1. Dokumen tersebut membahas tentang sejarah perkembangan hukum penerbangan internasional sejak Konferensi Paris 1910 hingga Konvensi Paris 1919. 2. Pada Konferensi Paris 1910, negara-negara Eropa tidak mencapai kesepakatan mengenai status ruang udara di atas wilayah suatu negara. 3. Setelah gagalnya konferensi tersebut, negara-negara Eropa mulai menerapkan aturan sendiri-sendiri mengenai kedaulatan udara di atas
1. 1
BAB 1 PENGERTIAN DAN SUMBER HUKUM UDARA
A. PENGERTIAN HUKUM UDARA
Ada beberapa istilah mengenai hukum udara :
Hukum udara (air law) → sering digunakan dalam praktik karena lebih
luas meliputi berbagai aspek hukum konstitusi,administrasi, perdata,
dagang, komersial, pidana, pengangkutan, dll.
Hukum penerbangan (aviation law)
Hukum navigasi udara (air navigation law)
Hukum transportasi udara (air transportation law)
Hukum aeronautika (air-aeronautical law)
Hukum penerbangan (aerial law)
Pengertian hukum udara (air law) menurut verschoor adalah hukum dan
regulasi yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat bagi
penerbangan, kepentingan umum dan bangsa-bangsa di dunia.
B. Sumber Hukum Udara
a. Nasional
Peraturan perundang-undangan nasional dan perjanjian angkutan udara
internasional (bilateral air transport agreement)
b. Internasional (sumber hukum internasional diatur dalam pasal 38
piagam Mahkamah Internasional)
Perjanjian multilateral
Bilateral air transport agreement
Hukum kebiasaan internasional : perannya semakin berkurang
dengan adanya konvensi internasional karena kebiasaan
internasional kurang menjamin adanya kepastian hukum.
Prinsip-prinsip hukum umum : diatur dalam pasal 38 (1)
piagam mahkamah Internasional antara lain prinsip bonafide
(good faith), pacta sun servanda, abus de droit / misbruik van
recht, nebis in idem, equality rights, non lequit, tidak boleh
saling intervensi.
Ajaran Hukum / Doktrin : dalam hukum anglo saxon dikenal
adanya ajaran hukum udara mengenai pemindahan resiko dari
korban ke pelaku (perusahaan penerbangan) dan ajaran hukum
bela diri dimana pesawat udara sipil yang tidak bersenjata tidak
boleh ditembak karena tidak ada ancaman yang
membahayakan.
Yurisprudensi
BAB 2 KONFERENSI PARIS 1910 DAN KONVENSI PARIS 1919
Moda transportasi udara baru lahir sejak permulaan abad ke-17, diawali dengan
balon udara dan berkembang menjadi pesawat udara. Pesawat udara dapat
digunakan untuk berbagai keperluan tidak hanya untuk keperluan transportasi
udara tetapi dapat ppula digunakan untuk keperluan militer untuk digunakan
sebagai mata-mata tetapi pada saat itu belum ada dasar hukum yang mengatur
mengenai penerbangan dengan jelas. Prof. Ernest Nys dalam laporannya kepada
Institute of International Law tahu 1902 berpendapat masalahnya bukan pada
status udara melainkan terdapat pada penggunaan ruang udara. Ruangan dimana
terdapat udara yang menjadi tenaga dorong untuk pesawat dapat terbang.
2. 2
Maka dari itu pada tanggal 10 Mei sampai 29 Juni 1910 diadakan Konferensi
Paris 1990 yang dilatarbelakangi oleh banyaknya penerbangan di Eropa yang
tidak memperhatikan kedaulatan negara dibawahnya yang mana hal ini dapat
membahayakan terlebih jika pesawat udara yang digunakan pesawat militer untuk
memata-matai yang dapat mengancam keamanan negara dibawahnya. Dalam
Konferensi ini Membahas masalah status hukum ruang udara diatas wilayah
daratan dan perairan suatu negara berdaulat. Konferensi ini terbatas pada negara-
negara Eropa. Agenda konferensi Paris ini beragendakan masalah-masalah teknis
dan operasional pesawat udara seperti perbedaan pesawat udara yang digunakan
untuk militer dan untuk sipil, navigasi penerbangan, pendaftaran dan kebangsaan
pesawat udara, dll. Mengenai masalah mendasar mengenai ruang udara yang
digunakan untuk penerbangan internasional yang termasuk wilayah suatu negara
sepakat tidak dibahas oelh Inggris dan Prancis karena hal itu merupakan hak-hak
prerogative untuk melakukan penerbangan dari suatu negara ke negara lain.
Dalam konferensi Paris 1910 terdapat pendapat yang berbeda mengenai
pengaturan penerbangan Internasional dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
Prancis berpendapat bahwa mengenai prinsip-prinsip abstrak sehubungan dengan
hak-hak negara di atmosfer tidaklah terlalu penting, pendirian Prancis berdasarkan
prinsip teori kebebasan ruang udara yang dikemukan oleh Fauchille dimana
penerbangan diruang udara itu dapat dilakukan dengan bebas dan Negara tidak
dibenarkan untuk melakukan pembatasan apapun kecuali pembatasan tersebut
diperlukan untuk menjamin pertahanan dan keamanan Negara, melindungi
penduduk serta harta benda mereka. Namun dalam pendiriannya Prancis
menganut kebebasan ruang udara yang pada hakikatya hanya kebebasan semu
karena kebebasan tersebut tetap dibatasi dan harus sesuai dengan peraturan yang
tercantum di Konvensi ini.
Jerman berprinsip bahwa negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara
yang dapat digunakan (usable space) diatas daratan maupun diatas laut
teritorialnya. Dalam konsep yang diajukannya terdapat suatu pasal (pasal 11) yang
mengatakan bahwa pesawat udara negara anggota dibenarkan untuk tinggal
landas, mendarat dan atau terbang melalui wilayah udara negara anggota lainnya.
Apabila pasal ini diterima maka merupakan penyangkalan adanya hak lintas
damai yang merupakan hukum kebiasaan internasional yang berlaku untuk semua
pesawat udara negara, karena konvensi hanya memberikan hak lintas damai
kepada pesawat udara negara anggota saja.
Inggris pada prinsipnya menyataakan bahwa pemilik tanah mempunyai hak-hak
keperdataan di ruang udara diatas wilayah secara penuh dan utuh terhadap ruang
udara diatas wilayahnya. Inggris bermaksud mengakui adanya kedaulatan yang
penuh dan utuh terhadap ruang udara yang dapat digunakan (usable space).
Konferensi Paris 1910 tidak berhasil mencapai pemecahan tentang peaksanaan
penyelesaian masalah mengenai ruang udara diatass wilayah Negara. Kegagalan
tersebut disebabkan :
a. Keberatan Inggris menerima usul perubahan undang-undang perdatanya
khususnya mengenai status hukum hak-hak milik perorangan dari si
pemilik tanah di ruang udara.
b. Tidak terdapat kata sepakat dalam konvensi untuk mengadakan perlakuan
yang sama kepada pesawat udara asing dan pesawat udara nasional.
c. Sebab yang paling penting adalah hal-hal yang bersifat teoritis.
3. 3
Inggris, Jerman dan Prancis mengusulkan kompromi guna mencegah kegagalan
Konferensi Paris 1910 tetapi hal tersebut tidak berarti. Sampai akhirnya Prancis
berubah haluan dari penganut teori kebebasan udara menjadi sependapat dengan
jerman yang menyarankan hak-hak kedaulatan negara terhadap ruang udara diatas
wilayahnya. Pada umumnya negara peserta sependapat tentang satu hal yaitu
adanya hak-hak kedaultan negra terhadap ruang udara diatas wilayahnya dan tidak
satu negara yang menyangkal adanya hak untuk membatasi penerbangan pesawat
udara asing yang melintasinya. Hasil dari konferensi Paris 1910 adalah pokok-
pokok pembahasan mengenai:
a. Setiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang
udara diatasnya.
b. Tidak ada hak lintas damai bagi segala macam pesawat udara asing di
ruang udara diatas wilayah negara.
Tindakan yang diambil oleh negara-negara di eropa setelah gagalnya Konferensi
Paris 1910 adalah
INGGRIS
Pemerintah Inggris melakukan tindakan sepihak melarang segala bentuk
penerbangan diatas wilayah udaranya termsuk daerah jajahan. Inggris
mengeluarkan The Aerial Navigation Act of 1911 yang melarang semua
penerbangan dari dan atau ke wilayah kedaulatan Inggris tanpa memperoleh izin
terlebih dahulu.
PRANCIS
Prancis mengikuti tindakan sepihak Inggris, tanggal 21 November 1911
dikeluarkan keputusan presiden yang melarang semua pesawat udara asing (sipil
dan militer) terbang diatas wilayah perancis tanpa izin dari pejabat yang
berwenang terlebih dahulu.
JERMAN
Jerman juga menyataka berdaulat penuh diatas wilayah daratan maupun perairan
di samping itu jerman juga mengeluarkan The Air Navigation Bill of 1914 yang
mengatur izin pengangkutan penunmpang dan kargo komersial.
