SlideShare a Scribd company logo
1 of 76
VVV ooo lll uuu mmm eee 000 999
EEE ddd iii sss iii KKK hhh uuu sss uuu sss HHH aaa lll aaa mmm aaa nnn 111 ––– 777 111 DDD eee nnn ppp aaa sss aaa rrr
OOO kkk ttt ooo bbb eee rrr 222 000 111 444
III SSS SSS NNN
222 222 555 222 --- 333 888 000 XXX
KKEERRTTHHAA PPEERRTTIIWWII
JJJ UUU RRR NNN AAA LLL III LLL MMM III AAA HHH MMM AAA GGG III SSS TTT EEE RRR KKK EEE NNN OOO TTT AAA RRR III AAA TTT AAA NNN UUU NNN III VVV EEE RRR SSS III TTT AAA SSS UUU DDD AAA YYY AAA NNN AAA
PPP RRR OOO GGG RRR AAA MMM SSS TTT UUU DDD III MMM AAA GGG III SSS TTT EEE RRR KKK EEE NNN OOO TTT AAA RRR III AAA TTT AAA NNN
UUU NNN III VVV EEE RRR SSS III TTT AAA SSS UUU DDD AAA YYY AAA NNN AAA
222 000 111 444
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
i
KERTHA PERTIWI
Jurnal Ilmiah Magister Kenotariatan
(Scientific Journals of The Master of Notary)
ISSN 2252 – 380 X
Volume 09 (Edisi Khusus) Periode Oktober 2014
Susunan Organisasi Pengelola
Penanggung Jawab
Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum.
Pimpinan Redaksi
I Made Tjatrayasa, SH.,MH.
Mitra Bestari
Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH.,MS.,CN.
Dewan Redaksi
Prof. R.A. Retno Murni, SH.,MH.,Ph.D.
Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum.
Dr. I Gede Yusa, SH.,MH.
Dr. Ketut Westra, SH.,MH.
Penyunting Pelaksana
Drs. Yuwono, SH.,M.Si.
Dr. I Ketut Sudantra, SH.,MH
Kadek Sarna.,SH.,M.Kn.
I Made Walesa Putra, SH.,M.Kn.
Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH.,M.Kn.
Petugas Administrasi dan Keuangan
Ni Putu Purwanti, SH.,M.Hum.
Wiwik Priswiyanti, A.Md.
I Putu Artha Kesumajaya
I Gde Chandra Astawa Widhiasa
Luh Komang Srihappy Widyarthini, SH.
I Made Suparsa
I Ketut Wirasa
I Gusti Bagus Mardi Sukmawan, Amd. Kom.
Alamat Redaksi
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana
Jl. Pulau Bali No. 1 Sanglah Denpasar
Telp. : (0361)264812. Fax (0361)264812
E-mail : notariat@fl.unud.ac.id
Website : http://www.fl.unud.ac.id/notariat/
Gambar Cover : Keindahan Alam Indonesia
Kertha Pertiwi merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan dua kali setahun ( April
dan Oktober) yang memuat informasi tentang berbagai aspek hukum Kenotariatan
dari : (1) hasil penelitian, (2) naskah konseptual/opini , (3) resensi buku, dan info
Kenotariatan actual lainnya
ii
PENGANTAR REDAKSI
Om, Swastyastu,
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa oleh karena atas perkenan dan rahkmat-Nyalah Jurnal Ilmiah Program Studi
Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana periode Oktober Tahun
2014 (Edisi Khusus) dapat diselesaikan. Disusunnya Jurnal Ilmiah Prodi M.Kn. Unud. ini
dimaksudkan untuk dapat sebagai referensi dan informasi terkait dengan berbagai persoalan
dalam bidang Hukum Kenotariatan bagi mahasiswa, dosen serta masyarakat pembaca.
Jurnal Ilmiah ini memuat beberapa artikel pilihan dari mahasiswa maupun dosen
Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana seperti terkait dengan persoalan
Implementasi Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Berkaitan Perizinan Pembangunan
Kondominium (Strata Title) Hotel Di Wilayah Kabupaten Badung, Tanggung Jawab Notaris
Dan PPAT Atas Sertifikat Tanah Yang Diserahkan Para Pihak Dalam Transaksi Pengalihan
Hak Atas Tanah, Eksekusi Obyek Jaminan Kendaraan Bermotor Dalam Perjanjian
Pembiayaan Non Bank Yang Tidak Didaftarkan Jaminan Fidusia, Perlindungan Hukum Bagi
Pemegang Hak Guna Bangunan Di Atas Hak Milik Atas Tanah Di Kabupaten Badung dan
artikel lainnya. Artikel tersebut merupakan ringkasan hasil penelitian tesis mahasiswa yang
sudah diuji dan dapat dipertahankan oleh mahasiswa dalam sidang ujian dihadapan dewan
penguji dan Guru Besar.
Dengan diterbitkannya Jurnal Ilmiah periode Oktober Tahun 2014 (Edisi Khusus) ini
diharapkan dapat sebagai bahan evaluasi penyelenggaraan pendidikan didalam mewujudkan
visi dan misi serta tujuan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Udayana. Kami juga memberikan kesempatan kepada semua pihak yang kompeten dan
pemerhati bidang Hukum Kenotariatan baik di dalam maupun di luar lingkungan Universitas
Udayana untuk berpartisipasi dalam menulis artikel ilmiah dengan tetap mentaati semua
aturan atau ketentuan yang tercantum dalam Jurnal Ilmiah ini. Akhirnya, semoga Jurnal
Ilmiah ini bermanfaat untuk semua pihak.
Om, Santih, Santih, Santih, Om.
Denpasar, Oktober 2014
Redaksi
iii
DAFTAR ISI
Hlm
Susunan Organisasi Pengelola ………………………………………………………………….. i
Pengantar Redaksi ………………………………………………………………………………. ii
Daftar isi ………………………………………………………………..................................... iii
Implementasi Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Berkaitan Perizinan Pembangunan
Kondominium (Strata Title) Hotel Di Wilayah Kabupaten Badung
Fakultas Hukum Universitas Udayana ………………………………………………………… 1
Tanggung Jawab Notaris Dan PPAT Atas Sertifikat Tanah Yang Diserahkan Para Pihak
Dalam Transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah
Fransisca Harry Gunawan ………………………………………………………………………… 13
Eksekusi Obyek Jaminan Kendaraan Bermotor Dalam Perjanjian
Pembiayaan Non Bank Yang Tidak Didaftarkan Jaminan Fidusia
Gede Ray Ardian Machini Yasa …………………….……………………………….. 24
Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan Di Atas Hak Milik Atas
Tanah Di Kabupaten Badung
Andina Dyah Pujaningrum ………………………………………………………………… 31
Tanggung Jawab Notaris Dalam Pengikatan Jaminan Deposito Berkaitan
Dengan Rahasia Bank
Luh Made Purnawati ……....………………………………………………………. 41
Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Dalam Hal Terjadinya Putusan Pengadilan
Berbeda Yang Saling Bertentangan
Gede Yuda Setiawan ……....…………….……………………………………………………. 50
Akta Jual Beli Yang Dibuat Berdasarkan Akta Notaris Yang Kecakapan Bertindak Para
Pihaknya Mengacu Pada Undang-Undang Jabatan Notaris Sebagai Dasar Pendaftaran
Peralihan Hak Atas Tanah
Miska Zulianti Goma ……....…………….……………………………………………………. 60
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 1
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2011
BERKAITAN PERIZINAN PEMBANGUNAN
KONDOMINIUM (STRATA TITLE) HOTEL
DI WILAYAH KABUPATEN BADUNG
I Made Arya Utama
I Made Walesa Putra
Kadek Sarna
Nyoman Satyayudha Dananjaya
Ayu Putu Laksmi Danyathi
(Fakultas Hukum Universitas Udayana)
ABSTRAK
Kondominium hotel (kondotel) adalah bangunan gedung bertingkat terbagi dalam bagian-bagian,
distrukturkan dalam arah horizontal maupun vertikal, merupakan satuan-satuan masing-masing dapat
dimiliki dan digunakan terpisah, dilengkapi bagian bersama, benda bersama, tanah bersama dan
difungsikan hotel.
Berlakunya UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UURS), 10 November 2011,
pengakuan tegas keberadaan rumah susun (rusun) komersial termasuk kondotel. UURS menetapkan
peryaratan ketat bagi perizinan kondotel, salah satunya kewajiban menyediakan rusun umum, masyarakat
Bali khususnya Kabupaten Badung menerima keberadaan kondotel namun ada penolakan keberadaan
rusun umum, Pemerintah Badung sendiri belum mengeluarkan peraturan daerah menerima atau menolak
keberadaan rusun umum. Permasalahan diteliti: Bagaimana implementasi UURS terkait perizinan
pembangunan kondotel di Kabupaten Badung?. Tujuan penelitian: memahami implementasi UURS dalam
perizinan pembangunan kondotel dengan target dapat memberikan solusi alternatif kepada Pemerintah
Badung mengatasi hambatan penerapan UURS serta masukan konstruktif pembentukan peraturan daerah
pelaksanaan dari UURS.
Penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis menganalisis peraturan
perizinan pembangunan kondotel. Pendekatan empiris menganalisis hukum dilihat dari perilaku
masyarakat/pemerintah daerah kabupaten yang nyata. Maka memberikan gambaran secara kualitatif
implementasi UURS berkaitan perizinan pembangunan kondotel di Kabupaten Badung.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa perizinan pembangunan kondotel di
Kabupaten Badung Provinsi Bali dilaksanakan dengan tahapan antara lain: Persetujuan Prinsip,
AMDAL/UPL-UKL, IMB, SITU-HO, Persetujuan Penggunaan Bangunan (PPB), Tanda Daftar Usaha
Pariwisata (TDUP), Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan serta Sertifikasi. Beberapa kendala yang
dihadapi antara lain: sosialisasi UURS yang belum maksimal, Beberapa ketentuan UURS masih
memerlukan peraturan pelaksanaan, Persyaratan dalam UURS untuk menyediakan rusun umum sulit
diterapkan.
Kata Kunci: Perizinan, Kondominium, Badung
IMPLEMENTATION OF LAW NO. 20/2011 RELATED TO PERMIT OF
CONDOMINIUM (STRATA TITLE) HOTEL’S DEVELOPMENT
IN DISTRICT OF BADUNG REGENCY
Researchers:
I Made Arya Utama
I Made Walesa Putra
Kadek Sarna
Nyoman Satyayudha Dananjaya
Ayu Putu Laksmi Danyathi
(Faculty of Law, Udayana University)
ABSTRACT
Condominium hotel (condotel) is a multi-storey building which is divided into some parts and structured
in horizontal and vertical direction. Each part can be use and own separately and it will be equipped with
sharing objects and ground together that is enabled as a hotel.
The application of Law No.20/2011 on the Flats (UURS) on November, 10 in 2011, the distinct
confession of the existence flats (rusun) including the commercial condotel. UURS determines the strict
condition for licensing of condotel that is providing the general flats liability especially for Balinese
people in Badung resident which accept the existence of condotel but there is denial to the existence of
general flats. Therefore, the issues will be examined is how does the implementation of UURS related to
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 2
Condotel development licensing in Badung regency? Objective of the study is to comprehend the
implementation of UURS related to Condotel development licensing by target which is provide
alternative solutions for Badung Government to overcome barriers in the implementation of UURS, to
give constructive feedback in forming local regulations as implementation from UURS.
This research is using empirical-judicial approach. Juridical approach analyzes Condotel development
licensing regulations. Meanwhile, empirical approach analyzes views by real public/local government
behaviors. Then it will give a qualitative image of the implementation UURS related to Condotel
development licensing in Badung Regency.
Based on this research showed that Condotel development licensing in Badung Regency, Province of Bali
conducted by several stages: Principle‟s Approval, The Environmental Impact Assessment (AMDAL) -
Environmental Management Scheme (UKL) / Environmental Monitoring Scheme (UPL), Building Permit
(IMB), A Location Permit (SITU-HO), Permit to Use Building (PPB), Tourism Business Registration
Certificate (TDUP), Validation of Descriptions and Deed of Separation and Certification. Some obstacles
which encountered include: unmaximized of UURS socialization, UURS provisions still required
implementation regulatory. The requirement of UURS is difficult to apply in providing a general flat.
Keywords: Licensing, Condominium, Badung
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan kondominium hotel
(kondotel) semakin marak tidak hanya di kota
besar seperti Jakarta ataupun Surabaya, namun
beberapa tahun terakhir di Bali khususnya
Kabupaten Badung telah banyak proyek
pembangunan hotel dengan konsep hak
bertingkat (strata title) ini. Perusahaan Properti
Internasional Knight Frank, mencatat
pertumbuhan kondotel di Bali sebagian besar
berada di Kabupaten Badung yaitu; di Kuta 68
%, Nusa Dua 16.3 %, dan Uluwatu 13.3 %.
Secara keseluruhan di Bali dalam semester I-
2011 telah ada total 21 proyek dan mulai
semester II-2011 ada 12 proyek kondotel baru1
.
Pemberian izin pembangunan kondotel
memiliki perbedaan dari hotel umumnya, antara
lain adanya pertelaan yang disahkan pemerintah
daerah (pemda), dimana menunjukkan batas
satuan unit kondotel, bagian bersama, benda
bersama, tanah bersama serta uraian Nilai
Perbandingan Proporsional (NPP).
Pengaturan pembangunan dan
kepemilikan kondotel menggunakan payung
hukum undang-undang rumah susun (rusun).
1
Sebastianus, 2011, Alasan Perlunya Melirik
Bisnis Kondotel!, http://www.propertidiskon.com/,
diakses tanggal 8 Desember 2011.
Dengan disahkannya Undang-Undang No.20
Tahun 2011 (UURS) tanggal 10 November
2011, angin segar bagi pelaku pembangunan
(developer) rusun komersial khususnya kondotel
dimana telah secara tegas mengakui adanya
rusun komersial, dibandingkan undang-undang
lama (UU No.16 Tahun 1985) hanya terfokus
pada rusun sederhana. Namun disisi lain
undang-undang baru, menetapkan persyaratan
lebih ketat terhadap pelaku pembangunan rusun
komersial, selain persyaratan administratif,
teknis, dan ekologis, ada syarat khusus yakni
wajib menyediakan rusun umum sekurang-
kurangnya 20% dari luas lantai rusun komersial,
yang disertai sanksi pidana bagi pelanggaran
ketentuan ini. Juga diatur tugas dan wewenang
pemerintah kabupaten antara lain perencanaan,
pengaturan, pengendalian dan pengawasan
pembangunan kondotel.
Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang diteliti
penelitian ini meliputi:
1. Bagaimana implementasi UURS dalam
pemberian izin pembangunan kondotel di
Daerah Kabupaten Badung?
2. Upaya-upaya apa yang telah atau akan
ditempuh Pemda Badung sebagai tindak
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 3
lanjut berlakunya UURS tentang Rumah
Susun?
3. Kendala-kendala apa yang dihadapi
dalam penerapan UURS terhadap
pemberian izin pembangunan kondotel di
Daerah Kabupaten Badung?
Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis, penulis berharap
hasilnya mampu memberikan sumbangan
bagi pembangunan Hukum Administrasi
Negara, Hukum Bisnis, dan Hukum Agraria
khususnya mengenai hukum rumah susun
terutama kondominium hotel.
2. Manfaat secara praktis, memberi sumbangan
pemikiran kepada semua pihak yang terkait
dalam penerapan UU No 20 Tahun 2011
berkaitan perizinan pembangunan kondotel di
Kabupaten Badung.
Metode Penelitian
Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai
dengan apa yang terdapat di dalam tujuan
penyusunan penelitian ini, metode pendekatan
yang digunakan dalam penelitian adalah
pendekatan yuridis empiris. Menurut Ronny
Hanitijo Soemitro adalah pendekatan terhadap
hukum sebagai law-in-action karena menyangkut
persoalan internal antara hukum dengan pelantara-
pelantara sosial yang lain2
. Pendekatan yuridis
empiris, yuridis untuk menganalisis berbagai
peraturan tentang perizinan pembangunan
kondotel berdasarkan undang-undang rumah
susun dan peraturan pelaksanaannya. Pendekatan
empiris untuk menganalisis hukum yang dilihat
dari perilaku masyarakat/pemerintah daerah
kabupaten yang nyata atau sesuai dengan
kenyataan. Demikian pendekatan yuridis empiris
digunakan untuk memberikan gambaran secara
kualitatif implementasi UURS berkaitan perizinan
pembangunan kondotel di Kabupaten Badung.
2
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodelogi
Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, hlm.24.
HASIL PENELITIAN
A. Perizinan Pembangunan Bangunan
Kondotel di Daerah Kabupaten Badung
1. Persyaratan Penerbitan Perizinan
terkait Izin Mendirikan Bangunan
Kondotel di Kabupaten Badung
Dalam hal penerbitan perizinan
terkait Izin Mendirikan Bangunan Kondotel
di Kabupaten Badung, ada beberapa
persyaratan perizinan yang harus dipenuhi
dahulu antara lain:
a. Persetujuan Prinsip
Pada Kantor Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu (BPPT) pengurusan
persetujuan prinsip ditangani oleh bidang
Pelayanan Ekonomi Kesejahteraan Rakyat
dan Non Perizinan. Berdasarkan wawancara
tanggal 5 Juli 2013 dengan A.A. Gede
Rahmadi,S.H. Kepala Bidang Pelayanan
Ekonomi Kesejahteraan Rakyat dan Non
Perizinan di Kantor BPPT Badung,
menurutnya keberadaan Undang-Undang No
20 Tahun 2011 (UURS) belum banyak
diketahui, termasuk dalam pengurusan
perizinan kondotel, dalam hal ini terkait
pengurusan Persetujuan Prinsip.
Menurut Ir. I Nyoman Suardana,
Kepala Bidang Sarana Pariwisata, Dinas
Pariwisata Kabupaten Badung (wawancara
16 Juli 2013), menyebutkan Kabupaten
Badung menerima keberadaan kondotel
untuk hotel (kondotel) namun bukan
kondominium untuk hunian atau rumah
susun umum. Ada beberapa alasan belum
dapat disetujuinya kondominium untuk
hunian atau rumah susun umum yaitu antara
lain: adanya hunian bertingkat (rusun umum)
mengakibatkan wilayah di Kabupaten
Badung terlihat menjadi kumuh, selain itu
kurangnya pendapatan asli daerah mengingat
merupakan wilayah pariwisata, dan
keberadaannya dapat mengganggu kesucian
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 4
wilayah seperti kehidupan dirusun umum
menjemur pakaian di depan kamar (apalagi
dikamar atas) hal ini dianggap melanggar
adat kebiasaan maupun mengganggu nilai
religius di Bali. Senada dengan A.A. Gede
Rahmadi, menurut I Nyoman Suardana,
menyebutkan mengenai keberadaan UURS
yang baru bahwa sampai dengan Bulan Juli
2013 belum ada sosialisasi terhadap UURS
yang baru.
Untuk Wilayah Kabupaten Badung
persyaratan dikeluarkannya persetujuan
prinsip mendirikan kondotel adalah sama
seperti dalam pembangunan hotel, antara
lain: Surat Permohonan berserta Data Usaha
Kondotel yang direncanakan akan dibangun,
KTP/Surat Keterangan Domisili, Surat
Pernyataan Penyanding, Surat Pernyataan
Kebenaran Data, Bukti
Kepemilikian/Penguasaan hak atas tanah,
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang
(SPPT), Akta Pendirian Perusahaan bagi
yang berbadan hukum;, Gambar Rencana
Bangunan, dan Peta Lokasi Bangunan.
Setiap pembangunan yang
dilakukan dalam suatu negara harus terarah,
supaya terjadi keseimbangan, keserasian
(keselarasan), berdaya guna, berhasil guna,
berbudaya, dan berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
berkeadilan. Untuk itu perlu disusun suatu
rencana yang disebut rencana tata ruang.
Rencana tata ruang ada yang bersifat
nasional, artinya meliputi bidang nasional,
ada pula yang hanya berlaku untuk wilayah,
atau regional tertentu3
.
Pada Bidang Perencanaan
Pembangunan Fisik Bappeda Badung yang
membawahkan salah satunya adalah Sub
Bidang Perencanaan Pembangunan Tata
Ruang. Sub Bidang Perencanaan
3
Adrian Sutedi, Op.cit, hlm 205.
Pembangunan Tata Ruang bertugas antara
lain mengkoordinasikan kegiatan
perencanaan pembangunan di bidang tata
ruang, sehingga pada pengurusan perizinan
persetujuan prinsip kondotel di Kabupaten
Badung kesesuian dengan rencana tata ruang
Kabupaten Badung juga disyaratkan pada
tempat berdirinya kondotel tersebut.
Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten (RTRWK) Daerah Tingkat II
Badung diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Badung No 29 Tahun 1995, yang
memiliki jangka waktu selama 10 (sepuluh)
tahun. Kedudukan RTRWK merupakan
dasar penyusunan Rencana Detail Tata
Ruang Kawasan. Kabupaten Badung telah
memiliki Rencana Detail Tata Ruang
masing-masing Kecamatan di Badung yakni:
1) Keputusan Bupati Badung No
1045 Tahun 2004 tentang
Rencana Detail Tata Ruang
Kecamatan Abiansemal (telah
berakhir masa berlakunya).
2) Keputusan Bupati Badung No
533 Tahun 2004 tentang Rencana
Detail Tata Ruang Kecamatan
Mengwi. RDTRini berlaku dari
tahun 2004 sampai dengan 2014,
sehingga masih masa berlaku 1
tahun.
3) Keputusan Bupati Badung No
637 Tahun 2003 tentang Rencana
Detail Tata Ruang Kecamatan
Kuta Utara (telah berakhir masa
berlakunya).
4) Keputusan Bupati Badung No
638 Tahun 2003 tentang Rencana
Detail Tata Ruang Kecamatan
Kuta(telah berakhir masa
berlakunya).
5) Keputusan Bupati Badung No
639 Tahun 2003, Rencana Detail
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 5
Tata Ruang Kecamatan Kuta
Selatan (berakhir masa
berlakunya).
6) Keputusan Bupati Badung No 74
Tahun 2000, Rencana Detail Tata
Ruang Kecamatan Petang (telah
berakhir masa berlakunya).
Sejak dikeluarkannya Peraturan
Presiden No 45 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan, Denpasar, Badung, Gianyar
dan Tabanan (Perpres Sarbagita),
Pedoman Pemanfaatan Ruang Rencana
Tata Ruang Kota Wilayah Badung
adalah menurut ketentuan Perpres
Sarbagita tersebut. Ketentuan dalam
peraturan daerah tentang rencana tata
ruang wilayah provinsi, peraturan
daerah tentang rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota dan peraturan
daerah tentang rencana rinci tata ruang
beserta peraturan zonasi yang telah ada
dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Peraturan
Presiden ini.
Namun ketentuan Perpres
Sarbagita untuk Wilayah Badung hanya
mencakup 5 (lima) wilayah kecamatan,
meliputi: Kecamatan Abiansemal,
Kecamatan Mengwi, Kecamatan Kuta
Utara, Kecamatan Kuta, dan Kecamatan
Kuta Selatan.
Setelah dipenuhinya seluruh
persyaratan penerbitan persetujuan
prinsip kondotel, Kepala BPPT
Kabupaten Badung atas nama Bupati
Badung dapat menandatangani
persetujuan prinsip kondotel tersebut.
Persetujuan prinsip berlaku selama 1
(satu) tahun sejak ditetapkan.
b. Rekomendasi Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL), Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) /
Upaya Pengelolaan Lingkungan
(UKL)
Dalam Undang-Undang No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
pemerintah kabupaten/kota memiliki
tugas dan wewenang terhadap
perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup diantaranya adalah
menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai AMDAL dan UKL-
UPL. Sebagai salah satu instrumen
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung,
Badan Lingkungan Hidup Kabupaten
Badung memiliki visi untuk
mewujudkan kelestarian fungsi
lingkungan hidup dalam menunjang
pembangunan berwawasan lingkungan
yang dijiwai Tri Hita Karana.
Demikian halnya
Pembangunan Kondotel harus
memperhatikan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dengan
kewajiban memiliki Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL) atau Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) / Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL).
Menurut I Wayan Putrayadya,
SKM, Msi, Kasubid Amdal dan
UKL/UPL Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten Badung (wawancara tanggal
17 Juli 2013), menyebutkan data
kondotel yang telah memiliki
rekomendasi UKL/UPL pada tahun
2011 yaitu ada 16 unit dan tahun 2013
sejumlah 17 unit. Dan terhitung seluruh
proyek pembangunan kondotel di
Badung adalah memenuhi kriteria UKL-
UPL sedangkan AMDAL tidak ada.
Persyaratan yang harus
dipenuhi dalam pengajuan AMDAL/
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 6
UKL/UPL kondotel di Wilayah Badung,
antara lain: Surat Permohonan; Surat
Pernyataan Kebenaran Dokumen,
Persetujuan Prinsip, Identitas Diri, Surat
Pernyataan Pembanding, Surat Kuasa
(pemilik tanah berbeda), Surat Status
Lahan, Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang, Pengesahan Badan Hukum
Perusahaan (berbadan hukum), NPWP,
Denah Lokasi, Foto Lokasi, Site Plan,
Rencana Denah, Gambar dan Potongan
Pengelolaan Limbah, Denah/Letak
Pengolahan Limbah dan Lubang
Resapan Biopori, Surat Kuasa dari
Pemrakarsa kepada Konsultan dan CV
Konsultan Penyusun Dokumen.
Setelah surat permohonan
beserta seluruh kelengkapannya
diterima, apabila telah disetujui hasil
evaluasi teknis oleh Tim Pemeriksa
Dokumen dapat dikeluarkan
rekomendasi yang ditandatangani oleh
Kepala Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten Badung.
2. Pemberian IMB Kondotel di Daerah
Kabupaten Badung
Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
adalah izin yang diberikan dalam melakukan
kegiatan membangun dalam rangka
pemanfaatan ruang dan penataan bangunan
sesuai dengan peruntukannya. Izin ini bisa
diterbitkan bila rencana bangunan dinilai
telah memenuhi persyaratan dari beberapa
aspek, yaitu aspek pertanahan, planologis,
teknis, kesehatan, kenyamanan, dan
lingkungan.4
a. Persyaratan Pengurusan IMB
Kondotel
4
Yanuar Arifin, 2013, Panduan Lengkap
Mengurus Dokumen Properti, Tanah dan Bangunan,
Divapress, Yogyakarta, hlm 123.
Menurut I Gusti Ngurah Made
Suardika, S.T.,M.T., Kepala Bidang
Pelayanan Perizinan Pemerintahan dan
Pembangunan BPPT Kabupaten Badung
(wawancara tanggal 12 Juli 2013),
menyebutkan permohonan IMB
diajukan kepada Bupati melalui BPPT.
Permohonan IMB dapat
meliputi bangunan gedung atau bukan
bangunan gedung, sedangkan IMB
kondotel tergolong dalam bangunan
gedung. Ada beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi dalam mengajukan IMB
kondotel. Permohonan IMB kondotel
dengan melampirnya antara lain:
Melampirkan Informasi Tata Ruang
(ITR), Membuat Surat Kuasa Mengurus
IMB (bila yang mengurus diwakilkan);,
Melampirkan Izin Prinsip dan
Rekomendasi UKL/UPL untuk
permohonan peruntukan, Photo copy
KTP pengaju izin, Photo copy
Kepemilikan Lahan (SHM /SHGB
/SHPB; Pipil; Akta Sewa; Akta Jual
