1. Edisi 2, 1-9 Juni 2012
BIRU
Bincang - Bincang Revolusi
PANCASILA KITA
CIPUTAT hujan malam ini. Suasana yang pas untuk menyeruput
segelas kopi, sesekali menggasak
gorengan hangat dan tentu saja
sambil bermain twitter.
Lepas dari segala kontroversinya, Setelah berbagai pertimbangan
bagaimana kita memaknai Keredaksi, kali ini kami mengangkat
bangkitan Nasional di era digital tema 1 Juni, hari lahir Pancasila.
ini?
Masihkah kita hafal di luar kepala
Sedianya, tema tersebut yang
kelima sila itu? Masihkah ingat
20 Mei kemarin hari Kebangkitan akan kami angkat di edisi ini.
kita lagu Garuda Pancasila?
Nasional. Berapa banyak dari kita Namun sebagai tabloid baru,
1 Juni, mendadak kita teringat
yang masih peduli peringatan itu, kami masih mengalami beberapa
Pancasila setelah hampir setahun
atau setidaknya ingat? Di twitter, kendala. Ada beberapa hal yang
kita nyaris lupa. Diskusi-diskusi di
tentu saja ramai yang membiharus kami rapikan terlebih daruang publik dengan tema Pancarakannya, juga sejarah Boedi
hulu, agar kelak benar-benar
casila pun banyak digelar. Banyak
Oetomo yang diselimuti kontrodapat menjadi terbitan berkala
tokoh berebut mengaku sebagai
versi.
yang berkualitas.
pancasilais. Di twitter, perbincan-
gan mengenai Pancasila tak kalah ramai, mungkin hanya kalah
ramai dari percakapan tentang
sajak Sapardi, Hujan di Bulan
Juni.
Namun kami tidak banyak menyajikan kajian mengenai Pancasila. Di edisi ini, kami justru
mengetengahkan persoalan
bangsa yang sangat menyalahi
Pancasila.
Persoalan kekerasan atas nama
agama dan negara yang absen
dalam melindungi hak-hak minoritas.
Selain tema sentral tersebut, di
rubrik Sorotan kami juga menyoroti minimnya toko buku di sekitar kampus, yang sangat mungkin
merupakan indikator utama
minat baca kita. Di rubrik Catatan, kami hadirkan beberapa
catatan untuk akun twitter Presiden SBY. Dan rubrik Celoteh kali
ini cuap-cuap tentang tokoh
utama dalam peristiwa bersejarah 1 Juni.
Tabik.
SAJIAN
EDISI
INI:
Toko Buku Gerak-Gerik dan minat
baca mahasiswa
Suara lantang dari musik Punk
SBY main twitter!
Perjuangan minoritas
STOP KEKERASAN AGAMA!
Resensi novel Amba, Laksmi
pamuntjak
Apa kata seorang tukang pecel
lele tentang sosok Soekarno?
Tentang Tabloid Biru
Tabloid Biru diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Pisangan. Dengan inisiatif untuk menghadirkan karya pers
mahasiswa yang lebih peduli dengan kajian komperehnsif dalam setiap terbitannya. LPM Pisangan dibentuk dengan semangat jurnalisme wacana agar kehidupan kampus UIN Jakarta tidak miskin wacana dalam setiap perbincangan di kantin-kantin, warung kopi, kelompok diskusi dan kajian, ruang kelas hingga meja -meja seminar.
Awak LPM Pisangan; Editor in chief: Ahsan Ridhoi. Sekretaris redaksi: Hanifa. Dewan redaksi: Jopi, Udin, Edo,
Entis, Iceng, Khairy, Ikhsan, Fikri, Randy. Reporter: Abun, Asep.
LPM Pisangan menerima kiriman karya jurnalistik berupa reportase, opini dan lain -lain.
email redaksi:
tabloidbiru@gmail.com
Twitter:
@TabloidBiru
2. Sorotan
Halaman 2
NOTAMERTA BUAT GERAK-GERIK
Oleh: Ahmad Makki
"Gua pengen ‗neladanin pedagang Cina. Harga murah, untung
‗dikit, pemasukan lancar," kata
lelaki tinggi besar itu.
Saya mengangguk setuju.
"Harga murah juga berarti gua
amal buat mahasiswa."
***
Lelaki itu Ikhwan Nasution.
Panggilannya Tion. Seorang kawan asal Batak bilang, ini kali
pertama ia ketemu orang yang
berani memapas nama marganya
dengan sengaja.
Tapi bukan lantaran itu nama
Tion menjadi legenda di UIN Jakarta. Ia juragan toko buku -ia
menyebutnya bengkel bukuGerak-Gerik, yang mayoritas dagangannya adalah buku tua.
Ketika Tion mengucapkan kalimat di atas, saya merasakan
optimisme dan keteguhan. Ia
menyelundup kesana-kemari
demi mengendus jejak buku-buku
tua. Kerja keras ini sempat membuat profilnya nampang di rubrik
Sosok harian Kompas.
***
Bukan koleksinya yang pertama kali membuat saya tertarik
dengan toko buku Gerak-Gerik.
Ketika melewati mulut gang kecil
itu, sekira paruh awal dekade
2000-an, saya belum tahu di
sana ada lumbung ilmu.
Adalah sosok sastrawan
Danarto yang mengundang mata
saya. Legendaris yang wajahnya
hanya pernah saya lihat di media
massa atau halaman akhir beberapa buku itu, tengah membaca sambil menghadapi puluhan
buku tertumpuk rapi.
Saya menghampiri, menyalami,
sedikit berbasa-basi. Dan tak
urung lalu menyelidik harta karun
yang terhampar disana.
Beberapa kali berkunjung, saya
berkesempatan mengobrol dengan Tion. Ia mengaku koleksinya
tak banyak yang baru. Hanya
buku baru dengan angka pen-
jualan lumayan yang dipajangnya.
