Successfully reported this slideshow.
Your SlideShare is downloading. ×

Makalah Pajak Dalam Bisnis Kel 1.docx

Ad
Ad
Ad
Ad
Ad
Ad
Ad
Ad
Ad
Ad
Ad
MAKALAH
ASPEK HUKUM DAN ETIKA DALAM BISNIS
PAJAK DALAM BISNIS
Dosen Pengampu : Eko Murti Saputra, S.H., M.H., M.M.
Disusun...
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puji dan syukur ata...
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Upcoming SlideShare
Uu 36-2008
Uu 36-2008
Loading in …3
×

Check these out next

1 of 23 Ad

More Related Content

Similar to Makalah Pajak Dalam Bisnis Kel 1.docx (20)

Recently uploaded (20)

Advertisement

Makalah Pajak Dalam Bisnis Kel 1.docx

  1. 1. MAKALAH ASPEK HUKUM DAN ETIKA DALAM BISNIS PAJAK DALAM BISNIS Dosen Pengampu : Eko Murti Saputra, S.H., M.H., M.M. Disusun Oleh : 1. Abdul Hakim ( 21612243 ) 2. Dedi Efendi ( 20612051 ) 3. Icha Hermana Putri ( 21612084 ) 4. Laura Atalia ( 21612022 ) 5. Muhammad Hanif ( 19612081 ) 6. Rahayu Sri Winastiti ( 21612278 ) 7. Rizki Ramanda Putra ( 21612065) PRODI S1 MANAJEMEN SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PEMBNGUNAN TANJUNGPINANG 2022
  2. 2. i KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Pajak Dalam Bisnis”. Makalah ini diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Aspek Hukum dan Etika Dalam Bisnis. Dengan tersusunnya makalah ini, kami mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini. Kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan yang tanpa sengaja dibuat, baik kata maupun tata bahasa di dalam makalah ini. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Demikian, makalah ini kami buat dengan sebaik-baiknya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya kami sebagai penulis dan umumnya para pembaca makalah ini. Tanjungpinang, 2 November 2022 Penulis
  3. 3. ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR....................................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii BAB 1 : PENDAHULUAN............................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1 1.3 Tujuan Masalah ............................................................................................................ 1 BAB II : PEMBAHASAN ............................................................................................... 2 2.1 Pajak Penghasilan ........................................................................................................ 2 2.2 Pajak Pertambahan Nilai .............................................................................................. 6 2.3 Pajak Bumi Dan Bangunan .......................................................................................... 10 2.4 Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan .......................................................... 12 2.5 Pajak Atas Bea Materai................................................................................................. 15 BAB III : PENUTUP ....................................................................................................... 18 3.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 18 3.2 Saran ............................................................................................................................ 19 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 20
  4. 4. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan salah satu bentuk pendapatan negara yang menyumbang persentase terbesar dibandingkan dengan sektor-sektor pendapatan lain seperti minyak dan gas (migas) serta non-migas. Keberhasilan suatu negara dalam mengumpulkan pajak dari warga negaranya dipastikan akan bermanfaat bagi stabilitas ekonomi negara yang bersangkutan. Bank Dunia menilai Indonesia merupakan negara dengan penerimaan negara yang paling rendah dibandingkan de ngan negara-negara tetangga di Asia dan G20. Sampai saat ini, Indonesia baru mampu mengumpulkan <50% potensi penerimaan negara. Hal itu tecermin dari rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) yang baru sekitar 15%. Masalah kepatuhan pajak (tax compliance) yang masih rendah merupakan masalah klasik yang dihadapi hampir semua negara yang menerapkan sistem perpajakan, sehingga berimplikasi pada rendah ratio penerimaan pajak. Berbagai penelitian telah dilakukan dan kesimpulannya adalah masalah kepatuhan dapat dilihat dari segi keuangan publik (public finance), penegakan hukum (law enforcement), struktur organisasi (orga nizational structure), tenaga kerja (employees), etika (code of conduct), atau gabungan dari semua segi tersebut. Dari segi keuangan publik, kalau pemerintah dapat menunjukkan kepada publik bahwa pengelolaan pajak dilakukan dengan benar dan sejalan dengan keinginan Wajib Pajak, maka Wajib Pajak cenderung untuk mematuhi aturan perpajakan. Namun sebaliknya, bila pemerintah tidak dapat menunjukkan penggunaan pajak secara transparan dan akuntabel, maka Wajib Pajak tidak mau membayar pajak dengan benar 1.2 Rumusan Masalah a. Apa yang dimaksud dengan pajak penghasilan? b. Apa yang dimaksud dengan pajak pertambahan nilai? c. Apa yang dimaksud dengan pajak bumi dan bangunan? d. Apa yang dimaksud dnegan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan? e. Apa yang dimaksud dengan pajak atas bea materai? 1.3 Tujuan a. Mengetahui penjelasan tentang pajak penghasilan b. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pajak pertambahan nilai c. Untuk mengetahui apa itu pajak bumi dan bangunan d. Untuk menegtahui penejelasan tenatang bea perolehan hak atas tanah dan bangunan e. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pajak atas bea materai
