SlideShare a Scribd company logo
1 of 56
peran perawat dalam mensukseskan muna
sehat
Secercah Asa « r4mzk3sr4w4n's blog

RUU Praktik Keperawatan
Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan veteran yang merupakan bagian constituent dari
pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu,
keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses
kehidupan manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan
complement klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai
lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk
praktik keperawatan particular dan berkelompok
Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan
dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan.
Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh
perawat.
2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan
Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama,
alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat
kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan
pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi
pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan
hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi
keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin,
kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu,
Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi,
kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait
lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan
keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO,
2002).
Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa
pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu
keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak
memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah
berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi
dan Praktik Perawat.
Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya
pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma
dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari indication medikal yang menitikberatkan
pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik
yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan
(Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang
mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian constituent dari
pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan
penyelenggaraan pelayanan keperawatan.
Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya
pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki
kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan
dignified profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu.
Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan
.Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun
dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari.
Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang
menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan
pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan
kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas
kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%).
Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari.
Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami
kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat
terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan
klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di
puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas,
sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan.
Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerahdaerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan
terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak
dipertanggungjawabkan secara professional.
Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum
terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan
kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang
mendapat izin melakukan praktik keperawatan.
Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin
tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak
hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan
keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang
menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada
pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan.
Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan
terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha
mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang
didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992).
Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan
profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU
Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004.
Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara
yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif
Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui
pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan joke tidak sedikit. Tapi
kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada module
Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI,
2008).
Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal
ini terkait standing DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga
pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di
masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU
Keperawatan joke masuk dalam bulletin DPR RI.
Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :
“ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik
langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan
lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan
standar pratik keperawatan.
Dan pasal 2 berbunyi :
“ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah,
etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta
keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.
2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan
Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama,
Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan
(body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam
tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di
Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan
bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai
karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan
kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi
pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas)
. Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang
dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang grave dan terstandar menuntut
perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan
yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja
sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan
sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan
melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil
Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan
akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi
pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang
mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan
sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik
keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar
. Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan.
Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah
dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian
tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum,
bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap
rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil,
berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini
memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama
berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan
yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal,
keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002)
Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam
Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000
perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000
RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum
termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit
dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan
Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan.
Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta
penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh
menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan
memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme
pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga
keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.
Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN)
perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang
telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan
hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena
itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang
menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang
diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali
melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU
Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena
mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah
demikian kuat.
2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan :
1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan
Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur
kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.
2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga
kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan
apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan
dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan
tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada
tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan
pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya
mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana).
UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan
pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan
seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak
mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.
3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.
Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan
rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang
dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturanperaturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya.
UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat
pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai
contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang
tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini,
lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan
akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih
jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.
4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979
Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan)
dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa
tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.
5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980
Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan
bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga
keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk
mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan
ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara
lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus
menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan
mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi
terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi
tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau
pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.
6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 Nov
1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point.
Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik
pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga
keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan
II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan
Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya
dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya
7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992
Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik
keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak
pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk
keperawatan.
Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan
pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :
Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau
melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya
Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga
kesehatan.
2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan
1.
Fungsi Keperawatan
Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik
keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
2.
Tugas Keperawatan
1.
Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan
2.
Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi
masyarakat
Wewenang
2.
Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan
2.
Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan
dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan
3.
Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat
4.
Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat
5.
Menetapkan penyelenggaraan module pendidikan keperawatan
TREN DAN ISU MUTAKHIR PRAKTEK PERAWAT
Upaya-upaya bidang kesehatan selama ini seperti preventif, promoti, kuratif dan rehabilitatif
rupanya perlu mendapatkan refleksi dari perawat. Kritisi tersebut bukan untuk menggugat
cakupan pelayanan kesehatan, melainkan perawat perlu menciptakan indication praktik
pelayanan perawatan yang khas dan berbeda, sehingga meskipun perannya tidak langsung
berdampak terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia, namun tetap berarti (mengisi
sektor yang kosong/tidak tergarap) karena perannya tidak identik dengan profesi lain atau
sebagai underling sistem tenaga kesehatan lainnya.
Mengingat hal – hal tersebut kita perlu mencermati beberapa peristiwa di belahan dunia lain,
akan perubahan – perubahan konsep dan pengembangan kesehatan. Khususnya di negara
maju seperti Amerika, hasil riset yang dikemukakan oleh Bournet (dalam Jurnal Riset)
tentang perkembangan “Hospital At Home” atau perawatan pasien di rumah mereka sendiri,
secara kuantitatif menunjukan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1970an
rasionya adalah 291 ; 1 , kemudian tahun 1990an perbandingannya sekitar 120 ; 1 dan
terakhir penelitian pada tahun 2004 perbedaannya menjadi semakin tipis yaitu 12 ; 1. Masih
penelitian tentang Hospital At Home dan di Amerika menunjukan bahwa, tingkat kepuasan
pasien yang di rawat di rumahnya sendiri lebih memuaskan pasien dan keluarga
dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit. Bila kita melihat tren dan isu di
negara lain tersebut kita dapat membuat satu analisis bahwa, Hospital At Home akan menjadi
salah satu indication anyar yang perkembangannya akan sangat pesat.
Implikasinya bagi perawat dan praktek keperawatan jelas hal ini merupakan angin surga,
karena dengan praktik dalam indication Hospital At Home, perawat akan menunjukan
eksistensinya. Keuntungannya dalam meningkatkan peran perawat antara lain; (1) Otonomi
praktik keperawatan akan jelas dibutuhkan dan dibuktikan, mengingat kedatangan perawat ke
rumah pasien memikul tanggung jawab profesi, (2) Perawat dimungkinkan menjadi manager/
personality dalam menentukan atau memberikan pandangan kepada pasien tentang pilihan –
pilihan tindakan atau rujukan yang sebaiknya ditempuh pasien, (3) Patnership, berdasarkan
pengalaman di lapangan kebersamaan dan penghargaan dengan sesama rekan sejawat serta
profesi lain memperlihatkan ke-egaliterannya , (4) Riset dan Pengembangan Ilmu, hal ini
yang pale penting, dengan adanya konsistensi terhadap keperawatan nampak fenomena
keunggulan dari Hospital At Home ini, ketika perawat mengasuh pasien dengan jumlah pale
ideal yaitu satu pasien dalam satu waktu, interaksi tersebut selain memberikan tingkat
kepuasan yang baik juga memberikan dorongan kepada perawat untuk memecahkan masalah
secara systematic approach.
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa ruang kosong praktek Hospital At Home ini
menjadi peluang bidang garap yang akan menambah tegas betapa perawat memiliki peran
yang tidak identik dan tidak tergantikan. Pengalaman di lapangan membuktikan tentang
betapa tingginya animo masyarakat akan kehadiran Hospital At Home (Nursing At Home),
hanya saja ada beberapa tantangan yang menuntut keseriusan untuk segera mengembangkan
indication ini. Tantanga tersebut diantaranya adalah Infrastruktur Hospital At Home yang
sangat mahal, salahsatunya adalah keberadaan alat kesehatan, dengan konsep one collection
one patien/home, maka bisa dibayangkan kebutuhan alat kesehatan ini akan semakin
membengkak, baik kebutuhan secara jumlah ataupun mahalnya alat tersebut. Kedua adalah
sosialisasi, perlu adanya perumusan metoda sosialisasi yang efektif, ethic dan authorised
dalam mengenalkan indication pelayanan Hospital At Home tersebut agar tidak terjadi
misinterpretasi dan miskomunikasi.
LANDASAN HUKUM PROFESI PERAWAT
Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain
dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum.
Ketiga norma tersebut, khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban di
dalam masyarakat. Dengan terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada kahirnya
perdamaian dalam berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi.
Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan
pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di bidang
kesehatan diperlukan tiga faktor :
1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari
pemerintah
2. perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan
3. perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu.
Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima
jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam
pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena
hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi
juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman
kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan
dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan.
I. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
I.1. BAB we Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
I.2. Pasal 1 Ayat 4
Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan.
II. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK
No. 647/MENKES/SK/IV/2000)
II.1. BAB we Ketentuan Umum Pasal 1 :
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar
negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan
untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia (garis bawah saya).
3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan
keperawatan di seluruh wilayah Indonesia (garis bawah saya).
ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan
pasal 340 KUHP. Salah satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat
(4) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur
mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau
ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan :
“barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan
dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana
penjara pale lama 5 (lima) tahun atau pidana denda pale banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).”
perorangan/berkelompok (garis bawah saya).
5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi secara baik
II.1.2. BAB III Perizinan, Pasal 8 :
1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan,
praktek perorangan/atau berkelompok.
2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus
memiliki SIK (garis bawah saya).
3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (garis
bawah saya).
Pasal 9 Ayat 1
SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan
kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
Pasal 10
SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 12
(1).SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan
permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
4. Surat Ijin Praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan
perawat untuk menjalankan praktek perawat
(2).SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan
atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi.
Pasal 13
Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian
kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik
profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan.
Pasal 15
Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk :
a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan,
perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi
keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.
c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus
sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi.
d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari
dokter (garis bawah saya).
Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20;
(1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang
untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
(2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk
penyelamatan jiwa.
Pasal 21
(1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang
prakteknya. (garis bawah saya).
(2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan
praktek (garis bawah saya).
Pasal 31
(1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang :
a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut.
b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi.
(2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan
tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a.
Di dalam praktek apabila terjadi pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum
lebih cenderung mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan
ketentuanSebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang
beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan
tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar
Diposkan oleh Cermin Politik Perawat Indonesia
2009/09/02 Categories: keperawatan, Secercah Asa Tags: RUU Praktik Keperawatan 15
Komentar »
RUU Praktik Keperawatan « r4mzk3sr4w4n's blog

