Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlakuan matriconditioning plus bakterisida sintetis atau nabati yang efektif mengendalikan hawar daun bakteri pada benih padi dan meningkatkan mutu benih. Bakterisida sintetis Agrept dan bakterisida nabati minyak serai wangi efektif menghambat pertumbuhan bakteri penyebab hawar daun. Perlakuan matriconditioning plus Agrept atau minyak serai wangi menurunk
Sni 6989.59 2008 metoda pengambilan contoh air limbah
MENGENDALIKAN HAWAR DAUN BAKTERI PADA BENIH PADI
1. PENGARUH PERLAKUAN MATRICONDITIONING PLUS
BAKTERISIDA SINTETIS ATAU NABATI UNTUK
MENGENDALIKAN HAWAR DAUN BAKTERI (Xanthomonas
oryzae pv. oryzae) TERBAWA BENIH SERTA MENINGKATKAN
VIABILITAS DAN VIGOR BENIH PADI (Oryza sativa L.)
oleh
Ariska Yulinda Rachmawati
A34404045
PROGRAM STUDI
PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
2. PENGARUH PERLAKUAN MATRICONDITIONING PLUS
BAKTERISIDA SINTETIS ATAU NABATI UNTUK
MENGENDALIKAN HAWAR DAUN BAKTERI (Xanthomonas
oryzae pv. oryzae) TERBAWA BENIH SERTA MENINGKATKAN
VIABILITAS DAN VIGOR BENIH PADI (Oryza sativa L.)
Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
oleh
Ariska Yulinda Rachmawati
A34404045
PROGRAM STUDI
PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
3. RINGKASAN
ARISKA YULINDA R. Pengaruh Perlakuan Matriconditioning plus
Bakterisida Sintetis atau Nabati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri
(Xanthomonas oryzae pv. oryzae) Terbawa Benih serta Meningkatkan
Viabilitas dan Vigor Benih Padi (Oryza sativa L.). Dibimbing oleh
SATRIYAS ILYAS dan TRINY S. KADIR.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis dan konsentrasi
bakterisida sintetis atau nabati yang efektif serta non toksik untuk mengendalikan
bakteri Xanthomons oryzae pv. oryzae penyebab hawar daun bakteri (HDB). Jenis
dan konsentrasi yang didapat kemudian diintegrasikan dengan perlakuan
matriconditioning.
Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan, percobaan I dilakukan untuk
mengidentifikasi bakteri X. oryzae pv. oryzae dalam sampel benih yang diambil
dari pertanaman padi di BB Padi Sukamandi. Pengambilan sampel diikuti dengan
pengamatan tingkat serangan penyakit HDB di lapang. Benih kemudian diisolasi
untuk mendapatkan isolat X. oryzae pv. oryzae. Isolat murni bakteri diidentifikasi
berdasarkan sifat Gram bakterinya dengan uji pewarnaan Gram dan identifikasi
berdasarkan gejala serangan pada tanaman sehat dengan uji Postulat Koch.
Percobaan II terdiri atas dua percobaan, uji efektivitas dan uji fitotoksisitas
bakterisida sintetis dan nabati. Uji efektivitas dilakukan secara in-vitro.
Bakterisida sintetis yang digunakan adalah Agrept 20 WP, Nordox 56 WP, dan
Plantomycin 7 SP dengan konsentrasi 0%, 0.1%, 0.2%, 0.3%, dan 0.4%.
Bakterisida nabati yang digunakan adalah minyak cengkeh dan minyak serai
wangi dengan konsentrai 0%, 0.5%, 1%, 1.5%, dan 2%. Hasil uji efektivitas dan
fitotoksisitas akan digunakan dalam percobaan III.
Pada percobaan III terdapat enam taraf perlakuan yaitu P0 (kontrol), P1
(matriconditioning), P2 (Agrept 0.2%), P3 (minyak serai wangi 1%), P4
(matriconditioning plus Agrept 0.2%), dan P5 (matriconditioning plus minyak
serai wangi 1%). Perlakuan matriconditioning dan matriconditioning plus
bakterisida sintetis atau nabati dilakukan dengan nisbah antara benih, arang sekam
dan air 1 : 0.8 : 1.2 selama 30 jam pada suhu 26 - 29oC. Percobaan II dan III
menggunakan varietas IR-64 dan Ciherang sebagai percobaan terpisah.
4. Hasil pengamatan serangan di lapang menunjukkan tingkat keparahan
66% - 91% dan keberadaan 62% - 94%. Berdasarkan Standard Evaluation System
for Rice yang dikeluarkan IRRI, varietas IR-64, Ciherang, Mekongga, dan Cibogo
sangat rentan dengan skor 9. Hasil isolasi bakteri menunjukkan bakteri terbawa
benih pada IR-64 90% dan pada Ciherang 60%. Identifikasi dengan uji Postulat
Koch menunjukkan gejala serangan yang timbul pada tanaman sehat yang
diinokulasi isolat adalah gejala penyakit HDB, dengan ciri ujung daun layu dan
mengering. Identifikasi dengan pewarnaan Gram mengindikasikan isolat yang
diuji merupakan X. oryzae pv. oryzae (berwarna merah dan bentuk cocoid atau
bacillus).
Uji efektivitas bakterisida sintetis secara in-vitro pada isolat X. oryzae pv.
oryzae menunjukkan Agrept 20 WP konsentrasi 0.1% - 0.4% memiliki persentase
daya hambat yang tertinggi dibandingkan Nordox 56 WP dan Plantomycin 7 SP.
Pada uji efektivitas bakterisida nabati, minyak serai wangi konsentrasi 1 - 2%
menunjukkan daya hambat yang lebih tinggi dibanding minyak cengkeh dengan
konsentrasi yang sama. Pada uji fitotoksisitas perlakuan Agrept 0.2%
meningkatankan daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh
dibanding Agrept 0%, 0.1%, 0.3%, dan 0.4%, pada IR-64 maupun Ciherang. Pada
uji fitotoksitas baktersida nabati, perlakuan minyak serai wangi 1% menunjukkan
persentase daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh yang lebih
tinggi dari perlakuan minyak serai wangi 0.5%, 1.5%, dan 2%. Gejala toksisitas
ditemukan pada perlakuan minyak serai wangi 1.5% dan 2% dengan ciri akar
primer tumbuh tanpa diikuti pertumbuhan akan seminal sekunder.
Pada percobaan III perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus
Agrept 0.2%, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% menunjukkan
peningkatan daya berkecambah, indeks vigor, kecepatan tumbuh, bobot kering
kecambah normal, serta penurunan T50 dibanding kontrol. Uji patologis dengan
metode grinding menunjukkan perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2%
atau plus minyak serai wangi 1% mampu menurunkan jumlah X. oryzae pv.
oryzae terbawa benih dibanding kontrol dan perlakuan matriconditioning.
Perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2% atau plus minyak serai wangi 1%
mampu meningkatkan mutu fisiologis dan patologis benih.
5. Judul Penelitian : PENGARUH PERLAKUAN MATRICONDITIONING
PLUS BAKTERISIDA SINTETIS ATAU NABATI
UNTUK MENGENDALIKAN HAWAR DAUN
BAKTERI (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) TERBAWA
BENIH SERTA MENINGKATKAN VIABILITAS DAN
VIGOR BENIH PADI (Oryza sativa L.)
Mahasiswa : Ariska Yulinda Rachmawati
NRP : A34404045
Menyetujui :
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS. Dra. Triny Surjani Kadir
NIP. 131 124 822 NIP.080 057 177
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.
NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
6. RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lamongan, Propinsi Jawa Timur, pada tanggal 9 Juli
1986. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersudara dari pasangan Bapak
Muhammad Nuh dan Ibu Lil Istianah.
Tahun 1998 penulis menyelesikan pendidikan dasar di SDN Jetis VI
Lamongan, kemudian tahun 2001 penulis menyelesaikan studi di SLTPN I
Lamongan. Penulis lulus dari SMUN I Lamongan pada tahun 2004.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI tahun 2004.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Pemuliaan Tanaman dan
Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.
Penulis aktif dalam kegiatan mahasiswa komunitas seni “Ladang Seni
Fakultas Pertanian, IPB” tahun 2004-2007. Tahun 2005 penulis bergabung dengan
komunitas seni IPB sebagai ketua Divisi Pementasan. Penulis juga aktif dalam
kegiatan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor sebagai anggota Divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) periode
kepengurusan 2005-2006. Tahun 2006 penulis menjadi staf magang pada
Laboratorium Kultur Jaringan di Balai Besar Bioteknologi dan Genetika Cimanggu-
Bogor.
7. KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
menciptakan bumi dan segala isinya. Hanya dengan berkat dan rahmat-Nyalah
penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Perlakuan
Matriconditioning plus Bakterisida Sintetis atau Nabati untuk Mengendalikan
Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) Terbawa Benih serta
Meningkatkan Viabilitas dan Vigor Benih Padi (Oryza sativa L.). Skripsi ini
dibuat sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Tak lupa kiranya penulis sampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Satriyas
Ilyas, MS dan Dra. Triny S. Kadir selaku pembimbing skripsi, serta Dr. Ir. Endang
Murniati, MS selaku penguji, yang telah banyak memberikan arahan dan koreksi
dalam penyusunan skripsi ini. Penelitian ini dibiayai oleh proyek Kerjasama
Kemitraaan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) dengan judul
“Teknik Peningkatan Kesehatan dan Mutu Benih Padi” yang diketuai oleh Prof. Dr.
Ir. Satriyas Ilyas, MS. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih.
Kepada mama, ayah, suamiku, keluarga besar serta orang-orang yang telah
begitu berjasa dalam hidup penulis sehingga penulis bisa bertahan hingga sekarang,
terima kasih akan segala dukungannya. Kepada staff Laboratorium Entomologi dan
Fitopatologi serta staff Laboratorium Uji Mutu Benih BB Padi Sukamandi, terima
kasih atas bantuan dan dukungannya. Tak lupa juga terima kasih kepada teman-
temanku Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih Angkatan 41 yang telah
memberikan empat tahun yang sangat berarti dalam hidup penulis.
Semoga skripsi ini dapat berguna baik bagi penulis pada khususnya dan bagi
masyarakat Pemulianan Tanaman dan Teknologi Benih pada umumnya.