Negara-negara Eropa lainnya yang mengikuti jejak Inggris, Prancis dan Jerman
membuat peraturan mengenai kedaulatan terhadap ruang udara yang berada di
wilayahnya. Menjelang perang dunia pertama semua negara di Eropa tidak ada
yang protes terhadap tindakan sepihak yang mengatur ruang udara diatas wilayah
Negara. Sampai pada pecahnya perang dunia pertama semua negara di Eropa
tidak protes terhadap tindakan sepihak yang mengatur ruang udara di atas
wilayahnya. Pecahnya perag dunia pertama menggangu pembentukan dasr hukum
penerbangan sipil internasional secara universal disamping itu
pertumbahan,produksi dan penggunaan pesawat udara kian meningkat. Setelah
jerman dan sekutunya dikalahkan pada November 1918 setengah tahun kemudian
dibentuk komisi perdamaian dengan tujuan utama menyiapkan konsep konvensi
navigasi penerbangan Internasional. Dan pada tahun 1919 diadakan Konferensi
perdamaian komisi penerbangan yang terdiri dari Amerika serikat,Prancis, Inggris
Raya, Italia ditambah 2 perwakilan Jepang dan 5 perwakilan dari berbagai
kekuatan. Hasil dari konferensi ini adalah mengesahkan beberapa aturan
mengenai
a. Kedaulatan negara diatas daratan maupun perairan dan yurisdiksi diatas
wilayah udaranya
4. 4
b. Pemberian maksimum kebebasan navigasi penerbangan
c. Perlakuaan khusus kapal perang dan pesawat udara negara
d. Hak lintas penerbangan tanpa mendarat dan melakukan pertolongan yang
terjadi dalam keadaan darurat
e. Pungutan bandara harus seragam tanpa diskriminasi
f. Kerjasama kompensasi antarnegara dalam hal kerugian disebabkan oleh
pesawat udara
g. Membentuk konvvensi yang tidak akan mengatur hak dan kewajiban
negara netral perang dunia pertama
Konvensi Paris 1919 berjudul Convention Relating to the Regulation og Aerial
Navigation ditandatangani tanggal 13 Oktober 1919 yng mengatur tentang :
1. Kedaulatan Wilayah Negara : terdapat dalam pasal 1 dimana pasal ini
terbentuk berdasarkan hukum kebiasaan internasional.
2. Penerbangan Lintas Damai : terdapat dalam pasal 2 yang menyetujui
penerbangan lintas damai pesawat udara yang sudah didaftarkan di Negara
anggota lainnya, ketentuan ini hanya berlaku bagi pesawat udara sipil
negara anggota Konvensi Paris.
3. Zona larangan terbang : terdapat dalam pasal 3 dan 4 dimana penetapan
zona larangan terbang atas pertimbangan kepentingan pertahanan dan
kemanan nasional dengan ancaman hukuman, peraturan ini tidak boleh
diskrimansi terhadap pesawat sipil nasional dengan pesawat sipil asing.
NATO pernah menentapkan zona larangan terbang (no flight zone) di
Libya berdasarkan resolusi Dewan Keamana PBB pada tahun 1973 dengan
maksud melindungi kaum oposisi yang melawan pasukan loyal Moammar
Khadafi. Zona larangan terbang ang diatur pada pasal 3 Konvensi Paris
1919 diubah dengan protocol yang ditandatangani tanggal 15 Juni 1929
dimana perubahan tersebut mengenai pemberian kekuasaan kepada negara
berdaulat utuk mengizinkan pesawt sipil nasional terbang di zona larang
terbang dalam keadaan darurat.
Zona larangan terbang juga diatur dalam Pasal 1 jo 9 KOnvensi Chicago
1944 dimana penetapan zona larangan terbang harus mempertimbangkan
keamana umum,pertimbangan militer, dilakukan dengan wajar,tidak
bersifat diskriminatif antara pesawat nasional dan asing dan tidak
mengganggu penerbangan nasional. Zona larang terbang harus
diberitahukan kepada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dan
negara anggota lainnya.
Apabila ada pesawat udara sipil yang kesasar di zona larangan terbang
maka pesawat udara negara yang mengejar tidak boleh menggunakan
kekerasan apalagi sampai menembak karena pesawat udara sipil tidak
dipersenjatai sehingga penembakan pesawat sipil tidak sesuai dengan
ajaran hukum bela diri dan merupakan pelanggaran HAM
4. Pedaftaran dan kebangsaan Pesawat Udara : pasal 5,6,7,8,9,10. Pesawat
udara harus mempunyai tanda pedaftaran dan kebangsaan dari tempat
pesawat didaftarkan. Sistem pendaftan yang digunakan adalah sistem
tunggal guna menghindari terjadinya kewargaan ganda karena setiap
pesawat yang didaftarkan akan mendapatkan kewarganegaraan.
5. Sertifikat pendaftaran pesawat udara dan peralatan radio (pasal 11-14)
5. 5
Pasal 11 : mengatur tentang setiap pesawt yang melakukan
penerbangan internasional wajib menampilkan tanda
pendaftaran, kebangsaan dan alamat pemilik.
Pasal 13 : mengatur tentang setiap pesawat yang melakukan
penerbangan internasional harus dilengkapi denga sertifikat
kelaikudaraan yang diterbitkan oleh negara pendaftar
sesuai dengan Annex B Konvensi Paris 1919 dan harus
diakui oleh Negara lain.
Pasal 14 : mengatur tentang peralatan radio dimana peralatan radio
yang dibawa harus dengan lisensi yang dikeluarkan oleh
negara tempat pesawat didaftarkan dan hanya dapat
digunakan oleh awak pesawat yag mempunyai lisensi
khusus
6. Persetujuan Terbang (pasal 15-18)
Pasal 15 (1) : setiap sawat sipil negara anggota berhak melakukan
penerbangan diatas wilayah negara asing tanpa mendarat
tetapi harus mengikuti rute yang telah ditetapkan oleh
negara dimana pesawat tersebut melakukan penerbangan.
Pasal 16 : mengatur masalah keberatan dan pembatasan dimana setiap
negara berhak keberatan dan membatasi pengangkutan
penumpang maupun barang-barang berkenaan dengan
kemanfaatan nasionalnya.
7. Keberangkatan dan Pendaratan (pasal 19-24)
Pasal 19 : pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional
harus dilengkapi (i) sertifikat pendaftaran pesawat udara (ii)
sertifikat kelaikaudara (iii) sertifikat kecakapan kapten
penerbangan (iv) sertifikat awak pesawat (v) daftar nama
penumpang bila mengangkut penumpang (vi) kargo
manifest bila mengangkut barang (vii) buku catatan
penerbangan
Pasal 21 : otoritas penerbangan berwenang melakukan pemeriksaan
semua dokumen penerbangan internasional pada saat
keberangkatan maupun pendaratan apabila penerbangan
tidak dilengkapi dokumen yang ldiperlukan maka otoritas
penerbangan berwenang melakukan tindakan
pencegahan/menahan pesawat udara agar tiddak bisa
terbang.
Terdapat aturan diskriminatif dalam Konvensi Paris 1919 ini dimana
hanya diberlakukan untuk negara anggota konvensi seperti halnya bantuan
dalam pendaratan darurat yang hanya dapat diberikan kepada pesawat
negara anggota.
Pasal 24 : setiap Bandar udara harus mempunyai tariff / pungutan
yang sama antara pesawat nasional dengan asing tetapi
aturan ini hanya berlaku untuk negara anggota konvensi
paris 1919.
8. Larangan Pengangkutan (pasal 26-29)
Mengatur larangn pengangkutan bahan peledak,senjata dan amunisis,
peralatan fotografi dalam penerbangan internasional.
6. 6
9. Klasifikasi pesawat udara (pasal 30-33)
Menurut pasal 30, pesawat udara terdiri dari 3 jenis yaitu pesawat udara
militer,pesawat udara yang digunakan dinas pemerintahan dan pesawat
udara lainnya. Selain pesawat udara militer,bea cukai dan kepolisian harus
diperlakuakan sebagai pesawat udara sipil. Pesawat militer hanya boleh
terbang di wilayah negara lain berdasarkan persetujuan terlebih dahulu
10. Komisi Navigasi Penerbangan Internasional (CINA)
Diatur dalam pasl 34 membentuk suatu komisi Internasional dibawah
otoritas LBB.
11. Pengumpulan dan penyebaran statistic (pasal 35)
Negara anggota harus berkerja sama untuk mengambil langkah-langkah
pengumpulan dan penyebarluasan statistic, infomasi meteorology terkini,
mempublikasikan peta-peta navigsi penerbangan dan penggunaan sarana
telegrafi penerbangan derta pengaturannya.
Larangan Terbang
Menurut Pasal 1 dan 6 Konvensi Chicago 1944 sebagai negara yang berdaulat
berhak melarang semua penerbangan komersial maupun tidak komersial terbang
diatas wilayah udara negaranya kecuali telah memperoleh izin. Pada prinsipnua
menurut hukum udara internasional larangan terbang hanya diperbolehkan atas
peritmbangan keselamatan dan keamanan penerbangan tetapi dalam kenyataannya
larangan terbnag juga atas pertimbangan politik,ekonomi dan bersifat
diskriminatif. Disamping pertimbangan politik, ekonomi dan keselamatan
penerbangan beberapa negara melarang terbang pesawat udaraa tua yang boros
yang dapat menimbulkan kebisingan dan meningkatkan pemanasan bumi.
Konvensi Chicago 1944
Menjelang berakhirnya perang dunia kedua (PD II), presiden Amerika Serikat,
Roosevelt, mengundang sekutu-sekutunya dalam Konferensi Penerbangan Sipil
Internasional di Chicago pada 1944. Konferensi ini dihadiri oleh 54 delegasi
tetapi Arab Saudi dan Uni Soviet tidak hadir dalam konferensi tersebut. Uni
Soviet tidak hadir adalah karena alasan keamanan nasional, Uni Soviet akan
mengeksploitasi angkutan udara nasionalnya dan tidak menginzinkan pesawat
asing terbang beroperasi di negaranya.
