1. TELOMOYO GAGAL!!
Sudah sangat kita kenal ungkapan
yang mengatakan semua berawal dari niat,
dan kita juga paham bahwa kegagalan
adalah keberhasilan yang tertunda, meski
dalam hal ini saya tidak terlalu setuju karena
selama ini jika gagal dan kita tidak pernah
mencoba kembali maka kegagalan tidak akan
berubah menjadi kesuksesan.
Nampaknya benar bahwa teori lebih
mudah dipelajari dari pada praktek hal ini
seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi
kami yang pada satu masa menamakan diri
Fatmah Ekspedition yang harus mengalami
kegagalan di petualangan pertama dan
akhirnya menjadi petualangan terakhir yang diikuti anggota lengkap karena meskipun ditebus oleh satu
petualangan lain oleh sebagian anggota namun tetap saja kegagalan ekspedisi pertama terasa begitu
menyakitkan.
Bermula ketika memasuki masa akhir studi yaitu menyelesaikan tugas akhir skripsi. Ditengah
tekanan mental untuk segera menyelesaikan skripsi dan juga tingkah polah dosen pembimbing yang
kadang nyebeli tur maregi maka menjadi pilihan cerdas untuk sejenak refresing menyegarkan pikiran
dari kepenatan rutinitas bimbingan yang pada saat itu tidak pasti untuk sampai kapan. Pilihan pun
tertuju pada hiking ke Pegunungan Telomoyo yang terletak di perbatasan Magelang dan Kabupaten
Semarang.
Persiapan pun dilakukan dengan menyusun map perjalanan serta mencari guide sebagai
pendamping. Kita memutuskan untuk tidak membawa kendaraan dengan pertimbangan keamanan dan
dititipkan di rumah teman di Magelang setelah menempuh perjalanan 45 menit dari Kota Jogja.
Sesampainya disana, rombongan harus menyusuri jalan beraspal untuk sampai ke puncak dengan
perkiraan waktu sekitar 30 menit. Karena dianggap tidak menantang naik gunung tetapi lewat jalan
aspal maka tercetuslah ide untuk memotong jalan mencari jalan sendiri melewati rimbunan pohon,
semak dan ilalang. Setelah mendapat persetujuan termasuk dari guide dadakan maka kami pun mencari
jalan sendiri padahal itu untuk pertama kali menapak di Telomoyo dan tentu saja beresiko.
Dengan rasa percaya diri dan semangat kami melalui
jalan setapak yang nampaknya sering digunakan
penduduk sekitar. Hal ini menambah keyakinan kami
untuk tetap melanjutkan perjalanan. Naik, naik dan
terus mendaki sesekali beristirahat memandang
sekitar yang nampak indah melihat kota dari
ketinggian tidak lupa narsis untuk kenang-kenangan.
Tim semakin jauh memasuki hutan garapan
berlatar pohon pinus lengkap dengan semak ilalang
serta panas terik pertanda hari makin siang. Sampai
saat itu, kami merasa semuanya baik-baik saja jalan
setapak masih nampak jelas walau kami tidak tahu
kemana jalan ini akan berakhir. Yang pasti, kami harus tetap melaju ke atas sampai ke puncak. Akhirnya
tim terdepan mulai kehilangan jejak jalan dan berhadapan dengan sulur berduri serta ilalang rapat
rimbun terasa perih saat mengenai kulit. Tim tidak membawa peralatan apa pun hanya jacket dan tas
berisi air mineral. Kami memaksa untuk melanjutkan, ilalang itu pun kami terabas dengan hanya sepatu
2. dan jacket melindungi badan. Injak dan terus injak hanya itu yang bisa dilakukan sampai akhirnya kami
terbebas dan kembali menemukan jalan. Sebenarnya kami tidak tahu itu jalan setapak atau bukan.
Kerongkongan terasa kering, kulit terbakar matahari perih terkena alang-alang kemudian sampai
disebuah tempat yang tinggi dimana kita dapat melihat ke segala arah nun jauh di sana Pegunungan
Sindoro-Sumbing dan pemukiman penduduk nampak ramai entah daerah apa tidak begitu jelas. Tim
istirahat masing-masing menatap kosong entah apa yang dipikirkan, sejenak membayangkan seandainya
sekarang di costan waktunya pergi ke warung depan indomaret membeli makan lauk tempe dua seharga
Rp 4.000,- dan 1 ler Djarum Super disambi liat Awas ada Sule hidup terasa damai (hehe....).
Beberapa dari kami mencoba memulai mencari jalan keluar nampaknya di depan kami adalah
semak belukar liar yang mustahil kami terabas tanpa peralatan. Lainya masih terduduk terdiam
menikmati sepoi-sepoi angin pegunungan memakan bekal yang tersisa karena perut sudah terasa lapar
yaitu roti dan sriping (?). Kami tidak menemukan jalan keluar dari tempat itu kecuali turun. Kami kembali
terdiam karena sepertinya kita tidak akan pernah sampai ke puncak. Sangat disayangkan setelah
perjuangan mendaki yang tidak mudah. Mencari dan terus berusaha melewati semak belukar namun
tetap sia-sia meski puncak sepertinya sudah mulai terlihat.
Dengan pertimbangan waktu yang semakin siang belum lagi
perjalanan pulang maka dengan berat hati rombongan turun dengan tidak
mencapai puncak. Sangat kecewa, padahal jika melewati jalan beraspal
pasti hasilnya akan berbeda. Rombongan pun turun gunung membawa
perasaan dongkol meskipun menyetujui untuk segera pulang. Seperti biasa
perjalanan pulang terasa lebih cepat dan anehnya kami selalu menemukan
jalan setapak sehingga kami cepat sampai di jalan beraspal untuk kembali
pulang. Kami dalam hati tertawa ada jalan mudah namun kami pilih tidak
menggunakanya. Namun bagi kami petualangan ini akan menjadi
kenangan tak terlupakan kebersamaan yang mungkin tidak akan terulang
kembali mengingat dalam beberapa bulan setelahnya, kami dinyatakan
lulus dan menempuh jalan masing-masing. Salam untuk semua dari
Fatmah Ekspedition.(jr/march2012).
Adjie: Kebahagiaan semu (hehe...)
Imron: Sriping 4ever!!!