Dokumen tersebut membahas evaluasi kebijakan perizinan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia pasca Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Evaluasi ini menganalisis kewenangan pemberian izin antara pemerintah pusat dan daerah serta implementasi kebijakan perizinan di daerah yang menemukan banyak masalah seperti tumpang tindih izin dan dampak lingkungan."
1. 1
EVALUASI KEBIJAKAN PERIZINAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA1
Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara
Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia
Abstrak
Pada hakekatnya izin adalah pernyataan dari pemerintah untuk memperkenankan
seseorang melakukan kegiatan tertentu dengan sejumlah persyaratan. Izin usaha
pertambangan yang diterbitkan oleh pemerintah mempunyai kekuatan hukum apabila
diterbitkan berdasarkan kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam praktek, terjadi banyak permasalahan terkait izin usaha
pertambangan. Evaluasi terhadap kebijakan perizinan pertambangan mineral dan
batubara ini memberikan gambaran umum pelaksanaan perizinan, identifikasi
permasalahan dan alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Kata Kunci : Kewenangan, Perizinan, Pertambangan
1
Disarikan dari hasil kajian Evaluasi Terhadap Kebijakan Penyelenggara Negara Berdasarkan Kerangka Umum
Hukum Administrasi Negara, Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara, Tahun 2012.
2. 2
PENDAHULUAN
Pasca diberlakukannya Undang-
Undang No 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah hingga awal
tahun 2012 setidaknya sudah terbit
10.000 (sepuluh ribu) izin tambang
baru. Lima puluh persen (50%) dari
total izin tambang yang dikeluarkan
oleh pemerintah daerah tersebut
dinyatakan bermasalah oleh
Kementerian Energi Sumber Daya
Mineral.2 Ribuan izin tambang itu
antara lain memiliki masalah terkait
administrasi perizinan serta tumpang
tindih penggunaan lahan. Selain itu
kegiatan pertambangan juga
menimbulkan dampak negatif lainnya
seperti kerusakan lingkungan, memicu
keretakan warga dan ketidakjelasan
komitmen pengembangan
berkelanjutan untuk masyarakat lokal di
kawasan lingkar tambang (corporate
social responsibility). Beberapa daerah
pertambangan yang memiliki konflik
maupun potensi konflik, diantaranya
yaitu:3 Bangka Belitung (Kabupaten
Bangka); Jawa Barat (Kabupaten
Tasikmalaya); Jawa Tengah (Kabupaten
2
http://finance.detik.com/read/2012/02/14/17203
5/1842275/1034/5-ribu-izin-tambang-bermasalah-
esdm-berlakukan-moratorium?f990101mainnews
3
http://walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-
media/berita-tambang-a-energi/2211-ada-22-
daerah-rawan-konflik-pertambangan.html
Rembang); Jawa Timur (Kabupaten
Pacitan, Kabupaten Banyuwangi,
Kabupaten Lumajang); Nusa Tenggara
Timur (Kabupaten Sumba Timur,
Kabupaten Sumba Tengah); Nusa
Tenggara Barat (Kabupaten Lombok
Barat, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten
Bima); Sulawesi Tengah (Kabupaten
Tojo Una-una, Kabupaten Morowali);
Maluku Utara (Kabupaten Halmahera
Timur, Kabupaten Halmahera Tengah);
Papua Barat (Kabupaten Raja Ampat).
Untuk mengurai konflik tambang
tersebut, pemerintah telah membuat
instrument kebijakan tertulis, yaitu
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Undang-Undang tersebut
mengatur mengenai izin pertambangan.
Rumusan kebijakan dalam Undang-
Undang Mineral dan batubara sangat
berbeda dengan UU yang ada
sebelumnya. Sejumlah ketentuan yang
terdapat dalam UU Minerba
didelegasikan untuk diatur dengan
Peraturan Pemerintah (PP) ataupun
dengan Peraturan Daerah (Perda)
Kabupaten/Kota. Namun dalam
kenyataannya, baru beberapa materi
saja yang sudah ditindaklanjuti dengan
Peraturan Pemerintah. Lambannya
respon Pemerintah Pusat maupun
3. 3
Pemerintah Daerah untuk membuat PP
maupun Perda Kabupaten/Kota perlu
mendapat perhatian serius karena
dapat menyebabkan kekosongan
hukum. Oleh karena itu kebijakan
perizinan pertambangan secara
nasional maupun lokal perlu dievaluasi
dan ditata agar tercipta harmoni
kegiatan pertambangan di daerah
tempat kegiatan pertambangan
dilakukan.
Kajian ini bertujuan untuk
menganalisis kewenangan pemberian
izin usaha tambang mineral dan
batubara dan menganalisis
implementasi kebijakan pemberian izin
usaha tambang mineral dan batu bara di
daerah pasca berlakunya UU No 4
Tahun 2009 dengan menggunakan
pendekatan Hukum Administrasi
Negara. Sasaran kegiatan ini yaitu,
pertama, menganalisis kewenangan
pemberian izin usaha tambang mineral
dan batubara antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah berdasarkan UU
No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan, PP
No.75 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan
UU No. 11 Tahun 1967 dan UU No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Kedua,
menganalisis impelementasi kebijakan
pemberian izin usaha pertambangan
mineral dan batubara di daerah pasca
berlakunya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009.
Evaluasi kebijakan perizinan
pertambangan mineral dan batubara ini
merupakan kajian normatif dimana
fokus kajiannya adalah peraturan
perundang-undangan dan kebijakan
pemerintah. Berdasarkan rumusan
permasalahan yang diangkat dalam
kajian evaluasi ini, maka jenis kajian ini
adalah deskriptif kualitatif. Kajian ini
menggunakan bahan hukum primer
yang terdiri dari buku, jurnal, laporan
penelitian, tesis serta desertasi yang
terkait dengan tema kajian. Selain
menggunakan bahan hukum di atas,
kajian ini juga menggunakan bahan
hukum sekunder berupa bahan acuan
lainnya terkait dengan tema studi, baik
artikel yang dimuat dalam media cetak
maupun elektronik. Data yang diperoleh
kemudian diolah dan dianalisis secara
menyeluruh sehingga gambaran
mengenai kebijakan perizinan
pertambangan mineral dan batubara,
baik substansi maupun
implementasinya dapat dipotret secara
jelas.
Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara
4. 4
mendalam (in-depth interview), diskusi
terbatas, studi literatur dan studi
dokumen. Berdasarkan data yang
terkumpul, dilakukan analisis. Teknik
analisis data dilakukan melalui tiga
tahap; pengolahan data, penyajian data,
penyajian dan analisis serta penarikan
kesimpulan. Analisis secara
komprehensif dan sistematis diperlukan
agar gambaran sistem perizinan
pertambangan mineral dan batubara
dapat dideskripsikn dengan jelas. Dalam
tulisan ini akan diuraikan latar belakang
kajian, tujuan, output dan metode yang
digunakan dalam pengumpulan data
pada bagian Pendahuluan; Kebijakan,
Kewenangan dan Perizinan yang berisi
konsep maupun teori; Sistem Perizinan
Pertambangan di Indonesia; Temuan
dan Pembahasan serta Kesimpulan dan
Penutup.
KEBIJAKAN, KEWENANGAN DAN
PERIZINAN
A. Kebijakan
Pandangan mengenai kebijakan
publik dapat dibagi dalam dua kategori,
yaitu :4
4
http://staff.uny.ac.id/sites/defaults/files/karya%2
OB-Buku%20Dasar-
dasar%20kebijakan%20publik.pdf diunduh 1
November 2012
a. Pendapat ahli yang menyamakan
kebijakan publik sebagai tindakan-
tindakan pemerintah. Semua
tindakan pemerintah dapat disebut
sebagai kebijakan publik. Definisi
ini dapat diklasifikasikan sebagai
decision making dimana tindakan-
tindakan pemerintah diartikan
sebagai suatu kebijakan.
b. Pendapat ahli yang memberikan
perhatian khusus pada pelaksanaan
kebijakan. Kategori ini terbagi
dalam dua kubu, yaitu :
- Mereka yang memandang
kebijakan publik sebagai
keputusan-keputusan
pemerintah yang mempunyai
tujuan dan maksud-maksud
tertentu dan mereka yang
menganggap kebijakan publik
yang memiliki akibat-akibat
yang bisa diramalkan atau
dengan kata lain kebijakan
publik adalah serangkaian
instruksi dari para pembuat
keputusan kepada pelaksana
kebijakan yang menjelaskan
tujuan-tujuan dan cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut.
Definisi ini dapat diartikan
sebagai decision making oleh
pemerintah dan dapat juga
5. 5
diklasifikasikan sebagai
interaksi negara dengan
rakyatnya dalam mengatasi
persoalan publik.
- Kebijakan publik terdiri dari
rangkaian keputusan dan
tindakan. Kebijakan publik
sebagai suatu hipotesis yang
mengandung kondisi-kondisi
awal dan akibat-akibat yang bisa
diramalkan. Definisi itu dapat
dikalsifikasikan sebagai decision
making dimana terdapat
wewenang pemerintah di
dalamnya untuk mengatasi
suatu persoalan publik. Definisi
ini juga dapat diklasifikasikan
sebagai intervensi antara negara
terhadap rakyatnya ketika
negara menerapkan kebijakan
pada suatu masyarakat.
Ketika suatu isu yang
menyangkut kepentingan bersama
dipandang perlu untuk diatur maka
formulasi isu tersebut menjadi
kebijakan publik yang harus dilakukan
dan disusun serta disepakati oleh para
pejabat yang berwenang. Ketika
kebijakan publik tersebut dibuat dalam
format peraturan perundang-undangan
maka kebijakan publik tersebut berubah
menjadi hukum yang harus
ditaati. Kebijakan akan menjadi rujukan
utama para anggota organisasi atau
anggota masyarakat dalam berperilaku.
Kebijakan pada umumnya bersifat
problem solving dan proaktif. Berbeda
dengan hukum (law) dan peraturan
(regulation), kebijakan lebih bersifat
adaptif dan intrepetatif, meskipun
kebijakan juga mengatur “apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh”.5
Mustopadidjaja menyatakan
bahwa kebijakan sebagai suatu
keputusan yang dimaksudkan untuk
mengatasi permasalahan tertentu,
melakukan kegiatan tertentu atau untuk
mencapai tujuan tertentu, lazimnya
dituangkan dalam format perundang-
undangan tertentu yang dilakukan oleh
instansi yang berwenang dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan
negara dan pembangunan, berlangsung
dalam suatu sistem kebijakan tertentu.6
Sedangkan Edi Suharto berpendapat
bahwa setiap perundang-undangan
adalah merupakan suatu kebijakan,
namun tidak setiap kebijakan
diwujudkan dalam bentuk perundang-
5
http://id.scribd.com/doc/72104819/1/Pengertian
-Kebijakan-Publik diunduh l 1 November 2012
6
Mustopadidjadja, Landasan Teoritik Perumusan
Kebijakan Publik. Makalah disampaikan
dalamDiskusi Penyusunan Pedoman Perumusan
Kebijakan Publik ddii Lembaga Administrasi Negara
(Jakarta, 5 Februari 2010).
6. 6
undangan.7 Terminologi kebijakan
publik tersebut menunjuk pada
serangkaian peralatan pelaksanaan
yang lebih luas dari perundang-
undangan. Kondisi objektif di Indonesia,
kebijakan identik dengan hukum.8
B. Kewenangan
Secara konseptual, istilah
wewenang atau kewenangan sering
disejajarkan dengan istilah Belanda
“bevoegdheid” ( yang berarti wewenang
atau berkuasa). Wewenang merupakan
bagian yang sangat penting dalam
Hukum Tata Pemerintahan (Hukum
Administrasi), karena pemerintahan
baru dapat menjalankan fungsinya atas
dasar wewenang yang
diperolehnya.Keabsahan tindakan
pemerintahan diukur berdasarkan
wewenang yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Perihal
kewenangan dapat dilihat dari
Konstitusi Negara yang memberikan
legitimasi kepada Badan Publik dan
Lembaga Negara dalam menjalankan
fungsinya. Wewenang adalah
kemampuan bertindak yang diberikan
oleh undang-undang yang berlaku
7
http://www.policy.hu/suharto/ diunduh 1
November 2012
8
Riant Nugroho, Op.Cit
untuk melakukan hubungan dan
perbuatan hukum.9
Kewenangan atau wewenang
pada hakikatnya adalah kekuasaan
formal yang berasal atau diberikan oleh
peraturan perundang-undangan atau
oleh kekuasaan eksekutif atau
administratif yang telah memiliki
kekuasaan formal yang berasal atau
diberikan oleh peraturan perundang-
undangan. Berdasarkan pengertian
tersebut pada hakikatnya kewenangan
diperoleh melalui 2 (dua) cara yaitu :
a. Atribusi adalah pemberian
wewenang karena melekat pada
suatu jabatan. yang diperoleh,
diberikan atau berasal dari
peraturan perundang-undangan.
b. Pelimpahan wewenang adalah
penyerahan sebagian dari
wewenang pejabat atasan kepada
bawahan tersebut membantu dalam
melaksanakan tugas-tugas
kewajibannya untuk bertindak
sendiri.