Bogor, 29 Desember 2008
Penulis
8. DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN .................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................ 1
Tujuan ......................................................................................... 3
Hipotesis...................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
Padi Varietas IR-64 dan Ciherang............................................... 4
Xanthomonas oryzae pv. oryzae ................................................. 5
Bakterisida .................................................................................. 6
Pengaruh Matriconditioning dan Matriconditioning plus
Pestisida dalam Meningkatkan Viabilitas dan Vigor Benih ....... 7
BAHAN DAN METODE ....................................................................... 10
Tempat dan Waktu ...................................................................... 10
Bahan dan Alat............................................................................ 10
Metode Penelitian ....................................................................... 10
Pelaksanaan Percobaan ............................................................... 12
Pengamatan ................................................................................. 18
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 20
Identifikasi Bakteri Terbawa Benih ............................................ 20
Uji Efektivitas dan Fitotoksisitas Bakterisida Sintetis dan
Nabati .......................................................................................... 23
Matriconditioning plus Bakterisida Terpilih............................... 29
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 35
Kesimpulan ................................................................................. 35
Saran............................................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 36
LAMPIRAN............................................................................................ 40
Pembuatan Media Wakimoto...................................................... 41
Standard Evaluation System for Rice.......................................... 42
9. DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1. Pengamatan tingkat serangan hawar daun bakteri di lapang pada
beberapa varietas padi....................................................................... 20
2. Pengaruh konsentrasi Agrept 20 WP terhadap daya berkecambah
(DB), indeks vigor (IV), dan kecepatan tumbuh (KCT) pada varietas
IR-64 ................................................................................................. 26
3. Pengaruh konsentrasi Agrept 20 WP terhadap daya berkecambah
(DB), indeks vigor (IV), dan kecepatan tumbuh (KCT) pada varietas
Ciherang............................................................................................ 27
4. Pengaruh konsentrasi minyak serai wangi terhadap daya
berkecambah (DB), indeks vigor (IV), dan kecepatan tumbuh
(KCT) pada varietas IR-64 ................................................................. 28
5. Pengaruh konsentrasi minyak serai wangi terhadap daya
berkecambah (DB), indeks vigor (IV), dan kecepatan tumbuh (KCT)
pada varietas Ciherang ............................................................................. 29
6. Pengaruh perlakuan benih terhadap daya berkecambah (DB),
indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), bobot kering
kecambah normal (BKKN), T50, dan tingkat infeksi (TI) patogen
pada varietas IR-64 ........................................................................... 31
7. Pengaruh perlakuan benih terhadap daya berkecambah (DB),
indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), bobot kering
kecambah normal (BKKN), T50, dan tingkat infeksi (TI) patogen
pada varietas Ciherang ..................................................................... 32
Lampiran
1. Pengaruh jenis dan konsentrasi bakterisida sintetis terhadap daya
hambat pertumbuhan X. oryzae pv. oryzae pada varietas IR-64....... 42
2. Pengaruh jenis dan konsentrasi bakterisida sintetis terhadap daya
hambat pertumbuhan X. oryzae pv. oryzae pada varietas Ciherang . 42
3. Pengaruh jenis dan konsentrasi bakterisida nabati terhadap daya
hambat pertumbuhan X. oryzae pv. oryzae pada varietas IR-64....... 43
4. Pengaruh jenis dan konsentrasi bakterisida nabati terhadap daya
hambat pertumbuhan X. oryzae pv. oryzae pada varietas Ciherang . 43
10. 5. Analisis ragam pengaruh jenis dan konsentrasi bakterisida sintetis
terhadap daya hambat pada uji efektivitas varietas IR-64 ................ 43
6. Analisis ragam pengaruh jenis dan konsentrasi bakterisida sintetis
terhadap daya hambat pada uji efektivitas varietas Ciherang ........... 43
7. Analisis ragam pengaruh jenis dan konsentrasi bakterisida nabati
terhadap daya hambat pada uji efektivitas varietas IR-64 ................ 44
8. Analisis ragam pengaruh jenis dan konsentrasi bakterisida nabati
terhadap daya hambat pada uji efektivitas varietas Ciherang ........... 44
9. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Agrept terhadap daya
berkecambah varietas IR-64 pada uji fitotoksisitas .......................... 44
10. Analisis pengaruh konsentrasi Agrept terhadap indeks vigor
varietas IR-64 pada uji fitotoksisitas................................................. 44
11. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Agrept terhadap kecepatan
tumbuh varietas IR-64 pada uji fitotoksisitas ................................... 45
12. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Agrept terhadap daya
berkecambah varietas Ciherang pada uji fitotoksisitas ..................... 45
13. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Agrept terhadap indeks vigor
varietas Ciherang pada uji fitotoksisitas ........................................... 45
14. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Agrept terhadap kecepatan
tumbuh varietas Ciherang pada uji fitotoksisitas .............................. 45
15. Analisis ragam pengaruh konsentrasi minyak serai wangi terhadap
daya berkecambah varietas IR-64 pada uji fitotoksisitas.................. 45
16. Analisis ragam pengaruh konsentrasi minyak serai wangi terhadap
indeks vigor varietas IR-64 pada uji fitotoksisitas............................ 46
17. Analisis ragam pengaruh konsentrasi minyak serai wangi terhadap
kecepatan tumbuh varietas IR-64 pada uji fitotoksisitas .................. 46
18. Analisis ragam pengaruh konsentrasi minyak serai wangi terhadap
daya berkecambah varietas Ciherang pada uji fitotoksisitas ............ 46
19. Analisis ragam pengaruh konsentrasi minyak serai wangi terhadap
indeks vigor varietas Ciherang pada uji fitotoksisitas ...................... 46
20. Analisis ragam pengaruh konsentrasi minyak serai wangi terhadap
kecepatan tumbuh varietas Ciherang pada uji fitotoksisitas ............. 46
21. Analisis ragam pengaruh perlakuan benih terhadap daya
berkecambah pada varietas IR-64 ..................................................... 47
11. 22. Analisis ragam pengaruh perlakuan benih terhadap indeks vigor
pada varietas IR-64 ........................................................................... 47
23. Analisis ragam pengaruh perlakuan benih terhadap kecepatan
tumbuh pada varietas IR-64 .............................................................. 47
24. Analisis ragam pengaruh perlakuan benih terhadap bobot kering
kecambah normal pada varietas IR-64.............................................. 47
25. Analisis ragam pengaruh perlakuan benih terhadap T50 pada
varietas IR-64.................................................................................... 47
26. Analisis ragam pengaruh perlakuan benih terhadap tingkat infeksi
pada varietas IR-64 ........................................................................... 48
27. Analisis ragam pengaruh perlakuan benih terhadap daya
berkecambah pada varietas Ciherang................................................ 48
28. Analisis ragam pengaruh perlakuan benih terhadap indeks vigor
pada varietas Ciherang ...................................................................... 48
29. Analisis ragam pengaruh perlakuan benih terhadap kecepatan
tumbuh pada varietas Ciherang......................................................... 48
30. Analisis ragam pengaruh perlakuan benih terhadap bobot kering
kecambah normal pada varietas Ciherang ........................................ 48
31. Analisis ragam pengaruh perlakuan benih terhadap T50 pada
varietas Ciherang .............................................................................. 49
32. Analisis ragam pengaruh perlakuan benih terhadap tingkat infeksi
pada varietas Ciherang ...................................................................... 49
12. DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
1. Bagan alur penelitian ........................................................................ 12
2. Pertanaman padi yang terserang hawar daun bakteri........................ 13
3. Peningkatan nilai disease leaf area pada uji Postulat Koch varietas
IR-64 dan Ciherang 22
4. Koloni bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae dengan perbesaran
40x pada benih padi varietas Ciherang (kiri) dan IR-64 (kanan)...... 22
5. Perbandingan daya hambat bakterisida sintetis: Ag (Agrept), Nx
(Nordox), Pl (Plantomycin). P1 (0.1%), P2 (0.2%), P3 (0.3%), P4
(0.4%)................................................................................................ 24
6. Perbandingan daya hambat bakterisida nabati: Mc (minyak
cengkeh), Ms (minyak serai wangi). P1 (0.5%), P2 (1%), P3
(1.5%), P4 (2%) ................................................................................ 25
Lampiran
1. Perbandingan kecambah toksik (kiri) dan kecambah non toksik
(kanan) pada uji fitotoksisitas. .......................................................... 50
2. Pengaruh jenis dan konsentrasi bakterisida sintetis terhadap
pertumbuhan X. oryzae pv. oryzae.................................................... 50
3. Pengaruh jenis dan konsentrasi bakterisida nabati terhadap
pertumbuhan X. oryzae pv. oryzae: minyak cengkeh 1% (kanan)
dan minyak serai wangi 1% (kiri). .................................................... 50
13. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha yang ditempuh pemerintah dalam peningkatan produksi beras adalah
dengan perbaikan mutu benih padi. Benih merupakan salah satu unsur paling esensial
yang menentukan keberhasilan suatu pertanaman. Tanpa adanya benih padi bermutu,
usaha peningkatan produksi beras tidak akan ada hasilnya. Mutu benih mencakup
mutu genetis, fisik, fisiologis, dan patologis. Mutu genetis berkaitan dengan aspek
keturunan dan varietas. Mutu fisik berkaitan dengan performasi atau keragaan fisik
benih. Mutu fisiologis berhubungan dengan aspek metabolisme dalam benih. Mutu
patologis berhubungan dengan infeksi penyakit terbawa benih (seedborne).
Keberadaan patogen pada benih akan memberikan dampak yang meluas terhadap
pertanaman di lapang bahkan mengakibatkan epidemi penyakit karena benih
merupakan sumber penyebaran patogen (Ilyas, 2001). Pertanian di Indonesia yang
merupakan daerah tropis dengan kondisi panas dan lembab, merupakan habitat yang
optimum bagi beberapa jenis penyakit, utamanya penyakit yang mungkin tidak
begitu berbahaya serangannya di negara sub-tropis. Sistem pertanian di Indonesia
sangat dipengaruhi oleh penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Semangun, 1991).
Penyakit hawar daun bakteri (HDB) merupakan kendala utama pada seluruh
sentra pertanian padi dunia seperti India, Thailand, Filipina, Jepang, Cina, dan
Indonesia (Agarwal dan Sinclair, 1987). Penyakit ini lebih dikenal dengan sebutan
penyakit kresek yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae. HDB
dilaporkan dapat menyebabkan kehilangan hasil panen hingga 60% jika serangan
yang terjadi sangat parah, khususnya pada kondisi yang lembab dan berangin
kencang (Khaeruni, 2000).
Di Indonesia, HDB pertama kali dilaporkan oleh Reitsman dan Schure pada
tahun 1950. Selama kurun waktu 1997 hingga 2000 penyakit HDB paling banyak
menimbulkan kerusakan terutama di sentra pertanaman padi di daerah Jawa Timur,
Jawa Barat, dan Jawa Tengah (Khaeruni, 2000). Tahun 2006 luas serangan penyakit
HDB mencapai 74. 243 ha, 61 ha diantaranya puso (Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan, 2007). Serangan penyakit HDB dapat terjadi pada fase benih,
bibit, tanaman muda, dan tanaman dewasa. Kerusakan akibat HDB meningkat
14. 2
seiring meluasnya pertanaman IR-64 yang tahan terhadap wereng batang coklat
tetapi sangat rentan terhadap HDB.
Pengendalian HDB di Indonesia dewasa ini masih pada pengendalian setelah
terjadi serangan di lapang. Pengendalian di lapang biasanya menggunakan
bakterisida sintetis (pengendalian kimiawi) dalam jumlah yang sangat besar,
sehingga menyebabkan peningkatan biaya produksi yang cukup signifikan (Sigee,
1993). Tindakan preventif yang banyak dilakukan adalah dengan penggunaan
varietas yang tahan (resisten). Tetapi pengendalian dengan menggunakan varietas
yang resisten juga tidak selalu berhasil, mengingat bakteri X. oryzae pv. oryzae
merupakan bakteri dengan adaptifitas yang tinggi. Bakteri ini mampu membentuk
patotipe (strain) yang berbeda, sehingga suatu varietas yang tahan dapat pula
terserang bila kondisi lingkungan memungkinkan. Perbedaan strain ini pula yang
menyebabkan pengendalian HDB sulit dilakukan (Kadir, 2007). Beberapa penelitian
yang mulai berkembang adalah pengendalian dengan agens hayati seperti
menggunakan bakteri dari golongan Pseudomonas flourescence dan Bacillus sp.
(Rahmilia, 2003). Pengendalian HDB yang merujuk kepada perlakuan benih, seperti
pengendalian pada beberapa penyakit tanaman hortikultura, belum banyak dilakukan.
Perlakuan benih pra tanam atau conditioning adalah sebuah perlakuan benih
yang pada prinsipnya mempersiapkan benih berkecambah tetapi belum
menampakkan struktur perkecambahannya. Conditioning yang efektif dan lebih
mudah dilakukan adalah matriconditioning (Khan, 1990). Ilyas (2006) menyatakan,
perlakuan matriconditioning pada beberapa tanaman hortikultura mampu
meningkatkan daya berkecambah benih hingga 90%. Keserempakan tumbuh dan
indeks vigor benih juga meningkat pada benih yang diberi perlakuan
matriconditioning dibandingkan dengan benih yang tanpa perlakuan (kontrol).
Perlakuan matriconditioning dewasa ini tidak hanya bertujuan untuk
meningkatkan viabilitas dan vigor benih saja, tetapi diintegrasikan dengan
penambahan pestisida untuk mengendalikan penyakit terbawa benih. Benih hasil
perlakuan ini tidak hanya memiliki viabilitas dan vigor yang tinggi tetapi juga bebas
patogen terbawa benih. Perlakuan benih dengan matriconditioning dan penambahan
fungisida terbukti mampu meningkatkan viabilitas dan vigor benih serta menurunkan
tingkat kontaminasi Colletotricum capsici pada benih cabai (Suryani, 2003).