Itu pun tema-tema tertentu,
seperti filsafat, sastra, budaya,
sejarah dan sejenisnya.
―Buku-buku bagus dan serius
biasanya enggak laku. Beberapa
bulan terbit lalu menumpuk di
gudang,‖ terangnya. Ia lalu membujuk para penerbit agar menekan harga, dengan jaminan
angka penjualan sekian. Pertaruhan kredibilitas sebagai pedagang, ia menyebutnya.
―Gua yakin di UIN (Jakarta)
pasar buku-buku beginian masih
lumayan‖.
Beberapa bulan kemudian
Gerak-Gerik pindah tak jauh dari
tempat semula. Di bantaran
jalan utama Pesanggrahan.
Samping Warkop Siang-Malam.
Lebih strategis dan lebih luas.
Buku-buku tua mulai dipajang.
Dan kian lama kian fokus ke segmen ini.
Tion pun makin edan pasang
harga. Kumpulan cerpen legendaris Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan
Lain ke Roma saya gondol dengan harga lima ribu perak. Novel
klasik Dr. Zhivago yang diterjemahkan Trisno Sumardjo, di sebuah bazar buku lama dibandrol
300 ribu. Tapi di Gerak-Gerik bisa
dibawa pulang dengan harga 50
ribu. Yang berbahasa Inggris harganya lebih jeblok lagi, cuma 20
ribu.
juk beberapa buku yang diinginkan agar disimpan dan tak
dibeli orang lain. Seminggu-dua
kemudian boleh datang lagi menMakin lama buku-buku tua
yetor duit dan ambil buku.
kian menjejali Gerak-Gerik. Bobot
Saya juga menikmati fasilitas
kualitasnya kian canggih, temaini. Tapi saya punya kelemahan
nya tambah beragam. Cocok
yang membuat enggan memanbetul dengan selera intelektual
faatkannya terlalu sering. Saban
saya yang urakan dan kurang
main ke toko buku dalam kondisi
bertanggung jawab. Saban punya kantong kempes, kepala saya
uang barang 50-100 ribu, saya
kerap pening, jantung berdebarbergegas mampir dan
debar, kaki lemas dan keringat
menghabiskannya selekas pemenitik deras. Malamnya saya
candu judi kurang siasat.
sukar tidur membayangkan buku
Ide Tion berkutat di buku-buku incaran saya dijamah orang.
lawas mendapat sambutan hangat. Tempat ini jadi semacam
***
ruang rekreasi para pecandu
buku. Dengan kian ramainya
Gabriel Garcia Marquez, Camilo
Gerak-Gerik, Tion tak hanya ber- Jose Cela, Herman Hesse, Knut
peran sebagai juragan. Ia juga
Hamsun, Lu Hsun. Idrus, John
kerap membantu melayani, tapi
Steinbeck, Mahbub Djunaidi,
lebih sering jadi katalog buku.
Dami N. Toda, HB. Jassin, FrankMemberi keterangan ringkas,
lin Foer, Simon Kuper dan Stefan
menunjukkan buku-buku yang
Szymanski dan sederet nama
berhubungan, atau merekomen- lainnya.
dasi.
Tanpa Gerak-Gerik, namaTion juga bisa menjadi pedanama di atas mungkin hanya bisa
gang yang nyentrik. Jika ada yang saya baca di Wikipedia sambil
bertanya buku-buku teks kuliah, mengira keagungan karya
dengan ketus ia menjawab, ―sori, mereka. Saya tak bisa membaenggak jual yang begituan.‖
yangkan hidup tanpa pengalaMereka yang bokek pun bisa
man spiritual yang saya rasakan
datang dengan nyaman. Menun- saat dihanyutkan karya mereka.
3. Sorotan
Gerak-Gerik bagi saya bukan
sekadar toko buku.
Secara personal, tempat itu
seperti peta penunjuk untuk menemukan wilayah-wilayah baru
yang ikut membentuk diri saya.
Selain itu, Gerak-Gerik adalah
saksi perubahan sosial di UIN
Jakarta. Saya memulai kuliah di
kampus ini ketika forum-forum
kajian tengah jadi primadona.
Saat itu, Anda belum sah menjadi
mahasiswa jika tak mampu
menunjukkan tempat-tempat
kajian ternama di Ciputat.
Jamaah forum-forum studi
itulah yang menjadi konstituen
setia Gerak-Gerik. Mereka yang
menganggap forum studi sama
pentingnya dengan ruang kuliah
itu, secara regular menjadikan
Halaman 3
toko-toko buku sebagai taman
bermain.
Memasuki paruh kedua
dekade 2000-an, UIN mengalami
banyak perubahan. Mahasiswa
kian disibukkan dengan tugas
kuliah. Saya mengingat dengan
jelas proses bergantinya bukubuku bacaan di tangan mahasiswa menjadi buku teks kuliah.
Saya bahkan bisa mengingat
mahasiswa terakhir yang setia
membawa buku bacaan kala
tengah nongkrong.
Perubahan ini turut dirasakan
toko-toko buku. Perlahan-lahan
mereka menyingkirkan bermacam buku dari rak-raknya,
menggantinya dengan sebatas
buku teks. Tapi Gerak-Gerik tetap
keras kepala.
Di saat-saat seperti itulah ,
sekitar lima tahun lalu, Tion menyatakan ingin meneladani para
pedagang Cina, setelah sebelumnya mengeluhkan kian minimnya
mahasiswa yang mendatangi
Gerak-Gerik.
―Hitung jumlah toko buku (di
sekitar) yang masih bertahan. Itu
indikator minat baca mahasiswa
UIN,‖ ujarnya ketika itu.
Saya bisa mengingat keberadaan sekitar 17 toko buku di
radius 1 km di sekeliling UIN Jakarta. Saat ini yang tersisa tinggal
lima.
Jika Tion benar, setidaknya
masih ada Rektor Komaruddin
Hidayat yang masih percaya lembaganya sebagai world class university.