Adanya wewenang sangatlah
diperlukan oleh pemerintah, mengingat
pemerintah adalah pemegang
kekuasaan dalam organisasi negara. Hal
ini berkaitan dengan juga dengan asas
9
SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan
Upaya Administrasi di Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 1997), hal. 154.
7. 7
negara hukum, dimana inti pokok
pemikiran negara hukum
(rechtstaatsdenken) diformulasikan
melalui asas “Wetmatigheids” ataupun
“legaliteit beginsel”, sehingga dengan
kekuatan (krachtrens) hukum maka
kewenangan pemerintah dapat
dinyatakan sah dan mengikat. Menurut
Indroharto, tanpa adanya dasar
wewenang yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan yang
berlaku, segala macam aparat
pemerintah tidak akan memiliki
wewenang yang dapat mempengaruhi
atau mengubah keadaan atau posisi
hukum warga masyarakatnya.10 Di
pihak lain, tanpa adanya suatu dasar
hukum yang jelas, maka perbuatan
pemerintah itu akan menjadi petunjuk
sebagai tindakan kesewenang-
wenangan.
Menurut Philipus M. Hadjon jika
ada tindakan atau perbuatan
pemerintah yang “tanpa kewenangan”,
kesalahan prosedur dan kesalahan
substansi maka merupakan tindakan
yang tidak sah atau absah. Pengertian
“tanpa kewenangan” diartikan terhadap
suatu beschikking yang dikeluarkan oleh
seorang pejabat yang tidak mempunyai
kewenangan (kompetensi) sama sekali
10
Ibid, hal. 83.
untuk mengeluarkan beschikking yang
bersangkutan, atau kewenangan itu
sesungguhnya ada pada pejabat yang
lain.11
C. Perizinan
Campur tangan dalam
“pengendalian langsung” diwujudkan
oleh Pemerintah dengan memberikan
berbagai bentuk perizinan, yang
dianggap langsung dapat mengendalikan
berbagai kegiatan pemerintahan,
dimana termasuk salah satunya adalah
kegiatan di bidang pertambangan.
Menurut Irving Swerdlow, pemberian
izin dapat dibuat pada seluruh tingkat
pemerintahan dan izin mempunyai tiga
fungsi, yaitu:12
a. To limit the number of recipients;
b. To ensure that the recipients meet
minimum standards;
c. To collect funds.
Menurut Irving Swerdlow, izin
merupakan bentuk pemaksaan dari
kegiatan administrasi, yang pada
dasarnya sistem perizinan mencakup :
(a) meletakan standar perizinan ( setting
a standard for the licenses ), (b) melarang
11
Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem
tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah
(Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer,1986), hal 5-6.
12
Irving Sewrdlow, The Public Administration of
Economic Development,( New York : Praeger
Publishers, 1975), hal. 383.
8. 8
segala bentuk kegiatan sampai
mendapatkan izin (prohibiting action of
this type until a license is obtained), (c)
membentuk prosedur permohonan
perizinan (establishing procedure for
applying for license), (d) memberikan
izin untuk menunjukkan ketaatan
terhadap standar yang telah ditentukan
yang akan berdampak pada perbaikan
hukum (granting a license to show
adherence to the standard and conveying
the legal right to proceed).13
Izin merupakan Keputusan yang
dibuat oleh Pemerintah selaku pejabat
administrasi negara yang mempunyai
efek langsung, karena keputusan
administrasi negara(administrative
beschikking) bersifat individual, kasual
dan konkrit.14 Keputusan merupakan
tindakan hukum yang dilakukan oleh
administrasi negara dalam bidang
pemerintahan dan dikeluarkan oleh
organ administrasi negara berdasarkan
wewenang yang luar biasa.15
Untuk mencegah penyalahgunaan
jabatan dan wewenang dalam
pengambilan keputusan, maka ada
beberapa asas yang dapat dijadikan
13
Ibid., hal. 371.
14
Prayudi Atmosudirdjo, Op.Cit.,hal.88.
15
Prins, Pengantar Hukum Administrasi Negara.,
Jakarta, hal.37.
acuan dalam pengambilan keputusan,
yaitu :16
a. Asas mengenai prosedur atau proses
pengambilan keputusan, yang
bilamana dilanggar secara otomatis
membuat keputusan yang
bersangkutan batal karena hukum
tanpa memeriksa lagi kasusnya. Asas
yang termasuk dalam kategori ini
adalah : (1) asas yang menyatakan
orang yang terlibat atau menentukan
dalam pengambilan keputusan tidak
boleh mempunyai kepentingan
pribadi di dalam keputusan tersebut,
baik secara langsung maupun tidak
langsung, (2) asas yang menyatakan
bahawa keputusan yang merugikan
atau mengurangi hak seorang warga
masyarakat tidak boleh diambil
sebelum memberi kesempatan
kepada warga tersebut untuk
membela kepentingannya, (c) asas
yang menyatakan bahwa dasar atau
peretimbangan dari pengambilan
keputusan dapat membenarkan dari
penetapan keputusan tersebut.
b. Asas mengenai kebenaran dari fakta-
fakta yang dipakai sebagai dasar
untuk pembuatan keputusan. Asas-
asas yang termasuk dalam kategori
disini adalah : (a) asas larangan
16
Prayudi Atmosudirdjo, Op.Cit., hal.90.
9. 9
kesewenang-wenangan, (b) asas
larangan detournement de pouvoir,
(c) asas kepastian hukum, (d) asas
larangan melakukan diskriminasi
hukum, (e) asas batal karena
kecerobohan pejabat yang
bersangkutan.
Mengabaikan asas-asas dalam
pengambilan keputusan dapat
mengakibatkan suatu keputusan
administrasi negara menjadi tidak sah.
Untuk mengukur sahnya suatu
keputusan menurut Van der Pot
sebagaimana dikutip oleh E. Utrecht,
harus dipenuhi beberapa aspek.17
1. Keputusan dibuat oleh organ yang
berwenang. Organ pemerintah yang
berwenang membuat keputusan
bukan hanya pemerintahan yang
termasuk bestuur atau administratie
saja, tetapi juga meliputi legislatif
dan yudikatif. Seringkali terjadi
ketidakberwenangan dalam
membuat keputusan (de
incompetentie) yang dapat berupa,
(a) tidak berwenang ratione materiae
(isi atau pokok atau objek). Artinya
17
E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi
Negara, cet. Keempat, 1960, hal.77.Juga lihat
Bachsan Mustafa, Pokok-pokok Hukum
Administrasi Negara.( Bandung : Alumni, 1979 ),
hal.61-65.
seorang pejabat mengeluarkan
keputusan tentang materi yang
menjadi wewenang pejabat lain, (b)
tidak berwenang ratione loci. Artinya
dari segi wilayah atau tempat, bukan
menjadi kewenangan pejabat yang
bersangkutan dan (c) tidak
berwenang ratione temporis. Artinya
berlaku atau dikeluarkannya suatu
keputusan yang menyimpang dari
seharusnya waktu berlakunya
kewenangan.
2. Dalam pembentukan keputusan,
kehendak dari organ pemerintahan
yang mengeluarkan keputusan, tidak
boleh mengandung cacat yuridis/
kekurangan yuridis, yang dapat
disebabkan oleh salah kira (dwaling),
adanya paksaan ataupun adanya
tipuan, yang mempengaruhi
berlakunya keputusan.
3. Keputusan harus diberi bentuk
sesuai dengan peraturan yang
menjadi dasarnya, yang dapat
berbentuk, (a) lisan (mondelinge
beschikking). Dibuat dalam hal
akibatnya tidak membawa akibat
lama dan tidak begitu penting bagi
administrasi negara biasanya
dikehendaki suatu akibat yang
timbul dengan segera, (b) tertulis
(schriftelijke beschikking). Bentuk ini
10. 10
sering digunakan karena sudah biasa
dan penting dalam penyusunan
alasan ataupun motivasi.
4. Isi dan tujuan dari keputusan yang
dibuat sesuai peraturan yang
menjadi dasar penerbitannya. Syarat
ini harus dipenuhi dalam suatu
negara hukum. Kranenburg
menyebutkan empat macam hal
dimana isi dan tujuan suatu
keputusan dapat bertentangan
dengan isi dan tujuan peraturan
perundang-undangan :18
a. Jika keputusan yang dibuat
mengandung peraturan yang
dilarang oleh undang-undang.
Dalam hal ini yang salah adalah
isi keputusan itu (de oorzaak voor
de beschikking ontbrak);
b. Jika keadaan dimana suatu
keputusan dibuat, lain dengan
keadaan yang ditentukan oleh
undang-undang. Dalam hal ini
salah kausa (valse oorzaak);
c. Jika keadaan dimana suatu
keputusan dapat dibuat menurut
ketentuan undang-undang,
sebetulnya tidak dapat dijadikan
suatu sebab. Dalam hal ini kausa
yang tidak dapat dipakai
(ongeoorloofde oorzaak);
18
Safri Nugraha,dkk, Op.Cit., hal.116.
d. Organ pemerintah membuat
keputusan, tetapi menggunakan
kewenangan tidak sesuai dengan
tujuan yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar wewenang
tersebut (detournement de
pouvoir) atau tidak sesuai
dengan asas umum pemerintahan
yang baik (good governance).
Dengan mendasarkan tindakan-
tindakan administrasi negara pada suatu
sistem perizinan, berarti pembuat
undang-undang dapat mencapai
berbagai tujuan pemberian perizinan,
yaitu : 19
a. Keinginan mengarahkan atau
mengendalikan (sturen) terhadap
aktivitas-aktivitas tertentu;
b. Mencegah bahaya bagi lingkungan
(izin-izin lingkungan);
c. Keinginan melindungi objek
tertentu ( izin tebang, izin
membongkar );
d. Hendak membagi benda-2 yang
sifatnya terbatas ( izin penghunian);
e. Memberikan pengarahan dengan
cara menyeleksi ( izin dimana
19
Ten Berge dan MR.N.M. Spelt diterjemahkan
oleh Philipus Hadjon, “Pengantar Hukum
Perizinan”. Bahan Hukum Penataran Hukum
Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 1992, hal.9.
11. 11
seorang pengurus harus memenuhi
syarat tertentu.
Jadi izin digunakan oleh penguasa
sebagai sarana untuk mempengaruhi
warga agar mau mengikuti cara yang
dianjurkan guna mencapai suatu tujuan
konkrit. Dalam hukum administrasi,
pemberian izin merupakan gejala yang
penting dengan semakin
berkembangnya bidang penguasaan oleh
pemerintah pada negara modern saat
ini.
Mengacu pendapat Ten Berge,
pengendalian oleh Pemerintah dapat
berbentuk izin, pelepasan atau
pembebasan (dispensasi) dan konsesi. 20
Izin merupakan suatu tindakan
pengecualian yang diperkenankan
terhadap suatu larangan dari suatu
undang-undang. Pengecualian tersebut
dapat diteliti dengan memberi batasan-
batasan tertentu bagi pemberian izin
tertentu. Dengan demikian penolakan
izin dapat dilakukan jika kriteria yang
ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi
atau bila karena suatu alasan tidak
mungkin memberi izin kepada semua
orang memenuhi kriteria. Jadi penguasa
memberi alasan kesesuaian tujuan
(doelmatigheid) yang dianggap perlu
20
Ibid., hal. 4 – 7.
untuk menjalankan pemberian izin
secara restriktif dan membatasi jumlah
pemegang izin. Pelepasan atau
pembebasan (dispensasi) merupakan
pengecualian dari aturan umum yang
pada dasarnya harus ditaati atau wajib
dilaksanakan, sehingga menjadi tidak
wajib lagi untuk ditaati.
Konsesi yang merupakan salah
satu bentuk izin, merupakan segenap
aktivitas yang menyangkut kepentingan
umum yang selayaknya dijalankan oleh
penguasa sendiri, namun tidak
dijalankan oleh penguasa karena
dianggap belum mampu, tetapi
dijalankan oleh pihak ketiga. Hal ini
berhubungan dengan tindakan yang oleh
penguasa dianggap sangat perlu, namun
dibiarkan dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan swasta dengan diberikan
syarat tertentu. Oleh karena itu
pemegang konsesi dibebani dengan
kewajiban-kewajiban tertentu dan pada
sisi lain ditetapkan pula hak-hak
tertentu dari pemegang konsesi.
Dengan demikian konsesi didasarkan
pada suatu persetujuan, dalam mana
hak-hak dan kewajiban kedua belah
pihak dicantumkan. Biasanya konsesi
berkaitan pula dengan jangka waktu
yang lebih panjang, misalnya konsesi
untuk membangun dan mengeksploitasi
12. 12
instalasi listrik, konsesi pertambangan
atau konsesi angkutan umum.
SISTEM PERIZINAN PERTAMBANGAN
DI INDONESIA
A. Pokok-pokok Pertambangan
Periode 1967-2008
1. Penggolongan Bahan Galian
Bahan galian berdasarkan UU No.