15. 3
Perlakuan ini juga efektif mengendalikan cendawan terbawa benih pada kedelai
(Fadhilah, 2003). Penelitian ini mencoba mengintegrasikan bakterisida dalam
matriconditioning untuk mengendalikan penyakit HDB terbawa benih padi. Benih
merupakan sumber utama penularan dan penyebaran penyakit (Kadir et al., 2008),
sehingga pengendalian di tingkat benih sangat penting untuk mengendalikan kejadian
penyakit di lapang.
Tujuan
1. Mengetahui jenis dan konsentrasi bakterisida sintetis atau bakterisida nabati
yang efektif menghambat pertumbuhan X. oryzae pv. oryzae serta tidak toksik
terhadap benih padi.
2. Melihat pengaruh perlakuan matriconditioning plus bakterisida sintetis atau
nabati terhadap viabilitas dan vigor serta keberadaan X. oryzae pv. oryzae
terbawa benih padi.
Hipotetis
1. Terdapat jenis dan konsentrasi bakterisida sintetis atau nabati yang efektif
mengendalikan bakteri X. oryzae pv. oryzae serta tidak toksik terhadap benih
padi.
2. Perlakuan matricoditioning plus bakterisida sintetis atau nabati dapat
meningkatkan viabilitas dan vigor benih padi serta mengurangi jumlah bakteri
X. oryzae pv. oryzae terbawa benih.
16. TINJAUAN PUSTAKA
Padi Varietas IR-64 dan Ciherang
Padi (Oryza sativa L.) merupakan tumbuhan golongan Poaceae, bersifat
merumpun, memiliki daun berbentuk pita, batangnya bulat berongga, dan beruas-
ruas. Tanaman ini diduga berasal dari daerah pegunungan Himalaya, India. Hal ini
ditunjukkan dengan kesamaan sifat padi yang sekarang dengan sifat-sifat primitif
padi yang terdapat di daerah tersebut (Suryanarayana, 1978).
Varietas IR-64 dilepas tahun 1986 dan merupakan introduksi dari IRRI,
Filipina. IR-64 disukai petani dalam kurun waktu yang cukup lama karena dapat
ditanam pada kondisi sawah irigasi dataran rendah maupun pada kondisi lahan
pasang-surut. Umur tanam varietas IR-64 relatif pendek (115 hari), tinggi tanaman
85 cm, anakan produktif sebanyak 25 batang, serta potensi hasil 5,0 ton/ha. IR-64
memiliki karakteristik bobot 1000 butir + 24 g, bentuk gabah yang panjang ramping,
warna gabah kuning bersih, dan tekstur nasinya yang pulen. Karakteristik khusus
yang dimiliki varietas IR-64 antara lain ketahanan terhadap beberapa hama seperti
wereng coklat biotipe 1 dan 2, wereng hijau, dan penyakit yang disebabkan oleh
virus seperti penyakit kerdil rumput. IR-64 cenderung rentan terhadap penyakit
hawar daun bakteri dengan kehilangan hasil yang tinggi (Departemen Pertanian,
2000).
Ciherang merupakan varietas padi yang dewasa ini pertanamannya meluas
menggantikan IR-64. Varietas ini memiliki karakteristik yang hampir sama dengan
IR-64 dengan keunggulan-keunggulan yang lebih baik. Ciherang mulai dikenal
petani sekitar tahun 2000, merupakan komoditas padi sawah yang cocok ditanam
pada musim hujan dan kemarau. Jumlah anakan produktifnya mencapai 14 - 17
batang, tinggi tanaman 107 - 115 cm, umur tanam 116 -125 hari, dan potensi hasil 5
hingga 8,5 ton/ha. Varietas Ciherang memiliki bobot 1000 butir 28 g, bentuk gabah
yang ramping dan berwarna kuning, serta struktur nasi yang pulen. Karakteristik
khusus yang dimiliki Ciherang tetapi tidak dimiliki IR-64 adalah ketahanannya
terhadap hama wereng coklat biotipe 2 dan 3. Ciherang juga memiliki ketahanan
terhadap hawar daun bakteri, khususnya strain III dan IV. Ciherang cenderung
17. 5
memiliki sifat yang lebih unggul dibanding IR-64 sehingga mudah diadaptasi petani
(Departemen Pertanian, 2000).
Xanthomonas oryzae pv. oryzae
Pertama dikenal dengan nama Xanthomonas campestris, Xanthomonas
oryzae, Xanthomonas kresek, Xanthomonas campestris pv. oryzae hingga akhirnya
diidentifikasi dengan nama Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Bakteri ini merupakan
bakteri golongan bracilicutes yang menyebabkan penyakit hawar daun bakteri
(bacterial leaf blight, kresek disease). X. oryzae pv. oryzae memiliki inang cukup
beragam yang kebanyakan adalah dari golongan Poaceae seperti Oryza sativa,
Leersia spp., Laptochloa spp., Paspalum scrabiculatum, dan Zizania. Penyakit yang
disebabkan bakteri ini menyebar hampir di seluruh wilayah di dunia terutama yang
merupakan daerah sentra pertanaman padi meliputi Asia (Indonesia, Cina, Jepang,
India, Thailand, Filipina), Amerika (USA, Meksiko), Afrika (Madagaskar, Nigeria,
Senegal, Mali) dan Australia (Agarwal dan Sinclair, 1987).
Bakteri X. oryzae pv. oryzae menginfeksi melalui hidatoda maupun stomata
daun. Bakteri akan menyebar sistemik pada seluruh bagian tanaman dengan
penampakan serangan di wilayah daun. Bakteri ini berkembang biak pada sistem
vaskular, bermultiplikasi, kemudian dikeluarkan kembali melalui hidatoda dalam
bentuk ooze bakteri. Penyebaran pada tanaman lain akan sangat cepat melalui
gesekan antar daun, angin, dan air (percikan air hujan, banjir, dan dari saluran
irigasi). Inokulum bakteri dapat hidup pada sisa tanaman seperti jerami, benih padi,
tanaman volunter, dan pada beberapa jenis rumput (Suryanarayana, 1978). Gejala
yang timbul pada tanaman muda disebut gejala kresek, sedangkan pada tanaman
dewasa disebut hawar (IRRI, 2008).
Bakteri X. oryzae pv.oryzae dapat terbawa benih, tetapi tidak dapat tertinggal
di tanah (bukan bakteri tular tanah). Bakteri ini dapat bertahan hidup pada benih
selama 7 hingga 8 bulan, tetapi meskipun terbawa benih, tingkat serangan pada fase
benih dan perkecambahan akan sangat sulit terdeteksi. Ini dikarenakan bakteri berada
pada fase dorman ketika masih berada pada benih. Gejala serangan bakteri ini
biasanya terlihat ketika fase awal pembibitan, fase pemindahan bibit ke lapang dan
pada fase pertumbuhan tanaman di lapang (tanaman dewasa) (Khaeruni, 2000). Pada
benih, besar kemungkinan bakteri dapat terbawa benih ketika daun bendera sudah
18. 6
terserang (menunjukkan gejala HDB) di pertanaman. Benih yang terserang akan
menunjukkan pemudaran warna dan gejala bercak seperti terendam air. Bercak lebih
terlihat pada benih muda yang masih berwarna hijau di pohon (Cottyn et al., 1994).
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa X. oryzae pv. oryzae mampu
membentuk strain yang berbeda-beda di tiap daerah yang menjadi lokasi
serangannya. Di Indonesia sendiri dikenal beberapa strain yang sering menyerang
antara lain strain III, IV, V, VI, VII, dan VIII. Dari strain-strain tersebut yang
terkenal paling tinggi tingkat virulensinya adalah strain IV. Perbedaan strain inilah
yang menyebabkan sulitnya pengendalian ketika serangannya meluas di lapang
(Hifni et al., 1996).
Bakterisida
Untuk mengendalikan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) selain
pengendalian yang dilakukan di lapang, umumnya dilakukan tindakan preventif
dengan perlakuan benih sebelum tanam. Tindakan ini jauh lebih efektif mengatasi
serangan dibanding jika ditangani di lapang. Perlakuan benih yang umum digunakan
adalah dengan menyelimuti benih menggunakan bahan kimia (Sigee, 1993).
Beberapa bahan kimia seperti bakterisida, fungisida dan insektisida umumnya
diberikan pada benih sebelum ditanam di lapang. Bakterisida, fungisida dan
insektisida adalah suatu zat yang bersifat racun, menghambat pertumbuhan,
mempengaruhi tingkah laku, penghambat makan, serta aktivitas lainnya yang dapat
mempengaruhi OPT. Pengendalian hawar daun bakteri secara kimiawi dapat
dilakukan dengan pelapisan benih padi menggunakan bleaching powder (100µg/ml)
dan zinc sulfate (2%) (IRRI, 2008).
Bakterisida sintetis yang umum digunakan untuk menghambat serangan
bakteri adalah bakterisida Agrept, Plantomycin, Agrimycin dengan bahan aktif
streptomycine (Extonet, 1995), Kasugamin (kasugamycin), Firestop (flumequin), S-
0208 (oxolinic acid), Allite (phosetyl-Al), Kocide (copper hydroxide) (Tsiantos dan
Psallidas, 2002). Aplikasi bakterisida sintetis umumnya dengan penyemprotan
langsung di lapang pada kondisi tanaman terserang. Bakterisida yang beredar di
Indonesia antara lain Agrept 20 WP (streptomycin sulfat 20%), Plantomycin 7 SP
(streptomycin sulfat 7%), dan Nordox 56 WP (tembaga oksida 56%).
19. 7
Minyak cengkeh (Syzygium aromaticum L.) dan minyak serai wangi
(Andropogon nardus L.) merupakan pertisida organik yang banyak digunakan
untung menanggulangi serangan cendawan, bakteri, dan beberapa hama gudang.
Minyak cengkeh mengandung eugenol yang bersifat fungisida sehingga dapat
mengendalikan serangan cendawan. Kadar eugenol dalam minyak cengkeh berkisar
antara 70% - 85% bila berasal dari batang dan daun cengkeh, serta 90% bila berasal
dari bunga. Minyak cengkeh diperoleh dengan cara menyuling daun, batang, dan
bunga yang telah kering (Kardinan, 2002). Minyak serai wangi biasanya dibuat
dengan menyuling daun dan batang tanaman serai wangi setelah dijemur 1 - 4 hari.
Ramuan insektisida nabati juga dapat dibuat dengan menghaluskan batang dan daun
serai wangi kemudian dicampur dengan pelarut (air). Bahan aktif yang terkandung
dalam minyak serai wangi antara lain senyawa sitral, sitronella, geraniol, miserna,
nerol, farnesol, metil heptena, dan dipeten. Berdasarkan Standard Nasional Indonesia
(SNI) minyak serai wangi yang baik mengandung geraniol 85%, sitronella 35%, dan
memiliki kelarutan dalam etanol 80% (Kardinan, 2002). Hasil penelitian Mugiono
(2002) menunjukkan, minyak serai wangi dan minyak cengkeh memiliki potensi
untuk menekan pertumbuhan hama Aspergilus flavus dan Fusarium oxysporum.
Penelitian Hilvian (2007) menunjukkan bahwa ekstrak lidah buaya, sirih, dan sereh
dapat menghambat pertumbuhan bakteri X. oryzae pv. oryzae secara in-vitro dengan
zona hambatan yang terluas pada ekstrak sereh (serai) yakni sebesar 2,005 cm2.
