2. Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ
perusahaan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan
akuntanbilitas perusahaan guna mewujudkan nilai
pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai.
3. Suatu kasus mengenai tidak sah nya suatu rapat umum luar
biasa poerseroan terjadi pada PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NO. 878/ K/SIP/19798 TANGGAL 23 MARET 1974 dalam
perkara antara Sukarna (penggugat) dan PT Dasawarga
(tergugat). Berdasarkan akta notaris Kurniati Endang tanggal 1
Agustus 1968 penggugat bersama-sama Rosjati, Cornelius
Supena, Sinah Supena, Tirto Santoso, Henry Suwandi, Ny
Dedeh mendirikan sebuah perusahan yaitu PT Dasawarga yang
kemudian diganti namanya menjadi PT Dasawargaria.
Di tingkat banding, putusan pengadilan tinggi bandung dalam
putusannya no 307/1973/perd/ptb tanggal 9 februari 1974
memutuskan yang amarnya berbunyi :
Menbatalkan putusan pengadilan negeri di bandung no
146/72/c/bdg tanggal 8 februari 1973
Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima
4. Di tingkat kasasi majelis hakim mahkamah agung memberikan
putusannya NO. 878/ K/SIP/19798 TANGGAL 23 MARET 1976
yang amarnya berbuny :
Menerima permohonan kasasi dari penggugat
Membatalkan putusan pengadilan tinggi bandung
no.307/1973/perd/ptb tanggal 9 februari 1974 dan putusan
pengadilan negeri di bandung no 146/72/c/bdg tanggal 8 februari
1973
Membatalkan keputusan rapat luar biasa para pemegang saham
PT Dasawargaria tanggal 13 Februari 1971
Majelis hakim kasasi berpendapat bahwa dengan tidak
berubahnya status penggugat pada masa sebelum tanggal 13
Februari 1971 maka soal jatah minyaknya kembali seperti
semula.
5. Kasus penyimpangan penjualan saham terjadi dalam
Putusan Mahkamah Agung No.556 K/Sip/1979 Tanggal 7
April 1981dalam perkara antara Rahman Sugiarto
(penggugat) dan I Cheung Yin Lun (tergugat) . Kasus ini
berawal dibelinya saham-saham PT Golsindo sebanyak
250 lembar oleh penggugat dengan akta notaris D.
Muljadi, S.H,No.94 dari Tuan Thomas Suseno. PT Galsindo
merupakan perusahaan joint adventure yang modalnya
75% saham para tergugat dan 25% saham penggugat.
6. Menurut penulis, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Selatan, Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Putusan Mahkamah Agung itu sudah tepat dan
benar. Beberapa hal yang dijadikan sebagai bahan pembenaran adalah :
Tergugat I dan Tergugat II tidak mempunyai hubungan hukum dengan Penggugat
karena Penggugat adalah pihak luar yang tidak mempunyai hubungan hukum
dengan PT Golsindo.
PT Golsindo merupakan sebuah Perusahaan Joint Venture dengan Tergugat I dan
Tergugat II sebagai peserta asing dan Thomas Suseno sebagai Direktur PT Pantja
Muda Plastic Factory sebagai peserta Indonesia.
Berdasarkan Akta Notaris Djojo Muljadi, S.H. pada tanggal 27 Agustus 1971 No. 94
memang betul Penggugat telah membeli 250 lembar saham PT Golsindo dari
Thomas Suseno yang bertindak sebagai kuasa dari dan untuk atas nama PT Pantja
Muda Plastic Factory.
Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan Penggugat ternyata Penggugat belum dapat
menunjukkan suatu persetujuan dari Badan Penanaman Modal Asing untuk sahnya
Penggugat menjadi Pemegang Saham dari PT Golsindo itu hingga dengan demikian
Penggugat belumlah menjadi Pemegang Saham dari PT Golsindo.
7. Dari Putusan Mahkamah Agung ini, terdapat kaidah
hukum, yakni jual beli saham termaksud adalah bersyarat,
sebab digantungkan pada persetujuan menteri, karena
persetujuan ini belum ada, maka menurut hukum
perjanjian tersebut belum ada.
8. Suatu perkara mengenai tanggung Perseroan Terbatas
terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 597
K/Sip/1983 tanggal 8 Mei 1984 dalam perkara antara Ny.
