bimbingan konseling tujuan fungsi dan ruang lingkupBimbingan konseling tujuan fungsi dan ruang lingkup
Bimbingan konseling tujuan fungsi dan ruang lingkup
 
Kenakalan remaja
Kenakalan remajaKenakalan remaja
Kenakalan remaja
 
Psikologi perkembangan
Psikologi perkembanganPsikologi perkembangan
Psikologi perkembangan
 
Perkembangan Remaja & Sekolah Ramah Anak (1).pptx
Perkembangan Remaja & Sekolah Ramah Anak (1).pptxPerkembangan Remaja & Sekolah Ramah Anak (1).pptx
Perkembangan Remaja & Sekolah Ramah Anak (1).pptx
 
4. OVERVIEW TEMA BANGUNLAH JIWA RAGANYA.pptx
4. OVERVIEW TEMA BANGUNLAH JIWA RAGANYA.pptx4. OVERVIEW TEMA BANGUNLAH JIWA RAGANYA.pptx
4. OVERVIEW TEMA BANGUNLAH JIWA RAGANYA.pptx
 
Bidang bk
Bidang bkBidang bk
Bidang bk
 
Peran guru dalam membantu perkembangan remaja
Peran guru dalam membantu perkembangan remajaPeran guru dalam membantu perkembangan remaja
Peran guru dalam membantu perkembangan remaja
 
Modul a
Modul aModul a
Modul a
 
kelompok_2.docx
kelompok_2.docxkelompok_2.docx
kelompok_2.docx
 
Proposalku
ProposalkuProposalku
Proposalku
 
Ppd
PpdPpd
Ppd
 
makalah psikologi pendidikan, kel 3 - Copy.docx
makalah psikologi pendidikan, kel 3 - Copy.docxmakalah psikologi pendidikan, kel 3 - Copy.docx
makalah psikologi pendidikan, kel 3 - Copy.docx
 
BAB I Penelitian R and D
BAB I Penelitian R and DBAB I Penelitian R and D
BAB I Penelitian R and D
 
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
PENDIDIKAN ANAK USIA DINIPENDIDIKAN ANAK USIA DINI
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
 

Recently uploaded

Modul persamaan perakaunan prinsip akaun
Modul persamaan perakaunan prinsip akaunModul persamaan perakaunan prinsip akaun
Modul persamaan perakaunan prinsip akaunnhsani2006
 
PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024
PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024
PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024MALISAAININOORBINTIA
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaSABDA
 
Soal accurate terbaru untuk mahasiswa ya
Soal accurate terbaru untuk mahasiswa yaSoal accurate terbaru untuk mahasiswa ya
Soal accurate terbaru untuk mahasiswa yaMonaAmelia
 
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.aechacha366
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...jumadsmanesi
 
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaModul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaAbdiera
 
APRESIASI SURAT DAN MASUKAN CGP ANGKATAN X.pdf
APRESIASI SURAT DAN MASUKAN CGP ANGKATAN X.pdfAPRESIASI SURAT DAN MASUKAN CGP ANGKATAN X.pdf
APRESIASI SURAT DAN MASUKAN CGP ANGKATAN X.pdfVenyHandayani2
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxBambang440423
 
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptxAKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptxHeriyantoHeriyanto44
 
P_E_R_I_L_A_K_U__K_O_N_S_E_L_O_R__v.1.ppt
P_E_R_I_L_A_K_U__K_O_N_S_E_L_O_R__v.1.pptP_E_R_I_L_A_K_U__K_O_N_S_E_L_O_R__v.1.ppt
P_E_R_I_L_A_K_U__K_O_N_S_E_L_O_R__v.1.pptAfifFikri11
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKARenoMardhatillahS
 
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfBuku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfWahyudinST
 
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptPertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptNabilahKhairunnisa6
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 
PLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukan
PLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukanPLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukan
PLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukanssuserc81826
 
Teks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian Kasih
Teks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian KasihTeks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian Kasih
Teks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian Kasihssuserfcb9e3
 
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdfWahyudinST
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxsyafnasir
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 

Recently uploaded (20)

Modul persamaan perakaunan prinsip akaun
Modul persamaan perakaunan prinsip akaunModul persamaan perakaunan prinsip akaun
Modul persamaan perakaunan prinsip akaun
 
PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024
PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024
PAMPHLET PENGAKAP aktiviti pengakap 2024
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
 
Soal accurate terbaru untuk mahasiswa ya
Soal accurate terbaru untuk mahasiswa yaSoal accurate terbaru untuk mahasiswa ya
Soal accurate terbaru untuk mahasiswa ya
 
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
 
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaModul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
 
APRESIASI SURAT DAN MASUKAN CGP ANGKATAN X.pdf
APRESIASI SURAT DAN MASUKAN CGP ANGKATAN X.pdfAPRESIASI SURAT DAN MASUKAN CGP ANGKATAN X.pdf
APRESIASI SURAT DAN MASUKAN CGP ANGKATAN X.pdf
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
 
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptxAKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
 
P_E_R_I_L_A_K_U__K_O_N_S_E_L_O_R__v.1.ppt
P_E_R_I_L_A_K_U__K_O_N_S_E_L_O_R__v.1.pptP_E_R_I_L_A_K_U__K_O_N_S_E_L_O_R__v.1.ppt
P_E_R_I_L_A_K_U__K_O_N_S_E_L_O_R__v.1.ppt
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
 
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdfBuku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
Buku Saku Layanan Haji Ramah Lansia 2.pdf
 
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptPertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 
PLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukan
PLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukanPLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukan
PLaN & INTERVENSI untuk sekolah yang memerlukan
 
Teks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian Kasih
Teks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian KasihTeks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian Kasih
Teks ucapan Majlis Perpisahan Lambaian Kasih
 