Pengaruh Matriconditioning dan Matriconditioning plus Pestisida dalam
Meningkatkan Viabilitas dan Vigor Benih
Viabilitas benih adalah daya hidup benih yang dapat ditunjukan melalui
gejala metabolisme benih dan gejala pertumbuhan, kinerja kromosom atau garis
viabilitas. Viabilitas dibedakan menjadi viabilitas potensial dan viabilitas
sesungguhnya (vigor). Viabilitas potensial merupakan daya hidup benih pada kondisi
optimum, secara potensial mampu menghasilkan tanaman normal yang mampu
berproduksi dan bereproduksi secara normal, pada pengujian benih ditunjukkan
dengan daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal yang tinggi. Vigor
benih adalah kemampuan benih untuk tumbuh menjadi tanaman normal yang mampu
bereproduksi secara normal dalam kondisi sub optimum, pada pengujian benih
20. 8
ditunjukkan dengan indeks vigor, kecepatan tumbuh, laju pertumbuhan kecambah,
dan T50 (Sadjad, 1994).
Heydecker dalam Sadjad (1972) menyatakan, syarat benih vigor yaitu: (1)
Tahan simpan; (2) Berkecambah cepat dan merata; (3) Bebas patogen dan penyakit;
(4) Tahan gangguan mikroorganisme; (5) Bibit dapat tumbuh dengan baik pada
kondisi lingkungan apapun; (6) Bibit dapat memanfaatkan persediaan dan makanan
benih secara optimum; (7) Laju pertumbuhan tinggi; (8) Mampu menghasilkan
produk yang tinggi di waktu tertentu. Sadjad (1975) menambahkan dua kriteria
tambahan yaitu (9) Mampu bersaing dengan gulma, serta (10) Hasil pengujian di
laboratorium dan pengujian di lapang tidak jauh berbeda.
Viabilitas benih cenderung akan menurun ketika benih berada dalam
penyimpanan. Teknik khusus untuk menekan tingkat kemunduran benih adalah
melalui hidrasi benih. Menurut Copeland dan McDonald (1995), hidrasi benih
merupakan proses penyerapan air oleh benih, yang dapat meningkatkan
perkecambahan, keseragaman tumbuh kecambah, dan memperbaiki vigor pada benih
yang telah mengalami kemunduran.
Metode hidrasi yang umum digunakan adalah melalui conditioning.
Conditioning merupakan upaya perlakuan benih sebelum tanam dengan
menyeimbangkan potensial air benih untuk merangsang kegiatan metabolisme dalam
benih, sehingga benih siap berkecambah tetapi struktur penting dari embrio
(radikula) belum muncul (Hardegree dan Emmerich, 1992). Conditioning benih
berguna mempercepat perkecambahan, menyeragamkan perkecambahan, dan
meningkatkan persentase pemunculan kecambah (Ilyas, 1995). Proses invigorasi
pada benih kedelai mengindikasikan peningkatan daya berkecambah, keserempakan
tumbuh, aktivitas enzim peroksidase, aktivitas enzim fitase, jumlah P teresterifikasi,
serta penurunan asam fitat pada benih (Widajati, 1999). Terdapat beberapa metode
yang umum dikenal pada priming, yaitu priming dengan bahan padatan
(matriconditioning), priming dengan bahan liquid (osmoconditioning) dan drum
priming dengan hidrasi terkontrol (Khan et al., 1992).
Matriconditioning merupakan proses perbaikan fisiologis dan biokimia benih
dengan menggunakan media yang berpotensial matriks tinggi sehingga potensial
osmotiknya dapat diabaikan selama imbibisi (Khan et al., 1992). Media yang
21. 9
digunakan untuk matriconditioning harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1)
Memiliki potensial matrik tinggi sehingga potensial osmotik dapat diabaikan; (2)
Daya larut dalam air rendah; (3) Bahan inert dan tidak beracun; (4) Luas
permukaannya tinggi dan berat jenisnya rendah; (5) Memiliki struktur bahan, ukuran,
dan porositas yang berbeda sehingga dapat berfungsi sebagai mobilisator enzim juga
katalisator; (6) Berkemampuan merekat pada permukaan benih; (7) Mampu
menyerap air dengan baik (Ilyas, 1995).
Beberapa penelitian menunjukkan, perlakuan matriconditioning mampu
meningkatkan viabilitas benih lebih baik dibanding perlakuan hidrasi benih yang
lain. Perlakuan matriconditioning dengan abu gosok pada benih padi mampu
meningkatkan viabilitas dan vigor yang lebih baik dibanding perlakuan
osmoconditioning dan kontrol (Madiki, 1998). Pada benih jagung hibrida dengan
perlakuan hidrasi benih yang berbeda menunjukkan, perlakuan matriconditioning
mampu meningkatkan daya berkecambah, menurunkan T50, meningkatkan panjang
akar, dan panjang tajuk, dibanding perlakuan osmoconditioning dan hydropriming
(Afzal et al., 2002). Benih kanola yang diberi perlakuan matriconditioning juga
menunjukkan pertumbuhan yang tinggi pada fase perkecambahan, fase pembibitan,
serta peningkatan permeabilitas membran (Afzal et al., 2004). Hasil yang berbeda
terdapat pada penelitian menggunakan benih gadum yang menunjukkan perlakuan
benih dengan hydropriming dan hardening meningkatkan viabilitas dan vigor lebih
baik dibanding perlakuan matriconditioning dan kontrol (Basra et al., 2005).
Pada benih kedelai, perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh
terbukti dapat meningkatkan mutu dan kesehatan benih (Fadhilah, 2003). Perlakuan
matriconditioning plus minyak cengkeh dengan konsentrasi di bawah 0.1% pada
benih cabai juga mengindikasikan peningkatan viabilitas, vigor, dan menurunkan
tingkat kontaminasi Coletotricum capsici (Untari 2003). Perlakuan matriconditioning
menggunakan tepung atau minyak cengkeh atau serai wangi pada benih cabai
mampu meningkatkan mutu benih secara signifikan dibanding kontrol pada tolok
ukur PTM, DB, BKKN, IV, KCT relatif serta dapat menurunkan T50 (Asie, 2004).
Pada benih tomat, perlakuan matriconditioning plus minyak serai wangi 0.25%
mampu mengurangi tingkat kontaminasi Fusarium sp. dan meningkatkan
pertumbuhan tanaman di lapang (Susilawati, 2006).
22. BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Entomologi dan Fitopatologi
serta Laboratorium Pengujian Mutu Benih, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,
Sukamandi Maret – Agustus 2008.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah benih padi varietas IR-64,
benih padi varietas Ciherang (panen bulan April 2008), bakterisida sintetis (Agrept
20 WP (streptomycin sulfat 20%), Plantomycin 7 SP (streptomycin sulfat 7%),
Nordox 56 WP (tembaga oksida 56%)), bakterisida nabati (minyak cengkeh berasal
dari daun dengan bahan aktif eugenol 35% serta minyak serai wangi berasal dari
daun dan batang dengan bahan aktif sitronella 35% diperoleh dari BALITTRO),
media Wakimoto, bahan uji Gram (pewarna kristal voilet, lugol, pewarna safranin,
alkohol 70%), PSA (potato sucrose agar) cair, aquades steril, peptone, arang sekam,
abu gosok, kertas merang, kertas saring, plastik, kapas, pallet, dan aluminium foil.
Alat yang digunakan adalah laminar air flow cabinet, botol kultur, cawan petri,
autoclaf, pengaduk, ose, gelas ukur, tabung reaksi, oven, dan germinator tipe IPB
73 - 2A/B.
Metode Penelitian
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan varietas IR-64 dan Ciherang sebagai percobaan
terpisah. Uji efektivitas (percobaan II) menggunakan Rancagan Acak Lengkap dua
faktor yaitu jenis bakterisida dan konsentrasi bakterisida. Analisis statistik pada
percobaan ini adalah sidak ragam dengan model:
Yij= µ + αi + βj + (αβ)ij + εij
Yij : nilai pengamatan pada faktor α ke-i dan β ke-j
µ : rataan umum
αi : pengaruh faktor jenis bakterisida α taraf ke-i
βj : pengaruh faktor konsentrasi β taraf ke-j
23. 11
(αβ)ij : pengaruh interaksi faktor jenis bakterisida α taraf ke-i dan faktor
konsentrasi β taraf ke-j
εij : galat percobaan faktor jenis bakterisida α taraf ke-i dan faktor
konsentrasi β taraf ke-j
Uji fitotoksisitas (percobaan II) menggunakan Rancangan Acak Lengkap
faktor tunggal yaitu konsentrasi bakterisida. Analisis statistik yang digunakan adalah
sidik ragam dengan model sebagai berikut:
Yi = μ + αi + εi
Yi : nilai pengamatan pada konsentrasi α ke-i
μ : rataan umum
αi : pengaruh konsentras α taraf ke-i
€i : galat percobaan konsentrasi α taraf ke-i
Percobaan III juga menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor
tunggal yaitu perlakuan benih. Terdapat enam taraf perlakuan benih yaitu P0
(kontrol), P1 (matriconditioning), P2 (bakterisida sintetis), P3 (bakterisida nabati),
P4 (matriconditioning plus bakterisida sintetis), dan P5 (matriconditioning plus
bekterisida nabati). Masing-masing percobaan terdiri atas empat ulangan sehingga
terdapat 24 satuan percobaan untuk setiap varietas. Analisis statistik yang digunakan
adalah sidik ragam dengan model sebagai berikut:
Yi = μ + αi + εi
Yi : nilai pengamatan pada perlakuan faktor α ke-i
μ : rataan umum
αi : pengaruh faktor perlakuan α taraf ke-i
€i : galat percobaan faktor perlakuan α taraf ke-i
Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari seluruh perlakuan. Apabila
terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati, dilakukan uji lanjut Duncan
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5% (Gomez dan Gomez, 1995).
24. 12
Pelaksanaan Percobaan
Tahapan pelaksanaan penelitian sesuai dengan bagan alur percobaan seperti
yang tercantum pada gambar 1.
Percobaan I
Identifikasi Bakteri Terbawa Benih
Pengambilan Sampel
↓
Persiapan Inokulum (Isolasi)
↓
Identifikasi dengan Uji Postulat Koch
↓
Identifikasi dengan Uji Pewarnaan Gram
↓
Percobaan II
┌─────┴────┐
Uji Efektivitas Bakterisida secara Uji Fitotoksisitas Bakterisida dengan
in-vitro UKDdp
└─────┬─────┘
Percobaan III
Matriconditioning plus Bakterisida Terpilih pada Benih yang Terinfeksi
┌──────────┴──────────┐
Uji Mutu Fisiologis Uji Patologis
└──────────┬─────────┘
Benih Sehat Terpilih
Gambar 1. Bagan alur penelitian.
25. 13
Percobaan I
Identifikasi Bakteri Terbawa Benih
a. Pengambilan Sampel
Gambar 2. Pertanaman padi yang terserang hawar daun bakteri.
Pengambilan sampel dilakukan pada stadia panen di areal pertanaman
padi BB Padi Sukamadi pada bulan April 2008. Sampel diambil sejumlah 10
titik pada satu lahan pertanaman, pada setiap titik dilakukan pengamatan
tingkat keparahan (severity) dan keberadan (incidence) penyakit HDB.
Pengamatan tingkat keparahan dilakukan dengan mengamati serangan yang
terjadi pada daun yang terserang. Pengamatan tingkat keberadaan penyakit
dilakukan dengan menghitung jumlah tanaman yang terserang dibanding
jumlah tanaman sehat setiap luasan 1m x 1m. Pada penelitian ini dilakukan
pengamatan pada beberapa varietas lain sebagai pembanding, diantaranya
Mekongga dan Cibogo. Benih hasil pengambilan sampel selanjutnya
disimpan pada kondisi suhu ruangan 20oC - 25oC.
b. Penyiapan Inokulum (Isolasi)
Penyiapan inokulum meliputi penyiapan media, sterilisasi alat, dan
isolasi. Media yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri adalah media
Wakimoto. Cottyn et al. (1994) menyatakan, media yang paling baik untuk
pertumbuhan X. oryzae pv. oryzae adalah media Wakimoto. Menurut Siharta
(2007) Media Wakimoto terdiri dari umbi kentang, CA (NO3).24H2O, Na2
HPO4.12H2O, peptone, sukrosa, dan agar. Pembuatan satu liter media
membutuhkan umbi kentang 125 g, bacto-agar 10 g, sukrosa 10 g, peptone
2.5 g, Ca(NO3).24H2O 0.25 g, dan Na2 HPO4.12H2O 0.5 g. Cara pembuatan
26. 14
media Wakimoto dapat dilihat pada Lampiran 1. Sterilisasi alat dilakukan
dengan mencuci alat menggunakan detergen, dikeringkan, kemudian seluruh
alat dibungkus kertas, disterilisasi dengan autoclaf selama 20 menit pada suhu
121oC dan tekanan 1 atm. Alat yang telah disterilisasi kemudian disimpan
dalam oven suhu 30oC untuk menjaganya tetap steril hingga akan digunakan.