Beli), Pendukung Kepemilikan Lahan
lainnya (Kartu Keluarga; Silsilah, Surat
Keterangan Ahli Waris, Surat Kuasa
Waris Surat Keterangan Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang), Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT),
Surat Kuasa Mengatasnamakan IMB,
Akta Perusahaan, Akta/Perjanjian
Kerjasama (dengan perubahannya
/pemindahannya), Surat Pernyataan
/Pendukung lainnya (bila diperlukan,
seperti: Pengemong Pura,
Pekaseh/Subak dll), dan Gambar-
gambar (Peta lokasi; Site Plan; Rencana
Denah; Tampak; Potongan; Gambar
Portal; Septick tank; Pagar)
Permohonan IMB yang sudah
lengkap dan benar diterima petugas
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 7
BPPT, akan dihitung biaya/retribusi
IMB-nya dan diperiksa kelapangan oleh
petugas bersama penyelenggara kondotel
sesuai dengan jadwal yang dibuat,
permohonan tersebut akan diproses
setelah memenuhi syarat.
IGA Ngurah Arinda Trisnawati,
ST, (Penata Tk I) Kepala Seksi Izin
Bangunan, Dinas Cipta Karya Kabupaten
Badung (Wawancara tanggal 20 Agustus
2013) menyebutkan proses pengurusan
untuk IMB kondotel sama halnya dengan
proses pengurusan IMB hotel karena
akan beroperasional sebagai hotel.
b. Kewenangan Penerbitan IMB
Kondotel di Kabupaten Badung
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 maupun undang-undang
yang digantikan (UU No 22 Tahun
1999) tentang Pemerintahan Daerah
telah menggariskan paradigma baru
dalam prinsip penyelenggaraan
pemerintahan daerah, dari prinsip
otonomi nyata dan bertanggung jawab
pada UU No 5 Tahun 1974 menjadi
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
UU No 32 Tahun 2004 maupun UU No
22 Tahun 1999 telah memberikan
kewenangan kepada Pemerintah Daerah
untuk mengatur dan mengurus semua
urusan pemerintahan, kecuali yang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat. 5
Kabupaten Badung sejak
tanggal 1 Mei 2012 seluruh pengurusan
izin dibuat dengan satu pintu,
Pemerintah Kabupaten Badung telah
mengoperasikan instansi baru yaitu
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
(BPPT). Tujuan BPPT adalah agar
perlayanan perizinan bisa
5
I Made Arya Utama, 2007, Hukum
Lingkungan, Pustaka Sutra, Bandung, hlm 1.
dimaksimalkan, yang memudahkan
koordinasi baik petugas maupun
pemohon izin sehingga diharapkan
mempermudah, memperlancar serta
mempercepat pelayanan, seperti
dijelaskan oleh Ir. I Nyoman Suardana,
Kepala Bidang Sarana Pariwisata, Dinas
Pariwisata Kabupaten Badung
(wawancara 16 Juli 2013).
3. Perizinan lainnya terkait
Pembangunan Kondotel di Badung
a. Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan
Izin Undang-undang Gangguan
(Hinder Ordonnantie/HO)
Berdasarkan Pasal 1 Angka 9
Peraturan Daerah Kabupaten Badung
No 9 tahun 2010, dimaksud dengan
Tempat Usaha adalah tempat untuk
melakukan usaha yang dijalankan secara
teratur dalam suatu bidang usaha
tertentu dengan maksud untuk mencari
keuntungan. Pasal 1 Angka 11 Peraturan
Daerah ini, mengartikan Izin Gangguan
adalah pemeberian izin tempat
usaha/kegiatan kepada orang pribadi
atau badan di lokasi tertentu yang dapat
menimbulkan bahaya, kerugian dan
gangguan, tidak termasuk tempat
usaha/kegiatan yang telah ditentukan
Pemerintah Pusat/Daerah.
Untuk memperoleh Izin SITU-
HO, penyelenggara kondotel di
Kabupaten Badung harus mengajukan
permohonan SITU-HO dengan
melampirkan: Gambar Lokasi Tempat
Usaha, Uraian Rencana Kegiatan Usaha,
Peryataan tidak keberatan dari tetangga
menyebelah dari tempat usaha, Kartu
Tanda Penduduk (KTP), Status tempat
yang dipakai Tempat Usaha, IMB,
Persetujuan Prinsip, Dokumen Amdal
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 8
atau UPL-UKL, Surat Keterangan WNI
(bagi warga keturunan asing), Akta
Pendirian Perusahaan (bagi Perusahaan
yang berbadan hukum) dan Neraca.
Setelah permohonan diterima
lengkap, akan dilakukan pemeriksaan
oleh Tim SITU-HO, berdasarkan Berita
Acara Pemeriksaan dari Tim SITU-HO,
Bupati Badung dapat memberikan izin
SITU-HO kepada penyelenggara
kondotel.
b. Izin Layak Huni (ILH)/Izin
Penggunaan Bangunan (IPB)
/Persetujuan Penggunaan Bangunan
(PPB)
Wawancara pada tanggal 12
Agustus 2013 dengan I Nyoman
Suparna, Bagian Pelayanan Ekonomi
Kesejahteraan Rakyat dan Non
Perizinan di Kantor Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu (BPPT),
menggungkapkan bahwa setelah
penyelenggara kondotel menyelesaikan
pembangunan keseluruhan, maka wajib
mengajukan permohonan Persetujuan
Penggunaan Bangunan ke BPPT dengan
melengkapi persyaratan: Identitas diri
(KTP, Akta Perusahaan, NPWP), IMB,
Rekomendasi Pemakaian/Pemasangan
alat dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kabupaten Badung (Alat pemadam
kebakaran beserta instalasinya, Genset,
Intalasi lift, elevator, Alat penangkal
petir beserta pentanahannya, Instalasi
listrik, panel, jaringan PLN masuk ke
gedung dan pembangkit listrik lainnya,
Instalasi alat keselamatan lainnya, Ketel
uap dan Instalasi gas/tabung gas),
Gambar As Build Drawing (gambar
terlaksana) Arsitektur, Konstruksi,
Plumbing, Tangga Darurat, Ram, dan
Mekanikal Eletrikal yang telah
ditandatangani oleh Pemilik, Perencana,
Pengawas dan Pelaksana Konstruksi,
Perhitungan struktur yang dilegalisir
oleh pemilik, pengawasan, pelaksana
(kontraktor), Rekomendasi UPL/UKL,
AMDAL, Izin Pengambilan Air Bawah
Tanah (ABT) dan rekening pembayaran
PDAM, Izin Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik Untuk Kepentingan Sendiri
(IUKS) dari Dinas Cipta Karya
Kabupaten Badung, Gambar sistem jalur
evakuasi darurat dengan tangga darurat
dan Perjanjian kerjasama antara pemilik
dengan pengelola.
Izin persetujuan penggunaan
bangunan dikeluarkan BPPT dengan
ditandatangani oleh Kepala BPPT
Badung atas nama Bupati Badung, yang
berlaku selama 5 (lima) tahun sejak
dikeluarkan dan harus diperpanjang
sesuai kondisi bangunan mengacu pada
ketentuan berlaku.
c. Tanda Daftar Usaha Pariwisata
(TDUP)
Peraturan Bupati No 13 Tahun 2012
Tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha
Pariwisata, Pasal 1 Angka 19 menjelaskan,
TDUP merupakan dokumen resmi yang
membuktikan bahwa usaha pariwisata yang
dilakukan oleh pengusaha telah tercantum di
dalam Daftar Usaha Pariwisata.
Berdasarkan wawancara dengan Ir.
I Nyoman Suardana, Kepala Bidang Sarana
Pariwisata, Dinas Pariwisata Kabupaten
Badung, izin usaha hotel kondotel ini
diajukan setelah proses pembangunan 100 %
selesai dengan melampirkan antara lain:
Salinan Persetujuan Prinsip, Identitas
Pemohon, IMB, Rekomendasi Amdal/UPL-
UKL, SITU/HO, Akta Perusahaan, PPB, dan
Denah Lokasi.
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 9
Atas permohonan TDUP kondotel,
Tim BPPT Kabupaten Badung mengadakan
peninjauan dan pengecekan. Dengan
terpenuhi seluruh persyaratan, BPPT dapat
mengeluarkan izin TDUP kepada
penyelenggara kondotel yang ditandatangani
Kepala BPPT atas nama Bupati Badung.
d. Proses Pengesahan Pertelaan dan
Akta Pemisahan serta Sertifikasi
Pertelaan merupakan suatu
penunjukan batas masing-masing satuan
rumah susun (unit/lot), bagian bersama,
benda bersama, tanah bersama beserta
nilai perbandingan proporsionalnya
dalam bentuk gambar dan uraian.
Pertelaan (detail of division)
disusun/dibuat oleh penyelenggara/
developer dan harus disahkan oleh
instansi yang berwenang dalam hal ini
adalah pemerintah daerah tempat
bangunan berada. Untuk sampai pada
tahap pengesahan harus dilalui suatu
proses, seberapa lama proses
berlangsung sudah ada ketentuan yang
pasti biasanya ditentukan oleh masing-
masing pemerintah daerah setempat.6
Sedangkan Akta Pemisahan
seperti disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah No 4 Tahun 1988 tentang
Rumah Susun, diartikan sebagai tanda
bukti pemisahan rumah susun atas
satuan-satuan rumah susun, bagian
bersama, benda bersama dan tanah
bersama dengan pertelaan yang jelas
dalam bentuk gambar, uraian dan batas-
batasnya dalam arah vertikal dan
horizontal yang mengandung nilai
perbandingan proporsional.
6
Imam Kuswahyono, 2003, Hukum Rumah Susun
Suatu Bekal Pengantar Pemahaman, Bayumedia,
Malang, Hlm 41.
Wawancara pada tanggal 13
Agustus 2013 bersama I Wayan
Budayasa, A.Ptnh, Kepala Seksi Survei,
Pengukuran dan Pemetaan Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten Badung
menyebutkan, setelah memperoleh
kelengkapan semua izin pembangunan
kondotel selanjutnya pengembang harus
membuat pertelaan. Berdasarkan
pertelaan itu selanjutnya dapat
dipisahkan satuan-satuan unit kondotel,
dan pemisahan satuan-satuan unit
kondotel secara hukum dilakukan
dengan cara membuat akta pemisahan. I
Wayan Budayasa, A.Ptnh
menambahkan, bahwa pertelaan dan
akta pemisahan dibuat sepenuhnya oleh
penyelenggaran kondotel, Badan
Pertanahan (BPN) Badung tidak terlibat
dalam pembuatannya. Sehingga
nantinya pada saat pengeluaran
sertifikat Hak Milik Satuan Kondotel
BPN hanya mengutip luasan yang ada
pertelaan dan akta pemisahan.
Pertelaan dan Akta Pemisahan
yang telah disahkan pemerintah daerah
(Bupati) akan dilakukan pendaftaran
untuk memperoleh sertifikat Hak Milik
Atas Satuan Unit Kondotel. Instansi
yang menerbitkan sertifikat hak milik
atas satuan kondotel di wilayah
Kabupaten Badung adalah Kantor
Pertanahan Kabupaten Badung dengan
sertifikat atas nama penyelenggara
pembangunan.
Sebagai tanda bukti hak,
dikeluarkan sertifikat hak milik atas
satuan kondotel yang terdiri dari:
salinan buku tanah, salinan surat ukur
tanah bersama, gambar denah satuan
kondotel terdiri atas (Gambar denah
satuan kondotel, gambar denah lantai
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 10
menunjukkan secara jelas lokasi satuan
yang dimaksud terhadap satuan-satuan
lainnya), dan Pertelaan mengenai
besarnya bagian hak atas bagian
bersama, benda bersama dan tanah
bersama sebagaimana dalam buku
tanah.
B. Sinkronisasi Produk Hukum terkait
Penerbitan IMB Kondotel dengan UURS
dalam Perizinan Pembangunan Kondotel
di Kabupaten Badung
1) Persetujuan Prinsip
Persetujuan Prinsip dalam
pembangunan kondotel di Kabupaten
Badung tidak diatur dalam UURS, hanya
saja termasuk dalam persyaratan
administratif bahwa pelaku
pembangunan harus mendapatkan izin
dari Bupati mengenai rencana fungsi dan
pemanfaatannya.
Pasal 29 UURS menyebutkan
bahwa pelaku pembangunan rumah
susun (termasuk kondotel) harus
membangun rusun dan lingkungannya
sesuai dengan rencana fungsi dan
pemanfaatannya. Rencana fungsi dan
pemanfaatannya harus mendapat izin dari
bupati. Permohonan izin ini diajukan
oleh pelaku pembangunan dengan
melampirkan persyaratan: Sertifikat hak
atas tanah, Surat keterangan rencana
kabupaten/kota, Gambar rencana tapak,
Gambar rencana arsitektur yang memuat
denah, tampak, dan potongan rumah
susun yang menunjukkan dengan jelas
batasan secara vertikal dan horizontal
dari kondotel, Gambar rencana struktur
beserta perhitungannya, Gambar rencana
yang menunjukkan dengan jelas bagian
bersama, benda bersama, dan tanah
bersama; dan Gambar rencana utilitas
umum dan instalasi beserta
perlengkapannya.
Pedoman permohonan izin
rencana fungsi dan pemanfaatan serta
perubahannya diatur dengan peraturan
menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai
permohonan izin rencana fungsi dan
pemanfaatan diatur dengan peraturan
daerah.
Apabila melihat persyaratan
yang diperlukan dalam mengajukan
persetujuan prinsip kondotel di
Kabupaten Badung, beberapa ketentuan
memiliki kesamaan terhadap izin
rencana fungsi dan pemanfaatan namun
masih diperlukan kembali dipenuhinya
persyaratan lainnya agar sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang seperti
Surat keterangan rencana kabupaten
serta beberapa gambar perencanaannya.
2) Izin Layak Huni (ILH)/Izin
Penggunaan Bangunan (IPB)
/Persetujuan Penggunaan Bangunan
(PPB)
Pasal 35 UURS mengatur
mengenai persyaratan teknis
pembangunan rumah susun (termasuk
kondotel) yang terdiri atas:
a. Tata bangunan yang meliputi
persyaratan peruntukan lokasi serta
intensitas dan arsitektur bangunan;
dan
b. Keandalan bangunan yang meliputi
persyaratan keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kemudahan.
Persyaratan teknis pembangunan
rusun UURS ini tercermin pada
Persetujuan Penggunaan Bangunan
(PPB) dalam pembangunan kondotel di
Kabupaten Badung yaitu mengenai
keandalan bangunan serta Izin
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 11
Mendirikan Bangunan (IMB) kondotel di
Kabupaten Badung khususnya mengenai
Tata bangunan.
Sementara itu UURS tidak
mengenal adanya PPB hanya saja Pasal
39 UURS mewajibkan pelaku
pembangunan mengajukan permohonan
sertifikat laik fungsi kepada
bupati/walikota setelah menyelesaikan
seluruh atau sebagian pembangunan
rumah susun sepanjang tidak
bertentangan dengan IMB. Pemerintah
daerah menerbitkan sertifikat laik fungsi
setelah melakukan pemeriksaan kelaikan
fungsi bangunan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Pada penjelasan
UURS, yang dimaksud dengan “laik
fungsi” adalah berfungsinya seluruh atau
sebagian bangunan rusun yang dapat
menjamin dipenuhinnya persyaratan tata
bangunan dan keandalan bangunan
sesuai dengan fungsi yang ditetapkan
IMB.
IGA Ngurah Arinda Trisnawati,
ST, (Penata Tk I) Kepala Seksi Izin
Bangunan, Dinas Cipta Karya Kabupaten
Badung, menyebutkan bahwa sertifikat
laik fungsi diatur menurut Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Republik
Indonesia No.25/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Sertifikasi Laik Fungsi
Bangunan Gedung, sedangkan di
Kabupaten Badung belum menggunakan
sertifikat laik fungsi tersebut. Namun
dalam hal kelayakan bangunan kondotel
telah terpenuhi serta persyaratan tata
bangunan dan keandalan bangunan
sesuai dengan fungsi yang ditetapkan
IMB maka penyelenggara wajib
mengurus Persetujuan Penggunaan
Bangunan (PPB). Demikian pengurusan
PPB salah satunya mengacu juga pada
ketentuan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Republik Indonesia
No.25/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Sertifikasi Laik Fungsi Bangunan
Gedung.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Perizinan pembangunan kondotel di
Kabupaten Badung Provinsi Bali
dilaksanakan dengan tahapan yaitu;
Persetujuan Prinsip Kondotel,
Rekomendasi Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL), Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) / Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL)
Kondotel, Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) Kondotel, Surat Izin Tempat
Usaha (SITU) dan Izin Undang-undang
Gangguan (Hinder Ordonnantie/HO)
Kondotel, Izin Layak Huni (ILH)/Izin
Penggunaan Bangunan (IPB)/
Persetujuan Penggunaan Bangunan
(PPB) Kondotel, Tanda Daftar Usaha
Pariwisata (TDUP) Kondotel, serta
Pengesahan Pertelaan dan Akta
Pemisahan serta Sertifikasi.
2. Implementasi Undang-Undang No 20
Tahun 2011 terkait Perizinan
Pembangunan Kondotel beserta
beberapa kendala yang diahadapi antara
lain:
a. Sosialisasi yang belum maksimal
sehingga keradaan UURS belum
diketahui secara baik oleh pegawai
perizinan maupun khalayak umum.
b. Beberapa ketentuan UURS masih
memerlukan peraturan pelaksanaan.
c. Persyaratan dalam UURS untuk
menyediakan rusun umum dalam
setiap pembangunan Kondotel yang
sulit diterapkan di Badung.
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 12
d. Pengurusan pertelaan dan akta
pemisahan diserahkan sepenuhnya
kepada penyelenggara sehingga
menimbulkan kemungkinan
perbedaan pengukuran antara
penyelenggara dengan BPN.
Saran
1. Perlunya sosialisasi keberadaan UURS
sesuai dengan hirarkinya dalam UURS
dilakukan dari pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten sehingga
masyarakat lebih mengetahui
keberadaan UURS. Dengan
diketahuinya keberadaan UURS
mengakibatkan undang-undang tersebut
dapat diterapkan lebih efektif, mencegah
terjadinya pelanggaran serta
mempermudah koordinasi antara
instansi pemerintah terkait, dalam
perizinan pembangunan kondotel.
2. Perlunya peraturan pelaksanaan UURS
termasuk dalam peraturan daerah atau
peraturan bupati yang sesuai dengan
ketentuan dalam UURS. Beberapa
ketentuan sesuai UURS yang masih
perlu diatur lebih lanjut antara lain,
kewajiban ketersediaan rusun umum,
keberadaan izin rencana fungsi
pemanfaatan dan sertifikat laik fungsi
serta ketentuan di luar UURS namun
mendukung perizinan pembangunan
kondotel seperti peraturan RDTR.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Yanuar, 2013, Panduan Lengkap Mengurus Dokumen Properti, Tanah dan Bangunan, Divapress,
Yogyakarta
Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta.
Arya Utama, I Made, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Bandung.
Koeswahyono, Imam, 2004, Hukum Rumah Susun, Suatu Bekal Pengantar Pemahaman, Edisi Pertama,
Bayumedia Publishing, Malang.
Sebastianus, 2011, Alasan Perlunya Melirik Bisnis Kondotel!, http://www.propertidiskon.com/, diakses
tanggal 8 Desember 2011.
Soemitro, Ronny Hanitijo, 1994, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia.
*****
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 13
TANGGUNG JAWAB YURIDIS NOTARIS PPAT SEBAGAI
PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN TERHADAP
SERTIFIKAT TANAH YANG DISERAHKAN PARA PIHAK
Oleh
Fransisca Harry Gunawan*, I Gusti Ayu Agung Ariani**, I Ketut Wirawan***
Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana
E-mail: sisca.harry@gmail.com
ABSTRACT
There are numbers of PPAT Notary known to be entangled in embezzlement cases these days, such cases
are often related to land certificates trusted by various parties. Within the regulations of PPAT Notary, one
would not find any writings which justify PPAT Notary to receive and keep in his/her possession land
certificates handed by the clients in land rights diversion transaction. On the other hand, Article 97 verse
(1) and verse (2) jo. Article 103 Verse (1) and verse (2) PP. No 24 year 1997 regulated that PPAT Notary
is entitled to enclose original copy of the certificate during the time of certificate‟s evaluation and name
changing process.
This particular research showed that PPAT Notary is not entitled to receive and stash land‟s certificate
given by the clients, henceforth PPAT Notary must provide Letter of Documents‟ Acceptance as evidence
to guarantee the legitimacy of such transaction. If a PPAT Notary intentionally embezzled this particular
land‟s certificate, he/she will be deemed morally responsible and may be asked to face civil, criminal
and/or administrative prosecutions.
Keywords: Notary PPAT‟s responsibilities, embezzlement, land‟s certificate, diversion.
*Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan T.A 2011/2012
**Pembimbing I
***Pembimbing II
I. Pendahuluan
A.Latar belakang Masalah
Notaris PPAT mengambil peran penting
dalam memberikan perlindungan hukum dan
kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat
yaitu dengan memberikan pelayanan terkait
dengan tugas dan kewajiban Notaris PPAT.
Menurut pasal (1) angka 1, 2, dan 3 jo. Pasal 6
point f Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut
PP No. 37 tahun 1998), Notaris PPAT adalah
pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Untuk menjalankan perintah jabatannya,
Notaris PPAT bertindak berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut
UUJN), dan PP No. 37 tahun 1998 sebagai dasar
hukum serta kode etik Notaris dan kode etik
PPAT sebagai landasan moral. Menurut P.L Wery
profesi jabatan Notaris PPAT adalah:
“Persoonlijke kwaliteiten of ambtelijke
hoedanigheid” atau “kualitas pribadi dalam
kapasitas resmi” yang artinya profesi jabatan
Notaris PPAT adalah bidang pekerjaan yang
dilandasi keahlian untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya atas jabatan mereka.1
Sejak dahulu, masih banyak orang yang
melakukan transaksi jual beli hanya dengan cara
lisan tetapi tentunya hal ini hanya untuk transaksi
cash and carry yang bernilai kecil.Untuk transaksi
besar seperti transaksi pengalihan hak atas tanah,
tetap perlu untuk dilakukan pencatatan.Dalam hal
inilah urgensi peran Notaris PPAT semakin
menonjol, dimana Notaris PPAT dapat dikatakan
sebagai pemberi jasa untuk menuliskan transaksi
tersebut. Menuliskan dalam hal ini bukanlah
hanya sekedar sebagai „tukang‟ atau „juru‟ tulis,
melainkan perpaduan dari keilmuan, dan keahlian
(kemahiran) dalam lingkup profesional.2
Seorang subjek hukum yang memiliki hak
atas tanah dapat melakukan perbuatan
kepengurusan dan kepemilikan terhadap tanah hak
miliknya.3
Untuk mengalihkan hak atas tanah
melalui suatu perbuatan hokum(misalnya adalah
jual beli), setelah para pihak yaitu penjual dan
1
P.L Wery, 2003, Hoofdzaken Maatschap ,
Vennootschap Onder Firma En Commanditaire
Vennootschap, Kluwer, Deventer, hal. 78
2
Habib Adjie, 2011, Merajut Pemikiran
dalam Dunia Notaris & PPAT, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal.45
3
K. Wantjik Saleh, 1977, Hak Anda Atas
Tanah, Cet. V, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 15.
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 14
pembeli sepakat untuk mengadakan transaksi jual
beli maka perjanjian jual beli atas tanah tersebut
harus dilakukan dihadapan Notaris PPAT.
Tujuannya adalah untuk menjamin kepastian
hukum atas transaksi jual beli tanah tersebut.
Sebelum penandatanganan akta jual beli atas
tanah dilangsungkan, keberadaan sertifikat atas
tanah tersebut (selanjutnya disebut sertifikat
tanah) harus di cek terlebih dahulu ke Badan
Pertanahan Nasional (BPN) sesuai dengan Pasal
97 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(selanjutnya disebut PP no. 24 tahun 1997) jo.
pasal 54 ayat (1) Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006
Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(selanjutnya disebut Peraturan Kepala BPN
Nomor 1 Tahun 2006). Namun, Wewenang
Notaris sebagaimana yang termuat dalam Pasal 15
ayat (1), (2), dan (3) UUJN serta wewenang
PPAT berdasarkan Pasal 2 PP No.37 tahun 1998
tidak menunjukkan secara tegas mengenai
kewenangan NotarisPPAT untuk menerima titipan
dokumen dari para pihak yang menghadap
kepadanya.
Untuk proses pengecekan sertifikat, biasanya
para pihak sepakat untuk menyerahkan sertifikat
tanah tersebut kepada Notaris PPAT yang
dipercaya untuk membantu mereka dalam
melangsungkan transaksi pengalihan hak dengan
menerima tanda terima penyerahan sertifikat
tanah yang dikeluarkan oleh Notaris PPAT.
Setelah BPN menyatakan bahwa benar tanah
tersebut adalah Hak Milik dari si penjual dan
tidak merupakan jaminan atau sedang dalam
sengketa, maka transaksi tersebut dapat
dilanjutkan dengan penyerahan pembayaran dan
penandatanganan akta. Setelah proses tersebut,
maka sertifikat tanah tersebut harus dilakukan
proses balik nama dari nama penjual ke nama
pembeli, saat sertifikat tanah tersebut telah
berganti nama maka proses pengalihan hak dari
penjual ke pembeli menjadi sempurna. Bukti dari
peralihan hak atas tanah adalah adanya akta jual
beli yang dilakukan dihadapan Notaris PPAT dan
sertifikat tanah yang tercatat atas nama pemegang
hak.
Adanya penyerahan sertifikat tanah ini tidak
sedikit yang menimbulkan masalah. Banyak
Notaris PPAT yang terjerat kasus terkait dengan
dokumen yang diserahkan kepadanya, terutama
sertifikat tanah. Contoh kasus yang dapat kita
lihat adalah kasus yang menjerat seorang PPAT
Notaris di Manado yang terlibat dalam
penggelapan empat buah sertifikat dengan bekerja
sama dengan pihak penjual yang kemudian
menjadi buron selama tiga tahun lamanya hingga
tertangkap di Surabaya.
Apa yang dilakukan oleh PPAT Notaris di
Manado tersebut dapat dikategorikan dan dapat
dijerat sebagai tindak pidana penggelapan yang
termaktub dalam pasal 374 KUH Pidana yang
bunyinya adalah:
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang
yang penguasaannya terhadap barang disebabkan
karena adanya hubungan kerja atau karena
pencarian atau karena mendapat upah untuk itu,
diancam dengan pidana paling lama lima tahun.”
Dengan mengemban jabatan sebagai pejabat
umum tidak serta merta membuat Notaris PPAT
menjadi kebal hukum.Notaris PPAT yang
melanggar peraturan jabatannya dapat dijerat
hukum pidana maupun perdata, dan dikenakan
sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan juga sanksi moril karena pelanggaran
terhadap kode etik PPAT dan kode etik Notaris.
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan
diatas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian hukum yang akan dituangkan dalam
bentuk artikel dengan judul : “TANGGUNG
JAWAB YURIDIS NOTARIS PPAT
SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
PENGGELAPAN TERHADAP SERTIFIKAT
TANAH YANG DISERAHKAN PARA
PIHAK.”
B. Rumusan Masalah
1. Apa dasar pembenar Notaris PPAT dapat
menerima dan menyimpan sertifikat tanah
yang diserahkan oleh para pihak yang
menghadap kepadanya?
2. Bagaimana tanggung jawabNotaris PPAT
apabila ia melakukan tindak pidana peng-