11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan terbagi
atas tiga golongan, yaitu :21
a. Bahan galian strategis (Bahan
Galian A), merupakan bahan galian
untuk kepentingan pertahanan
keamanan serta perekonomian
negara. Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1980 tentang
Penggolongan Bahan Galian
menyebutkan yang termasuk dalam
golongan bahan galian strategis
adalah minyak bumi, bitumen cair,
lilin bumi, gas alam, bitumen padar,
aspal, antrasitm batubara, batubara
muda, uranium, radium, thorium
dan bahan-bahan galian radioaktif
lainnya, nikel, kobalt serta timah22
b. Bahan galian vital (Bahan Galian B),
merupakan bahan galian yang dapat
21
Indonesia, Undang-Undang No.11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan, Pasal 3 ayat 1.
22
Ibid, Pasal 1 huruf a.
menjamin hajat hidup orang. Yang
termasuk dalam golongan bahan
galian vital adalah besi, mangaan,
molibden, khrom, wolfram,
vanadium, titan, bauksit, tembaga,
timbal, seng, emas, platina, perak,
air raksa, intan, arsin, antimon,
bismut, yttrium, rhutenium, cerium
dan logam-logam langka lainnya,
berillium, korundum, zirkon, kristal
kwarsa, kriolit, fluorspar, barit,
yodium, brom, khlor, belerang.23
c. Bahan galian yang tidak termasuk
bahan galian strategis dan vital
(Bahan galian C). Bahan galian ini
dibagi menjadi nitrat-nitrat (garam
dari asam sendawa, dipakai dalam
campuran pupuk; HNO3), pospat-
pospat, garam batu (halite), asbes,
talk, mikam grafit, magnesit, yarosit,
leusit, tawas (alum), oker, pasir
kwarsa, kaolin, feldspar, gips,
bentonit, batu apung, trasm
absidian, perlit, tanah diatome,
tanah serap (fullers earth), marmer,
batu tulis, batu kapur, dolomite,
kalsit, granit, andesit, basal, trakhit,
tanah liat, tanah pasir sepanjang
tidak mengandung unsure mineral
golongan a maupun b dalam jumlah
berarti (Pasal 1 huruf c Peraturan
23
Ibid, Pasal 1 huruf b.
13. 13
Pemerintah No.27 Tahun 1980
tentang penggolongan Bahan-bahan
Galian.24
2. Usaha Pertambangan
Dalam pasal 14 UU No. 11 Tahun
1967 dinyatakan bahwa usaha
pertambangan bahan-bahan galian
dapat meliputi :
a. Penyelidikan umum : usaha untuk
menyelidiki secara geologi umum
atau fisika, di daratan perairan dan
dari udata yang dimaksudkan untuk
membuat peta geologi umum atau
untuk menetapkan tanda-tanda
adanya bahan galian pada
umumnya.25
b. Eksplorasi : segala penyelidikan
geologi pertambangan untuk
menetapkan lebih teliti/seksama
adanya dan sifat letakan bahan
galian.26
c. Eksploitasi : merupakan usaha
pertambangan dengan maksud
untuk menghasilkan bahan galian
dan memanfaatkannya.27
d. Pengolahan dan pemurnian :
pengerjaan untuk mempertinggi
mutu bahan galian serta untuk
24
Ibid, Pasal 1 huruf c.
25
Ibid, hal 53
26
Ibid
27
Ibid
memanfaatkan dan memperoleh
unsur-unsur yang terdapat pada
bahan galian itu.28
e. Pengangkutan : usaha pemindahan
bahan galian dan hasil pengolahan
dan pemurnian bahan galian dari
daerah eksplorasi atau tempat
pengolahan/pemurnian.29
f. Penjualan : usaha penjualan bahan
galian dan hasil
pengolahan/pemurnian bahan
galian.30
Berdasarkan Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan,
kewenangan perizinan pertambangan
mineral dan batubara diberikan
berdasarkan golongan bahan galian
tambang, yaitu :
a. Pelaksanaan penguasaan Negara dan
Pengaturan Usaha Pertambangan
Bahan Galian golongan a dan b
dilakukan oleh Menteri;
b. Pelaksanaan penguasaan Negara dan
pengaturan Usaha Pertambangan
Bahan Galian Golongan c dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Tingkat I
tempat terdapatnya bahan galian tsb.
c. Namun terdapat pengecualian,
bahwa dengan memperhatikan
28
Ibid
29
Ibid
30
Ibid
14. 14
kepentingan pembangunan Daerah
khususnya dan Negara umumnya,
Menteri dapat menyerahkan
pengaturan usaha pertambangan
bahan-bahan galian tertentu
diantara bahan galian golongan b
kepada Pemerintah Daerah Tingkat I
tempat terdapatnya bahan galian itu
Pelaksanaan pengusahaan
bahan galian golongan a diberikan
kepada Perusahaan Negara dan
Instansi Pemerintah.31 Namun bahan
galian golongan a yang berbentuk
Migas dan Uranium semata-mata
hanya diusahakan oleh Negara.32
Pelaksanaan pengusahaan bahan
galian golongan a juga dapat diberikan
kepada pihak swasta apabila
berbentuk badan hukum koperasi,
badan hukum swasta (didirikan sesuai
dengan peraturan-peraturan Republik
Indonesia, berkedudukan di
Indonesia, bertujuan berusaha dalam
lapangan pertambangan,
pengurusnya mempunyai
kewarganegaraan Indonesia dan
bertempat tinggal di Indonesia)
ataupun perseorangan yang
berkewarganegaraan Indonesia dan
31
Ibid, Pasal 6.
32
Ibid, Pasal 13.
bertempat tinggal di Indonesia.33
Pemberian pelaksanaan pengusahaan
dilakukan menurut pendapat Menteri
berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan dari segi ekonomi dan
perkembangan pertambangan.
Apabila bahan galian golongan a yang
terdapat di suatu lokasi demikian
kecil, maka pengusahaannya
diserahkan kepada rakyat setempat
sebagai tambang rakyat.34
Untuk bahan galian golongan b,
dapat diusahakan oleh negara atau
daerah serta badan hukum koperasi
maupun badan hukum swasta serta
perseorangan swasta.35 Pelaksanaan
pengusahaan pertambangan oleh
negara atau daerah dapat
dilaksanakan oleh instansi pemerintah
yang ditunjuk oleh Menteri,
Perusahaan Negara, Perusahaan
Daerah serta Perusahaan dengan
modal bersama antara
negara/perusahaan negara dengan
daerah maupun dengan perusahaan
swasta.36 Sedangkan bahan galian
golongan c pengelolaannya diserahkan
kepada Pemerintah Daerah.37Untuk
bahan galian golongan c, berdasarkan
33
Ibid, Pasal 7
34
Ibid, Pasal 8
35
Ibid, Pasal 9 ayat 1
36
Ibid, Pasal 9 ayat 2
37
Ibid, Pasal 4 ayat 2
15. 15
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 Jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1986,
telah resmi dilimpahkan kepada
Pemerintah Daerah, yang dalam
pelaksanaannya dikenal dengan
sebutan SIPD (Surat Izin
Pertambangan Daerah).
Menteri dapat menunjuk pihak
lain sebagai kontraktor apabila
diperlukan untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan yang belum atu
tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh
instansi pemerintah atau perusahaan
negara selaku pemegang kuasa
pertambangan.38 Peluang pemberian
kontrak publik tersebut didahului oleh
Izin Publik dari Menteri ESDM setelah
berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat.39 Usaha
pertambangan yang dilakukan dengan
Kontrak Karya, berdasarkan Pasal 4
ayat (1) Peraturan pemerintah Nomor
37 Tahun 1986, dapat dilakukan
terhadap bahan galian golongan a dan
golongan b melalui kerjasama dengan
Instansi Pemerintah atau Perusahaan
Negara selaku pemegang Ketentuan
Pokok. Begitu juga dengan bahan
galian golongan c, dapat dilakukan
38
Ibid, Pasal 10 ayat 1
39
Ibid, ayat 2
dengan Kontrak Karya, sepanjang
terdapat di lepas pantai dan
diusahakan oleh pihak asing.Peluang
pemberian kontrak publik di bidang
pertambangan diawali dari Pasal 8
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing, yang menyatakan bahwa,
Penanaman Modal Asing di bidang
pertambangan didasarkan pada suatu
kerjasama dengan Pemerintah atas
dasar kontrak karya atau suatu bentuk
lain sesuai peraturan yang berlaku.
Dengan dimulainya era reformasi
tahun 2000 yang ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, terjadi perubahan mendasar
dalam kewenangan urusan
pemerintahan termasuk urusan
pertambangan. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000, Pembagian Kewenangan
Pemerintahan diatur sebagai berikut :
a. Bupati/ Walikota : memiliki
kewenangan urusan pemerintahan
yang terletak dalam wilayah
Kabupaten/ Kota dan/ atau sampai
wilayah laut 4 mil laut;
b. Gubernur : memiliki kewenangan
urusan pemerintahan yang terletak
16. 16
dalam beberapa wilayah Kabupaten/
Kota dan tidak dilakukan kerjasama
antar Kabupaten/ Kota maupun antar
Kabupaten/ Kota dengan Provinsi,
dan/ atau di wilayah laut yang
terletak antara 4 sampai 12 mil laut;
c. Menteri : memiliki kewenangan
urusan pemerintahan yang terletak
dalam beberapa wilayah Provinsi dan
tidak dilakukan kerjasama antar
Provinsi, dan/ atau di wilayah laut
yang terletak di luar 12 mil laut.40
Konsep yang dianut dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tersebut selanjutnya ditindak lanjuti
dengan dibentuknya Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001
tentang Perubahan Kedua PP Nomor 32
Tahun 1967 tentang Pelaksanaan UU
Nomor 11 Tahun 1967, yang
menyatakan :
a. Bupati/ Walikota : berwenang
menerbitkan Surat Keputusan Kuasa
Pertambangan apabila Kuasa
Pertambangannya terletak dalam
wilayah Kabupaten/ Kota dan/ atau
sampai wilayah laut 4 mil laut;
b. Gubernur : berwenang menerbitkan
Surat Keputusan Kuasa
Pertambangan apabila wilayah kuasa
40
H. Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia,
( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 69.
pertambangannya terletak dalam
beberapa wilayah Kabupaten/ Kota
dan tidak dil;akukan kerjasama antar
Kabupaten/ Kota maupun antar
Kabupaten/ Kota dengan Provinsi,
dan/ atau di wilayah laut yang
terletak antara 4 sampai 12 mil laut;
c. Menteri : berwenang menerbitkan
Surat Keputusan Kuasa
Pertambangan apabila wilayah kuasa
pertambangannya terletak dalam
beberapa wilayah Provinsi dan tidak
dilakukan kerjasama antar Provinsi,
dan/ atau di wilayah laut yang
terletak di luar 12 mil laut.41
Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 75 Tahun 2001, dinyatakan
bahwa setiap usaha pertambangan yang
termasuk dalam golongan bahan galian
strategis (golongan a) dan bahan galian
vital (golongan b), baru dapat
dilaksanakan apabila terlebih dahulu
telah mendapat KP, yang dapat
diberikan oleh Bupati, Walikota dan
Gubernur sesuai kewenangan masing-
masing. Jadi pemberian izin kepada
pengusaha tidak lagi didasarkan pada
penggolongan bahan galian mineral
sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1967.
41
Ibid
17. 17
B. Pokok-pokok Pertambangan
Periode 2009 – sekarang
Pada tahun 2009 lahir peraturan
perundang-undangan yang lebih
sepesifik mengatur pertambangan
mineral dan batubara, yaitu Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Undang-Undang ini lahir karena materi
muatan yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tidak
sesuai dengan semangat otonomi
daerah karena bersifat sentralistik.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam UU No.4 Tahun 2009 diyakini
dapat menghilangkan kelemahan dan
kendala dimasa lalu, dengan kata lain
bahwa UU ini bertujuan untuk
memperbaiki sistem pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara.
Berikut adalah hal-hal yang patut
diketahui terkait dengan sistem
perizinan pertambangan mineral dan
batubara yang diatur dalam UU No.4
Tahun 2009 ini.
1. Wilayah Pertambangan (WP)
Penetapan suatu wilayah untuk
menjadi WP harus melalui kegiatan
perencanaan dan penetapan42. Proses
perencanaan dimulai dengan
inventarisasi potensi pertambangan dan
penyusunan rencana WP.43Dalam
menginvetarisasi potensi tambang,
menteri, Gubernur, Bupati/Walikota
dapat melakukan penyelidikan dan
penelitian dengan cara memberi
penugasan kepada lembaga riset negara
atau lembaga riset daerah.44 Data yang
dihasilkan pada tahap penyelidikan dan
penelitian tersebut akan diolah untuk
menjadi peta potensi mineral dan
batubara sebagai dasar penetapan WP.45
Penetapan WP dilakukan oleh
Menteri setelah berkoordinasi dengan
Gubernur, Bupati/Walikota dan
berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat.46Ketentuan tersebut
kemudian dianulir oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) atas gugatan uji
materiil yang diajukan oleh Bupati Kutai
Timur.MK menganulir pasal pasal 6 ayat
1E, pasal 9 ayat 2, pasal 14 ayat 1 dan 2
serta pasal 17 UU No 4 Tahun 2009.