Isolasi dilakukan pada benih sampel dengan metode grinding. Benih
diambil + 40 butir, dicuci bersih, direndam NaOCl 1% 15 menit, kemudian
direndam dengan air hangat (30o - 35oC) 2 jam, dibilas dengan air steril, dan
digerus hingga halus. Benih yang telah digerus ditambahkan peptone dan
PSA cair + 2 ml. Suspensi diambil + 0.1 ml dengan ose kemudian digoreskan
pada media Wakimoto (Cottyn et al., 1994).
Isolasi bakteri dilakukan 10 petri pada masing-masing varietas. Petri
yang muncul ciri koloni bakteri X. oryzae pv. oryzae maka diberi tanda (+),
selanjutnya dilakukan pemurnian hingga diperoleh biakan murni bakteri
(Ilyas et al., 2007). Bakteri X. oryzae pv. oryzae memiliki koloni berwarna
kuning mengkilat, berbentuk cembung, serta tidak lengket ketika diambil
(Cottyn et al., 1994).
Biakan murni bakteri disimpan pada media agar miring dengan suhu
20o - 25oC agar terhindar dari kontaminan. Media agar miring dibuat dari
media Wakimoto yang dicairkan kembali, dituang dalam tabung reaksi + 5
ml, disterilisasi dengan autoclaf, kemudian disimpan dengan dimiringkan.
Biakan murni bakteri diremajakan kembali jika akan digunakan atau setiap
dua sampai tiga minggu sekali.
c. Identifikasi dengan Postulat Koch
Uji Postulat Koch dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri patogen
melalui gejala penyakit yang ditimbulkannya. Gejala penyakit HDB pada
tanaman muda adalah gejala kelayuan dan ujung daun yang menggulung
(Kadir et al., 2008). Uji Postulat Koch dilakukan dengan mengencerkan isolat
murni X. oryzae pv. oryzae berumur 2x24 jam menggunakan air steril hingga
kerapatan 108. Inokulan kemudian diinokulasikan pada tanaman padi yang
sehat menggunakan metode gunting. Metode gunting dilakukan dengan
mencelupkan gunting pada suspensi bakteri dan diguntingkan pada daun
27. 15
tanaman (+ 0.5 - 2 cm), setiap pergantian inokulan gunting dibilas dengan
alkohol agar kemurnian inokulan yang diinokulasikan terjaga (Cottyn et al.,
1994). Pada pengujian ini digunakan tanaman padi stadia bibit berumur 14
hari setelah tanam (HST) varietas IR-64 dan Ciherang. Pengamatan dilakukan
1 - 3 minggu setelah inokulasi dengan menghitung nilai DLA (disease leaf
area). Nilai DLA dihitung dengan mengukur panjang daun yang terserang
dibanding panjang keseluruhan daun (Rahmilia, 2003).
d. Identifikasi dengan Pewarnaan Gram
Uji pewarnaan Gram bertujuan untuk menentukan bakteri yang diteliti
termasuk bakteri Gram-positif atau Gram-negatif dengan metode pewarnaan.
Bila bakteri tetap berwarna ungu diakhir pewarnaan, berarti bakteri bersifat
Gram-positif, tetapi bila setelah diberi larutan pemucat (alkohol/etanol)
berubah warna menjadi merah maka bakteri bersifat Gram-negatif.
Isolat X. oryzae pv. oryzae murni diambil menggunakan ose,
digoreskan tipis pada kaca objek, diratakan dengan air destilata dan difiksasi
di atas api. Preparat ditetesi pewarna kristal violet 30 detik, dibilas dengan
air (bakteri berwarna biru), ditetesi larutal lugol 30 detik, dibilas dengan air,
ditetesi larutan pemucat (alkohol 70%) 10 - 20 detik, dibilas dengan air,
ditetesi pewarna safranin 15 detik, dibilas dengan air, dan dikeringkan dengan
kertas saring. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran
hingga 40x (Lay, 1994).
Percobaan II
Uji Efektivitas dan Uji Fitotoksitas Bakterisida Sintetis dan Nabati
a. Uji Efektivitas Bakterisida dalam Menghambat X. oryzae pv. oryzae
secara in-vitro
Pengujian ini dilakukan untuk memperoleh jenis dan konsentrasi
bakterisida yang efektif menghambat pertumbuhan bakteri X. oryzae pv.
oryzae. Bakterisida sintetis yang digunakan adalah Agrept 20 WP,
Platomycin 7 SP, dan Nordox 56 WP, sedangkan bakterisida nabati yang
digunakan adalah minyak cengkeh dan minyak serai wangi. Konsentrasi
28. 16
untuk bakterisida sintetis antara lain 0%, 0.1%, 0.2%, 0.3%, dan 0.4%,
sedangkan untuk bakterisida nabati 0%, 0.5%, 1%, 1.5%, dan 2%.
Uji efektivitas dilakukan dengan mengencerkan isolat murni bakteri
umur 2x24 jam pada kerapatan 105. Suspensi diambil 0.1 ml kemudian
diratakan pada media Wakimoto dalam petri. Kertas saring steril ukuran 0.5
cm dicelupkan pada larutan bakterisida kemudian diletakkan di tengah petri.
Pengamatan dilakukan 1 - 7 hari dengan mengukur luas penghambatan
bakterisida pada petri (Rahmilia, 2003). Luas penghambatan didapat dengan
mengukur diameter area yang tidak ditumbuhi koloni bakteri (zona bening) di
sekeliling kertas saring (Gambar Lampiran 3).
b. Uji Fitotoksisitas Bakterisida terhadap Benih Padi
Pengujian ini dilakukan untuk melihat pengaruh toksisitas pada
konsentrasi bakterisida hasil uji efektivitas terhadap benih padi IR-64 dan
Ciherang. Pengujian fitotoksisitas terdiri dari dua percobaan yaitu bakterisida
sintetis terpilih dengan konsentrasi 0%, 0.1%, 0.2%, 0.3%, 0.4%, serta
bakterisida nabati terpilih dengan konsentrasi 0%, 0.5%, 1%, 1.5%, 2%.
Uji fitotoksisitas dilakukan dengan perendaman benih dalam larutan
bakterisida sintetis atau nabati pada konsentrasi tertentu selama + 6 jam (Ilyas
et al., 2007). Pengamatan dilakukan selama 14 hari dengan tolok ukur daya
berkecambah, kecepatan tumbuh, dan indeks vigor. Konsentrasi bakterisida
yang tidak toksik terhadap benih akan diintergrasikan dengan perlakuan
matriconditioning.
Percobaan III
Matriconditioning plus Bakterisida Sintetis atau Nabati
Matriconditioning dilakukan dengan nisbah 1 : 0.8 : 1.2 (1 g benih : 0.8 g
arang sekam : 1.2 ml air) (Madiki, 1998). Arang sekam yang digunakan dalam
bentuk bubuk dengan ukuran 210µ. Pada perlakuan matriconditioning plus
bakterisida, aquades (air) digantikan larutan bakterisida sintetis atau nabati sebanyak
1.2 ml dengan konsentrasi hasil uji fitotoksisitas. Seluruh perlakuan
matriconditioning dilakukan selama 30 jam pada suhu 26 - 29oC (Ilyas et al., 2007).
Benih hasil matriconditioning selanjutnya dikering-anginkan 15 – 20 menit, diayak
29. 17
untuk memisahkan benih dengan arang sekam, dicuci dengan air steril, dan dikering-
anginkan + 1 - 2 jam sebelum tanam.
1. Uji Mutu Fisiologis
Uji mutu fisiologis meliputi uji viabilitas dan vigor. Uji viabilitas dan uji
vigor dilakukan dengan menanam 400 butir benih dalam empat ulangan pada
media kertas CD dilapisi plastik (UKDdp). Pengamatan yang dilakukan
meliputi uji viabilitas dan vigor dengan tolok ukur daya berkecambah (DB) hari
ke 5 dan hari ke 14 setelah tanam, bobot kering kecambah normal (BKKN) pada
hari ke 14, indeks vigor (IV) pada hari ke 5, kecepatan tumbuh serta T50
dihitung pada hari ke 0 sampai hari ke 14.
2. Uji Mutu Patologis
Pengujian tingkat infeksi X. oryzae pv. oryzae menggunakan metode
grinding. Benih direndam larutan NaOCl 1% selama 15 menit untuk sterilisasi,
direndam air hangat 1-2 jam, dan dibilas dengan air steril. Benih ditumbuk
sebanyak 400 butir, ditambahkan air steril (1.9 x berat 100 butir padi) + 50 ml,
kemudian disimpan dalam medicool (suhu 0oC) selama 2 jam. Pengenceran
dilakukan mulai 10-1 hingga 10-3 dengan menyiapkan tabung reaksi berisi
aquades steril 9 ml, pada tabung pertama ditambahkan larutan dari benih yang
ditumbuk, selanjutnya dari tabung pertama larutan diambil 1 ml dan
ditambahkan pada tabung kedua, begitu seterusnya hingga tabung ke tiga
(Suriawiria, 2005). Suspensi 100 μl (0.1 ml) diambil dari setiap tahap
pengenceran, dituang pada petri dan disebar dengan dreglaski. Inokulum
diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari, diidentifikasi berdasarkan warna
koloni, dan dihitung jumlah koloninya (Ilyas et al., 2007).
Pengamatan
• Daya Berkecambah (%)
Daya berkecambah (DB) dihitung berdasarkan persentase
kecambah normal (KN) pada hitungan pertama (5 HST) dan kedua (14
HST) (ISTA, 2008), dengan rumus:
DB(%) = ∑ KN hit I + ∑ KN hit II x100%
∑ benih yang ditanam
30. 18
• Bobot Kering Kecambah Normal (g)
Sebelumnya bagian biji yang masih menempel pada kecambah
dihilangkan terlebih dahulu. Kecambah normal berumur 14 HST dioven
pada suhu 80oC selama 24 jam. Kecambah selanjutnya dimasukkan
dalam desikator + 30 menit. Kecambah kering ditimbang dengan
timbangan dua digit.
• Indeks Vigor (%)
Indeks vigor (IV) dihitung berdasarkan persentase kecambah
normal (KN) pada hitungan pertama pada uji daya berkecambah
(Copeland dan McDonald, 1995) yaitu 5 HST untuk benih padi, dengan
rumus:
IV (%) = ∑ KN hitungan I x 100%
∑ benih yang ditanam
• Kecepatan Tumbuh (%/etmal)
Kecepatan tumbuh dihitung berdasarkan akumulasi kecepatan
tumbuh harian dalam unit tolok ukur presentase per hari, dengan rumus
perhitungan:
tn
N
KCT = Σ /t
0
t : waktu pengamatan
N : % KN setiap waktu pengamatan
tn : waktu akhir pengamatan
• T50 (hari)
T50 merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 50% total
pemunculan kecambah dengan melakukan pengamatan harian. Rumus
yang digunakan adalah:
T50 = ti + (n50 - ni)
(nj - ni)
T50 : waktu (hari) yang dibutuhkan untuk mencapai 50% total
perkecambahan
ti : waktu (hari) batas bawah sebelum mencapai 50%
perkecambahan
31. 19
n50 : ∑ kecambah 50% dari total perkecambahan
ni : ∑ kecambah batas bawah sebelum mencapai 50% total
perkecambahan
nj : ∑ kecambah batas atas setelah mencapai 50% total
perkecambahan
• Tingkat Serangan HDB di Lapang
Keparahan (severity) = ∑ (n x v) x 100%
Z x N
n = Jumlah daun dari tiap kategori serangan
v = Nilai skala tiap kategori serangan
Z = Nilai skala dari kategori serangan tertinggi
N = Jumlah daun yang diamati
Keberadaan (incidence) = Jumlah tanaman sakit x 100%
Jumlah keseluruhan tanaman
• Disease Leaf Area (Postulat Koch)
DLA = n/N x 100%
n = panjang gejala lesio pada daun
N= panjang keseluruhan daun
• Daya Hambat (%)
DH= Luas penghambatan x 100%
Luas X.oryzae pv. oryzae pada kontrol
• Colony counting (cfu)
Penghitungan jumlah koloni dilakukan dengan metode hitungan
cawan, yaitu menghitung jumlah koloni X. oryzae pv. oryzae pada setiap
cawan (petri) dengan pengenceran tertentu.
32. HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan I
Identifikasi Bakteri Terbawa Benih
a. Pengambilan Sampel
Hasil pengamatan tingkat serangan hawar daun bakteri (HDB) di
lapang pada beberapa varietas di areal pertanaman padi BB Padi Sukamandi,
menunjukkan IR-64 merupakan varietas dengan persentasi serangan tertinggi
yaitu keparahan (severity) 90.5% dan keberadaan (incidence) 93.75%.
Ciherang yang tergolong varietas resisten pada pengamatan ini terserang
parah dengan severity 89.9% dan incidence 87.5%, lebih tinggi dibandingkan
Cibogo dengan severity 85.40% dan incidence 81.25%. Varietas Mekongga
merupakan varietas dengan persentase severity dan incidence terendah yaitu
66.9% dan 62.50% (Tabel 1). Berdasarkan Standard Evaluation System for
Rice yang dikeluarkan IRRI, keempat varietas yang diamati pada penelitian
ini tergolong sangat rentan dengan skor 9 (persentase serangan 51-100%)
(IRRI, 1996). Hal ini menandakan bahwa pengendalian HDB dengan varietas
resisten tidak selalu berhasil, terbukti Ciherang, Mekongga, dan Cibogo yang
tergolong varietas resisten dapat terserang parah. Agrios (1997) menyatakan,
kejadian suatu penyakit disebabkan adanya tiga faktor pendukung yaitu inang
yang rentan, patogen yang virulen dan lingkungan yang mendukung.
Pengendalian suatu penyakit di lapang tidak dapat hanya dengan satu
komponen saja. Menurut Kadir (2008) pengendalian HDB dapat dilakukan
antara lain dengan menggunakan varietas yang resisten, uji kesehatan benih,
perlakuan benih, penggunaan bahan kimia, dan pengendalian hayati.
Tabel 1. Pengamatan tingkat serangan hawar daun bakteri di lapang pada
beberapa varietas padi.
No Varietas Lokasi Severity Insidence
1 Ciherang Sukamandi 89.90% 87.50%
2 Mekongga Sukamandi 66.90% 62.50%
3 IR-64 Sukamandi 90.50% 93.75%
4 Cibogo Sukamandi 85.40% 81.25%
33. 21
b. Penyiapan Inokulum (Isolasi)
Keberadaan X. oryzae pv. oryzae pada sampel benih padi asal
Sukamandi menunjukkan pada IR-64 sebesar 80% dan pada Ciherang 60%.
Keberadaan bakteri X. oryzae pv. oryzae pada benih terdapat pada bagian luar
(kulit benih) dan pada bagian dalam benih. Bakteri yang berada di luar benih
akan hilang seiring dengan sterilisasi dan pencucian benih sebelum isolasi,
sehingga X. oryzae pv. oryzae hasil isolasi benar-benar berasal dari dalam
benih. Pencucian benih dan perendaman dengan NaOCl 1% ketika akan
dilakukan isolasi selain untuk menjamin isolat yang didapat berasal dari
bagian dalam benih juga berfungsi untuk sterilisasi kontaminan di permukaan
benih. Kontaminan di permukaan benih dapat menyebabkan terjadinya
kontaminasi cendawan pada media ketika dilakukan isolasi yang akan
mengganggu pengamatan. Pengamatan hasil isolasi sebaiknya dilakukan pada
hari ke 1 – 4 untuk menghindari munculnya cendawan (kontaminan).
c. Identifikasi dengan Postulat Koch
Gejala penyakit yang timbul pada tanaman sehat stadia bibit 14 hari
setelah semai yang diinokulasi dengan isolat murni hasil isolasi dari benih
varietas IR-64 dan Ciherang menunjukkan gejala HDB. Gejala penyakit HDB
pada tingkat bibit adalah gejala kresek, dimulai dari ujung daun terpotong
yang akan menunjukkan gejala seperti terendam air (green water-soaked)
pada minggu pertama setelah inokulasi, selanjutnya ujung daun akan layu dan
menguning pada minggu kedua setelah inokulasi, pada minggu ketiga daun
akan menggulung seperti gejala tanaman yang mengalami kekeringan (IRRI,
2008). Gejala serangan X. oryzae pv. oryzae yang diinokulasikan pada
tanaman stadia bibit meningkat setiap minggunya, pada minggu ketiga
setelah inokulasi gejala penyakit akan terlihat jelas. Pada minggu ketiga
setelah inokulasi area daun yang terserang menunjukkan nilai DLA yang
tertinggi yaitu pada IR-64 sebesar 62.64% dan pada Ciherang 40.7%
(Gambar 3).
34. 22
70.00%
IR-64
62.64%
60.00% Ciherang
%D A 50.00%
40.00% 40.70%
L
30.00% 22.75%
20.00% 20.04%
10.00% 7.94%
6.78%
0.00%
1 2 3
Minggu Setelah Inokulasi
Gambar 3. Peningkatan nilai disease leaf area pada uji Postulat Koch
varietas IR-64 dan Ciherang.
d. Identifikasi dengan Pewarnaan Gram
Hasil uji pewarnaan Gram pada isolat murni dari benih IR-64 dan
Ciherang mengindikasikan bakteri X. oryzae pv. oryzae dengan ciri
mikroskopik berwarna merah atau merah muda (bakteri Gram-negatif),
berbentuk bacillus (batang) atau cocoid (bulat lonjong) pada masa juvenilnya
(Gambar 4). Hasil ini sesuai dengan hasil pengujian Cottyn et al. (1994) yang
menyatakan bahwa bakteri X. oryzae pv. oryzae merupakan bakteri Gram-
negatif dengan ciri-ciri berwarna merah berbentuk mikroskopik bacillus
dengan penampakan koloni pada media isolasi bulat cembung. Perbedaan
sifat Gram bakteri disebabkan perbedaan kandungan dinding sel, pada
dinding sel bakteri Gram-negatif mengandung senyawa peptidoglikan yang
akan rusak ketika diberi larutan pemucat (alkohol) dalam uji pewarnaan
(Suriawiria, 2005).
Gambar 4. Koloni bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae dengan
perbesaran 40x pada benih padi varietas Ciherang (kiri) dan IR-
64 (kanan).
35. 23
Percobaan II
Uji Efektivitas dan Fitotoksitas Bakterisida Sintetis dan Nabati
a. Uji Efektivitas Bakterisida dalam Menghambat X.oryzae pv. oryzae
secara in-vitro
Bakterisida Sintetis
Bakterisida Agrept 20 WP (Ag) menunjukkan persentase daya hambat
tertinggi dibandingkan dua jenis bakterisida sintetis yang lain yaitu Nordox
56 WP (Nx) dan Plantomycin 7 SP (Pl), pada taraf konsentrasi 0.1% (P1)
hingga 0.4% (P4) (Gambar 5). Pada varietas IR-64 daya hambatnya berkisar
antara 4.38% (P1) hingga 10.04% (P4), sedangkan varietas Ciherang
memiliki daya hambat yang lebih tinggi yaitu 6.81% (P1) hingga 10.7% (P4)
(Tabel Lampiran 1 dan 2). Persentase daya hambat bakterisida sintetis
cenderung meningkat seiring meningkatnya konsentrasi yang diberikan.
Bakterisida sintetis merupakan bakterisida kimia konsentrat buatan
pabrik sehingga kemampuan penghambatannya akan selalu meningkat seiring
dengan penambahan konsentrasi. Bakterisida sintetis biasanya berbentuk
bubuk sehingga mudah dilarutkan dalam air. Bakterisida Agrept 20 WP lebih
efektif dari pada Nordox 56 WP, dan Plantomycin 7 SP karena kandungan
bahan aktifnya. Agrept 20 WP dan Plantomycin 7 SP memiliki bahan aktif
yang sama yaitu streptomycin sulfat, Agrept mengandung streptomycin sulfat
20% sedangkan Plantomycin mengandung streptomycin sulfat 7%, sehingga
Agrept lebih efektif dibanding Plantomycin. Streptomycin sulfat merupakan
bahan aktif yang efektif dalam pengendalian penyakit yang disebabkan
bakteri seperti yang disebabkan Erwinia amylovlora pada tanaman pear
(Tsiantos dan Psallidas, 2002). Nordox memiliki bahan aktif tembaga oksida
56%, tembaga oksida kurang efektif bila dibandingkan streptomycin sulfat.
Menurut Kadir (2007) tembaga oksida baru menunjukkan efektivitas
pengendalian serangan HDB di lapang pada taraf konsentrasi 3 g/l (0.3%).
36. 24
3.5
3
2.5
Daya Hambat (%)
2
IR-64
1.5
Ciherang
1
0.5
0 Nx.P1
Nx.P2
Nx.P3
Nx.P4
Pl.P1
Pl.P2
Pl.P3
Pl.P4
Ag.P1
Ag.P2
Ag.P3
Ag.P4
Kontrol
Jenis dan Konsentrasi Bakterisida Sintetis
Gambar 5. Perbandingan daya hambat bakterisida sintetis: Ag (Agrept), Nx
(Nordox), Pl (Plantomycin). P1 (0.1%), P2 (0.2%), P3 (0.3%), P4
(0.4%).
Bakterisida Nabati
Hasil uji efektivitas bakterisida nabati menunjukkan bahwa minyak
serai wangi (Ms) memiliki daya hambat yang lebih tinggi dari pada minyak
cengkeh (Mc) (Gambar 6). Pada varietas IR-64 perbedaan efektivitas minyak
cengkeh dan minyak serai wangi terlihat tidak nyata, penghambatan terjadi
pada konsentrasi yang sama P2 (1%) tetapi daya hambat minyak serai wangi
konsentrasi 1% lebih tinggi dengan nilai 1.51%, dibanding daya hambat
minyak cengkeh 1% yang hanya sebesar 1.42% (Tabel Lampiran 3).
Kecenderungan ini juga terlihat pada konsentrasi 1.5% dan 2%, daya hambat
minyak serai wangi berturut-turut adalah 2.21% dan 2.96%, sedangkan pada
minyak cengkeh 1.13% dan 2.75%.
Pada varietas Ciherang efektivitas minyak serai wangi terlihat nyata,
penghambatan sudah terjadi pada konsentrasi 0.5% (P1) dengan daya hambat
0.2%, sedangkan daya hambat minyak cengkeh 0.5% sebesar 0% (Tabel
Lampiran 4). Efektivitas minyak serai wangi terlihat semakin nyata pada
konsentrasi 1.5% hingga 2% dengan persen daya hambat berturut-turut 3.33%
37. 25
dan 4.41%, dibanding minyak cengkeh konsentrasi 1.5% yang hanya sebesar
1.16% dan minyak cengkeh konsentrasi 2% sebesar 1.88% (Tabel Lampiran
3 dan 4).
Bakterisida nabati pada uji efektivitas memiliki persen daya hambat
yang lebih rendah dari bakterisida sintetis meskipun konsentrasinya lebih
tinggi. Bakterisida nabati yang digunakan pada perlakuan ini adalah
bakterisida berbentuk minyak sehingga untuk meningkatkan kelarutannya
dalam air ditambahkan emulsifier Tween 20 sebanyak 0.2%. Persentase daya
hambat minyak serai wangi yang lebih tinggi dibanding minyak cengkeh
menunjukkan bahwa untuk pengendalian terhadap bakteri, minyak serai
wangi lebih efektif. Bahan aktif minyak cengkeh adalah eugenol 35%,
sedangkan pada minyak serai wangi adalah sitronella 35%. Penelitian Hartati
et al. (1994) menunjukkan bahwa minyak serai wangi dapat menghambat
pertumbuhan bakteri patogen secara in-vitro seperti Pseudomonas
solanacarum dan Bacillus sp.