  5. 5. 2 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pajak Penghasilan a. Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak. b. Dasar Hukum Pajak Penghasilan Peraturan perundangan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia adalah UU nomor 7 Tahun 1983 yang telah disempurnakan dengan UU nomor 7 Tahun 1991, UU nomor 10 Tahun 1994, UU nomor 17 Tahun 2000, UU nomor 36 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak maupun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak. c. Subyek Pajak Penghasilan Subjek Pajak Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan mejadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut: a. Subyek Pajak Pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. b. Subyek Pajak Harta Warisan Belum Dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak. c. Subyek Pajak Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi PT, CV, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, dan lain-lain. d. Bentuk Usaha Tetap ( BUT ) yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia. Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 36 tahun 2008, mengelompokkan subyek pajak menjadi dua kelompok, yaitu : 1. Subyek pajak dalam negeri, adalah a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
  6. 6. 3 b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintahan yang memiliki kriteria : 1) Pembentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan . 2) Pembiayaan bersumber dari APBN atau APBD . 3) Penerimaannya dimasukkan ke dalam anggaran pemerintahan pusat atau daerah, dan pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 2. Subyek pajak luar negeri, adalah a. Orang pribadi yang tidak bertempa tinggal di Indonesia serta tidak berada di Indonesia lebih dari 186 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak didirikan serta tidak bertempat kedudukan di Indnesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. b. Orang pribadi yang tidak bertempa tinggal di Indonesia serta tidak berada di Indonesia lebih dari 186 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak didirikan serta tidak bertempat kedudukan di Indnesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Berdasarkan pasal 3 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang tidak termasuk subyek pajak penghasilan yaitu : 1. Kantor perwakilan negara asing 2. Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat: bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menerima penghasilan lain di luar pekerjaannya tersebut. 3. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan KeputusanMenteri Keuangan dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, tidak menjalankan usaha untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia 4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat : bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. d. Objek Pajak Penghasilan Objek Pajak Penghasilan merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau keadaan) yang dikenakan pajak. Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk : 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam undang- undang PPh.
  7. 7. 4 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. 3. Laba usaha. 4. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta : a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota. c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha. d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yg ditetapkan oleh menteri keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. 6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. 7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala contoh leasing. 11. Keuntungan karena pembebasan utang kecuali yang diatur pada PP 130 Tahun 2000 (atas keuntungan karena pembebasan utang debitur kecil termasuk Kukesra, KUT, KPRSS, KUK dan kredit kecil dan hanya dapat dinikmati satu kali dalam satu tahun pajak sampai dengan jumlah Rp 350 Juta). 12. Keuntungan karena selisih kurs dengan mata uang asing. 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14. Premi Asuransi. 15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak 17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah 18. Imbalan bungan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. 19. Surplus Bank Indonesia.