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 

PERKEMBANGAN MORAL DAN KEAGAMAAN

  • 1. TUGAS KELOMPOK KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MORALITAS DAN KEAGAMAAN REMAJA SERTA IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN Diajukan sebagai salah satu syarat dalam memenuhi tugas Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik Dosen Pengampu : Siti Nurlaila, S. Psi., M.Psi. Disusun Oleh : Kelompok VIII Bayu Triatmojo ( 14330001 ) Luthfi Khairani ( 14330017 ) Rafita Al Qorny (14330031 ) PRODI : PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO 2015
  • 2. Kata Pengantar Assalamualaikum Wr.Wb Puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT, yang mana telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, Sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik yang berjudul karakteristik perkembangan moralitas dan keagamaan remaja serta implikasinya dalam pendidikan, bisa tepat waktu yang mana teleh ditentukan oleh Siti Nurlaila, S. Psi., M.Psi dan Arin. N. M. Pd.Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas pada Program Study Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan. Demikian makalah ini kami tunjukan kepada Ibu Dosen Program Study FKIP Siti Nurlaila, S. Psi., M.Psi. Kami menyadari bahwa kami memiliki keterbatasan dan kemampuan sehingga bnanyak pihak yang membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari walaupun berusaha dengan segenap kemempuan kami, Namun Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karna itu segala kritik yang sifatnya membangun ataupun memperbaiki dari kekuragan kami akan kami trima dengan kelapangan dada. Akhir kata kami ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Wr.Wb. Metro,07 Mei 2015
  • 3. DAFTAR ISI COVER ....................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................... iii Bab I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah........................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2 C. Batasan Masalah ..................................................................................... 3 D. Tujuan Diskursus ..................................................................................... 3 E. Metode Pemecahan Masalah ................................................................... 4 Bab II PEMBAHASAN.............................................................................. 4 A. Karakteristik Nilai, Moral, Dan sikap Remaja ........................................... 4 B. Pengertian Nilai, Moral, Dan Sikap ........................................................... 6 C. Perkembangan Moralitas .......................................................................... 9 D. Perkembangan Spiritual ............................................................................. 13 E. Pengertian Agama, Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan...................................................................................................15 F. Hubungan Antara Nilai, Moral, Sikap, Dan Keagamaan ............................ 16 G. Prinsip Dasar Psikologi Perkembangan Agama .......................................... 17 H. Konsep Perkembangan Moral Dan Keagamaan Anak .............................. 21 I. Tahapan Perkembangan Moral Dan Keagamaan Anak .............................. 22 J. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Sikap, Dan Keagamaan Anak.........................................................................30 K. Proses Pembelajaran Untuk Membantu Perkembangan Nilai, Moral, Sikap Dan Keagamaan Subjek Didik..................................................31 Bab III PENUTUP ..................................................................................... 34 Kesimpulan .................................................................................................... 34 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 35
  • 4. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai persoalan mengenai konsep dan aplikasi tentang nilai, moral, sikap dan keagamaan anak, merupakan masalah yang sekarang ini sangat banyak meminta perhatian, terutama bagi para pendidik, ulama, pemuka masyarakat dan para orang tua. Terlebih tantangan zaman yang semakin kuat, dengan adanya globalisasi dan slogan Global Village menjadikan para remaja mudah terbujuk oleh gemerlapnya dunia hedonis, konsumeris dan dugem yang makin menjauhkan anak dari nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan. Tidak henti-hentinya kita mendengar berita tentang tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak, Adapun moral sama dengan etika, atau kesusilaan yang diciptakan oleh akal, adat dan agama, yang memberikan norma tentang bagaimana kita harus hidup. (Panuju, 1995). Moral dapat diukur secara subyektif dan obyektif. Kata hati atau hati nurani memberikan ukuran yang subyektif, adapun norma memberikan ukuran yang obyektif. (Hardiwardoyo,1990). Apabila hati nurani ingin membisikan sesuatu yang benar, maka norma akan membantu mencari kebaikan moral. Anak yang berusaha hidup baik secara tekun dalam waktu lama dapat mencapai keunggulan moral yaitu bersikap batin dan berbuat lahir secara benar. Kita barang kali sangat terkejut ketika untuk pertama kali mendapati anak kita yang masih belia berani melontarkan kata-kata kotor kepada guru atau orang tuanya sendiri. Mungkin pula anak yang tadinya manis dan baik tiba-tiba mencuri uang dalam jumlah besar, memeras teman sekelas, nyontek, belajar merokok, memfitnah teman, atau membaca buku porno. Apakah hal demikian normal ? Meskipun saat ini semakin banyak anak terlibat kasus yang menyangkut moral, kita tidak boleh beranggapan bahwa hal ini wajar. Pelanggaran moral bukanlah hal yang dapat dianggap remeh. Seyogyanyalah pelanggaran moral oleh anak dikoreksi dan tidak dibiarkan begitu saja. Semakin seriusnya perilaku tak bermoral yang dilakukan anak yang masih muda memberi petunjuk akan semakin beratnya tantangan bagi orang tua dalam
  • 5. mendidik anak. Mengapa anak berperilaku buruk? Salah satu kemungkinannya adalah karena semakin jarangnya kehdirang orang tua di rumah. Jumlah waktu yang dipakai orang tua untuk mengajar anak-anaknya hidup secara benar juga semakin berkurang. Akibatnya pengenalan anak terhadap kehidupan orang tuanya sendiri juga semakin sedikit. Padahal anak perlu menyaksikan orang tuanya secara langsung untuk memperoleh contoh nyata hidup yang bermoral. Kesulitan bertambah ketika anak justru memperoleh pengajaran yang kurang patut, baik melalui televisi, teman sekolah, maupun dari orang dewasa di sekitarnya. Ketika perilaku butuk anak terbentuk menjadi pola kebiasaan, perilaku itu sudah semakin sulit dibelokkan lagi. Karena itu, kita perlu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk membentuk perilaku moral anak-anak kita. Norma-norma lama sudah tidak meyakinkan lagi untuk menjadi pegangan. Kenyatannya, anak tidak dapat lari dari hati nuraninya, tapi hati nurani pun tidak berdaya menemukan kebenaran, apabila norma-norma yang biasanya dipakai sebagai landasan pertimbangan menjadi serba tidak pasti. Anak berhadapan dengan berbagai tipe manusia, tutur kata, gaya hidup, dan tingkah laku moral.yang bervariasi. Pola kehidupan masyarakat pun semakin cenderung individualis, dengan kontrol sosial yang relatif longgar. Munculah fenomena baru sebagai model bagi anak yaitu teman sepermainannya, atau tokoh-tokoh serial televisi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan Diskursus yang kami ajukan “Perkembangan Moral dan Keagamaan (Pembentuk Kepribadian dan Sikap Insan)” dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apa pengertian Nilai, Moral dan Sikap? 2. Apa pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan? 3. Bagaimana hubungan antara Nilai, Norma, Sikap dan Keagamaan? 4. Apa yang dimaksud dengan konsep perkembangan Moral dan Keagamaan anak? 5. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan moral dan Keagamaan anak ? 6. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan anak?