2
1.8
1.6
Daya Hambat (%)
1.4
1.2
1 IR-64
0.8
0.6 Ciherang
0.4
0.2
0
1
3
4
2
3
4
1
2
l
ro
P
P
P
P
P
P
P
P
nt
s.
c.
c.
c.
c.
s.
s.
s.
Ko
M
M
M
M
M
M
M
M
Jenis dan Konsentrasi Bakterisida Nabati
Gambar 6. Perbandingan daya hambat bakterisida nabati: Mc (minyak
cengkeh), Ms (minyak serai wangi). P1 (0.5%), P2 (1%), P3
(1.5%), P4 (2%).
38. 26
b. Uji Fitotoksisitas Bakterisida terhadap Benih Padi
Bakterisida Sintetis
Uji fitotoksisitas bakterisida sintetis menunjukkan bahwa dari empat
konsentrasi bakterisida Agrept 20 WP, peningkatan viabilitas dan vigor
tertinggi terdapat pada konsentrasi 0.2% baik pada IR-64 maupun Ciherang.
Pada varietas IR-64 perlakuan Agrept 0.2% menunjukkan persentase tertinggi
terhadap semua tolok ukur yaitu daya berkecambah sebesar 88%, indeks
vigor sebesar 78.5%, dan kecepatan tumbuh sebesar 29.1%/etmal (Tabel 2).
Peningkatan semua tolok ukur pada perlakuan Agrept 0.2% nyata dibanding
Agrept 0% tetapi tidak nyata dibanding Agrept 0.1%, 0.3% dan 0.4%. Pada
perlakuan Agrept 0.1% - 0.4% tidak ditemukan adanya gejala toksisitas
seperti persentase kecambah abnormal dan benih segar tidak tumbuh yang
tinggi, serta ciri-ciri kecambah toksik (Gambar Lampiran 1).
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi Agrept 20 WP terhadap daya berkecambah
(DB), indeks vigor (IV), dan kecepatan tumbuh (KCT) pada varietas
IR-64
Konsentrasi
Tolok Ukur
0% 0.1% 0.2% 0.3% 0.4%
DB (%) 76 b 83 ab 88 a 86 ab 83 ab
IV (%) 66.5 b 75.5 ab 78.5 a 78 a 73.5 ab
KCT (%/etmal) 24.9 b 26.8 ab 29.1 a 26.8 ab 24.6 b
Ket: Angka dalam kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Uji fitotoksisitas bakterisida sintetis pada varietas Ciherang
menunjukkan indikasi yang tidak berbeda dari varietas IR-64 (Tabel 3).
Perlakuan Agrept 0.2% menunjukkan persentase daya berkecambah, indeks
vigor, dan kecepatan tumbuh tertinggi dibanding seluruh perlakuan yaitu
berturut-turut 94%, 86.5%, dan 33.3 %/etmal. Perlakuan Agrept 0.2%
menunjukkan peningkatan yang nyata dibanding Agrept 0% dan 1%, tetapi
tidak nyata dibanding Agrept 0.3% dan 0.4%. Perlakuan Agrept 0.1% - 0.4%
juga tidak menunjukkan adanya gejala toksisitas seperti pada varietas IR-64.
39. 27
Tabel 3. Pengaruh konsentrasi Agrept 20 WP terhadap daya berkecambah
(DB), indeks vigor (IV), dan kecepatan tumbuh (KCT) pada varietas
Ciherang
Konsentrasi
Tolok Ukur
0% 0.1% 0.2% 0.3% 0.4%
DB (%) 84 b 82 b 94 a 88 ab 89.5 ab
IV (%) 72 b 78 ab 86.5 a 79 ab 81 ab
KCT (%/etmal) 27.9 c 29.8 bc 33.3 a 32.1 ab 31.4 ab
Ket: Angka dalam kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Pada pengujian bakterisida sintetis, gejala toksisitas yang tidak
muncul menandakan bahwa seluruh konsentrasi bakterisida yang diujikan
relatif aman digunakan untuk perlakuan benih. Perlakuan Agrept 0.2% dipilih
untuk pengujian selanjutnya (matriconditioning plus bakterisida sintetis),
selain karena terdapat indikasi peningkatan yang nyata pada semua tolok ukur
baik pada varietas IR-64 mupun Ciherang, juga ditinjau dari aspek resistensi
patogen. Bila pada konsentrasi 0.2% sudah efektif sebaiknya konsentrasinya
tidak perlu ditingkatkan. Penggunaan bakterisida sintetis yang berlebihan
dapat memberikan efek resisten pada patogen sehingga penggunannya harus
ditekan seefektif dan seefisien mungkin (Sigee, 1993). Konsentrasi yang lebih
rendah juga akan menekan biaya pengendalian bila digunakan pada skala
luas.
Bakterisida Nabati
Pada uji fitotoksisitas bakterisida nabati, perlakuan minyak serai
wangi 1% menunjukkan peningkatan terhadap beberapa tolok ukur.
Pengujian pada varietas IR-64 menunjukkan peningkatan daya berkecambah
dibanding perlakuan minyak serai wangi 0% (Tabel 4). Pada tolok ukur
indeks vigor dan kecepatan tumbuh, perlakuan minyak serai wangi 1%
menunjukkan penurunan dibanding perlakuan minyak serai wangi 0%.
Penurunan indeks vigor dan kecepatan tumbuh yang terjadi tidak nyata,
sehingga minyak serai wangi konsentrasi 1% masih merupakan perlakuan
yang aman bagi benih (tidak mempengaruhi viabilitas dan vigor benih).
Penurunan yang nyata terhadap seluruh tolok ukur baru terjadi pada
perlakuan minyak serai wangi 1.5 dan 2%. Gejala toksisitas ditemukan pada
40. 28
konsentrasi 1.5% dengan nilai 3% dan konsentrasi 2% dengan nilai 5%.
Gejala toksisitas muncul dengan ciri-ciri kecambah abnormal yaitu kecambah
dengan sistem perakaran lemah (akar primer tumbuh tetapi akar seminal
sekunder tidak tumbuh) (Gambar Lampiran 1). Gejala toksisitas juga dapat
ditunjukkan dengan persentase benih tidak tumbuh yang tinggi. Konsentrasi
bakterisida yang terlalu tinggi dapat meracuni benih sehingga mempengaruhi
viabilitas dan vigor benih.
Tabel 4. Pengaruh konsentrasi minyak serai wangi terhadap daya
berkecambah (DB), indeks vigor (IV), dan kecepatan tumbuh (KCT)
pada varietas IR-64
Konsentrasi
Tolok Ukur
0% 0.5% 1.0% 1.5% 2.0%
DB (%) 76 a 83 a 80.5 a 64 b 74 ab
IV (%) 66.5 a 64.5 a 65 a 45 b 39.5 b
KCT (%/etmal) 26.9 a 24.1 b 25.4ab 21.4 c 19.6 c
Ket: Angka dalam kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Pada varietas Ciherang perlakuan minyak serai wangi 1%, tidak
mengindikasikan peningkatan viabilitas dan vigor dibanding perlakuan
minyak serai wangi 0%. Pada daya berkecambah perlakuan minyak serai
wangi 1% menunjukkan persentase yang sama dengan perlakuan minyak
serai wangi 0% yaitu sebesar 84% (Tabel 5). Perlakuan minyak serai wangi
1% menunjukkan penurunan indeks vigor dibanding kontrol tetapi masih
menunjukkan peningkatan dibanding perlakuan minyak serai wangi 0.5 %,
1.5%, dan 2%. Perlakuan minyak serai wangi 1% juga menunjukkan
penurunan pada kecepatan tumbuh tetapi tidak nyata dibanding perlakuan
minyak serai wangi 0% dan masih menunjukkan peningkatan dibanding
perlakuan minyak serai wangi 0.5%, 1.5%, dan 2%. Namun demikian
perlakuan minyak serai wangi 1% masih relatif aman digunakan untuk
perlakuan benih karena belum menunjukkan gejala toksisitas. Gejala
toksisitas muncul pada konsentrasi 1.5% sebesar 5.5% dan konsentrasi 2%
sebesar 6.5% seperti pada varietas IR-64. Varietas Ciherang cenderung lebih
responsif terhadap perlakuan minyak serai wangi (konsentrasi 0.5% - 2%),
41. 29
terlihat dari respon toksisitas yang tinggi serta penurunan viabilitas dan vigor
dibanding perlakuan minyak serai wangi 0%.
Tabel 5. Pengaruh konsentrasi minyak serai wangi terhadap daya
berkecambah (DB), indeks vigor (IV), dan kecepatan tumbuh (KCT)
pada varietas Ciherang
Konsentrasi
Tolok Ukur
0% 0.5% 1.0% 1.5% 2.0%
DB (%) 84 a 80 ab 84 a 74 bc 66.5 c
IV (%) 78 a 61 b 66 ab 39.5 c 37.5 c
KCT (%/etmal) 27.9 a 24.7 ab 25.5 a 20.7 b 20.3 b
Ket: Angka dalam kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Pada akhir percobaan II dipilih bakterisida sintetis Agrept dengan
konsentrasi 0.2% yang terbukti efektif, tidak toksik serta mengindikasikan
peningkatan daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh.
Bakterisida nabati minyak serai wangi dipilih karena memiliki luas
penghambatan yang lebih besar dibanding minyak cengkeh meskipun tidak
berbeda nyata. Minyak serai wangi konsentrasi 1% dipilih karena terbukti
efektif menghambat pertumbuhan bakteri X. oryzae pv. oryzae dan tidak
toksik terhadap benih, walaupun pada varietas Ciherang beberapa tolok ukur
fisiologis menunjukkan penurunan viabilitas dan vigor dibanding minyak
serai wangi konsentrasi 0%.
Percobaan III
Matriconditioning Plus Bakterisida Sintetis atau Nabati
Hasil percobaan III varietas IR-64 mengindikasikan peningkatan viabilitas dan
vigor pada perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 0.2%, dan
matriconditioning plus minyak serai wangi 1% (Tabel 6). Pada tolok ukur daya
berkecambah perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 0.2%, dan
matriconditioning plus minyak serai wangi 1% menunjukkan peningkatan yang nyata
dengan persentase berturut-turut 95%, 92.5%, dan 87.5% dibanding kontrol yang
hanya sebesar 74%. Perlakuan ini juga menghasilkan persentase daya berkecambah
tertinggi dibanding perlakuan Agrept 0.2% dengan 82.5% dan minyak serai wangi
1% dengan 76.5%.
42. 30
Semua perlakuan kecuali minyak serai wangi 1% menunjukkan peningkatan
indeks vigor dibanding kontrol. Penurunan pada perlakuan minyak serai wangi 1%
dengan nilai 57.5 % tidak berbeda nyata dibanding kontrol dengan nilai 60%.
Perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2% menunjukkan peningkatan indeks
vigor tertinggi dibanding perlakuan lainnya yaitu 87.5%.
Pada tolok ukur kecepatan tumbuh terdapat indikasi yang berbeda, perlakuan
Agrept 0.2% menunjukkan kecepatan tumbuh tertinggi yakni sebesar 29.11%/etmal.
Perlakuan matriconditioning (27.67%/etmal), minyak serai wangi 1%
(24.13%/etmal), dan matriconditioning plus Agrept 0.2% (24.09 %/etmal) masih
menunjukkan kecepatan tumbuh yang lebih tinggi dibanding kontrol (21.72
%/etmal). Penurunan terjadi pada matriconditioning plus minyak serai wangi 1%
yaitu 19.75 %/etmal.
Perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 0.2%, dan
matriconditioning plus minyak serai wangi 1% menunjukkan peningkatan bobot
kering kecambah normal yang nyata dengan bobot kering berturut-turut 0.85 g, 0.81
g, dan 0.75 g, dibandingkan kontrol yang hanya mencapai bobot kering 0.61 g.
Perlakuan Agrept 0.2% dan minyak serai wangi 1% juga menunjukkan peningkatan
bobot kering kecambah normal yakni sebesar 0.66 g dan 0.65 g, tetapi tidak berbeda
nyata dibanding kontrol.
Tolok ukur T50 menunjukkan bahwa semua perlakuan benih dapat
menurunkan waktu yang dibutuhkan untuk pencapaian total 50% perkecambahan
dibanding kontrol. Perlakuan matriconditioning dengan 4.5 hari, matriconditioning
plus Agrept 0.2% dengan 4.4 hari, dan matriconditioning plus minyak serai wangi
1% dengan 4.6 hari memiliki waktu pencapaian total 50% perkecambahan paling
cepat dibandingkan perlakuan lain dan kontrol yang baru mencapai total 50%
perkecambahan pada 6.7 hari.
Hasil uji patologis menunjukkan, perlakuan tanpa menggunakan bakterisida
memiliki jumlah X. oryzae pv. oryzae tertinggi yaitu pada kontrol sebesar 51 cfu dan
pada matriconditioning sebesar 33.5 cfu.. Perlakuan matriconditioning plus Agrept
0.2% dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% dapat menurunkan jumlah
X. oryzae pv. oryzae terbawa benih hingga 100% yaitu 0 cfu.
43. 31
Tabel 6. Pengaruh perlakuan benih terhadap daya berkecambah (DB), indeks vigor
(IV), kecepatan tumbuh (KCT), bobot kering kecambah normal (BKKN), T50,
dan tingkat infeksi (TI) patogen pada varietas IR-64
Tolok Ukur
Perlakuan DB IV KCT BKKN T50 TI
(%) (%) (%/etmal) (g) (hari) (cfu)
Kontrol 74 d 60 c 21.72 cd 0.61 c 6.7 a 51 a
Agrept 0.2% 82.5 c 78 b 29.11 a 0.66 c 5.5 c 3.75 c
Minyak serai wangi 1% 76.5 d 57.5 c 24.13 bc 0.65 c 6.2 b 5.25 c
Matriconditioning (M) 95 a 85 a 27.67 ab 0.85 a 4.5 d 33.5 b
M+Agrept 0.2% 92.5 ab 87.5 a 24.09 bc 0.81 a 4.4 d 0 d
M+minyak serai wangi 1% 87.5 bc 82.5 ab 19.75 d 0.75 b 4.6 d 0 d
Ket: Angka dalam baris yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Hasil percobaan III pada varietas Ciherang (Tabel 7) menunjukkan
kecenderungan yang tidak berbeda dengan varietas IR-64. Hampir pada semua tolok
ukur perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 0.2%, dan
matriconditioning plus minyak serai wangi menunjukkan peningkatan yang nyata
dibanding kontrol.
Pada tolok ukur daya berkecambah semua perlakuan benih mengindikasikan
peningkatan dibanding kontrol. Perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2%,
matriconditioning, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1%
menunjukkan peningkatan daya berkecambah yang nyata dengan nilai 96%, 94.5%,
dan 90% dibanding kontrol dengan daya berkecambah 76%. Perlakuan Agrept 0.2%
juga menunjukkan peningkatan daya berkecambah yang nyata dibanding kontrol.
Hasil yang diperoleh pada indeks vigor menunjukkan perlakuan
matriconditioning plus Agrept 0.2%, matriconditioning, matriconditioning plus
minyak serai wangi 1%, dan Agrept 0.2% menunjukkan peningkatan indeks vigor
yang nyata dengan persentase berturut-turut 90%, 88.5%, 84%, dan 80.5%
dibanding kontrol yang hanya sebesar 60.5%. Penurunan indeks vigor terjadi pada
perlakuan minyak serai wangi 1% dengan 59% tetapi tidak nyata dibanding kontrol.
Perlakuan Agrept 0.2% menunjukkan kecepatan tumbuh tertinggi yaitu
32.12%/etmal. Perlakuan matriconditioning (27.47%/etmal), minyak serai wangi
1% (25.48%/etmal), dan matriconditioning plus Agrept 0.2% (24.02%/etmal) masih
menunjukkan peningkatan kecepatan tumbuh dibanding kontrol dengan 22.93
44. 32
%/etmal. Penurunan kecepatan tumbuh terdapat pada perlakuan matriconditioning
plus minyak serai wangi 1% dengan persentase 19.75 %/etmal.
Indikasi peningkatan juga ditunjukkan pada tolok bobot kering kecambah
normal. Seluruh perlakuan benih menunjukkan peningkatan bobot kering kecambah
normal dibanding kontrol. Perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus
Agrept 0.2%, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% menunjukkan
peningkatan bobot kering kecambah normal yang nyata yaitu berturut-turut 0.86 g,
0.83 g, dan 0.76 g dibanding kontrol dengan bobot 0.61 g.
Pada tolok ukur T50 semua perlakuan benih mampu menurunkan waktu yang
dibutuhkan untuk pencapaian total 50% perkecambahan. Perlakuan
matriconditioning dengan 4.4 hari, matriconditioning plus Agrept 0.2% dengan 4.2
hari, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% dengan 4.4 hari memiliki
waktu pencapaian total 50% perkecambahan (T50) tercepat dan berbeda nyata
dibanding kontrol yang baru mencapai total 50% perkecambahan pada 6.7 hari.
Uji patologis dengan metode grinding pada varietas Ciherang menunjukkan
semua perlakuan benih mampu menurunkan keberadaan bakteri X. oryzae pv.
oryzae terbawa benih secara nyata. Perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2%
dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% mampu mereduksi keberadaan
X. oryzae pv. oryzae terbawa benih hingga 100% yaitu 0 cfu, jauh lebih rendah jika
dibanding tanpa perlakuan kontrol sebesar 40 cfu dan perlakuan matriconditioning
sebesar 29.5 cfu.
Tabel 7. Pengaruh perlakuan benih terhadap daya berkecambah (DB), indeks vigor
(IV), kecepatan tumbuh (KCT), bobot kering kecambah normal (BKKN), T50,
dan tingkat infeksi (TI) pada varietas Ciherang
Tolok Ukur
Perlakuan DB IV KCT BKKN T50 TI
(%) (%) (%/etmal) (g) (hari) (cfu)
Kontrol 76 d 60.5 d 22.93 c 0.61 d 6.7 a 40 a
Agrept 0.2% 85 c 80.5 ab 32.12 a 0.69 c 5.4 c 3 c
Minyak serai wangi 1% 79.5 d 59 d 25.48 bc 0.65 cd 6.0 b 4 c
Matriconditioning (M) 94.5 ab 88.5 ab 27.47 b 0.86 a 4.4 d 29.5 b
M+Agrept 0.2% 96 a 9a a 24.02 bc 0.83 a 4.2 d 0 d
M+minyak serai wangi 1% 90 bc 84 bc 19.75 d 0.76 b 4.4 d 0 d
Ket: Angka dalam baris yang diikuti huruf yang sama tidak nyata berdasarkan uji
DMRT pada taraf 5%
45. 33
Secara garis besar perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus
Agrept 0.2%, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% menunjukkan
peningkatan mutu fisiologis pada varietas IR-64 maupun Ciherang. Pada tolok ukur
viabilitas benih, perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 0.2%,
serta matriconditioning plus minyak serai wangi 1% menunjukkan peningkatan daya
berkecambah dan bobot kering kecambah normal yang signifikan dibandingkan
perlakuan kontrol maupun perlakuan perendaman benih saja. Indikasi yang sama
terlihat pada tolok ukur vigor benih, perlakuan matriconditioning, matriconditioning
plus Agrept 0.2%, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% mampu
meningkatkan indeks vigor dan menurunkan T50 dibanding kontrol. Pada tolok ukur
kecepatan tumbuh, perlakuan matriconditioning dan matriconditioning plus Agrept
0.2% menunjukkan peningkatan dibanding kontrol, tetapi terjadi penurunan pada
perlakuan matriconditioning plus minyak serai wangi 1%.
Perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 02% dan
matriconditioning plus minyak serai wangi 1% mampu meningkatkan viabilitas dan
vigor benih karena imbibisi air ke dalam benih yang terkontrol oleh faktor media
(arang sekam). Khan et al. (1992) menyatakan, perlakuan matriconditioning
memiliki fase imbibisi yang lebih lama dibanding perlakuan perendaman benih saja.
Fase imbibisi yang cepat seperti pada perlakuan perendaman benih dapat
menyebabkan rusaknya membran dikarenakan masuknya air ke dalam benih yang
terlalu cepat. Suryani (2003) menyatakan, perlakuan matriconditioning plus
fungisida sintetik Dithane 0.2% pada benih cabai menunjukkan peningkatan daya
berkecambah, potensi tumbuh maksimum, bobot kering kecambah normal, indeks
vigor, kecepatan tumbuh relatif, laju pertumbuhan kecambah dan menurunkan T50.
Penelitian Mariam (2006) menunjukkan bahwa perlakuan matriconditioning plus
minyak serai wangi 0.25% pada benih cabai merah dapat meningkatan tinggi
tanaman, bobot kering tanaman, bobot buah rata-rata, potensi tumbuh maksimum,
bobot kering kecambah normal, dan T50.
Hasil uji mutu patologis terhadap varietas IR-64 dan Ciherang menunjukkan
perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2% dan matriconditioning plus minyak
serai wangi 1% sama-sama mampu mereduksi X. oryzae pv. oryzae terbawa benih
hingga 100%. Perlakuan matriconditioning saja walaupun memiliki mutu fisiologis
46. 34
yang tinggi, tidak dapat menurunkan X. oryzae pv. oryzae terbawa benih karena
arang sekam tidak mengandung zat yang dapat menghambat pertumbuhan patogen.
Arang sekam hanya mengandung unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan
tanaman (Suryani, 2003). Untari (2003) menambahkan, semakin tinggi tingkat
kontaminasi patogen terbawa benih tidak menunjukkan penurunan viabilitas dan
vigor benih, namun demikian viabilitas dan vigor benih yang tinggi tidak menjamin
benih tersebut bebas patogen terbawa benih. Pada perlakuan matriconditioning plus
Agrept 0.2% dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% ditemukan koloni
putih yang mampu membentuk zona penghambatan di sekelilingnya. Diduga koloni
inilah yang menghambat pertumbuhan X. oryzae pv. oryzae. Sigee (1993)
menyatakan, bahan aktif pada bakterisida dilepaskan dalam bentuk agens toksik
berupa ion yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri hingga menyebabkan sel
bakteri patogen mati, pada kondisi lain bakterisida tidak membunuh secara langsung
tetapi mempengaruhi metabolisme tanaman yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri patogen.
Perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2% memiliki keunggulan dari
efektivitas penggunaan bahan dibanding perlakuan matriconditioning plus minyak
serai wangi 1%. Pada konsentrasi bakterisida yang lebih rendah, perlakuan
matriconditioning plus Agrept 0.2% mampu mereduksi X. oryzae pv. oryzae
terbawa benih serta meningkatkan viabilitas dan vigor benih. Namun demikian,
perlakuan benih relatif lebih ekonomis jika dibandingkan pengendalian di lapang
pada fase tanaman dewasa dan kondisi terserang penyakit yang membutuhkan
bakterisida lebih banyak dengan biaya lebih tinggi. Perlakuan matriconditioning
plus minyak serai wangi memiliki keunggulan lain, minyak serai wangi selain anti
bakteri juga berfungsi sebagai anti fungal (fungisida). Pada perlakuan
matriconditioning plus minyak serai wangi 1%, serangan cendawan relatif jarang
ditemukan dibanding perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2%.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa uji mutu fisiologis saja pada
benih tidak cukup untuk menunjukkan benih tersebut bermutu, uji patologis
diperlukan untuk mengidentifikasi patogen terbawa benih. Keberadaan patogen
terbawa benih merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kejadian
penyakit pada pertanaman di lapang.