Banjir parah melanda 7 kabupaten di Riau pada tahun 2002, menyebabkan kerugian langsung sebesar Rp143,9 miliar dan total kerugian sebesar Rp793,3 miliar setelah memperhitungkan dampak pengganda. Total kerugian ini melebihi anggaran pembangunan ketujuh kabupaten tersebut dan mencapai 64% dari anggaran pembangunan provinsi Riau, menunjukkan investasi besar di sektor publik untuk menceg
Lembar Informasi 112004 Banjir Riau Siapa Yang Rugi
1. Banjir Melanda: Siapa Rugi?
Potret Kerugian Banjir di Wilayah Administratif Provinsi Riau
Kerugian masyarakat akibat banjir diperkirakan mencapai hingga ratusan milyar rupiah. Dari 15
kabupaten yang ada dalam wilayah administratif Provinsi Riau, 7 diantaranya tertimpa banjir.
Sebaran titik-titik banjir berbeda untuk setiap kabupaten.
Kabupaten Kerugian
Di Kabupaten Rokan Hulu Banjir melanda 32 desa yang berada di 8 kecamatan. Diperkirakan
3.923 KK atau sekitar 16.698 jiwa menjadi korban. Ketinggian air per
Desember 2002 diperkirakan mencapai 2 hingga 4 meter dari ketinggian
normal.
Di Kabupaten Rokan Hilir Banjir melanda 5 Kecamatan yaitu Tanah Putih, Rimba Melintang,
Pujud, Bangko dan Kubu. Lebih dari 1.865 unit rumah tersapu air dan
kerusakan lahan sawah mencapai 1.637 Ha, Kebun/Ladang 872 Ha dan
keramba yang hanyut 3 buah. Kerusakan fasilitas umum mencapai
9,986 km untuk jalan umum, 21 unit jembatan, 5 unit bangunan sekolah
serta 5 unit rumah ibadah. Bencana banjir kali ini ini juga menimbulkan
penyakit terhadap 444 penduduknya.
DI Pekanbaru Banjir telah merusak sekitar 180 unit kolam ikan, menghanyutkan sekitar
160 unit keramba. Jumlah ternak yang mati tercatat 800 ekor ayam/itik,
5 ekor kambing serta menyebabkan terendamnya 764 rumah warga
(DinSos dan Pemakaman Kota Pekanbaru akhir Januari 2003)
Di Kabupaten Kuantan Singingi Banjir pada awal Januari tahun ini terjadi di 9 kecamatan. Sekitar 6.000
jiwa harus hidup di tempat penampungan korban banjir dengan fasilitas
yang sangat terbatas. Korban ternak mencapai 1.500 ekor ayam
disamping Kambing yang juga diperkiran hingga ratusan ekor. Lebih
menyedihkan lagi, banyak sawah, kebun, ladang dan kolam ikan yang
terendam banjir. Pemulihan pasca banjir menjadi lebih berat mengingat
fasilitas umum berupa jembatan, jalan, sekolah dan rumah ibadah
banyak yang mengalami kerusakan parah.
Di Kabupaten Kampar Luas lahan pertanian Palawija yang terendam banjir mencapai sekitar
1.237.08 ha, Jeruk 149.9 ha, Pisang 511,29 ha. Bibit Karet yang
mengalami kerusakan mencapai hingga sekitar 1.200 batang, Bibit Sawit
13.993 batang, Keramba Ikan 396 buah dan Kolam Ikan 96 buah.
Ternak yang mati antara lain Kerbau 15 ekor, Kambing 62 ekor dan
Ayam 76.437 ekor. Belum lagi Puskesmas yang mengalami kerusakan
sebanyak 5 buah, bangunan sekolah 11 buah jalan kabupaten/desa
sekitar 29,5 kilometer, rakit 3 unit serta jembatan 7 unit.
Di Kabupaten Indragiri Hulu Banjir telah menyebabkan kerusakan dibeberapa kecamatan, dengan
intensistas yang berbeda-beda. Di Peranap, tingkat kerusakan lahan
budidaya termasuk kolam ikan sekitar 97,6 ha dengan total kerugian
akibat gagal panen diperkirakan mencapai hingga Rp 366,3 juta.