  • 6. 7. Bagaimana Proses pembelajaran untuk membantu perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Subjek Didik? D. Tujuan Diskursus Tujuan diajukannya diskursus ini ialah untuk mengetahui; 1. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap 2. Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan 3. Hubungan antara Nilai, Norma, Sikap dan Keagamaan 4. Konsep perkembangan Moral dan Keagamaan anak 5. Tahapan-tahapan perkembangan moral dan Keagamaan anak 6. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan anak 7. Proses pembelajaran untuk membantu perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Subjek Didik
  • 7. BAB II PEMBAHASAN A. Karakteristik Nilai, Moral, Dan Sikap Remaja Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting Dalam Pembentukan nilai (Harrocks, 1976; Adi, 1986; Monks, 1989). Salah satu karakteristik remaja sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan pengembangan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang (Sarwono, 1989). Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara identifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha mengembangkannya sendiri. Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terkait pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi jugapada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka (Gunarsa, 1988). Perkembanagan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggung-jawabkannya secara pribadi (Monks, 1989). Perkembanagan pemikiran moral remaja yang demikina, jika meminjam teori perkembangan moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahapan konvensional. Pada akhir masa remaja seseorang akan memasuki tahapan perkembangan pemikiran moral yang disebut tahap pascakonvensional ketika orinalitas pemikiran moral remaja sudah semakin jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak terganung lagi pada pendapat atau pranata yang bersifat konvesional.
  • 8. Tingkat perkembangan fisik dan psikisn yang dicapai remaja yang berpengaruh pada perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya (Gunarsa, 1989). Apabila kalau orang tua atau orang dewasa berusaha memaksa nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang ditumjukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai unjuk kemampuan berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah serta berkembang kearah moralitas yang lebih matang dan mandiri. B. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap Menurut Spranger, Nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia itu terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejarahan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi Spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah ”roh subjektif” (subjective spirit). Sementara itu, kekuatan nilai-nilai budaya merupakan ”roh objektif” (objective spirit). Dalam kacamata Spranger, kekuatan individual atau roh subjektif didudukkan dalam posisi primer karena nilai-nilai budaya hanya akan berkembang dan bertahan apabila didukung dan dihayati oleh individu. Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis, yaitu: 1. Nilai Teori/Nilai Keilmuan (I): Dasar Pertimbangan Rasional, kontras dengan nilai (A) 2. Nilai Ekonomi (E) Dasar Pertimbangan Ada Tidaknya Keuntungan finansial, kontras dengan nilai (S) 3. Nilai Sosial/Nilai Solidaritas (Sd) dasar pertimbangan tidak menghiraukan keberuntungan/ketidakberuntungan, kontras dengan nilai (K) 4. Nilai Agama (A) dasar pertimbangan benar menurut ajaran agama, kontras dengan nilai (I)
  • 9. 5. Nilai Seni (S) dasar pertimbangan rasa keindahan/rasa seni terlepas dari pertimbangan material, kontras dengan nilai (E) 6. Nilai Politik/Nilai Kuasa (K) dasar pertimbangan kepentingan diri/kelompok, kontgras dengan nilai (Sd) (Mohammad Asrori, 2008:153-154) Sementara itu, istilah Moral berasal dari berasal dari kata latin “Mos, Moris dan Mores”, yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara dalam kehidupan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi/kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai – nilai dan prinsip-prinsip moral/aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil dan seimbang. (Mohammad Asrori, 2008:155) dan (Yusuf : 2007 : 132). Moral juga diartikan sebagai ajaran baik dan buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto, 1956 : 957). Dalam moral didiatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang salah. Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, larangan berjudi, mencuri, berzina, membunuh dan meminum khamar. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sejalan dengan perkembangan social, perkembangan moral keagamaan mulai disadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh, harus atau terlarang untuk melakukannya. Aturan-aturan perilaku yang boleh atau tidak boleh disebut moral. Proses penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dari lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang
  • 10. mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan Sikap, menurut Fishbein (1985) ialah predisposisi (kecenderungan) emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel latent yang mendasari, mendireksi dan mempengaruhi perilaku. Sikap diekspresikan ke dalam kata- kata/tindakan hasil reaksi terhadap objek, baik orang, peristiwa, situasi dan lain sebagainya. Sedangkan sesuai dengan konsep Chaplin (1981) dalam ”Dictionary of Psychology” menyamakan sikap dengan pendirian. Menurutnya Sikap yaitu predisposisi/kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku/bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap oranglain, objek, lembaga/persoalan tertentu. Sehingga Sikap merupakan predisposisi untuk mereaksi terhadap orang, lembaga/peristiwa, baik secara positif maupun negatif/predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan kategorisasi. Sedang Stephen R. Covey (1989) mengemukakan tiga teori determinisme (faktor yang menentukan) yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia,yaitu: a. Determinisme Genetis (genetic determinism) sikap individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya b. Determinisme Psikis (psychic determinism) sikap individu merupakan hasil dari perlakuan, pola asuh/pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya c. Determinisme lingkungan (environmental determinism) perkembanagn sikap seseorang itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut (Mohammad Asrori, 2008:159-161) C. Perkembangan Moralitas Moralitas dapat didefinisikan sebagai cara. Namun, secara umum moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri
  • 11. ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut. Dalam definisi ini, individu yang matang secara moral tidak membiarkan masyarakat untuk mendikte mereka karena mereka tidak mengharapkan hadiah atau hukuman yang berwujud ketika memenuhi atau tidak memenudi standar moral. Mereka menginternalisasi prinsip moral yang mereka pelajari dan memenuhi gagasannya, walaupun tidak ada tokoh otoritas yang hadir untuk menyaksikan atau mendorong mereka. Moralitas memiliki tiga komponen, yaitu komponenafektif, kognitif, dan perilaku. Komponen afektif atau emosional terdiri dari berbagai jenis perasaan (seperti perasaan bersalah atau malu, perhatian terhadap perasaan orang lain, dan sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pemikiran atau tindakan moral. Komponen kognitif merupakan pusat di mana seseorang melakukan konseptualisasi benar dan salah dan membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperilaku. Komponen perilaku mencerminkan bagaimana seseorang sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong, curang, atau melanggar aturan moral lainnya. Komponen afektif moralitas (moral affect) merupakan berbagai jenis perasaan yang menyertai pelaksanaan prinsip etika. Islam mengajarkan pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu yang penting. Hadist menyatakan: Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda “Malu itu pertanda dari iman.” (HR Buhari dan Muslim) Malu dikatakan sebagai sebagian dari iman karena rasa malu dapat menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermoral. Komponen kognitif moralitas (moral reasoning) merupakan pikiran yang ditunjukkan seseorang ketika memutuskan berbagai tindakan yang benar atau yang salah. Islam mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan ke dalam jiwa manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan ketakwaan. Manusia memiliki akal untuk memilih jalan mana yang ia akan tempuh. Dalam Al-quran dinyatakan:
  • 12. ) ‫َن‬‫ف‬ْ ‫س‬ٍَ‫و‬ ‫ن‬َ‫ا‬ َ‫س‬ ‫و‬َّ‫ا‬‫ه‬َ‫ا‬ َ‫)7س‬ ) ‫َن‬‫ف‬ْ ٍَ‫ا‬َََ َ‫س‬ ‫َن‬‫ف‬َ‫ٍر‬‫ه‬َ‫ه‬ ‫ن‬َََََْ‫ا‬‫ه‬َ‫ا‬َ 8) ) ‫َن‬‫ف‬‫ن‬‫س‬‫ف‬َ‫ل‬ ‫ا‬ََ‫ا‬ ََْ‫ز‬‫ا‬ َ‫ا‬ ‫ا‬‫ا‬َ(9) ‫ا‬‫ا‬َ( َ‫س‬ ‫َن‬‫ف‬‫ن‬‫س‬‫و‬ََ ‫ا‬ََ‫ا‬ َ‫َنا‬‫ا‬ (10) Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q. S. al-Syams [91]: 7-10). Pilihan manusia tentang jalan yang akan ia pilih dalam konflik ini menentukan apakah ia menjadi orang yang baik atau tidak. Komponen perilaku moralitas (moral behavior) merupakan tindakan yang konsisten terhadap tindakan moral seseorang dalam situasi di mana mereka harus melanggarnya. Islam menggambarkan bahwa memilih melakukan jalan yang benar seperti menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. (QS Al-Balad [90]: 10-11). Melakukan sesuatu pada jalan yang benar merupakan pilihan bagi umat Islam, meskipun sulit. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, dalam pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, teman sebaya, atau guru), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan. 1. Teori Psikoanalisa tentang Perkembangan Moral Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagiaan struktur kepribadian manusia atas tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri dari aspek psikologis, yaitu sub sistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Sedangkan superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social
  • 13. yang berisikan sistem nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan benar dan salahya sesuatu. 2. Teori Belajar-Sosial tentang Perkembangan Moral Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman dan peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak. 3. Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral Teori kognitif piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip- prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget perkembangan moral digambarkan melalui aturan permainan. Berdasarkan hasil observasinya tahapan aturan-aturan permainan yang digunakan anak-anak, piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan atas dua tahap, yaitu: 1. Tahap Heterononous Morality Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 6 hingga 9 tahun. Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan yang dilanggar, hukuman akan segera dijatuhkan. 2. Tahap Autonomous Morality Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 9 hingga 12 tahun. Anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukuman-hukuman merupakan ciptaan manusia dan dalam penerapan suatu hukuman atau suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya. 3. Teori Kohlberg tentang Perkembangan Moral Tokoh yang paling dikenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlberg (1995). Melalui disertasinya yang sangat monumental yang berjudul The Development of Mades of Moral Thinking and Choice in the Years 10 to 16 yang diselesaikannya di University of Chicago pada tahun 1958, dia melakukan penelitian empiris lintas kelompok usia tentang cara pertimbangan moral terhadap 75 orang anak dan remaja yang berasal dari daerah sekitar Chicago. Anak-anak dibagi ke dalam tiga kelompok usia, yaitu kelompok usia 10, 13, dan 16 tahun. Penelitiannya dilakukan denagn cara
  • 14. menghadapkakn para subjek penelitia/responden kepada berbagai dilema moral, di mana mereka harus memilih antara tindakan menaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan beraturan dan selanjutnya mencatat semua reaksi mereka. Teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan pelumas, modifikasi, dan redefeni atas teori Piaget. Hal penting dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlberg (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut: a) Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat aktif terhadap titik pandang masing-masing individu sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang baik dan adil. Kesemuanya merupakan tindakan kognitif. b) Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya. c) Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral. Moral merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman untuk menentukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Moralitas pada hakitatnya adalah penyelesaian konflik antara dirinya dan orang lain, antara hak dan kewajiban (Setiono, 1994). D. Perkembangan Spiritual 1. Pengertian Spiritualitas