Tujuan konferensi Chicago 1944 adalah untuk mrngatur prinsip-prinsip dasar
penerbangan sipil internasional, menumbuhkembangkan penerbangan sipil yang
aman,lancar,teratur,dan memberi kesempatan yang sama kepada semua anggota
untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah adanya
persaingan tidak sehat.
Kandungan Konvensi Chicago 1944
1. Aspek ekonomi Penerbangan Internasional
Pendapat mengenai Masalah ekonomi yang mengatur rute penerbangan,
frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas tempat duduk dan tarif
transportasi udara angkutan udara internasional dalam konferensi ini terpecah
menjadi empat kelompok yaitu :
Amerika Serikat : pemerintah jangan mencampuri biarkan perusahaan
penerbangan mengatur sendiri berdasarkan hukum pasar. Pendapat ini
dipengaruhi oleh ideology liberal dan didukun dengan kesepakatan tidak
tertulis antara Amerika dan Inggris.
7. 7
Inggris : mengeni hal tersebut harus diatur oleh pemerintah.
Kanada : menyarankan pembentukan International Air Authority. Masalah
tersebut tidak ditentukan oleh perusahaan tetapi diatur oleh International
Air Authority.
Usul gabungan (Australia dan Selandia Baru) : mengenai hal tersebut
harus dibentuk perusahaan penerbangan yang saham-sahamnya dimiliki
oleh negara anggira Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.
Semua usulan tersebut ditolak oleh konferensi penerbangan sipil internasional
sehingga melahirkan pasal 6 Konvensi Chicago 1944 dimana tidak ada
penerbangan internasional tidak berjadwal dapat dilakukan ke negara anggota
lainnya, kecuali sudah mendapat izin terlebih dahulu, negara tempat pesawat
melakukan penerbangan berhak menentukan persyaratan yang harus dipenuhi oleh
penerbangan internaasional tidak berjadwal tersebut.
Konvensi Chicago 1944 yang ditandatangani pada 7 Desember 1944 gagal
menyetujuipertukaran seccara multilateral mengenai hak-hak penerbangan. Untuk
mengurangi kegagalan tersebut konferensi chocago 1944 menyepakati
persetujuan penerbangan lintas internasional (International Air services
Transit Agreement)
penerbangan internasional yang bersifat multilateral mempertukarkan hak-
hak penerbangan (five freedom of the air)
1 𝑠𝑡
Freedom of the air Hak utuk terbang melintasi negara lain
tanpa pendaratan
2 𝑛𝑑
Freedom of the air Hak untuk melakukan pendaratan di
negara lain untuk keperluan
operasional dan tidak berhak
mengambil dan atau menurunkan
kargo secara komersial
3 𝑟𝑑
Freedom of the air Hak untuk mengangkut
penumpang,barang,pos secara
komersial dari negara pendaftar
pesawat udara ke negara pihak yang
berjanji lainnya
4 𝑡ℎ
Freedom of the air Hak untuk mengangkut
penumpang,barang,pos secara
komersial dari negara pihak yang
berjanji lainnya ke negara pendaftar
pesawat udara
5 𝑡ℎ
Freedom of the air Pengangkutan penumpang , kargo dan
pos secara komersial dari atau ke
negara ketiga di luar negara yang
berjanji,
Dari aspek ekonomi kebebasan udara ke 1 tidak banyak artinya terutama bagi
negara yang wilayah udaranya kecil seperti Singapura tetapi sangat berarti
bagi negara yang wilayah udaranya luas seperti Indonesia. Indonesia tidak
menjadi anggota IASTA karena menyadari kebebasan udara ke -1
mempunyai arti yang sangat berarti.
8. 8
Persetujuan Transportasi Udara Internasional (Internastional Air Transport
Agreement) juga merupakan perjanjian internasional secara multilateral yang
mempertukarkan hak-hak kebebasan udara. Sebenarnya dalam teori terdapat 8
kebebasan udara tetapi dalam praktiknya hanya terdapat 5 kebebasan udara.
6 𝑡ℎ
Freedom of the air Pengangkutan penumpang,barang
maupun pos secara komersial dari
negara ketiga melewati negara tempat
pesawat udara didaftarkan kemudian
diangkut kembali ke negara tujuan
7 𝑡ℎ
Freedom of the air Pengangkutan penumpang,barang
maupun pos secara komersial semata-
mata diluar negara yang mengadakan
perjanjian
8 𝑡ℎ
Freedom of the air Pengangkutan penumpang,barang dan
pos secara komersial dari satu tempat
ke tempat lain dalam satu wilayah
berdaulat yang biasa disebut cabotage.
2. Aspek Teknis dan Operasional
Konvensi Chicago 1944 mengatur prinsip – prinsip dasar berkenaan dengan :
Kadaulatan, wilayah udara, klasifikasi pesawat udara,pesawat sipil,
Penyalahgunaan pesawat udara sipil,pesawat udara tanpa awak,zona larangan
terbang
Pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara
Pertolongan dan pencarian pesawat udara,investigasi kecelakaan pesawat
udara
Dokumen penerbangan internasional
Pembentukan organisasi penerbangan sipil internasional
2.1. Kedaulatan Negara
Pengaturan Mengenai wilayah Negara dapat ditemukan dalam berbagai
konvensi internasional yang memuat pengaturan wilayah kedaulatan di
udara sepeti Konvensi Pari 1919, konvensi Chicago 1944, konvensi
Montevideo 1933, piagam PBB, konvensi Havana 1928, konvensi Jenewa
1958, Konvensi PBB 1982 dan Konvensi Wina 1961.
Mengenai batas wilayah daratan biasanya diatur dalam perjanjian timbal
balik dengan negara tetangga. Batas tersebut berlaku ke atas secara vertical
ke udara dan ke bawah sampai sumber-sumber mineral di bawah tanah
negara tersebut. Penentuan batas suatu negara semula diatur dalam
dokumen disebut deliminitation , diikuri dengan penandaan batas pada
titik yang disebut demarcation.
Mengenai batas wilayah perairan terdapat dalam pasal 3-16 konvensi PBB
tentang Hukum laut. Menurut pasal 3 setiap negara berhak menetapkan
lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil,
diukur dari garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat pada
peta skala besar yang diakui resmi oleh negara pantai.
9. 9
Batas wilayah udara secara horizontal mengacu pada pasal 2 konvensi
Chicago 1944. Dimana lingkup yurisdiksi territorial suatu negara diakui
dan diterima oleh negara anggota konvensi Chicago 1944 terus keatas
sampai tidak terbatas. Batas wilayah udara secara vertical tidak diatur
dalam konvensi Chicago 1944 namun untuk penegakan hukum perlu untuk
mengetahui berapa tinggi kedaulatan wilayah udara secara vertical karena
rezim yang berlaku dalam hukum udara berbeda denganhukum angkas.
Menurut pasal 1 konvensi Chicago 1944 mengakui bahwa setiap negara
berdaulat mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh atas ruang udara
diatas wilayahnya sedangkan menurtu pasal 2 The Outerr Space Treaty of
1967 menyatakan tidak ada suatu negara manapun yang berhak menuntut
kedaulatan di angkasa. Penentuan batas abatara udara dengan angkasa
semakin mendesak setelah negara-negar khatulistiwa menuntut kedaulatan
di Geo Stationary Orbit. Penentuan batas udara dan angkasa diusulkan
oleh berbagai negara :
Uni Soviet mengusulkan pada ketinggian 100 km diatas permukaan
bumi
Prancis mengusulkan 50-80 mil
Kanada mengusulkan antara 64-100 km
Menurut teori gravitasi, wilayah kedaulatan udara suatu negara sampai
ketinggian tertentu dimana sudah tidak ada daya tarik dari bumi
Menurut teori von karman, batsaa kedaulatan udara suatu negara
sampai suatu titik dimana peralatan penerbangan sudah tidak
mendapatkan daya angkat aerodinamika
Karena semua usul tidak dapat diterima maka berlaku hukum kebiasaan
internasional yaitu sesuai dengan kemampuan negara tersebut
mempertahankan kedaulatannya
Mengenai pelanggaran wilayah udara, dalam hukum internasional
ketentuannya terdapat dalam pasal 1 dan 6 konvensi Chicago 1944 dimana
setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah
udara diatasnya maka tidak ada penerbangan internasional berjadwal
kecuali telah memperoleh izin terlebih dahulu.
Contoh kasus pelanggaran wilayah udara adalah kasus Korean air dengan
no penerbangan KL007 yang ditembak jatuh oleh pesawat militer uni
soviet dan menelan korban 269 dan juga pada tahun 1952 pesawat milik
Air France penerbangan dari Frankfurt ke berlin dituduh uni soviet
menyimpang dari rutenya.
Sebagai negara berdaulat yang wilayah udaranya dilanggar oelh pesawat
udara tanpa izin terlebih dahulu, negara tersebut wajib memerintahkan
agar pesawat udara kembali atau meninggalkan wilayah udara tersbut atau
memerintahkan untuk mendarat. Bila terjadi pelanggaran wilayah, negara
tersebut dapat melakukan protes melalui saluran resmi supaya negara
pendaftar pesawat minta maaf dan bila menimbulkan kerugian dapat
menuntut kompensasi. Penggunaan senjata untuk memaksa pesawr udara
yang melakukan pelanggaran wilayah adalah berlebihan dan tidak
seimbang dengan ancaman yang dihadapi, tindakan tersebut
menyalahgunakan kekuasaan dan bertentangan dengan hukum
internasional dan prinsip hukum udara internasional yang terdapat dalam
10. 10
pasal 44 (a) konvensi Chicago 1944. Negara pendaftar pesawat udar dapat
menuntu kerugian yang diderita oleh korban kepada negara yang
menyergap dan menembak pesawat udara. Dalam kasus Korean Air, korea
tidak mempunyai hubungan diplomatic dengan uni soviet maka dapart
menuntut melalui dewan keamanan PBB. Uni Soviet meminta maaf kepad
korea dan memberi ganti kerugian disamping itu pelaku penembakan harus
dipidanakan.