RUU Praktik Keperawatan
Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan veteran yang merupakan bagian constituent dari
pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu,
keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses
kehidupan manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan
complement klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai
lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk
praktik keperawatan particular dan berkelompok
Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan
dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan.
Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh
perawat.
2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan
Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama,
alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat
kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan
pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi
pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan
hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi
keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin,
kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu,
Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi,
kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait
lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan
keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO,
2002).
Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa
pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu
keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak
memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah
berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi
dan Praktik Perawat.
Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya
pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma
dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari indication medikal yang menitikberatkan
pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik
yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan
(Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang
mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian constituent dari
pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan
penyelenggaraan pelayanan keperawatan.
Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya
pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki
kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan
dignified profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu.
Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan
.Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun
dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari.
Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang
menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan
pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan
kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas
kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%).
Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari.
Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami
kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat
terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan
klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di
puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas,
sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan.
Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerahdaerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan
terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak
dipertanggungjawabkan secara professional.
Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum
terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan
kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang
mendapat izin melakukan praktik keperawatan.
Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin
tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak
hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan
keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang
menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada
pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan.
Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan
terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha
mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang
didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992).
Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan
profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU
Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004.
Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara
yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif
Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui
pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan joke tidak sedikit. Tapi
kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada module
Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI,
2008).
Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal
ini terkait standing DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga
pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di
masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU
Keperawatan joke masuk dalam bulletin DPR RI.
Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :
“ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik
langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan
lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan
standar pratik keperawatan.
Dan pasal 2 berbunyi :
“ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah,
etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta
keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.
2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan
Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama,
Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan
(body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam
tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di
Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan
bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai
karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan
kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi
pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas)
. Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang
dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang grave dan terstandar menuntut
perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan
yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja
sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan
sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan
melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil
Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan
akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi
pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang
mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan
sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik
keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar
. Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan.
Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah
dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian
tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum,
bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap
rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil,
berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini
memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama
berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan
yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal,
keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002)
Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam
Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000
perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000
RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum
termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit
dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan
Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan.
Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta
penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh
menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan
memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme
pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga
keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.
Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN)
perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang
telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan
hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena
itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang
menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang
diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali
melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU
Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena
mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah
demikian kuat.
2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan :
1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan
Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur
kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.
2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga
kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan
apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan
dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan
tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada
tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan
pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya
mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana).
UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan
pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan
seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak
mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.
3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.
Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan
rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang
dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturanperaturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya.
UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat
pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai
contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang
tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini,
lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan
akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih
jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.
4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979
Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan)
dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa
tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.
5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980
Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan
bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga
keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk
mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan
ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara
lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus
menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan
mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi
terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi
tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau
pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.
6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 Nov
1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point.
Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik
pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga
keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan
II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan
Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya
dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya
7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992
Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik
keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak
pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk
keperawatan.
Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan
pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :
Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau
melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya
Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga
kesehatan.
2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan
1.
Fungsi Keperawatan
Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik
keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
2.
Tugas Keperawatan
1.
Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan
2.
Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi
masyarakat
Wewenang
2.
Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan
2.
Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan
dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan
3.
Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat
4.
Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat
5.
Menetapkan penyelenggaraan module pendidikan keperawatan
TREN DAN ISU MUTAKHIR PRAKTEK PERAWAT
Upaya-upaya bidang kesehatan selama ini seperti preventif, promoti, kuratif dan rehabilitatif
rupanya perlu mendapatkan refleksi dari perawat. Kritisi tersebut bukan untuk menggugat
cakupan pelayanan kesehatan, melainkan perawat perlu menciptakan indication praktik
pelayanan perawatan yang khas dan berbeda, sehingga meskipun perannya tidak langsung
berdampak terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia, namun tetap berarti (mengisi
sektor yang kosong/tidak tergarap) karena perannya tidak identik dengan profesi lain atau
sebagai underling sistem tenaga kesehatan lainnya.
Mengingat hal – hal tersebut kita perlu mencermati beberapa peristiwa di belahan dunia lain,
akan perubahan – perubahan konsep dan pengembangan kesehatan. Khususnya di negara
maju seperti Amerika, hasil riset yang dikemukakan oleh Bournet (dalam Jurnal Riset)
tentang perkembangan “Hospital At Home” atau perawatan pasien di rumah mereka sendiri,
secara kuantitatif menunjukan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1970an
rasionya adalah 291 ; 1 , kemudian tahun 1990an perbandingannya sekitar 120 ; 1 dan
terakhir penelitian pada tahun 2004 perbedaannya menjadi semakin tipis yaitu 12 ; 1. Masih
penelitian tentang Hospital At Home dan di Amerika menunjukan bahwa, tingkat kepuasan
pasien yang di rawat di rumahnya sendiri lebih memuaskan pasien dan keluarga
dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit. Bila kita melihat tren dan isu di
negara lain tersebut kita dapat membuat satu analisis bahwa, Hospital At Home akan menjadi
salah satu indication anyar yang perkembangannya akan sangat pesat.
Implikasinya bagi perawat dan praktek keperawatan jelas hal ini merupakan angin surga,
karena dengan praktik dalam indication Hospital At Home, perawat akan menunjukan
eksistensinya. Keuntungannya dalam meningkatkan peran perawat antara lain; (1) Otonomi
praktik keperawatan akan jelas dibutuhkan dan dibuktikan, mengingat kedatangan perawat ke
rumah pasien memikul tanggung jawab profesi, (2) Perawat dimungkinkan menjadi manager/
personality dalam menentukan atau memberikan pandangan kepada pasien tentang pilihan –
pilihan tindakan atau rujukan yang sebaiknya ditempuh pasien, (3) Patnership, berdasarkan
pengalaman di lapangan kebersamaan dan penghargaan dengan sesama rekan sejawat serta
profesi lain memperlihatkan ke-egaliterannya , (4) Riset dan Pengembangan Ilmu, hal ini
yang pale penting, dengan adanya konsistensi terhadap keperawatan nampak fenomena
keunggulan dari Hospital At Home ini, ketika perawat mengasuh pasien dengan jumlah pale
ideal yaitu satu pasien dalam satu waktu, interaksi tersebut selain memberikan tingkat
kepuasan yang baik juga memberikan dorongan kepada perawat untuk memecahkan masalah
secara systematic approach.
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa ruang kosong praktek Hospital At Home ini
menjadi peluang bidang garap yang akan menambah tegas betapa perawat memiliki peran
yang tidak identik dan tidak tergantikan. Pengalaman di lapangan membuktikan tentang
betapa tingginya animo masyarakat akan kehadiran Hospital At Home (Nursing At Home),
hanya saja ada beberapa tantangan yang menuntut keseriusan untuk segera mengembangkan
indication ini. Tantanga tersebut diantaranya adalah Infrastruktur Hospital At Home yang
sangat mahal, salahsatunya adalah keberadaan alat kesehatan, dengan konsep one collection
one patien/home, maka bisa dibayangkan kebutuhan alat kesehatan ini akan semakin
membengkak, baik kebutuhan secara jumlah ataupun mahalnya alat tersebut. Kedua adalah
sosialisasi, perlu adanya perumusan metoda sosialisasi yang efektif, ethic dan authorised
dalam mengenalkan indication pelayanan Hospital At Home tersebut agar tidak terjadi
misinterpretasi dan miskomunikasi.
LANDASAN HUKUM PROFESI PERAWAT
Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain
dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum.
Ketiga norma tersebut, khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban di
dalam masyarakat. Dengan terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada kahirnya
perdamaian dalam berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi.
Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan
pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di bidang
kesehatan diperlukan tiga faktor :
1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari
pemerintah
2. perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan
3. perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu.
Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima
jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam
pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena
hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi
juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman
kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan
dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan.
I. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
I.1. BAB we Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
I.2. Pasal 1 Ayat 4
Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan.
II. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK
No. 647/MENKES/SK/IV/2000)
II.1. BAB we Ketentuan Umum Pasal 1 :
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar
negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan
untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia (garis bawah saya).
3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan
keperawatan di seluruh wilayah Indonesia (garis bawah saya).
ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan
pasal 340 KUHP. Salah satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat
(4) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur
mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau
ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan :
“barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan
dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana
penjara pale lama 5 (lima) tahun atau pidana denda pale banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).”
perorangan/berkelompok (garis bawah saya).
5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi secara baik
II.1.2. BAB III Perizinan, Pasal 8 :
1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan,
praktek perorangan/atau berkelompok.
2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus
memiliki SIK (garis bawah saya).
3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (garis
bawah saya).
Pasal 9 Ayat 1
SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan
kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
Pasal 10
SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 12
(1).SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan
permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
4. Surat Ijin Praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan
perawat untuk menjalankan praktek perawat
(2).SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan
atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi.
Pasal 13
Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian
kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik
profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan.
Pasal 15
Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk :
a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan,
perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi
keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.
c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus
sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi.
d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari
dokter (garis bawah saya).
Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20;
(1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang
untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
(2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk
penyelamatan jiwa.
Pasal 21
(1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang
prakteknya. (garis bawah saya).
(2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan
praktek (garis bawah saya).
Pasal 31
(1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang :
a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut.
b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi.
(2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan
tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a.
Di dalam praktek apabila terjadi pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum
lebih cenderung mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan
ketentuanSebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang
beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan
tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar
Diposkan oleh Cermin Politik Perawat Indonesia
RUU Praktik Keperawatan « r4mzk3sr4w4n's blog