  • 15. Kata spiritualitas berasal dari bahasa inggris yaitu spirituality, kata dasarnya spirit yang berarti roh, jiwa, semangat (Echols dan Shadily, 1997). Kata spirit sendiri berasal dari kata latin spiritus yang berarti luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (courage), energi atau semangat (vigor), dan kehidupan (Ingersoll, 1994). Kata sifat spiritual berasal dari kata latin spiritualis yang berarti of the spirit (kerohanian). Ingersoll (1994) mengartikan spiritualis sebagai wujud dari karakter spiritual, kualitas, atau sifat dasar. Menurut Aliah B. Purwakania Hasan (2006), spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas, hanya saja spiritualitas dapat dimengerti dengan membahas kata kunci yang sering muncul ketika orang-orang menggambarkan arti spiritualis bagi mereka. Dengan mengutip hasil penelitian Martsolf dan Mickley, Aliah B. Purwakania Hasan menyebutkan beberapa kata kunci yang bisa dipertimbangkan, yaitu: 1) Meaning (makna) 2) Values (nilai-nilai) 3) Transcendence (transendensi) 4) Connecting (bersambung) 5) Becoming (menjadi) 2. Spiritualitas dan Religiusitas Agama memang tidak mudah untuk didefinisikan secara tepat, karena agama mengambil bentuk bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa- bangsa di dunia. Secara etimologi, religion (agama) berasal dari bahasa latin religio, yang berarti suatu hubungan antara manusia dan Tuhan. Berbeda dengan agama, spiritualitas lebih banyak melihat aspek dalam lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang bagi banyak orang lain merupakan misteri, karena intimitas jiwa. Dalam ini, spiritualitas mencakup citra rasa totalitas kedalam pribadi manusia. Istilah spiritulitas dan religius sering kali dianggap sama, namun banyak pakar yang menyatakan keberatannya jika kedus istilah ini dipergunakan saling silang. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri, dan kesadaran individu tentang asal, tujuan dan nasib. Agama (religius) adalah kebenaran mutlak dari kehidupan
  • 16. yang memiliki manifestasi fisik di atas dunia. Agama memiliki kesaksian iman, komunitas, dan kode etik. Dengan kata lain, spiritualitas memberikan jawaban siapa dan apa orang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (perilaku atau tindakan). Dalam konsep Islam, manusia dipandang sebagai makhluk Allah yang diserahi tugas sebagai khalifah di muka bumi. Dalam pembukaan Al-quran, surat Al-Fatihah, Allah merupakan Tuhan Pengatur seluruh alam semesta: Segala puji [2] bagi Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al-Fatihah [1]: 2). Dengan demikian, Allah adalah pencipta alam semesta dan Dian juga menjaga dan memeliharanya. Implikasinya adalah segala sesuatu bersumber kepadaNya (baik terlihat atau tidak, diketaui atau tidak) dan segala sesuatu bergantung kepadaNya dalam hal pemenuhan kebutuhan, pertumbuhan dan perkembangan. Interpretasi ini juga tercantum dalam Al-quran ayat berikut ini: Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. (QS. Az Zumar [39]: 62). E. Pengertian Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Agama dari sisi etimologi berasal dari bahasa Yunani ”a” yang berarti tidak dan ”gama” yang bermakna kacau balau, carut marut, tak teratur. Sehingga agama ialah suatu tatanan yang berfungsi memberikan keteraturan. Sementara dari sisi terminologi, menurut Hendropuspito (1983) dalam bukunya Sosiologi Agama, menerangkan bahwa Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya. Sehingga unsur-unsur Agama memuat:
  • 17. a. Agama disebut jenis sistem sosial. Menjelaskan bahwa agama adalah fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu b. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris . hal ini menyatakan bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang di-”huni” oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan roh tertinggi c. Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan keselamatan di ”dunia lain” yang dimasuki manusia setelah kematian. Thomas F.O Dea mendefinisikan agama sebagai pendayagunaan sarana- sarana supra empiris untukmaksud-maksud non empiris atau supra empiris. Sementara itu, J. Milton Yinger melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Sedangkan Dunlop melihat agama sebagai sarana terakhir yang sanggup menolong manusia bilamana instansi lainnya gagal tak berdaya. Sedangkanaspek agama menurut Joachim Wach ada tiga, yakni: pertama unsur teoritisnya, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, kedua unsur praktisnya ialah yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga aspek sosiologisnya bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial. (Hendropuspito, 1983: 34-35) Sementara itu Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan definisinya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 1 Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetrahuan dan membentuk sikap kepribadian dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya. Sedangkan Ayat 2 Pendidikan Keagamaan ialah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang
  • 18. menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. F. Hubungan Antara Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Nilai merupakan tatanan tertentu atau kriteria di dalam diri individu yang dijadikan dasar untuk mengevaluasi suatu sistem tertentu. Pertimbangan nilai adalah penilaian individu terhadap suatu objek/sekumpulan objek yang lebih mendasarkan pada sistem nilai tertentu daripada hanya sekedar karakteristik objek tersebut. Moral merupakan tatanan perilaku yang memuat nilai-nilai tertentu untuk dilakukan individu dalam hubungannya dengan individu lain/kelompok/masyarakat. Moralitas merupakan pencerminan dari nilai-nilai dan idealitas seseorang. Dalam moralitas terkandung aspek-aspek kognitif, afektif dan perilaku, sedangkan sikap merupakan predisposisi tingkah laku/kecenderungan bertingkah laku yang sebenarnya, juga merupakan ekspresi/manifestasi dari pandangan individu terhadap suatu objek/sekumpulan objek. Sikapmerupakan sistem yang bersifat menetap dari komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Perubahan pengetahuan individu tentang objek/sekumpulan objek (sistem/konsep nilai, moral, sikap dan agama) akan menimbulkan perubahan perasaan individu yang bersangkutan mengenai objek/sekumpulan objek tersebut dan selanjutnya akan mempengaruhi kecenderungannya untuk bertindak terhadap objek/sekumpulan objek tersebut. Keagamaan ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan agama baik nilai, moral, sikap maupun prilaku individu yang dilandasi nilai, moral dan sikap dalam ajaran agama. Dengan demikian, dapat ditarik konklusi bahwa nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predisposisi/kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek/sekumpulan objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yang dimiliki, individu akan menentukan prilaku mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindarkan. Ini akan tampak dalam sikap dan prilaku nyata sebagai perwujudan