Dalam konvensi Chicago 1944 hanya mengatur mengenai pesawt udara
sipil tetapidalam pasal 3 (d) ‘bilamana negara anggota mengeluarkan
peraturan mengenai pesawat udara negara harus memperhatikan
keselamatan pesawat udara sipil’ akibat dari koren air pasal ini
disempurnakan dengan pasal 3 bis yang mengatakan bahwa negra anggota
harus menahan diri dalam penggunaan senjata untuk memaksa pesawat
sipil mendarat, dalam hal pengejaran pesawt udara yang melanggar
wilayah tetap harus memerhatikan keselamatan penumpang , awak
pesawat,pesawat udara maupun barang-barang yang diangkutnya.’
Semua negara mengakui bahwa pesawat udara sipil tidka boleh digunakan
bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi Chicago 1944 dan
pesawt udara sipil harus mematuhi pesawat udara yang mengejar karena
itu negara harus membuat aturan nasional koordinasi antara peswat udara
negara dengan pesawat udara sipil untuk menjamin keselamatan
penerbangan. Semua negara berhak menetapkan daerah larangan terbang
dengan memperhatikan norma-norma hukum internasional yang berlaku.
2.2. Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat udara
Pendaftaran pesawat udara telah diatur dalam berbagai konvensi seperti
Konvensi Paris 1919 pasal 5-10, pesawat dapat didaftarkan jika
pesawat tersebut seluruh atau sebagian dimiliki oleh warga negara atau
badan hukum dari tempat pesawat udara didaftarkan, sistem
pendaftaran yang digunakan dalam konvensi ini adalah sistem
pendaftaran tunggal, tujuannya untuk menghindari terjadinya
kewarganegaraan yang ganda.
Konvensi Havana 1928, kepemilikan pesawat udara bukanlah
merupakan persyaratan mutlak untuk pendaftaran pesawat udara,
persyaratan ini diserahkan menurut hukum nasional masing-masing
negara sehingga menimbulkan ketidakseragaman,terkadang menjadi
mudah atau sulit terutama untk pesawat udara yang dimiliki
perorangan atau badan hukum karena pendaftaran pesawt udara
melibatkan masalah kebangsaan jadi pemilik pesawat harus warga
negara agar pesawat memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan.
Konvensi Madrid 1928, telah melepaskan kepemilikan sebagai
persyaratan pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara tetapi
persyaratan pendaftaran diserahkan kepada masing-masing negara
anggota.
Di Indonesia persyaratan dan pendaftaran pesawat udara diatur dalam
pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 dan pasal 24-33 dan
pasal 171-182 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
11. 11
Konvensi Chicago 1944 (pasal 17-21), menganut prinsip pendaftaran
dan kebangsaan pesawat udara adalah pendaftaran tunggal seperti
dalam konvensi paris 1919, menurut konvensi Chicago 1944
pendaftaran dan kebangsaan maupun peralihannya diatur berdasarkan
hukum nasional masing-masing negara. Pasal 18 Konvensi Chicago
menyatakan bahwa pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara dapat
dipindahkan dari suatu negara ke negara lain , untuk mencegah
pendaftaran ganda, pelepasam tanda pendaftaran dan kebangsaan harus
dibuktikan dengan sertifikat ekspor. Di Indonesia pelepasan tanda
pendaftaran dan kebangsaan diatur dalam pasla 75 (2) UU No 1 Tahun
2009 yang ditindaklanjuti dengan peraturan menteri perhubungan N
KM 33 Tahun 2008. Pasal 77 menyatakan bahwa tidak ada halangan
dua atau lebih negara anggota untuk membentuk organisasi atau badan
yang mengoperasikan transportasi udara bersama secara internasional
pada rute atau wilayah tertentu.
Negara pendaftar pesawat udara mempunyai peran sentral dalam
penerbangan nasional maupun internasional sebab berhak
mengeluarkan sertifikat kelaikan udaran, keccakapan semua awak
pesawat namun sertifikat tersebut juga harus diakui sah oleh negara
tempat pesawat udara melakukan penerbangan
The Duch Aviation Act of 1926, pesawat udara dapat di daftarkan di
Belanda jika dimiliki oleh negara Belanda atau badan hukum atau
warga belanda (WN Belanda tidak perlu tinggal di Belanda) atau
warga negara yang bertempat tinggal di belanda atau asosiasi
perusahaan yang didirikan dibelanda atau para pengurusnya berdiam di
belanda.
Amerika Serikat : diatur dalam section 501 federal aviation act of
1958 yang berhak mendaftarkan pesawat udara adalah (i) pemilik
warga negara amerika (ii) warga negara asing yang diizinkan
bertempat tinggal tetap di Amerika (iii) perusahaan yang mempunyai
usaha di Amerika atau setiap negara bagian asalkan pesawat udara
digunaan di Amerika Serikat.
2.3. Pencarian dan Pertolongan Pesawat Udara
Dalam pasal 25 konvensi Chicago 1944 ‘setiap negara anggota organisasi
penerbangan sipil internasional wajib berusaha dan bertanggung jawab
mengambil langkah sepraktis mungkin memberi bantuan pesawat udara
yang menghadapi bahaya dalam wilayahnya dan mengizinkan tergantung
pada pejabat yang berwenang,pemilik pesawat udara atau para pejabat
negara dimana pesawat udara didaftarkan memberi langkah-langkah
pertolongan yang diperlukan’
Implimentasi ketentuan pasal 25 konvensi Chicago 1944, organisasi
penerbangan sipil internasional mengeluarka annex 12 konvensi
chicago1944 yang mengatur pelayanan pencarian dan pertolongan
wilayah.
Kerjasama antar anggota pun diperlukan dalam rangka pencarian dan
pertolongan pesawat udara yang mengalami kecelakaan atau dalam
bahaya. Di ASEAN telah menandatangani perjanjian untuk fasilitas
12. 12
pelayanan dan pencarian dan pertolongan pesawat udara dalam bahaya dan
pertolongan korban kecelakaan pesawat udara yang massih hidup di
Singapura pada 14 April 1972. Perjanjian ini terdiri dala 7 pasal substansi
dan 4 pasal mengenai persyaratan administrative. Perjanjian ini mengatur
mengenai :
Para pihak berusaha bertanggung jawab melakukan langkah-
langkah pemberian bantuan sepraktis mungkin yang diperlukan
pesawat udara yang menghadapi bahaya dalam wilayah mereka
dan negara tetangga tanpa memerhatikan kebangsaan pesawat
udara maupun korban kecelakaan
Para pihak mengizinkan masuknya pesawat udara,kapal-
kapal,peralatan dan personel yang diperlukan pesawat yang
menghadapi bahaya atau korban kecelakaan pesawat udara yang
masih hidup ke setiap wilayah kecuali kawasan terlarang yang
menurut keyakinannya pesawt udara atau korban kecelakaan
pesawat udara berada.
Kewajiban mengumumkan dalam masing-masing publikasi
informasi penrbangan mengenai kewenangan dan langkah-langkah
yang dilakukan
Menjamin masuknya personel yang diperlukan untuk pencarian
dan pertolongan pesawat udara dengan segera
Memfasilitasi masuknya personel yang diperlukan untuk pelayanan
pencarian dan pertolongan yang bersifat sementara
Mengizinkan barang-barang yang dperlukan dalam hal tersebut
bebas bea masuk, pajak atau pungutan lainnya.
2.4.Investigasi kecelakaan pesawat udara
Dampak positif dan perkembangan teknologi pesawat udara adalah
meningkatkan keselamatan penerbangan dan menurunnya korban
kecelakaan pesawat udara namun demikina kecalakaan pesawat udara
dalam penerbangan internasional maupun nasional tidak dapat dicegah
sama sekali betapapun canggihnya teknologi penerbangan.
Investigasi kecelakaan pesawat udara diatur dalam pasal 26 Konvensi
Chicago 1944 yang menyatakan ‘dalam hal terjadi kecelakaan pesawat
udara asing yang terjadi di negara anggota organisasi penerbangan sipil
internasional yang menyebabkan kematian,luka parah atau
mengidentifikasikan terdapat kerusakan pesawat udara atau fasilitas
navigasi penerbangan, negara tempat kejadian kecelakaan tersebut akan
melakukan investigasi sesuai dengan prosedur negara dan sepanjang
hukum nasional negara tersebut mengizikan prosedur yang
direkomendasikan oleh organisasi penerbangan sipil internasional dan
negara tempat pesawat di daftarkan wajib memberi kesempatan untuk
menunjuk sebagai peninjau dalam investigasi kecelakaan pesawat udara
dan negara yang melakukan investigasi harus menghubungi untuk
memperoleeh catatan-catatan dan dokumen yang diperlukan dari negara
tersebut.
Maksud dan tujuan investigasi kecelakaan pesawt udara adalah untuk
mencegah janagn sampai terjadi kecelakaan pesawat udara dengan sebab
yang sama bukan untuk mencari siapa yang salah karena itu hasil
13. 13
investigasi kecelakaan pesawat udar tidak boleh digunaan sebagai alat
bukti dalam proses gugatan perdata atau tuntutan pidana di pengadilan
sebagai mana diatur dalam paragraph 5.1 annez 13 tentang aircraft
accident investigation konvensi Chicago 1944 dimana negara yang
melakukan investigasi tidak perlu menyebarluaskan hasil investigasi.