Sardjiman P.S. (Penggugat) melawan Subardi (Tergugat I)
dan PT Sapta Manggala (Tergugat II).
Duduk perkaranya adalah pada bulan Februari 1979
Tergugat I secara berturut-turut telah mengambil bahan
bangunan dari penggugat untuk keperluan proyek
bangunan Tergugat I dan Tergugat II seharga Rp.
1.625.625, yang belum dibayar, sehingga menimbulkan
kerugian bagi Penggugat.
9. Dengan gugatan tersebut Pengadilan Negeri Yogyakarta memberikan
putusannya No. 88/1979/Pdt/G/PN.YK tanggal 2 September 1980 yang
amarnya:
Menetapkan adanya hubungan hukum jual beli alat-alat bahan bangunan
antara Penggugat dan Tergugat dimana Tergugat
mempertanggungjawabkan secara tanggung renteng.
Menetapkan para Tergugat melakukan wanprestasi.
Menghukum para Tergugat sejumlah Rp. 1.625.626,- ditambah 2,5 kali
jumlah tersebut setiap bulannya terhitung sejak 1 Mei 1979 sampai dibayar
lunas utang tersebut dari para Tergugat kepada Penggugat.
Di tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Yogyakarta memberikan putusannya
No. 27/1982/Pdt/PT.YK. tanggal 18 Agustus 1982 yang amarnya:
Menetapkan menurut hukum adanya hubungan jual beli mengenai alat-alat
bahan bangunan antara Penggugat dengan para Tergugat.
Menetapkan Tergugat-Tergugat telah melakukan wanprestasi.
Menghukum Tergugat II (PT Sapta Manggala Tunggal membayar kepada
Penggugat sejumlah Rp. 1.625.625).
10. Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung memberikan putusannya
No. 597 K/Sip/1983 tanggal 8 Mei 1984 yang amarnya :
Menetapkan menurut hukum adanya hubungan jual beli
mengenai alat-alat bahan bangunan antara Penggugat dengan
para Tergugat (Perseroan Terbatas Sapta Manggala Tunggal).
Menetapkan Tergugat-Tergugat telah melakukan wanprestasi.
Menghukum Tergugat II (PT Sapta Manggala Tunggal membayar
uang kepada Penggugat sejumlah Rp. 1.625.625).
Dari Putusan Mahkamah Agung terdapat kaidah hukum antara
lain gugatan terhadap Tergugat I ditolak karena dalam hal ini ia
bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas, sehingga
hanya Perseroan Terbatas sajakah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
11. Putusan Mahkamah Agung no. 419K/PDT/1998 tanggal 20 jamuari 1993
menegaskan bahwa suatu perseroan terbatas merupakan badan hukum
dan merupakan subjek hukum, maka tuntutan harus diajukan terhadap PT
dan bukan terhadap direkturnya. Karena gugatan diajukan terhadap
direktur pribadi, maka harus diyatakan tidak dapat diterima. Penegasan ini
terdapat dalam perkara antara PT (persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja
(pemohon kasasi I ) melawan Ir. Setiarko ( principal ) dan Ir. KRT. Rubyanto
argonadi Hamidjojo ( termohon – termohon kasasi/ tergugat I/ turut
terbanding atau tergugat II/pembanding/terbanding).
Perkara tersebut berawal pada tahun 1982 antara penggugat asli selaku
surety dan tergugat asli I selaku principal dan tergugat asli II selaku
indeminator telah ditandatangani suatu perjanjian umum tentang ganti
rugi kepada surety. Sebagai akibat kelalaian / kegagalan tergugat asli I di
dalam proyek Penyempurnaan Prasarana Badan Pendidikan Latihan
Keuangan (BPLKI) dan pengggugat asli telah membayar kepada obligee
kerugian tersebut sebanyak Rp. 137.486.005,78,
12. Perjanjian umum tentang ganti rugi kepada surety (P-3) tersebut tidak jelas
dan nyata obyeknya yang harus mendapatkan ganti rugi, karena tidak
dicantumkan nama proyek atau nama/nomor jaminan serta SPP, nomor
berapa ataupun sejumlah berapa yang harus mendapatkan ganti rugi
berdasarkan perjanjian tersebut, sehingga harus dinyatakan batal demi
hukum. Disamping itu seseorang tidak dapat menuntut seorang direktur
secara pribadi karena tuntutan tersebut harus ditujukan kpeada PT
bersangkutan dimana direktur tersebut berasal. Dan PT tersebut yang
seharusnya dituntut karena PT merupakan suatu badan hukum tersendiri.
13. Suatu perkara mengenai perbuatan direktur utama perusahaan yang
mengambil kewenangan RUPS dalam menentukan untung rugi
perusahaan telah terjadi dalam putusan Mahkamah Agung no.
2743K/Pdt/1995 tanggal 18 juni 1996 dalam perkara antara handi
Sujanto ( pemohon kasasi/tergugat/terbanding) melawan Ir.
Bambang Riyadi Soegomo ( termohon kasasi/ penggugat /
pembanding).
Di tingkat kasasi, perkara ini di putuskan dengan putusan Mahkamah
Agung No.2743K/Pdt/1995 tanggal 18 juni 1996 yang menyebutkan
bahwa yang berhak menentukan untung rugi suatu perusahaan
adalah RUPS dan diaudit akuntan publik. Gugatan ganti rugi yang
diajukan direktur utama perusahaan tanpa ada pengesahaan Rapat
Umum pemegang Saham (RUPS) dan diaudit dari akuntan publik
yang menyatakan perusahaan rugi , gugatan belum waktunya
diajukan ke pengadilan.
14. Kasus kepailitan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 14
K/pailit/1999/PN.Niaga Jkt.Pst antara PT Environmental Network
Indonesia, dkk (PT Enindo) sebagai permohon pailit melawan PT Putra Putri
Fortuna Windu, dkk. Sebagai termohon Pailit, yang telah dijatuhkan
putusan di pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 31 Maret 1999
adalah salah satu preseden konflik kewenangan antara pengadilan Niaga
dengan Arbitrase terhadap perkara kepailitan. Dalam putusannya terhadap
permohonan peninjauan kembali dalam kasus tersebut, Mahkamah Agung
dalam Putusan NO.013 PK/N/1999 tanggal 2 Agustus 1999 membatalkan
putusan Pengadilan Niaga berwenang mengadili permohonan pailit
tersebut. Mahkamah Agung menyatakan bahwa pasal 280 ayat (1) Perpu
NO 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang – Undang Nomor
4 tahun 1998 telah meletakkan Pengadilan Niaga sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam struktur Pengadilan Negeri dengan kewenangan khusus
berupa yurisdiksi eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan.
Dengan status hukum dan kewenangan (legal status and power),
Pengadilan Niaga memiliki kapasitas hukum (legal capacity) untuk
menyelesaikan permohonan pailit.
15. Majelis Hakim Kasasi berkesimpulan bahwa akibat hukum dari
Arbitrase sebagai extra judical tidak dapat menyingkirkan dan
kewenangan pengadilan niaga untuk menyelesaikan
permohonan pailit berdasarkan Undang – Undang No.4 Tahun
1998, meskipun lahirnya permasalahan pailit bersumber dari
perjanjian utang yang mengandung klausula Arbitrase, tata
cara penyelesaian yang diajuan dalam bentuk permohonan
pailit kepada pengadilan niaga adalah penyelesaian yang
berkarakter extra – ordinanry court melalui Undang – Undang
No.4 Tahun 1998, bukan tata cara penyelesaian yang bersifat
konvensional melalui gugat perdata kepada pengadilan Negeri.
16. Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam putusan MA No.
019 K/N/1999 tanggal 9 Agustus 1999, telah dikemukakan
suatu kaidah hokum yang menegaskan status hokum dan
kapasitas hokum Pengadilan Niaga yang berkarakter extra
ordinary court yang khusus menyelesaikan permohonan pailit,
tidak dapat disingkirkan kewenangannya oleh arbitrase dalam
kedudukan dan kapasitas hukumnya sebagai extra judicial.
Putusan Mahkamah Agung No. 019 K/N/1999 tanggal 9
Agustus 1999 terjadi dalam perkara antara PT. Basuki Pratama
Engineering dan PT. Mitra Surya Tata Mandiri sebagai
pemohon kasasi melawan PT. Megarimba Karyatama sebagai
termohon kasasi. Perkara bermula dari termohon yang telah
berutang pada Pemohon I sebesar US$ 584.471,00 dan Rp.
151.321.734 dengan beberapa perjanjian.
17. Adapun di tingkat Kasasi, Putusan Mahkamah Agung No.
019 K/N/1999 tanggal 9 Agustus 1999 memberikan
putusannya dengan amarnya:
Membatalklann Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
tanggal 17 Juni 1999 No. 32/Pailit/1999/PN. Niaga/Jkt.Pst.
Menyatakan PT. Megarimba Karyatama dalam keadaan
pailit
Mengangkat Balai Harta Peninggalan DKI Jakarta sebagai
curator.
Memerintahkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
mengangkat hakim pengawas.
18. Dalam permohonan kasasinya, Pemohon Kasasi telah mengemukakan
pendapatnya. Majelis Hakim Kasasi berhasil diyakinkan oleh Pemohon
Kasasi. Majelis Hakim Kasasi tidak sependapat dengan Majelis Hakim
Niaga.
Menurut penulis, Majelis Hakim Kasasi, telah memaknai utang secara luas
jelas bertentangan dengan pengertian uutang sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 1 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Menurut Majelis
Kasasi, pengertian utang yang dimaksudkan Pasal 1 ayat (1) UU no. 4
Tahun, tidak boleh terlepas dari konteksnya. Menurut penulis, Majelis
Hakim Kasasi mendasarkan pendapatnya di mana Pengadilan Niaga telah
melakukan kekeliruan dan kesalahan fatal dalam menerapkan hokum.
Dalam kasus ini, antara Majelis Hakim Pengadilan Niaga dan Majelis Hakim
Kasasi, berbeda pendapat mengenai pengertian utang. Mejelis Pengadilan
Niaga menggunakan pengertian utang yang luas, sedangkan Majelis Hakim
Kasasi menggunakan pengertian utang yang sempit.
19. Suatu perkara mengenai Permohonan Penyelenggaraan Rapat
Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Semen Padang Tbk.
terungkap dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3253
K/Pdt/2002. Kasus Semen Padang merupakan imbas dari
permasalahan setelah terjadinya perubahan pemberlakuan
system pemerintahan daerah dari system yang semula
sentralistik menjadi pemerintahan daerah yang desentralistik,
sehingga timbul gugatan-gugatan terhadap asset Negara yang
berada di daerah.
Perubahan kebijakan Pemerintah Pusat dalam mengelola
sebagian aset Negara yang ada di BUMN menjadi ke arah
privatisasi BUMN yang dianggap layak jual telah menimbulkan
banyak pro dan kontra.
20. 1. Materiil
A. Tanggung Jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas
i. Selain itu berdasarkan Pasal 82 UUPT, tugas Direksi meliputi 2 hal,
yaitu:
Menjalankan pengurusan perseran dalam kejadian sehari-hari
Menjalankan perwakilan,d alam arti mewakili perseroan dalam segala
tindakan.
ii. Selanjutnya tugas Direksi dalam perbuatan dan kejadian sehari-hari,
menurut anggaran dasar adalah:
Menandatangani saham-saham yang akan dikeluarkan, bersama-sama
Komisaris
Menyusun laporan neraca untung rugi perseroan pada akhir tahun
sebagai pertanggungjawaban Direksi, dengan menyampaikan dan
meminta untuk disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham
Melakukan pemanggilan RUPS dan memimpin RUPS
21. B. Rapat Umum Pemegang Saham.
i. Telah dikatakan di atas bahwa Direksi menjalankan tugas
kepengurusan dari perseroan. Secara luas tindakan kepengurusan
adalah segala perbuatan apapun tanpa kecuali dalam menjalankan
tujuan persekutuan.
ii. Perbuatan menjalankan pengurusan ini dibedakan atas:
Menjalankan pekerjaan pengurusan
Menjalankan pekerjaan kepemilikan atau pekerjaan
C. Hak Pemegang Saham
i. Pemegang saham merupakan pihak yang berkepentingan terhadap
perseroan dalam hal:
Berhubungan dengan dividen yang berhak diterimannya
Terhadap harga saham dalam pasaran
Memperoleh sisa harta kekayaan perseroan apabila perseroan
dilikuidasi.
22. 2. Formil
A. Prosedur Permohonan Penyelenggaraan RUPS
B. Legal Standing
C. Putusan Provisionil: Pasal 180 HIR
D. Uang Paksa (Dwangsom)
i. Definisi dan sifat uang paksa
ii. Tata cara pengajuan dan pemeriksaan hakim terhadap
tuntutan uang paksa
iii. Aspek-aspek yang dapat dijatuhi uang paksa
23. Perkara kepailitan terjadi antara IKB Deutsche
Industriebank AG. (Pemohon kasasi I, dahulu Pemohon
pailit I/Kreditor) dan Bayerische Hypo-Und Vereinsbank
AG (Pemohon Kasasi II, dahulu Pemohon Pailit II/Kreditor)
dalam Putusan Mahkamah Agung No. 030 PK/N/2001.
Para pemohon berdasarkan kondisi dan persyaratan yang
ditentukan dalam Perjanjian Kredit tersebut akan
memberikan fasilitas Kredit sebesar DEM 25,135,921.00.
Berdasarkan perjanjian kredit fasilitas kredit tersebut
digunakan oleh debitur untuk membiayai 85% dari total
nilai kontrak sebesar DEM 29,571,672.
24. Terhadap permohonan pailit tersebut Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengambil putusan,
yaitu putusannya tanggal 05 september 2001 Nomor:
037/PAILIT/2001/PN.NIAGA/JKT.PST. yang amarnya berbunyi :
Menolak permohonan para pemohon
Membebankan biaya perkara kepada pemohon sebesar Rp.
5.000.000,00 (lima juta rupiah)
Proses pembuktian perkara ini tidak dapat dilakukan secara
sederhana (vide Pasal 6 ayat (3) Undang – Undang Kepailitan) ,
tidak merupakan kesalahan berat sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 967 ayat (2) b Undang – Undang Kepailitan).
25. Suatu perkara kepailitan terjadi dalam putusan Mahkamah Agung No. 01
PK.N/2004 tanggal 23 Maret 2004 terhadap pailitanya PT Karunia Wana Ika
Wood Industrial dan Tobeng Mahatani atas permohonan pailit dari PT
Wijaya Indah Permai. Harga jual batas kayu gelondongan yang telah
diterima oleh termohon I sebagaimana diuraikan diatas sebesar US$
179.412,48 ditambah dengan DR dan IHH sebesar US$ 399.390.670 dan
harga kayu gelondongan dari DR dan IHH harus dibayarkan secara tunai
oleh Termhon I dan Permohon Pailit yaitu pada tanggal 7 November 1997.
Termohon Pailit I dan II terus menerus mencari berbagai alasan yang tidak
masuk akal yang pada intinya berusaha menghindar dari kewajiban
utangnya kepada permohon pailit. Akhirnya permohon pailit
menyampaikan surat peringatan terakhir No.277/RAW-Law Firm/VII/2003
tanggal 8 Agustus 2003 kepada termohon pailit I dan II untuk segera
menyelesaikan kewajibannya yang pada tanggal 15 Agustus 2003 sudah
sebesar US$390,790,22 yang terdiri atas :
Utang pokok US$179,412,48:
Denda keterlambatan pembayaran US$211,377,74
26. Selain itu termohon pailit I juga mempunyai utang kepada kreditor lain
yaitu :
1. PT Bank Mandiri (persero) Tbk. Sesuai dengan konfirmasi dan penegasan
dari PT Bank Mandiri No. RMN.CRY/RCR.IX/392/2003 tanggal 1 Agustus
2003
2. PT Sinarinda Buana Selaras
Di tingkat Kasasi, Majelis Hakim Kasasi memberikan putusannya dengan
putusan No. 030 K/N/2003 tanggal 20 November 2003 dengan amarnya:
1. Membatalkan putusan pengadilan Niaga pada pengadilan Negeri
Surabaya tanggal 9 Oktober 2003 No. 07/PAILIT/2003/PN.NIAGASBY;
2. Menyatakan bahwa termohon Pailit I dan termohon Pailit II mempunyai
utang yang telah jatuh tempo
3. Menyatakan termohon Pailit I PT Karunia Wana Ika Wood Industrial
dalam keadaan pailit dengan segala aibat hukumnya
4. Menyatakan termohon pailit II Tobeng Mahatani dalam keadaan pailit
dengan segala akibat hukumnya;
5. Menyatakan harta milik termohon Pailit I dan II dalam sitaan umum.