Dalam putusannya MK berpendapat
bahwa untuk menentukan daerah
petambangan pemerintah daerah harus
42
Indonesia, Peraturan Pemerintah No.22 Tahun
2010 tentang Wilayah Pertambangan, Pasal 2 ayat
3.
43
Ibid, pasal 3
44
Ibid, pasal 8 ayat 1
45
Ibid, pasal 12
46
Ibid, pasal 15 ayat 1
18. 18
diberi otonomi seluas-luasnya.
Pembagian urusan pemerintahan yang
bersifat fakultatif haruslah berdasarkan
pada semangat konstitusi otonomi
seluas-luasnya kepada pemerintah
daerah.47Penetapan WP, WUP, WIUP itu
ditentukan oleh daerah, dan baru
kemudian secara berjenjang
berdasarkan pendekatan RT/RW itu
baru diputuskan oleh pemerintah pusat
setelah berkonsultasi dengan DPR
Peta WP dapat dievaluasi dalam
waktu lima tahun dan dapat dilakukan
perubahan terhadapnya.48 WP terdiri
dari:
a. Wilayah Usaha Pertambangan
(WUP)
WUP terdiri atas WUP mineral
radioaktif, logam, batubara, bukan
logam dan batuan.49 Kegiatan
pengusahaan komoditas tambang
oleh pemegang izin usaha harus
berada dalam wilayah izin usaha
pertambangan (WIUP). Untuk
menetapkan WIUP harus memenuhi
kriteria letak goegrafis, kaidah
konservasi, daya dukung lingkungan,
optimalisasi sumber daya mineral
47
Kementerian ESDM: Pemerintah Pusat Tetap
Berwenang Tentukan Wilayah Pertambangan,
http://finance.detik.com, diunduh tanggal 4
Desember 2012.
48
PP No.22 Tahun 2010, Pasal 15 ayat 2 dan 3
49
Ibid, pasal 18.
batubara dan tingkat kepadatan
penduduk.50
WIUP terdiri dari WIUP radioaktif,
mineral logam, batubara, bukan
logam dan batuan.51 Dalam WUP bisa
terdapat satu atau beberapa
WIUP.52Ketentuan mengenai
Penetapan WUP telah dianulir oleh
MK. Awalnya penetapan tersebut
dilakukan oleh pemerintah pusat
setelah berkoordinasi dengan
pemerintah daerah, sekarang
penetapan tersebut dilakukan oleh
pemerintah setelah ditentukan oleh
pemda dan disampaikan secara
tertulis kepada DPR.53 Selain itu
untuk penetapan luas dan batas
WIUP mineral logam dan batubara
ditetapkan oleh pemerintah setelah
ditentukan oleh pemda berdasarkan
kriteria yang dimiliki oleh
pemerintah.54 Sedangkan untuk
WIUP mineral bukan logam dan
batuan penetapannya dilakukan oleh
Menteri, Gubernur atau
Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.
50
Ibid, pasal 22 ayat 1
51
Ibid, Pasal 21 ayat 2
52
UU No. 4 Tahun 2009, Pasal 16
53
Putusan MK No.
54
Putusan MK No.
19. 19
b. Wilayah Pertambangan Rakyat
(WPR)
Penetapan suatu wilayah menjadi
WPR dilakukan oleh Bupati/Walikota
setelah berkoordinasi dengan
Pemerintah Provinsi dan
berkonsultasi dengan Dewan
perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota atas kriteria sebagai
berikut :55
- Mempunyai cadangan mineral
sekunder yang terdapat di sungai
dan/atau diantara tepi sungai
- Mempunyai cadangan primer
logam atau batubara dengan
kedalaman maksimal 25 (dua
puluh lima) meter
- Merupakan endapan teras,
dataran banjir dan endapan
sungai purba
- Luas maksimal sebesar 25 (dua
puluh lima) hektar
- Menyebutkan jenis komoditas
yang akan ditambang
- Merupakan wilayah atau tempat
kegiatan tambang rakyat yang
sudha dikerjakaan sekurang-
kurangnya 15 (lima belas) tahun
- Tidak tumpang tindih dengan
WUP dan WPN
55
PP No.22 Tahun 2010, Pasal 26 ayat 2
- Merupakan kawasan peruntukan
pertambangan sesuai dengan
rencana tata ruang
c. Wilayah Pencadangan Negara
(WPN)
WPN harus memenuhi beberapa
kriteria sebagai berikut :56
- Memiliki formasi batuan
pembawa mineral radioaktif,
mineral logam dan/atau
batubara berdasarkan peta/data
geologi
- Memiliki singkapan geologi
untuk mineral radioaktif, logam
dan/atau batubara berdasarkan
peta/data geologi
- Memiliki potensi atau cadangan
mineral dan batubara
- Untuk keperluan konservasi
komoditas tambamg
- Berada pada wilayah dan/atau
pulau yang berbatasan dengan
negara lain
- Merupakan wilayah yang
dilindungi
- Berada pada pulau kecil dengan
luas maksimal 2.000 (dua ribu)
kilometer persegi sesuai dengan
ketentuan perauran perundang-
undangan.
56
Ibid, Pasal 29 ayat 2
20. 20
Wilayah pencadangan negara yang
akan diusahakan komoditasnya
harus terlebih dahulu merubah status
menjadi WUPK berdasarkan kriteria
:57
- Pemenuhan bahan baku industri
dan energi dalam negeri
- Sumber devisa negara
- Kondisi wilayah didasarkan pada
keterbatasan sarana dan
prasarana
- Berpotensi untuk dikembangkan
sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi
- Daya dukung lingkungan
- Penggunaan teknologi tinggi dan
modal dengan investasi yang
besar.
Untuk menetapkan WIUPK dalam
suatu WUPK harus memenuhi
kriteria letak geografis, kaidah
konservasi, daya dukung lingkungan,
optimalisasi sumber daya mineral
dan/atau atubara serta tingkat
kepadatan penduduk.58 WIUPK
terdiri dari WIUPK mineral logam
dan WIUPK batubara.59 Penetapan
luas dan batas WIUPK dilakukan oleh
Menteri.60
57
Ibid, Pasal 31 ayat 2
58
Ibid, Pasal 32 ayat 1
59
Ibid, ayat 2
60
Ibid, ayat 3
2. Usaha Pertambangan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 mengelompokkan jenis usaha
pertambangan menjadi dua, yaitu
pertambangan mineral (mineral
radioaktif, mineral logam, mineral
bukan logan dan batuan) dan
pertambangan batubara.61 Usaha
pertambangan tersebut diatas dapat
dilakukan dengan mengajukan izin. Izin
untuk melakukan kegiatan tambang
terdiri dari :62
a. Izin Usaha Pertambangan (IUP)
IUP ini terdiri atas dua tahap :63
1) IUP Eksplorasi, meliputi kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi
dan studi kelayakan. Pasal 42 UU
No.4 Tahun 2009 menyatakan
bahwa izin eksplorasi untuk
pertambangan mineral logam
diberikan selama delapan tahun.
Sedangkan untuk mineral bukan
logam diberikan paling lama 3
(tiga) tahun, untuk mineral
bukan logam jenis tertentu paling
lama 7 (tujuh) tahun.Selain itu
untuk jenis batuan diberikan
selama 3 (tiga) tahun dan
61
Ibid, Pasal 34
62
Ibid, Pasal 35
63
Ibid, Pasal 36 ayat 1.
21. 21
batubara diberikan dalam
waktu7 (tujuh) tahun.
2) IUP Operasi Produksi, meliputi
kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan
pemurnian serta pengangkutan
dan penjualan. Tahap operasi
produksi ini dikenal dengan
tahap eksplorasi. IUP operasi
produksi diberikan kepada
pemenang hasil lelang WIUP
mineral logan atau batubara.
Pemegang IUP Eksplorasi dan
pemegang IUP Operasi Produksi
dapat melakukan sebagian atau
seluruh kegiatan tersebut.64
Pemberian IUP akan dilakukan
setelah diperolehnya WIUP (Wilayah
Izin Usaha Pertambangan). Dalam
satu WIUP dimungkinkan untuk
diberikan satu IUP maupun beberapa
IUP. IUP diberikan oleh
Bupati/Walikota apabila berada di
dalam satu wilayah kabupaten/kota;
Gubernur apabila WIUP berada pada
lintas wilayah kabupaten/kota dalam
satu provinsi setelah mendapatkan
rekomendasi dari Bupati/Walikota
setempat; Menteri apabila WIUP
berada pada lintas wilayah provinsi
setelah mendapatkan rekomendasi
64
Ibid, ayat 2
dari gubernur dan bupati/walikota
setempat.65 IUP diberikan kepada
Badan usaha, yang dapat berupa
badan usaha swasta, Badan Usaha
Milik Negara, atau Badan Usaha Milik
Daerah, koperasi dan perseorangan
yang dapat berupa orang
perseorangan yang merupakan
warga Negara Indonesia, perusahaan
firma, atau perusahaan komanditer.66
Pemegang IUP hanya diberikan
untuk satu jenis mineral atau
batubara saja, apabila ditemukan
kandungan mineral lain dalam
wilayahnya maka pemegang IUP
tersebut mendapat prioritas untuk
mengusahakannya dengan
mengajukan permohonan IUP baru
kepada Menteri, Gubernur dan
Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya.67 Jika pemegang
IUP tersebut tidak berminat untuk
mengusahakan mineral lain yang
ditemukannya maka kewajibannya
adalah menjaga mineral tersebut
agar tidak dimanfaatkan oleh pihak
lain.68 Untuk mengusahakan mineral
lain yang terdapat di wilayah yang
sama, maka sesuai dengan
65
Ibid, Pasal 37
66
Ibid, Pasal 38
67
Ibid, Pasal 40 ayat 1,2,3 dan 4
68
Ibid, ayat 5
22. 22
kewenangannya pemerintah dapat
memberikannya kepada pihak lain.69
b. Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
Izin pertambangan rakyat diberikan
kepada jenis usaha mineral logam,
mineral bukan logam, batuan dan
batubara.70 IPR diberikan oleh
Bupati/Walikota kepada penduduk
setempat, baik perseorangan
maupun kelompok masyarakat
dan/atau koperasi setelah
mengajukan surat permohonan.71
Dalam pelaksanaan pemberian IPR,
Bupati/walikota dapat melimpahkan
kwenangannya kepada Camat.72
c. Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK)
IUPK diberikan oleh Menteri dengan
memperhatikan kepentingan daerah
kepada badan usaha yang berbadan
hukum Indonesia, baik yang berupa
BUMN, BUMD maupun badan usaha
swasta. IUPK diberikan untuk satu
jenis mineral logam atau batubara,
apabila ditemukan kandungan
mineral lain dalam wilayahnya maka
ia mendapat prioritas untuk
mengusahakannya dengan
mengajukan permohonan IUPK baru
69
Ibid, ayat 6
70
Ibid, Pasal 66
71
Ibid, Pasal 67 ayat 1
72
Ibid, ayat 2
kepada Menteri. Jika ia tidak
berminat untuk mengusahakan
mineral lain yang ditemukannya
maka wajib menjaga mineral
tersebut agar tidak dimanfaatkan
oleh pihak lain.73
IUPK ini terdiri atas dua tahap :74
a) IUPK Eksplorasi meliputi
kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi dan studi kelayakan;
b) IUPK Operasi Produksi meliputi
kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan
pemurnian serta pengangkutan
dan penjualan. Pemegang IUPK
operasi produksi adalah
perusahaan berbadan hukum
Indonesia.75
Pemegang IUPK Eksplorasi dan
pemegang IUPK Operasi Produksi
dapat melakukan sebagian atau
seluruh kegiatan tersebut.76
C. Analisis Kewenangan Pemberian
Izin Usaha Pertambangan
Pemberian izin pertambangan
sangat terkait dengan hak penguasaan
atas bahan galian pertambangan di
dalam bumi Indonesia. Semua kegiatan
73
Ibid, Pasal 74
74
Ibid, Pasal 76
75
Ibid, Pasal 77
76
Ibid, Pasal 76 ayat 2
23. 23
usaha yang menyangkut sumber daya
alam, yang merupakan tindakan Negara,
pemerintah dan aparatur pelaksana,
wajib didasarkan atas hukum yang
berlaku. Sebagai sumber hukum
tertinggi dari pengusahaan sumber daya
alam adalah Pasal 33 ayat (2) dan ayat
(3) Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. 77
Selanjutnya pokok pikiran tersebut
dituangkan dalam Undang – Undang
Nomor 11 Tahun 1967, yang
menyatakan bahwa :
“Semua bahan galian yang
terdapat dalam wilayah
hukum pertambangan
Indonesia yang merupakan
endapan – endapan alam
sebagai Karunia Tuhan Yang
Maha Esa adalah kekayaan
nasional bangsa Indonesia
dan oleh karenanya
dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk
sebesar-besaar
kemakmuran rakyat”.78
Pemegang hak milik atas
kekayaan alam (mineral right) berupa
77
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (2)
dan ayat (3) : (2) Cabang-cabang produksi yang
penting bagi Negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; (3)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
78
Indonesia, Undang – Undang Nomor 11 Tahun
1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan, Lembaran Negara Tahun 1967
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2831, Pasal 1.
aneka ragam bahan galian yang
terkandung di dalam bumi dan air di
wilayah hukum pertambangan
Indonesia adalah bangsa Indonesia,
yang selanjutnya memberikan
kekuasaan kepada Negara untuk
mengatur dan mengurus serta
memanfaatkan kekayaan alam tersebut
dengan sebaik - baiknya untuk
kemakmuran rakyat. Hal ini berarti
Negara diberikan “hak penguasaan”
(authority right) atas kekayaan alam
milik bangsa Indonesia, agar dapat
dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.79 Karena Negara
tidak mungkin menyelenggarakannya
sendiri, maka hak penguasaan tersebut
dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai
penyelenggara pemerintahan Negara
sehari-hari, yang dapat dilakukan
melalui kerjasama pengusahaan
pertambangan dengan pihak lain
(investor) sebagai pelaksana
pengusahaan pertambangan (mining
right).80
79
Tri Hayati (a), “Konsep Penguasaan Negara di
Sektor Sumber Daya Alam Berdasarkan Pasal 33
UUD 1945”. Laporan Penelitian Kerjasama dengan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005,
hal.64-65.