INI BUKAN ARAB, BUNG!
terpilih sebagai Best Punk/
Punk merupakan jenis atau
Hardcore/Post-Hardcore di ICEMA
genre musik yang lahir di awal
tahun 1970-an. Genre ini berakar award 2012.
pada sebuah subkultur yang
Lagu ini merupakan sindiran
muncul di kota London, Inggris.
keras terhadap situasi dan
Punk seringkali menyindir para kondisi sosial masyarakat Indonesia, mengenai hukum-hukum
penguasa yang mengalami keagama yang dipaksakan pada
merosotan moral, melalui lagusemua orang tanpa pandang
lagu dengan musik dan lirik sebulu. Padahal hubungan setiap
derhana yang terkadang kasar
individu dengan Tuhan meruserta beat yang cepat dan
pakan hal yang sifatnya sangat
menghentak. Cara yang tak bipersonal.
asa.
Lirik-lirik lagu yang diceritakan
dalam jenis musik ini mencakup
aspek politik, lingkungan hidup,
ekonomi, ideologi, sosial dan
bahkan masalah agama.
Walaupun dikemas dengan
musik yang keras dan ngebut,
lagu ini kental dengan nilai-nilai
kemanusiaan, bahwasanya kebebasan memeluk kepercayaan
adalah hak fundamental dari
setiap individu yang ada di seluruh dunia
***
Setelah obrolan itu, kami tak
lagi punya kesempatan berbincang secara pribadi, hingga mendadak seorang kawan menyampaikan kabar tutupnya GerakGerik.
Kali pertama mendengarnya,
saya melengak kaget. Baru berjam-jam kemudian saya betulbetul menyadari ada bagian yang
hilang dari kehidupan saya.
Setelah Gerak-Gerik tiada, saya
jadi sadar betapa sedikit buku
yang telah saya baca.
*Penulis adalah alumnus
Psikologi UIN Jakarta
Oleh: Ricardo Taufano
paksa orang lain
untuk memiliki
mimpi yang sama.
Pemaksaan
hukum-hukum
partikular terhadap kehidupan
masyarakat yang
universal, telah
mengganggu ketenangan dan
kebebasan
masyarakat minoritas, khususnya di
Indonesia.
Lebih-lebih
ketika muncul
organisasi paramiliter, yang ser―Kau paksakan budaya, tapi
ingkali melakukan
kita bukan di Arab di jaman nabi.
aksi yang bersifat memaksa dan
Cepatlah kau mati, tagih pahadestruktif. Parahnya, aparat neBagi Milisi Kecoa, memiliki
lamu di surga. Surgamu, neragara permisif terhadap tindak
mimpi dan ideal tertentu adalah
kaku. Ini bukan Arab, Bung. Bukekerasan mereka. Negara
hal yang wajar dan alami. Namun
kan!!”
seakan absen dalam melindungi
saat mimpi dan ide itu menghanPenggalan dari lirik lagu di atas curkan hidup orang lain dan ber- warga.
diambil dari salah-satu band
sifat memaksa, hal itu tentu sanAgama beserta semua hukumPunk/Hardcore asal Bandung,
gatlah mengganggu. Mimpi dan
hukumnya merupakan hal yang
Milisi Kecoa. Lagu ini adalah
ideal yang kita percaya dan yakini personal. Tak peduli apapun yang
salah-satu lagu yang masuk dan adalah milik kita sendiri, jangan
dipercayai, yang jelas, kita tidak
dapat memaksakan apa yang kita
yakini pada orang lain.
―Lagipula, apa gunanya kalau
orang lain ikut jalanmu dengan
dilandasi keterpaksaan?‖
demikian kutipan yang tertera
dalam di blog Milisi Kecoa.
―Ini Bukan Arab, Bung!‖.
4. Catatan
Halaman 4
PRESIDEN REPUBLIK TWITTER
Oleh: Wisnu Prasetya Utomo*
Mengaku menyimak dinamika perkembangan
teknologi komunikasi yang
semakin masif, Presiden SBY
akhirnya memutuskan untuk
membuka akun twitter. Hal ini
mengikuti ―perpindahan besar
-besaran‖ ke dunia maya yang
dilakukan oleh para pemimpin
berbagai negara.
Data yang dirilis Digital
Policy Council di akhir 2012
menunjukkan, lebih dari 75
persen pemimpin negara telah memiliki akun twitter.
Sementara, dari 20 negara
yang tergabung dalam G-20 pun
hanya pemimpin dari 4 negara –
termasuk Indonesia – belum
punya. Lembaga ini memperkirakan, di tahun 2013 semua kepala
negara akan memilikinya.
jarak yang jauh antara masyarakat dengan negara. Keunikan,
atau — kalau bisa dibilang- keunggulan inilah yang membuat media
sosial memiliki peran besar
dalam demokratisasi dan menemukan ruang publik ―yang seMelihat fakta tersebut, langkah sungguhnya‖.
SBY bisa dibilang sedikit terlamRuang publik merupakan
bat. Keterlambatan ini tidak akan
keadaan komunikasi yang bisa
dapat ditoleransi oleh netizen
memunculkan kekuatan solidari(warga dunia maya) jika SBY
tas masyarakat . Kekuatan ini
menggunakan akunnya hanya
muncul sebagai bentuk perlauntuk melakukan pencitraan.
wanan masyarakat terhadap
uang (pasar) dan kekuasaan
Di republik twitter, presiden
(negara) agar bisa mencapai titik
tidak akan menjadi presiden.
Masyarakat tidak perlu berhada- equilibrium egalitarianisme.
pan dengan ketatnya penjagaan
Mengejar Keterlambatan
paspampres hanya untuk menyapa SBY.
Dengan memahami raison
d’etre media sosial tersebut,
Kehadiran media sosial telah
keterlambatan mesti segera dikememaksa konsep kekuasaan
jar oleh SBY (dan stafnya) agar
untuk dikaji ulang. Hierarki ataspesan-pesan melalui twitter tidak
bawah runtuh. Kesetaraan mensegera menjadi klise.
jadi penanda bagi relasi antara
masyarakat dengan negara. Tidak
Dalam kajian komunikasi
ada ―pusat‖ dan tidak ada
politik, media sosial adalah ben―pinggir‖.
tuk generasi ketiga setelah face
to face communication dan meSimak bagaimana hirukdia arus utama. Ada dua hal
pikuknya mention para netizen
utama yang perlu diperhatikan,
kepada akun twitter SBY. Dari
yang berbeda cara memanfaatmulai aspirasi persoalan seharikannya dengan dua generasi
hari, guyonan, sampai caci-maki
media sebelumnya.
terhadap presiden semua ada.
Pertama, memimpin adalah
Situasi ini muncul karena memendengarkan. Media sosial
dia sosial menyediakan platform
menjadi ruang yang sepenuhnya
interaksi yang jauh dari sifat forterbuka di mana setiap netizenmal-birokratis. Ia memangkas
bisa menyampaikan kritik dan
aspirasinya. Sarana ini potensial
untuk ―menangkap‖ berbagai
keresahan masyarakat. Apalagi,
mayoritas dari 29 juta pengguna
twitter di Indonesia terdiri dari
kelas menengah terdidik dan
kritis. Aspirasi yang muncul setiap
hari melalui medium ini sudah
selayaknya diperhatikan. Pengalaman ketidakefektifan layanan
pengaduan melalui SMS dan PO
BOX 9949 merupakan pelajaran
berharga.
Presiden Amerika Serikat
Barack Obama, misalnya, selalu
menyediakan waktu untuk menengok linimasa (timeline). Setiap
hari, ia membaca setidaknya 10
tweet yang sudah dipilihkan oleh
stafnya dari puluhan ribu mention
yang muncul. Staf pengelola twitter Obama juga bertugas
meneruskan ke kementerian
yang bersangkutan apabila ada
kritik atau pertanyaan dari warga.
Kedua, pesan harus disampaikan dengan padat dan ringkas
(brevity). Seperti diungkapkan
John H. Parmelee dalam How
Twitter Influences the Relationship between Political Leaders
and the Public (2012), keterbatasan karakter dalam twitter justru
bagus untuk publik. Para pemimpin politik dipaksa merangkum
pesan dengan sederhana agar
tidak menimbulkan penafsiran
yang lepas dari konteks awalnya.
Kita mafhum, SBY dalam komunikasi politiknya selama ini
selalu mengesankan bahwa dirinya sangat berjarak dengan
masyarakat. Tentu, ini tidak bisa
dilakukan di media sosial jika
ingin pesan dapat tersampaikan
secara efektif. Menggunakan
pola komunikasi high context
hanya akan membuat akun twitter presiden menjadi bahan lelucon dan tidak berfungsi apa-apa.
Gaya bahasa sederhana dan
informatif akan membuat para
pengikut (followers) tertarik dan
pesan yang disampaikan akan
lebih lekat di ingatan.
Migrasi Birokrasi
Selain catatan mengenai gaya
komunikasi politik di media
sosial, akun twitter SBY adalah
contoh bagi pejabat-pejabat di
bawahnya untuk ikut melakukan
―migrasi ke dunia maya‖. Dari
mulai pejabat birokrasi di tingkat
Menteri, Gubernur, Bupati dan
seterusnya. Karena sekarang
adalah era cyberdemocracy yang
mensyaratkan keterbukaan informasi dan dialog.
Keterbukaan informasi, akuntabilitas dan transparansi pemerintah salah-satunya bisa ditunjukkan melalui web atau situs resmi
pemerintah. Di sana (idealnya)
kita bisa mengakses berbagai
hal; mulai dari agenda pemerintahan sampai penggunaan uang
publik.
Kita mesti jujur tidak banyak
web resmi pemerintah yang memenuhi harapan. Bahkan ketika
kondisi ideal itu tercipta, tetap
saja tidak cukup untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam
demokrasi.
Partisipasi membutuhkan kesepahaman yang hanya bisa dibangun melalui dialog. Media
sosial menawarkan medium yang
tepat untuk terciptanya dialog
yang setara. Dengan demikian,
seperti diungkap Paul Ferber
5. Catatan
dalam Cyberdemocracy and
Online Politics: A New Model of
Interactivity (2008), ruang publik
bisa dideliberasi.
Deliberasi ruang publik membuat beragam kepentingan mendapatkan kesempatan aksentuatif. Dengan meringkas strukturstruktur birokrasi, suara masyarakat akan cepat terserap oleh
pembuat kebijakan. Komunikasi
terjadi secara horizontal, bukan
Halaman 5
vertikal. Pada akhirnya, pertukaran gagasan yang bebas dan
setara bisa memunculkan konsensus yang bermanfaat bagi
kepentingan publik.
Meskipun memang, penggunaan media sosial bukan tanpa
persoalan. Keberlimpahan informasi (information abundance) di
media sosial justru membuat
diskursus menjadi miskin pengetahuan. Kedangkalan ini bisa
dilihat dari kecenderungan mementingkan ―citra‖ ketimbang
―substansi‖ atau dan ―aksi‖
ketimbang ―gagasan‖.
Oleh karenanya, perlu satu
transformasi agensi untuk membangkitkan kembali potensi politis media sosial. Pangkalnya,
dalam setiap keberhasilan komunikasi, faktor agensi tidak mungkin diabaikan. Di sinilah
pentingnya akun twitter SBY dan
PERJUANGAN UNTUK SETARA
―The Cause is Fear”
Sebut saja Ahmadiyah pada
-Dialog dalam film A Single Man tragedi Cikeusik, Pandeglang,
Banten. Ketik kata
Sebuah dialog
‗Ahmadiyah‘ di mesin
sederhana yang
pencari, lihat sendiri
membuat saya
berapa banyak pemberiberkontemplasi.
taan tentang mereka di
Topik kontemplasi
media dan lihatlah
melebar kemanaberapa kali tempat
mana hingga
ibadah mereka dihanakhirnya saya bercurkan. Rumah mereka
henti pada satu
pun dihancurkan. Eskaltopik: diskriminasi
asi ketakutan dalam
minoritas.
kehidupan mereka seSiapa sebenarnya
makin serius setiap hari.
minoritas? Mengapa
Sebut saja Syiah di
tahun-tahun belakanSampang, mereka dilagan ini minoritas menjadi selebriti rang bertakbir di malam idul fitri,
–ada di televisi, dibicarakan di
karena jika bertakbir rumah
radio, menjadi headline utama di mereka terancam hangus.
surat kabar harian hingga mingSebut saja umat kristiani,
guan?
mari hitung bersama gerejaMenurut Kamus Besar Bagereja yang sudah ditutup, dilahasa Indonesia, minoritas adalah rang beroperasi. Mari hitung bergolongan sosial yang jumlah war- sama umat kristiani yang ketika
ganya jauh lebih kecil jika diband- beribadah dilempari air seni.
ingkan dengan golongan lain
Sebut saja kaum homosekdalam suatu masyarakat dan
sual di Jakarta. Berapa banyak
karena itu didiskriminasikan oleh dari mereka yang masih menjadi
golongan lain tersebut.
bahan opresi masyarakat hanya
Mengambil contoh apa yang
karena berbeda. Bahkan setelah
terjadi di Indonesia, saya menWHO mengeluarkan homoseksugamini apa yang ada di dalam
alitas dari International Classificadefinisi KBBI. Minoritas di Indone- tion of Diseases pada tahun
sia (sudah pasti) jumlahnya lebih 1990 dan International Day
sedikit, dan kenyataanya meAgainst Homophobia and Tranmang banyak didiskriminasi,
sphobia, yang diperingati setiap
bahkan diopresi.
17 Mei.
Secara global, bisa kita lihat
muslim di Eropa yang merupakan
minoritas dan rentan diskriminasi. Lalu siapa lagi yang dianggap rentan lalu didiskriminasi?
Siapa lagi yang akan bernasib
sama?
Sesuai dengan teori Gramsci
dengan counter-hegemonic-nya,
individu dan kelompok yang
didiskriminasi dan diopresi tidak
akan tinggal diam. Mereka membuka jalan untuk keluar dari rantai diskriminasi yang bukan tidak
mungkin sebentar lagi akan
membunuh mereka. Mereka
mengadu ke pemerintah,
meminta agar diperlakukan setara.
Alih-alih diperlakukan setara,
Ust. Tajul Muluk (Syiah) justru
mendekam di Penjara. Alih-alih
diperlakukan setara, kaum homoseksual justru semakin
didiskriminasi. Mahasiswa Riau
meminta KPU tidak loloskan Calon Gubernur (CaGub) homoseksual (headline ourvoice.or.id). Alih
-alih mendapat hak setara dalam
politik, keberadaan mereka
didemo dan diabaikan.
Mengapa mereka tetap berusaha jadi setara? Karena jengah,
juga karena takut. The cause is
fear, seperti dialog film yang saya
kutip di atas. Karena ketakutan
yang diciptakan orang-orang di
luar dunia mereka menum-
para pejabat di bawahnya.
―Republik twitter‖ menjadi
salah satu-jalan lain untuk merawat republik. Sayang jika kita
tidak segera beradaptasi. Bagaimana presiden @SBYudhoyono?
*Penulis adalah alumnus
Komunikasi UGM, penulis buku
Pers Mahasiswa Melawan
Komersialisasi Pendidikan
.
Oleh: Justian Edwin
buhkan kekuatan untuk melawan. Untuk keluar dari lingkar
diskriminasi dan opresi yang tidak kunjung berhenti.
Usaha mereka tidak dengan
konfrontasi murahan. Usaha
mereka tidak dengan demonstrasi berujung kekerasan di depan gedung DPR. Mereka tidak
berjuang untuk diri mereka
sendiri. Mereka berjuang untuk
kebebasan. Mereka menjadi aktor yang meningkatkan kewaspadaan manusia dan kelompok
manusia di sekeliling mereka
agar tahu bahwa kita, dalam negara yang (katanya) demokrasi,
dikekang oleh diskriminasi.
Mereka menyadarkan bahwa
kita, yang katanya hidup di negara yang presidennya mendapat
penghargaan karena menjunjung
tinggi toleransi umat beragama,
dikekang oleh suara mayoritas
yang menekan minoritas. Mereka
berjuang diadvokasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang dananya bukan dari dalam
negeri.
Pemerintah tidak ikut andil
dalam perjuangan mereka.
Sedih? Tidak perlu. Mereka tidak
lemah, mereka kuat.
Meraka kuat karena ketakutan yang datang ketika diancam,
ketika diopresi. Ketakutan adalah
dasar perjuangan mereka.
The cause is fear.
6. Opini
Halaman 6
KEKERASAN DI TENGAH KEBHINNEKAAN
Kerukukan antar-umat beragama makin hari makin mencemaskan di negeri ini. Berita intolensi sering terdengar di televisi.
Atas nama agama, sekelompok
orang menyerang jemaah
Ahmadiyah di Cikeusik,
Pandeglang, Banten. Buntutnya,
korban jatuh tak terelakkan. Begitu halnya dengan penyerangan
sebuah tempat ibadat di Temanggung, Jawa Tengah. Jamaah Syiah di Sampang hingga kini harus
mengungsi dan meninggalkan
tanah sendiri. Dan sederetan
kasus lain di tempat lain.
Agama nampaknya melulu
dipahami soal ritual (syar'i) dan
dogmatis (aqidah). Agama direduksi dalam bentuknya yang paling garang. Tafsir yang destruktif.
Seakan lupa, bahwa konsepsi
mendasar agama-agama terdapat pada pada dua entitas besar
yang menjadi dinamisator. Yakni,
kasih sayang (rahman) dan persaudaraan sesama manusia
(ukhuwah).
Di samping pemahaman beragama yang salah, faktor terpenting untuk mengatasi
kekerasan atas nama agama
adalah faktor negara. Negara
yang berkewajiban melindungi
setiap warganya. Namun
sayangnya, dalam banyak kasus
intolerasi yang terjadi, negara
seolah absen melindungi para
korban.
Dengan demikian, dalam hal
kekerasan yang kerap atas nama
agama yang kerap terjadi dewasa
Entah bagaimana, SBY selaku ini, jelas bahwa negara punya
kepala tidak malu menerima
tanggung jawan melindungi
penghargaan atas keberhasilan
korban dan menghukum pelaku
menjaga kerukunan umat berkekerasan, Negara harusnya
agama. Berhasilkah negara men- membela Melaka yang hakjaga kerukunan? Berhasilkah SBY haknya direnggut secara paksa.
melindungi para korban?
Namun yang terjadi, negara terlihat gagap. Negara seakan kalah
Kegagalan Negara
oleh para pelaku kekerasan. NeMenurut JJ Rosseau (1649),
gara tidak tegas menghadapi
negara haruslah menjadi peintoleransi.
lindung setiap warganya. Sebab,
Kegagapan negara dalam
ia telah merenggut kebebasan
memberikan keamanan setiap
alamiah yang dimiliki individu
warga inilah yang menjadi titik
ketika belum adanya negara
persoalan mengapa kebhinekaan
(state of nature).Negara dibutuhkanlah sebagai perekat kebe- dan kemajemukan kita terusik.
basan-kebebasan individu, serta Penulis kira ada tiga fundamental
hal yang harus ditilik sebagai
sedikit menguranginya dengan
episentrum negara yang berdausocial contract.
lat.
Individu kemudian tetap
Pertama, ancaman disintememiliki kebebasannya, namun
kebebasan itu dibatasi oleh kebe- grasi. Perkara ini kerap dianggap
selesai oleh banyak orang. Sering
basan individu lain. Dan kebedilupakan bahwa proses menuju
basan itu dibatasi dengan konintegrasi sosial tidak segampang
trak sosial yang disebakati bermembalikkan telapak tangan.
sama. Negara, sebagai institusi
yang dianugerahi tanggung jawab Padahal proses ini adalah proses
menjaga kontrak sosial itu, punya dinamis, yang tidak bisa dirawat
kewajiban melindungi warga yang hanya dengan acara-acara formal
seperti dialog antar-agama yang
hak-haknya direnggut. negara
berkewajiban menghukum pelaku boros anggaran. Peran pendidikan, pemberitaan media dan
kekerasan dan kriminal karena
menyalahi kontrak sosial, karena teladan dari para pemuka masayarakat dan agama penting di
melanggar kebebasan individu
sini.
lain.
Oleh: Dedik Priyanto
Bisa dilihat, misalnya, pada
kasus India dan Pakistan yang
akhirnya berpisah. Sebelum
terpisah menjadi negara berbeda,
persatuan' keduanya berawal
pada pseudo-politics', dilanjutkan
dengan ketidakmampuan negara
sebagai payung pemersatu. Indonesia, agaknya akan mengalami
kejadian yang sama. Jika negara'lagi-lagi' gagal menjalankan
tugasnya, serta hanya
memikirkan kekuasaan dan citra
terhadap suatu masalah.
Kedua, politisasi agama. Dua
anasir ini ibarat dua mata sisi
yang melengkapi. Bahwa agama
dan politik sulit dipisahkan di
negara yang abu-abu seperti Indonesia: sekuler bukan dan
teokrasi juga bukan.. Namun,
menjadi bermasalah jika agama
itu dipolitisasi oleh segelintir
golongan untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka.
Buahnya, adalah kekerasan yang
berbau agama.
Ketiga, identitas negara. Menjadi Indonesia adalah menyerupa
nasionalis tanpa perlu mengamit
agama sebagai teman sejawat
dalan lelaku. Agama bukanlah
embrio dari Pancasila sebagai
paradigma berpikir bangsa.
Meski sejak awal diakui para
pendiri bangsa bahwa negara ini
adalah negara beragama, tapi
mereka tidak pernah bermaksud
mendirikan negara agama. Hal ini
terlihat jelas dari penghapusansembilan kata yang tadinya tercantum dalam sila pertama.
Landasan bangsa bertumpu
pada toleransi, kebersamaan,
kekeluargaan dan sikap saling
menyayangi antara sesama.
Untuk itulah, segala silang
sengkarut perbedaan tidak
dibenarkan berakhir dengan
kekerasan. Kita seharusnya malu
pada nenek moyang dan tanah
nusantara ini jika pertikaian
karena agama sampai terjadi.
Intelektual muda Ahmad Makki
di suatu kesempatant pernah
berkata: ―pertengkaran demi
meributkan perbedaan, apalagi
sampai mengepal tinju dan melempar batu, adalah kebisingan
yang mengganggu tidur siang.‖
7. Resensi
Halaman 7
BAYANG-BAYANG TETRALOGI PULAU BURU
Kita tahu Pulau Buru.
Tetralogi Pulau Buru karya
Pramoedya Ananta Toer sangat
laris dan legendaris. Kita tahu,
Buru adalah penjara hidup bagi
mereka yang dianggap ancaman
bagi Orde Baru, tahanan poltik
yang dianggap berhubungan dengan PKI, termasuk Pramoedya.
Apakah kita benar-benar tahu?
Amba hadir memberi tahu kita
berbagai detail Pulau Buru. Sebagai roman sejarah, karya Laksmi
Pamuntjak ini menghadirkan
lanskap, aroma, suasana dan
gejolak Buru. Melalui tokohtokohnya, Laksmi berhasil menyajikan segala tentang Buru ke hadapan pembaca.
Tidak berlebihan bila Sitok
Srengenge mengatakan, ―inilah
novel Pulau Buru yang sebenarnya.‖ Karena latar utama
novel ini adalah Buru. Tetralogi
Pulau Buru bukanlah novel-novel
tentang Buru yang sebenarnya. Ia
hanya dicatat di Buru.
Amba bercerita tentang
peristiwa 30 September 1965
dan segala tragedi yang mengikutinya. Dengan mengadaptasi
kisah pewayangan, tentang
Amba, Bhisma dan Salwa, kita
diajak berkelana. Kisah pewayangan hadir dalam versi berbeda,
dalam kehidupan manusia modern Indonesia yang bersentuhan
langsung dengan fase paling
berdarah dalam sejarah negara
ini, 1965 dan beberapa tahun
sesudahnya.
Diceritakan, Amba Kinanti
seorang gadis biasa dari Kadipura, daerah pinggiran Yogyakarta. Amba dibesarkan di tengah
-tengah keluarga Jawa yang sehari-hari menghayati kisah pewayangan. Dari Ayahnya, Sudarminto, seorang kepala sekolah,
Amba mempelajari kearifan
khasanah Jawa, mulai Mahabharata,Wedhatama hingga Serat
Centhini.
Amba lalu tumbuh menjadi
gadis cerdas yang memiliki pilihan-pilihan dan mimpi-mimpinya
sendiri. Pilihan yang seringkali
membuat ibunya, Nuniek, mendadak jantungan. Termasuk pilihannya untuk tidak mau langsung
menikah selepas lulus SMA. Pilihan yang cukup asing bagi orangorang sekampungnya.
Di lain pihak, ayah-ibunya
telah menemukan sosok calon
menantu terbaik dalam diri
Salwa, Salwani Munir, dari sebuah perjumpaan tak sengaja di
Universitas Gajah Mada. Mereka
berjumpa ketika Sudarminto diundang dalam sebuah pertemuan
guru di kampus itu. Salwa, dosen
muda dengan masa depan cerah
dan non-PKI semakin memanas.
Dokter yang membutuhkan terjemahan itu adalah Bhisma
Rashad, dokter lusan lulusan
Leipzig, Jerman Timur, karib tokoh-tokoh CGMI.
Dalam waktu singkat, Amba
memadu cinta dengan Bhisma.
Amba jatuh cinta kepada Bhisma
karena menemukan gairah yang
berbeda pada diri Bhisma, daya
pikat yang memukau dan mengejutkan. Kisah-kisah dan pengembaraannya di Eropa begitu
memesona bagi Amba. Sesuatu
yang tidak dimiliki Salwa yang
lempang-lempang saja.
Oleh: Arlian Buana C
alam dan tentara yang buas bersama 12.000 lebih tahanan lainnya. ‖Di Pulau Buru, orang sudah
biasa melontarkan pertanyaan
dan tak mendapat jawaban,‖ tulis
Laksmi. Ia berhasil membeberkan
derap dan denyut Buru yang penuh kegilaan.
Novel ini memperkaya diskusi
sejarah nasional kita. Amba setidaknya bisa membuka mata generasi Indonesia saat ini dan nanti
dalam memahami tragedi 1965.
Bahwa pernah ada jutaan manusia yang sejarahnya disingkirkan
oleh kekuasaan Orde Baru. Dan
kita tidak bisa menutup mata.
Seperti Tetralogi Pulau Buru,
novel ini mengangkat kisah anak
manusia yang melawan laju sejarah, meskipun harus kalah.
Bhisma, tokoh utama yang digilas
sejarah dan kehilangan segala
kehidupan, impian pribadi, serta
cintanya, tetap berjuang
(melawan) untuk menemukan arti
hidupnya.
―Jika aku berbuat dan kalah,
setidaknya kekalahan itu tidak
kehilangan nilai,‖ kata Bhisma.
Terdengar familiar, bukan? Ya,
kutipan itu semangatnya memang sangat mirip dengan baris
terakhir Bumi Manusia: ―Kita
telah melawan, Nak, Nyo, sebaikPilihan Amba untuk kuliah
Lantas datanglah peristiwa
baiknya, sehormat-hormatnya.―
Fakultas Sastra UGM akhirnya
berdarah itu. Mereka harus
Tentu banyak topik yang dibiditerima oleh ayah-ibunya. Den- dipisahkan sejarah setelah Amba carakan novel ini, sebagaimana
gan pertimbangan agar Salwa
mengandung benih Bhisma.
Tetralogi; pribadi yang mencari
dan Amba semakin dekat. Salwa
jati diri dan seringkali berbenmelakoni perannya sebagai
***
turan dengan akar budayanya,
kekasih yang lurus, memenuhi
Laksmi menyajikan cerita ini
tentang sosok perempuan kuat,
segala kekurangan Amba dan
dengan sangat apik. Pilihan kata dan lain-lain.
menjaga kehormatannya. Sampai yang digunakan dan kalimat yang
Amba sepertinya akan selalu
di tahun kedua, Salwa harus ber- dilontarkan sebagian besar tidak menjadi bayang-bayang Tetralogi
pindah ke Surabaya untuk sepernah gagal menjadi puitis. Be- Pulau Buru. Entah berkah entah
buah pekerjaan selama setahun. gitu manis meski menampilkan
kutukan. Bisakah Amba berlari
Di sinilah cinta segitiga
kenangan pahit bangsa ini.
meninggalkan bayangan itu?
Bhisma-Amba-Salwa bermula.
Dengan sangat baik, Laksmi
DATA BUKU
Menjelang meletusnya G 30 S,
menggambarkan keadaan sosialJudul
: Amba
Amba mendapat pekerjaan seba- politik di Kediri dan Yogyakarta
Penulis : Laksmi Pamuntjak
gai penerjemah jurnal-jurnal kesebelum, ketika dan pasca mePenerbit : Gramedia Pustaka
dokteran di Rumah Sakit Sono
letusnya G 30 S. Dan tentu saja
Utama
Walujo, Kediri, selama seminggu. ia melukiskan Pulau Buru, tempat Tebal
: 494 halaman
Situasi saat itu mulai genting.
dimana Bhisma harus
ISBN
: 978-979-22-8879-2
Ketegangan antar kelompok PKI menghabiskan hidup, ditengah
8. Celoteh
Halaman 8
SOEKARNO DI MATA TUKANG PECEL LELE
―Anda dari mana?‖
sederet bintang di pundak dan
dada. Raut muka gagah, klimis,
―Dari Indonesia.‖
tak satu bulu pun dibiarkan tum―Oh.. Soekarno!‖
buh. Sementara di kepalanya
―Iya.‖
bertengger kopiah hitam.
―Dia bukan hanya pemimpin
Sekali waktu saya bertandang
ke pulau Tidung. Di sana saya
Indonesia, tapi juga Afrika.‖
sempat mampir ke rumah lelaki
Percakapan itu terjadi antara
berusia 80 tahun. Kemudian
seorang supir taksi dengan sastrawan Asrul Sani di Afrika. Saya ngobrol banyak hal. Dari mulai
sejarah, budaya setempat, pemembaca kisahnya di majalah
rubahannya; laut dan nelayan,
Horison, entah edisi berapa.
Taksi berhenti begitu sampai di pandangannya terhadap pesatnya pariwisata daerah itu, hingga
tujuan. Asrul menyodorkan ongurusan cinta masa mudanya.
kos, tapi si sopir taksi
Dalam hitungan jam, kami akmenolaknya.
rab; hingga ia sempat mengajak
―Kita sama-sama dipimpin
Soekarno. Jadi, kita saudara jauh. saya memasuki kamarnya. Ada
Sekalinya bertemu, masak harus lemari tua dengan buku-buku tua,
dan lampu teplok. Di salah-satu
bayar?‖
dinding, tertempel gambar seseorang berpakaian rapi dengan
***
sederet bintang di pundak. Raut
Di bilangan Ciputat, saya permuka gagah, klimis, tak satu bulu
nah sekali makan di sebuah
pun dibiarkan tumbuh. Semenwarteg. Lidah saya kurang cocok
tara di kepalanya bertengger
dengan masakannya. Tapi karena
kopiah hitam: Soekarno!
lapar, habis juga sepiring. Pelajaran yang bisa diambil: lain kali
***
saya tak usah makan di situ.
Sepulang dari makan di tenda
Tapi saya langsung meralat
pecel lele favoritnya, teman saya
niat itu ketika tatapan terantuk
pada dinding warung. Di situ ter- yang bernama Pagar Dewo, denpampang gambar seseorang ber- gan sangat semangat menceritapakaian coklat kehijauan dengan kan sebuah dongeng. Sebuah
dongeng yang ia yakini betul akan
segera menjadi legenda urban.
Saya terpaksa mendengarkan.
Karena sudah akrab, seperti
biasa Pagar Dewo ngobrol ngalorngidul tanpa juntrungan dengan
si tukang pecel lele. Hinga di satu
titik, obrolan jatuh pada sosok
Soekarno.
Tak perlu saya tuliskan apa
yang dimuncratkan mulut Pagar
Dewo mengenai kebesaran
Soekarno. Karena akan sia-sia,
ibarat menggarami lautan. Intinya, Soekarno bukan hanya
nama yang mengacu kepada
seseorang bernama Soekarno. Ia
adalah kata kerja, bahkan semangat.
"Soekarno lebih dari sekadar
nama. Soekarno adalah kata
kerja. Soekarno itu semangat!"
Tapi si tukang pecel lele hanya
cengengesan melihat Pagar Dewo
berapi-api. Di sela-sela menghisap kreteknya, ia memainmainkan kumisnya yang melintang tebal, baplang. Dengan santai ia bilang, Soekarno punya satu
kekurangan fatal sebagai lelaki.
―Sayang, Soekarno itu, kurang
satu. Satu saja,‖ ungkapnya.
―Mudah jatuh cinta? Gampang
tersandung karena wanita?‖ Pagar Dewo langsung menebak.
Oleh: Abdullah Alawi
―Bukan!‖
―Dituduh terlibat Gestapoe?‖
"Juga bukan."
―Terus apa?‖ Pagar Dewo mu-
lai penasaran.
Saya yang tadinya malasmalasan mendengarkan ikut
penasaran; penasaran yang sama
-sebangun dengan penasaran
Pagar Dewo ketika menghadapi
tukang pecel lele itu.
Apakah si tukang pecel punya
temuan data lain yang belum
pernah tersebar? Atau cerita yang
tak pernah diceritakan yang didapat dari leluhurnya?
"Emang apa tho, Cak?" Pagar
Dewo mendesak.
Tukang pecel makin cengengesan, makin asyik mengisap
kreteknya, seolah mempermainkan rasa penasaran Pagar
Dewo.
―Apa sih, Cak? Apa kekurangan
Soekarno itu?‖ Pagar Dewo kehabisan stok sabar.
―Ini belum pernah disebut di
ruang kuliah atau seminar
manapun. Ini juga tidak pernah
ditulis dan tak ada di buku mana
pun.‖
―Iya, apa?‖
―Dia tak berkumis!‖
"Soekarno lebih dari
sekadar nama. Soekarno
adalah kata kerja.
Soekarno itu semangat!"
Tabloid Biru
Meyediakan Kolom Iklan:
1 kolom di halaman depan/
belakang: Rp. 1.000.000.
1 halaman penuh di bagian
dalam Rp. 2.000.00 0
1/2 kolom di halaman depan
dan belakang: Rp. 500.000
1 kolom di halaman dalam:
Rp. 500.000
1/2 kolom di halaman dalam:
Rp. 250.000
Iklan baris: minimal