RUU Praktik Keperawatan
Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan veteran yang merupakan bagian constituent dari
pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu,
keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses
kehidupan manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan
complement klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai
lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk
praktik keperawatan particular dan berkelompok
Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan
dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan.
Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh
perawat.
2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan
Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama,
alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat
kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan
pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi
pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan
hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi
keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin,
kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu,
Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi,
kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait
lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan
keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO,
2002).
Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa
pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu
keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak
memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah
berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi
dan Praktik Perawat.
Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya
pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma
dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari indication medikal yang menitikberatkan
pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik
yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan
(Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang
mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian constituent dari
pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan
penyelenggaraan pelayanan keperawatan.
Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya
pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki
kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan
dignified profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu.
Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan
.Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun
dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari.
Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang
menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan
pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan
kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas
kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%).
Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari.
Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami
kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat
terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan
klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di
puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas,
sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan.
Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerahdaerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan
terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak
dipertanggungjawabkan secara professional.
Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum
terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan
kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang
mendapat izin melakukan praktik keperawatan.
Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin
tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak
hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan
keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang
menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada
pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan.
Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan
terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha
mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang
didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992).
Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan
profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU
Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004.
Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara
yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif
Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui
pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan joke tidak sedikit. Tapi
kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada module
Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI,
2008).
Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal
ini terkait standing DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga
pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di
masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU
Keperawatan joke masuk dalam bulletin DPR RI.
Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :
“ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik
langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan
lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan
standar pratik keperawatan.
Dan pasal 2 berbunyi :
“ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah,
etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta
keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.
2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan
Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama,
Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan
(body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam
tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di
Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan
bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai
karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan
kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi
pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas)
. Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang
dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang grave dan terstandar menuntut
perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan
yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja
sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan
sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan
melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil
Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan
akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi
pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang
mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan
sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik
keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar
. Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan.
Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah
dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian
tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum,
bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap
rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil,
berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini
memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama
berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan
yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal,
keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002)
Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam
Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000
perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000
RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum
termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit
dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan
Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan.
Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta
penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh
menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan
memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme
pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga
keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.
Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN)
perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang
telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan
hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena
itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang
menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang
diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali
melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU
Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena
mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah
demikian kuat.
2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan :
1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan
Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur
kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.
2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga
kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan
apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan
dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan
tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada
tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan
pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya
mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana).
UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan
pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan
seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak
mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.
3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.
Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan
rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang
dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturanperaturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya.
UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat
pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai
contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang
tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini,
lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan
akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih
jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.
4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979
Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan)
dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa
tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.
5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980
Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan
bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga
keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk
mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan
ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara
lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus
menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan
mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi
terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi
tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau
pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.
6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 Nov
1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point.
Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik
pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga
keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan
II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan
Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya
dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya
7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992
Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik
keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak
pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk
keperawatan.
Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan
pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :
Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau
melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya
Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga
kesehatan.
2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan
1.
Fungsi Keperawatan
Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik
keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
2.
Tugas Keperawatan
1.
Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan
2.
Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi
masyarakat
Wewenang
2.
Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan
2.
Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan
dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan
3.
Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat
4.
Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat
5.
Menetapkan penyelenggaraan module pendidikan keperawatan
TREN DAN ISU MUTAKHIR PRAKTEK PERAWAT
Upaya-upaya bidang kesehatan selama ini seperti preventif, promoti, kuratif dan rehabilitatif
rupanya perlu mendapatkan refleksi dari perawat. Kritisi tersebut bukan untuk menggugat
cakupan pelayanan kesehatan, melainkan perawat perlu menciptakan indication praktik
pelayanan perawatan yang khas dan berbeda, sehingga meskipun perannya tidak langsung
berdampak terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia, namun tetap berarti (mengisi
sektor yang kosong/tidak tergarap) karena perannya tidak identik dengan profesi lain atau
sebagai underling sistem tenaga kesehatan lainnya.
Mengingat hal – hal tersebut kita perlu mencermati beberapa peristiwa di belahan dunia lain,
akan perubahan – perubahan konsep dan pengembangan kesehatan. Khususnya di negara
maju seperti Amerika, hasil riset yang dikemukakan oleh Bournet (dalam Jurnal Riset)
tentang perkembangan “Hospital At Home” atau perawatan pasien di rumah mereka sendiri,
secara kuantitatif menunjukan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1970an
rasionya adalah 291 ; 1 , kemudian tahun 1990an perbandingannya sekitar 120 ; 1 dan
terakhir penelitian pada tahun 2004 perbedaannya menjadi semakin tipis yaitu 12 ; 1. Masih
penelitian tentang Hospital At Home dan di Amerika menunjukan bahwa, tingkat kepuasan
pasien yang di rawat di rumahnya sendiri lebih memuaskan pasien dan keluarga
dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit. Bila kita melihat tren dan isu di
negara lain tersebut kita dapat membuat satu analisis bahwa, Hospital At Home akan menjadi
salah satu indication anyar yang perkembangannya akan sangat pesat.
Implikasinya bagi perawat dan praktek keperawatan jelas hal ini merupakan angin surga,
karena dengan praktik dalam indication Hospital At Home, perawat akan menunjukan
eksistensinya. Keuntungannya dalam meningkatkan peran perawat antara lain; (1) Otonomi
praktik keperawatan akan jelas dibutuhkan dan dibuktikan, mengingat kedatangan perawat ke
rumah pasien memikul tanggung jawab profesi, (2) Perawat dimungkinkan menjadi manager/
personality dalam menentukan atau memberikan pandangan kepada pasien tentang pilihan –
pilihan tindakan atau rujukan yang sebaiknya ditempuh pasien, (3) Patnership, berdasarkan
pengalaman di lapangan kebersamaan dan penghargaan dengan sesama rekan sejawat serta
profesi lain memperlihatkan ke-egaliterannya , (4) Riset dan Pengembangan Ilmu, hal ini
yang pale penting, dengan adanya konsistensi terhadap keperawatan nampak fenomena
keunggulan dari Hospital At Home ini, ketika perawat mengasuh pasien dengan jumlah pale
ideal yaitu satu pasien dalam satu waktu, interaksi tersebut selain memberikan tingkat
kepuasan yang baik juga memberikan dorongan kepada perawat untuk memecahkan masalah
secara systematic approach.
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa ruang kosong praktek Hospital At Home ini
menjadi peluang bidang garap yang akan menambah tegas betapa perawat memiliki peran
yang tidak identik dan tidak tergantikan. Pengalaman di lapangan membuktikan tentang
betapa tingginya animo masyarakat akan kehadiran Hospital At Home (Nursing At Home),
hanya saja ada beberapa tantangan yang menuntut keseriusan untuk segera mengembangkan
indication ini. Tantanga tersebut diantaranya adalah Infrastruktur Hospital At Home yang
sangat mahal, salahsatunya adalah keberadaan alat kesehatan, dengan konsep one collection
one patien/home, maka bisa dibayangkan kebutuhan alat kesehatan ini akan semakin
membengkak, baik kebutuhan secara jumlah ataupun mahalnya alat tersebut. Kedua adalah
sosialisasi, perlu adanya perumusan metoda sosialisasi yang efektif, ethic dan authorised
dalam mengenalkan indication pelayanan Hospital At Home tersebut agar tidak terjadi
misinterpretasi dan miskomunikasi.
LANDASAN HUKUM PROFESI PERAWAT
Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain
dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum.
Ketiga norma tersebut, khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban di
dalam masyarakat. Dengan terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada kahirnya
perdamaian dalam berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi.
Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan
pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di bidang
kesehatan diperlukan tiga faktor :
1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari
pemerintah
2. perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan
3. perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu.
Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima
jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam
pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena
hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi
juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman
kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan
dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan.
I. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
I.1. BAB we Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
I.2. Pasal 1 Ayat 4
Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan.
II. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK
No. 647/MENKES/SK/IV/2000)
II.1. BAB we Ketentuan Umum Pasal 1 :
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar
negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan
untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia (garis bawah saya).
3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan
keperawatan di seluruh wilayah Indonesia (garis bawah saya).
ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan
pasal 340 KUHP. Salah satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat
(4) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur
mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau
ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan :
“barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan
dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana
penjara pale lama 5 (lima) tahun atau pidana denda pale banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).”
perorangan/berkelompok (garis bawah saya).
5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi secara baik
II.1.2. BAB III Perizinan, Pasal 8 :
1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan,
praktek perorangan/atau berkelompok.
2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus
memiliki SIK (garis bawah saya).
3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (garis
bawah saya).
Pasal 9 Ayat 1
SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan
kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
Pasal 10
SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 12
(1).SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan
permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
4. Surat Ijin Praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan
perawat untuk menjalankan praktek perawat
(2).SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan
atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi.
Pasal 13
Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian
kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik
profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan.
Pasal 15
Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk :
a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan,
perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi
keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.
c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus
sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi.
d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari
dokter (garis bawah saya).
Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20;
(1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang
untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
(2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk
penyelamatan jiwa.
Pasal 21
(1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang
prakteknya. (garis bawah saya).
(2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan
praktek (garis bawah saya).
Pasal 31
(1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang :
a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut.
b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi.
(2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan
tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a.
Di dalam praktek apabila terjadi pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum
lebih cenderung mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan
ketentuanSebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang
beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan
tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar
Diposkan oleh Cermin Politik Perawat Indonesia
2009/09/02 Categories: keperawatan, Secercah Asa Tags: RUU Praktik Keperawatan 15
Komentar »
Wohlersaputra's Blog
Studi kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan di
Rumah Sakit Umum Daerah Kab. Polewali
OLEH ; SUHADI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Kaho (1991), berhasil tidaknya suatu kegiatan dilaksanakan dalam hal pelaksanaan
Otonomi Daeran tergantung pada manusia pelaksananya. Oleh sebab itu dalam proses
rekrutmen tenaga kesehatan, terutama pada jabatan yang bersifat teknis perlu
dipertimbangkan kemampuan-kemampuan profesionalisme disamping pertimbangan
kepribadian dan integritas kepemimpinan yang dimiliki.
Aparat kesehatan merupakan unsur masukan (input) dari sistem pembangunan kesehatan
sebagai modal dasar dari pembangunan kesehatan itu sendiri, karena kunci keberhasilan
pembangunan kesehatan ditentukan oleh tersedianya sumber daya manusia berupa tenaga
kesehatan yang mempunyai kompetisi dan profesional yang tinggi. Kemampuan aparatur
pemerintah dalam hal ini aparat kesehatan merupakan faktor yang menentukan apakah suatu
daerah mampu menyelenggarakan urusan rumah tangga, khususnya bidang kesehatan dengan
baik atau tidak (Kaho, 1991). Langkah seperti ini diperlukan karena didalam suasana titik
berat otonomi yang diletakkan pada daerah kabupaten/kota, maka setiap apratur, harus terus
dipacu secara maksimal mendukung setiap segi dari penyelengaraan tugas dan tanggung
jawabnya masing-masing. Untuk mendukung konsep pembinaan aparatur itu diperlukan
tenaga-tenaga yang mempunyai potensi kreatif sehingga dapat secara sistematis mengikuti
berbagai jenjang pendidikan dan latihan yang dibutuhkan oleh bidang tugasnya pada suatu
ketika.
Sesuai konsep desentralisasi di daerah Kabupaten, dengan kewenangan yang bertambah
seharusnya diikuti peningkatan tenaga yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dimana
peningkatan SDM ini dapat ditempuh dengan pelatihan, pendidikan, bantuan konsultan dan
tenaga profesional, selain itu juga diikuti pula dengan pola pengembangan karir yang tertib
dan teratur (Buwono, 1999).
Salah satu kendala yang melekat pada daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan
kesehatan yang telah di sentralisasikan adalah faktor kemampuan daerah, meliputi
kemampuan dan kesiapan daerah kabupaten/kota dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah. Dari penelitian yang dilakukan oleh FISIP UGM bekerjasama dengan badan Litbang
Depdagri bahwa kemampuan aparatur dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga
daerahnya khususnya urusan kesehatan hanya 46, 12 %. Penelitian yang terakhir yang
dilakukan Depdagri didapatkan bahwa berdasarkan kriteria pokok kemampuan daerah diatas
hanya 21,25 % dari 292 daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, kekurangan aparatur
daerah dalam kabupaten/kota dalam penyelenggaraan otonomi daerah sebagai salah satu
penyebab ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan rumah
tangga dengan sempurna.
Hasil penelitian Hermawaty tahun 2000 menunjukan tingkat pendidikan 58,3 % dengan
kategori kurang dan 41,7 % kategori cukup. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan tenaga
yang ada di kabupaten/kota masih rendah, maka perlu diadakan penelitian mengenai tingkat
kemampuan para tenaga kesehatan sehingga hasilnya dapat dijadikan masukan untuk
mengadakan evaluasi dan perbaikan dalam penanganan tenaga kesehatan. Kemapuan tenaga
kesehatan merupakan variabel utama dalam penyelenggaraan Otonomi daerah dan indikator
yang digunakan untuk mengukur kemampuan tenaga kesehatan secara makro adalah rasio
jumlah penduduk, pendidikan grave pegawai, golongan/kepangkatan, pendidikan dan latihan
strukrural dan fungsional yang diikuti serta masa kerja.
Sedangkan Ali Sadikin (2003) dalam penelitiannya tentang analisis kemampuan tenaga
kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan di Kabupaten Bulungan Jawa
Timur dinyatakan tidak mampu, berdasarkan rasio jumlah tenaga kesehatan terhadp jumlah
penduduk, pendidikan formal, golongan dan kepangkatan, pendidikan dan latihan, dan masa
kerja
Oleh sebab itu, berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti ingin melakukan studi
tentang kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi di bidang kesehatan
di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran kemampaun tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah
bidang kesehatan ditinjau dari segi rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk,
pendidikan grave tenaga kesehatan, golongan kepangkatan, Diklat Struktural dan
Tewhnis/Fungsional, dan masa kerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Polewali.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi
daerah bidang kesehatan ditinjau dari segi rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah
penduduk, pendidikan formal, golongan kepangkatan, dan Diklat Struktural dan
Tehnis/Fungsional, dan masakerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit Kabupaten Polewali.
1. Tujuan khusus
1. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan
otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah
penduduk di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali .
2. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan
otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi pendidikan grave tenaga kesehatan di
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.
3. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan
otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi golongan kepangkatan tenaga kesehatan
di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.
4. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan
otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi Pendidikan dan Latihan Struktural dan
Fungsional tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.
5. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan
otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi Masa kerja tenaga kesehatan di Rumah
Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali
D. Manfaat Penelitian.
1. Bahan informasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Polewali dalam rangka
pembinaan dan pengembangan otonomi bidang kesehatan.
2. Sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali khususnya dalam
perencanaan, rekrutmen, dan penempatan tenaga kesehatan di dinas Kesehatan
Kabupaten Polewali
3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dengan obyek yang relevan.
4. Bagi peneliti sebagai tambahan pengetahuan, pengalaman dan cakrawala berpikir
dalam penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Otonomi Daerah
1. Kondisi Umum Aparatur Pemerintah Daerah
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, bangsa Indonesia tidak bisa menghindar dari pengaruh
perubahan global. Tuntunan terhadap perwujudan hak asasi manusia, demokratisasi,
supremasi hukum, penyelenggaraan pemerintahan yang baik, antara lain merupakan nilainilai kehidupan tellurian yang harus diwujudkan (Yudoyono, 2001).
Demikian halnya di dalam manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Pola-pola penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang sentralistik menjadi kurang
aktual, sehingga perlu pendekatan desentralistik. Peranan pemerintah untuk menciptakan
iklim kondusif dalam mewadahi proses interaksi kehidupan sosial, ekonomi, politik agar
berjalan dengan tertib, terkendali, demokratis dan efektif.
Dalam rangka mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tuntutan
masyarakat, maka berbagai kebijakan strategis telah dan akan ditetapkan, di antaranya adalah
pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, serta PP No. 25 Tahun
2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonomi.
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT
PERAN PERAWAT

More Related Content

What's hot

Analisis Sistem Pelayanan Kesehatan Indonesia
Analisis Sistem Pelayanan Kesehatan IndonesiaAnalisis Sistem Pelayanan Kesehatan Indonesia
Analisis Sistem Pelayanan Kesehatan IndonesiaFuad Amsyari
 
Kb1 etik dan legal praktik keperawatan pasien dengan prosedur sd
Kb1 etik dan legal praktik keperawatan pasien dengan prosedur sdKb1 etik dan legal praktik keperawatan pasien dengan prosedur sd
Kb1 etik dan legal praktik keperawatan pasien dengan prosedur sdpjj_kemenkes
 
Makalah praktik keperawatan profesional.
Makalah praktik keperawatan profesional.Makalah praktik keperawatan profesional.
Makalah praktik keperawatan profesional.Viliansyah Viliansyah
 
Praktik mandiri keperawatan
Praktik mandiri keperawatanPraktik mandiri keperawatan
Praktik mandiri keperawatanSandra Aja
 
Makalah Standar Asuhan Keperawatan (SAK)
Makalah Standar Asuhan Keperawatan (SAK)Makalah Standar Asuhan Keperawatan (SAK)
Makalah Standar Asuhan Keperawatan (SAK)Ahmad Faisal Idris
 
Makalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesia
Makalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesiaMakalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesia
Makalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesiaevinurmiftahuljannah
 
Sistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan KesehatanSistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan Kesehatanpjj_kemenkes
 
Isu isu etik dan legal pada keperawatan kritis
Isu isu etik dan legal pada keperawatan kritisIsu isu etik dan legal pada keperawatan kritis
Isu isu etik dan legal pada keperawatan kritisViktor Iwan
 
Jasa pelayanan kesehatan
Jasa pelayanan kesehatan Jasa pelayanan kesehatan
Jasa pelayanan kesehatan Hell Rohmika
 
REGULASI KEPERAWATAN
REGULASI KEPERAWATANREGULASI KEPERAWATAN
REGULASI KEPERAWATANpjj_kemenkes
 
Draf RUU Keperawatan Revisi 13 Januari 2011_
Draf RUU Keperawatan Revisi 13 Januari 2011_Draf RUU Keperawatan Revisi 13 Januari 2011_
Draf RUU Keperawatan Revisi 13 Januari 2011_Edi Kusmiadi
 
Ringkasan jurnal administrasi kesehatan indonesia
Ringkasan jurnal administrasi kesehatan indonesiaRingkasan jurnal administrasi kesehatan indonesia
Ringkasan jurnal administrasi kesehatan indonesianoraherlina
 
Sistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan KesehatanSistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan Kesehatanpjj_kemenkes
 
Makalah aspek legal dokumentasi keperawatan
Makalah aspek legal dokumentasi keperawatanMakalah aspek legal dokumentasi keperawatan
Makalah aspek legal dokumentasi keperawatanerulsetyo
 
CORE COMMUNICATION COMPETENCIES IN PATIENT CENTERED CARE AND SAFETY PATIENT U...
CORE COMMUNICATION COMPETENCIES IN PATIENT CENTERED CARE AND SAFETY PATIENT U...CORE COMMUNICATION COMPETENCIES IN PATIENT CENTERED CARE AND SAFETY PATIENT U...
CORE COMMUNICATION COMPETENCIES IN PATIENT CENTERED CARE AND SAFETY PATIENT U...Cicie Poenya
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Operator Warnet Vast Raha
 

What's hot (20)

Analisis Sistem Pelayanan Kesehatan Indonesia
Analisis Sistem Pelayanan Kesehatan IndonesiaAnalisis Sistem Pelayanan Kesehatan Indonesia
Analisis Sistem Pelayanan Kesehatan Indonesia
 
Kb1 etik dan legal praktik keperawatan pasien dengan prosedur sd
Kb1 etik dan legal praktik keperawatan pasien dengan prosedur sdKb1 etik dan legal praktik keperawatan pasien dengan prosedur sd
Kb1 etik dan legal praktik keperawatan pasien dengan prosedur sd
 
Makalah praktik keperawatan profesional.
Makalah praktik keperawatan profesional.Makalah praktik keperawatan profesional.
Makalah praktik keperawatan profesional.
 
Praktik mandiri keperawatan
Praktik mandiri keperawatanPraktik mandiri keperawatan
Praktik mandiri keperawatan
 
aspek legal
aspek legalaspek legal
aspek legal
 
Makalah Standar Asuhan Keperawatan (SAK)
Makalah Standar Asuhan Keperawatan (SAK)Makalah Standar Asuhan Keperawatan (SAK)
Makalah Standar Asuhan Keperawatan (SAK)
 
Makalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesia
Makalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesiaMakalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesia
Makalah sistem sistem rujukan pelayanan di indonesia
 
Sistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan KesehatanSistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan Kesehatan
 
Isu isu etik dan legal pada keperawatan kritis
Isu isu etik dan legal pada keperawatan kritisIsu isu etik dan legal pada keperawatan kritis
Isu isu etik dan legal pada keperawatan kritis
 
Jasa pelayanan kesehatan
Jasa pelayanan kesehatan Jasa pelayanan kesehatan
Jasa pelayanan kesehatan
 
REGULASI KEPERAWATAN
REGULASI KEPERAWATANREGULASI KEPERAWATAN
REGULASI KEPERAWATAN
 
Etika Dan Hukum Dalam Keperawatan Gadar
Etika Dan Hukum Dalam Keperawatan GadarEtika Dan Hukum Dalam Keperawatan Gadar
Etika Dan Hukum Dalam Keperawatan Gadar
 
Draf RUU Keperawatan Revisi 13 Januari 2011_
Draf RUU Keperawatan Revisi 13 Januari 2011_Draf RUU Keperawatan Revisi 13 Januari 2011_
Draf RUU Keperawatan Revisi 13 Januari 2011_
 
1 Etik Legal Gawat Darurat
1 Etik Legal Gawat Darurat1 Etik Legal Gawat Darurat
1 Etik Legal Gawat Darurat
 
Ringkasan jurnal administrasi kesehatan indonesia
Ringkasan jurnal administrasi kesehatan indonesiaRingkasan jurnal administrasi kesehatan indonesia
Ringkasan jurnal administrasi kesehatan indonesia
 
Sistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan KesehatanSistem Pelayanan Kesehatan
Sistem Pelayanan Kesehatan
 
Makalah aspek legal dokumentasi keperawatan
Makalah aspek legal dokumentasi keperawatanMakalah aspek legal dokumentasi keperawatan
Makalah aspek legal dokumentasi keperawatan
 
Modul 3 kb 4
Modul 3 kb 4Modul 3 kb 4
Modul 3 kb 4
 
CORE COMMUNICATION COMPETENCIES IN PATIENT CENTERED CARE AND SAFETY PATIENT U...
CORE COMMUNICATION COMPETENCIES IN PATIENT CENTERED CARE AND SAFETY PATIENT U...CORE COMMUNICATION COMPETENCIES IN PATIENT CENTERED CARE AND SAFETY PATIENT U...
CORE COMMUNICATION COMPETENCIES IN PATIENT CENTERED CARE AND SAFETY PATIENT U...
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
 

Similar to PERAN PERAWAT

Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Operator Warnet Vast Raha
 
Sahkan RUU Keperawatan
Sahkan RUU KeperawatanSahkan RUU Keperawatan
Sahkan RUU KeperawatanLintang Diah Y
 
Etika legal tindakan keperawatan By : IHSAN KURNIAWAN S.Kep., Ns., M.K.M
Etika legal tindakan keperawatan By : IHSAN KURNIAWAN S.Kep., Ns., M.K.MEtika legal tindakan keperawatan By : IHSAN KURNIAWAN S.Kep., Ns., M.K.M
Etika legal tindakan keperawatan By : IHSAN KURNIAWAN S.Kep., Ns., M.K.MIHSANASSHOUMI
 
Bahasa indonesia uu perawat
Bahasa indonesia uu perawatBahasa indonesia uu perawat
Bahasa indonesia uu perawatOkta-Shi Sama
 
Makalah Keperawatan Profesional
Makalah Keperawatan ProfesionalMakalah Keperawatan Profesional
Makalah Keperawatan ProfesionalFirdika Arini
 
Kmk 369 bidan
Kmk 369 bidanKmk 369 bidan
Kmk 369 bidanTuti Arly
 
Kmk 369 bidan
Kmk 369 bidanKmk 369 bidan
Kmk 369 bidanTuti Arly
 
Regulasi Keperawatan
Regulasi KeperawatanRegulasi Keperawatan
Regulasi Keperawatanpjj_kemenkes
 
Perlindungan Hukum dalam Praktik Keperawatan.pptx
Perlindungan Hukum dalam Praktik Keperawatan.pptxPerlindungan Hukum dalam Praktik Keperawatan.pptx
Perlindungan Hukum dalam Praktik Keperawatan.pptxARDS5
 
Draf ruu keperawatan_rev_13januari2011_
Draf ruu keperawatan_rev_13januari2011_Draf ruu keperawatan_rev_13januari2011_
Draf ruu keperawatan_rev_13januari2011_Ida Nur Wahyuni
 
KECENDERUNGAN ETIKA KEPERAWATAN
KECENDERUNGAN ETIKA KEPERAWATANKECENDERUNGAN ETIKA KEPERAWATAN
KECENDERUNGAN ETIKA KEPERAWATANpjj_kemenkes
 
Konsep kebidanan ibu derita AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Konsep  kebidanan ibu derita AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA Konsep  kebidanan ibu derita AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Konsep kebidanan ibu derita AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA Operator Warnet Vast Raha
 
Aspek hukum dalam praktik kebidanan intan AKPER PEMKAB MUNA
Aspek hukum dalam praktik kebidanan intan AKPER PEMKAB MUNA Aspek hukum dalam praktik kebidanan intan AKPER PEMKAB MUNA
Aspek hukum dalam praktik kebidanan intan AKPER PEMKAB MUNA Operator Warnet Vast Raha
 

Similar to PERAN PERAWAT (20)

Pengertian keperawatan
Pengertian keperawatanPengertian keperawatan
Pengertian keperawatan
 
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
Mampu memahami pengantar ilmu hukum dan memahami tentang aspek hukum dalam pr...
 
Sahkan RUU Keperawatan
Sahkan RUU KeperawatanSahkan RUU Keperawatan
Sahkan RUU Keperawatan
 
Etika legal tindakan keperawatan By : IHSAN KURNIAWAN S.Kep., Ns., M.K.M
Etika legal tindakan keperawatan By : IHSAN KURNIAWAN S.Kep., Ns., M.K.MEtika legal tindakan keperawatan By : IHSAN KURNIAWAN S.Kep., Ns., M.K.M
Etika legal tindakan keperawatan By : IHSAN KURNIAWAN S.Kep., Ns., M.K.M
 
Bahasa indonesia uu perawat
Bahasa indonesia uu perawatBahasa indonesia uu perawat
Bahasa indonesia uu perawat
 
Om swastyastu
Om swastyastuOm swastyastu
Om swastyastu
 
Etika keseahatan AKPER PEMKAB MUNA
Etika keseahatan AKPER PEMKAB MUNA Etika keseahatan AKPER PEMKAB MUNA
Etika keseahatan AKPER PEMKAB MUNA
 
Makalah Keperawatan Profesional
Makalah Keperawatan ProfesionalMakalah Keperawatan Profesional
Makalah Keperawatan Profesional
 
Kmk 369 bidan
Kmk 369 bidanKmk 369 bidan
Kmk 369 bidan
 
Kmk 369 bidan
Kmk 369 bidanKmk 369 bidan
Kmk 369 bidan
 
Regulasi Keperawatan
Regulasi KeperawatanRegulasi Keperawatan
Regulasi Keperawatan
 
Perlindungan Hukum dalam Praktik Keperawatan.pptx
Perlindungan Hukum dalam Praktik Keperawatan.pptxPerlindungan Hukum dalam Praktik Keperawatan.pptx
Perlindungan Hukum dalam Praktik Keperawatan.pptx
 
Draf ruu keperawatan_rev_13januari2011_
Draf ruu keperawatan_rev_13januari2011_Draf ruu keperawatan_rev_13januari2011_
Draf ruu keperawatan_rev_13januari2011_
 
Mineral
MineralMineral
Mineral
 
KECENDERUNGAN ETIKA KEPERAWATAN
KECENDERUNGAN ETIKA KEPERAWATANKECENDERUNGAN ETIKA KEPERAWATAN
KECENDERUNGAN ETIKA KEPERAWATAN
 
alpraktik rupture
alpraktik rupturealpraktik rupture
alpraktik rupture
 
Konsep kebidanan ibu derita AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Konsep  kebidanan ibu derita AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA Konsep  kebidanan ibu derita AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Konsep kebidanan ibu derita AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
 
Konsep kebidanan ibu derita
Konsep  kebidanan ibu deritaKonsep  kebidanan ibu derita
Konsep kebidanan ibu derita
 
Konsep dan-perspektif-kmb
Konsep dan-perspektif-kmbKonsep dan-perspektif-kmb
Konsep dan-perspektif-kmb
 
Aspek hukum dalam praktik kebidanan intan AKPER PEMKAB MUNA
Aspek hukum dalam praktik kebidanan intan AKPER PEMKAB MUNA Aspek hukum dalam praktik kebidanan intan AKPER PEMKAB MUNA
Aspek hukum dalam praktik kebidanan intan AKPER PEMKAB MUNA
 

More from Operator Warnet Vast Raha

Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiOperator Warnet Vast Raha
 

More from Operator Warnet Vast Raha (20)

Stiker kk bondan
Stiker kk bondanStiker kk bondan
Stiker kk bondan
 
Proposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bolaProposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bola
 
Surat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehatSurat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehat
 
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajarSurat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
 
Halaman sampul target
Halaman sampul targetHalaman sampul target
Halaman sampul target
 
Makalah seni kriya korea
Makalah seni kriya koreaMakalah seni kriya korea
Makalah seni kriya korea
 
Makalah makromolekul
Makalah makromolekulMakalah makromolekul
Makalah makromolekul
 
126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul
 
Kafer akbid paramata
Kafer akbid paramataKafer akbid paramata
Kafer akbid paramata
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Mata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budayaMata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budaya
 
Lingkungan hidup
Lingkungan hidupLingkungan hidup
Lingkungan hidup
 
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
 
Odher scout community
Odher scout communityOdher scout community
Odher scout community
 
Surat izin keramaian
Surat izin keramaianSurat izin keramaian
Surat izin keramaian
 
Makalah keganasan
Makalah keganasanMakalah keganasan
Makalah keganasan
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Makalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetikaMakalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetika
 
Undangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepaUndangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepa
 
Bukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajakBukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajak
 

PERAN PERAWAT

  • 1. peran perawat dalam mensukseskan muna sehat Secercah Asa « r4mzk3sr4w4n's blog RUU Praktik Keperawatan Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan veteran yang merupakan bagian constituent dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan complement klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan particular dan berkelompok Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat. 2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002). Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
  • 2. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat. Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari indication medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian constituent dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan. Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan dignified profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan .Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari. Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%). Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerahdaerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara professional. Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang mendapat izin melakukan praktik keperawatan. Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang
  • 3. menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan. Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004. Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan joke tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada module Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008). Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal ini terkait standing DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan joke masuk dalam bulletin DPR RI. Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi : “ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan. Dan pasal 2 berbunyi : “ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan. 2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas)
  • 4. . Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang grave dan terstandar menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar . Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002) Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan. Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan. Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU
  • 5. Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat. 2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan : 1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum. 2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan. UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya. 3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis. Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun. Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturanperaturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya. UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri. 4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979 Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan. 5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980
  • 6. Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care. 6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 Nov 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point. Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya 7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan. Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah : Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan. 2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan 1. Fungsi Keperawatan Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
  • 7. 2. Tugas Keperawatan 1. Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan 2. Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi masyarakat Wewenang 2. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan 2. Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan 3. Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat 4. Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat 5. Menetapkan penyelenggaraan module pendidikan keperawatan TREN DAN ISU MUTAKHIR PRAKTEK PERAWAT Upaya-upaya bidang kesehatan selama ini seperti preventif, promoti, kuratif dan rehabilitatif rupanya perlu mendapatkan refleksi dari perawat. Kritisi tersebut bukan untuk menggugat cakupan pelayanan kesehatan, melainkan perawat perlu menciptakan indication praktik pelayanan perawatan yang khas dan berbeda, sehingga meskipun perannya tidak langsung berdampak terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia, namun tetap berarti (mengisi sektor yang kosong/tidak tergarap) karena perannya tidak identik dengan profesi lain atau sebagai underling sistem tenaga kesehatan lainnya. Mengingat hal – hal tersebut kita perlu mencermati beberapa peristiwa di belahan dunia lain, akan perubahan – perubahan konsep dan pengembangan kesehatan. Khususnya di negara maju seperti Amerika, hasil riset yang dikemukakan oleh Bournet (dalam Jurnal Riset) tentang perkembangan “Hospital At Home” atau perawatan pasien di rumah mereka sendiri, secara kuantitatif menunjukan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1970an
  • 8. rasionya adalah 291 ; 1 , kemudian tahun 1990an perbandingannya sekitar 120 ; 1 dan terakhir penelitian pada tahun 2004 perbedaannya menjadi semakin tipis yaitu 12 ; 1. Masih penelitian tentang Hospital At Home dan di Amerika menunjukan bahwa, tingkat kepuasan pasien yang di rawat di rumahnya sendiri lebih memuaskan pasien dan keluarga dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit. Bila kita melihat tren dan isu di negara lain tersebut kita dapat membuat satu analisis bahwa, Hospital At Home akan menjadi salah satu indication anyar yang perkembangannya akan sangat pesat. Implikasinya bagi perawat dan praktek keperawatan jelas hal ini merupakan angin surga, karena dengan praktik dalam indication Hospital At Home, perawat akan menunjukan eksistensinya. Keuntungannya dalam meningkatkan peran perawat antara lain; (1) Otonomi praktik keperawatan akan jelas dibutuhkan dan dibuktikan, mengingat kedatangan perawat ke rumah pasien memikul tanggung jawab profesi, (2) Perawat dimungkinkan menjadi manager/ personality dalam menentukan atau memberikan pandangan kepada pasien tentang pilihan – pilihan tindakan atau rujukan yang sebaiknya ditempuh pasien, (3) Patnership, berdasarkan pengalaman di lapangan kebersamaan dan penghargaan dengan sesama rekan sejawat serta profesi lain memperlihatkan ke-egaliterannya , (4) Riset dan Pengembangan Ilmu, hal ini yang pale penting, dengan adanya konsistensi terhadap keperawatan nampak fenomena keunggulan dari Hospital At Home ini, ketika perawat mengasuh pasien dengan jumlah pale ideal yaitu satu pasien dalam satu waktu, interaksi tersebut selain memberikan tingkat kepuasan yang baik juga memberikan dorongan kepada perawat untuk memecahkan masalah secara systematic approach. Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa ruang kosong praktek Hospital At Home ini menjadi peluang bidang garap yang akan menambah tegas betapa perawat memiliki peran yang tidak identik dan tidak tergantikan. Pengalaman di lapangan membuktikan tentang betapa tingginya animo masyarakat akan kehadiran Hospital At Home (Nursing At Home), hanya saja ada beberapa tantangan yang menuntut keseriusan untuk segera mengembangkan indication ini. Tantanga tersebut diantaranya adalah Infrastruktur Hospital At Home yang sangat mahal, salahsatunya adalah keberadaan alat kesehatan, dengan konsep one collection one patien/home, maka bisa dibayangkan kebutuhan alat kesehatan ini akan semakin membengkak, baik kebutuhan secara jumlah ataupun mahalnya alat tersebut. Kedua adalah sosialisasi, perlu adanya perumusan metoda sosialisasi yang efektif, ethic dan authorised dalam mengenalkan indication pelayanan Hospital At Home tersebut agar tidak terjadi misinterpretasi dan miskomunikasi. LANDASAN HUKUM PROFESI PERAWAT Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum. Ketiga norma tersebut, khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Dengan terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada kahirnya perdamaian dalam berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi. Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di bidang kesehatan diperlukan tiga faktor : 1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari pemerintah 2. perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan 3. perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu.
  • 9. Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan. I. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan I.1. BAB we Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3 Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. I.2. Pasal 1 Ayat 4 Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. II. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000) II.1. BAB we Ketentuan Umum Pasal 1 : Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia (garis bawah saya). 3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah Indonesia (garis bawah saya). ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan pasal 340 KUHP. Salah satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat (4) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan : “barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara pale lama 5 (lima) tahun atau pidana denda pale banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” perorangan/berkelompok (garis bawah saya). 5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik II.1.2. BAB III Perizinan, Pasal 8 : 1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan,
  • 10. praktek perorangan/atau berkelompok. 2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK (garis bawah saya). 3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (garis bawah saya). Pasal 9 Ayat 1 SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat. Pasal 10 SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan. Pasal 12 (1).SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. 4. Surat Ijin Praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan praktek perawat (2).SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi. Pasal 13 Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan. Pasal 15 Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk : a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan. b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan. c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi. d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter (garis bawah saya). Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20; (1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa. Pasal 21 (1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang prakteknya. (garis bawah saya).
  • 11. (2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek (garis bawah saya). Pasal 31 (1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang : a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut. b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi. (2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a. Di dalam praktek apabila terjadi pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum lebih cenderung mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan ketentuanSebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar Diposkan oleh Cermin Politik Perawat Indonesia 2009/09/02 Categories: keperawatan, Secercah Asa Tags: RUU Praktik Keperawatan 15 Komentar » RUU Praktik Keperawatan « r4mzk3sr4w4n's blog RUU Praktik Keperawatan Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan veteran yang merupakan bagian constituent dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan complement klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan particular dan berkelompok Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat. 2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan
  • 12. pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002). Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat. Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari indication medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian constituent dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan. Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan dignified profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan .Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari. Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%). Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat
  • 13. terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerahdaerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara professional. Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang mendapat izin melakukan praktik keperawatan. Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan. Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004. Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan joke tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada module Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008). Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal ini terkait standing DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan joke masuk dalam bulletin DPR RI. Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi : “ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan.
  • 14. Dan pasal 2 berbunyi : “ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan. 2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas) . Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang grave dan terstandar menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar . Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002) Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit
  • 15. dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan. Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan. Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat. 2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan : 1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum. 2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan. UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya. 3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis. Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.
  • 16. Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturanperaturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya. UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri. 4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979 Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan. 5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980 Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care. 6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 Nov 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point. Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya 7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.
  • 17. Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah : Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan. 2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan 1. Fungsi Keperawatan Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan 2. Tugas Keperawatan 1. Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan 2. Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi masyarakat Wewenang 2. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan 2. Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan 3. Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat 4.
  • 18. Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat 5. Menetapkan penyelenggaraan module pendidikan keperawatan TREN DAN ISU MUTAKHIR PRAKTEK PERAWAT Upaya-upaya bidang kesehatan selama ini seperti preventif, promoti, kuratif dan rehabilitatif rupanya perlu mendapatkan refleksi dari perawat. Kritisi tersebut bukan untuk menggugat cakupan pelayanan kesehatan, melainkan perawat perlu menciptakan indication praktik pelayanan perawatan yang khas dan berbeda, sehingga meskipun perannya tidak langsung berdampak terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia, namun tetap berarti (mengisi sektor yang kosong/tidak tergarap) karena perannya tidak identik dengan profesi lain atau sebagai underling sistem tenaga kesehatan lainnya. Mengingat hal – hal tersebut kita perlu mencermati beberapa peristiwa di belahan dunia lain, akan perubahan – perubahan konsep dan pengembangan kesehatan. Khususnya di negara maju seperti Amerika, hasil riset yang dikemukakan oleh Bournet (dalam Jurnal Riset) tentang perkembangan “Hospital At Home” atau perawatan pasien di rumah mereka sendiri, secara kuantitatif menunjukan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1970an rasionya adalah 291 ; 1 , kemudian tahun 1990an perbandingannya sekitar 120 ; 1 dan terakhir penelitian pada tahun 2004 perbedaannya menjadi semakin tipis yaitu 12 ; 1. Masih penelitian tentang Hospital At Home dan di Amerika menunjukan bahwa, tingkat kepuasan pasien yang di rawat di rumahnya sendiri lebih memuaskan pasien dan keluarga dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit. Bila kita melihat tren dan isu di negara lain tersebut kita dapat membuat satu analisis bahwa, Hospital At Home akan menjadi salah satu indication anyar yang perkembangannya akan sangat pesat. Implikasinya bagi perawat dan praktek keperawatan jelas hal ini merupakan angin surga, karena dengan praktik dalam indication Hospital At Home, perawat akan menunjukan eksistensinya. Keuntungannya dalam meningkatkan peran perawat antara lain; (1) Otonomi praktik keperawatan akan jelas dibutuhkan dan dibuktikan, mengingat kedatangan perawat ke rumah pasien memikul tanggung jawab profesi, (2) Perawat dimungkinkan menjadi manager/ personality dalam menentukan atau memberikan pandangan kepada pasien tentang pilihan – pilihan tindakan atau rujukan yang sebaiknya ditempuh pasien, (3) Patnership, berdasarkan pengalaman di lapangan kebersamaan dan penghargaan dengan sesama rekan sejawat serta profesi lain memperlihatkan ke-egaliterannya , (4) Riset dan Pengembangan Ilmu, hal ini yang pale penting, dengan adanya konsistensi terhadap keperawatan nampak fenomena keunggulan dari Hospital At Home ini, ketika perawat mengasuh pasien dengan jumlah pale ideal yaitu satu pasien dalam satu waktu, interaksi tersebut selain memberikan tingkat kepuasan yang baik juga memberikan dorongan kepada perawat untuk memecahkan masalah secara systematic approach. Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa ruang kosong praktek Hospital At Home ini menjadi peluang bidang garap yang akan menambah tegas betapa perawat memiliki peran yang tidak identik dan tidak tergantikan. Pengalaman di lapangan membuktikan tentang betapa tingginya animo masyarakat akan kehadiran Hospital At Home (Nursing At Home), hanya saja ada beberapa tantangan yang menuntut keseriusan untuk segera mengembangkan indication ini. Tantanga tersebut diantaranya adalah Infrastruktur Hospital At Home yang sangat mahal, salahsatunya adalah keberadaan alat kesehatan, dengan konsep one collection
  • 19. one patien/home, maka bisa dibayangkan kebutuhan alat kesehatan ini akan semakin membengkak, baik kebutuhan secara jumlah ataupun mahalnya alat tersebut. Kedua adalah sosialisasi, perlu adanya perumusan metoda sosialisasi yang efektif, ethic dan authorised dalam mengenalkan indication pelayanan Hospital At Home tersebut agar tidak terjadi misinterpretasi dan miskomunikasi. LANDASAN HUKUM PROFESI PERAWAT Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum. Ketiga norma tersebut, khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Dengan terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada kahirnya perdamaian dalam berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi. Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di bidang kesehatan diperlukan tiga faktor : 1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari pemerintah 2. perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan 3. perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu. Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan. I. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan I.1. BAB we Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3 Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. I.2. Pasal 1 Ayat 4 Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. II. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000) II.1. BAB we Ketentuan Umum Pasal 1 : Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia (garis bawah saya).
  • 20. 3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah Indonesia (garis bawah saya). ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan pasal 340 KUHP. Salah satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat (4) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan : “barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara pale lama 5 (lima) tahun atau pidana denda pale banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” perorangan/berkelompok (garis bawah saya). 5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik II.1.2. BAB III Perizinan, Pasal 8 : 1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan, praktek perorangan/atau berkelompok. 2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK (garis bawah saya). 3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (garis bawah saya). Pasal 9 Ayat 1 SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat. Pasal 10 SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan. Pasal 12 (1).SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. 4. Surat Ijin Praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan praktek perawat (2).SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi. Pasal 13 Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan.
  • 21. Pasal 15 Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk : a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan. b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan. c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi. d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter (garis bawah saya). Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20; (1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa. Pasal 21 (1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang prakteknya. (garis bawah saya). (2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek (garis bawah saya). Pasal 31 (1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang : a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut. b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi. (2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a. Di dalam praktek apabila terjadi pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum lebih cenderung mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan ketentuanSebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar Diposkan oleh Cermin Politik Perawat Indonesia RUU Praktik Keperawatan « r4mzk3sr4w4n's blog RUU Praktik Keperawatan Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan veteran yang merupakan bagian constituent dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu,
  • 22. keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan complement klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan particular dan berkelompok Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat. 2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002). Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat. Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari indication medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian constituent dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.
  • 23. Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan dignified profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan .Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari. Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%). Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerahdaerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara professional. Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang mendapat izin melakukan praktik keperawatan. Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan. Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004. Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan joke tidak sedikit. Tapi
  • 24. kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada module Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008). Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal ini terkait standing DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan joke masuk dalam bulletin DPR RI. Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi : “ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan. Dan pasal 2 berbunyi : “ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan. 2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas) . Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang grave dan terstandar menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar
  • 25. . Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002) Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan. Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan. Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat. 2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan : 1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum. 2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.
  • 26. UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya. 3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis. Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun. Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturanperaturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya. UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri. 4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979 Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan. 5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980 Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.
  • 27. 6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 Nov 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point. Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya 7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan. Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah : Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan. 2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan 1. Fungsi Keperawatan Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan 2. Tugas Keperawatan 1. Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan 2. Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi masyarakat
  • 28. Wewenang 2. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan 2. Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan 3. Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat 4. Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat 5. Menetapkan penyelenggaraan module pendidikan keperawatan TREN DAN ISU MUTAKHIR PRAKTEK PERAWAT Upaya-upaya bidang kesehatan selama ini seperti preventif, promoti, kuratif dan rehabilitatif rupanya perlu mendapatkan refleksi dari perawat. Kritisi tersebut bukan untuk menggugat cakupan pelayanan kesehatan, melainkan perawat perlu menciptakan indication praktik pelayanan perawatan yang khas dan berbeda, sehingga meskipun perannya tidak langsung berdampak terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia, namun tetap berarti (mengisi sektor yang kosong/tidak tergarap) karena perannya tidak identik dengan profesi lain atau sebagai underling sistem tenaga kesehatan lainnya. Mengingat hal – hal tersebut kita perlu mencermati beberapa peristiwa di belahan dunia lain, akan perubahan – perubahan konsep dan pengembangan kesehatan. Khususnya di negara maju seperti Amerika, hasil riset yang dikemukakan oleh Bournet (dalam Jurnal Riset) tentang perkembangan “Hospital At Home” atau perawatan pasien di rumah mereka sendiri, secara kuantitatif menunjukan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1970an rasionya adalah 291 ; 1 , kemudian tahun 1990an perbandingannya sekitar 120 ; 1 dan terakhir penelitian pada tahun 2004 perbedaannya menjadi semakin tipis yaitu 12 ; 1. Masih penelitian tentang Hospital At Home dan di Amerika menunjukan bahwa, tingkat kepuasan pasien yang di rawat di rumahnya sendiri lebih memuaskan pasien dan keluarga dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit. Bila kita melihat tren dan isu di negara lain tersebut kita dapat membuat satu analisis bahwa, Hospital At Home akan menjadi salah satu indication anyar yang perkembangannya akan sangat pesat. Implikasinya bagi perawat dan praktek keperawatan jelas hal ini merupakan angin surga, karena dengan praktik dalam indication Hospital At Home, perawat akan menunjukan eksistensinya. Keuntungannya dalam meningkatkan peran perawat antara lain; (1) Otonomi praktik keperawatan akan jelas dibutuhkan dan dibuktikan, mengingat kedatangan perawat ke rumah pasien memikul tanggung jawab profesi, (2) Perawat dimungkinkan menjadi manager/
  • 29. personality dalam menentukan atau memberikan pandangan kepada pasien tentang pilihan – pilihan tindakan atau rujukan yang sebaiknya ditempuh pasien, (3) Patnership, berdasarkan pengalaman di lapangan kebersamaan dan penghargaan dengan sesama rekan sejawat serta profesi lain memperlihatkan ke-egaliterannya , (4) Riset dan Pengembangan Ilmu, hal ini yang pale penting, dengan adanya konsistensi terhadap keperawatan nampak fenomena keunggulan dari Hospital At Home ini, ketika perawat mengasuh pasien dengan jumlah pale ideal yaitu satu pasien dalam satu waktu, interaksi tersebut selain memberikan tingkat kepuasan yang baik juga memberikan dorongan kepada perawat untuk memecahkan masalah secara systematic approach. Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa ruang kosong praktek Hospital At Home ini menjadi peluang bidang garap yang akan menambah tegas betapa perawat memiliki peran yang tidak identik dan tidak tergantikan. Pengalaman di lapangan membuktikan tentang betapa tingginya animo masyarakat akan kehadiran Hospital At Home (Nursing At Home), hanya saja ada beberapa tantangan yang menuntut keseriusan untuk segera mengembangkan indication ini. Tantanga tersebut diantaranya adalah Infrastruktur Hospital At Home yang sangat mahal, salahsatunya adalah keberadaan alat kesehatan, dengan konsep one collection one patien/home, maka bisa dibayangkan kebutuhan alat kesehatan ini akan semakin membengkak, baik kebutuhan secara jumlah ataupun mahalnya alat tersebut. Kedua adalah sosialisasi, perlu adanya perumusan metoda sosialisasi yang efektif, ethic dan authorised dalam mengenalkan indication pelayanan Hospital At Home tersebut agar tidak terjadi misinterpretasi dan miskomunikasi. LANDASAN HUKUM PROFESI PERAWAT Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum. Ketiga norma tersebut, khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Dengan terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada kahirnya perdamaian dalam berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi. Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di bidang kesehatan diperlukan tiga faktor : 1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari pemerintah 2. perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan 3. perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu. Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan. I. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan I.1. BAB we Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3 Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
  • 30. memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. I.2. Pasal 1 Ayat 4 Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. II. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000) II.1. BAB we Ketentuan Umum Pasal 1 : Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia (garis bawah saya). 3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah Indonesia (garis bawah saya). ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan pasal 340 KUHP. Salah satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat (4) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan : “barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara pale lama 5 (lima) tahun atau pidana denda pale banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” perorangan/berkelompok (garis bawah saya). 5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik II.1.2. BAB III Perizinan, Pasal 8 : 1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan, praktek perorangan/atau berkelompok. 2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK (garis bawah saya). 3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (garis bawah saya). Pasal 9 Ayat 1 SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
  • 31. Pasal 10 SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan. Pasal 12 (1).SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. 4. Surat Ijin Praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan praktek perawat (2).SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi. Pasal 13 Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan. Pasal 15 Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk : a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan. b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan. c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi. d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter (garis bawah saya). Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20; (1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa. Pasal 21 (1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang prakteknya. (garis bawah saya). (2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek (garis bawah saya). Pasal 31 (1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang : a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut. b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi. (2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a.
  • 32. Di dalam praktek apabila terjadi pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum lebih cenderung mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan ketentuanSebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar Diposkan oleh Cermin Politik Perawat Indonesia 2009/09/02 Categories: keperawatan, Secercah Asa Tags: RUU Praktik Keperawatan 15 Komentar » Wohlersaputra's Blog Studi kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kab. Polewali OLEH ; SUHADI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Kaho (1991), berhasil tidaknya suatu kegiatan dilaksanakan dalam hal pelaksanaan Otonomi Daeran tergantung pada manusia pelaksananya. Oleh sebab itu dalam proses rekrutmen tenaga kesehatan, terutama pada jabatan yang bersifat teknis perlu dipertimbangkan kemampuan-kemampuan profesionalisme disamping pertimbangan kepribadian dan integritas kepemimpinan yang dimiliki. Aparat kesehatan merupakan unsur masukan (input) dari sistem pembangunan kesehatan sebagai modal dasar dari pembangunan kesehatan itu sendiri, karena kunci keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan oleh tersedianya sumber daya manusia berupa tenaga kesehatan yang mempunyai kompetisi dan profesional yang tinggi. Kemampuan aparatur pemerintah dalam hal ini aparat kesehatan merupakan faktor yang menentukan apakah suatu daerah mampu menyelenggarakan urusan rumah tangga, khususnya bidang kesehatan dengan baik atau tidak (Kaho, 1991). Langkah seperti ini diperlukan karena didalam suasana titik berat otonomi yang diletakkan pada daerah kabupaten/kota, maka setiap apratur, harus terus dipacu secara maksimal mendukung setiap segi dari penyelengaraan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Untuk mendukung konsep pembinaan aparatur itu diperlukan tenaga-tenaga yang mempunyai potensi kreatif sehingga dapat secara sistematis mengikuti berbagai jenjang pendidikan dan latihan yang dibutuhkan oleh bidang tugasnya pada suatu ketika. Sesuai konsep desentralisasi di daerah Kabupaten, dengan kewenangan yang bertambah seharusnya diikuti peningkatan tenaga yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dimana peningkatan SDM ini dapat ditempuh dengan pelatihan, pendidikan, bantuan konsultan dan tenaga profesional, selain itu juga diikuti pula dengan pola pengembangan karir yang tertib dan teratur (Buwono, 1999).
  • 33. Salah satu kendala yang melekat pada daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan kesehatan yang telah di sentralisasikan adalah faktor kemampuan daerah, meliputi kemampuan dan kesiapan daerah kabupaten/kota dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Dari penelitian yang dilakukan oleh FISIP UGM bekerjasama dengan badan Litbang Depdagri bahwa kemampuan aparatur dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga daerahnya khususnya urusan kesehatan hanya 46, 12 %. Penelitian yang terakhir yang dilakukan Depdagri didapatkan bahwa berdasarkan kriteria pokok kemampuan daerah diatas hanya 21,25 % dari 292 daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, kekurangan aparatur daerah dalam kabupaten/kota dalam penyelenggaraan otonomi daerah sebagai salah satu penyebab ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan rumah tangga dengan sempurna. Hasil penelitian Hermawaty tahun 2000 menunjukan tingkat pendidikan 58,3 % dengan kategori kurang dan 41,7 % kategori cukup. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan tenaga yang ada di kabupaten/kota masih rendah, maka perlu diadakan penelitian mengenai tingkat kemampuan para tenaga kesehatan sehingga hasilnya dapat dijadikan masukan untuk mengadakan evaluasi dan perbaikan dalam penanganan tenaga kesehatan. Kemapuan tenaga kesehatan merupakan variabel utama dalam penyelenggaraan Otonomi daerah dan indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan tenaga kesehatan secara makro adalah rasio jumlah penduduk, pendidikan grave pegawai, golongan/kepangkatan, pendidikan dan latihan strukrural dan fungsional yang diikuti serta masa kerja. Sedangkan Ali Sadikin (2003) dalam penelitiannya tentang analisis kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan di Kabupaten Bulungan Jawa Timur dinyatakan tidak mampu, berdasarkan rasio jumlah tenaga kesehatan terhadp jumlah penduduk, pendidikan formal, golongan dan kepangkatan, pendidikan dan latihan, dan masa kerja Oleh sebab itu, berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti ingin melakukan studi tentang kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi di bidang kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali. B. Rumusan Masalah Bagaimana gambaran kemampaun tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah bidang kesehatan ditinjau dari segi rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, pendidikan grave tenaga kesehatan, golongan kepangkatan, Diklat Struktural dan Tewhnis/Fungsional, dan masa kerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah bidang kesehatan ditinjau dari segi rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, pendidikan formal, golongan kepangkatan, dan Diklat Struktural dan Tehnis/Fungsional, dan masakerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit Kabupaten Polewali. 1. Tujuan khusus
  • 34. 1. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali . 2. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi pendidikan grave tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali. 3. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi golongan kepangkatan tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali. 4. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi Pendidikan dan Latihan Struktural dan Fungsional tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali. 5. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi Masa kerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali D. Manfaat Penelitian. 1. Bahan informasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Polewali dalam rangka pembinaan dan pengembangan otonomi bidang kesehatan. 2. Sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali khususnya dalam perencanaan, rekrutmen, dan penempatan tenaga kesehatan di dinas Kesehatan Kabupaten Polewali 3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dengan obyek yang relevan. 4. Bagi peneliti sebagai tambahan pengetahuan, pengalaman dan cakrawala berpikir dalam penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Otonomi Daerah 1. Kondisi Umum Aparatur Pemerintah Daerah Sebagai bagian dari masyarakat dunia, bangsa Indonesia tidak bisa menghindar dari pengaruh perubahan global. Tuntunan terhadap perwujudan hak asasi manusia, demokratisasi, supremasi hukum, penyelenggaraan pemerintahan yang baik, antara lain merupakan nilainilai kehidupan tellurian yang harus diwujudkan (Yudoyono, 2001). Demikian halnya di dalam manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pola-pola penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang sentralistik menjadi kurang aktual, sehingga perlu pendekatan desentralistik. Peranan pemerintah untuk menciptakan iklim kondusif dalam mewadahi proses interaksi kehidupan sosial, ekonomi, politik agar berjalan dengan tertib, terkendali, demokratis dan efektif. Dalam rangka mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tuntutan masyarakat, maka berbagai kebijakan strategis telah dan akan ditetapkan, di antaranya adalah pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, serta PP No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonomi.