1. Kearifan lokal sering dilupakan dalam pembangunan namun dapat dijadikan modal untuk pembangunan.
2. Pemerintah Sumatera Utara memanfaatkan kearifan lokal Batak "manggadong" (makan ubi bersama) untuk mengurangi konsumsi beras.
3. Kampanye "manggadong" dan meningkatkan produksi ubi bertujuan menciptakan ketahanan pangan di Sumatera Utara.
1. Sosialisasi Program Melalui Kearifan Lokal
Wildan Hakim S.Sos., M.Si.
Konsultan komunikasi di PNPM Mandiri Perkotaan, penulis buku, dan dosen
di Universitas Mercu Buana Jakarta
Kearifan lokal akhir-akhir ini kerap dilupakan di tengah derap langkah
pembangunan. Kearifan lokal sepertinya menjadi sesuatu yang dikesankan kuno, kolot,
ortodoks, tradisional atau bahkan kampungan. Padahal, sebagai “sesuatu” yang hidup di
tengah masyarakat, kearifan lokal bisa diolah menjadi modal awal penggerak pembangunan
di tengah masyarakat. Artinya, kearifan lokal bisa juga dijadikan sebagai akselerator
pembangunan.
Gejala lupa akan kearifan lokal ini biasanya muncul ketika aktivitas pembangunan di
wilayah tertentu mengalami kendala. Kendala atau masalah itu sendiri muncul karena ada
bagian yang ditinggalkan, yakni kearifan lokal itu sendiri. Sudah saatnya manusia moderen
sadar bahwa kearifan lokal itu bukanlah sesuatu yang ditemukan dan dikembangkan oleh
para nenek moyang kita secara instan. Kearifan lokal ini dikembangkan dalam waktu lama
dan selaras dengan perkembangan masyarakat serta lingkungannnya. Karenanya, kearifan
lokal akan selalu berada di tengah masyarakat yang mengakui keberadaannya.
Dalam literatur ilmiah, kearifan lokal biasa disebut local genius atau kecerdasan
lokal. Sifatnya yang lokal menjadikan kearifan jenis ini begitu spesifik dengan karakteristik
yang mudah dikenali. Bentuk kearifan lokal bisa berupa pandangan hidup, ilmu
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan. Wujud fisik dari kearifan lokal adalah
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai
kebijakan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge.”
Seperti telah disinggung di atas, secara harfiah wujud kearifan lokal ini berupa
pemenuhan terhadap unsur-unsur kehidupan manusia yang meliputi: agama, ilmu
pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian.
Masyarakat yang menjaga kearifan lokalnya biasanya mempunyai pemahaman, program,
serta kegiatan, untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan
mereka dengan memperhatikan ekosistem (flora, fauna dan mineral) serta sumber daya
manusia yang terdapat pada warga mareka sendiri.
2. Namun, tak semua pihak memahami dengan baik keberadaan kearifan lokal yang
sudah menjadi sistem ini. Banyak pihak yang memiliki latar belakang ilmu pengetahuan
akademis dan telah memasuki kebudayaan yang lebih progresif kerap menilai kearifan lokal
sebagai budaya kehidupan masyarakat lokal sebagai sangat sederhana dan terkebelakang
atau tertinggal. Tidak mengherankan, jika birokrat serta pelaksana kebijakan kurang atau
bahkan tidak memperhitungkan kearifan lokal dalam program pembangunan yang
dilaksanakan di wilayah tertentu.
Padahal, sebagai sebuah sistem yang hidup di tengah masyarakat, kearifan lokal
bisa dan layak untuk dijadikan bagian dalam kegiatan pembangunan. Sebagai contohnya,
kearifan lokal bisa dijadikan sarana sosialiasi dan komunikasi antara pemerintah lokal
dengan masyarakat setempat. Bisa juga antara pihak yang ditunjuk melaksanakan program
dengan masyarakat di lokasi dampingan. Pelibatan masyarakat setempat berikut kearifan
lokal yang melekat di dalamnya merupakan bentuk penghargaan serta pengakuan terhadap
mereka sehingga diharapkan bisa menjadi stimulus untuk mempercepat pelaksanaan
pembangunan.