  8. 8. 5 Menurut pasal 4 ayat 3 UU No. 36 Tahun 2008 yang tidak termasuk Objek Pajak adalah : 1. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia. 2. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia; 3. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; 4. Warisan; 5. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; 6. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh; 7. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa; 8. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b. bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor; 9. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; 10. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; 11. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
  9. 9. 6 12. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: a. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. 13. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu: a. Diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik di dalam negeri maupun luar negeri; b. Tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus dari wajib pajak pemberi beasiswa; c. Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah, biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar; 14. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut; 15. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Peenyelenggara jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 2.2 Pajak Pertambahan Nilai a. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pemungutan pajak terhadap tiap transaksi/perdagangan jual beli produk/jasa dalam negeri kepada wajib pajak orang pribadi, badan usaha maupun pemerintah. Istilah PPN dalam Bahasa Inggris dikenal dengan Goods and Services Tax (GST) atau Value Added Tax (VAT). Pajak ini bersifat tidak langsung, objektif dan non kumulatif. Maksudnya, pajak tersebut dibayarkan secara langsung oleh pedagang, melainkan dibayarkan oleh konsumen. Sehingga, dikatakan tidak langsung karena konsumen tidak membayar secara langsung ke pemerintah. b. Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tertuang dalam UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Kemudian, dasar hukum terbaru PPN tertuang didalam peraturan perundang-undangan
  10. 10. 7 perpajakan, yakni dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). c. Karakteristik Pajak Pertamabahan Nilai (PPN) • PPN merupakan pajak atas konsumsi PPN akan dibebankan pada pihak konsumen atau orang yang membeli Barang kena Pajak (BKP), dan tidak untuk dijual kembali. Hal ini berarti, yang memiliki tanggung jawab untuk membayar beban pajak adalah pihak konsumen akhir (pembeli). • PPN merupakan pajak tidak langsung PPN termasuk dalam kategori pajak tidak langsung karena pajak tersebut dibebankan pada konsumen akhir. Sedangkan yang bertanggungjawab untuk melakukan penyetoran pajak bukanlah pihak konsumen akhir. Namun wajib pajak sebagai pengusaha kena pajak atau PKP yang menjual barang tersebut. • PPN merupakan pajak objektif PPN juga termasuk dalam kategori pajak objektif, karena melihat dari sisi objek pajaknya. Setiap konsumen, yang juga merupakan wajib pajak dan subjek pajak, akan dikenai tarif PPN yang sama. Yang mana tarif tersebut sesuai dengan harga barang atau transaksi BKP dan JKP yang dilakukan. • Penggunaan Tarif Tunggal Seperti yang telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, bahwa PPN berbeda dengan PPh pasal 21. Yang mana dalam PPN tidak memiliki perhitungan progresif, tapi memiliki tarif dasar tunggal yakni sebesar 10%. Setiap konsumen akhir yang melakukan pembelian BKP bertanggung jawab untuk membayarkan pajak sebesar 10% dari nilai transaksi yang dilakukan. • PPN adalah Pajak Atas Konsumsi BKP dan JKP di Dalam Negeri PPN adalah pajak yang hanya dikenakan atas konsumsi BKP dan JKP di dalam negeri. Seperti misalnya atas kegiatan transaksi impor barang yang dilakukan oleh PKP. Selain itu, PPN juga akan diterapkan pada pemanfaatan BKP dan JKP yang tidak berwujud diluar daerah kepabeanan yang dimanfaatkan di dalam negeri. • Bersifat Multi Stage Levy PPN juga akan dikenakan atau dipungut pada setiap tahap jalur produksi dan distribusi. Yakni mulai dari pabrik, pedagang besar, grosir, hingga pada pedagang kecil atau pengecer. PPN tidak akan menimbulkan efek pemungutan pajak ganda karena mekanisme pajaknya menganut pengkreditan pajak keluaran dan pajak masukan. • Indirect Subtraction Method Mekanisme dalam perhitungan PPN menggunakan metode pengurangan secara tidak langsung. Yang mana artinya wajib pajak sebagai PKP dapat mengkreditkan pajak masukan
  11. 11. 8 atas BKP dan JKP yang berbeda. Konsultan pajak Serpong adalah alternatif dalam mengurus pajak dengan tepat dan lebih efektif. d. Subyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Subyek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha Kena Pajak dapat digolongkan atas dua, yaitu subyek pajak yang otomatis dan yang memilih menjadi subyek pajak. 1. Subjek pajak otomatis Yaitu pengusaha yang menurut undang-undang dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (taxtable firm), yang meliputi: a. Pengusaha yang melakukan : 1. Penyerahan barang kena pajak(BKP) di dalam daerah pabean. 2. Penyerahan jasa kena pajak (JKP) di dalam daerah pabean. 3. Ekspor barang kena pajak. b. Orang pribadi atau dan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud diluar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. c. Penyalur utama dan atau agen utama dari pabrikan dan atau importir. d. Pemegang hak paten dan merek dagang. e. Pemborong /kontraktor /subkontraktor bangunan dan aktiva tetap tak bergerak lainnya. f. Pengusaha yang mempunyaii hubungan istimewa. 2. Pengusaha yang dapat memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP- Pengusaha yang memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak) yang meliputi: a. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. b. Eksportir. c. Pedagang yang menjual Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak.  Pengecualian Subyek Pajak Yang tidak termasuk subyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN): 1. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kecil. Batasan pengusaha kecil yang dibebaskan dari kewajiban PKP: A. BKP yang peredaran bruto Rp. 360 juta setahun. B. JKP yang peredaran bruto Rp. 180 juta setahun. 2. Pengusaha-pengusaha yang bergerak di bidang pertanian, peternakan, perikanan. kehutanan, perkebunan dan hasil agraria lainnya yang belum diolah, karena barang-barang tersebut pada dasarnya bukan Barang Kena Pajak. 3. Pengusaha dibidang jasa-jasa yang dikecualikan dari Jasa Kena Pajak. e. Obyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  12. 12. 9 Pajak Pertambahan Nilai dikenakan terhadap adanya peristiwa atau kegiatan yang dilakukan oleh subyek pajak. Menurut Pasal 4 UU Nomor 18 Tahun 2000 yang menjadi obyek Pajak Pertambahan Nilai adalah: Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.  Pengecualian Obyek Pajak Jenis barang dan jasa yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) meliputi: 1. Barang yang dikenakan PPN Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut: a. Barang hasil pertambangan dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi: minyak mentah (crude oil), gas bumi, pasir dan kerikil, bijih besi, bijih timah dan bijih emas. b. Barang-barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak, barang-barang kebutuhan pokok tersebut meliputi: beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium. c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya. Pengenaan pajak terhadap barang tersebut ditujukan untuk menghindari pajak berganda, karena sudah merupakan obyek pengenaan Pajak Daerah, misalnya Pajak Pembangunan I. d. Uang, emas batangan dan surat-surat berharga. e. Barang hasil peternakan, perburuan/penangkapan atau penangkaran yang diambil langsung dari sumbernya seperti sapi potong dan unggas. f. Barang hasil penangkapan atau budidaya perikanan yang diambil langsung dari sumbernya seperti ikan tuna, teripang, udang. 2. Jasa yang tidak dikenakan PPN Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai didasarkan atas kelompok- kelompok jasa sebagai berikut: a. Jasa di bidang pelayanan dan perawatan kesehatan medis b. Jasa di bidang pelayanan sosial c. Jasa di bidang pengiriman surat kepada perangko d. Jasa di bidang perbankan, asuransi dan sewa guna usaha dengan hak opsi e. Jasa di bidang keagamaan, seperti pemberian khotbah dan dakwah f. Jasa di bidang pendidikan dll 3. Barang yang dikecualikan dari pemungutan bea masuk menurut peraturan pabean antara lain: a. Barang-barang bawaan penumpang bukan barang dagangan yang tidak melebihi ketentuan menurut peraturan kepabeanan.
  13. 13. 10 b. Barang yang dikecualikan menurut ketentuan-ketentuan dalam perjanjian hukum internasional c. Sampel barang dagangan atau barang untuk iklan atau pameran dan pertunjukkan dan yang sejenis yang diimpor dari luar negeri, dengan ketentuan bahwa barang tersebut diekspor kembali. 2.3 Pajak Bumi Dan Bangunan a. Pengertian Pajak Bumi Dan Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan sebuah biaya yang harus disetorkan atas keberadaan tanah dan bangunan yang memberikan keuntungan dan kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang ataupun badan. Karena Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bersifat kebendaan, maka besaran tarifnya ditentukan dari keadaan objek bumi atau bangunan yang ada. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.Termasuk dalam pengertian bangunan adalah: 1. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan. 2. Jalan tol. 3. Kolam renang. 4. Pagar mewah. 5. Tempat olahraga. 6. Galangan kapal, dermaga. 7. Taman mewah. 8. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak. 9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat. b. Dasar Hukum Dan Asas Pajak Bumi Dan Bangunan Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1994. Asas Pajak Bumi dan Bangunan: 1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan. 2. Adanya kepastian hukum. 3. Mudah dimengerti dan adil. 4. Menghindari pajak berganda. c. Objek Pajak Bumi Dan Bangunan 1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan 2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan
  14. 14. 11 penghitungan pajak yang terutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Letak b. Peruntukan. c. Pemanfaatan. d. Kondisi lingkungan dan lain-lain. Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Bahan yang digunakan. b. Rekayasa. c. Letak. d. Kondisi lingkungan dan lain-lain. 3. Pengecualian Objek Pajak Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang: a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain: 1) Di bidang ibadah, contoh: masjid, gereja, vihara. 2) Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit. 3) Di bidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren. 4) Di bidang sosial, contoh: panti asuhan. 5) Di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi. b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu. c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. 4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 5. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). d. Subyek Pajak Bumi Dan Bangunan 1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak. 2 Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. 1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak.
  15. 15. 12 3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui Wajib Pajaknya, Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. I sebagai Wajib Pajak. Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan subjek Wajib Pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas Wajib Pajaknya. Untuk lebih jelas diberikan contoh berikut ini: a. Subjek Pajak X memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik Y bukan karena sesuatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian, maka X yang memanfaatkan/menggunakan bumi dan/atau bangunan ditetapkan sebagai Wajib Pajak. b. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak. c. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek pajak. sedangkan untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai Wajib Pajak. Penunjukan sebagai Wajib Pajak oleh Dirjen Pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak. 4 Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no. 3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak terhadap objek pajak dimaksud. 5. Bila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam no. 4 disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak sebagaimana dalam no. 3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. 6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya. 7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dalam no. 4 Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui. Apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari Wajib Pajak, maka ketetapan sebagai Wajib Pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai Wajib Pajak. 2.4 Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan a. Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
  16. 16. 13 Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya. b. Dasar Hukum BPHTB Dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah : • Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.Undang-undang ini menggantikan Ordonasi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. • Peraturan Pemerintah No.111 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena waris dan hibah • Peraturan Pemerintah No.112 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan • Peraturan Pemerintah No.113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB. Dengan diterapkannya Undang-undang ini maka :  Dapat mengkonpensasikan penurunan penerimaandaerah karna diberlakukannya Undang-undang mengenai pajak dan retribusi daerah karena 99% penerimaan BPHTB dikembalikan kepada daerah.  Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan  Menciptakan sistem perpajakan yang sederhana tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamana keuangan Negara. c. Objek pajak BPHTB Sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi: • Pemindahan Hak karena : a. Jual Beli b. Tukar Menukar c. Hibah d. Hibah Wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu,yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia e. Waris f. Pemasukan dalam Perseroan atau Badan Hukum lainnya yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut g. Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama h. Penunjukan pembeli dalam Lelang yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat i. Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang j. Pelaksanaan putusan Hakim yang mempunyai kekuatan Hukum Tetap yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut
  17. 17. 14 k. Penggabungan Usaha yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung l. Peleburan Usaha yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut m. Pemekaran Usaha yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama n. Hadiah yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah • Pemberian Hak Baru karena : a. Kelanjutan Pelepasan Hak yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak b. Diluar Pelepasan Hak yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku . Hak atas tanah yang menjadi objek BPHTB adalah : • hak milik,yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah • hak guna usaha (HGU),yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku • hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang- undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. • hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. • hak milik atas satuan rumah susun,yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. • hak pengelolaan,yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan
  18. 18. 15 bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.  Pengecualian Objek Pajak BPHTB Berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (1) terdapat beberapa objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB yaitu : 1. Objek yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasar azas perlakuan timbal balik 2. Objek yang diperoleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum 3. Objek yang diperoleh Badan/Perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha/kegiatan lain diluar fungsi dan tugasnya 4. Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena konversi hak atau karena perbuatan Hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama 5. Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena wakaf 6. Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena kepentingan ibadah. d. Subjek Pajak BPHTB Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut perundangundangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak. 2.5 Pajak Bea Materai a. Pengertian Pajak Bea Materai Bea Meterai adalah pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditanda tangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau dokumen tersebut selesai dibuat atau diserahkan kepada pihak lain bila dokumen tersebut hanya dibuat oleh satu pihak. b. Dasar Hukum Pajak Bea Materai Dasar hukum pengenaan Bea Meterai adalah Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 atau disebut juga Undang Undang Bea Meterai. Lalu diperbarui lagi dengan tampilan baru yaitu Undang Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Serta ada juga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 4/PMK.03/2021 tentang pembayaran Bea Meterai, ciri umum dan ciri khusus Meterai Tempel,Meterai Dalam Bentuk Lain, Dan Penentuan Keabsahan Meterai, serta Pemeteraian Kemudian. c. Objek Pajak Bea Meterai 1. Bea Meterai dikenakan atas : a. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata;
  19. 19. 16 b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. 2. Dokumen yang bersifat perdata, meliputi : a. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan atau surat lainnya yang sejenis beserta rangkapnya; b. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya; c. Akta pejabat pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya; d. Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun; e. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apapun; f. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang; g. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nominal lebih dari Rp 5.000.000 (Lima Juta Rupiah) yang : a. Menyebutkan penerimaan uang; atau b. Berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; h. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.  Bukan Objek Bea Meterai 1. Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang : a. Surat penyimpanan barang; b. Konosemen; c. Surat angkutan penumpang dan barang; d. Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang; e. Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; f. Surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan e ; 2. Segala bentu ijazah yang termasuk Surat Tanda Tamat Belajar, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatuu pendidikan, latihan, kursus, dan penataran; 3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensuin, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk untuk mendapatkan pembayaran itu; 4. Tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, kas pemerintah daerah dan bank; 5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas Negara, kas pemerintah daerah dan bank; 6. Tanda terima uang yang dibuat intuk keperluan intern organisasi; 7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut; 8. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian;
  20. 20. 17 9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun; 10. Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter. d. Subyek Pajak Bea Materai Pihak yang menerima atau mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misal kwitansi, bea meterai terutang oleh penerima kwitansi.