Mengenai biaya investigasi kecelakaan pesawat udara berdasarkan pasal
26 konvensi Chicago 1944 apabila pesawat udara mengalami kecelakan di
luar negeri maka negara tempat kecelakaan pesawat udara terjadi
mempunyai kewajiban investigasi namun tidak mengatur biaya yang
diperlukan untuk investigasi.
Masalah biaya investigasi beberapa kali dibahas dalam sidang divisi
investigasi kecelakaan pesawat udara pada 1946-1992 namun tidak ada
kata sepakat. Dalam forum internasional diusulkan biaya investigasi
dibebankan kepada :
Negara tempat kecelakaan pesawat terjadi
Negara pabrik pembuat pesawat
Operator pesawa udara
Pabrik pembuatnya
Bersama-sama antara negara tempat kecelakaan atau pabriknya
Penyewa
Pemilik pesawat udara
Dan akhirnya diserahkan kepada masing-masing negara anggota organisasi
penerbangan sipil internasional.
Dari sisi lokasi kecelakaan pesawat udara dapat dibedakan kecelakaan
karena :
Run off : kecelakaan apabila pesawat keluar dari sisi kiri atau
kanan landas-pacu yang umumya disebebkan oleh mechanical
failure atau pilot error. Lokasi kecelakaan berada pada jarak 600-
15 meter dari pinggiran landas pacu.
Over run : disebabkan permukaan landas pacu yang licin atau pilot
error, pada umumnya lokasi kecelakaan pesawat udara berhenti 30-
15 meter dari ujung landas pacu.
Undershoot : apabila pesawat udara menyentuh tanah sebelum
pinggiran landas pacu yang disebabkan oleh pilot error.
Kecelakaan pesawat udara dapat desbabkan beberapa faktor seperti faktor
mansia (man), pesawat itu sendrir (Machine), lingkungan (enviroment),
penggunaan pesawat udara (mission) dan pengelolaan (management).
2.5. Dokumen penerbangan
Penerbangan internasional harus memenuhi pasal 29 konvensi Chicago
1944 “setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional
harus dilengkapi dengan dokumen penerbangan yang terdiri atas sertifikat
pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, sertifikat kelaikanudara,
sertifikat kecakapan semua awak pesawat udara, buku perjalanan
penerbangan, sertifikat statiun radio, daftar penumpang dan daftar barang.
3. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
Organisasi penerbangan sipil internasional lahir pada 4 april 1947 pada saat 26
negara penandatangan meratifikasi konvensi Chicago 1944. Organisasi
penerbangan sipil internasional diatur dalam bagian kedua dari pasal 44-66
14. 14
konvensi Chicago 1944. Organisasi penerbangan sipil internasional terdiri dari
sidang umum, badan harian, komisi navisigasi penerbangan, komite hukum,
komite angkutan udara yang tujuannya adalah mengembangkan prinsip-
prinsip dasar teknik navigasi penerbangan internasional untuk meningkatkan
pertumbuhan penerbangan sipil internasional seluruh dunia.
sidang umum pertama wajib diperintahkan oleh badan harian dari
organisasi penerbangan sipil internasional secepat mungkin setelah
konvensi Chicago 1944. Sidang umum diselenggarakan oleh badan
harian pada waktu dan tempat yang tepat dalam kurun waktu minimul
sekali dalam tiga tahun namun demikian sidang umum luar biasa dapat
dilangsungkan setiap saat oleh badan harian atas panggilan badan
harian atau negara anggota organisasi penerbangan sipil internasional.
Badan Harian (council) merupakan badan tetap yang bertanggung
jawab langsung kepada sidang umum yang terdiri dari 36 negara
anggota organisasi penerbangan sipil internasional. Badan harian harus
berkantor di Montreal. Badan harian mempunyai dua macam fungsi
yaitu fungsi mandatory dan fungsi permissive.
Fungsi legislative organisasi penerbangan sipil internasional yang
sangat penting adalah pengesahan standar internasionaldan
rekomendasi yang berkenaan dengan keselamatan penerbangan,
keteraturan dan efisiensi navigasi penerbangan agar terdapat
keseragamana mungkin dalam pengaturan standard an
rekomendasi,prosedur dan pengorganisasian yang berkaitan dengan
pesawat udara,personel,jalur-jalur penerbangan dan pelayanan-
pelayanan tambahan dalam segala masalah navigasi penerbangan
sebagaimana diatur dalam pasal 37 konvensi Chicago 1944.
Fungsi Yudisial terdapat dalam pasal 84 konvensi Chicago 1944 ‘bila
terdapat perbedaan pendapat antara dua atau lebih negara anggota
organisasi berkenaan dengan penafsiran atau berlakunya konvensi
Chicago 1944 berserta annexes-nya yang tidak dapat diselesaikan
berdasarkan negosiasi maka wajib atas permintaan para pihak yang
bersengketa diselesaikan oleh badan harian.
Komisi navigasi penerbangan (air navigation commission)
Pasal 56 konvensi Chicago 1944 ‘komisi navigasi penerbangan terdiri
atas 15 anggota yang ditunjuk oleh badan harian dari calon yang
diajukan oleh negara anggota’ para personel yang ditunjuk tersebut
harus mempunyai pengalaman dalam praktik penerbangan.
Anggota asli (original member)
Keanggotaan organisasi penerbangan sipil internasional terdiri atas tiga
macam yaitu :
o Keanggotaan asli (original member) dapat dilakukan oleh
negara penanda tangan sebelum maupun sesudah konvensi
berlaku.
o Keanggotaan berdasarkan penundukan diri (adherence) diatur
dalam pasal 92 konvensi Chicago 1944.
o Keanggotaan organisasi penerbangan sipil internasional juga
dapat dilakukan berdasarkan persetujuan dari organisasi
perdamaian yang dibentuk dan memperoleh dukungan dari
15. 15
empat perlima sidang umum dan rekomendasi dari negara yang
pada perang dunia II diserang oleh negara yang mengajukan
permohonan untuk menjadi anggota.
Pengunduran diri diatur dala pasal 95 denga cara menyerahkan
instrument pengunduran diri kepada pemerintah Amerika Serikat.
Pengunduran diri akan berlaku efektif satu tahun terhitung sejak surat
pemberitahuan mengundurkan diri diterima pemerintah amerika
serikat.
KONVENSI TOKYO 1963
Pertumbuhan transportasi udara yang sangat pesat membawa dampak positif yang
membawa kesejahteraan dan dampak negative yang mengancam keselamatan jiwa
maupun harta benda maka dari negara-negara anggota organisasi penerbangan
sipil internasional sepakat mengesahkan Konvensi Tokyo 1963. Dimana Konsep
dari Konvensi ini dimulai tahun 1902 dimana Paul Fuachille membahas
kompetensi yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan yang
terjadi dalam pesawat uara dab tindakan-tindakan lain yang perlu diambik selama
penerbangan berlangsung. Pembahasan diteruskan tahun 1910 dalam Konferensi
Paris yang membahas prinsip-prinsip dasar hukum udara meengenai kedaulatan di
udara, penerbangan lintas damai,perbedaan pesawat sipil dan militer,kawasan
larangan terbang,pendaftaran pesawa udara,dokumen penerbangan,sertifikat
kecakapan pilot sedangkan mengenai pembahasan tindak pidana pelanggaran
maupun kejahatan baru dimulai tahun 1950 dalam konferensi Tokyo 1963 dan
menghasilkan konvensi Tokyo 1963 yang biasa disebut konvensi tentang
pembajakan udara khususnya mengatur pencegahan tindakan pelanggaran atau
tindakan-tindakan tertentu yang mengancam disiplin di dalam pesawat. Dalam
konferensi Tokyo 1963 masalah yang dibahas dibatasi seperti masalah yurisdiksi,
kekosongan hukum, kedaulatan atas wilayah udara, dll maksudnya adalah agar
konvensi tentang tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dapat segera
diselesaikan dalam waktu yangaran maupun kejahatan dapat segera diselesaikan
dalam waktu yang singkat.
Konsep tentang tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan menggunakan
prinsip yurisdiksi negara pendaftar pesawat udara dan prinsip territorial yang
diajukan oleh delegasi Meksiko tahun 1950. Pembahasan ini dilanjutkan dalam
sidang legal committee tahun 1959 di munich. Dalam sidang tersebut diusulkan
negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun
kejahatan dalam pesawat udara adalah negara pendaftar pesawt udara, dalam
konsep ini yuridiksi yang dianut adalah Negara bendera. Konsep unich ini
disempurnakan dalam sidang di Roma tahun 1962 yang menghapuskan nebis in
idem dan menambahkan ketentuan hijacking of Aircraft. Konsep hasil sidangg
roma merupakan bahan konferensi Tokyo 1963 yang diikuti 61 anggota
Organisasi penerbangan sipil internasional dan menghasilkan Konvensi yang
berjudul Convention on Offences and Certain Others Act Commited on Board
Aircraft yang ditandatangani pada 14 Septembet 1963. Tujuan utama konvensi ini
adalah menetapkan negara yang mempunyai yurisdiksi , mengisi kekosongan
hukum, melindungi kapten penerbangan beserta awak udara,pemilik pesawat
16. 16
udara,perusahaan penerbangan terhadap ancaman gugatan perdata maupun
tuntutan pidana, melindungi penumpang, awak pesawat maupun harta bernda
yang diangkut dalam pesawat, menjamin kelancaran,ketertiban,keteraturan dan
disiplin didalam pesawat udara.