Contoh nyata penerapan kearifan lokal dalam sebuah program bisa merujuk pada
praktik yang dilakukan oleh Pemerintah Sumatera Utara. Dalam salah satu program
ketahanan pangannya, Pemprov Sumut menginginkan agar konsumsi beras masyarakat
Sumut bisa dikurangi. Caranya dengan mengkonsumsi jenis makanan lain yakni ubi. Dalam
masyarakat Batak, ada istilah “manggadong” yang berarti memakan ubi atau ketela secara
bersama-sama dengan anggota keluarga lainnya. Budaya manggadong mengajarkan etnis
Batak untuk mengonsumsi ketela sebagai makanan pembuka sebelum menikmati nasi.
Dengan menikmati ketela terlebih dulu, masyarakat Batak tidak perlu mengonsumsi nasi
terlalu banyak karena perutnya telah terisi dengan makanan tersebut.
Interpretasi lain menyebutkan bahwa manggadong merupakan bentuk kearifan
lokal masyarakat Batak khususnya Tapanuli untuk menghemat konsumsi beras pada saat
masa sulit. Bertolak dari pemikiran itulah, Pemprov Sumut melalui Badan Ketahanan Pangan
(BKP) serta USU akan mengkampanyekan “manggadong” ini ke tengah masyarakat. Pada
tahap awal, kampanye dilakukan dengan himbauan agar ubi atau ketela dijadikan sebagai
makanan pembuka di semua acara yang digelar pemerintah, swasta, atau masyarakat.
Upaya untuk mengkampanyekan manggadong ini rupanya mendapat respon
positif. Menjadikan ubi sebagai makanan pembuka sebelum nasi itu layak didukung karena
3. ketersediaan beras di Sumut mulai mengawatirkan. Terlebih dengan terjadinya anomali
cuaca dan banyaknya alih fungsi lahan di Sumut yang menyebabkan jumlah produksi beras
sangat fluktuatif, bahkan terkesan menurun secara bertahap.
Meski pasokan beras cenderung turun, ironisnya tingkat konsumsi masyarakat
Sumut terhadap beras cenderung meningkat dan mencapai 139 kg per kapita per tahun.
Padahal, beberapa tahun sebelumnya, konsumsi beras masyarakat Sumut hanya sekitar 125
kg per kapita per tahun.
Mengacu pada kondisi tersebut, langkah Pemprov Sumut mengajak masyarakat
untuk melakukan diversifikasi pangan dinilai sudah tepat. Jika tidak ada diversifikasi pangan,
dikhawatirkan upaya menciptakan ketahanan pangan di Sumut sulit dilakukan dan dapat
berujung pada terciptanya masyarakat yang lapar.
Selain mengkampanyekan “manggadong” secara berkelanjutan, seluruh SKPD
Pemprov Sumut, khususnya BKP kini juga berusaha memastikan agar produksi ubi selalu
tersedia di pasar. Untuk itulah, berbagai kebutuhan untuk mendorong produksi ubi, mulai
dari pupuk, bibit hingga penyuluhan dalam bercocok tanamnya harus diutamakan agar
makanan pengganti nasi itu selalu mudah didapatkan masyarakat. Langkah itu harus
ditempuh agar jangan sampai saat masyarakat berminat melakukan “manggadong,” justru
kesulitan mendapatkan ubi.
Apa yang telah dilakukan oleh Pemprov Sumut merupakan contoh nyata bahwa
kearifan lokal yang diwariskan nenek moyang kita bisa disinergikan dengan arus
pembangunan. Di belahan wilayah nusantara lainnya masih banyak kearifan lokal yang bisa
digali dan dimanfaatkan untuk mendukung gerak pembangunan. Forum pertemuan rembug
warga, pertemuan para tokoh adat, hingga pertemuan komunitas adat terpencil bisa
dijadikan sarana untuk mensosialisasikan kebijakan pembangunan. Melalui forum-forum
tersebut, pelaku pembangunan juga bisa menyerap langsung aspirasi warga yang berbasis
kearifan lokalnya. Untuk itulah, kearifan lokal jangan sampai ditinggalkan. Keberadaannya
harus selalu diperhitungkan dalam berbagai aktivitas pembangunan yang bersentuhan
langsung dengan masyarakat.