  21. 21. 18 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Pajak merupakan salah satu bentuk pendapatan negara yang menyumbang persentase terbesar dibandingkan dengan sektor-sektor pendapatan lain seperti minyak dan gas (migas) serta non-migas. Keberhasilan suatu negara dalam mengumpulkan pajak dari warga negaranya dipastikan akan bermanfaat bagi stabilitas ekonomi negara yang bersangkutan. Bank Dunia menilai Indonesia merupakan negara dengan penerimaan negara yang paling rendah dibandingkan de ngan negara-negara tetangga di Asia dan G20. Sampai saat ini, Indonesia baru mampu mengumpulkan <50% potensi penerimaan negara. Hal itu tecermin dari rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) yang baru sekitar 15%. Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak. Peraturan perundangan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia adalah UU nomor 7 Tahun 1983 yang telah disempurnakan dengan UU nomor 7 Tahun 1991, UU nomor 10 Tahun 1994, UU nomor 17 Tahun 2000, UU nomor 36 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak maupun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak. Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pemungutan pajak terhadap tiap transaksi/perdagangan jual beli produk/jasa dalam negeri kepada wajib pajak orang pribadi, badan usaha maupun pemerintah. Istilah PPN dalam Bahasa Inggris dikenal dengan Goods and Services Tax (GST) atau Value Added Tax (VAT). Pajak ini bersifat tidak langsung, objektif dan non kumulatif. Maksudnya, pajak tersebut dibayarkan secara langsung oleh pedagang, melainkan dibayarkan oleh konsumen. Sehingga, dikatakan tidak langsung karena konsumen tidak membayar secara langsung ke pemerintah. Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tertuang dalam UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Kemudian, dasar hukum terbaru PPN tertuang didalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yakni dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan sebuah biaya yang harus disetorkan atas keberadaan tanah dan bangunan yang memberikan keuntungan dan kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang ataupun badan. Karena Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bersifat kebendaan, maka besaran tarifnya ditentukan dari keadaan objek bumi atau bangunan yang ada. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.Termasuk dalam pengertian bangunan adalah Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan, Jalan tol, Kolam renang, Pagar mewah, Tempat olahraga, Galangan kapal, dermaga, Taman mewah,Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak. Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1994.
  22. 22. 19 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang- undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Bea Meterai adalah pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditanda tangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau dokumen tersebut selesai dibuat atau diserahkan kepada pihak lain bila dokumen tersebut hanya dibuat oleh satu pihak. Dasar hukum pengenaan Bea Meterai adalah Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 atau disebut juga Undang Undang Bea Meterai. Lalu diperbarui lagi dengan tampilan baru yaitu Undang Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Serta ada juga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 4/PMK.03/2021 tentang pembayaran Bea Meterai, ciri umum dan ciri khusus Meterai Tempel,Meterai Dalam Bentuk Lain, Dan Penentuan Keabsahan Meterai, serta Pemeteraian Kemudian. 3.2 Saran Untuk selanjutnya, kami sarankan agar pembaca dapat mencari sumber-sumber bacaan lain untuk mencari kata-kata yang masih asing atau sulit dipahami dimana belum dijelaskan secara detail dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan memberikan penjelasan mengenai tentang Pajak Dalam Bisnis.
  23. 23. 20 DAFTAR PUSTAKA Resmi Siti. 2014. Perpajakan Teori dan Kasus.Edisi 8.Jakarta: Salemba empat. Abut, Hilarius. 2005. “PERPAJAKAN 2005-2006. Jakarta: DIADIT MEDIA. Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Akt., QIA., CFrA., CA. (2019), Perpajakan Edisi 2019 Kementrian Keuangan Republik Indonesia KPPN Kotabumi (2022), Publikasi Kemenkeu Bea Meterai, Jakarta Pusat. Drs. Nurdin Hidayat,MM., M.Si. & Drs. Dedi Purnawa ES, M.Bus.(2015) Perpajakan Teori & Publik http://https://www.academia.edu/9876912/pembahasan_bea_perolehan_hak_atas_tanah_dan_ bangunan http://https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bea_Perolehan_Hak_atas_Tanah_dan_Bangunan

×