Kandungan Konvensi Tokyo 1963
Yurisdiksi : diatur dalam pasal 3 dan 4 Konvensi Tokyo 1963, pasal 3(1)
menyatakan bahwa yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana
pelanggaran maupun pidana kejahatan didalam pesawat udara adala negara
pendaftar pesawat. Ketentuan dalam pasal terlihat adanya kesepakatan mengenai
unifikasi yuridiksi guna mencegah terjadinya conflict of jurisdiction karena
trasnportasi udara mempunyai karakteristik yang tidak mengenal batas kedaulatan
negara dan dalam penerbangan internasional dapat melalui berbagai negara
dimana di dalamnya terdapat penumpang dan awak dengan berbagai
kewarganegaraan yang mungkin saja dapat menimbulkan conflict of jurisdiction.
Kekososngn Hukum : tujuan lain dari konvensi Tokyo 1963 adalah ketertiban
dan disiplin dalam pesawat yang sedang melakukan perjalanan yang diatur dalam
pasal 6 (1) . pasal tersebut menjamin adanya ketertiban dan kedisiplinan dalam
pesawat yang melakukan penerbangan dengan begitu maka akan menjamin
keselamatan penerbangan. Berdasarkan ketentuan konvensi Tokyo 1963 kapten
penerbangan diberikan wewenang (hak dan kewajiban) untuk menjamin adanya
ketertiban dan displin dalam pesawat, seperti :
Mengambil langkah-langkah termasuk Menahan penumpang yang
melanggar ketertiban,displin atau melanggar keselamatan penerbangan
Melarang semua pergrakan setiap penumpang yang dapat mengancam
tata tertib penerbangan
Melucuti senjata penumpang
Menurunkan setiap orang apabila orang tersebut melakukan tindakan
atau mungkin melakukan tindakan pelanggaran dan kejahatan yang
dapat membahayakan
Menyerahkan kepada pejabat yang berwenang di negara peserta
konvensi Tokyo 1963 setiap orang yang menurutnya melakukan tindak
pidana pelanggaran atau kejahatan menurut hukum nasional negara
pendaftar pesawat
Perlindungan Hukum Awak Pesawat Udara, Penumpang,perusahaan dan
pelaku
Konvensi Tokyo 1963 mengatur perlindungan hukum terhadap kapten terbang,
awak pesawat udara, penumpang, pemilik pesawat, operator dan juga pelaku
tindak pidana pelanggaran atau kejahatan.
Kapten terbang, awak pesawat udara, penumpang, pemilik pesawat, operator tidak
dapat dikenakan gugatan perdata,tuntutan pidana maupun sanksi admnistratif jika
melakukan tindakan tertentu guna menyelamatkan keselamatan penerbangan.
Selain itu, pelaku tindak pidana pelanggaran atau kejahatan juga mendapat
perlindungan menurut konvensi ini. Berdasarkan pasal 13 (3) dan 13 (5), pelaku
tindak pidana pelanggaran atau kejahatan yang ditahan harus mendapat bantuan
dari negara anggota yang menahan untuk menghubungi perwakilan negaranya bila
negara yang menahan tidak berhasil menghubungi negara pelaku maka segala
kerugian yang timbul pada pelaku menjadi kewajiban negara yang menahan untuk
menanggung kerugian tersebut. Penumpang yang diturunkan atau diserahkan
17. 17
kepada pejabat yang berwenang atau yang dituduh melakukan tindak pidana
pelanggaran maupunkejahatan dalam pesawat harus diperlakukan sama seperti
warga negara dari negara tempat diturunkannya. Perlakuan diskriminatif kepada
orang yang tertuduh/diturunkan dilarang oleh hukum internasional. Menurut Pasal
14 (1) penumpang yang diturunkan karena alasan melindungi keselamatan atau
menjamin ketertiban dan disiplin selama penerbangan dan penumpang tersebut
ditolak tinggal di negara tersebut maka yang bersangkutan berhak dikembalikan
ke negaranya atau tempat tinggal tetap atau negara tempat keberangkatan terakhir.
Hak dan Kewajiban Negara Anggota
Menurut pasal 12, negara anggota mempunyai kewajiban mengizinkan kapten
penerbangan yang akan menurunkan orang yang diduga membahayakan
keselamatan penumpang,awak,barang-barang yang diangkut maupun
penerbangan. Negara anggota juga mempunyai kewajiban menerima orang yang
diserahkan oleh kapten penerbangan,menahan orang tersebut sesuai dengan
hukum nasional negara tersebut apabila diikuti dengan proses ekstradisi,
mengadakan penyidikan awal,memberi bantuan kepada tertuduh untuk
menghubungi perwakilan negaranya.menghubungi negara tempat pesawat udara
didaftarkan dan memutuskan apakah akan mengadili atau tidak.
Berlakunya Konvensi Tokyo 1963
Ruang lingkup berlakunya konvensi Tokyo 1963 tidak hanya pada tindak pidana
pelanggaran atau kejahatan, asalkan tindakan tersebut mengancam keselamatan
penummpang,awak pesawat,pesawat udara,dan barang-barang yang diangkut
tetapi untuk tindak pidana pelanggaran atau kejahatan yang bersifat politik,agama
dan keagamaan tidak berlaku dalam konvensi Tokyo 1963.
Dari aspek waktu tindak pidana,menurut pasal 1 (3) konvensi Tokyo 1963 hanya
berlaku pada saat pesawat udara dalam penerbangan (in flight). Darai aspek
geografis konvensi Tokyo 1963 tidak berlaku apabila pesawat udara mendarat di
wilyah negara pendaftar walaupun penerbangan internasional. Berlakunya
konvensi 1963 buakn tergantung pada jenis penerbangan nasional maupun
internasional tetapi pada kenyataan fisik dimana pendaratan pesawat yang dibajak.
Pelanggaran hukum nasional berdasarkan pasal 1 (a) konvensi Tokyo berlaku
terhadap tindak pidana pelanggaran hukum nasional. Tetapi masalahnya adalah
suatu tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran dari negara pendaftar belum
tentu merupakan pelanggaran di negara lainnya. Tidak semua pelanggaran yang
dilakukan dalam pesawat udara sesuai dengan hukum nasional dapat dikenankan
konvensi Tokyo 1963, hanya pelanggaran yang berkaitan dengan keselamatan
penmpang,awak pesawat,pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut
yang berlaku dalam konvensi.
Pasal 1 (b) menyatakan bahwa setiap tindakan yang tidak termasuk dalam
pelanggaran menurut hukum nasional, tetapi merugikan atau mengganggu
ketertiban dan dan disiplin didalam pesawat udara berlaku konvensi sepenuhnya
misalnya penumpang yang mabuk, mondar-mandir didalam pesawat ,memukul-
mukul tetapi harus diamati terlebih dahulu apakah perbuatan tersebut benar-benar
membahayakan.
Dari lingkup geografis, pesawat udara yang mendarat di negara tempat
pendaftaran pesawt tidak berlaku konvensi Tokyo 1963 tetapi berlaku hukum
nasional. Dalam hal pengoperasian bersama secara internasional salah satu negara
18. 18
harus menunjuk sebagai negara pendaftar dan berlaku hukum nasional negara
yang ditunjuk sebagai negara pendaftar.
Sesuai pasal 2 konvensi Tokyo 1963 pelanggaran yang bersifat politik,ras dan
keagamaan dikecualikan dari konvensi ini. Pelanggaran politik merupakan bagian
dari kegiatan suatu organisasi yang ditujukan kepada suatu organisasi
pemerintahan untuk mengubah sistem dan struktur pemerintahan guna mencapai
tujuan tertentu, pelanggaran politik ini kapten penerbangan tidak dapat melakukan
tindakan pencegahan /tindakan lainnya. Pasal ini juga menyebutkan pelanggaran
hukum nasional yang bersifat diskriminatif tidak termasuk jangkauan konvensi
Ekstradisi
Dalam pasal 16 konvensi Tokyo 1963 tidak mewajibkan ekstradisi pelaku
pelanggaran. Konvensi Tokyo 1963 tidak mengatur pengertian ekstradisi tapi
berdasarkan Undang-Undang no 1 tahun 1979 ekstradisi adalah penyerahan oleh
suatu negara kepada negara yang minta penyerahan seseorang yang disangka atau
dipidana karena melakukan kejahatan diluar wilayah negara yang menyerahkan
dan dalam yurisdiksi wilayah negara yang minta penyerahan karena berwenang
untuk mengadili dan memidanakannya.
Ekstradisi mengandung hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan perlindungan
dari suatu negara yang dianggapnya dapat memberikan suaka dan juga hak
prerogative negara yaitu apakah negara tersebut akan mengekstradisi ataukah akan
mengadilli tetapi dalam pergaulan internasional , negara berdaulat enggan
mengorbankan hak prerogatifnya.ekstradisi tidak akan dilakukan kecuali ada
perjanjian ekstradisi timbal balik baik secara multilateral maupun bilateral. namun
terdapat beberapa konvensi seperti konvensi intenasional tentang perdagangan
manusia dan pemberantasan pemalsuan uang, dalam hal tidak terdapat perjanjian
ekstradisi diantara negara anggota mereka setuju untuk mengekstradisikan orang
yang dituduh.
Untuk pembajakan menurut konvensi Tokyo 1963 yang mempunyai yurisdiksi
adalah negara pendaftar pesawat udara. Mengeai ekstradisi pembajak diatur lebih
lanjut dan jelas di konvensi Den Haag tetapi dalam konvensi internasional tidak
pernah ada yang mewajibkan ekstradisi, ekstradisi hanya dapat dilakukan atas
dasar timbal balik dan disebutkan dengan jelas jenis-jenis tindak pidana yang
dapat diekstradisi. Apabila negara tidak mengekstradisi pembajak maka negara
tempat pembajak berada harus menyerahkan pejabat yang berwenang untuk untuk
menghukum dan mengadili. Dalam pelaksanaan ekstradisi tindak pidana juga
bergantung pada kemauan politik kedua pihak (negara) dikenal dengan ekstradisi
terselubung (disguised extradition) disamping ekstradisi terdapat pula deportasi
dimana orang yang melakukan pelanggaran,tidak mematuhi peraturan yang
berlaku, tidak menghormati peraturan perndang-undangan dipaksa untuk
meninggalkan negeri tersebut.
Pembajakan Udara
Dalam konvensi Tokyo 1963 tidak banyak dibahas mengenai pembajakan udara.
Masalah ini pertama kali diusulkan oleh delegasi Amerika Serikat dalam sidang
legal sub-committee yang kemudian diangkat kembali pada sidang legal
committee di Roma 1962. Usul tersebut ditampung dalam pasal 11 Konvensi
Tokyo 1963 menyatakan bahwa setiap tindakan melawan hukum yang
mengganggu dalam pesawat udara,penguasaan atau pengambilalihan
pesawat udara dengan paksaan disebut pembajakan udara.
19. 19
Persyarat pembajak :
1. Tindakan tersebut dilakukan oleh orang (penumpang maupun awak)
2. Dilakukan dalam pesawat yang sedang dalam penerbangan (In Flight)
(Menurut konvensi Tokyo 1963)
3. Merupakan tindakan melawan hukum menurut hukum nasional negara
tempat pesawat didaftarkan
4. Tindakan yang disertai dengan kekerasan atau ancaman
Pembajakan udara adalah gejala yang terjadi dalam bidang transportasi udara
sejak 1931 tetaapi pada tahun 1931-1947 tidak pernah terjadi dan sejak tahun
1948 pembajakan udara mulai marak kembali karena pembajak tidak merasa puas
dengan ideologi sosialis. Bab 4 konvensi Tokyo 1963 mengatur penguasaan
pesawat udara secara melawan hukum yang terdapat pada pasal 11 KOnvensi
Tokyo 1963. Dalam pasal 11 (1) yang dimaksud dengan pembajakan udara adalah
bila seseorang dalam pesawat telah melakukan tindakan secara melawan hukum
dengan cara paksa mengancam atau tindakan-tindakan yang dapat mengganggu
atau penguasaan pesawat secara melawan hukum atau melakukan tindakan-
tindakan salah pengendalian pesawt dalam penerbangan atau tindakan tersebut
merupakan tindakan semacam tindakan pidana pelanggaran maupun kejahatan.
Pencegahan dan Pemberantasan Pembajakan Udara
Semua negara anggota dapat mengambi tinndakan yang diperlukan untuk
mencegah dan memberantas pembajakan seperti :
a. Tidak memberikan informasi cuaca
b. Tidak melayani hubungan radio dengan pesawat yang dibajak
c. Mengirim pesawat tempurr untuk memaksa pesawat yang dibajak
mendarat
d. Bila pesawat belum tinggal landas maka landas pacu diblokir agar pesawat
tidak bisa tinggal landas
Organisasi Internasional seperti PBB, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional,
International Federation Airlines Pilot Association (IFALPA), International Air
Transport Assosiation (IATA) sangat berperan dalam pencegahan dan
pemberantasan pembajakan udara.
Peran PBB dalam mencegah dan memberantas pembajakan udara adalah dengan
mengeluarkan resolusi yang mengancam, mengutuk dan menyerukan kepada
negara anggota untuk mengambil langkah konkret, dan memerintahkan kepada
semua negara anggota ICAO untuk meratifikasi Konvensi Tokyo 1963 dan
menaati semua aturan.
ICAO dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya mempunyai organ-organ yang
disebut komite hukum, komite hukum ini telah berhasil menyiapkan berbagai
konvensi internasional mengenai kejahatan penerbangan.
IATA merupakan organisasi swasta internasional yang beranggotakan perusahaan
penerbangan yang melakukan penerbangan internasional. IATA berperan
menciptakan peraturan-peraturan khususnya yang berkenaan dengan pembajakan
udara
IFALPA adalah orotganisasi perusahaan penerbangan yang anggotanya secara
langsung menjadi korban sasaran pembajakan. IFALPA berperan untuk menekan
negara-negara yang tidak bersedia mengambil langkah-langkah lebih lanjut
kepada pembajak dengan menyerukan pemogokan kepada seluruh anggota
penerbangan yang akan berdampak merugikan negara tersebut.
20. 20
INTERPOL (International Police Crime Organization) organisasi yang bertujuan
menjamin serta memajukan kerjasama polisi kriminaldengn semangat
menghormati hak-hak asasi mansia,membantu pencegahan dan pemberantasan
kejahatan internasional. Dan juga berperan dalam pengadaan dan latihan tenaga
terampil bagi para petugas keamanan di bandara terutama dalam mengambil
tindakan-tindakan untuk menanggulangi pembajakan udara.
Pencegahan dan Pemberatasan oleh Pemerintah
Usaha yang dapat dilakukan :
1. Meratifikasi berbagai konvensi Internasional
2. Membuat perjanjian ekstradisi timbal balik
3. Mengadakan seminar
4. Memuat ketentuan keamana penerbangan dalam perjanjian transportasi
udara internasional timbal balik
Indonesia telah meratifikasi konvensi Tokyo 1963, Den Haag 1970 dan Montreal
1971, mengeluarkan UU Nomor 4 Tahun 1976, mengesahkan UU Nomor 15
Tahun 2003 dan membuat perjanjian estradisi dengan Filipina mengenai pembajak
pesawat udara.
Pencegahan pembajaka udara yang paling efektif adalah dilakukan didarat
sebelum pembajak masuk kedalam pesawat udara. Usaha pencegahan didarat
dapat dilakukan dengan berbagai cara:
1. Memperhatikan perilaku pembajak ;pembajak mempunyai perilaku
tertentu yang lain dari penmpang pada umumnya
2. Menggunakan alat penemu benda-benda logam yang dipasang antara
check in counter dengan pesawat udara di parkir, digunakan untuk
meemerikasa penumpang,awak pesawat, baagasi,kargo yang nantinya alat
tersebut akan meberi tanda tertentu. Pengawas akan memeriksa
penumpang dengan body search apabila lanjut diserahkan kepada petugas
keamanan dan diajukan pertanyaan, jika pertanyaan dijawab tidak
memuaskan maka penumpang tidak boleh naik pesawat udara. Untuk
kargo biasanya diendapkan selama 48 jam digudang sebelum diangkut
untuk menghindari adanya bom waktu.
3. Kerjasama dengan pegawai perusahaan penerbangan, pejabat bea
cukai,karantina,imigrasi.
Pencegahan dan pemberantasan di udara dapat dilakukan dengan cara
1. Tidak mengizinkan membawa senjata di dalam pesawat
2. Mengikuti pedoman-pedoman ketertiban penerbangan
3. Apabila perlu, kapten penerbangan harus mengikuti perintah pembajak
untuk menghindari kerugian yang lebih besar
4. Kapten penerbangan harus memberitahu kepada menara pengawas
menngenai keputusan yang di ambil dan berkoordinasi dengan pejabat
didarat
5. Menempatkan petugas keamanan di dalam penerbangan Internasional yang
dipersenjatai dan ahli bela diri
6. Menempatka air marshall disamping pemerikasaan darat
7. Melaporkan keberangkatannya min 2 jam sebelum keberangkatan agar
petugas perusahaan penrbangan dapat melakukan pemeriksaan lebih
lanjut.
21. 21
KONVENSI DEN HAAG 1970
Tahun 1960 pembajakan udara berkembang ddengan pesatnya. Pembajakan ini
dilatarbelakangi oleh berbagai motif seperti pengungsian untuk melarikan diri,
sakit jiwa, bahkan sampai pada motif politik dengan kekerasan. Berbagai akibat
timbul dari pembajakan udara, pada tahun 1971 telah menewaskan sedikitnya
9000 jiwa meninggal dunia di berbagai negara. Pembajakan udara yang
berkembangan sangat pesat pada saat itu sementara Konvensi Tokyo 1963 belum
berlaku sehingga organisasi-organisasi internasional mencari cara untuk
memberantas tindak pidana pelanggaran maupun tindak pidana kejahatan
penerbangan khususnya pembajakan udara. Maka dari itu Organisasi penerbangan
Sipil Internasional menyelenggarakan sidang umum di Bounes Aires pada
September 1968 yang menyarankan agar negara peserta meratifikasi Konvensi
Tokyo 1963. Ddesember 1968 organisasi penerbangan sipil internasional melalui
ketua komite hukum membentuk sub-komite hukum penguasaan pesawat udara
secara melawan hukum. Sub-komite hukum ini melakukan sidang pertama pada
tanggal 21 febuari 1969 unutk menciptakan instrument internasional diantara
negara-negara anggota organisasi penerbangan sipil internasional guna
menyelesaikan masalah pembajakan udara. Sidang ketua sub-komite berlaangsung
pada 23 September – 3 Oktober 1969 untuk mempelajari tanggapan negara-negara
anggota yang akan segara dibahas dalam sidang komite hukum pada 9 febuari –
11 maret 1970 di Montreal dan komite hukum menyetujui konsep yang berjudul
“onveention for the Suppression of Unlawfull Seizure of Aircraft”. Upaya untuk
memecahkan kasus pembajakan udara juga dilakukan oleh International Law
Association (ILA), merekomendasikan pembajakan udara (hijacking) maupun
perompakan kapal laut (sea piracy) dapat diancam hukuman berat, dan semua
negara wajib menghukum pelaku dimanapun kejahatan tersebut berlangsung dan
berada disamping itu setiap pembajakan udara harus diekstradisikan sesuai dengan
peranjian ekstradsi dan hukum nasional. Selain sub-komite dan ILA, PBB juga
membahas pembajakan udara, dalam resolusi sidang umum merekomendasikan
agar setiap negara mengambi langkah-langkah agar pembajakan udara dapat
diancam dengan hukuman yang berat berdasarkan hukum nasional maupun
internasional. Berdasarkan hasil studi dari organisasi-organisasi Internasional,
Organisasi penerbangan Sipil Internasional mengadakan konferensi diplomatic
pada Desember 1970 yang diselenggarakan di Den Haag yang dihari oleh 77
Negara untuk mengesahkan Konvensi yang berjdul Convention for the
Suprpression of unlawfuk Seizure of Aircraft. Lahirnya konvensi Den haag 1970
menyempurnakan Konvensi Tokyo 1963.