  • 19. dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya. Sedangkan Keagamaan merupakan fundamen dan spirit bagi lahirnya sistem dan konsep nilai, moral dan sikap yang dimiliki individu yang termanifes dalam prilaku individu terkait, dalam kehidupan sehari-harinya. (Mohammad Asrori, 2008:162) G. Prinsip Dasar Psikologi Perkembangan Agama Salisu Shehu (1999) menyusun prinsip dasar psikologis perkembangan diri Perspektif islam yang tediri dari kehidupan manusia (pertumbuhan dan perkembangan) merupakan proses kumulatif dan simultan, meliputi keberadaan fenomenal duniawi, dan melewatu periode kritis dan sensitive tertentu. Kehidupan Manusia (Pertumbuhan dan Perkembangan) Merupakan Proses Yang Bertahap dan Berangsu-angsur Hal ini Merupakan prinsip pertamam dari perkembangan yang dapat dipahami dari Al-Qur’an, ketika menyatakan bahwa Allah adalah Maha Pencipta, Maha Penjaga. Dan Maha Pemelihara segala sesuatu, Al-Qur’an juga menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia dari berbagai tahap progresif pertumbuhan dan perkembangan. Dengan kata lain, kehidupan manusia memiliki pola dalam tahapan-tahapan tertentu yang termasuk tahapan dari pembuahan sampai kematian. Tahapan yang terjadi yang dilewati manusia dalam pertumbuhan dan perkembangannya bukan terjadi karena factor peluang atau kebetulan, namun ini merupakan sesuatu yang telah dirancang, ditentukan dan ditetapkan langsung oleh Allah Swt. Banyak ayat Al-Qur’an yang Menyatakan hal ini. Salah satu contohnya adalah sebagai berikut: Artinya: yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS Al-Furqaan [25] : 2)
  • 20. Hal ini dengan jelas menyatakan bahwa kehidupan dari segala sesuatu telah ditentukan dengan cara demikian rupa sehingga setiap aspek secara proporsional telah terlengkapi. Dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia, dan segala tahapan yang dikemukakan di atas telah ditentukan sesuai ukurannya dan semua manusia harus melewati semua tahapan tersubut. Pertumbuhan dan perkembangan tidak terjadi serta merta dlam satu waktu, namun melalui tahapan yang telah ditentukan ukurannyan yang membuatnya berjalan dengan proses yang berangsur-angur atau gradual. Ayat berikut ini dengan jelas menyatakan bahwa manusia diciptakan dab ditentukan untuk berkembang dalam tahapan. Artinya : Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?. Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. ( QS. Nuh [71] : 13-14) Ibnu Katsir melaporkan bahwaAbdullah Ibn dan lain-lain menerjemahkan ayat ini dalam pengertian bahwa manusia diciptakan dari nutfah (tetesan), kemudian diubah menjadi alaqah (segumpal darah), kemudian menjadi mudhgah (segumpal daging), dan seterusnya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:
  • 21. Artinya : sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). (QS Al-Insyqaq [85] : 19) Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa ‘Ikrimah (salah satu murid Ibn Abbas) menerjemahkan ayat ini dalam pengertish bahwa manusia tumbuh dari satu keadaan ke keadaan lain sedemikian rupa, menjadi kanak-kanak setelah bayi, menjadi tua setelah muda dan kuat. Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa manusia tumbuh dan berkembang mengikuti tahapan tertentu. Tahapan ini secara khusus dinyatakan dalam berbagai ayat Al-Qur;an yang lain dengan cara yang lebih rinci. Selain itu, Nabi Muhammad Saw, juga menyatakan tahapan ini lebih lanjut dalam beberapa Hadis. Jika dianalisis Al-Qur’an dan Hadis secara umum membagi kehidupan manusia (pertumbuhan dan perkembangan) di dunia menjadi dua kategori besar, Pra- kelahiran dan pasca-kelahiran. Masing-masing tahap ini juga dapat dibagi atas berbagai bagian lagi dengan istilah dan periode yang berbeda-beda. Banyak ayat Al-Qur’an yang secara tahapan kehidupan manusia di dunia. Meski dalam beberapa ayat yang lain, hanya menggambarkan tahap pertama kehidupan manusia yaitu tahap pra-kelahiran. Salah satu contohnya adalah ayat Al-Qur’an berikut ini: Artinya: Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan? (QS Al- Zumar [39] : 6)
  • 22. Selain ini, berbagai ayat Al-Qur’an juga mengambarkan kedua tahapan (pra- kelahiran dan pasca-kelahiran) dengan cara yang sangat jelas: Artinya : Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes, air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya). (QS Al-Mu’min [40] : 67) Al-Qur’an juga menyatakan bahwa tahap pertama memiliki aturan dan waktu yang ditentukan untuk mencapai tugas perkembangannya. Setelah itu, tahap pertama ini terputus dengan adanya kelahiran (melalui persalinan). Hal ini dalam petikan ayat Al-Qur’an yang menyatakan:
  • 23. Artinya: Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (QS Al-Hajj [22] : 5)
  • 24. H. Konsep Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak Konsep perkembangan moral dapat kita cermati dari buah pikiran Piaget dan Norman J.Bull. Jean Piaget adalah wakil Direktur Institute of Educational Sciences dan Professsor Psikologi Eksperimental di University of Geneve. Piaget secara intensif telah melakukan penelitian selama lebih dari 40 tahun terhadap “Perkembangan Struktur Kognitif (Cognitive Structure) dan Pertimbangan Moral (Moral Judgement). Piaget dan Norman J. Bull berpendapat bahwa pendidikan moral akan berhasil, apabila pendidikan itu dilakukan sesuai dengan tahap perkembangan moral anak. Dengan kata lain kedua ahli ini mencita-citakan adanya strategi pendidikan moral yang disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan moral anak. Piaget mendefinisikan tahap perkembangan moral sebagai berikut: (1) Pre-moral yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan dan harus menaati kekuasaan. (3) Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan tujuan dan konsekuensi ketaatannya kepada peraturan. Adapun Norman J. Bull (I969) berkesimpulan bahwa tahap perkembangan moral itu adalah: (1) Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan.(3) Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok. (4) Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan. Dalam perkembangan moral itu titik heterotomi dan autonomi lebih menggambarkan proses perkembangan dari pada totalitas mental individu. Melalui pergaulannya anak mengembangkan pemahamannya mengenai tujuan dan sumber aturan. Sampai usia tujuh atau delapan tahun anak dikendalikan oleh seluruh aturan. Terhadap aturan yang berasal dari luar, anak belum memiliki pengertian dan motivasi untak konsisten. Pada tahap autonomi anak menyadari akan aturan dan menghubungkannya dengan pelaksanaannya. Tahap berikutnya adalah pelaksanaan autonomi. I. Tahapan Perkembangan Moral dan Keagamaan Anak Pertama-tama moral berkembang melalui adopsi terhadap norma- norma sosial. Dalam pengertin ini anak mengambil norma yang dipakai oleh orang-orang