80
Supomo dalam Ismail Suny, “Penguasaan
Negara atas Bahan Galian Tambang”. (Makalah
pada Seminar RUU Mineral dan Batubara, FHUI,
Jakarta: 2005), hal. 5.
24. 24
Keterkaitan antara hak
penguasaan Negara dengan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat,
menurut Bagir Manan akan
mewujudkan kewajiban Negara sebagai
berikut: 81
a. Segala bentuk pemanfaatan (bumi
dan air) serta hasil yang didapat
(kekayaan alam), harus secara nyata
meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat;
b. Melindungi dan menjamin segala
hak-hak rakyat yang terdapat di
dalam atau di atas bumi, air dan
berbagai kekayaan alam tertentu
yang dapat dihasilkan secara
langsung atau dinikmati langsung
oleh rakyat;
c. Mencegah segala tindakan dari pihak
manapun yang akan menyebabkan
rakyat tidak mempunyai kesempatan
atau akan kehilangan haknya dalam
menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban tersebut
sebagai jaminan bagi tujuan hak
penguasaan Negara atas sumber daya
alam yang sekaligus memberikan
pemahaman bahwa dalam hak
penguasaan itu, Negara hanya
melakukan bestuursdaad dan
81
Bagir Manan dalam Abrar Saleng, Op.Cit., hal.
17.
beheersdaad dan tidak melakukan
eigensdaad. Sehubungan dengan hal itu,
maka hak penguasaan Negara
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33
UUD 1945, dapat dipisahkan satu
dengan lainnya, yaitu ketika melepaskan
suatu bidang usaha atas sumber daya
alam kepada pihak tertentu, harus
disertai dengan bentuk-bentuk
pengaturan dan pengawasan yang
bersifat khusus. Dengan demikian,
kewajiban mewujudkan sebesar-besar
kemakmuran rakyat tetap dapat
dikendalikan oleh Negara.
Dalam kerangka penguasaan
Negara atas sumber daya alam nasional,
dibedakan atas dua kelompok, yaitu : (a)
sumber daya alam yang penting bagi
Negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak, oleh karenanya harus
dikuasai Negara dan dijalankan oleh
Pemerintah, (b) sumber daya alam yang
tidak penting bagi Negara dan tidak
menguasai hajat hidup orang banyak.
Hak penguasaan Negara ini, diberikan
oleh rakyat sebagai pemilik kekayaan
alam kepada Negara, yang selanjutnya
dijalankan oleh Pemerintah dengan
tujuan untuk dipergunakan bagi
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Adapun untuk pelaksanaannya lebih
lanjut diberikan kepada masyarakat
25. 25
dalam bentuk “Kuasa Pertambangan”,
baik secara perorangan maupun
kelompok masyarakat (badan hukum).
Hak penguasaan yang dimiliki
oleh Negara ini dilaksanakan oleh
Pemerintah, yang dalam hal ini
dilakukan oleh Departemen (sekarang
Kementerian Negara) Energi dan
Sumber Daya Mineral (sesuai Peraturan
Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia).
Selanjutnya Pemerintah, yang dalam hal
ini dilaksanakan oleh Menteri ESDM
beserta aparaturnya di bawahnya (Pasal
4 Undang Undang Nomor 11 Tahun
1967), dapat memberikan “hak
pengusahaan” (mining right) kepada
para pengusaha untuk melakukan
usaha di bidang pertambangan.
Dengan demikian kewenangan
pemberian perizinan untuk melakukan
usaha di bidang pertambangan, adalah
merupakan kewenangan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral beserta
seluruh aparatur di bawahnya.
Pelaksanaan penguasaan Negara
terhadap sumber daya alam di sini
diberikan dalam bentuk “Kuasa
Pertambangan”, yang merupakan salah
satu instrumen hukum yang dapat
digunakan oleh pemegang kuasa
pertambangan untuk melaksanakan
kegiatan usaha di bidang pertambangan.
Tanpa adanya kuasa pertambangan,
perusahaan pertambangan tidak dapat
melakukan kegiatan usahanya.
Pengertian kuasa pertambangan
merupakan wewenang yang diberikan
kepada Badan atau Perseorangan untuk
melakukan usaha pertambangan.82
Wewenang tersebut merupakan hak
dan kekuasaan yang diberikan oleh
hukum kepada badan/perorangan
untuk melakukan usaha pertambangan.
Dasar falsafah pengusahaan
mineral dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara,83 bersandar
pada Pasal 33 ayat (3) Undang - Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Hal tersebut dinyatakan dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
yang menyatakan bahwa mineral dan
batubara sebagai sumber daya alam
yang terkandung di dalam wilayah
hukum pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan alam nasional
82
Undang Undang nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan, Pasal 2
huruf i.
83
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan batubara
menggantikan Undang-Undnag Nomor 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan.
26. 26
yang dikuasasi oleh Negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam pengelolaannya, hal tersebut
diselenggarakan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah. Adapun pejabat
yang berwenang memberikan kepada
badan/perorangan adalah Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota yang
dituangkan dalam Surat Keputusan
Pemberian Kuasa Pertambangan.
Ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut
berbeda dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1967 dimana pengelolaan
pertambangan pada dasarnya berada di
tangan Pemerintah, yang dalam hal ini
diselenggarakan oleh Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral.
Namun diberikan pengecualian dalam
kondisi tertentu dapat diserahkan
kepada Pemerintah Daerah atau kepada
Swasta atau kepada Orang Perorangan
atau kepada Masyarakat setempat
berdasarkan pertimbangan Menteri.84
84
Pelaksanaan penguasaan pertambangan
berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 11
Tahun 1967, disebutkan bahwa: (1) Pelaksanaan
penguasaan Negara dan pengaturan usaha
pertambangan bahan galian golongan a dan b
dilkakukan oleh Menteri, (2) Pelaksanaan
penguasaan Negara dan pengaturan usaha
pertambangan bahan galian golongan c dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Tinglkat I tempat
terdapatnya bahan galian tersebut. Dengan
memperhatikan kepentingan pembangunan
daerah khususnya dan Negara umumnya, Menteri
dapat menyerahkan pengaturan usaha
Dengan demikian penyerahan
kewenangan pengelolaan urusan
pertambangan dapat diberikan kepada
daerah otonom namun bersifat
fakultatif tergantung pada kondisi
tertentu dan berdasarkan pertimbangan
Menteri.
Penguasaan Negara sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengandung
makna kewenangan mengatur dan
mengurus terhadap sumber daya alam.
Khusus kewenangan mengatur
sebagaimana dimaksud Pasal 33 adalah
tetap berada di tangan Pemerintah
sebagai pengemban kata “Negara” yang
memiliki kedaulatan yang merupakan
character state. Dengan perkataan lain
peran Pemerintah sebagai regulator
tidak mungkin diderivasi kepada
daerah otonom, karena daerah otonom
tidak memiliki character state yang
berarti kewenangan bertindak ke dalam
dan keluar Negara.
pertambangan bahan galian tertentu diantara
bahan galian golongan b kepada Pemerintah
daerah tingkat I tempat terdapatnya bahan galian
itu. Adapun untuk pelaksanaannya, karena
Negara/Pemerintah tidak dapat menjalankan
sendiri, maka dapat diberikan kepada: (a) Instansi
Pemerintah, (b) Perusahaan Negara, (c)
Perusahaan Daerah, (d) Perusahaan dengan modal
bersama, (e) Koperasi, (f) Badan/Perseorangan
swasta, (g) Masyarakat dalam bentuk
Pertambangan Rakyat. (Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967).
27. 27
Perubahan mendasar yang terjadi
adalah perubahan dari sistem kontrak
karya dan perjanjian menjadi sistem
perizinan, sehingga Pemerintah tidak
lagi berada dalam posisi yang sejajar
dengan pelaku usaha (antara
pemerintah dan pengusaha tambang
terdapat subordinasi dimana
Pemerintah mempunyai kedudukan
lebih tinggi sebagai pemberi izin), oleh
karena itu dapat dilakukan pencabutan
izin oleh pemberi izin. Dengan prinsip
seperti itu ada kalangan yang
berpendapat bahwa beberapa kebijakan
dalam UU Minerba tersebut tidak
memberikan kepastian hukum terkait
dengan kegiatan usaha di bidang
pertambangan mineral dan batubara
dan memberikan hambatan masuknya
bagi pelaku usaha tertentu.
D. Implementasi Kebijakan
Perizinan Pertambangan Mineral
dan Batubara di Daerah Pasca
Berlakunya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009
1. Moratorium Izin Usaha
Pertambangan
UU No.4 tahun 2009
mengamanatkan sejumlah ketentuan
strategis untuk diatur lebih rinci dalam
peraturan pelaksana, namun sebelum
terbitnya peraturan pemerintah sebagai
pelaksana UU No. 4 Tahun 2009 Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral maka
pemerintah melalui Direktur Jenderal
Meneral, Batubara dan Panas Bumi
mengeluarkan Surat Edaran Nomor
03E/31/DJB/2009 tentang Perizinan
Pertambangan Mineral dan Batubara
Sebelum Terbitnya Peraturan
Pemerintah Sebagai Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Surat Edaran ini ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2009.85
Surat Edaran tersebut
menghimbau Gubernur dan
Bupati/Walikota di seluruh Indonesia
agar memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :86
1. Kuasa Pertambangan (KP) yang
telah ada sebelum berlakunya UU
No.4 tahun 2009, termasuk
peningkatan tahapan kegiatannya
tetap diberlakukan sampai jangka
waktu berakhirnya KP dan wajib
disesuaikan menjadi IUP (Ijin Usaha
Pertambangan) berdasarkan UU
85
http://www.tambangnews.com/regulasi/surat-
edaran/69-se-dirjen-minerba-dan-panas-bumi-
nomor-03e31djb2009.html diunduh tanggal 5
November 2012.
86
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral,
Surat Edaran Nomor 03E/31/DJB/2009 tentang
Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara
Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009.
28. 28
No.4 tahun 2009 paling lambat 1
(satu) tahun sejak berlakunya UU
No.4 Tahun 2009
2. Menghentikan sementara
penerbitan Izin Usaha
Pertambangan (IUP) baru sampai
dengan diterbitkannya Peraturan
Pemerintah sebagai pelaksana UU
No.4 tahun 2009
3. Berkoordinasi dengan Direktorat
Jenderal Mineral, Batubara, dan
Panas Bumi atas semua permohonan
peningkatan tahap kegiatan Kuasa
Pertambangan termasuk
perpanjangannya untuk diproses
sesuai dengan UU No.4 tahun 2009
4. Menyampaikan kepada Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral
melalui Direktorat Jenderal Mineral,
Batubara dan Panas Bumi semua
permohonan Kuasa Pertambangan
yang telah diajukan, dan telah
mendapat persetujuan pencadangan
wilayah sebelum berlakunya UU
No.4 tahun 2009, untuk dievaluasi
dan diverifikasi dalam rangka
mempersiapkan Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP) sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang tata
ruang nasional, paling lama 1 (satu)
bulan Sejak SE diterbitkan.
5. Memberitahukan kepada para
pemegang KP yang telah melakukan
tahapan kegiatan eksplorasi atau
eksploitasi paling lambat 6 (enam)
bulan sejak berlakunya UU No.4
tahun 2009 harus menyampaikan
rencana kegiatan pada seluruh
wilayah KP sampai dengan jangka
waktu berakhirnya KP untuk
mendapatkan persetujuan pemberi
Izin KP, dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal Mineral, Batubara
dan Panas Bumi.
6. Surat Keputusan Kuasa
Pertambangan yang diterbitkan
Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota
setelah tanggal 12 Januari 2009
dinyatakan batal dan tidak berlaku.
7. Direktorat Jenderal Mineral,
Batubara, dan Panas Bumi akan
mengeluarkan format penerbitan
IUP Eksplorasi dan IUP Operasi
Produksi.