Kandungan Konvensi Den Haag 1970:
1. In Flight
Konvensi Den Haag berlaku apabila pelanggaran tersebut berlangsung selama
penerbangan (In Flight). Yang dimaksud dengan In Flight menurut pasal 3 ayat
(1) adalah pada saat semua pintu luar ditutup diikuti dengan embarkasi sampai
dengan semua pintu luar terbuka kembali diikuti dengan debarkasi,termasuk
Pendaratan darurat Sampai pada tanggung jawab terhadap pesawat diambil alih
oleh pejabat berwenang didarat. Perbedaan In Flight antara Konvensi Tokyo 1963
dengn Konvensi Den Haag 1970 adalah dalam Konvensi Tokyo 1963 bila pesawat
22. 22
dibajak bergerak pelan-pelan di landas hubungan menuju landasan pacu maka
tidak berlaku konvensi Tokyo 1963 melainkan berlaku hukum nasional tempat
pesawat berada dan kelemahan ini sudah diperbaiki dalam pasal 3 (1) Konvensi
Den Haag 1970.
2. Pesawat Udara Negara (State Aircraft)
sebelumnya terdapat pengaturannya didalam KOnvensi Tokyo 1963 pasal 1 ayat
(4) yang kemudian diatur kembali dalam pasal 3 ayat (2) Konvensi Den Haag
1970 dimana ketentuan ini tidak berlaku terhadap pesawat militer, beaa cukai dan
dinas kepolisian.
3. Pendaratan di Negara Pendaftar Pesawat Udara
Jika ada pesawat udara penerbangan dalam negeri yang dibajak dan mendarat
diluar negeri maka berlaku Konvensi Den Haag 1970.
4. Pengoperasian Bersama secara Internasional
Pasal 5 Konvensi Den Haag 1970 mengatur badan internasional yang
mengoperasikan pesawat udara harus menunjuk salah satu negara sebagai negara
pendaftar pesawat udara. Negara pendaftar pesawat udara tersebut mempunyai
yurisdiksi terhadap pesawat beserta awaknya. Bila didalam pesawar terdapat
tindakan melawan hukum dan mendarat di negara pendaftar pesawat maka tidak
berlaku kinvensi den haag 1970 melainkan berlaku hukum nasional negara
pendaftar pesawat.
5. Membantu Pelanggaran
Pasal 1 paragraf b konvensi Den Haag 1970 mengatur bantuan pembajakan.
Tindakan bantuan atau ikut serta membaatu pembajakan udara dilakukan oleh
orang atau badan hukum yang berada di darat. Dapat dilakukan dengan cara
menginstruksikan kepada pengawas lalu lintas udara atau pilot untuk memenuhi
permintaan pembajak dengan ancaman fisik maupun nonfisik maka orang atau
badan hukum yang membantu tindakan pelanggaran atau mencoba melakukan
pelanggaran berlaku Konvensi Den haag 1970.
6. Percobaan Tindakan Melawan Hukum
Pasal 1 huruf (b) KOnvensi Den Haag 1970, setiap orang yang didalam pesawat
udara dalam penerbangan (In Flight) yang secara melawan hukum dengan
kekerasan atau ancaman atau dalam bentuk intimidasi,menguasai pesawat udara
secara melawan hukum, mengambil alih kendali pesawat udara atau melakukan
perbuatan tersebut termasuk pelanggaran yang diancam hukuman berdasarkan
Konvensi Den Haag 1970.
7. Orang di dalam Pesawat Udara
Pasal 1 Konvensi Den Haag 1979 berlaku terhadap tindak pidana pelanggaran
atau pidana kejahatan yang dilakukan oleh orang (Penumpang maupun awak) di
dalam pesawat.
Kewajiban Negara Anggota
Pasal 9 Konvensi Den Haag 1970 mengatur tentang kewajiban Negara, jika
terjaddi suatu tindakan melawan hukum (Unlawfully acts) di dalam Pesawat
dalam penerbangan (In Flight) dengan kekerasan atau ancaman fisik maupun
nonfisik atau bentuk intimidasi lainnya, menguasai/ mengambil alih pesawat
udara maka negara anggota konvensi Den Haag 1970 wajib megambil langkah-
langkah tertentu seperti mengirim pesawat tempur untuk memantau dan memaksa
pesawat yang dibajak mendarat,mengembalikan penguasaan pesawat udara
23. 23
kepada kapten penerbangan,memfasilitasi perjalanan penumpang dan awak
pesawat pada penerbangan berikutnya dan mengembalikan barang-barang kepada
pemliknya sesuai pasal 9(2) Knvensi Den Haag 1970 yang tidak perlu menahan
terlalu lama pesawat yang dibajak dan harus segera diizinkan melakukan
penerbangan lanjutan.
Eksekusi Pelaku Pelanggaran
Pasal 7 Konvensi Den Haag 1970 Negara anggota mempunyai kewajiban
menghukum pelaku pelanggaran yang ditemukan di wilayahnya, bila Negara
anggota terebut tidak mengekstradisikan maka wajib menyerahkan kepada pejabat
yang berwenang untuk melakukan eksekusi sesuai dengan hukum nasional yang
berlaku.
Penunjukan Negara Pendaftar
Dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi Tokyo 1963 mengatur mengenai Negara tempat
pesawat didaftarkan mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran atau tindakan
melawan hukum didalam pesawat.
Dalam Pasal 5 Konvensi Den Haag 1970 bila negara anggota secara Internasional
bersama-sama, harus menunjuk salah satu negara sebagai negara pendaftar
pesawat udara yang mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran tersebut dan
penunjukan tersebut harus diberitahukan kepada organisasi penerbangan sipil
Internasional yang nantinya akan mmberitahukan kepada negara angota lainnya.
Penahan pelaku atau tertuduh
Negara anggota Konvensi Den Haag 1970 wajib menahan atau mengambil
langkah-langkah tertentu terhadap pelaku tindakan melawan hukum atau tertuduh
diwilayahnya sesuai dengan hukum nasional negara tersebut dan hanya boleh
ditahan selam waktu yang diperlukan untuk proses pengadilan atau ekstradisi.
Negara tersebut harus memberitahu kepada negara tempat pesawat didaftarkan,
negara operator pesawat dan negara dimana si pelaku menjadi warga negara.
Ekstradisi Pelaku Tindakan Melawan Hukum
KOnvensi Den Haag 1970 mewajibkan negara anggota untuk mengektradisi
pelaku tindakan melawan hukum atau tertuduh bila negara yang bersangkutan
tidak mengadilinya. Syarat ekstradisi ini adalah tindakan melawan hukum tersebut
harus termasuk pelanggaran yang dapat diekstradisikan berdasarkan perjanian
internasional dengan negara lain.
Tindakan Melawan Hukum Terhadap Penumpang Dan Awak Pesawat
Udara
Negara anggota Konvensi Den Haag 1970 wajib mengambil langkah-langkah
tertentu untuk mengadili pelanggaran dimana tertuduh berada di wilayahnya dan
negara tersebut tidak bermaksud mengekstradisi pelaku, untuk pengadilan pidana
berlaku hukum nasional negara yang bersangkutan.
Perlindungan Kapten Penerbangan
Setiap terjadi tindakan melawan hukum dengan ancaman atau paksaan,
penguasaan atau pengambil alihan pesawat udara atau percobaan melakukan
24. 24
tindakan melawan hukum, negara anggota konvensi den haag 19700 wajib
mengambil segala langkah yang diperlukan untuk mengembalikan pengendalian
pesawat udara kepada kapten penerbang atau melindungi pesawat udaranya.
Langkah – langkah Bantuan
Negara anggota Konvensi Den Haag1970 wajib memberikan bantuan sebesar
mungkin yang berkaitan dengan proses pengadilan tindak pidana mengenai
pelanggaran atau tindakan melawan hukum atau tindakan kekerasan lainnya
terhadap penumpang maupun awak pesawat yang dilakukan oleh tertuduh didalam
pesawat udara termasuk pesawat tersebut melakukan pendaratan diwilayahnya.
Laporan Kejahatan Penerbangan
Pasal 11 Konvensi Den Haag 1970 mewajibkan Negara Anggota untuk segera
melaporkan tindakan pelanggaran , tindakan yang dimaksudkan dalam rangka
memberikan bantuan kepada penumpang dan awak pesawat, tindakan
perlindungan terhadap kapten penerbangan serta hassil proses ekstradisi atau
proses hukum kepada Badan Harian Organisasi Penerbangan Sipil Internasiol
secepat mungkin.