Kerusakan lahan budidaya (pertanian+perikanan) sekitar 142,5 ha
dengan kerugian sekitar Rp 447,5 juta. Kerusakan lahan pertanian
mencapai 42 ha dengan kerugian sekitar Rp 122,1 juta di Kecamatan
Pasir Penyalaian. Selain itu kerugian akibat kegagalan panen karena
kerusakan lahan pertanian di beberapa kecamatan lainnya seperti
kecamatan Siberida, R. Barat, Btg. Cinaku, Btg. Gangsal dan Rengat,
juga terjadi. Secara keseluruhan, Pemda Kabupaten Indragiri Hulu pada
Januari 2003 lalu memperkirakan kerugian karena kegagalan panen
sekitar Rp 2,3 miliar dengan sekitar 6.194 lahan pertanian (termasuk
1
2. kolam) mengalami kerusakan.
Di Kabupaten Pelalawan Diperkirakan, jumlah penduduk yang mengalami penderitaan sebagai
akibat banjir yang terjadi akhir tahun 2002 sekitar 10.958 jiwa. Sekitar
1.718 unit rumah terendam banjir. Air juga merendam sekitar 814,5 ha
lahan pertanian, merusak sekitar 80 unit keramba ikan, tewasnya 812
ekor ayam, 60 ekor kambing, 7 ekor sapi, menyebabkan 88 orang
terkena wabah penyakit, menyebabkan kerusakan 19 unit sekolah, 9
unit rumah ibadah, kerusakan 9 km jalan umum dan 24 jembatan.
TOTAL KERUSAKAN
Kerusakan Lahan Pertanian
Perhitungan ekonomi secara total memperlihatkan bahwa kerusakan yang terjadi pada ladang
pertanian dan kebun penduduk telah menimbulkan kerugian sekitar Rp 23,2 miliar dengan
kerusakan sekitar 5.104 ha sawah. Kerugian ini barulah merupakan kerugian di sektor pertanian
yang bersifat langsung.
Kerusakan Ladang Hortikultura
Kerusakan hampir terjadi merata pada ladang-ladang produksi komoditas jagung, palawija, dan
tanaman hortikultura lainnya. Dari hasil perhitungan ditemukan bahwa kerugian yang relatif besar
adalah
1. Ladang jagung yang mencapai hingga Rp 513,19 juta, dengan kerusakan lahan mencapai
195,5 hektar
2. Ladang cabe sebesar Rp 239,25 juta, dengan kerusakan lahan mencapai 66 hektar.
3. Kerusakan lahan pertanian lainnya yang besar juga terjadi pada lahan kacang panjang,
ubi kayu, ketimun, kacang tanah dan kedelai.
Kerusakan Sektir Budidaya Perikanan Darat
1. Kolam ikan mencapai 350 unit, dengan nilai kerugian sebesar Rp 175 juta.
2. Keramba yang hanyut sekitar 479 buah dengan nilai kerugian sebesar Rp 359,25 juta.
Besarnya nilai kerugian keramba ditambah dengan modal pembuatannya yang memerlukan input
seperti jaring, kayu/bambu atau peralatan lainnya dengan biaya mencapai Rp 500 ribu + tenaga
kerja selama masa pembuatannya.
Kerusakan Sektor Peternakan
1. Ternak ayam yang mati mencapai hingga 80.000 ekor, dengan total kerugian diatas satu
miliar rupiah.
2. Ternak kambing yang mati sekitar 332 ekor dengan kerugian sekitar Rp 166 juta
3. Ternak sapi yang mencapai 107 ekor, atau kerugian hingga diatas 200 juta rupiah.
Kerusakan Infrastruktur
Kerugian yang ditimbulkan oleh rusaknya beberapa infrastruktur milik masyarakat ataupun
infrastruktur umum adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan kerugian yang terjadi di
sektor-sektor lain.
1. Rumah rusak mencapai 5.993 rumah rusak dengan kerugian mencapai hingga 90 miliar
2
3. rupiah.
2. Kerusakan jalan umum sepanjang hampir 62 kilometer mencapai 7,7 miliar rupiah.
3. Kerusakan jembatan mencapai 63 unit dengan nilai kerugian sebesar Rp 393,75 juta
4. Kerusakan sekolah mencapai 74 unit dengan nilai Rp 2,2 miliar,
5. Puskesmas 5 unit dengan nilai Rp 50 juta,
6. Rumah ibadah mencapai 77 unit dengan nilai kerusakan Rp 770 juta, Rakit
penyeberangan mencapai 7 unit dengan nilai Rp 14 juta serta
7. Dermaga mencapai 7 unit dengan nilai Rp 7 juta.
Penilaian kerugian langsung dilakukan dengan cara menginventarisasi seluruh kerugian resmi
yang dilaporkan kepada Gubernur Riau oleh ketujuh kabupaten tersebut dan menetapkan nilai
yang masuk akal terhadap setiap kerugian tersebut. Namun, dampak kerugian tersebut tidak
hanya memiliki dampak langsung, karena nilai tersebut sangatlah undervalued. Kerugian-kerugian
tersebut memiliki dampak pengganda (multiplier effect) yang harus diperhitungkan karena nilai
tersebut memiliki dampak yang lebih besar dan lebih luas. Dengan memperhitungkan dampak
pengganda tersebut dengan setiap sub sektor yang menderita banjir maka akan didapat kerugian
yang menyeluruh (total lost)
Analisa WALHI Riau menghasilkan temuan yang luar biasa.
Kerugian langsung akibat banjir di tujuh kabupaten di Riau adalah sebesar Rp 143,9 milyar
rupiah. Setelah memperhitungkan dampak pengganda masing masing sektor didapat angka yang
jauh lebih besar, yaitu Rp 793,3 milyar.
Yang harus APBD TA 2002 untuk 7 Sektor Publik
diperhatikan bahwa
angka tersebut
melebihi nilai APBD
pengeluaran
Total Los t dari
Banjir
7 Kabupaten yang
terlanda banjir
Total Los t dari B anjir
Propinsi Riau 7 K abupaten y ang
terlanda banjir
P ropins i Riau
0
0
0
0
0
0
0
00
00
00
00
00
00
0,
0,
0,
0,
0,
0,
00
20
20
40
60
80
1,
1,
Nila i d a la m Ju ta R u p ia h
pembangunan setiap kabupaten yang terkena banjir. Bahkan kerugian menyeluruh tersebut
mencapai 64% dari Anggaran Pengeluaran Pembangunan Propinsi Riau 2002.
3
4. Hal yang juga harus dicermati adalah adanya pos-pos pengeluaran di APBD propinsi Riau maupun
APBD kabupaten-kabupaten di Riau, terutama tujuh pos penting pengeluaran pembangunan
dalam pembangunan sektor publik yang memiliki keterkaitan yang erat dengan fenomena banjir di
Riau. Sektor-sektor tersebut adalah sektor pertanian dan kehutanan, sektor sumber daya air dan
irigasi, sektor transportasi, sektor pembangunan daerah dan pemukiman, sektor lingkungan hidup
dan tata ruang, sektor kesehatan, kesejahteraan social, peranan wanita, anak dan remaja, dan
sektor perumahan dan pemukiman.
Selama tahun 2002, investasi sektor publik yang dilakukan oleh 7 kabupaten tersebut
diorientasikan untuk meningkatkan kesejahteraan kabupaten-kabupaten tersebut, tentu saja
dengan penduduk sebagai sasaran utamanya. Bahkan, investasi untuk 7 sektor seperti yang
disebutkan di atas memiliki proporsi yang besar terhadap anggaran pengeluaran pembangungan,
yakni mencapai 86% untuk APBD TA 2002 Propinsi Riau.
Yang patut disayangkan sekaligus dipertanyakan adalah ketidakberhasilan investasi di sektor
publik ini untuk menanggulangi bencana banjir dan bahkan sekedar untuk mengantisipasinya-pun
tidak sanggup. Dana yang sudah dikeluarkan sebagai dana investasi di sektor publik seolah-olah
menjadi sia-sia mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh bencana banjir. Investasi sia-
sia ini dapat disebut, dalam ilmu ekonomi sumber daya alam sebagai unproductive expenditure
(pengeluaran yang seharusnya tidak perlu dilakukan)
Alokasi APBD TA 2002 untuk investasi di tujuh sektor publik di ketujuh kabupaten tersebut,
memperlihatkan komposisi yang hampir sama. Untuk propinsi Riau, investasi ditujuh sektor publik
tersebut mencapai Rp 1,069 trilyun, dan tujuh kabupaten yang terlanda banjir menginvesatsikan
4
5. sebesar Rp 876,5 milyar, dengan total kerugian yang diderita mencapai Rp 793,3 milyar. Kerugian
tersebut mencapai 74% dari investasi propinsi Riau di tujuh sektor publik selama tahun 2002.
Sedangkan untuk tujuh kabupaten tersebut, kerugian mencapai 91% dari seluruh investasi di tujuh
sektor publik di kabupaten-kabupaten tersebut. Dengan mengasumsikan bahwa investasi sektor
publik tersebut telah dilaksanakan ketika banjir melanda, maka hal ini mengindikasikan investasi
sia-sia melalui investasi uang negara untuk kepentingan publik.
Bencana banjir ini diperkirakan memiliki dampak pengganda yang sangat besar. Apabila dirunut
lebih jauh, dampak ini ujung-ujungnya akan menyengsarakan masyarakat. Walaupun propinsi
Riau terkenal dengan industri yang berbasis sumber padat modal dalam hal ini industri minyak dan
gas, akan tetapi yang dilanda bencana banjir adalah daerah daerah yang memiliki ketergantungan
terhadap industri yang berbasis sumber daya alam nonmigas. Industri seperti ini memiliki
karakteristik yang berbeda dengan industri migas, karena industri ini bersifat padat karya bukan
padat modal. Hal ini menjelaskan mengapa nilai kerugian tidak langsung dan kerugian lanjutan
yang diderita oleh tujuh kabupaten tersebut melebihi nilai kerugian langsung.
Pertanyaan krusial lainnya adalah mampukah ketujuh kabupaten ini membiayai kerugian akibat
banjir? Apabila dibandingkan dengan jumlah Pendapatan Asli Daerah ketujuh kabupaten tersebut,
kerugian total yang diderita jauh lebih besar. Nilai PAD gabungan ketujuh kabupaten ini hanya
mampu membiayai 11% dari kerugian total yang diderita akibat banjir.
5
6. Perbandingan PAD 7 Kabupaten yang
Terkena Banjir dengan Kerugian Akibat
Banjir
800,000,000
700,000,000 PAD 7 Kabupaten
600,000,000
500,000,000 Direct Lost
400,000,000
Indirect + Induced
300,000,000 Lost
200,000,000 Total Lost
100,000,000
0
Ketidakmampuan PAD untuk membiayai kerugian banjir menempatkan pemerintah daerah pada
posisi yang sulit. Berbagai investasi sektor publik, khususnya tujuh sektor yang terkait dengan
perbaikan dan pembangunan sumber daya alam dan manusia, yang telah dikeluarkan pada tahun
anggaran 2002, seolah-olah hanyut terbawa banjir dipenghujung 2002. Untuk merehabilitasi
dampak dan kerugian tersebut dibutuhkan dana, minimal sebesar kerugian banjir secara
keseluruhan. Bagi pemerintah daerah, dana tersebut tidak dapat diperoleh dengan mengandalkan
PAD. Bahkan, sasaran pemerintah untuk meningkatkan PAD di tahun anggaran 2003 sebagai
hasil investasi di sektor publik terancam tidak tercapai karena objek-objek pajak dan retribusi
daerah banyak yang hancur. Sehingga kebijakan untuk memarjinalkan perbaikan lingkungan hidup
dan pembangunan sumberdaya alam lewat alokasi anggaran pembangunan yang tidak
proporsional, akan kontraproduktif terhadap Penerimaan Asli Daerah.
6