8. Permohonan baru Surat Izin
Pertambangan Daerah bahan galian
golongan C termasuk
perpanjangannya yang diajukan
sebelum berlakunya UU No.4 tahun
2009 2009, tetap diproses menjadi
IUP sesuai dengan UU No.4 tahun
2009 setelah berkoordinasi dengan
Gubernur.
29. 29
Selain menghimbau Gubernur,
Bupati/Walikota, dalam surat edaran ini
juga dinyatakan bahwa permohonan
Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B) harus membentuk
Badan Hukum Indonesia paling lambat
6 (enam) bulan sejak berlakunya UU
No.4 tahun 2009.87 Ketentuan ini adalah
sebagai bahan pertimbangan dalam
proses penerbitan IUP.88 Keberadaan
Surat Edaran di atas ternyata
menimbulkan kesimpangsiuran
pemahaman di daerah, atas
kesimpangsiuran yang terjadi maka
Direktorat Jenderal Energi Mineral dan
Batubara pada tanggal 24 Maret 2009
kembali mengeluarkan Surat Nomor
1053/30/DJB/2009 yang ditujukan
kepada Gubernur dan Bupati/Walikota
di seluruh Indonesia. Dalam surat
tersebut dinyatakan hal-hal sebagai
berikut :89
1. Kuasa Pertambangan (KP) yang
masih berlaku wajib disesuaikan
menjadi Izin Usaha Pertambangan
(IUP) dengan mengacu kepada UU
No.4 tahun 2009 dan menggunakan
format IUP terlampir.
87
Ibid
88
Ibid
89
http://www.tambangnews.com/images/data/sura
t1053.PDF
2. Untuk peningkatan atau
perpanjangan Kuasa Pertambangan
(KP) dikoordinasikan kepada
Direktur Jenderal Mineral dan
Batubara dan Panas Bumi serta
dapat diproses lebih lanjut dengan
mengacu kepada UU no.4 Tahun
2009 dan menggunakan format IUP
terlampir.
3. Permohonan KP yang telah diterima
sebelum diberlakukannya UU No.4
Tahun 2009 tanggal 12 Januari 2009
dan telah mendapatkan
pencadangan wilayah dapat diproses
lebih lanjut dengan mengacu kepada
UU No.4 Tahun 2009 tanpa melalui
lelang dengan menggunakan format
IUP terlampir.
4. Permohonan Kontrak Karya
dan/atau Perjanjian Karya
pengusahaan pertambangan
Batubara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 172 UU No.4 Tahun
2009 dan telah mendapatkan
persetujuan prinsip harus
membentuk Badan hukum Indonesia
serta dapat diproses lebih lanjut
tanpa melalui lelang dengan
menggunkan format IUP terlampir.
5. Dalam hal pembentukan Badan
Hukum Indonesia dan persetujuan
penanaman modal, agar
30. 30
dikoordinasikan dengan
Kementerian Hukum dan HAM serta
Badan Penanaman Modal (BKPM)
setelah mendapatkan rekomendasi
dari Dirjen Minerba dan Panas Bumi
Dengan adanya Surat No.
1053/30/DJB/2009 maka, pertama,
legalitas usaha pertambangan harus
segera disesuaikan dengan bentuk
perizinan. Kedua, kegiatan
pertambangan yang ada saat ini adalah
berdasarkan izin tambang yang telah
terbit sebelum ada UU No.4 tahun 2009,
peningkatan maupun perpanjangan izin
harus disesuaikan dengan ketentuan
dalam UU No.4 Tahun 2009. Ketiga,
Permohonan penerbitan IUP yang
diajukan sebelum 12 Januari 2009 dapat
diproses sesuai dengan ketentuan UU
No.4 Tahun 2009. Keempat, pemohon
KK dan/atau PKP2B harus berbentuk
badan Hukum Indonesia.
Penantian terhadap peraturan
pelaksana dari UU No.4 tahun 2009
yang menjadi acuan kegiatan
pertambangan mineral dan batubara
akhirnya terjawab secara bertahap
sejak tahun 2010. Berikut adalah daftar
beberapa peraturan pelaksana yang
telah diterbitkan, yaitu :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 2010 tentang Wilayah
Pertambangan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2010 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan
Pengelolaan Pertambangan Mineral
dan Batubara.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 78
Tahun 2010 tentang Reklamasi dan
Pascatambang.
5. Peraturan Menteri ESDM No.14
Tahun 2011 tentang Pelimpahan
Sebagian Urusan Pemerintahan Di
Bidang Energi Dan Sumber Daya
Mineral Kepada Gubernur Sebagai
Wakil Pemerintah Dalam Rangka
Penyelenggaraan Dekonsentrasi
Tahun Anggaran 2011
6. Peraturan Menteri ESDM No.12
Tahun 2011 tentang Tata cara
Penetapan Wilayah Usaha
Pertambangan Dan Sistem Informasi
Wilayah Pertambangan Mineral Dan
Batubara.
7. Peraturan Menteri ESDM No.12
Tahun 2011 tentang Tim Evaluasi
Untuk Penyesuaian Kontrak Karya
31. 31
dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara
8. Peraturan Menteri ESDM No.11
Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 07
Tahun 2012 Tentang Peningkatan
Nilai Tambah Mineral Melalui
Kegiatan Pengolahan Dan
Pemurnian Mineral
9. Peraturan Menteri ESDM No.07
Tahun 2012 tentang Peningkatan
Nilai Tambah Mineral Melalui
Kegiatan pengolahan Dan
Pemurnian Mineral
10. Peraturan Dirjen Mineral dan
Batubara No.574.K/30/DJB/2012
tentang Ketentuan Tata Cara dan
Persyaratan Rekomendasi Ekspor
Produk Pertambangan
Belum adanya rekomendasi dari
DPR-RI sebagai pelaksanaan Pasal 9
ayat 2 UU No.4 Tahun 2009 membuat
pemerintah melalui Kementerian Energi
Sumber Daya Mineral cq Direktorat
Jenderal Mineral dan Batubara
menerbitkan Surat Edaran Nomor
08.E/30/DJB/2012 tentang Penghentian
Sementara Penerbitan IUP Baru Sampai
Ditetapkannya Wilayah Pertambangan.
Surat Edaran tersebut diterbitkan pada
tanggal 6 Maret 2012 dan ditujukan
kepada Gubernur dan Bupati/ Walikota
di seluruh Indonesia. Dengan terbitnya
Surat Edaran tersebut maka Gubernur
dan Bupati/Walikota di seluruh
Indonesia diminta untuk menghentikan
sementara penerbitan IUP baru sampai
ditetapkannya WP. Surat tersebut
merupakan pedoman bagi Dinas
Pertambangan Provinsi dan
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia
untuk melaksanakan moratorium
(penghentian sementara) IUP. Bagi
kepala daerah yang melanggar akan ada
sanksi tegas yang dijatuhkan, bahkan
dapat dipidana.90 Sedangkan bagi
perusahaan yang melanggar maka
semua izin usahanya akan dicabut oleh
Kementerian ESDM.91
Moratorium dalam praktek
dibeberapa daerah kadangkala “diakali”,
tanggal permohonan izin tambang
dibuat mundur (backdate) seolah-olah
permohonan IUP diajukan sebelum
tanggal 12 Maret 2009.92 Hal ini
90
“Keluarkan Izin, Kepala Daerah Dipidana”,
http://www.jambi-
independent.co.id/jio/index.php?option=com_con
tent&view=article&id=15189:keluarkan-izin-
kepala-daerah-
dipidana&catid=25:nasional&Itemid=29
91
Ibid
92
Hasil diskusi Pusat kajian Hukum Administrasi
Negara - Lembaga Administrasi Negara dengan
Dinas Pertambangan Provinsi dan Kabupaten Di
Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan
Timur pada acara Foccus Group Disccusion Studi
32. 32
bertujuan agar permohonan izin
tambang dapat diproses segera tanpa
harus melalui lelang. Moratorium juga
tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh
daerah, misalnya oleh Provinsi Nangroe
Aceh (Aceh). Aceh memiliki alasan
untuk tidak melaksanakan moratorium
karena keistimewaan dan kekhususan
yang diberikan oleh Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA). 93 Pasal 156
UUPA menyatakan bahwa Pemerintah
Aceh dan pemerintah kabupaten/kota
berwenang untuk mengelola sumber
daya alam yang meliputi bidang
pertambangan mineral dan batubara
serta panas bumi.94 Dengan demikian
permohonan izin yang diajukan setelah
tanggal 12 Januari 2009 tetap dapat
diproses untu diterbitkan IUP nya.
Mencermati lebih lanjut ketentuan
dalam UUPA sesungguhnya Pemerintah
Aceh dan pemerintah kabupaten/kota
dalam memberikan IUP tetap harus
Kebijakan Perizinan Pertambangan Mineral dan
Batubara, April – Juni 2012
93
Hasil diskusi pusat Kajian Hukum Administrasi
Negara - Lembaga Administrasi Negara dengan
Dinas Pertambangan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam pada acara Foccus Group Disccusion
Studi Kebijakan Perizinan Pertambangan Mineral
dan Batubara, Juni 2012
94
Ibid, Pasal 156 ayat 1 dan 3.
berdasarkan kepada norma, standar,
dan prosedur yang berlaku nasional.95
2. Kebijakan Penataan Izin Usaha
Pertambangan
a. Rekonsiliasi Izin Usaha
Pertambangan
Tujuan diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara
(UU Minerba) pada tanggal 12 Januari
2009 adalah untuk menggantikan UU
Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan (UU No.11/1967) yang
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman ditingkat
nasional maupun global. Problem
terbesar dari UU No.11/1967 adalah
sistem perjanjian atau kontrak tambang.
Dalam pertambangan mineral, dikenal
istilah Kontrak Karya (KK). Sementara
dalam industri tambang batubara ada
istilah Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) dan
Kuasa Pertambangan (KP). Berdasarkan
UU Minerba tersebut pengelolaan Izin
Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara dilaksanakan dalam bentuk
Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang
95
Undang-Undang Pemerintahan Aceh, loc.cit,
Pasal 165 ayat 3
33. 33
terdiri atas IUP Eksplorasi dan IUP
Operasi Produksi, yang dituangkan
dalam suatu sistem data dan informasi
pertambangan.
Dalam rangka menyiapkan
database nasional pertambangan
mineral dan batubara maka
dilaksanakan Rekonsiliasi Nasional Data
Izin Usaha Pertambangan. Tujuan dari
rekonsiliasi adalah menghasilkan
sistem informasi IUP nasional yang
komprehensif dan berguna sebagai:96
1) Dasar hukum dalam pelaksanaan
kegiatan pertambangan
2) Bahan koordinasi dengan instansi
lain dalam penentuan tata ruang
sehingga dapat mengetahui tumpang
tindih antara daerah, tumpang tindih
antar sektor, dan tumpang tindih
antar pemegang IUP.
3) Optimalisasi penerimaan negara
bukan pajak (iuran tetap, royalti,
penjualan hasil tambang) dari IUP.
4) Peluang untuk peningkatan nilai
tambah mineral dan batubara.
5) Mengetahui produksi nasional
mineral dan batubara.
6) Dasar penentuan pemenuhan
kebutuhan domestik (DMO).
96
Nelyati Siregar, Proses dan Verifikasi izin Usaha
Pertambangan (IUP) Clean and Clear (C&C), Bahan
Paparan Direktorat Pembinaan Pengusahaan
Batubara Kementerian Energi Sumber Daya
Mineral, Jakarta, 11 Oktober 2011.
7) Peningkatan kontribusi usaha jasa
pertambangan nasional.
8) Peningkatan kebutuhan sumber
daya manusia.
9) Pengelolaan lingkungan yang
optimal.
Rekonsiliasi dilakukan dengan
upaya penyesuaian KP/SIPD/SIPR dan
penetapan lokasi pertambangan.
Tahapan yang terdapat dalam kegiatan
rekonsiliasi adalah inventarisasi,
verifikasi dan klasifikasi.97 Pemerintah
Pusat melalui Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) cq.
Direktorat Jenderal Minerba dan
Batubara mengundang seluruh
Gubernur/Bupati/Walikota se-
Indonesia atau yang mewakili untuk
menyerahkan data perizinan
pertambangan yang telah diterbitkan
oleh Pemerintah Provinsi serta
Pemerintah Kabupaten/Kota lengkap
dengan persyaratan98 yang diminta oleh
97
www.djmbp.esdm.go.id Siaran Pers
Kementerian ESDM No.33/Humas KESDM/2011
tanggal 27 Mei 2011
98
Persyaratan Penyesuaian KP Menjadi IUP
adalah surat pengantar dari
Gubernur/Bupati/Walikota kepada Dirjen Minerba
dengan menyebutkan perusahaan pemegang KP,
dengan melampirkan foto copy : Laporan rencana
kegiatan KP (PU, Eksplorasi dan Eksploitasi), SK KP
dari Gubernur, Bupati, Walikota (yang lama)
lengkap dengan lampiran peta beserta
koordinatnya dan Bukti pemenuhan kewajiban
keuangan
34. 34
Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara.