  • 25. dengan cara mencontoh. Oleh karena itu sebagai seorang guru hendaknya memberi contoh pada muridnya untuk menanamkan norma yang sesuai. Perkembangan moral dapat juga melalui pemahaman terhadap norma. Pengalaman sosial ini didapat melalui interaksi dengan institusi sosial, sistem hukum yang berlaku dan hubungan interpersonal. Bagaimana tahapan perkembangan moral menurut pandangan berbagai tokoh Psikologi? John Dewey mengemukakan perkembangan moral dalam tiga tahap, yakni: 1. Tahap Pra-Moral; ini ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan 2. Tahap Konvensional; ini ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada kekuasaan 3. Tahap Otonom; ini ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas (imbalbalik yang sama) (Mohammad Asrori, 2008:156) Sedangkan menurut Norman J. Bull terdapat empat tahap perkembangan moral, yakni: 1. Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan. 2. Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan. 3. Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok. 4. Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan. Sementara itu, Jean Piaget selain mengembangkan teori kognitif, juga memperkenalkan teori perkembangn moral. Piaget membagi perkembangan moral atas 3 tahap yaitu : 1. Pre Moral (0 sampai dengan 5 tahun) Pada tahap ini anak tidak/belum merasa wajib untuk menaati peraturan. 2. Heteronomous Morality (+ 5 sampai dengan 10 tahun) Pada tahap perkembangan moral ini, anak memandang aturan- aturan sebagai otoritas yang dimiliki Tuhan, orang tua dan guru, yang tidak dapat dirubah, dan harus dipatuhi dengan sebaik- baiknya.
  • 26. 3. Autonomous Morality atau Morallity of Cooperation (Usia 10 tahun ke atas) Moral tumbuh melalui kesadaran, bahwa orang dapat memilih pandangan yang berbeda terhadap tindakan moral. Pengalaman ini akan tumbuh menjadi dasar penilaian anak terhadap suatu tingkah laku. Dalam perkembangan selanjutunya, anak berusaha mengatasi konflik dengan cara- cara yang paling menguntungkan, dan mulai menggunakan standar keadilan terhadap orang lain. Menurut Piaget, pengalaman ini menyadarkan anak bahwa norma bersifat flexible, merupakan kesepakatan sosial, yang dapat disesuaikan dengan keinginan mayoritas. Lain halnya dengan Kohlberg. Lawrence Kohlberg, mengembangkan teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget, sehingga melahirkan teori perkembangan moral. Melalui penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, akhirnya dapat menyimpulkan tahap perkembngan moral individu. Tahapan perkembangan moral dari Kohlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori Perkembangan Kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan- tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya. Menurut Kohlberg (Crain, 1992: Gunarsa; Miller; papilia, Old dan Feldman, 1998) ada beberapa tahap perkembangan moral, diantaranya: preconventional morality, morality of conventional role conformity, dan morality of autonomy moral principle. Tahap 1: Pre Conventional Morality/Pra-Konvensional (Anak usia 4-10 tahun) 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman 2. Orientasi Relativis Instrumental/relativistic hedonism/resiprositas/minat pribadi (imbalbalik/Apa untungnya buat saya?) Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak- anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini.
  • 27. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris. Ketika berada dalam suatu tekanan, maka individu akan menuruti suatu perintah/peraturan guna menghindari hukuman (punishment) dan ingin memperoleh suatu hadiah (reward) Fase pertama, individu memiliki orientasi kepatuhan dan berusaha menghindari hukuman. Individu harus patuh pada otoritas (orang tua) Agar menghindari hukuman. Dalam hal ini, seorang individu belum memiliki kesadaran terhadap apa yang dilakukan. Kesadaran dan pemahaman, nilai benar- salah, amat ditentukan oleh evaluasi penilaian orang lain (orang tua/ orang dewasa). Dengan demikian kepatuhan individu bersifat semu dan wajar, bila individu tidak akan patuh kalau bertindak tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam fase pertama ini, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Fase kedua, Relativis Instrumental/relativistic hedonism/resiprositas/minat pribadi, yakni ada faktor pribadi yang bersifat relatif dan memiliki prinsip kesenangan. Anak akan mematuhi suatu aturan, kalau aturan tersebut membuat dirinya senang atau menguntungkan dirinya. Pada fase kedua ini menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-
  • 28. konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral. (Mohammad Asrori, 2008:156-157) Tahap II: Morality of Conventional Role Conformity/Konvensional (Usia 10 tahun) 3.Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas/kesepakatan antarpribadi/orientasi ”anak manis” ( Sikap anak baik) 4.Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial/hukum dan ketertiban (Moralitas hukum dan aturan) Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral. Individu sebenarnya telah mnginternalisasikan nilai- nilai dari pihak otoritas (orang tua, guru). Mereka mulai memperhatikan sifat- sifat yang baik yang disenangi dan diharapkan orang lain. Mereka ingin menjadi goodboy atau goodgirl. Agar dikatakan sebagai anak yang baik, maka individu akan melakukan tindakan- tindakan yang menyenangkan orang lain. Tujuanya, agar dirinya mudah diterima dalam lingkungan sosial masyarakat. Fase ketiga, orientasi mngenai anak yang baik, yakni agar menjadi anak yang baik, maka sikap dan perbuatan individu harus diterima oleh masyarakat. Mau tidak mau, seorang anak harus patuh dan taat terhadap aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Ketidak patuhan hanya akan mendatangkan cemooh atau caci maki daroi orang lain, sehinggga memalukan diri sendiri atau menjatuhkan harga diri. Dalam fase tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi
  • 29. konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud baik ‘ Fase keempat, mempertahankan norma- norma sosial. Individu menyadari kewajiban untuk ikut melaksanakan norma yang ada dan mempertahankan pentingnya norma tersebut. Oleh Karena itu segala sikap dan tindakan dinilai dan diawasi oleh diri sendiri serta mengontrol tindakan- tindakan orang lain, agar sesuai dengan norma sosial. Dalam fase empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu – sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik. (Mohammad Asrori, 2008:157) Tahap III: Morality of Autonomy Moral Principles/Pasca-Konvensional (Minimal usia 13 tahun ke atas) 5. Orientasi kontrak sosial legalitas/utilitarian (ukuran perbuatan baik hasil konsensus) 6. Prinsip etika universal/hati nurani universalitas (Principled conscience) Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu- individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
  • 30. Orang mulai menyadari adanya konflik antara standar nilai moralitas dengan pertimbangan prinsip kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Jadi, ia sudah mampu menilai dan mengevaluasi suatu tindakan / keputusan itu benar atau salah menurut pertimbangan hati nurani. Ia berani mengambil resiko terhadap keputusan dan tindakanya secara terbuka. Ia tidak lagi takut terhadap ancaman atau berkeinginan supaya memperoleh pengakuan social dari orng lain. Ia berpegang prinsip- prinsip kebenaran manusia secara universal. Umunya mereka yang telah mencapi golongan dewasa muda (21 tahun keatas) telah mencapai tahap ini, sedangkan remaja dianggap belum memiliki kemampuan ini, karena belum matang secara kapasitas intelektualnya. Fase kelima, orientasi terhadap perjanjian antar dirinya dengan lingkungan social. Individu menmpunyai kesadaran dan keyakinann pribadi bahwa dengan berbuat baik, maka ia pun akan diperlakukan dengan baik pula oleh orang lain. Dan keyakinan ini timbul dari hati nurani. Dalam fase lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat- pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut – ‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran fase lima. Fase keenam, prinsip universal. Dengan semakin tumbuh dan berkembangnya norma- norma etika dalam dirinya, maka individu akan menyesuaikan sikap dan tindakanya agar sepadan dengan prinsip- prinsip kebenaran yang diakui secara global. Jadi melampaui batas- batas suku, bangsa, agama dan jenis kelamin. Dalam fase enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk
  • 31. tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini. (Mohammad Asrori, 2008:158) J. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Anak. Nilai, moral dan sikap serta perilaku keagamaan adalah aspek-aspek yang berkembang pada diri individu melalui interaksi antara aktivitas internal dengan pengaruh stimulus eksternal. Pada awalnya seorang anak belum memiliki nilai- nilai dan pengetahuan mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang dipandang baik atau tidak baik oleh kelompok sosialnya. Selanjutnya, dalam interaksinya dengan lingkungan, anak mulai belajar mengenai berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan nilai, moral dan sikap serta perilaku keagamaannya. Dalam konteks ini, lingkungan merupakan faktor yang besar pengaruhnya bagi perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan individu. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan individu itu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral, sikap dan perilaku keagamaan individu yang tumbuh dan berkembang di dalamnya.
  • 32. Remaja yang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan relegius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki nilai luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji. Sebaliknya, individu yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi psikologis yang penuh konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang penuh otoriter dan permisif, dan kurang relegius, maka harapan agar anak dan remaja berkembang menjadi individu yang memiliki nilai- nilai luhur, moralitas tinggi, sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji menjadi diragukan. (Mohammad Asrori, 2008:164-165) K. Proses Pembelajaran untuk Membantu Perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan Keagamaan Subjek Didik Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai- nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi mereka gambaran-gambaran yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang simpatik, orang-orang terkenal dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri. Syamsu Yusuf (2007 : 133) menyatakan bahwa : “Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai- nilai dari lingkungannya, terutama dari orang tuanya”. Dari pernyataan diatas dapat dimengerti bahwa perkembangan moral anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitarnya, utamanya keluarganya yang setiap hari berinteraksi dengan anak. Boleh jadi baik dan buruknya perkembangan moral anak tergantung pada baik dan buruk moral keluarganya. Agar perkembangan moral keagamaan anak dapat berkembang dengan baik sebaiknya keluarga utamanya ayah dan ibu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Konsisten dalam mendidik Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang dan membolehkan tingkah laku tertentu pada anak. Pada kenyataanya masih banyak kita jumpai orang tua yang tidak kompak dalam mendidik anaknya,
  • 33. hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua dan juga dipengaruhi rasa ego. Ketidak kompakan orang tua dalam mendidik anaknya berakibat kurang baik terhadap moral anak, biasanya mereka bingung membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, patuh pada aturan bapak atau patuh pada aturan ibu, dan lain sebagainya. Maka sebaiknya ayah dan ibu menyamakan persepsi dalam memberikan didikan pada anak-anaknya. 2. Sikap orang tua dalam Keluarga Sikap orang tua dalam keluarga secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan moral anak. Melalui proses peniruan (imitasi) mereka mereka merekam sikap ayah pada ibu dan sebaliknya, sikap orang tua pada tetangga tetangga sekitarnya akan dengan mudah ditiru oleh anak. Sikap yang otoriter orang tua akan membuahkan sikap yang sama pada anak. Sebaliknya sikap kasih saying, keterbukaan, musyawarah, dan konsisten, juga akan membuahkan sikap yang sama pada anak. Menurut penulis, sebaiknya orang tua memberikan contoh (tauladan) moral yang baik pada anak-anaknya, agar dimasa yang akan datang anak-anaknya menjadi orang yang berguna. 3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut Orang tua berkewajiban menanamkan ajaran-ajaran agama yang dianutnya kepada anak, baik berupa bimbingan-bimbingan maupun contoh implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan orang tua dalam menjalankan moral keagamaan merupakan cara yang paling baik dalam menanamkan moral keagamaan anak. Dengan perkembangan moral keagamaan yang baik pada anak sudah barang tentu akan berpengaruh terhadap budi pekerti atau tingkah laku anak pada masa yang akan datang. Disamping faktor pengaruh keluarga, faktor lingkungan masyarakat dan pergaulan anak juga mempengaruhi perkembangan moral keagamaan anak, pada perkembangannya terkadang anak lebih percaya kepada teman dekatnya dari pada
  • 34. orang tuanya, terkadang juga lebih mematuhi orang-orang yang dikaguminya seperti ; gurunya, artis favoritnya, dan sebagainya. Keluarga dengan moral keagamaan yang baik dan lingkungan masyarakat yang baik, secara teoritis akan berpengaruh positif terhadap perkembangan moral keagamaan yang baik pada anak.
  • 35. BAB III PENUTUP Kesimpulan Dari uraian diatas penulis memberikan kesimpulan-kesimpulan, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Moral berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan, sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai – nilai dan prinsip-prinsip moral. Moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Sikap merupakan predisposisi untuk mereaksi terhadap orang, lembaga/peristiwa, baik secara positif maupun negatif/predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan kategorisasi. Keagamaan ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan agama baik nilai, moral, sikap maupun prilaku individu yang dilandasi nilai, moral dan sikap dalam ajaran agama. Antara Konsep dan Aplikasi Nilai, Moral, Sikap dan Perilaku Keagamaan memiliki keterikatan antara satu dengan yang lain. Masing- masing saling melengkapi dan merupakan rangkaian tak terpisahkan/sesuatu yang integral baik yang Esoteris-Psikologis (Nilai, Moral) maupun Eksoteris-Fisiologis (Sikap dan Perilaku Keagamaan) yang membentuk personality (kepribadian) seseorang.
  • 36. DAFTAR PUSTAKA Asrori, Ali. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Bumi Aksara Hasan. 2008. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada http://cheshuma.wordpress.com/2009/01/27/perkembangan-moral-dan- keagamaan/ Mulyani. 2009. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka Yusup. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada