SlideShare a Scribd company logo
1 of 19
Download to read offline
BAB I . PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan
temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse
effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida
(CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari
terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan
temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius
pada akhir abad 21.
Diperkirakan, setiap tahun dilepaskan *18,35 miliar* ton karbon dioksida (18,35
milliar ton karbon dioksida ini sama dengan 18,35 X 1012 atau
18.350.000.000.000/kg karbon dioksida).Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas
rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari
Matahari yang dipancarkan ke Bumi. Inilah yang disebut dengan Efek Rumah Kaca.
Rata-rata temperatur permukaan Bumi sekitar 15°C (59°F). Selama seratus tahun
terakhir, rata-rata temperatur ini telah meningkat sebesar 0,6 derajat Celsius (1 derajat
Fahrenheit). Para ilmuan memperkirakan pemanasan lebih jauh hingga 1,4 – 5,8
derajat Celsius (2,5 – 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-
geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir,
peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu,
migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-
ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan
kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan,
pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d)
pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah
penyakit, dsb).
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini ―Penyebab dan Dampak dari Pemanasan Global‖,
maka masalahnya dapat identifikasikan sebagai berikut :
1. Apa saja penyebab dan dampak dari pemanasan global?
2. Bagaimana cara untuk mengurangi efek dari pemanasan global.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana cara terjadinya pemanasan global?
2. Tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi efek dari
pemanasan global?
D. Batasan Masalah
Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang dibahas dibatasi
pada masalah :
1. Penyebab dan dampak dari pemanasan global.
2. Cara untuk mengurangi efek dari pemanasan global.
E. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan bahwa pemanasan
global itu sangat berbahaya dan untuk mengajak masyarakat untuk tidak menganggap
remeh pemanasan global sehingga masyarakat mulai menerapkan sikap untuk
mengurangi pemanasan global dari sekarang.
F. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan mengapa pemanasan
global bisa terjadi dan apa saja dampak-dampak dari pemanasan global. Selain itu
juga untuk mengetahui cara untuk mengurangi efek dari pemanasan global dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II. PEMBAHASAN
A. Penyebab dari Pemanasan Global
1. Efek Rumah Kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian
besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya
tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya
menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap
sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini
berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun
sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya
jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang
menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan
memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan
akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini
terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi
terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan
semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak
panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di
bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan
temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas
33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu
bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi.
Mekanisme yang sebenarnya menguntungkan kehidupan di bumi ini berbalik
menjadi sebuah ancaman tatkala manusia memasuki era industrialisasi (abad
ke-18). Untuk menunjang proses industri, manusia mulai melakukan
pembakaran batu bara, minyak dan gas bumi untuk menghasilkan bahan baker
dan listrik.
Proses pembakaran energi dari bumi ini ternyata menghasilkan gas buangan
berupa CO2. Otomatis kadar lapisan gas rumah kaca yang menahan dan
memantulkan kembali udara panas ke bumi menjadi semakin banyak. Bumi
pun semakin panas.
2. Efek Umpan Balik
Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses
umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air.
Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2,
pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang
menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca,
pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara
sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca
yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri.
(Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara,
kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena
udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara
perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat
ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra
merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan.
Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar
Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek
pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau
pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan
ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model
iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak
antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500
km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat).
Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila
dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah
pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan
IPCC ke Empat.
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan
cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada
di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan
dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka.
Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih
sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih
banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan
menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang
berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah
beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap
pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga
menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia
menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona
mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton
yang merupakan penyerap karbon yang rendah.
3. Variasi Matahari
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan
kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi
kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan
pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari
akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan
stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati
sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi
kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat
memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai
akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan
aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa
pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari
mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke
University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi
terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode
1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan
rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini
membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan
dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek
pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang
remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan
meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun,
sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini
disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss
menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat
"keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari
hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat
"keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk
berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood
dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global
dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output
Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.
B. Dampak dari Pemanasan Global
1. Iklim Mulai tidak Stabil
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian
Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih
dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair
dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan
Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan,
mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah
subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih
cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur
pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang
menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban
tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih
jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca,
sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer.
Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih
banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa
luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air).
Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata,
sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di
seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir
ini) Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap
dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari
sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola
yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari
penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang
terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca
menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
2. Peningkatan Permukaan Air Laut
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai
berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus
laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d)
ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e)
berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara
geologi.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola
hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat
tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek
backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir
diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80%
peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk
Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi.
Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek
akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan
intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
· Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada
wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang
pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan
mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982)
menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185
ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi
penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila
keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai
akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran
dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan
zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
· Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka
air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air
tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara
2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas
wilayah Jakarta Utara.
· Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi
diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta
api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap
permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah
Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi
bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-
lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4
juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan
menjadi lebih ‗buram‘ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra
produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah
nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan,
seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi
kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di
Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut
diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
· Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-
pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung
dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis
pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang
mencapai 202.500 ha.
Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah
dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat
kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The
Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan
bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar
hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan
WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5
juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah
yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan
menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko
pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air
bersih pada jangka panjang.
3. Suhu Global akan Meningkat
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan
lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama
di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan
mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya
masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa
bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang
menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika
snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir
alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman
pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang
lebih hebat.
Laju pemanasan
global yang tidak terkendali akan makin mempercepat pencairan es dikutub.
Jika es di kutub mencair maka akan merusak ekosistem kutub dan dapat
menyebabkan permukaan air laut menaik drastis sehingga pulau-pulau kecil
dapat tenggelam. Mungkin contoh es mencair dalam beberapa bulan yang lalu
adalah adanya gunung es seluas stadion sepakbola terlihat melewati perairan
Australia. Hal ini sudah menyatakan bahwa mencair nya es di kutub sudah
sangat parah sehingga pulau-pulau kecil harus segera waspada untuk
menghadapi naiknya permukaan laut secara drastis.
4. Dampak Sosial, Ekonomi dan Politik
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-
penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian.
Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan
muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan
peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat
menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam
(banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana
alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat
pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi,
defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit
melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui
vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam
Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini
berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa
spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium
menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme
tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang
secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan
ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim
(Climat change)yang bis berdampak kepada peningkatan kasus penyakit
tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan
dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai
juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease.
Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak
terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran
pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru
kronis, dan lain-lain.
C. Cara Mengurangi Efek dari Pemanasan Global
1. Mengurangi Efek Rumah Kaca
Satu sisi, Efek Rumah kaca dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan alam.
Namun, Efek Rumah Kaca yang berlebihan akibat aktifitas manusia akan
berubah menjadi ancaman untuk kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena
itu, ketika manusia menyadari bahwa aktifitasnya telah mengakibatkan Efek
Rumah Kaca yang berlebih, maka diperlukan usaha yang sungguh-sungguh
untuk menguranginya sehingga mencapai keseimbangannya kembali.
Dunia masih mempunyai kesempatan realistis hingga 2010 guna menghindari
sebagian dari bencana meluas akibat pemanasan global (global warming).
Demikian disampaikan dua peneliti lingkungan dari Universitas Princeton dan
Universitas Brown, Michael Oppenheimer dan Brian O‘Neill, di AS dalam
suatu kajian yang dimuat Journal Science.
Sebuah laporan yang dikeluarkan di Cina pada tahun yang sama menyatakan
ramalan, suhu global Bumi bisa meningkat sampai 5,8 derajat Celcius
sedikitnya pada akhir abad ini. Pernyataan ini diperkuat pula oleh laporan lain
dari NASA Goddard Institute for Space Studies yang mengatakan, ambang
CO2 meningkat dari angka satuan 280 ppmv (/parts per million by volume/)
pada tahun 1850 menjadi 360 ppmv pada tahun 2001. Padahal, dalam kajian
yang lain dikatakan, ambang CO2 di atmosfer harus dicegah untuk tidak
melebihi ambang 450 ppmv.
Para ilmuwan mempelajari cara-cara untuk membatasi pemanasan global.
Kunci utamanya adalah:
1. Membatasi emisi CO2
Tehnik yang efektif untuk membatasi emisi karbon ada dua yakni mengganti
energi minyak dengan sumber energi lainnya yang tidak mengemisikan
karbon dan yang kedua penggunaan energi minyak sehemat mungkin.
2. Menyembunyikan karbon yang juga membantu mencegah karbon dioksida
memasuki atmosfer atau mengambil CO2 yang ada.
Menyembunyikan karbon dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Di bawah tanah atau penyimpanan air tanah
Bawah tanah atau air bawah tanah bisa digunakan untuk menyuntikkan emisi
CO2 ke dalam lapisan bumi atau ke dalam lautan. Lapisan bumi yang
dapat digunakan adalah penyimpanan alami minyak dan gas bumi di
tambang-tambang minyak. Dengan memompakan CO2 kedalam tempat-
tempat penyimpanan minyak di perut bumi akan membantu
mempermudah pengambilan minyak atau gas yang masih tersisa. Hal ini
bisa menutupi biaya penyembunyian karbon. Lapisan garam dan batubara
yang dalam juga bias menyembunyikan karbon dioksida.
2. Penyimpanan di dalam tumbuhan hidup.
Tumbuhan hijau menyerap CO2 dari udara untuk tumbuh. Kombinasi
karbon dari CO2 dengan hidrogen diperlukan untuk membentuk gula
sederhana yang disimpan di dalam jaringan. Mengingat pentingnya
tumbuhan dalam menyerap CO2 , maka perlunya memelihara pepohonan
dan menanam pohon baru lebih banyak lagi.
2. Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
· Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk
kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana
dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber
pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
· Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para
pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir,
abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
· Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem
pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir
agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber
daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
· Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara
efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang
yang senada dengan semangat otonomi daerah
· Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks
pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan
pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan
pesisir.
· Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota
pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan
hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir
dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus
reduksi potensi konflik lintas wilayah
3. Mengurangi Metana
Pemanasan global akibat akumulasi gas-gas di atmosfer, di antaranya metana,
menimbulkan efek lanjutan, yaitu perubahan iklim dan kondisi lingkungan
bumi yang memburuk. Namun selama ini perhatian banyak dipusatkan untuk
menekan gas karbon. Padahal, metana-lah yang menjadi penyebab terbesar
pemanasan global. Maka, belakangan sasaran mulai diarahkan pada gas yang
satu ini.
Terasering untuk mengurangi metana.
Upaya menekan emisi metana ke atmosfer belakangan mulai gencar dilakukan
di negara yang memiliki lahan padi sawah terbesar, yaitu India dan China.
Indonesia pun tak ketinggalan.
Salah satu caranya adalah dengan menerapkan sistem budidaya yang disebut
dengan System of Rice Intensification (SRI). Pola budidaya padi tersebut
bertujuan untuk mengurangi pemberian air pada lahan sawah. Karena
diketahui, dengan kondisi air terbatas, produksi gas metana oleh mikroba
anaerob berkurang.
Sistem bercocok tanam ini diperkenalkan pertama kali oleh misionaris dari
Perancis, Henri de Laulanie, di Madagaskar tahun 1983. Pola bertanam padi
ini lalu dikembangkan Prof Norman Ufhop dan akhirnya disebarkan ke Asia,
seperti India, Pakistan, Sri Lanka, Banglades, China, Vietnam, dan Indonesia.
Pada SRI, dengan mengurangi air dan benih berkisar 40 sampai 80 persen,
panen padi justru dapat meningkat 50 hingga 70 persen dibandingkan cara
konvensional yang berkisar 4 hingga 5 ton per hektar. Kini, lebih dari 13.000
petani sudah menerapkan SRI pada lahan sekitar 9.000 hektar.
Upaya menekan emisi metana dari lahan persawahan juga ditempuh Sudiana
dengan mencari mikroba yang berperan dalam melepaskan metana ke
atmosfer dan yang mengoksidasi metana. Di lahan persawahan konvensional
yang tergenang air ditemukan mikroba metanogen yang anaerob atau bekerja
dalam kondisi tanpa udara. Bakteri ini menghasilkan gas metana.
Emisi gas metana di sawah pada sistem SRI ternyata juga dihasilkan oleh
bakteri metanogenik yang ada dalam usus cacing tanah (Aporrectodea
caliginosa, Lumbricus rubellus, dan Octolasion lacteum), yaitu saat cacing
tanah membuat lubang untuk meningkatkan aerasi tanah sawah.
Dalam penelitiannya bersama peneliti dari Universitas Tokyo dan Otsuka di
Sukabumi ditemukan, komunitas mikroba pesaingnya, yaitu metanotropik
yang mengonsumsi atau mengoksidasi gas metana, menjadi metanol. Maka,
untuk menekan emisi gas metana yang dihasilkan metanogen harus
ditambahkan gipsum (CaSO. 2HO) yang dapat menstimulasi pertumbuhan
metanotropik—kompetitornya. Dengan begitu, pertumbuhan mikroba
metanogen tertekan.
Lebih lanjut di laboratorium milik Puslit Biologi LIPI di Cibinong, Sudiana
berhasil mengisolasi tiga gen pada mikroba metanotropik. Isolasi berlangsung
selama dua bulan. Inokulan yang ditemukan tahun lalu itu disebut Metrop 09
dan menjadi koleksi kultur lembaga riset ini.
Inokulan Metrop masih memerlukan pengujian stabilitas selama setahun ini
untuk memastikan respons gen tidak berubah jika berada di lingkungan yang
berbeda. Dengan pupuk hayati plus itu, akan dihasilkan tanaman yang
berproduktivitas tinggi, tetapi minim produksi metana.
4. Perjanjian Internasional
Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas
rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150
negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk
menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada
tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat
yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-
negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan
gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di
bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat
tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk
melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi
hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan
perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa
122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk
berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih,
George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon
dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal
dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan
persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak
berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab
menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak
meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden
Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk
berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika
perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi
bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan
yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang
yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi
gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang
sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama
dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-
perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para
penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk
melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama
disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya
bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat
lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah
mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih efisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat
terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi
membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh,
Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah
berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi
targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto
bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum
terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada
setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator
merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan
yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang
tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon.
Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti
Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan
biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh
keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat
payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia
berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia
berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri
lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.
Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi
emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya. Jika
sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata
pemanasan global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.
Hingga Februari 2005, 141 negara telah meratifikasi protokol tersebut,
termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia, 25 negara
anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria. Untuk mencapai protokol
Kyoto ini, semua negara terus menciptakan teknologi yang ramah lingkungan,
terutama negara maju. Karena, negara maju yang banyak mengeluarkan CO2
penyebab rumah kaca.
Dengan mengedepankan Protokol Kyoto, industri-industri stategis seperti
industri migas, industri transportasi, industri minyak dan gas didorong untuk
menggunakan energi alternatif yang ramah lingkungan. Artinya, sedapat
mungkin meninggalkan penggunaan migas yang merupakan sumber utama
emisi gas karbon.
Lima besar negara penyumbang emisi Gas Rumah Kaca terbesar adalah :
1. Amerika Serikat
2. Tiongkok
3. Rusia
4. India
5. Jepang
Sejumlah negara industri maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia
hingga kini belum menandatangi protokol ini. Mereka beranggapan,
kesepakatan ini akan mengancam masa depan industi mereka. Padahal, AS
tercatat sebagai salah satu negara penyumbang emis gas karbon terbesar di
dunia.
Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan
oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya
yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini
mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan
Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan
oleh biaya energi.
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan isi makalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemanasan global
disebabkan oleh :
1. Efek Rumah Kaca
2. Efek Umpan Balik
3. Variasi Matahari
Dampak dari pemanasan global itu sendiri yaitu :
1. Iklim menjadi tidak stabil
2. Peningkatan permukaan air laut
3. Suhu global meningkat
4. Selain itu juga menyebabkan dampak ekonomi social dan politik
B. Saran
Berdasarkan dampak negative dari pemanasan global, maka saran dari penulis adalah
sebaiknya kita mulai untuk menerapkan gaya hidup yang bertujuan untuk mengurangi
pemanasan global seperti:
1. Menanam pohon untuk melaksanakan program one man one tree
2. Mendaur ulang sampah yang masih bisa di daur ulang
3. Menghemat energi listrik dan bahan bakar
4. Tidak membuang sampah sembarangan
5. Selalu memperhatikan kebersihan dan keseimbangan ekosistem lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wikipedia Indonesia (Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia)
2. Kompas.com
3. Detik.com
4. http://geo.ugm.ac.id/archives/28
5. http://baskoro06.wordpress.com
6. Intergovernmental Panel on Cimate Change (IPCC)
7. Center for International Forestry Research (CIFOR)

More Related Content

What's hot

Pemanasan Global
Pemanasan GlobalPemanasan Global
Pemanasan Globalaudi15Ar
 
makalah penyebab dan dampak globalisasi
makalah penyebab dan dampak globalisasimakalah penyebab dan dampak globalisasi
makalah penyebab dan dampak globalisasimbak_aul
 
Bumi Indah Tanpa Global Warming
Bumi Indah Tanpa Global WarmingBumi Indah Tanpa Global Warming
Bumi Indah Tanpa Global WarmingElfian Effendi
 
Bumi Indah Group Pencinta Alam
Bumi Indah Group Pencinta AlamBumi Indah Group Pencinta Alam
Bumi Indah Group Pencinta AlamElfian Effendi
 
Makalah Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Meningkatnya Frekuensi dan Intensi...
Makalah Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Meningkatnya Frekuensi dan Intensi...Makalah Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Meningkatnya Frekuensi dan Intensi...
Makalah Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Meningkatnya Frekuensi dan Intensi...Rimbawan Ank
 
Makalah cara mencegah pemanasan global iqbal tando
Makalah cara mencegah pemanasan global iqbal tandoMakalah cara mencegah pemanasan global iqbal tando
Makalah cara mencegah pemanasan global iqbal tandoOperator Warnet Vast Raha
 

What's hot (16)

Pemanasan Global
Pemanasan GlobalPemanasan Global
Pemanasan Global
 
makalah penyebab dan dampak globalisasi
makalah penyebab dan dampak globalisasimakalah penyebab dan dampak globalisasi
makalah penyebab dan dampak globalisasi
 
Makalah pemanasan global
Makalah pemanasan globalMakalah pemanasan global
Makalah pemanasan global
 
Bumi Indah Tanpa Global Warming
Bumi Indah Tanpa Global WarmingBumi Indah Tanpa Global Warming
Bumi Indah Tanpa Global Warming
 
Pemanasan Global
Pemanasan GlobalPemanasan Global
Pemanasan Global
 
Bumi Indah Group Pencinta Alam
Bumi Indah Group Pencinta AlamBumi Indah Group Pencinta Alam
Bumi Indah Group Pencinta Alam
 
Makalah pemanasan global STIP WUNA
Makalah pemanasan global STIP WUNA Makalah pemanasan global STIP WUNA
Makalah pemanasan global STIP WUNA
 
Makalah Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Meningkatnya Frekuensi dan Intensi...
Makalah Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Meningkatnya Frekuensi dan Intensi...Makalah Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Meningkatnya Frekuensi dan Intensi...
Makalah Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Meningkatnya Frekuensi dan Intensi...
 
Pemanasan global
Pemanasan globalPemanasan global
Pemanasan global
 
Makalah pemanasan global 2
Makalah pemanasan global 2Makalah pemanasan global 2
Makalah pemanasan global 2
 
Makalah cara mencegah pemanasan global iqbal tando
Makalah cara mencegah pemanasan global iqbal tandoMakalah cara mencegah pemanasan global iqbal tando
Makalah cara mencegah pemanasan global iqbal tando
 
Makalah cara mencegah pemanasan global
Makalah cara mencegah pemanasan globalMakalah cara mencegah pemanasan global
Makalah cara mencegah pemanasan global
 
Makalah wahid
Makalah wahidMakalah wahid
Makalah wahid
 
Pemanasan global
Pemanasan globalPemanasan global
Pemanasan global
 
Contoh makalah pemanasan globa1
Contoh makalah pemanasan globa1Contoh makalah pemanasan globa1
Contoh makalah pemanasan globa1
 
Pemanasan global
Pemanasan globalPemanasan global
Pemanasan global
 

Similar to Dampak pemanasan global 2 (20)

Contoh makalah pemanasan globa1
Contoh makalah pemanasan globa1Contoh makalah pemanasan globa1
Contoh makalah pemanasan globa1
 
Contoh makalah pemanasan globa1
Contoh makalah pemanasan globa1Contoh makalah pemanasan globa1
Contoh makalah pemanasan globa1
 
X 9 08-fitra tunisa
X 9 08-fitra tunisaX 9 08-fitra tunisa
X 9 08-fitra tunisa
 
pemanasan global.docx
pemanasan global.docxpemanasan global.docx
pemanasan global.docx
 
Global warning
Global warningGlobal warning
Global warning
 
pemanasan-global-dampak-dan-upaya-meminimalisasinya.pdf
pemanasan-global-dampak-dan-upaya-meminimalisasinya.pdfpemanasan-global-dampak-dan-upaya-meminimalisasinya.pdf
pemanasan-global-dampak-dan-upaya-meminimalisasinya.pdf
 
X 9 29-windy andini ekaputri
X 9 29-windy andini ekaputriX 9 29-windy andini ekaputri
X 9 29-windy andini ekaputri
 
Pemanasan global 2
Pemanasan global 2Pemanasan global 2
Pemanasan global 2
 
Pemanasan global 2
Pemanasan global 2Pemanasan global 2
Pemanasan global 2
 
Pemanasan global 2 AKPER PEMKAB MUNA
Pemanasan global 2 AKPER PEMKAB MUNA Pemanasan global 2 AKPER PEMKAB MUNA
Pemanasan global 2 AKPER PEMKAB MUNA
 
Makalah wahid
Makalah wahidMakalah wahid
Makalah wahid
 
Global Warming
Global WarmingGlobal Warming
Global Warming
 
Efek Rumah Kaca (Bab 1,2,3)
Efek Rumah Kaca (Bab 1,2,3)Efek Rumah Kaca (Bab 1,2,3)
Efek Rumah Kaca (Bab 1,2,3)
 
Global warming lh
Global warming lhGlobal warming lh
Global warming lh
 
Makalah (2)
Makalah (2)Makalah (2)
Makalah (2)
 
Makalah (3)
Makalah (3)Makalah (3)
Makalah (3)
 
Makalah (3)
Makalah (3)Makalah (3)
Makalah (3)
 
Makalah (2)
Makalah (2)Makalah (2)
Makalah (2)
 
Makalah bahaya pemanasan global
Makalah bahaya pemanasan globalMakalah bahaya pemanasan global
Makalah bahaya pemanasan global
 
Pemanasan global 1 AKPER PEMKAB MUNA
Pemanasan global 1 AKPER PEMKAB MUNA Pemanasan global 1 AKPER PEMKAB MUNA
Pemanasan global 1 AKPER PEMKAB MUNA
 

More from Operator Warnet Vast Raha

Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiOperator Warnet Vast Raha
 

More from Operator Warnet Vast Raha (20)

Stiker kk bondan
Stiker kk bondanStiker kk bondan
Stiker kk bondan
 
Proposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bolaProposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bola
 
Surat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehatSurat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehat
 
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajarSurat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
 
Halaman sampul target
Halaman sampul targetHalaman sampul target
Halaman sampul target
 
Makalah seni kriya korea
Makalah seni kriya koreaMakalah seni kriya korea
Makalah seni kriya korea
 
Makalah makromolekul
Makalah makromolekulMakalah makromolekul
Makalah makromolekul
 
126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul
 
Kafer akbid paramata
Kafer akbid paramataKafer akbid paramata
Kafer akbid paramata
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Mata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budayaMata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budaya
 
Lingkungan hidup
Lingkungan hidupLingkungan hidup
Lingkungan hidup
 
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
 
Odher scout community
Odher scout communityOdher scout community
Odher scout community
 
Surat izin keramaian
Surat izin keramaianSurat izin keramaian
Surat izin keramaian
 
Makalah keganasan
Makalah keganasanMakalah keganasan
Makalah keganasan
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Makalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetikaMakalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetika
 
Undangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepaUndangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepa
 
Bukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajakBukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajak
 

Dampak pemanasan global 2

  • 1. BAB I . PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21. Diperkirakan, setiap tahun dilepaskan *18,35 miliar* ton karbon dioksida (18,35 milliar ton karbon dioksida ini sama dengan 18,35 X 1012 atau 18.350.000.000.000/kg karbon dioksida).Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi. Inilah yang disebut dengan Efek Rumah Kaca. Rata-rata temperatur permukaan Bumi sekitar 15°C (59°F). Selama seratus tahun terakhir, rata-rata temperatur ini telah meningkat sebesar 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit). Para ilmuan memperkirakan pemanasan lebih jauh hingga 1,4 – 5,8 derajat Celsius (2,5 – 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100. Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio- geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial- ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). B. Identifikasi Masalah Sesuai dengan judul makalah ini ―Penyebab dan Dampak dari Pemanasan Global‖, maka masalahnya dapat identifikasikan sebagai berikut : 1. Apa saja penyebab dan dampak dari pemanasan global? 2. Bagaimana cara untuk mengurangi efek dari pemanasan global. C. Perumusan Masalah
  • 2. Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana cara terjadinya pemanasan global? 2. Tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi efek dari pemanasan global? D. Batasan Masalah Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang dibahas dibatasi pada masalah : 1. Penyebab dan dampak dari pemanasan global. 2. Cara untuk mengurangi efek dari pemanasan global. E. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan bahwa pemanasan global itu sangat berbahaya dan untuk mengajak masyarakat untuk tidak menganggap remeh pemanasan global sehingga masyarakat mulai menerapkan sikap untuk mengurangi pemanasan global dari sekarang. F. Manfaat Penulisan Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan mengapa pemanasan global bisa terjadi dan apa saja dampak-dampak dari pemanasan global. Selain itu juga untuk mengetahui cara untuk mengurangi efek dari pemanasan global dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. BAB II. PEMBAHASAN A. Penyebab dari Pemanasan Global 1. Efek Rumah Kaca Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap
  • 3. sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Mekanisme yang sebenarnya menguntungkan kehidupan di bumi ini berbalik menjadi sebuah ancaman tatkala manusia memasuki era industrialisasi (abad ke-18). Untuk menunjang proses industri, manusia mulai melakukan pembakaran batu bara, minyak dan gas bumi untuk menghasilkan bahan baker dan listrik. Proses pembakaran energi dari bumi ini ternyata menghasilkan gas buangan berupa CO2. Otomatis kadar lapisan gas rumah kaca yang menahan dan memantulkan kembali udara panas ke bumi menjadi semakin banyak. Bumi pun semakin panas. 2. Efek Umpan Balik
  • 4. Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer. Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat. Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan. Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif. Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona
  • 5. mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah. 3. Variasi Matahari Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950. Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca. Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.
  • 6. Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis. B. Dampak dari Pemanasan Global 1. Iklim Mulai tidak Stabil Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat. Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini) Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim. 2. Peningkatan Permukaan Air Laut
  • 7. Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil. Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan. · Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya. · Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air
  • 8. tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara. · Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan- lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‗buram‘ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut. · Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau- pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha. Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang. 3. Suhu Global akan Meningkat Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa
  • 9. bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat. Laju pemanasan global yang tidak terkendali akan makin mempercepat pencairan es dikutub. Jika es di kutub mencair maka akan merusak ekosistem kutub dan dapat menyebabkan permukaan air laut menaik drastis sehingga pulau-pulau kecil dapat tenggelam. Mungkin contoh es mencair dalam beberapa bulan yang lalu adalah adanya gunung es seluas stadion sepakbola terlihat melewati perairan Australia. Hal ini sudah menyatakan bahwa mencair nya es di kutub sudah sangat parah sehingga pulau-pulau kecil harus segera waspada untuk menghadapi naiknya permukaan laut secara drastis. 4. Dampak Sosial, Ekonomi dan Politik Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit- penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain. Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui
  • 10. vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change)yang bis berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu) Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain. C. Cara Mengurangi Efek dari Pemanasan Global 1. Mengurangi Efek Rumah Kaca Satu sisi, Efek Rumah kaca dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan alam. Namun, Efek Rumah Kaca yang berlebihan akibat aktifitas manusia akan berubah menjadi ancaman untuk kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, ketika manusia menyadari bahwa aktifitasnya telah mengakibatkan Efek Rumah Kaca yang berlebih, maka diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk menguranginya sehingga mencapai keseimbangannya kembali. Dunia masih mempunyai kesempatan realistis hingga 2010 guna menghindari sebagian dari bencana meluas akibat pemanasan global (global warming). Demikian disampaikan dua peneliti lingkungan dari Universitas Princeton dan Universitas Brown, Michael Oppenheimer dan Brian O‘Neill, di AS dalam suatu kajian yang dimuat Journal Science. Sebuah laporan yang dikeluarkan di Cina pada tahun yang sama menyatakan ramalan, suhu global Bumi bisa meningkat sampai 5,8 derajat Celcius sedikitnya pada akhir abad ini. Pernyataan ini diperkuat pula oleh laporan lain dari NASA Goddard Institute for Space Studies yang mengatakan, ambang CO2 meningkat dari angka satuan 280 ppmv (/parts per million by volume/) pada tahun 1850 menjadi 360 ppmv pada tahun 2001. Padahal, dalam kajian yang lain dikatakan, ambang CO2 di atmosfer harus dicegah untuk tidak melebihi ambang 450 ppmv.
  • 11. Para ilmuwan mempelajari cara-cara untuk membatasi pemanasan global. Kunci utamanya adalah: 1. Membatasi emisi CO2 Tehnik yang efektif untuk membatasi emisi karbon ada dua yakni mengganti energi minyak dengan sumber energi lainnya yang tidak mengemisikan karbon dan yang kedua penggunaan energi minyak sehemat mungkin. 2. Menyembunyikan karbon yang juga membantu mencegah karbon dioksida memasuki atmosfer atau mengambil CO2 yang ada. Menyembunyikan karbon dapat dilakukan dengan dua cara: 1. Di bawah tanah atau penyimpanan air tanah Bawah tanah atau air bawah tanah bisa digunakan untuk menyuntikkan emisi CO2 ke dalam lapisan bumi atau ke dalam lautan. Lapisan bumi yang dapat digunakan adalah penyimpanan alami minyak dan gas bumi di tambang-tambang minyak. Dengan memompakan CO2 kedalam tempat- tempat penyimpanan minyak di perut bumi akan membantu mempermudah pengambilan minyak atau gas yang masih tersisa. Hal ini bisa menutupi biaya penyembunyian karbon. Lapisan garam dan batubara yang dalam juga bias menyembunyikan karbon dioksida. 2. Penyimpanan di dalam tumbuhan hidup. Tumbuhan hijau menyerap CO2 dari udara untuk tumbuh. Kombinasi karbon dari CO2 dengan hidrogen diperlukan untuk membentuk gula sederhana yang disimpan di dalam jaringan. Mengingat pentingnya tumbuhan dalam menyerap CO2 , maka perlunya memelihara pepohonan dan menanam pohon baru lebih banyak lagi. 2. Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
  • 12. · Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung. · Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya. · Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management). · Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah · Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir. · Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah 3. Mengurangi Metana Pemanasan global akibat akumulasi gas-gas di atmosfer, di antaranya metana, menimbulkan efek lanjutan, yaitu perubahan iklim dan kondisi lingkungan bumi yang memburuk. Namun selama ini perhatian banyak dipusatkan untuk menekan gas karbon. Padahal, metana-lah yang menjadi penyebab terbesar pemanasan global. Maka, belakangan sasaran mulai diarahkan pada gas yang satu ini.