Dalam paparannya kepada
pemerintah daerah pada kegiatan
rekonsiliasi99, Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian
Energi Sumber Daya Mineral
menyatakan bahwa dasar hukum
kebijakan tersebut adalah Pasal 112
ayat 4 dan 5 Peraturan pemerintah
No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
Persyaratan peningkatan KP PU ke KP
Eksplorasi adalah surat pengantar dari
Gubernur/Bupati/Walikota kepada Dirjen Minerba
dengan menyebutkan perusahaan pemegang KP
serta jenis permohonan peningkatan tahap
kegiatan dengan melampirkan : Surat
permohonan, SK KP dari
Gubernur/Bupati/Walikota (yang lama) lengkap
dengan lampirannya, Peta Wilayah dan Batas
Koordinat, Foto copy bukti pemenuhan kewajiban
keuangan dan pelaporan, Surat persetujuan
laporan akhir tahap kegiatan KP (PU atau
Eksplorasi), Surat persetujuan laporan FS (untuk KP
Eksplorasi ke IUP Operasi Produksi), Surat
persetujuan AMDAL/UKL/UPL (untuk KP Eksplorasi
ke IUP Operasi Produksi), Berkas persyaratan
administrasi, finansial dan teknis
Permohonan Baru Yang Diterima Sebelum 12
Januari 2009 dan telah mendapatkan Pencadangan
Wilayah Surat pengantar dari
Gubernur/Bupati/Walikota kepada Dirjen Minerba
dengan menyebutkan perusahaan pemohon serta
jenis permohonan KP, PKP2B, KK, SIPD dengan
melampirkan : Surat permohonan dengan berkas
permohonan pencadangan, Surat pencadangan
wilayah, Peta wilayah dan batas koordinat, Foto
copy bukti pemenuhan kewajiban keuangan
(penempatan jaminan kesungguhan)
Berkas persyaratan administrasi, finansial, teknis
dan lingkungan.
99
Ibid
dan Batubara.100 Bunyi ketentuan pasal
112 ayat 4 adalah sebagai berikut :
Kuasa Pertambangan,
Surat Izin Pertambangan
Daerah, dan Surat Izin
Pertambangan Rakyat,
yang diberikan
berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-
undangan sebelum
ditetapkannya Peraturan
Pemerintah ini tetap
diberlakukan sampai
jangka waktu berakhir
serta wajib:
a. disesuaikan menjadi
IUP atau IPR sesuai
dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah
ini dalam jangka
waktu paling lambat 3
(tiga) bulan sejak
berlakunya Peraturan
Pemerintah ini dan
khusus BUMN dan
BUMD, untuk IUP
Operasi Produksi
merupakan IUP
Operasi Produksi
pertama;
b. menyampaikan
rencana kegiatan pada
seluruh wilayah kuasa
pertambangan sampai
dengan jangka waktu
berakhirnya kuasa
pertambangan kepada
Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota
sesuai dengan
kewenangannya;
c. melakukan
pengolahan dan
pemurnian di dalam
negeri dalam jangka
100
Ibid
35. 35
waktu paling lambat 5
(lima) tahun sejak
berlakunya Undang-
Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral
dan Batubara.
Pasal 112 ayat 5 menyatakan :
Permohonan Kuasa
Pertambangan yang telah
diterima Menteri,
gubernur, atau
bupati/walikota sebelum
terbitnya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara dan
telah mendapatkan
Pencadangan Wilayah dari
Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota sesuai
dengan kewenangannya
dapat diproses
perizinannya dalam bentuk
IUP tanpa melalui lelang
paling lambat 3 (tiga)
bulan setelah berlakunya
Peraturan Pemerintah ini.
b. Clean and Clear (C&C)
Kebijakan Clean and Clear (C&C)
merupakan bagian dari Rekonsiliasi
Nasional Data IUP yang muncul pada
tahap kegiatan verifikasi. C&C
merupakan status yang diberikan
kepada pemegang KP/SIPD/SIPR yang
telah menyesuaikan menjadi IUP setelah
dinyatakan tidak bermasalah. C&C
diberikan kepada pemegang IUP karena
wilayahnya sudah tidak tumpang tindih,
memiliki dokumen perizinan yang jelas,
telah menyampaikan laporan eksplorasi
dan studi kelayakan, memiliki
persetujuan dokumen lingkungan serta
sudah membayar iuran tetap dan royalti
sehingga dapat masuk dalam Wilayah
Usaha pertambangan (WUP). Sedangkan
untuk izin yang masih bermasalah
nantinya akan mendapat status Non
C&C.
Istilah C&C muncul berdasarkan
Siaran Pers Kementerian ESDM
No.33/Humas KESDM/2011 tangal 27
Mei 2011.101 Latar belakang lahirnya
kebijakan C&C adalah karena banyak
pertanyaan dari berbagai pihak kepada
Kementerian ESDM mengenai status
wilayah izin usaha pertambangan.102
Berdasarkan hal tersebut maka
pemerintah merasa bahwa penataan
IUP yang tumpang tindih harus segera
dilakukan mengingat sangat berguna
bagi optimalisasi target-target
pemerintah seperti penerimaan negara,
pengelolaan lingkungan, peningkatan
nilai tambah, usaha jasa, tenaga kerja,
dan lain-lain.
Kementerian ESDM dalam
melaksanakan kegiatan verifikasi
berkoordinasi dengan Kementerian
101
www.djmbp.esdm.go.id
102
ibid
36. 36
Dalam Negeri dan Badan Informasi
Geospasial. Masing-masing instansi
tersebut mempunyai tugas sebagai
berikut:
1) Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara mengidentifikasi tumpang
tindih IUP yang disebabkan
permasalahan batas administrasi/
perbedaan penggunaan peta dasar
2) Kementerian Dalam Negeri
mengevaluasi batas administrasi
yang telah ditegaskan melalui
Permendagri maupun yang belum
ditegaskan
3) Badan Informasi Geospasial
mengevaluasi penggunaan peta
dasar yang dijadikan acuan oleh
Pemda dalam menyusun Peta
wilayah IUP
Pengumuman status C&C
dilakukan secara berkala oleh
Direktorat jenderal mineral dan
batubara melalui websitenya, bagi
pemegang IUP yang belum disebutkan
nama perusahaannya dalam
pengumuman C&C maka harus
melengkapi kembali syarat yang
dibutuhkan agar dapat diverifikasi dan
evaluasi kembali. Status C&C ini berlaku
sejak tanggal ditetapkan dan apabila
terdapat kekeliruan dalam
pengumumannya akan dilakukan
perbaikan dan ralat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Setelah mendapat status C&C,
pemegang IUP harus mengurus
sertifikasi C&C. Bagi perusahaan yang
telah diumumkan. Sertifikat C&C dapat
diperoleh dengan memenuhi aspek
administrasi, teknis dan keuangan. Bagi
pemegang IUP yang telah disebut dalam
pengumuman C&C dalam waktu paling
lambat 30 hari wajib menyampaikan :103
1) Bukti setor iuran tetap sampai
dengan tahun terakhir dan (bagi
pemegang IUP Eksplorasi)
2) Persetujuan UKL,UPL/AMDAL,
Laporan eksplorasi lengkap dan
studi kelayakan, serta bukti setor
pembayaran iuran tetap dan iuran
produksi (royalti) sampai dengan
tahun terakhir (bagi pemegang IUP
Operasi Produksi).
c. Implementasi Kebijakan Clean
and Clear
Rekonsiliasi Nasional Data Izin
Usaha Pertambangan pertama kali
dilaksanakan pada tanggal 3-6 Mei 2011
di Jakarta dengan mengundang seluruh
Gubernur/Bupati/Walikota se
103
Penjelasan Tambahan Dalam Pengumuman
C&C Rekonsiliasi IUP
37. 37
Indonesia dan dihadiri oleh 279
Gubernur/ Bupati/Walikota atau yang
mewakili. Gubernur/ Bupati/Walikota
se-Indonesia atau yang mewakili untuk
menyerahkan data IUP yang diterbitkan
oleh Gubernur/Bupati/Walikota
lengkap dengan persyaratan yang
diminta. IUP yang diajukan pada proses
rekonsiliasi I (hingga tanggal 31 Agustus
2012) mencapai 10.596, komposisinya
terdiri dari 6.800 IUP mineral dan 3.796
IUP batubara.104 Pengumuman status
C&C dalam rekonsiliasi tahap I
dilakukan secara bertahap sebanyak
tujuh kali. Dari jumlah yang ada, IUP
yang telah dinyatakan C&C masih
minim, berikut adalah rekapitulasi data
tersebut.
104
Nelyati Siregar, Op.Cit
Rekonsiliasi Nasional IUP Tahap
II mulai dilaksanakan pada tanggal 18
September 2012. Rekonsiliasi Nasional
Tahap II merupakan rangkaian dari
kegiatan rekonsiliasi sebelumnya yang
bertujuan untuk mempercepat
penyelesaian IUP Non Clean and Clear.
Berikut adalah inventarisasi
permasalahan yang menyebabkan
pemegang IUP mendapat status Non
C&C, yaitu :
1) Tumpang tindih sama komoditi
2) Tumpang tindih beda komoditi
3) Tumpang tindih batas administrasi
4) Masalah koordinat/peta
5) Masalah administrasi dan dokumen
6) Penyesuaian KP/SIPD/SIPR
Penyelenggaraan Rekonsiliasi
Nasional IUP Tahap II dilaksanakan
berkelompok berdasarkan wilayah,
38. 38
yaitu Kalimantan, Sulawesi, Sumatera,
Papua – Maluku dan Jawa – Nusa
Tenggara. Rekonsiliasi Tahap II
rencananya akan berakhir pada bulan
Desember 2012.105 Dokumen
pendukung yang wajib dibawa peserta
untuk Rekonsiliasi Nasional IUP Tahap
II adalah :
1) Surat Kuasa yang ditandatangani
gubernur/bupati/walikota/pember
i kuasa, di atas materai apabila
gubernur/bupati/walikota
mewakilkan kehadirannya.
2) Data pendukung untuk penyelesaian
permasalahan.
Data pendukung untuk IUP yang Non
C&C, meliputi data pencadangan
wilayah, data Kuasa Pertambangan
Penyelidikan Umum (KPPU), data
Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KP
Ekslorasi), data Kuasa
Pertambangan Eksploitasi (KP
Eksploitasi), penyesuaian KP
105
Diskusi dengan Fachry Ariati, SH, MT – Kepala
Sub Direktorat Pembinaan Pengusahaan Mineral
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, dengan
tema Evaluasi Kebijakan Perizinan Pertambangan
Mineral dan Batubara tanggal 6 Desember 2012
menjadi IUP;
3) Data pendukung terkait batas
wilayah administrasi.
Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara tidak menerima lagi data IUP
dan perizinan pertambangan yang
diterbitkan oleh pemerintah daerah
untuk diregistrasi sebagai data Nasional
IUP setelah pelaksanaan Rekonsiliasi
Nasional IUP Tahap II.106 Selanjutnya
data IUP hanya dapat diregistrasi untuk
Wilayah Izin Usaha Pertambangan
(WIUP) yang diterbitkan sesuai dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
melalui mekanisme lelang WIUP atau
permohonan WIUP berdasarkan
Wilayah Pertambangan yang ditetapkan
oleh Menteri ESDM. Apabila dalam
waktu satu bulan setelah rekonsiliasi
tidak ada tanggapan atas penyelesaian
tumpang tindih, IUP diusulkan untuk
dibawa ke aparat penegak hukum.
106
www.djmbp.esdm.go.id
39. 39
PENUTUP
Pasca reformasi ketentuan
dibidang pertambangan merujuk pada
Peraturan Pemerintah No.75 Tahun
2001 tentang Peraturan Pelaksanaan
terhadap Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1967. Hal ini disebabkan karena
pengaturan dalam UU No. 11 Tahun
1967 tidak sesuai dengan semangat
otonomi daerah karena bersifat
sentralistik. Perubahan mendasar dalam
PP tersebut adalah : tidak terdapatnya
penggolongan bahan galian a, b, dan c
seperti diatur dalam UU No.11 Tahun
1967, kewenangan pemberian izin
usaha pertambangan berada di tangan
pemerintah daerah (dengan asas
desentralisasi secara utuh kepada
Kabupaten dan Kota). Sejak
diberlakukannya PP tersebut maka
pemerintah seakan “obral” izin usaha
pertambangan sehingga timbul banyak
kasus yang menimbulkan dampak
negatif. Untuk menghilangkan
kelemahan dan kendala dimasa lalu
akhirnya pemerintah membuat UU No.4
Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Tetapi sayang
pada prakteknya UU No.4 Tahun 2009
tersebut belum dapat
diimplementasikan secara maksimal
terutama dalam pemberian izin
tambang karena adanya Surat Edaran
Kementerian Energi Sumber Daya
Mineral cq Direktorat Jenderal Mineral
dan Batubara Nomor
08.E/30/DJB/2012 tentang
Penghentian Sementara Penerbitan IUP
Baru sampai Ditetapkan Wilayah
Pertambangan. Bagi Kepala Daerah yang
melanggar akan mendapat sanksi tegas,
bahkan dapat dipidana. Sedangkan bagi
perusahaan yang melanggar maka
semua izin usahanya akan dicabut oleh
Kementerian ESDM. Namun demikian ,
penghentian sementara (moratorium)
penerbitan IUP tidak efektif, kebijakan
tersebut kerapkali disiasati dengan
memundurkan tanggal permohonan izin
tambang (backdate) sehingga seolah-
olah permohonan IUP diajukan sebelum
tanggal 12 Maret 2009. Surat tersebut
sebenarnya bertujuan untuk menekan
laju pertambahan izin usaha
pertambangan sebelum lahirnya
peraturan pelaksana dari UU No.4
Tahun 2009 tentang Wilayah
Pertambangan. Kelemahan kebijakan
yang dilakukan oleh pemerintah adalah
melarang terbitnya izin usaha
pertambangan dengan format surat
edaran sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum. Masalah lain yang
terjadi pada saat mengimplementasikan
40. 40
UU No.4 Tahun 2009 adalah pada saat
menata izin usaha pertambangan yang
telah ada dan melakukan penyesuaian
bentuk perizinan berdasarkan rezim
“kontrak” menjadi rezim “izin”.
Dari kajian evaluasi maka
disarankan, Pemerintah (Pusat)
dipandang perlu segera menetapkan
wilayah pertambangan yang
dituangkan dalam format Peraturan
pemerintah agar Pemerintah Daerah
dapat segera menetapkan wilayah izin
usaha pertambangan. Selain itu,
Pemerintah Pusat juga dipandang perlu
untuk menetapkan dasar hukum yang
jelas menganaistatus clear and clean
(C&C) sebagai bagian dari verifikasi
dalam Rekonsiliasi Nasional Data Izin
Usaha Pertambangan. Penetapan status
C&C berkaitan dengan berbagai hal yang
membutuhkan pengaturan teknis secara
jelas. Secara umum perlu dilakukan
penyempurnaan kebijakan pengaturan
dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 agar
kepastian hukum dapat terwujud. Yang
menjadi stressing penyempurnaan
terutama manyangkut kewenangan
pemberian izin agar amanat Pasal 33
UUD 1945 menjadi tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku – Buku
Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum
Administrasi, Cet. Keempat,
Penerbit Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1981.
Atmosudrijo, Prajudi, Hukum
Administrasi Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1988.
Berge, Ten dan MR.N.M. Spelt
diterjemahkan oleh Philipus
Hadjon, “Pengantar Hukum
Perizinan”. Surabaya, Fakultas
Hukum Universitas Airlangga,
1992.
Brower, J.G. dan A.E. Schilder, A
Survey of Dutch Administrative
Law. Ars Nijmegen, Nijmegen,
1998.
Dahl, Robert. Analisa politik Modern
(terjemahan). PT. Rajawali,
Jakarta, 1994.
Dewa, I Gede Atmadja. Penafsiran
Konstitusi Dalam Rangka
Sosialisasi Hukum: Sisi
Pelaksanaan UUD 1945 Secara
Murni dan Konsekwen, Pidato
Pengenalan Guru Besar dalam
Bidang Ilmu Hukum Tata
Negara Pada Fakultas Hukum
Universitas Udayana 10 April
1996.
Dworkin, Ronald. Legal Research.
Spring, Deadalus, 1973.
Dye, Thomas. Understanding Public
Policy. Engelewood Chief, New
Jersey Prentince-Hall Inc,
1987.
Utrecht, E. Pengantar Hukum
Administrasi Negara.
Universitas Padjadajaran,
Bandung, 1960.
Hadjon, Philipus M et.al, Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia.
41. 41
Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2001.
Hadjon, Philipus M, Penataan Hukum
Administrasi, Tentang
Wewenang. Fakultas Hukum
Unair, Surabaya, 1997.
Hagenaars, D.L.T.M– Dankers, Op het
Spoor van de Concessie – een
onderzoek Naar Het
Rechtscharacter Van de
Concessie in Nederland en in
Frankrijk, Juridische
Bibliothek Universiteit
Utrecht, 2000.
HR., Ridwan. Hukum Administrasi
Negara. UII Pres, Yogyakarta,
2003.
Indroharto. Usaha memahami
Undang-Undang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Pustaka Harapan, Jakarta,
1993.
Islamy, M. Irfan. Prinsip-Prinsip
Perumusan Kebijaksanaan
Negara. PT. Bumi Aksara,
Jakarta, 2007.
Kusumanegara, Solahuddin. Model
dan Aktor Dalam Proses
Kebijakan Publik. Gava Media,
Yogyakarta, 2010
Lotulung, Paulus Effendie. Beberapa
Sistem tentang Kontrol Segi
Hukum Terhadap Pemerintah.
PT. Bhuana Ilmu Populer,
Jakarta, 1986.
Marbun, SF. Peradilan Administrasi
Negara dan Upaya
Administrasi di Indonesia.
Liberty, Yogyakarta, 1997.
Miles, B Matthew & A. Michael
Huberman. Analisis Data
Kualitatif: Buku Sumber
Tentang Metode-Metode Baru.
Universitas Indonesia, Jakarta,
1992.
Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian
Kualitatif. PT. Remaja Rosda
Karya, Bandung, 2006.
Mustafa, Bachsan. Pokok-pokok
Hukum Administrasi Negara.
Alumni, Bandung , 1979.
Nugraha, Safri, et.all. Hukum
Administrasi Negara. Badan
Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta,
2005.
Nugroho, Riant. Public Policy. Elex
Media Komputindo, Jakarta,
2009.
Prins, Pengantar Hukum Administrasi
Negara, Jakarta.
Purbopranoto, Kuntjoro. Beberapa
Catatan Hukum Tata
Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara. Alumni,
Bandung, 1981.
Salim, H. HS. Hukum Pertambangan
di Indonesia. PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta , 2005.
Sewrdlow, Irving. The Public
Administration of Economic
Development. Praeger
Publishers, New York, 1975.
Soekanto, Seorjono dan Sri Mamudji.
Penelitian Hukum Normatif :
Suatu Tinjauan Singkat. PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003.
Strauss, Anselm & Juliet Corbin.
Dasar-Dasar Penelitian
Kualitatif: Tatalangkah dan
Teknik-Teknik Teoritisasi Data.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2003.
Thoha, Miftah. Dimensi-dimensi Prima
Ilmu Administrasi Negara. PT.
42. 42
Grafindo Persada, Jakarta,
1992.
Tim Penyusun Kamus-Pusat
Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa,
Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Balai Pustaka,
Jakarta, 1989.
Van der Pot gaf in 1927 op
vershillende plaatsen in
woord en geschrift zijn
mening ten beste over het
terminologisch onderscheid
tussen drie nauw verwante
begrippen : dispensatie,
vergunning en concessie. (
D.L.T.M Hagenaars – Dankers,
Op het Spoor van de Concessie
– een onderzoek Naar Het
Rechtscharacter Van de
Concessie in Nederland en in
Frankrijk, Juridische
Bibliothek Universiteit
Utrecht, 2000, hal.14). Juga
sebagaimana dikemukakan
Van der Pot dalam Nedelands
Bestuursrecht, 1934, hal. 267,
WF Prins – R.Kosim
Adisapoetra, 1983.
Wahab, Solichin Abdul. Analisis
Kebijakan Dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan
Negara. Bumi Aksara, Jakarta,
1997.
Wibawa, Samodra, Yuyun
Purbokusumo dan Agus
Pramusinto. Evaluasi
Kebijakan Publik. PT. Grafindo
Persada, Jakarta, 1994.
Widodo, Joko. Analisis Kebijakan
Publik. Bayumedia, Jakarta,
2008.
Wijk, H. D. van /Willem Konijnenbelt,
Hoofdstukken van
Administratief Recht,
Uitgeverij LEMMA
BV,Culemborg, 1998Tjiptadi,
Jogi, Kontrak Production
Sharing sebagai landasan
Kegiatan Eksplorasi/
Eksploitasi Minyak di lepas
Pantai, 1984.
William N. Dunn. Pengantar Analisis
Kebijakan Publik. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta,
2003.
Subarsono, AG. Analisis Kebijakan
Publik. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010.
B. Peraturan Perundang-
Undangan
Indonesia, Undang-Undang No.11
Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Mineral
dan Batubara, Lembaran
Negara Tahun 2009 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara
Tahun 2009 Nomor 4959,
Penjelasan Umum.
Indonesia, Rancangan Undang-
Undang Pertambangan
Mineral dan Batubara dalam
Rapat Paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, tanggal 16
Desember 2008.
Indonesia, Peraturan Pemerintah
Nomor 22 Tahun 2010
tentang Wilayah
Pertambangan.
Kementerian Energi Sumber Daya
Mineral, Surat Edaran Nomor
43. 43
03E/31/DJB/2009 tentang
Perizinan Pertambangan
Mineral dan Batubara
Sebelum Terbitnya Peraturan
Pemerintah Sebagai
Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009.
Kementerian Energi Sumber Daya
Mineral, Surat Edaran Nomor
08.E/30/DJB/2012 tentang
Penghentian Sementara
Penerbitan IUP Baru Sampai
Ditetapkannya Wilayah
Pertambangan.
C. Artikel
Asmara, Qiqi. Evaluasi Implementasi
Kebijakan Publik. FISIP UI,
2009.
Attamimi, Hamid, A. S. Peranan
Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam
penyelenggaraan
pemerintahan negara: suatu
studi analisis mengenai
keputusan presiden yang
berfungsi pengaturan dalam
kurun waktu Pelita I-Pelita IV.
Jakarta Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, 1990.
Basyar, A Hakim. Upaya Meletakkan
Reformasi Kebijakan
Pengelolaan Sumber Daya
Alam Secara Komprehensif.
Hadjon, Philipus M. Tentang
Wewenang, Majalah Yuridika
Fakultas Hukum UNAIR
Nomor 5 dan 6 Tahun XII,
Surabaya, 1997.
Hadjon, Philipus M., Fungsi Normatif
Hukum Administrasi dalam
Mewujudkan Pemerintahan
yang Bersih, Pidato
Penerimaan jabatan Guru
Besar dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 1994.
Husni, Muhammad dan Muhammad
Dasori, Analisis Kebijakan
Clean and Clear Sebagai Upaya
Menata Izin Tambang.
Mustopadidjadja. Landasan Teoritik
Perumusan Kebijakan Publik.
Makalah disampaikan dalam
Diskusi Penyusunan Pedoman
Perumusan Kebijakan Publik
ddii Lembaga Administrasi
Negara. Jakarta, 5 Februari
2010.
Nyoman, I Nurjana. Menuju
Pengelolaan Sumber Daya
Alam yang Adil, Demokratis
dan Berkelanjutan : Perspektif
Hukum dan Kebijakan.
Siregar, Nelyati. Proses dan Verifikasi
izin Usaha Pertambangan
(IUP) Clean and Clear (CNC).
Bahan Paparan Direktorat
Pembinaan Pengusahaan
Batubara Kementerian Energi
Sumber Daya Mineral, Jakarta,
11 Oktober 2011.
Zulfikar, Evan. “Konflik Mesuji –
Bima: Desentralisasi Salah
Kaprah”
D. Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Online, http;//kbbi.web.id/
Oxford Dictionaries,
http://oxforddictionaries.com
/
www.djmbp.esdm.go.id, Penjelasan
Tambahan Dalam
Pengumuman CNC Rekonsiliasi
IUP
“5 Ribu Izin Tambang Bermasalah”,
http://finance.detik.com/read
44. 44
;, diunduh tanggal 14 Februari
2012
“Sektor Tambang Belum Sejahterakan
Masyarakat”,
http://economy.okezone.com;
, diunduh tanggal 30 Mei 2012
“Ada 22 Daerah Rawan Konflik
Pertambangan”,
http://www.walhi.or.id/;
diunduh 27 Februari 2012.
“Kronologis Penolakan Tambang
Emas Di Kec. Lambu Kab. Bima
– NTB”,
http://www.walhi.or.id;,
diunduh 24 Desember 2011.
“Konflik Pertambangan Di Era
Otonomi Daerah – Distorsi
Regulasi dan Tarik Menarik Di
Pusat & Daerah”,
http://otdanews.com;,
diunduh tanggal 19 September
2012.
“Ribuan Kasus Izin Tambang Harus
Diusut”,
http://economy.okezone.com;
, diunduh 21 November 2011.
“Kementerian ESDM: Pemerintah
Pusat Tetap Berwenang
Tentukan Wilayah
Pertambangan”,
http://finance.detik.com,
diunduh tanggal 4 Desember
2012.
“Keluarkan Izin, Kepala Daerah
Dipidana”, http://www.jambi-
independent.co.id/jio/index.p
hp?option=com_content&view
=article&id=15189:keluarkan-
izin-kepala-daerah-
dipidana&catid=25:nasional&I
temid=29
“Tumpang Tindih Lahan Tambang
Akibat Pemekaran Daerah”,
http://jdih.bpk.go.id/wp-
content/uploads/2012/07/tu
mpang-tindih-lahan-tambang-
akibat-pemekaran-daerah.pdf