  • 13. Terasering untuk mengurangi metana. Upaya menekan emisi metana ke atmosfer belakangan mulai gencar dilakukan di negara yang memiliki lahan padi sawah terbesar, yaitu India dan China. Indonesia pun tak ketinggalan. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan sistem budidaya yang disebut dengan System of Rice Intensification (SRI). Pola budidaya padi tersebut bertujuan untuk mengurangi pemberian air pada lahan sawah. Karena diketahui, dengan kondisi air terbatas, produksi gas metana oleh mikroba anaerob berkurang. Sistem bercocok tanam ini diperkenalkan pertama kali oleh misionaris dari Perancis, Henri de Laulanie, di Madagaskar tahun 1983. Pola bertanam padi ini lalu dikembangkan Prof Norman Ufhop dan akhirnya disebarkan ke Asia, seperti India, Pakistan, Sri Lanka, Banglades, China, Vietnam, dan Indonesia. Pada SRI, dengan mengurangi air dan benih berkisar 40 sampai 80 persen, panen padi justru dapat meningkat 50 hingga 70 persen dibandingkan cara konvensional yang berkisar 4 hingga 5 ton per hektar. Kini, lebih dari 13.000 petani sudah menerapkan SRI pada lahan sekitar 9.000 hektar. Upaya menekan emisi metana dari lahan persawahan juga ditempuh Sudiana dengan mencari mikroba yang berperan dalam melepaskan metana ke atmosfer dan yang mengoksidasi metana. Di lahan persawahan konvensional yang tergenang air ditemukan mikroba metanogen yang anaerob atau bekerja dalam kondisi tanpa udara. Bakteri ini menghasilkan gas metana. Emisi gas metana di sawah pada sistem SRI ternyata juga dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang ada dalam usus cacing tanah (Aporrectodea caliginosa, Lumbricus rubellus, dan Octolasion lacteum), yaitu saat cacing tanah membuat lubang untuk meningkatkan aerasi tanah sawah.
  • 14. Dalam penelitiannya bersama peneliti dari Universitas Tokyo dan Otsuka di Sukabumi ditemukan, komunitas mikroba pesaingnya, yaitu metanotropik yang mengonsumsi atau mengoksidasi gas metana, menjadi metanol. Maka, untuk menekan emisi gas metana yang dihasilkan metanogen harus ditambahkan gipsum (CaSO. 2HO) yang dapat menstimulasi pertumbuhan metanotropik—kompetitornya. Dengan begitu, pertumbuhan mikroba metanogen tertekan. Lebih lanjut di laboratorium milik Puslit Biologi LIPI di Cibinong, Sudiana berhasil mengisolasi tiga gen pada mikroba metanotropik. Isolasi berlangsung selama dua bulan. Inokulan yang ditemukan tahun lalu itu disebut Metrop 09 dan menjadi koleksi kultur lembaga riset ini. Inokulan Metrop masih memerlukan pengujian stabilitas selama setahun ini untuk memastikan respons gen tidak berubah jika berada di lingkungan yang berbeda. Dengan pupuk hayati plus itu, akan dihasilkan tanaman yang berproduktivitas tinggi, tetapi minim produksi metana. 4. Perjanjian Internasional Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
  • 15. Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara- negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas. Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005. Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan
  • 16. yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan- perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih efisien. Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida. Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata pemanasan global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050. Hingga Februari 2005, 141 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia, 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria. Untuk mencapai protokol Kyoto ini, semua negara terus menciptakan teknologi yang ramah lingkungan,
  • 17. terutama negara maju. Karena, negara maju yang banyak mengeluarkan CO2 penyebab rumah kaca. Dengan mengedepankan Protokol Kyoto, industri-industri stategis seperti industri migas, industri transportasi, industri minyak dan gas didorong untuk menggunakan energi alternatif yang ramah lingkungan. Artinya, sedapat mungkin meninggalkan penggunaan migas yang merupakan sumber utama emisi gas karbon. Lima besar negara penyumbang emisi Gas Rumah Kaca terbesar adalah : 1. Amerika Serikat 2. Tiongkok 3. Rusia 4. India 5. Jepang Sejumlah negara industri maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia hingga kini belum menandatangi protokol ini. Mereka beranggapan, kesepakatan ini akan mengancam masa depan industi mereka. Padahal, AS tercatat sebagai salah satu negara penyumbang emis gas karbon terbesar di dunia. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. BAB III. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan isi makalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemanasan global disebabkan oleh : 1. Efek Rumah Kaca
  • 18. 2. Efek Umpan Balik 3. Variasi Matahari Dampak dari pemanasan global itu sendiri yaitu : 1. Iklim menjadi tidak stabil 2. Peningkatan permukaan air laut 3. Suhu global meningkat 4. Selain itu juga menyebabkan dampak ekonomi social dan politik B. Saran Berdasarkan dampak negative dari pemanasan global, maka saran dari penulis adalah sebaiknya kita mulai untuk menerapkan gaya hidup yang bertujuan untuk mengurangi pemanasan global seperti: 1. Menanam pohon untuk melaksanakan program one man one tree 2. Mendaur ulang sampah yang masih bisa di daur ulang 3. Menghemat energi listrik dan bahan bakar 4. Tidak membuang sampah sembarangan 5. Selalu memperhatikan kebersihan dan keseimbangan ekosistem lingkungan sekitar. DAFTAR PUSTAKA 1. Wikipedia Indonesia (Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia) 2. Kompas.com 3. Detik.com 4. http://geo.ugm.ac.id/archives/28 5. http://baskoro06.wordpress.com
  • 19. 6. Intergovernmental Panel on Cimate Change (IPCC) 7. Center for International Forestry Research (CIFOR)