gelapan terhadap sertifikat tanah yang
dititipkan para pihak?
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan ilmu hukum, terutama dalam
bidang hukum kenotariatan terkait dengan dasar
hukum dan tanggung jawab Notaris PPAT dalam
menerima dan menyimpan sertifikat tanah yang
diserahkan para pihak.
b. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar
hukum Notaris PPAT dalam menerima dan
menimpan sertifikat tanah yang diserahkan
para pihak, sebagai landasan untuk
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya
kepada masyarakat yang menggunakan
jasanya.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab Notaris
PPAT terkait dengan tindak pidana
penggelapan terhadap sertifikat tanah yang
dititipkan oleh para pihak.
D. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat
memberikan konstribusi atau manfaat dalam
usaha mengembangkan pengetahuan hukum yang
bersifat kritis, khususnya dibidang hukum
kenotariatan.
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 15
b. Manfaat praktis
Penelitian hukum ini diharapkan memberi
konstribusi bagi kalangan akademis, Notaris
PPAT, dan penulis sendiri terkait dengan
tanggungjawab Notaris PPAT.
E. Landasan teoritis
a. Teori penemuan hukum
Untuk mewujudkan suatu kepastian hukum,
maka perlu diadakan pembaharuan-pembaharuan
dalam bidang hukum agar senada dengan
perkembangan jaman, termasuk menemukan
hukum-hukum baru yang sesuai dengan situasi
masyarakat.Penemuan hukum dapat dikatakan
sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi
problematikal ada berkaitan dengan pertanyaan
hukum (rechtsvragen), konflik hukum atau
sengketa hokum.Penemuan hukum atau yang
dalam bahasa asing dikenal dengan rechtsvinding
dan law making adalah menemukannya hukum
karena hukum itu tidak lengkap atau tidak jelas,
bukan menciptakan suatu hukum yang
sebelumnya tidak ada.4
Paul Scholten mengemukakan bahwa sistem
hukum adalah sistem terbuka, bukan merupakan
suatu sistem yang statis (open system van het
recht) oleh karenanya sistem hukum
membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-
penetapan dari hakim atas dasar penilaian dan
hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang
baru dan senantiasa menambah luasnya sistem
hukum tersebut.Sistem hukum berarti bahwa
peraturan-peraturan hukum yang ada saling
berhubungan, yang satu ditetapkan oleh yang lain,
dan peraturan-peraturan tersebut dapat disusun
secara jelas dan unik yang bersifat khusus
dapat dicarikan aturan-aturan umumnya,
sehingga sampai pada asas-asas hukum yang
digunakan sebagai landasannya. Lebih lanjut ia
menjelaskan yang dimaksud dengan penemuan
hukum adalah hal yang timbul selain dari
penerapan peraturan pada peristiwa yang terjadi.
Sangat sering terjadi bahwa peraturan terhadap
suatu peristiwa hukum harus ditemukan, baik
dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan
analogi atau ataupun penghalusan/pengkonkretan
hukum (rechtsverfijning)
b. Teori kewenangan
Indroharto mengungkapkan bahwa
wewenang dapat diperoleh secara atribusi,
delegasi, dan mandate. Kewenangan atribusi
merupakan kewenangan yang diberikan kepada
suatu organ pemerintahan (intansi) atau lembaga
Negara oleh badan legislatif yang independen.
Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil
dari kewenangan yang ada sebelumnya.
Kewenangan delegasi adalah kewenangan yang
dialihkan dari instansi pemerintahan kepada
4
Sudikno Mertokusumo, 2011, Arti
Penemuan Hukum Bagi Notaris.
http://sudiknoartikel.blogspot.com/2012/12/arti-
penemuan-hukum-bagi-notaris_1004.html (cited:
13 Oktober 2013)
organ lainnya sehingga delegator (yang telah
memberi kewenangan) dapat menguji
kewenangan tersebut. Kewenangan berdasarkan
mandat, tidak terdapat suatu pemindahan
kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator)
memberikan kewenangan kepada organ lain
(mandataris) untuk membuat keputusan atau
mengambil suatu tindakan atas namanya.
c. Teori pertanggung jawaban
Dalam hukum administrasi negara,
tanggungjawab dapat dibagi menjadi tiga yaitu
tanggungjawab administratif, tanggungjawab
politis, dan tanggungjawab yuridis.
Kranenburg dan Vegtig mengemukakan ada
dua teori yang melandasi pertanggungjawaban
yaitu:
1. Teori fautes personalles.
Teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat
yang karena tindakannya itu telah menimbulkan
kerugian.Menurut teori ini, tanggungjawab
dibebankan kepada seorang individu.
2. Teori fautes de service.
Teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi
dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini
tanggungjawab dibebankan kepada jabatan.
Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu
disesuaikan pula apakah kesalahan yang
dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau
kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya
suatu kesalahan berimplikasi pada tanggungjawab
yang harus ditanggung.
F. Metode penelitian
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian
hukum normatif karena penelitian ini beranjak
dari adanya kekosongan norma dalam perundang-
undangan Republik Indonesia
b. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan dalam
menganalisis permasalahan dalam penelitian ini
adalahpendekatan perundang-undangan (The
Statute Approach),pendekatan analisis konsep
hukum (Analitical and Conceptual Approach)
c. Jenis dan sumber bahan hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
yang diperoleh melalui penelitian hukum normatif
dokumentatif, bahan penelitian hukum dicari
dengan cara penelitian kepustakaan.5
d. Teknik pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum
dilakukan dengan melakukan pencarian bahan
hukum yang bersangkutan dengan penelitian ini,
mengumpulkan, mencatat, dan menandai bahan
hukum yang akan digunakan.
5
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad,
2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 42.
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 16
e. Teknik analisa bahan hukum
Teknik analisis bahan hukum yang
digunakan adalah teknik interpretasi, teknik
evaluasi, dan teknik argumentasi. Setelah analisis
bahan hukum selesai maka hasilnya akan
disajikan secara deskriptif analistis.
TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan umum tentang Notaris PPAT
a. Pengertian Notaris PPAT
Definisi Notaris PPAT dapat dilihat dari
pasal 1 ayat (1) UUJN jo. Pasal 1 angka (1) PP
No. 37 tahun 1998 jo. Perka BPN No. 1 Tahun
2006, Notaris PPAT adalah pejabat umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun.
b. Notaris PPAT sebagai pejabat umum
Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat
dan diberhentikan oleh kekuasaan umum
(pemerintah) dan turut melaksanakan kewibaan
pemerintah serta memiliki wewenang serta
kewajiban sebagai pelayan publik dalam hal-hal
tertentu.Jabatan Notaris PPAT adalah jabatan
umum atau publik karena Notaris PPAT diangkat
dan diberhentikan oleh pemerintah. Notaris PPAT
menjalankan tugas negara, dengan membuat akta
pertanahan otentik yang merupakan
wewenangnya yaitu minuta (asli akta) adalah
merupakan dokumen negara.6
c. Dasar Hukum Jabatan Notaris PPAT.
Dasar hukum jabatan Notaris PPAT adalah
UUJN dan PP NO. 37 tahun 1998. Selain itu
dalam menjalankan tugasnya, secara teknis
Notaris PPAT memiliki dasar hukum yaitu:
Undang-Undang Nomor Republik Indonesia
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok agrarian (UUPA), Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah., Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah, Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah,
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009
Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
6
R. Soesanto, 1982, Tugas, Kewajiban dan
Hak-hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya
Paramita, Jakarta, hal. 75.
d. Kode etik Notaris dan kode etik PPAT
Notaris PPAT juga memiliki kode etik
sebagai kaidah moral untuk menjalankan
jabatannya, kode etik Notaris ditetapkan oleh
Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) dan kode etik
PPAT ditetapkan oleh Ikatan Pejabatan Pembuat
Akta Tanah (I.P.P.A.T).Kode etik profesi juga
berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, selain itu
keberadaan kode etik dimaksudkan untuk
mengatur tingkah laku anggota profesi dan
memiliki petunjuk untuk praktek profesinya.7
e. Kewenangan, kewajiban, dan larangan bagi
Notaris PPAT
Kewenangan notaris PPAT diatur oleh Pasal
15 UUJN dan Bab II PP No. 37 tahun 1998 jo.
Bab II Perka BPN No. 1 tahun 2006, yang
dijelaskan dalam pasal-pasal berikut:
1. Pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 37 tahun 1998
yang memiliki bunyi yang sama dengan Pasal
2 ayat (1) dan (2) Perka BPN No. 1 tahun
2006;
2. Pasal 3 ayat (1) dan (2) PP No. 37 tahun 1998
jo. Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) Perka BPN
No. 1 tahun 2006;
3. Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP No. 37 tahun 1998
jo. Pasal 4 ayat (1) dan (2) Perka BPN No. 1
tahun 2006.
Kewajiban Notaris PPAT dimuat dalam
Pasal 16 UUJN dan Pasal 45 Peraturan Kepala
BPN No. 1 tahun 2006, sedangkan Larangan
terhadap Notaris PPAT diatur dalam Pasal 17
UUJN dan 30 ayat (1) Peraturan Kepala BPN No.
1 tahun 2006 jo. Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 30
ayat (1) jo. Pasal 32 ayat (3) PP No. 37 tahun
198.
f. Pengangkatan dan pemberhentian Notaris
PPAT.
PPAT Notaris diangkat dan diberhentikan
sesuai dengan syarat-syarat dalam peraturan
perundang-undangan. Adapun Notaris PPAT
dapat diberhentikan dengen pemberhentian
sementara, pemberhentian dengan hormat, dan
pemberhentian dengan tidak hormat.
B. Tinjauan Umum Terhadap Pengalihan Hak
Atas Tanah.
a. Pendaftaran tanah
Pendaftaran tanah diatur dalam UUPA,
PP No. 10 tahun 1961 yang telah digantikan
dengan PP No. 24 tahun 2007. Pendaftaran tanah
atau Rechts Cadaster / Legal cadaster bertujuan
untuk memberikan jaminan kepastian hukum
kepada pemegang hak atas tanah yang
dikeluarkan dalam bentuk sertifikat tanah.8
b. Hak atas tanah
UUPA menetapkan tata jenjang/herarkhi
7
Ignatius Ridwan Wiryadharma, 2001, Etika
Profesi Hukum dan Peranannya, Cetakan I,
Badan penerbit Universitas Diponegoro
Semarang, Semarang, hal. 45
8
Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran
Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah,
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia,
Jakarta, hal. 81.
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 17
hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum
tanah material, yaitu9
:
1) Hak bangsa
2) Hak Menguasai dari negara
3) Hak ulayat masyarakat Hukum Adat,
sepanjang menurut kenyataan masih ada.
4) Hak perorangan
Hak-hak atas tanah dalam UUPA dimuat
dalam Pasal 16 Ayat (1), sebagai berikut:
a. Hak milik,
b. Hak guna-usaha,
c. Hak guna-bangunan,
d. Hak pakai,
e. Hak sewa,
f. Hak membuka tanah,
g. Hak memungut hasil hutan,
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-
hak tersebut diatas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagai yang disebutkan
dalam Pasal 53.
c. Sertifikat tanah sebagai tanda bukti hak
atas tanah
Di Indonesia, tanda bukti hak atas tanah
diberikan dalam bentuk sertifikat tanah, hal ini
dijelaskan dalam Pasal 13 Ayat (3) PP No. 10
tahun 1961 bahwa surat tanda bukti hak atas tanah
yang telah terdaftar dinamakan sertifikat yang
berupa salinan buku tanah dan surat ukur yang
dijahit menjadi satu bersama-sama dengan kertas
sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri
Agraria.
Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisikdan data yuridis yang termuat
di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis
tersebut sesuai dengan datayang ada dalam surat
ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.10
d. Pengalihan hak milik atas tanah dan/atau
bangunan
Pengalihan hak milik atas tanah dan/atau
bangunan dapat terjadi melalui beberapa hal,
yaitu:
1. Jual beli.
2. Tukar menukar
3. Pelepasan hak
4. Penyerahan hak
5. Lelang
6. Pewarisan
7. Hibah
e. Proses pengalihan hak atas tanah
dihadapan Notaris PPAT
Proses pengalihan hak atas tanah dihadapan
Notaris PPAT dimulai dengan membuat
melakukan pengecekan sertifikat tanah
bersangkutan, kemudian dilanjutkan dengan
proses pembuatan akta jual beli, dan proses balik
nama ke kantor BPN setempat.
9
Ibid, hal. 202.
10
Definisi Sertifikat Tanah Berdasarkan
Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomer 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
DASAR PEMBENAR TINDAKAN NOTARIS
PPAT DALAM MENERIMA DAN
MENYIMPAN SERTIFIKAT TANAH YANG
DISERAHKAN PARA PIHAK.
A. Kewenangan dan Kewajiban Notaris
PPAT Dalam Proses Pengalihan Hak Atas
Tanah.
Sebelum berlakunya UUPA, pengalihan hak
atas tanah dilakukan dengan dasar hukum adat.
Pengalihan hak atas tanah dilakukan dihadapan
Kepala desa dengan tujuan agar perbuatan hukum
tersebut terlindungi dari pihak ketiga yang
beritikad buruk. Persetujuan pengalihan hak atas
tanah tersebut dibuat dan ditandatangani oleh para
pihak dengan materai dihadapan Kepala Desa dan
didaftarkan dalam letter C desa, yang berlaku
bersama-sama sebagai penyerahannya sehingga
hak milik itu berpindah pula pada saat itu.11
Berlakunya UUPA memberikan perubahan
yang cukup besar dalam sistem kepemilikan dan
kepengurusan atas tanah. UUPA dibentuk dengan
tujuan untuk mengakhiri dualisme dalam sistem
hukum tanah dan pluralisme dalam hukum adat
Indonesia.Untuk melaksanakan ketentuan yang
ditetapkan oleh UUPA, pemerintah menetapkan
PP No. 10 tahun 1961 jo. PP No. 24 tahun 1997
sebagai pedoman dalam melakukan pendaftaran
tanah, seperti yang tertuang dalam pasal 19 Ayat
(1) UUPA: “Untuk menjamin kepastian hukum
oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan - ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah”
Kewenangan Notaris PPAT dalam proses
pengalihan hak atas tanah dicermati oleh peneliti
melalui PP No.24 tahun 1997, PP No. 37 tahun
1998 dan UUJN. ketentuan Pasal 39 Ayat (1)
PP no 24 Tahun 1997 peneliti menganalisis bahwa
Notaris PPAT juga berkewenangan untuk
menolak membuat akta bagi para pihak yang
menghadap kepadanya, apabila:
1. Tanah yang dijadikan objek jual beli sudah
terdaftar tetapi pemegang hak tidak
menyertakan sertifikat asli dari tanah yang
bersangkutan, atau data-data sertifikat yang
diserahkan tidak sesuai dengan daftar di
Kantor pertanahan.
2. Salah satu pihak yang sepakat untuk
melakukan transaksi pengalihan hak atau
saksinya tidak memenuhi syarat untuk
betindak dalam perbuatan hukum tersebut.
3. Salah satu atau para pihak bertindak
berdasarkan surat kuasa mutlak yang pada
hakikatnya berisikan perbuatan hukum
pemindahan hak.
4. Apabila pengalihan hak tersebut harus
memperoleh ijin dari pemerintahan (instansi
11
Saleh Adiwinata, 1983, Pengertian Hukum
adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria,
Alumni, Bandung, hal. 13.
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 18
yang berwenang) menurut peraturan
peundang-undangan, tetapi ijin tersebut belum
diperoleh.
5. Tanah yang dijadikan objek pengalihan hak
atas tanah sedang dalam sengketa.
6. Tidak terpenuhinya syarat lain atau
dilanggarnya larangan dalam peraturan
perundang-undangan lain.
Peraturan lain mengenai kewenangan
Notaris PPAT dapat kita jumpai dalam Pasal 2,
Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 PP No.37 tahun 1998
dan Pasal 15 UUJN. Berdasarkan bunyi pasal-
pasal tersebut, dapat dianalisis kewenangan
Notaris PPAT adalah sebagai berikut:
1. tukar menukar, akta pemasukan ke dalam
perusahaan, atau akta pembagian hak bersama
mengenai beberapa hak atas tanah dan atau
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang
tidak semuanya terletak dalam satu daerah
kerjanya, apabila salah satu bidang tanah atau
Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek
perbuatan hukum tersebut terletak di dalam
daerah kerjanya.PPAT membuat akta sesuai
dengan jumlah kabupaten / kota letak bidang
tanah yang dilakukan perbuatan hukumnya,
untuk kemudian masing-masing akta PPAT
tersebut didaftarkan pada Kantor Pertanahan
masing-masing daerah.
Dari Pasal 15 UUJN dianalisis bahwa
kewenangan Notaris PPAT adalah sebagai
berikut:
1. Notaris PPAT memiliki kewenangan
untuk memberikan penyuluhan hukum
dan bantuan hukum dalam pembuatan
akta otentik mengenai perbuatan hukum
para pihak yang hendak dicatatkan, agar
perbuatan hukum tersebut menjadi sah
dan memiliki alat bukti otentik. Dalam
menjalankan tugasnya untuk mencatatkan
keinginan para pihak, dalam aktanya
Notaris PPAT juga menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, dan menyimpan
akta tersebut, serta memberikan grosse,
salinan dan kutipan akta, apabila
pembuatan akta tersebut tidak ditugaskan
ke pejabat atau instansi lain.
2. Notaris PPAT berwenang untuk
mengesahkan tanda tangan dan kepastian
tanggal akta-akta dibawah tangan yang
kemudian di daftarkan pada buku khusus,
membuat salinan dari akta-akta dibawah
tangan sebagai lampiran dari akta yang
didaftarkan di dalam buku khusus,
3. Notaris PPAT berwenang untuk
melakukan legalisasi dokumen dengan
mengecek dokumen asli terlebih dahulu,
membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan dan risalah lelang.
2. Dalam Pasal 15 ayat (3) dijelaskan bahwa
Notaris memiliki kewenangan lain yang diatur
Notaris PPAT turut berwenang dalam
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah yaitu sebagai pembuat akta yang
merupakan bukti bahwa telah terjadi suatu
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Perbuatan hukum tersebut antara lain jual
beli;tukar menukar; hibah; pemasukan ke
dalam perusahaan (inbreng); pembagian hak
bersama; pemberian Hak Guna Bangunan /
Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; pemberian
Hak Tanggungan; pemberian Kuasa mem-
bebankan Hak Tanggungan.
3. Notaris PPAT berwenang untuk membuat
akta otentik untuk segala perbuatan hukum
yang dijelaskan diatas mengenai Hak Atas
Tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang berada di daerah kerjanya.
4. Notaris PPAT membuat akta dalam peraturan
perundang-undangan, misalnya dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas yang menegaskan
bahwa perseroan terbatas didirikan dengan
akta Notaris;Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia yang menegaskan bahwa akta Jaminan
Fidusia dibuat dengan akta Notaris; dan Pasal
9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan yang menegaskan
bahwa yayasan didirikan dengan akta Notaris.
Peneliti menggunakan teori kewenangan
untuk menganalisis kewenangan Notaris PPAT.
Kewenangan Notaris PPAT merupakan ke-
wenangan atribusi. Setiap tindakan pemerintahan
(pejabat, instansi-instansi pemerintahan) harus
berdasarkan atas kewenangan yang sah.
Kewenangan dapat diperoleh melalui tiga cara,
yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan
atribusi biasanya diberikan melalui pembagian
kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar,
sedangkan kewenangan delegasi dan mandat
adalah kewenangan yang bersumber dari
pelimpahan.12
Notaris PPAT tidak tunduk kepada instansi
manapun dalam pemerintahan, karena Notaris
PPAT memperoleh kewenangannya secara
langsung dari peraturan perundang-undangan.
Jadi, dapat diasumsikan bahwa kewenangan
Notaris PPAT dalam transaksi pengalihan hak
atas tanah seluruhnya telah diatur dalam PP
No. 24 tahun 1997, PP No.37 tahun 1998, dan
UUJN yangdalam pengaplikasiannya ditujukan
untuk mengendalikan dan memberikan kepastian
hukum bagi pihak-pihak yang hendak melakukan
transaksi pengalihan hak.
Berdasarkan pembahasan dan analisis
peneliti dengan menggunakan teori kewenangan
sebagai pisau analisis, makaPasal 39 Ayat (1) PP
No.24 tahun 1997, Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal
12
Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi
Normatif Hukum Administrasi dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato
Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, h. 7
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 19
4 PP No. 37 tahun 1998 dan Pasal 15 UUJN
merupakan dasar kewenangan Notaris PPAT
dalam melaksanakan jabatannya termasuk untuk
melayani pihak-pihak penghadap yang hendak
melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah.
B. Dasar hukum Notaris PPAT Dalam
Menerima Dan Menyimpan Sertifikat
Tanah Yang Diserahkan Kepadanya Oleh
Para Pihak
Berdasarkan analisis peneliti terhadap
kewenangan Notaris PPAT pada sub-bab
sebelumnya, Notaris PPAT tidak memiliki
kewenangan untuk menerima dan menyimpan
sertifikat tanah atau dokumen apapun yang
diserahkan oleh para pihak kepadanya, tetapi
dalam praktiknya hal ini sangat umum dilakukan.
Bila dilihat dari kewenangan Notaris PPAT dalam
peraturan perundang-undangan, maka tidak dapat
kita temukan dengan jelas bahwa Notaris PPAT
berkewenangan menerima dan menyimpan
sertifikat tanah yang dengan sepakat diserahkan
oleh para pihak kepadanya.
Namun, kewajiban PPAT Notaris dalam
menerima dan menyimpan sertifikat tanah yang
diserahan para pihak dapat dianalisis melalui
Surat Menteri Pertanian / Agraria No. UNDA
4/1/16 sebagai Penjelasan resmi PMPA No. 2
tahun 1962 menyatakan bahwa:
Perantaraan yang diberikan oleh para
penjabat pembuat akta tanah merupakan
“service” yang diwajibkan oleh peraturan ini dan
oleh karena itu tidak diperkenankan untuk
memungut dari yang berkepentingan suatu
pembayaran tambahan di atas honorarium yang
ia berhak menerimanya. Service semacam ini
diwajibkan pula kepadanya oleh Peraturan
Menteri Agraria No. 14 / 1961, mengenai
pengiriman surat-surat permohonan izin
pemindahan hak. Berhubungan dengan itu
maka para penjabat dilarang untuk secara
langsung atau tidak langsung menganjurkan
apalagi memaksa pihak-pihak yang ber-
kepentingan untuk tidak meminta perantaraannya
akan tetapi meminta perantaraan orang-orang
tertentu dengan memungut pembayaran tambahan.
Berdasarkan pasal diatas, peneliti menarik
kesimpulan bahwa penerimaan dan penyimpanan
sertifikat oleh Notaris PPAT merupakan salah
satu service wajib yang diberikan Notaris PPAT
kepada para pihak yang menggunakan jasanya,
service ini merupakan bagian dari tugas yang
dilaksanakan oleh Notaris PPAT sehingga Notaris
PPAT tidak diperkenankan melakukan pe-
mungutan biaya tambahan untuk menerima
sertifikat tanah, menyimpan sertifikat, tanah
melakukan pengecekan sertifikat, dan proses
balik nama ke kantor BPN.
Untuk penerimaan sertifikat tanah tersebut,
Notaris PPAT pada umumnya membuat surat
tanda terima dokumen (STTD) atau Berita Acara
Serah Terima Dokumen sebagai bukti bahwa telah
terjadi penyerahan dan penerimaan sertifikat
tanah, dalam surat tersebut Notaris PPAT
biasanya menuliskan: “telah diterima sertifikat
tanah dengan Nomor SHM …… yang tercatat
atas nama …… untuk melakukan pengecekan ke
kantor BPN sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku” yang
kemudian tandatangani oleh Notaris PPAT dan
pihak yang menyerahkan.
Dengan adanya kekosongan hukum terkait
dengan kewenangan Notaris PPAT dalam
menerima sertifikat tanah ini, perlu dibuat suatu
peraturan yang mengatur mengenai kewenangan
ini. Namun untuk mengisi kekosongan hukum,
dapat dibuat suatu perjanjian penitipan.
Penyerahan sertifikat tanah kepada Notaris
PPAT dapat dikatakan sebagai penitipan barang.
Menurut pasal 1694 KUHPerdata, “Penitipan
barang terjadi bila orang yang menerima barang
orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan
kemudian mengembalikannya dalam keadaan
yang sama.”
Dasar hukum perjanjian penitipan dapat kita
lihat pada pasal 1313 KUHPer jo. Pasal 1234
KUHper. Berdasarkan pasal tersebut perjanjian
telah memenuhi unsur-unsur dari suatu perjanjian,
maka perlu dianalisis keabsahannya perjanjian
penitipan tersebut sebagai suatu barang bukti.
Pasal 1320 KUHPerdata menjelaskan syarat
sahnya suatu pernjanjian ada 4, yaitu kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan
untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok
persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak
dilarang. Melihat Pasal 1320 KUHPerdata,
perjanjian penitipan merupakan suatu perjanjian
yang sah, karena:
1. Perjanjian penitipan yang ditandatangani oleh
Notaris PPAT dan para pihak yang
menyerahkan sertifikat berarti bahwa Notaris
PPAT dan para pihak telah sepakat untuk
saling mengikatkan dirinya dan menyatakan
bahwa memang benar mereka melakukan
serah-terima sertifikat tanah tersebut.
2. Notaris PPAT dan para pihak tentunya
merupakan subjek hukum yang cakap untuk
membuat perikatan (sesuai dengan syarat
pengangkatan Notaris PPAT yang harus
berumur minimal 30 tahun dan penghadap
yang harus berusia minimal 18 tahun), maka
unsur kecakapan para pihak telah terpenuhi.
3. Bahwa perjanjian penitipan merupakan
perjanjian mengenai suatu persoalan tertentu
yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, dan norma kesulilaan,
yaitu serah terima sertifikat untuk keperluan
pengecekan dan balik nama seritifkat.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, maka secara langsung
perjanjian penitipan tersebut menjadi suatu
undang-undang bagi pihak-pihak yang terikat
didalamnya (Notaris PPAT dan para pihak
penghadap) sesuai ketentuan Pasal 1338
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 20
KUHPerdata. Tetapi yang menjadi kekurangan
dari perjanjian penitipan adalah kekuatan
pembuktiannya yang hanya berkekuatan sebagai
akta dibawah tangan, hal ini dikarenakan
peraturan dalam Pasal 52 ayat (1) dan (3) UUJN
jo. Pasal 23 ayat (1) PP No. 37 tahun 1998.
TANGGUNGJAWAB YURIDIS NOTARIS
PPAT TERKAIT DENGAN TINDAK
PIDANA PENGGELAPAN TERHADAP
SERTIFIKAT TANAH YANG DI
SERAHKAN PARA PIHAK KEPADANYA.
A. Tindak Pidana Penggelapan dalam Jabatan
Notaris PPAT.
Salah satu hal yang mencemari citra Notaris
PPAT adalah tindak pidana penggelapan yang
dilakukan Notaris PPAT, salah satu contohnya
adalah kasus yang menjerat Notaris PPAT di
Manado, yang akhirnya tertangkap di Surabaya
setelah cukup lama menjadi buronan. Notaris
PPAT di Manado tersebut didakwa menggelapkan
empat buah sertifikat tanah bersama-sama dengan
pihak penjual, yang mana sertifikat tersebut
diserahkan kepadanya setelah transaksi
pengalihan hak atas tanah selesai dilakukan
dihadapan para pihak dan Notaris PPAT sendiri
untuk dilakukan proses balik nama. Tetapi
bukannya melakukan proses balik nama tersebut,
Notaris PPAT bersangkutan bekerja sama dengan
pihak penjual untuk menggadaikan keempat
sertifikat tersebut. Hingga pihak pembeli yang
merasa tertipu melaporkan Notaris PPAT
bersangkutan dan penjual ke kepolisian setempat.
Notaris PPAT tersebut kemudian dipanggil untuk
diperiksa, kemudian bukannya memenuhi surat
panggilan tersebut Notaris PPAT bersangkutan
telah kabur, dan menjadi buron selama tiga tahun
lamanya hingga tertangkap di Surabaya dan
akhirnya dijatuhi hukuman penjara.
Tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris
PPAT tersebut selain melanggar peraturan hukum
pidana juga melanggar ketentuan-ketentuan dalam
PP No. 37 tahun 1998, UUJN, serta kode etik
Notaris dan kode etik PPAT. Pengertian
penggelapan secara yuridis dapat kita lihat dalam
pasal 372 KUHPidana, yaitu:
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan
hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich
toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang
ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan,
diancam, karena penggelapan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau denda
paling banyak enam puluh rupiah.
Dengan beranjak dari pasal 372 KUHPidana
dapat disimpulkan bahwa tindak pidana
penggelapan adalah seseorang yang dengan
sengaja dan melawan hukum mengakui barang
milik orang lain sebagai miliknya sendiri, yang
mana barang tersebut berada dalam kekuasaan
bukan karena tindak kejahatan atau ancaman yang
dilakukannya. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, penggelapan adalah proses, cara,
perbuatan menggunakan uang, barang, dsb, secara
tidak sah, penyelewengan.
Mengenai tindak pidana penggelapan yang
dilakukan oleh Notaris PPAT, maka Notaris
PPAT dapat dijerat dengan pasal 374 KUHPidana,
yang berbunyi:
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang
penguasaannya terhadap barang disebabkan
karena adanya hubungan kerja atau kerena
pencarian atau karena mendapat upah untuk itu,
diancam dengan pidana paling lama lima tahun.
B. Tanggungjawab Yuridis Notaris PPAT
Terhadap Tindak Pidana Penggelapan.
a. Tanggung jawab perdata
Penyerahan sertifikat tanah oleh para pihak
kepada Notaris PPAT dengan tujuan untuk
melakukan pengecekan dan atau pendaftaran
tanah dapat dikategorikan sebagai tindakan
penitipan barang sesuai pasal 1694
KUHPerdata.Lebih lanjut mengenai kewajiban
penerima titipan dijelaskan dalam pasal 1712
KUHPerdata, yang bunyinya:
Penerima titipan tidak boleh memakai barang
titipan tanpa izin yang diberikan secara tegas oleh
pemberi titipan atau dapat disimpulkan adanya,
dengan ancaman mengganti biaya, kerugian dan
bunga, bila ada alasan untuk itu.
Berdasarkan rumusan Pasal 1712 KUHPerdata
maka tindakan Notaris PPAT yang menggelapkan
sertifikat tanah yang dititipkan kepadanya dapat
dijerat dengan ancaman mengganti biaya,
kerugian dan bunga.
Tanggungjawab perdata Notaris terkait
dengan penggelapan sertifikat tanah yang
diserahkan para penghadap kepadanya dapat
dikonstruksikan berdasarkan pasal 1365
KUHPerdata. Pasal 1365 KUHPerdata me-
nyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian
bagi orang lain wajib untuk mengganti kerugian
yang timbul karena kesalahannya itu
Dalam hukum perdata, suatu kesalahan yang
terjadi karena adanya wanprestasi, atau perbuatan
melawan hukum dapat dijatuhi sanksi perdata
berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga.
Pada gugatan atas dasar wanprestasi terkait
dengan penitipan sertifikat tanah, petitum gugatan
dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Gugatan pemenuhan
2. Gugatan ganti rugi
3. Kombinasi antara pemenuhan dan ganti rugi
Sanksi perdata dan petitum ini pun berlaku bagi
Notaris PPAT yang digugat oleh para penghadap
apabila sertifikat tanah yang dititipkan para pihak
diselewengkan atau disalahgunakan oleh Notaris
PPAT.
b. Tanggung jawab pidana
Pertanggungjawaban pidana ada ketika
subjek hukum melakukan kesalahan, kesalahan
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 21
dapat terjadi karena kesengajaan (dolus) atau
kealpaan (culpa).
Pemidanaan terhadap Notaris dapat
dilakukan dengan melihat ketentuan Menurut
pasal 63 ayat (2) KUHPidana, yang berbunyi:
Apabila suatu perbuatan yang dapat dipidana
menurut ketentuan pidana yang khusus disamping
pidana yang umum, maka ketenuan pidana yng
khusus itulah yang dipakai, sebaliknya apabila
ketentuan pidana khusus tidak mengatur, maka
terhadap pelanggaran tersebut akan dikenakan
pidana umum yaitu Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.
Akan tetapi pemidanaan tersebut dapat
dilakukan dengan melihat pada batasan-batasan
yaitu:13
1. Adanya tindakan hukum dari Notaris PPAT
yang sengaja, penuh kesadaran dan
keinsyafan, serta direncanakan untuk
melakukan suatu tindakan yang merugikan
para penghadap, baik secara pribadi ataupun
bekerja sama dengan orang lain sebagai dasar
melakukan suatu tindak pidana.
2. Ada tindakan hukum dari Notaris PPAT
dalam melaksanakan kewajibannya yang
tidak sesuai dengan peraturan jabatan Notaris
PPAT.
3. Tindakan Notaris PPAT tersebut juga tidak
sesuai menurut insransi yang berwenang
untuk menilai dn mengawasi tindakan Notaris
PPAT.
Pemberian sanksi pidana terhadap
Notaris PPAT dapat diberikan sepanjang
batasan-batasan tersebut diatas dilanggar.
Yang artinya pelanggaran yang dilakukan
oleh Notaris PPAT selain memenuhi rumusan
yang dimuat dalam perturan jabatannya juga
harus memenuhi rumusan yang ada dalam
KUHPidana.
Hukuman pemberatan dapat diberikan
karena dalam melakukan tindak pidana
Notaris PPAT memenuhi syarat-syarat dalam
pasal 52KUHPidana untuk memperoleh
benda (sertifikat tanah) yang digelapkan.
Terkait dengan tindak pidana penggelapan
yang dilakukan oleh Notaris PPAT, Notaris
PPAT dapat dijerat dengan pasal 374
KUHPidana, yang merupakan pasal
pemberatan dari pasal 372 KUHPidana. Pasal
374 KUHPidana memiliki rumusan sebagai
berikut:
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang
penguasaannya terhadap barang disebabkan
karena adanya hubungan kerja atau kerena
pencarian atau karena mendapat upah untuk
itu, diancam dengan pidana paling lama lima
tahun.
Adapun unsur-unsur dalam pasal 374
KUHPidana meliputi unsur-unsur sebagai
berikut:
13
Habib Adjie, Op.Cit, hal. 201
a. Unsur subjektif: tindakan penggelapan yang
dilakukan dengan sengaja dan melawan
hukum
b. Unsur objektif: menguasai barang milik
orang lain, barang tersebut berada dalam
kekuasaannya karena adanya hubungan kerja
atau kerena pencarian atau karena mendapat
upah untuk itu.
Untuk menjerat seorang Notaris PPAT dengan
hukuman pidana berdasarkan pasal 374
KUHPidana, maka jaksa penutut umum dan
hakim harus dapat membuktikan bahwa tindakan
Notaris PPAT tersebut memenuhi unsur-unsur
dalam pasal 374 KUHPidana.
Berlandaskan teori pertanggungjawaban
tersebut peneliti menyimpulkan bahwa apabila
seorang Notaris PPAT yang memiliki
tanggungjawab terhadap profesinya melakukan
tindak pidana penggelapan, yang berarti bahwa ia
telah melakukan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan ketentuan hukum pidana,
maka ia harus bertanggungjawab secara pidana
atas perbuatannya tersebut sepanjang dapat
dibuktikan bahwa tindakannya tersebut telah
melanggar ketentuan dalam peraturan jabatan
Notaris PPAT dan KUHPidana, sehingga
sangatlah relevan jika Notaris PPAT yang
melakukan tindak pidana penggelapan dituntut
berdasarkan hukum acara pidana untuk dimintai
pertanggungjawabannya. Dalam pertanggung
jawaban pidana, Notaris PPAT bersangkutan
bertanggungjawab secara individu.
c. Tanggungjawab administratif Notaris
PPAT.
Sanksi adminitratif bagi Notaris PPAT dapat
dilihat dalam Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN, Pasal
10 PP No. 38 tahun 1997 jo. Pasal 28 Peraturan
Kepala BPN No. 1 tahun 2006. Ada 5 jenis sanksi
administratif yang dapat diterapkan kepada
Notaris PPAT, yaitu;
1. Teguran Lisan
2. Teguran Tertulis
3. Pemberhentian Sementara
4. Pemberhentian Dengan Hormat
5. Pemberhentian Tidak Hormat
Sanksi-sanksi tersebut diatas berlaku secara
berjenjang dimulai dari yang paling ringan
(teguran lisan) hingga pemberhentian tidak
hormat. Sanksi administrasi yang dijatuhkan
kepada Notaris PPAT karena melanggar peraturan
jabatan Notaris PPAT adalah sanksi internal, yaitu
sanksi terhadap Notaris PPAT yang dalam
melaksanakan tugas jabatan tidak melakukan
serangkaian tindakan mengikuti tata tertib
pelaksanakan tugas jabatan yang seharusnya
dilakukan oleh Notaris PPAT.
d. Tanggungjawab Moral Notaris PPAT
Berdasarkan Kode Etik Notaris dan Kode
Etik PPAT.
Dengan adanya kode etik Notaris dan kode
etik PPAT, Notaris PPAT diharapkan dapat
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 22
memberikan pelayanan yang berlandaskan moral
serta menghindarkan Notaris PPAT dari perbuatan
tercela. Pelanggaran terkait dengan kode etik
Notaris dan kode etik PPAT adalah perbuatan atau
tindakan yang dilakukan oleh anggota per-
kumpulan organisasi maupun orang lain yang
memangku dan menjalankan jabatan Notaris
PPAT yang melanggar ketentuan kode etik
dan/atau disiplin organisasi. Pelanggaran kode
etik Notaris PPAT dipicu dengan kemerosotan
moral Notaris PPAT bersangkutan. Beberapa
faktor yang mempengaruhi kemerosotan moral
Notaris PPAT adalah penyalahgunaan profesi;
menjadikan profesi sebagai kegiatan bisnis;
kurangnya kesadaran dan kepedulian sosial;
kontinuasi sistem peradilan; pengaruh jabatan;
gaya hidup yang konsumtif, faktor keimanan dan
pengaruh sifat kekeluargaan.14
Sanksi dalam kode etik Notaris dan kode
Etik dituangkan dalam Pasal 6 kode etik Notaris
dan Pasal 6 kode etik profesi PPAT, yang dapat
disimpulkan bahwa sanksi atas pelanggaran kode
etik yang dijatuhkankan adalah sama, yaitu berupa
teguran, peringatan, schorsing (pemecatan semen-
tara) dari keanggotaan perkumpulan, onzetting
(pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan dan
pemberhentian dengan tidak hormat dari ke-
anggotaan perkumpulan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan terhadap permasalahan di
atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Wewenang Notaris PPAT dalam menerima
dan menyimpan sertifikat tanah yang
diserahkan para pihak yang menghadap tidak
dimuat secara jelas dalam peraturan per-
undang-undangan. untuk mengisi kekosongan
hukum mengenai kewenangan Notaris PPAT
dalam menerima dan menyimpan sertifikat
tanah yang diserahkan para pihak, Notaris
biasanya membuat Surat Tanda Terima
Dokumen (STTD) dan atau Berita Acara Serah
Terima Dokumen sebagai bukti penerimaan
sertifikat tanah.
2. Terkait dengan tindak pidana penggelapan
yang dilakukan oleh Notaris PPAT terhadap
sertifikat tanah, Notaris PPAT dapat dimintai
pertanggung jawaban:
a. Tanggung jawab perdata: Pihak yang
dirugikan dapat mengajukan gugatan
secara perdata kepada Notaris PPAT
bersangkutan untuk memperoleh ganti
rugi.
b. Tanggung jawab pidana: Notaris PPAT
dapat dijerat dengan Pasal 374
KUHPidana, dengan hukuman maksimal
lima tahun penjara.
14
I Gede A.B. Wiranata, 2005, Dasar-Dasar
Etika dan Moralitas (Pengantar Kajian Etika
Profesi), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 261.
c. Tanggung jawab administrasi ber-
dasarkan peraturan jabatan Notaris
PPAT: Notaris PPAT dapat dijatuhi
sanksi administrasi berupa pem-
berhentian sementara, pemberhentian
dengan hormat atau pemberhentian
dengan tidak hormat, yang didahului
dengan teguran lisan dan teguran tertulis.
d. Tanggung jawab moral berdasarkan kode
etik profesi Notaris dan kode etik profesi
PPAT: Notaris PPAT dapat dijatuhi
sanksi berupa teguran, peringatan,
schorsing (pemecatan sementara) dari
keanggotaan perkumpulan, onzetting
(pemecatan) dari keanggotaan per-
kumpulan dan pemberhentian dengan
tidak hormat dari keanggotaan per-
kumpulan.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan terkait dengan
tanggungjawab Notaris PPAT atas sertifikat tanah
yang diserahkan para pihak adalah:
1. Sebaiknya setiap perbuatan hukum yang
melibatkan Notaris PPAT harus di-
cantumkan jelas dalam UUJN dan peraturan
jabatan PPAT, dengan demikian diharapkan
agar kedepannya setiap kewenangan yang
dimiliki oleh Notaris PPAT menjadi jelas
dan tidak menimbulkan salah persepsi yang
nantinya dapat menjerat dan merugikan
kedudukan profesi Notaris PPAT sebagai
pejabat umum dapat menjalankan
profesinya.
2. Untuk mengisi kekosongan hukum, Notaris
PPAT dapat membuat perjanjian penitipan,
yang nantinya dapat digunakan sebagai alat
bukti.
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 23
DAFTAR ISI
BUKU
Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan
Hukum Indonesia, Jakarta.
Habib Adjie, 2011, Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris & PPAT, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
I Gede A.B. Wiranata, 2005, Dasar-Dasar Etika dan Moralitas (Pengantar Kajian Etika Profesi), Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Ignatius Ridwan Wiryadharma, 2001, Etika Profesi Hukum dan Peranannya, Cetakan I, Badan penerbit
Universitas Diponegoro Semarang, Semarang.
K. Wantjik Saleh, 1977, Hak Anda Atas Tanah, Cet. V, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
P.L Wery, 2003, Hoofdzaken Maatschap , Vennootschap Onder Firma En Commanditaire Vennootschap,
Kluwer, Deventer.
Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang
Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya.
R. Soesanto, 1982, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta.
Saleh Adiwinata, 1983, Pengertian Hukum adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni,
Bandung.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahu n 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
M.01.HT.03.01 Tahun 2006 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan,
Perpindahan, Dan Pemberhentian Notaris.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran
Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomer 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan J abatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
M.01.HT.03.01 Tahun 2006 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan,
Perpindahan, Dan Pemberhentian Notaris.
Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/Pu u-X/2012 Tertanggal 23 Maret 2012.
Kode Etik Notaris.
Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah.
INTERNET
Sudikno Mertokusumo, 2011, Arti Penemuan Hukum Bagi Notaris.
http://sudiknoartikel.blogspot.com/2012/12/arti-penemuan-hukum-bagi-notaris_1004.html (cited: 13
Oktober 2013)
*****
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 24
EKSEKUSI BARANG JAMINAN KENDARAAN BERMOTOR DALAM
PERJANJIAN PEMBIAYAAN NON BANK YANG TIDAK DIDAFTARKAN
JAMINAN FIDUSIA
Oleh :
Gede Ray Ardian Machini Yasa
NIM : 1092461035
Email; Gederayardian@yahoo.com
Pembimbing I: Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH
Pembimbing II: Dr. Putu Tuni Cakabawa L, SH.,M.Hum
ABSTRACT
This studyis intended tofind outwhat lies behind the creditorto execute against the
collateralin themotor vehicles registeredin the fiduciaryandnon -bank financing
agreementsdue execution ofthe lawsagainst the collateralof mo tor vehicles that are
not registered fiduciary in non-bank financing agreements.
This studyis anempirical legal research that this study willex amine the gap between
the provisions of Article 11 of Law no.42 of 1999 with implementation in the
field.Toobtainprimary data research field that is by doing research directly from the
field to the informants, secondary data will be obtained through there search
literature, namely the collection of various data obtained from the literature ,
magazinesin the field of lawin order to find the relevant the ory issues to be
discussed.
The resultobtained is that the execution of fiduciary agreement not registered in
terms ofthe debtorin default the lendercan not use parate executie ( direct execution),
but the execution remains to bedone by filing a civil action by the District Courtcivil
proce edingsuntil decline in the judge's ruling that its implementation procedure
takes a long time.
Keywords: Execution, financing agreements, Fiduciary
I. Pendahuluan
Perkembangan di bidang ekonomi dan
perdagangan telah mempengaruhi ber-
kembangnya aneka jenis perjanjian dalam
masyarakat, yang salah satunya adalah perjanjian
pinjam-meminjam melalui lembaga pembiayaan
dengan perjanjian standar. Perjanjian standar
adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-
klausulnya distandarisasi oleh pembuatnya dan
kemudian diberikan ke pihak lain, dan pihak lain
itu pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan isinya.1
Suatu utang piutang merupakan suatu perbuatan
yang tidak asing lagi bagi kehidupan
dimasyarakat. Utang piutang tidak hanya
dilakukan oleh orang-orang yang ekonominya
lemah, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang
yang ekonominya relatif mampu. Suatu utang
diberikan atas integritas atau kepribadian debitur,
kepribadian yang menimbulkan rasa kepercayaan
dalam diri kreditur, bahwa debitur akan
memenuhi kewajiban pelunasannya dengan baik.
Akan tetapi juga suatu ketika nampaknya keadaan
keuangan seseorang baik, belum menjadi jaminan
bahwa nanti pada saat jatuh tempo untuk
1
Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan
Konsumen Indonesia, Grasindo Jakarta, hal 119.
mengembalikan pinjaman.2
Dalam hal pemberian
fasilitas pembiayaan bagi debitur, maka lembaga
pembiayaan juga membutuhkan adanya suatu
jaminan dari pihak debitur. Hal ini dimaksudkan
agar tercipta suatu keyakinan dan keamanan bagi
pihak kreditur atas kredit yang diberikannya
mendapat jaminan pelunasan dari pihak debitur.
Keberadaan lembaga dimaksud menurut peraturan
perundang-undangan di Indonesia diatur dalam
UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3889, selanjutnya
disebut UUJF). Lembaga Jaminan Fidusia
memungkinkan kepada para konsumen untuk
menguasai benda yang dijaminkan untuk
melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari
pinjaman dengan menggunakan Jaminan Fidusia.
Salah satu konsumen dikemukakan mengadukan
buruknya pelayanan lembaga pebiayaan karena
hanya terlambat membayar cicilan selama tiga
2
J. Satrio, 1991, Hukum Jaminan, Hak-
hak Kebendaan, Bandung, Citra Aditya Bakti,
hal 97.
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 25
bulan kendaraan langsung ditarik. 3
Kasus seperti
ini tentunya terlihat bahwa lembaga pembiayaan
melakukan pelanggaran dalam kaitannya dengan
pemberian kredit dengan menggunakan jaminan
fidusia dan pelaksanaan eksekusinya pun
cenderung juga tidak memberikan perlindungan
hukum dan kepastian hukum bagi pihak
konsumen. Dengan demikian lembaga jaminan
perlu mendapat perhatian serius sehubungan
dengan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia
dalam praktik kehidupan masyarakat dalam
rangka pembangunan Indonesia khususnya
dibidang hukum, karena perkembangan ekonomi
akan selalu diikuti oleh perkembangan kebutuhan
akan kredit. Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan diatas, maka menarik untuk
dibahas lebih lanjut dalam tesis ini dengan
mengangkat judul “Eksekusi Barang Jaminan
Kendaraan Bermotor Dalam Perjanjian
Pembiayaan Non Bank Yang Tidak Didaftarkan
Jaminan Fidusia”.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari
penelitian ini yaitu berupa tujuan umum dan
tujuan khusus sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
adapun tujuan umum dari penelitan ini yaitu
untuk pengembangan ilmu hukum terkait
paradigma Science as a process (ilmu
sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu
hukum tidak akan mandek dalam penggalian
atas kebenaran, khususnya terkait dengan
materi Eksekusi Barang Jaminan Kendaraan
Bermotor Dalam Perjanjian Pembiayaan Non
Bank Yang Tidak Didaftarkan Jaminan
Fidusia.
b. Tujuan Khusus
1. untuk mengetahui, mengkaji, dan meng-
analisis yang melandasi melandasi pihak
kreditur melakukan eksekusi terhadap
barang jaminan kendaraan bermotor roda
dua yang tidak didaftarkan jaminan
fidusia;
2. untuk mengetahui, mengkaji, dan meng-
analisis akibat hukum terhadap pe-
laksanaan eksekusi barang jaminan
kendaraan bermotor yang tidak
didaftarkan jaminan fidusia oleh kreditur
I. METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penulisan tesis ini adalah jenis penelitian hukum
empiris, yaitu penelitian hukum yang objek
kajiannya meliputi ketentuan dan mengenai
pemberlakuan atau implementasi ketentuan
hukum normatif (kodifikasi, Undang-Undang atau
kontrak) secara in action/in abstracto pada setiap
peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat
(in concreto).4
1.1.1.1.1 3
Harian Bali Post, 2013,
“Lembaga Pembiayaan di Bali Banyak
Melanggar Hukum”, hal. 3.
b. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum empiris terdapat
dua macam pendekatan yaitu pendekatan
kualitatif dan pendekatan kuantitatif. 5
Dalam
penulisan karya ilmiah ini, agar mendapatkan
hasil yang ilmiah, serta dapat dipertahankan
secara ilmiah, maka masalah dalam penelitian ini
akan dibahas menggunakan jenis pendekatan
kualitatif.
c. Lokasi Penelitian
Mengenai lokasi yang dipilih untuk
mendapatkan data primer adalah pada beberapa
lembaga pembiayaan (lembaga pebiayaan) yang
berkantor di Denpasar. Lokasi penelitian ini di-
pilih dengan menggunakan teknik purposive/
jugmental sampling. yaitu “sampel yang dipilih
berdasarkan pertimbangan atau penelitian
subyektif dari peneliti”,6
karena lokasi tersebut
telah memenuhi karakteristik yang representatif
untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah
yang akan diteliti.
d. Sumber Data
Dalam penelitian pada umumnya di-
bedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat yang dinamakan data
primer (data dasar) dan diperoleh dari bahan-
bahan pustaka dinamakan data sekunder.7
Data
primer dilakukan dengan penelitian lapangan,
dengan cara melakukan penelitian secara
langsung ke lapangan yang berasal dari para
informan, yang mengetahui dan mengalami ke-
jadian tersebut dan Data sekunder adalah pe-
nelitian kepustakaan, baik bahan hukum primer,
sekunder, tertier.
e. Teknik pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini untuk men-
dapatkan data primer adalah melalui wawancara.
Wawancara adalah proses interaksi dan
komunikasi serta cara untuk memperoleh
informasi dengan bertanya langsung pada yang di
wawancarai.8
teknik pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini untuk men-
dapatkan data primer adalah melalui wawancara.
wawancaraini dilakukan dengan, pelaku bisnis
dan konsumen yang terkait. dan data sekunder
sebagai pendukung data primer maka bahan
hukum dalam penelitian ini dikumpulkan dengan
menggunakan sistem kartu (card system).
4
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum
dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 134
5
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad,
2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, hal. 192
6
Burhan Ashshofa, op.cit, hal.91
7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 12
8
Ronny Hanitijo, 1988, Metodologi
Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 57
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014
Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014

More Related Content

What's hot

Buku Saku. Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kementerian Perumaha...
Buku Saku. Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kementerian Perumaha...Buku Saku. Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kementerian Perumaha...
Buku Saku. Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kementerian Perumaha...Oswar Mungkasa
 
Salinan pedoman umum pengelolaan komunikasi krisis 29-2011
Salinan pedoman umum pengelolaan komunikasi krisis 29-2011Salinan pedoman umum pengelolaan komunikasi krisis 29-2011
Salinan pedoman umum pengelolaan komunikasi krisis 29-2011Rizki Malinda
 
Salinan pedoman umum infrastruktur hubungan masyarakat 31-2011
Salinan pedoman umum infrastruktur hubungan masyarakat 31-2011Salinan pedoman umum infrastruktur hubungan masyarakat 31-2011
Salinan pedoman umum infrastruktur hubungan masyarakat 31-2011Rizki Malinda
 
Salinan pedoman umum audit komunikasi 27-2011
Salinan pedoman umum audit komunikasi 27-2011Salinan pedoman umum audit komunikasi 27-2011
Salinan pedoman umum audit komunikasi 27-2011Rizki Malinda
 
Laporan Kinerja Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010
Laporan Kinerja Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010Laporan Kinerja Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010
Laporan Kinerja Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010Oswar Mungkasa
 
Panduan teknis akreditasi 2013
Panduan teknis akreditasi 2013Panduan teknis akreditasi 2013
Panduan teknis akreditasi 2013Dewi Kartika
 
Tugas besar budget travelling
Tugas besar budget travellingTugas besar budget travelling
Tugas besar budget travellingTri Hermawan
 

What's hot (7)

Buku Saku. Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kementerian Perumaha...
Buku Saku. Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kementerian Perumaha...Buku Saku. Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kementerian Perumaha...
Buku Saku. Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kementerian Perumaha...
 
Salinan pedoman umum pengelolaan komunikasi krisis 29-2011
Salinan pedoman umum pengelolaan komunikasi krisis 29-2011Salinan pedoman umum pengelolaan komunikasi krisis 29-2011
Salinan pedoman umum pengelolaan komunikasi krisis 29-2011
 
Salinan pedoman umum infrastruktur hubungan masyarakat 31-2011
Salinan pedoman umum infrastruktur hubungan masyarakat 31-2011Salinan pedoman umum infrastruktur hubungan masyarakat 31-2011
Salinan pedoman umum infrastruktur hubungan masyarakat 31-2011
 
Salinan pedoman umum audit komunikasi 27-2011
Salinan pedoman umum audit komunikasi 27-2011Salinan pedoman umum audit komunikasi 27-2011
Salinan pedoman umum audit komunikasi 27-2011
 
Laporan Kinerja Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010
Laporan Kinerja Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010Laporan Kinerja Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010
Laporan Kinerja Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010
 
Panduan teknis akreditasi 2013
Panduan teknis akreditasi 2013Panduan teknis akreditasi 2013
Panduan teknis akreditasi 2013
 
Tugas besar budget travelling
Tugas besar budget travellingTugas besar budget travelling
Tugas besar budget travelling
 

Viewers also liked

It skills conversionsurvey
It skills conversionsurveyIt skills conversionsurvey
It skills conversionsurveyhaysireland
 
20 parimat tsitaati, Kristjan-Paul Raude
20 parimat tsitaati, Kristjan-Paul Raude20 parimat tsitaati, Kristjan-Paul Raude
20 parimat tsitaati, Kristjan-Paul RaudeKristjan-Paul Raude
 
balanced scorecard
 balanced scorecard balanced scorecard
balanced scorecardAnkit Joshi
 
Aktiva tidak berwujud klp i
Aktiva tidak berwujud klp iAktiva tidak berwujud klp i
Aktiva tidak berwujud klp iReresti W
 
Aset Tidak Berwujud - PSAK 19
Aset Tidak Berwujud - PSAK 19 Aset Tidak Berwujud - PSAK 19
Aset Tidak Berwujud - PSAK 19 Fair Nurfachrizi
 
Akuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujud
Akuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujudAkuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujud
Akuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujudJohn Narith
 
Такая полезная солнцезащита
Такая полезная солнцезащитаТакая полезная солнцезащита
Такая полезная солнцезащитаDmitriy Kapotov
 

Viewers also liked (12)

It skills conversionsurvey
It skills conversionsurveyIt skills conversionsurvey
It skills conversionsurvey
 
Cervus equipment winning team
Cervus equipment winning teamCervus equipment winning team
Cervus equipment winning team
 
Canada international management
Canada   international managementCanada   international management
Canada international management
 
Chetana
ChetanaChetana
Chetana
 
Bargaining
BargainingBargaining
Bargaining
 
20 parimat tsitaati, Kristjan-Paul Raude
20 parimat tsitaati, Kristjan-Paul Raude20 parimat tsitaati, Kristjan-Paul Raude
20 parimat tsitaati, Kristjan-Paul Raude
 
balanced scorecard
 balanced scorecard balanced scorecard
balanced scorecard
 
Aktiva tidak berwujud klp i
Aktiva tidak berwujud klp iAktiva tidak berwujud klp i
Aktiva tidak berwujud klp i
 
aset tdk berwujud
aset tdk berwujudaset tdk berwujud
aset tdk berwujud
 
Aset Tidak Berwujud - PSAK 19
Aset Tidak Berwujud - PSAK 19 Aset Tidak Berwujud - PSAK 19
Aset Tidak Berwujud - PSAK 19
 
Akuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujud
Akuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujudAkuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujud
Akuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujud
 
Такая полезная солнцезащита
Такая полезная солнцезащитаТакая полезная солнцезащита
Такая полезная солнцезащита
 

Jurnal Ilmiah MKn Unud Edisi 9 Oktober 2014

  • 1. VVV ooo lll uuu mmm eee 000 999 EEE ddd iii sss iii KKK hhh uuu sss uuu sss HHH aaa lll aaa mmm aaa nnn 111 ––– 777 111 DDD eee nnn ppp aaa sss aaa rrr OOO kkk ttt ooo bbb eee rrr 222 000 111 444 III SSS SSS NNN 222 222 555 222 --- 333 888 000 XXX KKEERRTTHHAA PPEERRTTIIWWII JJJ UUU RRR NNN AAA LLL III LLL MMM III AAA HHH MMM AAA GGG III SSS TTT EEE RRR KKK EEE NNN OOO TTT AAA RRR III AAA TTT AAA NNN UUU NNN III VVV EEE RRR SSS III TTT AAA SSS UUU DDD AAA YYY AAA NNN AAA PPP RRR OOO GGG RRR AAA MMM SSS TTT UUU DDD III MMM AAA GGG III SSS TTT EEE RRR KKK EEE NNN OOO TTT AAA RRR III AAA TTT AAA NNN UUU NNN III VVV EEE RRR SSS III TTT AAA SSS UUU DDD AAA YYY AAA NNN AAA 222 000 111 444
  • 3. i KERTHA PERTIWI Jurnal Ilmiah Magister Kenotariatan (Scientific Journals of The Master of Notary) ISSN 2252 – 380 X Volume 09 (Edisi Khusus) Periode Oktober 2014 Susunan Organisasi Pengelola Penanggung Jawab Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum. Pimpinan Redaksi I Made Tjatrayasa, SH.,MH. Mitra Bestari Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH.,MS.,CN. Dewan Redaksi Prof. R.A. Retno Murni, SH.,MH.,Ph.D. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum. Dr. I Gede Yusa, SH.,MH. Dr. Ketut Westra, SH.,MH. Penyunting Pelaksana Drs. Yuwono, SH.,M.Si. Dr. I Ketut Sudantra, SH.,MH Kadek Sarna.,SH.,M.Kn. I Made Walesa Putra, SH.,M.Kn. Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH.,M.Kn. Petugas Administrasi dan Keuangan Ni Putu Purwanti, SH.,M.Hum. Wiwik Priswiyanti, A.Md. I Putu Artha Kesumajaya I Gde Chandra Astawa Widhiasa Luh Komang Srihappy Widyarthini, SH. I Made Suparsa I Ketut Wirasa I Gusti Bagus Mardi Sukmawan, Amd. Kom. Alamat Redaksi Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana Jl. Pulau Bali No. 1 Sanglah Denpasar Telp. : (0361)264812. Fax (0361)264812 E-mail : notariat@fl.unud.ac.id Website : http://www.fl.unud.ac.id/notariat/ Gambar Cover : Keindahan Alam Indonesia Kertha Pertiwi merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan dua kali setahun ( April dan Oktober) yang memuat informasi tentang berbagai aspek hukum Kenotariatan dari : (1) hasil penelitian, (2) naskah konseptual/opini , (3) resensi buku, dan info Kenotariatan actual lainnya
  • 4. ii PENGANTAR REDAKSI Om, Swastyastu, Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa oleh karena atas perkenan dan rahkmat-Nyalah Jurnal Ilmiah Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana periode Oktober Tahun 2014 (Edisi Khusus) dapat diselesaikan. Disusunnya Jurnal Ilmiah Prodi M.Kn. Unud. ini dimaksudkan untuk dapat sebagai referensi dan informasi terkait dengan berbagai persoalan dalam bidang Hukum Kenotariatan bagi mahasiswa, dosen serta masyarakat pembaca. Jurnal Ilmiah ini memuat beberapa artikel pilihan dari mahasiswa maupun dosen Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana seperti terkait dengan persoalan Implementasi Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Berkaitan Perizinan Pembangunan Kondominium (Strata Title) Hotel Di Wilayah Kabupaten Badung, Tanggung Jawab Notaris Dan PPAT Atas Sertifikat Tanah Yang Diserahkan Para Pihak Dalam Transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah, Eksekusi Obyek Jaminan Kendaraan Bermotor Dalam Perjanjian Pembiayaan Non Bank Yang Tidak Didaftarkan Jaminan Fidusia, Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan Di Atas Hak Milik Atas Tanah Di Kabupaten Badung dan artikel lainnya. Artikel tersebut merupakan ringkasan hasil penelitian tesis mahasiswa yang sudah diuji dan dapat dipertahankan oleh mahasiswa dalam sidang ujian dihadapan dewan penguji dan Guru Besar. Dengan diterbitkannya Jurnal Ilmiah periode Oktober Tahun 2014 (Edisi Khusus) ini diharapkan dapat sebagai bahan evaluasi penyelenggaraan pendidikan didalam mewujudkan visi dan misi serta tujuan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Kami juga memberikan kesempatan kepada semua pihak yang kompeten dan pemerhati bidang Hukum Kenotariatan baik di dalam maupun di luar lingkungan Universitas Udayana untuk berpartisipasi dalam menulis artikel ilmiah dengan tetap mentaati semua aturan atau ketentuan yang tercantum dalam Jurnal Ilmiah ini. Akhirnya, semoga Jurnal Ilmiah ini bermanfaat untuk semua pihak. Om, Santih, Santih, Santih, Om. Denpasar, Oktober 2014 Redaksi
  • 5. iii DAFTAR ISI Hlm Susunan Organisasi Pengelola ………………………………………………………………….. i Pengantar Redaksi ………………………………………………………………………………. ii Daftar isi ………………………………………………………………..................................... iii Implementasi Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Berkaitan Perizinan Pembangunan Kondominium (Strata Title) Hotel Di Wilayah Kabupaten Badung Fakultas Hukum Universitas Udayana ………………………………………………………… 1 Tanggung Jawab Notaris Dan PPAT Atas Sertifikat Tanah Yang Diserahkan Para Pihak Dalam Transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah Fransisca Harry Gunawan ………………………………………………………………………… 13 Eksekusi Obyek Jaminan Kendaraan Bermotor Dalam Perjanjian Pembiayaan Non Bank Yang Tidak Didaftarkan Jaminan Fidusia Gede Ray Ardian Machini Yasa …………………….……………………………….. 24 Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan Di Atas Hak Milik Atas Tanah Di Kabupaten Badung Andina Dyah Pujaningrum ………………………………………………………………… 31 Tanggung Jawab Notaris Dalam Pengikatan Jaminan Deposito Berkaitan Dengan Rahasia Bank Luh Made Purnawati ……....………………………………………………………. 41 Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Dalam Hal Terjadinya Putusan Pengadilan Berbeda Yang Saling Bertentangan Gede Yuda Setiawan ……....…………….……………………………………………………. 50 Akta Jual Beli Yang Dibuat Berdasarkan Akta Notaris Yang Kecakapan Bertindak Para Pihaknya Mengacu Pada Undang-Undang Jabatan Notaris Sebagai Dasar Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Miska Zulianti Goma ……....…………….……………………………………………………. 60
  • 6. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 1 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2011 BERKAITAN PERIZINAN PEMBANGUNAN KONDOMINIUM (STRATA TITLE) HOTEL DI WILAYAH KABUPATEN BADUNG I Made Arya Utama I Made Walesa Putra Kadek Sarna Nyoman Satyayudha Dananjaya Ayu Putu Laksmi Danyathi (Fakultas Hukum Universitas Udayana) ABSTRAK Kondominium hotel (kondotel) adalah bangunan gedung bertingkat terbagi dalam bagian-bagian, distrukturkan dalam arah horizontal maupun vertikal, merupakan satuan-satuan masing-masing dapat dimiliki dan digunakan terpisah, dilengkapi bagian bersama, benda bersama, tanah bersama dan difungsikan hotel. Berlakunya UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UURS), 10 November 2011, pengakuan tegas keberadaan rumah susun (rusun) komersial termasuk kondotel. UURS menetapkan peryaratan ketat bagi perizinan kondotel, salah satunya kewajiban menyediakan rusun umum, masyarakat Bali khususnya Kabupaten Badung menerima keberadaan kondotel namun ada penolakan keberadaan rusun umum, Pemerintah Badung sendiri belum mengeluarkan peraturan daerah menerima atau menolak keberadaan rusun umum. Permasalahan diteliti: Bagaimana implementasi UURS terkait perizinan pembangunan kondotel di Kabupaten Badung?. Tujuan penelitian: memahami implementasi UURS dalam perizinan pembangunan kondotel dengan target dapat memberikan solusi alternatif kepada Pemerintah Badung mengatasi hambatan penerapan UURS serta masukan konstruktif pembentukan peraturan daerah pelaksanaan dari UURS. Penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis menganalisis peraturan perizinan pembangunan kondotel. Pendekatan empiris menganalisis hukum dilihat dari perilaku masyarakat/pemerintah daerah kabupaten yang nyata. Maka memberikan gambaran secara kualitatif implementasi UURS berkaitan perizinan pembangunan kondotel di Kabupaten Badung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa perizinan pembangunan kondotel di Kabupaten Badung Provinsi Bali dilaksanakan dengan tahapan antara lain: Persetujuan Prinsip, AMDAL/UPL-UKL, IMB, SITU-HO, Persetujuan Penggunaan Bangunan (PPB), Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP), Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan serta Sertifikasi. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain: sosialisasi UURS yang belum maksimal, Beberapa ketentuan UURS masih memerlukan peraturan pelaksanaan, Persyaratan dalam UURS untuk menyediakan rusun umum sulit diterapkan. Kata Kunci: Perizinan, Kondominium, Badung IMPLEMENTATION OF LAW NO. 20/2011 RELATED TO PERMIT OF CONDOMINIUM (STRATA TITLE) HOTEL’S DEVELOPMENT IN DISTRICT OF BADUNG REGENCY Researchers: I Made Arya Utama I Made Walesa Putra Kadek Sarna Nyoman Satyayudha Dananjaya Ayu Putu Laksmi Danyathi (Faculty of Law, Udayana University) ABSTRACT Condominium hotel (condotel) is a multi-storey building which is divided into some parts and structured in horizontal and vertical direction. Each part can be use and own separately and it will be equipped with sharing objects and ground together that is enabled as a hotel. The application of Law No.20/2011 on the Flats (UURS) on November, 10 in 2011, the distinct confession of the existence flats (rusun) including the commercial condotel. UURS determines the strict condition for licensing of condotel that is providing the general flats liability especially for Balinese people in Badung resident which accept the existence of condotel but there is denial to the existence of general flats. Therefore, the issues will be examined is how does the implementation of UURS related to
  • 7. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 2 Condotel development licensing in Badung regency? Objective of the study is to comprehend the implementation of UURS related to Condotel development licensing by target which is provide alternative solutions for Badung Government to overcome barriers in the implementation of UURS, to give constructive feedback in forming local regulations as implementation from UURS. This research is using empirical-judicial approach. Juridical approach analyzes Condotel development licensing regulations. Meanwhile, empirical approach analyzes views by real public/local government behaviors. Then it will give a qualitative image of the implementation UURS related to Condotel development licensing in Badung Regency. Based on this research showed that Condotel development licensing in Badung Regency, Province of Bali conducted by several stages: Principle‟s Approval, The Environmental Impact Assessment (AMDAL) - Environmental Management Scheme (UKL) / Environmental Monitoring Scheme (UPL), Building Permit (IMB), A Location Permit (SITU-HO), Permit to Use Building (PPB), Tourism Business Registration Certificate (TDUP), Validation of Descriptions and Deed of Separation and Certification. Some obstacles which encountered include: unmaximized of UURS socialization, UURS provisions still required implementation regulatory. The requirement of UURS is difficult to apply in providing a general flat. Keywords: Licensing, Condominium, Badung PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kondominium hotel (kondotel) semakin marak tidak hanya di kota besar seperti Jakarta ataupun Surabaya, namun beberapa tahun terakhir di Bali khususnya Kabupaten Badung telah banyak proyek pembangunan hotel dengan konsep hak bertingkat (strata title) ini. Perusahaan Properti Internasional Knight Frank, mencatat pertumbuhan kondotel di Bali sebagian besar berada di Kabupaten Badung yaitu; di Kuta 68 %, Nusa Dua 16.3 %, dan Uluwatu 13.3 %. Secara keseluruhan di Bali dalam semester I- 2011 telah ada total 21 proyek dan mulai semester II-2011 ada 12 proyek kondotel baru1 . Pemberian izin pembangunan kondotel memiliki perbedaan dari hotel umumnya, antara lain adanya pertelaan yang disahkan pemerintah daerah (pemda), dimana menunjukkan batas satuan unit kondotel, bagian bersama, benda bersama, tanah bersama serta uraian Nilai Perbandingan Proporsional (NPP). Pengaturan pembangunan dan kepemilikan kondotel menggunakan payung hukum undang-undang rumah susun (rusun). 1 Sebastianus, 2011, Alasan Perlunya Melirik Bisnis Kondotel!, http://www.propertidiskon.com/, diakses tanggal 8 Desember 2011. Dengan disahkannya Undang-Undang No.20 Tahun 2011 (UURS) tanggal 10 November 2011, angin segar bagi pelaku pembangunan (developer) rusun komersial khususnya kondotel dimana telah secara tegas mengakui adanya rusun komersial, dibandingkan undang-undang lama (UU No.16 Tahun 1985) hanya terfokus pada rusun sederhana. Namun disisi lain undang-undang baru, menetapkan persyaratan lebih ketat terhadap pelaku pembangunan rusun komersial, selain persyaratan administratif, teknis, dan ekologis, ada syarat khusus yakni wajib menyediakan rusun umum sekurang- kurangnya 20% dari luas lantai rusun komersial, yang disertai sanksi pidana bagi pelanggaran ketentuan ini. Juga diatur tugas dan wewenang pemerintah kabupaten antara lain perencanaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan pembangunan kondotel. Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang diteliti penelitian ini meliputi: 1. Bagaimana implementasi UURS dalam pemberian izin pembangunan kondotel di Daerah Kabupaten Badung? 2. Upaya-upaya apa yang telah atau akan ditempuh Pemda Badung sebagai tindak
  • 8. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 3 lanjut berlakunya UURS tentang Rumah Susun? 3. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam penerapan UURS terhadap pemberian izin pembangunan kondotel di Daerah Kabupaten Badung? Manfaat Penelitian 1. Manfaat secara teoritis, penulis berharap hasilnya mampu memberikan sumbangan bagi pembangunan Hukum Administrasi Negara, Hukum Bisnis, dan Hukum Agraria khususnya mengenai hukum rumah susun terutama kondominium hotel. 2. Manfaat secara praktis, memberi sumbangan pemikiran kepada semua pihak yang terkait dalam penerapan UU No 20 Tahun 2011 berkaitan perizinan pembangunan kondotel di Kabupaten Badung. Metode Penelitian Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat di dalam tujuan penyusunan penelitian ini, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan yuridis empiris. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro adalah pendekatan terhadap hukum sebagai law-in-action karena menyangkut persoalan internal antara hukum dengan pelantara- pelantara sosial yang lain2 . Pendekatan yuridis empiris, yuridis untuk menganalisis berbagai peraturan tentang perizinan pembangunan kondotel berdasarkan undang-undang rumah susun dan peraturan pelaksanaannya. Pendekatan empiris untuk menganalisis hukum yang dilihat dari perilaku masyarakat/pemerintah daerah kabupaten yang nyata atau sesuai dengan kenyataan. Demikian pendekatan yuridis empiris digunakan untuk memberikan gambaran secara kualitatif implementasi UURS berkaitan perizinan pembangunan kondotel di Kabupaten Badung. 2 Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, hlm.24. HASIL PENELITIAN A. Perizinan Pembangunan Bangunan Kondotel di Daerah Kabupaten Badung 1. Persyaratan Penerbitan Perizinan terkait Izin Mendirikan Bangunan Kondotel di Kabupaten Badung Dalam hal penerbitan perizinan terkait Izin Mendirikan Bangunan Kondotel di Kabupaten Badung, ada beberapa persyaratan perizinan yang harus dipenuhi dahulu antara lain: a. Persetujuan Prinsip Pada Kantor Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) pengurusan persetujuan prinsip ditangani oleh bidang Pelayanan Ekonomi Kesejahteraan Rakyat dan Non Perizinan. Berdasarkan wawancara tanggal 5 Juli 2013 dengan A.A. Gede Rahmadi,S.H. Kepala Bidang Pelayanan Ekonomi Kesejahteraan Rakyat dan Non Perizinan di Kantor BPPT Badung, menurutnya keberadaan Undang-Undang No 20 Tahun 2011 (UURS) belum banyak diketahui, termasuk dalam pengurusan perizinan kondotel, dalam hal ini terkait pengurusan Persetujuan Prinsip. Menurut Ir. I Nyoman Suardana, Kepala Bidang Sarana Pariwisata, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung (wawancara 16 Juli 2013), menyebutkan Kabupaten Badung menerima keberadaan kondotel untuk hotel (kondotel) namun bukan kondominium untuk hunian atau rumah susun umum. Ada beberapa alasan belum dapat disetujuinya kondominium untuk hunian atau rumah susun umum yaitu antara lain: adanya hunian bertingkat (rusun umum) mengakibatkan wilayah di Kabupaten Badung terlihat menjadi kumuh, selain itu kurangnya pendapatan asli daerah mengingat merupakan wilayah pariwisata, dan keberadaannya dapat mengganggu kesucian
  • 9. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 4 wilayah seperti kehidupan dirusun umum menjemur pakaian di depan kamar (apalagi dikamar atas) hal ini dianggap melanggar adat kebiasaan maupun mengganggu nilai religius di Bali. Senada dengan A.A. Gede Rahmadi, menurut I Nyoman Suardana, menyebutkan mengenai keberadaan UURS yang baru bahwa sampai dengan Bulan Juli 2013 belum ada sosialisasi terhadap UURS yang baru. Untuk Wilayah Kabupaten Badung persyaratan dikeluarkannya persetujuan prinsip mendirikan kondotel adalah sama seperti dalam pembangunan hotel, antara lain: Surat Permohonan berserta Data Usaha Kondotel yang direncanakan akan dibangun, KTP/Surat Keterangan Domisili, Surat Pernyataan Penyanding, Surat Pernyataan Kebenaran Data, Bukti Kepemilikian/Penguasaan hak atas tanah, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Akta Pendirian Perusahaan bagi yang berbadan hukum;, Gambar Rencana Bangunan, dan Peta Lokasi Bangunan. Setiap pembangunan yang dilakukan dalam suatu negara harus terarah, supaya terjadi keseimbangan, keserasian (keselarasan), berdaya guna, berhasil guna, berbudaya, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Untuk itu perlu disusun suatu rencana yang disebut rencana tata ruang. Rencana tata ruang ada yang bersifat nasional, artinya meliputi bidang nasional, ada pula yang hanya berlaku untuk wilayah, atau regional tertentu3 . Pada Bidang Perencanaan Pembangunan Fisik Bappeda Badung yang membawahkan salah satunya adalah Sub Bidang Perencanaan Pembangunan Tata Ruang. Sub Bidang Perencanaan 3 Adrian Sutedi, Op.cit, hlm 205. Pembangunan Tata Ruang bertugas antara lain mengkoordinasikan kegiatan perencanaan pembangunan di bidang tata ruang, sehingga pada pengurusan perizinan persetujuan prinsip kondotel di Kabupaten Badung kesesuian dengan rencana tata ruang Kabupaten Badung juga disyaratkan pada tempat berdirinya kondotel tersebut. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Daerah Tingkat II Badung diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung No 29 Tahun 1995, yang memiliki jangka waktu selama 10 (sepuluh) tahun. Kedudukan RTRWK merupakan dasar penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan. Kabupaten Badung telah memiliki Rencana Detail Tata Ruang masing-masing Kecamatan di Badung yakni: 1) Keputusan Bupati Badung No 1045 Tahun 2004 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Abiansemal (telah berakhir masa berlakunya). 2) Keputusan Bupati Badung No 533 Tahun 2004 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Mengwi. RDTRini berlaku dari tahun 2004 sampai dengan 2014, sehingga masih masa berlaku 1 tahun. 3) Keputusan Bupati Badung No 637 Tahun 2003 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta Utara (telah berakhir masa berlakunya). 4) Keputusan Bupati Badung No 638 Tahun 2003 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta(telah berakhir masa berlakunya). 5) Keputusan Bupati Badung No 639 Tahun 2003, Rencana Detail
  • 10. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 5 Tata Ruang Kecamatan Kuta Selatan (berakhir masa berlakunya). 6) Keputusan Bupati Badung No 74 Tahun 2000, Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Petang (telah berakhir masa berlakunya). Sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden No 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan, Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Perpres Sarbagita), Pedoman Pemanfaatan Ruang Rencana Tata Ruang Kota Wilayah Badung adalah menurut ketentuan Perpres Sarbagita tersebut. Ketentuan dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi, peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan peraturan daerah tentang rencana rinci tata ruang beserta peraturan zonasi yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini. Namun ketentuan Perpres Sarbagita untuk Wilayah Badung hanya mencakup 5 (lima) wilayah kecamatan, meliputi: Kecamatan Abiansemal, Kecamatan Mengwi, Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Kuta, dan Kecamatan Kuta Selatan. Setelah dipenuhinya seluruh persyaratan penerbitan persetujuan prinsip kondotel, Kepala BPPT Kabupaten Badung atas nama Bupati Badung dapat menandatangani persetujuan prinsip kondotel tersebut. Persetujuan prinsip berlaku selama 1 (satu) tahun sejak ditetapkan. b. Rekomendasi Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) / Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah kabupaten/kota memiliki tugas dan wewenang terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diantaranya adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai AMDAL dan UKL- UPL. Sebagai salah satu instrumen Pemerintah Daerah Kabupaten Badung, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Badung memiliki visi untuk mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam menunjang pembangunan berwawasan lingkungan yang dijiwai Tri Hita Karana. Demikian halnya Pembangunan Kondotel harus memperhatikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan kewajiban memiliki Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) / Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL). Menurut I Wayan Putrayadya, SKM, Msi, Kasubid Amdal dan UKL/UPL Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Badung (wawancara tanggal 17 Juli 2013), menyebutkan data kondotel yang telah memiliki rekomendasi UKL/UPL pada tahun 2011 yaitu ada 16 unit dan tahun 2013 sejumlah 17 unit. Dan terhitung seluruh proyek pembangunan kondotel di Badung adalah memenuhi kriteria UKL- UPL sedangkan AMDAL tidak ada. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan AMDAL/
  • 11. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 6 UKL/UPL kondotel di Wilayah Badung, antara lain: Surat Permohonan; Surat Pernyataan Kebenaran Dokumen, Persetujuan Prinsip, Identitas Diri, Surat Pernyataan Pembanding, Surat Kuasa (pemilik tanah berbeda), Surat Status Lahan, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Pengesahan Badan Hukum Perusahaan (berbadan hukum), NPWP, Denah Lokasi, Foto Lokasi, Site Plan, Rencana Denah, Gambar dan Potongan Pengelolaan Limbah, Denah/Letak Pengolahan Limbah dan Lubang Resapan Biopori, Surat Kuasa dari Pemrakarsa kepada Konsultan dan CV Konsultan Penyusun Dokumen. Setelah surat permohonan beserta seluruh kelengkapannya diterima, apabila telah disetujui hasil evaluasi teknis oleh Tim Pemeriksa Dokumen dapat dikeluarkan rekomendasi yang ditandatangani oleh Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Badung. 2. Pemberian IMB Kondotel di Daerah Kabupaten Badung Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah izin yang diberikan dalam melakukan kegiatan membangun dalam rangka pemanfaatan ruang dan penataan bangunan sesuai dengan peruntukannya. Izin ini bisa diterbitkan bila rencana bangunan dinilai telah memenuhi persyaratan dari beberapa aspek, yaitu aspek pertanahan, planologis, teknis, kesehatan, kenyamanan, dan lingkungan.4 a. Persyaratan Pengurusan IMB Kondotel 4 Yanuar Arifin, 2013, Panduan Lengkap Mengurus Dokumen Properti, Tanah dan Bangunan, Divapress, Yogyakarta, hlm 123. Menurut I Gusti Ngurah Made Suardika, S.T.,M.T., Kepala Bidang Pelayanan Perizinan Pemerintahan dan Pembangunan BPPT Kabupaten Badung (wawancara tanggal 12 Juli 2013), menyebutkan permohonan IMB diajukan kepada Bupati melalui BPPT. Permohonan IMB dapat meliputi bangunan gedung atau bukan bangunan gedung, sedangkan IMB kondotel tergolong dalam bangunan gedung. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengajukan IMB kondotel. Permohonan IMB kondotel dengan melampirnya antara lain: Melampirkan Informasi Tata Ruang (ITR), Membuat Surat Kuasa Mengurus IMB (bila yang mengurus diwakilkan);, Melampirkan Izin Prinsip dan Rekomendasi UKL/UPL untuk permohonan peruntukan, Photo copy KTP pengaju izin, Photo copy Kepemilikan Lahan (SHM /SHGB /SHPB; Pipil; Akta Sewa; Akta Jual Beli), Pendukung Kepemilikan Lahan lainnya (Kartu Keluarga; Silsilah, Surat Keterangan Ahli Waris, Surat Kuasa Waris Surat Keterangan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang), Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Kuasa Mengatasnamakan IMB, Akta Perusahaan, Akta/Perjanjian Kerjasama (dengan perubahannya /pemindahannya), Surat Pernyataan /Pendukung lainnya (bila diperlukan, seperti: Pengemong Pura, Pekaseh/Subak dll), dan Gambar- gambar (Peta lokasi; Site Plan; Rencana Denah; Tampak; Potongan; Gambar Portal; Septick tank; Pagar) Permohonan IMB yang sudah lengkap dan benar diterima petugas
  • 12. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 7 BPPT, akan dihitung biaya/retribusi IMB-nya dan diperiksa kelapangan oleh petugas bersama penyelenggara kondotel sesuai dengan jadwal yang dibuat, permohonan tersebut akan diproses setelah memenuhi syarat. IGA Ngurah Arinda Trisnawati, ST, (Penata Tk I) Kepala Seksi Izin Bangunan, Dinas Cipta Karya Kabupaten Badung (Wawancara tanggal 20 Agustus 2013) menyebutkan proses pengurusan untuk IMB kondotel sama halnya dengan proses pengurusan IMB hotel karena akan beroperasional sebagai hotel. b. Kewenangan Penerbitan IMB Kondotel di Kabupaten Badung Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun undang-undang yang digantikan (UU No 22 Tahun 1999) tentang Pemerintahan Daerah telah menggariskan paradigma baru dalam prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah, dari prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab pada UU No 5 Tahun 1974 menjadi prinsip otonomi seluas-luasnya dalam UU No 32 Tahun 2004 maupun UU No 22 Tahun 1999 telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan, kecuali yang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. 5 Kabupaten Badung sejak tanggal 1 Mei 2012 seluruh pengurusan izin dibuat dengan satu pintu, Pemerintah Kabupaten Badung telah mengoperasikan instansi baru yaitu Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT). Tujuan BPPT adalah agar perlayanan perizinan bisa 5 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Bandung, hlm 1. dimaksimalkan, yang memudahkan koordinasi baik petugas maupun pemohon izin sehingga diharapkan mempermudah, memperlancar serta mempercepat pelayanan, seperti dijelaskan oleh Ir. I Nyoman Suardana, Kepala Bidang Sarana Pariwisata, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung (wawancara 16 Juli 2013). 3. Perizinan lainnya terkait Pembangunan Kondotel di Badung a. Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Izin Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie/HO) Berdasarkan Pasal 1 Angka 9 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No 9 tahun 2010, dimaksud dengan Tempat Usaha adalah tempat untuk melakukan usaha yang dijalankan secara teratur dalam suatu bidang usaha tertentu dengan maksud untuk mencari keuntungan. Pasal 1 Angka 11 Peraturan Daerah ini, mengartikan Izin Gangguan adalah pemeberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan, tidak termasuk tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan Pemerintah Pusat/Daerah. Untuk memperoleh Izin SITU- HO, penyelenggara kondotel di Kabupaten Badung harus mengajukan permohonan SITU-HO dengan melampirkan: Gambar Lokasi Tempat Usaha, Uraian Rencana Kegiatan Usaha, Peryataan tidak keberatan dari tetangga menyebelah dari tempat usaha, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Status tempat yang dipakai Tempat Usaha, IMB, Persetujuan Prinsip, Dokumen Amdal
  • 13. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 8 atau UPL-UKL, Surat Keterangan WNI (bagi warga keturunan asing), Akta Pendirian Perusahaan (bagi Perusahaan yang berbadan hukum) dan Neraca. Setelah permohonan diterima lengkap, akan dilakukan pemeriksaan oleh Tim SITU-HO, berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan dari Tim SITU-HO, Bupati Badung dapat memberikan izin SITU-HO kepada penyelenggara kondotel. b. Izin Layak Huni (ILH)/Izin Penggunaan Bangunan (IPB) /Persetujuan Penggunaan Bangunan (PPB) Wawancara pada tanggal 12 Agustus 2013 dengan I Nyoman Suparna, Bagian Pelayanan Ekonomi Kesejahteraan Rakyat dan Non Perizinan di Kantor Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT), menggungkapkan bahwa setelah penyelenggara kondotel menyelesaikan pembangunan keseluruhan, maka wajib mengajukan permohonan Persetujuan Penggunaan Bangunan ke BPPT dengan melengkapi persyaratan: Identitas diri (KTP, Akta Perusahaan, NPWP), IMB, Rekomendasi Pemakaian/Pemasangan alat dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Badung (Alat pemadam kebakaran beserta instalasinya, Genset, Intalasi lift, elevator, Alat penangkal petir beserta pentanahannya, Instalasi listrik, panel, jaringan PLN masuk ke gedung dan pembangkit listrik lainnya, Instalasi alat keselamatan lainnya, Ketel uap dan Instalasi gas/tabung gas), Gambar As Build Drawing (gambar terlaksana) Arsitektur, Konstruksi, Plumbing, Tangga Darurat, Ram, dan Mekanikal Eletrikal yang telah ditandatangani oleh Pemilik, Perencana, Pengawas dan Pelaksana Konstruksi, Perhitungan struktur yang dilegalisir oleh pemilik, pengawasan, pelaksana (kontraktor), Rekomendasi UPL/UKL, AMDAL, Izin Pengambilan Air Bawah Tanah (ABT) dan rekening pembayaran PDAM, Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri (IUKS) dari Dinas Cipta Karya Kabupaten Badung, Gambar sistem jalur evakuasi darurat dengan tangga darurat dan Perjanjian kerjasama antara pemilik dengan pengelola. Izin persetujuan penggunaan bangunan dikeluarkan BPPT dengan ditandatangani oleh Kepala BPPT Badung atas nama Bupati Badung, yang berlaku selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkan dan harus diperpanjang sesuai kondisi bangunan mengacu pada ketentuan berlaku. c. Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) Peraturan Bupati No 13 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Pariwisata, Pasal 1 Angka 19 menjelaskan, TDUP merupakan dokumen resmi yang membuktikan bahwa usaha pariwisata yang dilakukan oleh pengusaha telah tercantum di dalam Daftar Usaha Pariwisata. Berdasarkan wawancara dengan Ir. I Nyoman Suardana, Kepala Bidang Sarana Pariwisata, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, izin usaha hotel kondotel ini diajukan setelah proses pembangunan 100 % selesai dengan melampirkan antara lain: Salinan Persetujuan Prinsip, Identitas Pemohon, IMB, Rekomendasi Amdal/UPL- UKL, SITU/HO, Akta Perusahaan, PPB, dan Denah Lokasi.
  • 14. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 9 Atas permohonan TDUP kondotel, Tim BPPT Kabupaten Badung mengadakan peninjauan dan pengecekan. Dengan terpenuhi seluruh persyaratan, BPPT dapat mengeluarkan izin TDUP kepada penyelenggara kondotel yang ditandatangani Kepala BPPT atas nama Bupati Badung. d. Proses Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan serta Sertifikasi Pertelaan merupakan suatu penunjukan batas masing-masing satuan rumah susun (unit/lot), bagian bersama, benda bersama, tanah bersama beserta nilai perbandingan proporsionalnya dalam bentuk gambar dan uraian. Pertelaan (detail of division) disusun/dibuat oleh penyelenggara/ developer dan harus disahkan oleh instansi yang berwenang dalam hal ini adalah pemerintah daerah tempat bangunan berada. Untuk sampai pada tahap pengesahan harus dilalui suatu proses, seberapa lama proses berlangsung sudah ada ketentuan yang pasti biasanya ditentukan oleh masing- masing pemerintah daerah setempat.6 Sedangkan Akta Pemisahan seperti disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, diartikan sebagai tanda bukti pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian dan batas- batasnya dalam arah vertikal dan horizontal yang mengandung nilai perbandingan proporsional. 6 Imam Kuswahyono, 2003, Hukum Rumah Susun Suatu Bekal Pengantar Pemahaman, Bayumedia, Malang, Hlm 41. Wawancara pada tanggal 13 Agustus 2013 bersama I Wayan Budayasa, A.Ptnh, Kepala Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung menyebutkan, setelah memperoleh kelengkapan semua izin pembangunan kondotel selanjutnya pengembang harus membuat pertelaan. Berdasarkan pertelaan itu selanjutnya dapat dipisahkan satuan-satuan unit kondotel, dan pemisahan satuan-satuan unit kondotel secara hukum dilakukan dengan cara membuat akta pemisahan. I Wayan Budayasa, A.Ptnh menambahkan, bahwa pertelaan dan akta pemisahan dibuat sepenuhnya oleh penyelenggaran kondotel, Badan Pertanahan (BPN) Badung tidak terlibat dalam pembuatannya. Sehingga nantinya pada saat pengeluaran sertifikat Hak Milik Satuan Kondotel BPN hanya mengutip luasan yang ada pertelaan dan akta pemisahan. Pertelaan dan Akta Pemisahan yang telah disahkan pemerintah daerah (Bupati) akan dilakukan pendaftaran untuk memperoleh sertifikat Hak Milik Atas Satuan Unit Kondotel. Instansi yang menerbitkan sertifikat hak milik atas satuan kondotel di wilayah Kabupaten Badung adalah Kantor Pertanahan Kabupaten Badung dengan sertifikat atas nama penyelenggara pembangunan. Sebagai tanda bukti hak, dikeluarkan sertifikat hak milik atas satuan kondotel yang terdiri dari: salinan buku tanah, salinan surat ukur tanah bersama, gambar denah satuan kondotel terdiri atas (Gambar denah satuan kondotel, gambar denah lantai
  • 15. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 10 menunjukkan secara jelas lokasi satuan yang dimaksud terhadap satuan-satuan lainnya), dan Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama sebagaimana dalam buku tanah. B. Sinkronisasi Produk Hukum terkait Penerbitan IMB Kondotel dengan UURS dalam Perizinan Pembangunan Kondotel di Kabupaten Badung 1) Persetujuan Prinsip Persetujuan Prinsip dalam pembangunan kondotel di Kabupaten Badung tidak diatur dalam UURS, hanya saja termasuk dalam persyaratan administratif bahwa pelaku pembangunan harus mendapatkan izin dari Bupati mengenai rencana fungsi dan pemanfaatannya. Pasal 29 UURS menyebutkan bahwa pelaku pembangunan rumah susun (termasuk kondotel) harus membangun rusun dan lingkungannya sesuai dengan rencana fungsi dan pemanfaatannya. Rencana fungsi dan pemanfaatannya harus mendapat izin dari bupati. Permohonan izin ini diajukan oleh pelaku pembangunan dengan melampirkan persyaratan: Sertifikat hak atas tanah, Surat keterangan rencana kabupaten/kota, Gambar rencana tapak, Gambar rencana arsitektur yang memuat denah, tampak, dan potongan rumah susun yang menunjukkan dengan jelas batasan secara vertikal dan horizontal dari kondotel, Gambar rencana struktur beserta perhitungannya, Gambar rencana yang menunjukkan dengan jelas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama; dan Gambar rencana utilitas umum dan instalasi beserta perlengkapannya. Pedoman permohonan izin rencana fungsi dan pemanfaatan serta perubahannya diatur dengan peraturan menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan izin rencana fungsi dan pemanfaatan diatur dengan peraturan daerah. Apabila melihat persyaratan yang diperlukan dalam mengajukan persetujuan prinsip kondotel di Kabupaten Badung, beberapa ketentuan memiliki kesamaan terhadap izin rencana fungsi dan pemanfaatan namun masih diperlukan kembali dipenuhinya persyaratan lainnya agar sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang seperti Surat keterangan rencana kabupaten serta beberapa gambar perencanaannya. 2) Izin Layak Huni (ILH)/Izin Penggunaan Bangunan (IPB) /Persetujuan Penggunaan Bangunan (PPB) Pasal 35 UURS mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun (termasuk kondotel) yang terdiri atas: a. Tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukan lokasi serta intensitas dan arsitektur bangunan; dan b. Keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Persyaratan teknis pembangunan rusun UURS ini tercermin pada Persetujuan Penggunaan Bangunan (PPB) dalam pembangunan kondotel di Kabupaten Badung yaitu mengenai keandalan bangunan serta Izin
  • 16. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 11 Mendirikan Bangunan (IMB) kondotel di Kabupaten Badung khususnya mengenai Tata bangunan. Sementara itu UURS tidak mengenal adanya PPB hanya saja Pasal 39 UURS mewajibkan pelaku pembangunan mengajukan permohonan sertifikat laik fungsi kepada bupati/walikota setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan rumah susun sepanjang tidak bertentangan dengan IMB. Pemerintah daerah menerbitkan sertifikat laik fungsi setelah melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pada penjelasan UURS, yang dimaksud dengan “laik fungsi” adalah berfungsinya seluruh atau sebagian bangunan rusun yang dapat menjamin dipenuhinnya persyaratan tata bangunan dan keandalan bangunan sesuai dengan fungsi yang ditetapkan IMB. IGA Ngurah Arinda Trisnawati, ST, (Penata Tk I) Kepala Seksi Izin Bangunan, Dinas Cipta Karya Kabupaten Badung, menyebutkan bahwa sertifikat laik fungsi diatur menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia No.25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikasi Laik Fungsi Bangunan Gedung, sedangkan di Kabupaten Badung belum menggunakan sertifikat laik fungsi tersebut. Namun dalam hal kelayakan bangunan kondotel telah terpenuhi serta persyaratan tata bangunan dan keandalan bangunan sesuai dengan fungsi yang ditetapkan IMB maka penyelenggara wajib mengurus Persetujuan Penggunaan Bangunan (PPB). Demikian pengurusan PPB salah satunya mengacu juga pada ketentuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia No.25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikasi Laik Fungsi Bangunan Gedung. PENUTUP Kesimpulan 1. Perizinan pembangunan kondotel di Kabupaten Badung Provinsi Bali dilaksanakan dengan tahapan yaitu; Persetujuan Prinsip Kondotel, Rekomendasi Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) / Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) Kondotel, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Kondotel, Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Izin Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie/HO) Kondotel, Izin Layak Huni (ILH)/Izin Penggunaan Bangunan (IPB)/ Persetujuan Penggunaan Bangunan (PPB) Kondotel, Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) Kondotel, serta Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan serta Sertifikasi. 2. Implementasi Undang-Undang No 20 Tahun 2011 terkait Perizinan Pembangunan Kondotel beserta beberapa kendala yang diahadapi antara lain: a. Sosialisasi yang belum maksimal sehingga keradaan UURS belum diketahui secara baik oleh pegawai perizinan maupun khalayak umum. b. Beberapa ketentuan UURS masih memerlukan peraturan pelaksanaan. c. Persyaratan dalam UURS untuk menyediakan rusun umum dalam setiap pembangunan Kondotel yang sulit diterapkan di Badung.
  • 17. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 12 d. Pengurusan pertelaan dan akta pemisahan diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara sehingga menimbulkan kemungkinan perbedaan pengukuran antara penyelenggara dengan BPN. Saran 1. Perlunya sosialisasi keberadaan UURS sesuai dengan hirarkinya dalam UURS dilakukan dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten sehingga masyarakat lebih mengetahui keberadaan UURS. Dengan diketahuinya keberadaan UURS mengakibatkan undang-undang tersebut dapat diterapkan lebih efektif, mencegah terjadinya pelanggaran serta mempermudah koordinasi antara instansi pemerintah terkait, dalam perizinan pembangunan kondotel. 2. Perlunya peraturan pelaksanaan UURS termasuk dalam peraturan daerah atau peraturan bupati yang sesuai dengan ketentuan dalam UURS. Beberapa ketentuan sesuai UURS yang masih perlu diatur lebih lanjut antara lain, kewajiban ketersediaan rusun umum, keberadaan izin rencana fungsi pemanfaatan dan sertifikat laik fungsi serta ketentuan di luar UURS namun mendukung perizinan pembangunan kondotel seperti peraturan RDTR. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Yanuar, 2013, Panduan Lengkap Mengurus Dokumen Properti, Tanah dan Bangunan, Divapress, Yogyakarta Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta. Arya Utama, I Made, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Bandung. Koeswahyono, Imam, 2004, Hukum Rumah Susun, Suatu Bekal Pengantar Pemahaman, Edisi Pertama, Bayumedia Publishing, Malang. Sebastianus, 2011, Alasan Perlunya Melirik Bisnis Kondotel!, http://www.propertidiskon.com/, diakses tanggal 8 Desember 2011. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1994, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia. *****
  • 18. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 13 TANGGUNG JAWAB YURIDIS NOTARIS PPAT SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN TERHADAP SERTIFIKAT TANAH YANG DISERAHKAN PARA PIHAK Oleh Fransisca Harry Gunawan*, I Gusti Ayu Agung Ariani**, I Ketut Wirawan*** Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana E-mail: sisca.harry@gmail.com ABSTRACT There are numbers of PPAT Notary known to be entangled in embezzlement cases these days, such cases are often related to land certificates trusted by various parties. Within the regulations of PPAT Notary, one would not find any writings which justify PPAT Notary to receive and keep in his/her possession land certificates handed by the clients in land rights diversion transaction. On the other hand, Article 97 verse (1) and verse (2) jo. Article 103 Verse (1) and verse (2) PP. No 24 year 1997 regulated that PPAT Notary is entitled to enclose original copy of the certificate during the time of certificate‟s evaluation and name changing process. This particular research showed that PPAT Notary is not entitled to receive and stash land‟s certificate given by the clients, henceforth PPAT Notary must provide Letter of Documents‟ Acceptance as evidence to guarantee the legitimacy of such transaction. If a PPAT Notary intentionally embezzled this particular land‟s certificate, he/she will be deemed morally responsible and may be asked to face civil, criminal and/or administrative prosecutions. Keywords: Notary PPAT‟s responsibilities, embezzlement, land‟s certificate, diversion. *Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan T.A 2011/2012 **Pembimbing I ***Pembimbing II I. Pendahuluan A.Latar belakang Masalah Notaris PPAT mengambil peran penting dalam memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat yaitu dengan memberikan pelayanan terkait dengan tugas dan kewajiban Notaris PPAT. Menurut pasal (1) angka 1, 2, dan 3 jo. Pasal 6 point f Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP No. 37 tahun 1998), Notaris PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Untuk menjalankan perintah jabatannya, Notaris PPAT bertindak berdasarkan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN), dan PP No. 37 tahun 1998 sebagai dasar hukum serta kode etik Notaris dan kode etik PPAT sebagai landasan moral. Menurut P.L Wery profesi jabatan Notaris PPAT adalah: “Persoonlijke kwaliteiten of ambtelijke hoedanigheid” atau “kualitas pribadi dalam kapasitas resmi” yang artinya profesi jabatan Notaris PPAT adalah bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya atas jabatan mereka.1 Sejak dahulu, masih banyak orang yang melakukan transaksi jual beli hanya dengan cara lisan tetapi tentunya hal ini hanya untuk transaksi cash and carry yang bernilai kecil.Untuk transaksi besar seperti transaksi pengalihan hak atas tanah, tetap perlu untuk dilakukan pencatatan.Dalam hal inilah urgensi peran Notaris PPAT semakin menonjol, dimana Notaris PPAT dapat dikatakan sebagai pemberi jasa untuk menuliskan transaksi tersebut. Menuliskan dalam hal ini bukanlah hanya sekedar sebagai „tukang‟ atau „juru‟ tulis, melainkan perpaduan dari keilmuan, dan keahlian (kemahiran) dalam lingkup profesional.2 Seorang subjek hukum yang memiliki hak atas tanah dapat melakukan perbuatan kepengurusan dan kepemilikan terhadap tanah hak miliknya.3 Untuk mengalihkan hak atas tanah melalui suatu perbuatan hokum(misalnya adalah jual beli), setelah para pihak yaitu penjual dan 1 P.L Wery, 2003, Hoofdzaken Maatschap , Vennootschap Onder Firma En Commanditaire Vennootschap, Kluwer, Deventer, hal. 78 2 Habib Adjie, 2011, Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris & PPAT, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.45 3 K. Wantjik Saleh, 1977, Hak Anda Atas Tanah, Cet. V, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 15.
  • 19. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 14 pembeli sepakat untuk mengadakan transaksi jual beli maka perjanjian jual beli atas tanah tersebut harus dilakukan dihadapan Notaris PPAT. Tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum atas transaksi jual beli tanah tersebut. Sebelum penandatanganan akta jual beli atas tanah dilangsungkan, keberadaan sertifikat atas tanah tersebut (selanjutnya disebut sertifikat tanah) harus di cek terlebih dahulu ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) sesuai dengan Pasal 97 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP no. 24 tahun 1997) jo. pasal 54 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006). Namun, Wewenang Notaris sebagaimana yang termuat dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN serta wewenang PPAT berdasarkan Pasal 2 PP No.37 tahun 1998 tidak menunjukkan secara tegas mengenai kewenangan NotarisPPAT untuk menerima titipan dokumen dari para pihak yang menghadap kepadanya. Untuk proses pengecekan sertifikat, biasanya para pihak sepakat untuk menyerahkan sertifikat tanah tersebut kepada Notaris PPAT yang dipercaya untuk membantu mereka dalam melangsungkan transaksi pengalihan hak dengan menerima tanda terima penyerahan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Notaris PPAT. Setelah BPN menyatakan bahwa benar tanah tersebut adalah Hak Milik dari si penjual dan tidak merupakan jaminan atau sedang dalam sengketa, maka transaksi tersebut dapat dilanjutkan dengan penyerahan pembayaran dan penandatanganan akta. Setelah proses tersebut, maka sertifikat tanah tersebut harus dilakukan proses balik nama dari nama penjual ke nama pembeli, saat sertifikat tanah tersebut telah berganti nama maka proses pengalihan hak dari penjual ke pembeli menjadi sempurna. Bukti dari peralihan hak atas tanah adalah adanya akta jual beli yang dilakukan dihadapan Notaris PPAT dan sertifikat tanah yang tercatat atas nama pemegang hak. Adanya penyerahan sertifikat tanah ini tidak sedikit yang menimbulkan masalah. Banyak Notaris PPAT yang terjerat kasus terkait dengan dokumen yang diserahkan kepadanya, terutama sertifikat tanah. Contoh kasus yang dapat kita lihat adalah kasus yang menjerat seorang PPAT Notaris di Manado yang terlibat dalam penggelapan empat buah sertifikat dengan bekerja sama dengan pihak penjual yang kemudian menjadi buron selama tiga tahun lamanya hingga tertangkap di Surabaya. Apa yang dilakukan oleh PPAT Notaris di Manado tersebut dapat dikategorikan dan dapat dijerat sebagai tindak pidana penggelapan yang termaktub dalam pasal 374 KUH Pidana yang bunyinya adalah: “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena adanya hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana paling lama lima tahun.” Dengan mengemban jabatan sebagai pejabat umum tidak serta merta membuat Notaris PPAT menjadi kebal hukum.Notaris PPAT yang melanggar peraturan jabatannya dapat dijerat hukum pidana maupun perdata, dan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan juga sanksi moril karena pelanggaran terhadap kode etik PPAT dan kode etik Notaris. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hukum yang akan dituangkan dalam bentuk artikel dengan judul : “TANGGUNG JAWAB YURIDIS NOTARIS PPAT SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN TERHADAP SERTIFIKAT TANAH YANG DISERAHKAN PARA PIHAK.” B. Rumusan Masalah 1. Apa dasar pembenar Notaris PPAT dapat menerima dan menyimpan sertifikat tanah yang diserahkan oleh para pihak yang menghadap kepadanya? 2. Bagaimana tanggung jawabNotaris PPAT apabila ia melakukan tindak pidana peng- gelapan terhadap sertifikat tanah yang dititipkan para pihak? C. Tujuan Penelitian a. Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum, terutama dalam bidang hukum kenotariatan terkait dengan dasar hukum dan tanggung jawab Notaris PPAT dalam menerima dan menyimpan sertifikat tanah yang diserahkan para pihak. b. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar hukum Notaris PPAT dalam menerima dan menimpan sertifikat tanah yang diserahkan para pihak, sebagai landasan untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat yang menggunakan jasanya. 2. Untuk mengetahui tanggung jawab Notaris PPAT terkait dengan tindak pidana penggelapan terhadap sertifikat tanah yang dititipkan oleh para pihak. D. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan konstribusi atau manfaat dalam usaha mengembangkan pengetahuan hukum yang bersifat kritis, khususnya dibidang hukum kenotariatan.
  • 20. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 15 b. Manfaat praktis Penelitian hukum ini diharapkan memberi konstribusi bagi kalangan akademis, Notaris PPAT, dan penulis sendiri terkait dengan tanggungjawab Notaris PPAT. E. Landasan teoritis a. Teori penemuan hukum Untuk mewujudkan suatu kepastian hukum, maka perlu diadakan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang hukum agar senada dengan perkembangan jaman, termasuk menemukan hukum-hukum baru yang sesuai dengan situasi masyarakat.Penemuan hukum dapat dikatakan sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal ada berkaitan dengan pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik hukum atau sengketa hokum.Penemuan hukum atau yang dalam bahasa asing dikenal dengan rechtsvinding dan law making adalah menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap atau tidak jelas, bukan menciptakan suatu hukum yang sebelumnya tidak ada.4 Paul Scholten mengemukakan bahwa sistem hukum adalah sistem terbuka, bukan merupakan suatu sistem yang statis (open system van het recht) oleh karenanya sistem hukum membutuhkan putusan-putusan atau penetapan- penetapan dari hakim atas dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut.Sistem hukum berarti bahwa peraturan-peraturan hukum yang ada saling berhubungan, yang satu ditetapkan oleh yang lain, dan peraturan-peraturan tersebut dapat disusun secara jelas dan unik yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga sampai pada asas-asas hukum yang digunakan sebagai landasannya. Lebih lanjut ia menjelaskan yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah hal yang timbul selain dari penerapan peraturan pada peristiwa yang terjadi. Sangat sering terjadi bahwa peraturan terhadap suatu peristiwa hukum harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi atau ataupun penghalusan/pengkonkretan hukum (rechtsverfijning) b. Teori kewenangan Indroharto mengungkapkan bahwa wewenang dapat diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandate. Kewenangan atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ pemerintahan (intansi) atau lembaga Negara oleh badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Kewenangan delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari instansi pemerintahan kepada 4 Sudikno Mertokusumo, 2011, Arti Penemuan Hukum Bagi Notaris. http://sudiknoartikel.blogspot.com/2012/12/arti- penemuan-hukum-bagi-notaris_1004.html (cited: 13 Oktober 2013) organ lainnya sehingga delegator (yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut. Kewenangan berdasarkan mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. c. Teori pertanggung jawaban Dalam hukum administrasi negara, tanggungjawab dapat dibagi menjadi tiga yaitu tanggungjawab administratif, tanggungjawab politis, dan tanggungjawab yuridis. Kranenburg dan Vegtig mengemukakan ada dua teori yang melandasi pertanggungjawaban yaitu: 1. Teori fautes personalles. Teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian.Menurut teori ini, tanggungjawab dibebankan kepada seorang individu. 2. Teori fautes de service. Teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggungjawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggungjawab yang harus ditanggung. F. Metode penelitian a. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini beranjak dari adanya kekosongan norma dalam perundang- undangan Republik Indonesia b. Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan dalam menganalisis permasalahan dalam penelitian ini adalahpendekatan perundang-undangan (The Statute Approach),pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual Approach) c. Jenis dan sumber bahan hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang diperoleh melalui penelitian hukum normatif dokumentatif, bahan penelitian hukum dicari dengan cara penelitian kepustakaan.5 d. Teknik pengumpulan bahan hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan melakukan pencarian bahan hukum yang bersangkutan dengan penelitian ini, mengumpulkan, mencatat, dan menandai bahan hukum yang akan digunakan. 5 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 42.
  • 21. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 16 e. Teknik analisa bahan hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik interpretasi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi. Setelah analisis bahan hukum selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif analistis. TINJAUAN UMUM A. Tinjauan umum tentang Notaris PPAT a. Pengertian Notaris PPAT Definisi Notaris PPAT dapat dilihat dari pasal 1 ayat (1) UUJN jo. Pasal 1 angka (1) PP No. 37 tahun 1998 jo. Perka BPN No. 1 Tahun 2006, Notaris PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. b. Notaris PPAT sebagai pejabat umum Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan umum (pemerintah) dan turut melaksanakan kewibaan pemerintah serta memiliki wewenang serta kewajiban sebagai pelayan publik dalam hal-hal tertentu.Jabatan Notaris PPAT adalah jabatan umum atau publik karena Notaris PPAT diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Notaris PPAT menjalankan tugas negara, dengan membuat akta pertanahan otentik yang merupakan wewenangnya yaitu minuta (asli akta) adalah merupakan dokumen negara.6 c. Dasar Hukum Jabatan Notaris PPAT. Dasar hukum jabatan Notaris PPAT adalah UUJN dan PP NO. 37 tahun 1998. Selain itu dalam menjalankan tugasnya, secara teknis Notaris PPAT memiliki dasar hukum yaitu: Undang-Undang Nomor Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok agrarian (UUPA), Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 6 R. Soesanto, 1982, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 75. d. Kode etik Notaris dan kode etik PPAT Notaris PPAT juga memiliki kode etik sebagai kaidah moral untuk menjalankan jabatannya, kode etik Notaris ditetapkan oleh Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) dan kode etik PPAT ditetapkan oleh Ikatan Pejabatan Pembuat Akta Tanah (I.P.P.A.T).Kode etik profesi juga berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, selain itu keberadaan kode etik dimaksudkan untuk mengatur tingkah laku anggota profesi dan memiliki petunjuk untuk praktek profesinya.7 e. Kewenangan, kewajiban, dan larangan bagi Notaris PPAT Kewenangan notaris PPAT diatur oleh Pasal 15 UUJN dan Bab II PP No. 37 tahun 1998 jo. Bab II Perka BPN No. 1 tahun 2006, yang dijelaskan dalam pasal-pasal berikut: 1. Pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 37 tahun 1998 yang memiliki bunyi yang sama dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Perka BPN No. 1 tahun 2006; 2. Pasal 3 ayat (1) dan (2) PP No. 37 tahun 1998 jo. Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) Perka BPN No. 1 tahun 2006; 3. Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP No. 37 tahun 1998 jo. Pasal 4 ayat (1) dan (2) Perka BPN No. 1 tahun 2006. Kewajiban Notaris PPAT dimuat dalam Pasal 16 UUJN dan Pasal 45 Peraturan Kepala BPN No. 1 tahun 2006, sedangkan Larangan terhadap Notaris PPAT diatur dalam Pasal 17 UUJN dan 30 ayat (1) Peraturan Kepala BPN No. 1 tahun 2006 jo. Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 30 ayat (1) jo. Pasal 32 ayat (3) PP No. 37 tahun 198. f. Pengangkatan dan pemberhentian Notaris PPAT. PPAT Notaris diangkat dan diberhentikan sesuai dengan syarat-syarat dalam peraturan perundang-undangan. Adapun Notaris PPAT dapat diberhentikan dengen pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian dengan tidak hormat. B. Tinjauan Umum Terhadap Pengalihan Hak Atas Tanah. a. Pendaftaran tanah Pendaftaran tanah diatur dalam UUPA, PP No. 10 tahun 1961 yang telah digantikan dengan PP No. 24 tahun 2007. Pendaftaran tanah atau Rechts Cadaster / Legal cadaster bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah yang dikeluarkan dalam bentuk sertifikat tanah.8 b. Hak atas tanah UUPA menetapkan tata jenjang/herarkhi 7 Ignatius Ridwan Wiryadharma, 2001, Etika Profesi Hukum dan Peranannya, Cetakan I, Badan penerbit Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, hal. 45 8 Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, hal. 81.
  • 22. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 17 hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah material, yaitu9 : 1) Hak bangsa 2) Hak Menguasai dari negara 3) Hak ulayat masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada. 4) Hak perorangan Hak-hak atas tanah dalam UUPA dimuat dalam Pasal 16 Ayat (1), sebagai berikut: a. Hak milik, b. Hak guna-usaha, c. Hak guna-bangunan, d. Hak pakai, e. Hak sewa, f. Hak membuka tanah, g. Hak memungut hasil hutan, h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak- hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. c. Sertifikat tanah sebagai tanda bukti hak atas tanah Di Indonesia, tanda bukti hak atas tanah diberikan dalam bentuk sertifikat tanah, hal ini dijelaskan dalam Pasal 13 Ayat (3) PP No. 10 tahun 1961 bahwa surat tanda bukti hak atas tanah yang telah terdaftar dinamakan sertifikat yang berupa salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu bersama-sama dengan kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisikdan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan datayang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.10 d. Pengalihan hak milik atas tanah dan/atau bangunan Pengalihan hak milik atas tanah dan/atau bangunan dapat terjadi melalui beberapa hal, yaitu: 1. Jual beli. 2. Tukar menukar 3. Pelepasan hak 4. Penyerahan hak 5. Lelang 6. Pewarisan 7. Hibah e. Proses pengalihan hak atas tanah dihadapan Notaris PPAT Proses pengalihan hak atas tanah dihadapan Notaris PPAT dimulai dengan membuat melakukan pengecekan sertifikat tanah bersangkutan, kemudian dilanjutkan dengan proses pembuatan akta jual beli, dan proses balik nama ke kantor BPN setempat. 9 Ibid, hal. 202. 10 Definisi Sertifikat Tanah Berdasarkan Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomer 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. DASAR PEMBENAR TINDAKAN NOTARIS PPAT DALAM MENERIMA DAN MENYIMPAN SERTIFIKAT TANAH YANG DISERAHKAN PARA PIHAK. A. Kewenangan dan Kewajiban Notaris PPAT Dalam Proses Pengalihan Hak Atas Tanah. Sebelum berlakunya UUPA, pengalihan hak atas tanah dilakukan dengan dasar hukum adat. Pengalihan hak atas tanah dilakukan dihadapan Kepala desa dengan tujuan agar perbuatan hukum tersebut terlindungi dari pihak ketiga yang beritikad buruk. Persetujuan pengalihan hak atas tanah tersebut dibuat dan ditandatangani oleh para pihak dengan materai dihadapan Kepala Desa dan didaftarkan dalam letter C desa, yang berlaku bersama-sama sebagai penyerahannya sehingga hak milik itu berpindah pula pada saat itu.11 Berlakunya UUPA memberikan perubahan yang cukup besar dalam sistem kepemilikan dan kepengurusan atas tanah. UUPA dibentuk dengan tujuan untuk mengakhiri dualisme dalam sistem hukum tanah dan pluralisme dalam hukum adat Indonesia.Untuk melaksanakan ketentuan yang ditetapkan oleh UUPA, pemerintah menetapkan PP No. 10 tahun 1961 jo. PP No. 24 tahun 1997 sebagai pedoman dalam melakukan pendaftaran tanah, seperti yang tertuang dalam pasal 19 Ayat (1) UUPA: “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan - ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah” Kewenangan Notaris PPAT dalam proses pengalihan hak atas tanah dicermati oleh peneliti melalui PP No.24 tahun 1997, PP No. 37 tahun 1998 dan UUJN. ketentuan Pasal 39 Ayat (1) PP no 24 Tahun 1997 peneliti menganalisis bahwa Notaris PPAT juga berkewenangan untuk menolak membuat akta bagi para pihak yang menghadap kepadanya, apabila: 1. Tanah yang dijadikan objek jual beli sudah terdaftar tetapi pemegang hak tidak menyertakan sertifikat asli dari tanah yang bersangkutan, atau data-data sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar di Kantor pertanahan. 2. Salah satu pihak yang sepakat untuk melakukan transaksi pengalihan hak atau saksinya tidak memenuhi syarat untuk betindak dalam perbuatan hukum tersebut. 3. Salah satu atau para pihak bertindak berdasarkan surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak. 4. Apabila pengalihan hak tersebut harus memperoleh ijin dari pemerintahan (instansi 11 Saleh Adiwinata, 1983, Pengertian Hukum adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, hal. 13.
  • 23. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 18 yang berwenang) menurut peraturan peundang-undangan, tetapi ijin tersebut belum diperoleh. 5. Tanah yang dijadikan objek pengalihan hak atas tanah sedang dalam sengketa. 6. Tidak terpenuhinya syarat lain atau dilanggarnya larangan dalam peraturan perundang-undangan lain. Peraturan lain mengenai kewenangan Notaris PPAT dapat kita jumpai dalam Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 PP No.37 tahun 1998 dan Pasal 15 UUJN. Berdasarkan bunyi pasal- pasal tersebut, dapat dianalisis kewenangan Notaris PPAT adalah sebagai berikut: 1. tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, atau akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak dalam satu daerah kerjanya, apabila salah satu bidang tanah atau Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek perbuatan hukum tersebut terletak di dalam daerah kerjanya.PPAT membuat akta sesuai dengan jumlah kabupaten / kota letak bidang tanah yang dilakukan perbuatan hukumnya, untuk kemudian masing-masing akta PPAT tersebut didaftarkan pada Kantor Pertanahan masing-masing daerah. Dari Pasal 15 UUJN dianalisis bahwa kewenangan Notaris PPAT adalah sebagai berikut: 1. Notaris PPAT memiliki kewenangan untuk memberikan penyuluhan hukum dan bantuan hukum dalam pembuatan akta otentik mengenai perbuatan hukum para pihak yang hendak dicatatkan, agar perbuatan hukum tersebut menjadi sah dan memiliki alat bukti otentik. Dalam menjalankan tugasnya untuk mencatatkan keinginan para pihak, dalam aktanya Notaris PPAT juga menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, dan menyimpan akta tersebut, serta memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, apabila pembuatan akta tersebut tidak ditugaskan ke pejabat atau instansi lain. 2. Notaris PPAT berwenang untuk mengesahkan tanda tangan dan kepastian tanggal akta-akta dibawah tangan yang kemudian di daftarkan pada buku khusus, membuat salinan dari akta-akta dibawah tangan sebagai lampiran dari akta yang didaftarkan di dalam buku khusus, 3. Notaris PPAT berwenang untuk melakukan legalisasi dokumen dengan mengecek dokumen asli terlebih dahulu, membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan risalah lelang. 2. Dalam Pasal 15 ayat (3) dijelaskan bahwa Notaris memiliki kewenangan lain yang diatur Notaris PPAT turut berwenang dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah yaitu sebagai pembuat akta yang merupakan bukti bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Perbuatan hukum tersebut antara lain jual beli;tukar menukar; hibah; pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); pembagian hak bersama; pemberian Hak Guna Bangunan / Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; pemberian Hak Tanggungan; pemberian Kuasa mem- bebankan Hak Tanggungan. 3. Notaris PPAT berwenang untuk membuat akta otentik untuk segala perbuatan hukum yang dijelaskan diatas mengenai Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang berada di daerah kerjanya. 4. Notaris PPAT membuat akta dalam peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menegaskan bahwa perseroan terbatas didirikan dengan akta Notaris;Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menegaskan bahwa akta Jaminan Fidusia dibuat dengan akta Notaris; dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menegaskan bahwa yayasan didirikan dengan akta Notaris. Peneliti menggunakan teori kewenangan untuk menganalisis kewenangan Notaris PPAT. Kewenangan Notaris PPAT merupakan ke- wenangan atribusi. Setiap tindakan pemerintahan (pejabat, instansi-instansi pemerintahan) harus berdasarkan atas kewenangan yang sah. Kewenangan dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi biasanya diberikan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang bersumber dari pelimpahan.12 Notaris PPAT tidak tunduk kepada instansi manapun dalam pemerintahan, karena Notaris PPAT memperoleh kewenangannya secara langsung dari peraturan perundang-undangan. Jadi, dapat diasumsikan bahwa kewenangan Notaris PPAT dalam transaksi pengalihan hak atas tanah seluruhnya telah diatur dalam PP No. 24 tahun 1997, PP No.37 tahun 1998, dan UUJN yangdalam pengaplikasiannya ditujukan untuk mengendalikan dan memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang hendak melakukan transaksi pengalihan hak. Berdasarkan pembahasan dan analisis peneliti dengan menggunakan teori kewenangan sebagai pisau analisis, makaPasal 39 Ayat (1) PP No.24 tahun 1997, Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 12 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 7
  • 24. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 19 4 PP No. 37 tahun 1998 dan Pasal 15 UUJN merupakan dasar kewenangan Notaris PPAT dalam melaksanakan jabatannya termasuk untuk melayani pihak-pihak penghadap yang hendak melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah. B. Dasar hukum Notaris PPAT Dalam Menerima Dan Menyimpan Sertifikat Tanah Yang Diserahkan Kepadanya Oleh Para Pihak Berdasarkan analisis peneliti terhadap kewenangan Notaris PPAT pada sub-bab sebelumnya, Notaris PPAT tidak memiliki kewenangan untuk menerima dan menyimpan sertifikat tanah atau dokumen apapun yang diserahkan oleh para pihak kepadanya, tetapi dalam praktiknya hal ini sangat umum dilakukan. Bila dilihat dari kewenangan Notaris PPAT dalam peraturan perundang-undangan, maka tidak dapat kita temukan dengan jelas bahwa Notaris PPAT berkewenangan menerima dan menyimpan sertifikat tanah yang dengan sepakat diserahkan oleh para pihak kepadanya. Namun, kewajiban PPAT Notaris dalam menerima dan menyimpan sertifikat tanah yang diserahan para pihak dapat dianalisis melalui Surat Menteri Pertanian / Agraria No. UNDA 4/1/16 sebagai Penjelasan resmi PMPA No. 2 tahun 1962 menyatakan bahwa: Perantaraan yang diberikan oleh para penjabat pembuat akta tanah merupakan “service” yang diwajibkan oleh peraturan ini dan oleh karena itu tidak diperkenankan untuk memungut dari yang berkepentingan suatu pembayaran tambahan di atas honorarium yang ia berhak menerimanya. Service semacam ini diwajibkan pula kepadanya oleh Peraturan Menteri Agraria No. 14 / 1961, mengenai pengiriman surat-surat permohonan izin pemindahan hak. Berhubungan dengan itu maka para penjabat dilarang untuk secara langsung atau tidak langsung menganjurkan apalagi memaksa pihak-pihak yang ber- kepentingan untuk tidak meminta perantaraannya akan tetapi meminta perantaraan orang-orang tertentu dengan memungut pembayaran tambahan. Berdasarkan pasal diatas, peneliti menarik kesimpulan bahwa penerimaan dan penyimpanan sertifikat oleh Notaris PPAT merupakan salah satu service wajib yang diberikan Notaris PPAT kepada para pihak yang menggunakan jasanya, service ini merupakan bagian dari tugas yang dilaksanakan oleh Notaris PPAT sehingga Notaris PPAT tidak diperkenankan melakukan pe- mungutan biaya tambahan untuk menerima sertifikat tanah, menyimpan sertifikat, tanah melakukan pengecekan sertifikat, dan proses balik nama ke kantor BPN. Untuk penerimaan sertifikat tanah tersebut, Notaris PPAT pada umumnya membuat surat tanda terima dokumen (STTD) atau Berita Acara Serah Terima Dokumen sebagai bukti bahwa telah terjadi penyerahan dan penerimaan sertifikat tanah, dalam surat tersebut Notaris PPAT biasanya menuliskan: “telah diterima sertifikat tanah dengan Nomor SHM …… yang tercatat atas nama …… untuk melakukan pengecekan ke kantor BPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” yang kemudian tandatangani oleh Notaris PPAT dan pihak yang menyerahkan. Dengan adanya kekosongan hukum terkait dengan kewenangan Notaris PPAT dalam menerima sertifikat tanah ini, perlu dibuat suatu peraturan yang mengatur mengenai kewenangan ini. Namun untuk mengisi kekosongan hukum, dapat dibuat suatu perjanjian penitipan. Penyerahan sertifikat tanah kepada Notaris PPAT dapat dikatakan sebagai penitipan barang. Menurut pasal 1694 KUHPerdata, “Penitipan barang terjadi bila orang yang menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama.” Dasar hukum perjanjian penitipan dapat kita lihat pada pasal 1313 KUHPer jo. Pasal 1234 KUHper. Berdasarkan pasal tersebut perjanjian telah memenuhi unsur-unsur dari suatu perjanjian, maka perlu dianalisis keabsahannya perjanjian penitipan tersebut sebagai suatu barang bukti. Pasal 1320 KUHPerdata menjelaskan syarat sahnya suatu pernjanjian ada 4, yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak dilarang. Melihat Pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian penitipan merupakan suatu perjanjian yang sah, karena: 1. Perjanjian penitipan yang ditandatangani oleh Notaris PPAT dan para pihak yang menyerahkan sertifikat berarti bahwa Notaris PPAT dan para pihak telah sepakat untuk saling mengikatkan dirinya dan menyatakan bahwa memang benar mereka melakukan serah-terima sertifikat tanah tersebut. 2. Notaris PPAT dan para pihak tentunya merupakan subjek hukum yang cakap untuk membuat perikatan (sesuai dengan syarat pengangkatan Notaris PPAT yang harus berumur minimal 30 tahun dan penghadap yang harus berusia minimal 18 tahun), maka unsur kecakapan para pihak telah terpenuhi. 3. Bahwa perjanjian penitipan merupakan perjanjian mengenai suatu persoalan tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan norma kesulilaan, yaitu serah terima sertifikat untuk keperluan pengecekan dan balik nama seritifkat. Dengan terpenuhinya syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka secara langsung perjanjian penitipan tersebut menjadi suatu undang-undang bagi pihak-pihak yang terikat didalamnya (Notaris PPAT dan para pihak penghadap) sesuai ketentuan Pasal 1338
  • 25. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 20 KUHPerdata. Tetapi yang menjadi kekurangan dari perjanjian penitipan adalah kekuatan pembuktiannya yang hanya berkekuatan sebagai akta dibawah tangan, hal ini dikarenakan peraturan dalam Pasal 52 ayat (1) dan (3) UUJN jo. Pasal 23 ayat (1) PP No. 37 tahun 1998. TANGGUNGJAWAB YURIDIS NOTARIS PPAT TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN TERHADAP SERTIFIKAT TANAH YANG DI SERAHKAN PARA PIHAK KEPADANYA. A. Tindak Pidana Penggelapan dalam Jabatan Notaris PPAT. Salah satu hal yang mencemari citra Notaris PPAT adalah tindak pidana penggelapan yang dilakukan Notaris PPAT, salah satu contohnya adalah kasus yang menjerat Notaris PPAT di Manado, yang akhirnya tertangkap di Surabaya setelah cukup lama menjadi buronan. Notaris PPAT di Manado tersebut didakwa menggelapkan empat buah sertifikat tanah bersama-sama dengan pihak penjual, yang mana sertifikat tersebut diserahkan kepadanya setelah transaksi pengalihan hak atas tanah selesai dilakukan dihadapan para pihak dan Notaris PPAT sendiri untuk dilakukan proses balik nama. Tetapi bukannya melakukan proses balik nama tersebut, Notaris PPAT bersangkutan bekerja sama dengan pihak penjual untuk menggadaikan keempat sertifikat tersebut. Hingga pihak pembeli yang merasa tertipu melaporkan Notaris PPAT bersangkutan dan penjual ke kepolisian setempat. Notaris PPAT tersebut kemudian dipanggil untuk diperiksa, kemudian bukannya memenuhi surat panggilan tersebut Notaris PPAT bersangkutan telah kabur, dan menjadi buron selama tiga tahun lamanya hingga tertangkap di Surabaya dan akhirnya dijatuhi hukuman penjara. Tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris PPAT tersebut selain melanggar peraturan hukum pidana juga melanggar ketentuan-ketentuan dalam PP No. 37 tahun 1998, UUJN, serta kode etik Notaris dan kode etik PPAT. Pengertian penggelapan secara yuridis dapat kita lihat dalam pasal 372 KUHPidana, yaitu: Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Dengan beranjak dari pasal 372 KUHPidana dapat disimpulkan bahwa tindak pidana penggelapan adalah seseorang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengakui barang milik orang lain sebagai miliknya sendiri, yang mana barang tersebut berada dalam kekuasaan bukan karena tindak kejahatan atau ancaman yang dilakukannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penggelapan adalah proses, cara, perbuatan menggunakan uang, barang, dsb, secara tidak sah, penyelewengan. Mengenai tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh Notaris PPAT, maka Notaris PPAT dapat dijerat dengan pasal 374 KUHPidana, yang berbunyi: Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena adanya hubungan kerja atau kerena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana paling lama lima tahun. B. Tanggungjawab Yuridis Notaris PPAT Terhadap Tindak Pidana Penggelapan. a. Tanggung jawab perdata Penyerahan sertifikat tanah oleh para pihak kepada Notaris PPAT dengan tujuan untuk melakukan pengecekan dan atau pendaftaran tanah dapat dikategorikan sebagai tindakan penitipan barang sesuai pasal 1694 KUHPerdata.Lebih lanjut mengenai kewajiban penerima titipan dijelaskan dalam pasal 1712 KUHPerdata, yang bunyinya: Penerima titipan tidak boleh memakai barang titipan tanpa izin yang diberikan secara tegas oleh pemberi titipan atau dapat disimpulkan adanya, dengan ancaman mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ada alasan untuk itu. Berdasarkan rumusan Pasal 1712 KUHPerdata maka tindakan Notaris PPAT yang menggelapkan sertifikat tanah yang dititipkan kepadanya dapat dijerat dengan ancaman mengganti biaya, kerugian dan bunga. Tanggungjawab perdata Notaris terkait dengan penggelapan sertifikat tanah yang diserahkan para penghadap kepadanya dapat dikonstruksikan berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1365 KUHPerdata me- nyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian bagi orang lain wajib untuk mengganti kerugian yang timbul karena kesalahannya itu Dalam hukum perdata, suatu kesalahan yang terjadi karena adanya wanprestasi, atau perbuatan melawan hukum dapat dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga. Pada gugatan atas dasar wanprestasi terkait dengan penitipan sertifikat tanah, petitum gugatan dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Gugatan pemenuhan 2. Gugatan ganti rugi 3. Kombinasi antara pemenuhan dan ganti rugi Sanksi perdata dan petitum ini pun berlaku bagi Notaris PPAT yang digugat oleh para penghadap apabila sertifikat tanah yang dititipkan para pihak diselewengkan atau disalahgunakan oleh Notaris PPAT. b. Tanggung jawab pidana Pertanggungjawaban pidana ada ketika subjek hukum melakukan kesalahan, kesalahan
  • 26. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 21 dapat terjadi karena kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Pemidanaan terhadap Notaris dapat dilakukan dengan melihat ketentuan Menurut pasal 63 ayat (2) KUHPidana, yang berbunyi: Apabila suatu perbuatan yang dapat dipidana menurut ketentuan pidana yang khusus disamping pidana yang umum, maka ketenuan pidana yng khusus itulah yang dipakai, sebaliknya apabila ketentuan pidana khusus tidak mengatur, maka terhadap pelanggaran tersebut akan dikenakan pidana umum yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Akan tetapi pemidanaan tersebut dapat dilakukan dengan melihat pada batasan-batasan yaitu:13 1. Adanya tindakan hukum dari Notaris PPAT yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan, serta direncanakan untuk melakukan suatu tindakan yang merugikan para penghadap, baik secara pribadi ataupun bekerja sama dengan orang lain sebagai dasar melakukan suatu tindak pidana. 2. Ada tindakan hukum dari Notaris PPAT dalam melaksanakan kewajibannya yang tidak sesuai dengan peraturan jabatan Notaris PPAT. 3. Tindakan Notaris PPAT tersebut juga tidak sesuai menurut insransi yang berwenang untuk menilai dn mengawasi tindakan Notaris PPAT. Pemberian sanksi pidana terhadap Notaris PPAT dapat diberikan sepanjang batasan-batasan tersebut diatas dilanggar. Yang artinya pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris PPAT selain memenuhi rumusan yang dimuat dalam perturan jabatannya juga harus memenuhi rumusan yang ada dalam KUHPidana. Hukuman pemberatan dapat diberikan karena dalam melakukan tindak pidana Notaris PPAT memenuhi syarat-syarat dalam pasal 52KUHPidana untuk memperoleh benda (sertifikat tanah) yang digelapkan. Terkait dengan tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh Notaris PPAT, Notaris PPAT dapat dijerat dengan pasal 374 KUHPidana, yang merupakan pasal pemberatan dari pasal 372 KUHPidana. Pasal 374 KUHPidana memiliki rumusan sebagai berikut: Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena adanya hubungan kerja atau kerena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana paling lama lima tahun. Adapun unsur-unsur dalam pasal 374 KUHPidana meliputi unsur-unsur sebagai berikut: 13 Habib Adjie, Op.Cit, hal. 201 a. Unsur subjektif: tindakan penggelapan yang dilakukan dengan sengaja dan melawan hukum b. Unsur objektif: menguasai barang milik orang lain, barang tersebut berada dalam kekuasaannya karena adanya hubungan kerja atau kerena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu. Untuk menjerat seorang Notaris PPAT dengan hukuman pidana berdasarkan pasal 374 KUHPidana, maka jaksa penutut umum dan hakim harus dapat membuktikan bahwa tindakan Notaris PPAT tersebut memenuhi unsur-unsur dalam pasal 374 KUHPidana. Berlandaskan teori pertanggungjawaban tersebut peneliti menyimpulkan bahwa apabila seorang Notaris PPAT yang memiliki tanggungjawab terhadap profesinya melakukan tindak pidana penggelapan, yang berarti bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum pidana, maka ia harus bertanggungjawab secara pidana atas perbuatannya tersebut sepanjang dapat dibuktikan bahwa tindakannya tersebut telah melanggar ketentuan dalam peraturan jabatan Notaris PPAT dan KUHPidana, sehingga sangatlah relevan jika Notaris PPAT yang melakukan tindak pidana penggelapan dituntut berdasarkan hukum acara pidana untuk dimintai pertanggungjawabannya. Dalam pertanggung jawaban pidana, Notaris PPAT bersangkutan bertanggungjawab secara individu. c. Tanggungjawab administratif Notaris PPAT. Sanksi adminitratif bagi Notaris PPAT dapat dilihat dalam Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN, Pasal 10 PP No. 38 tahun 1997 jo. Pasal 28 Peraturan Kepala BPN No. 1 tahun 2006. Ada 5 jenis sanksi administratif yang dapat diterapkan kepada Notaris PPAT, yaitu; 1. Teguran Lisan 2. Teguran Tertulis 3. Pemberhentian Sementara 4. Pemberhentian Dengan Hormat 5. Pemberhentian Tidak Hormat Sanksi-sanksi tersebut diatas berlaku secara berjenjang dimulai dari yang paling ringan (teguran lisan) hingga pemberhentian tidak hormat. Sanksi administrasi yang dijatuhkan kepada Notaris PPAT karena melanggar peraturan jabatan Notaris PPAT adalah sanksi internal, yaitu sanksi terhadap Notaris PPAT yang dalam melaksanakan tugas jabatan tidak melakukan serangkaian tindakan mengikuti tata tertib pelaksanakan tugas jabatan yang seharusnya dilakukan oleh Notaris PPAT. d. Tanggungjawab Moral Notaris PPAT Berdasarkan Kode Etik Notaris dan Kode Etik PPAT. Dengan adanya kode etik Notaris dan kode etik PPAT, Notaris PPAT diharapkan dapat
  • 27. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 22 memberikan pelayanan yang berlandaskan moral serta menghindarkan Notaris PPAT dari perbuatan tercela. Pelanggaran terkait dengan kode etik Notaris dan kode etik PPAT adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota per- kumpulan organisasi maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris PPAT yang melanggar ketentuan kode etik dan/atau disiplin organisasi. Pelanggaran kode etik Notaris PPAT dipicu dengan kemerosotan moral Notaris PPAT bersangkutan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kemerosotan moral Notaris PPAT adalah penyalahgunaan profesi; menjadikan profesi sebagai kegiatan bisnis; kurangnya kesadaran dan kepedulian sosial; kontinuasi sistem peradilan; pengaruh jabatan; gaya hidup yang konsumtif, faktor keimanan dan pengaruh sifat kekeluargaan.14 Sanksi dalam kode etik Notaris dan kode Etik dituangkan dalam Pasal 6 kode etik Notaris dan Pasal 6 kode etik profesi PPAT, yang dapat disimpulkan bahwa sanksi atas pelanggaran kode etik yang dijatuhkankan adalah sama, yaitu berupa teguran, peringatan, schorsing (pemecatan semen- tara) dari keanggotaan perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari ke- anggotaan perkumpulan. PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan terhadap permasalahan di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Wewenang Notaris PPAT dalam menerima dan menyimpan sertifikat tanah yang diserahkan para pihak yang menghadap tidak dimuat secara jelas dalam peraturan per- undang-undangan. untuk mengisi kekosongan hukum mengenai kewenangan Notaris PPAT dalam menerima dan menyimpan sertifikat tanah yang diserahkan para pihak, Notaris biasanya membuat Surat Tanda Terima Dokumen (STTD) dan atau Berita Acara Serah Terima Dokumen sebagai bukti penerimaan sertifikat tanah. 2. Terkait dengan tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh Notaris PPAT terhadap sertifikat tanah, Notaris PPAT dapat dimintai pertanggung jawaban: a. Tanggung jawab perdata: Pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan secara perdata kepada Notaris PPAT bersangkutan untuk memperoleh ganti rugi. b. Tanggung jawab pidana: Notaris PPAT dapat dijerat dengan Pasal 374 KUHPidana, dengan hukuman maksimal lima tahun penjara. 14 I Gede A.B. Wiranata, 2005, Dasar-Dasar Etika dan Moralitas (Pengantar Kajian Etika Profesi), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 261. c. Tanggung jawab administrasi ber- dasarkan peraturan jabatan Notaris PPAT: Notaris PPAT dapat dijatuhi sanksi administrasi berupa pem- berhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat, yang didahului dengan teguran lisan dan teguran tertulis. d. Tanggung jawab moral berdasarkan kode etik profesi Notaris dan kode etik profesi PPAT: Notaris PPAT dapat dijatuhi sanksi berupa teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan per- kumpulan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan per- kumpulan. B. Saran Saran yang dapat diberikan terkait dengan tanggungjawab Notaris PPAT atas sertifikat tanah yang diserahkan para pihak adalah: 1. Sebaiknya setiap perbuatan hukum yang melibatkan Notaris PPAT harus di- cantumkan jelas dalam UUJN dan peraturan jabatan PPAT, dengan demikian diharapkan agar kedepannya setiap kewenangan yang dimiliki oleh Notaris PPAT menjadi jelas dan tidak menimbulkan salah persepsi yang nantinya dapat menjerat dan merugikan kedudukan profesi Notaris PPAT sebagai pejabat umum dapat menjalankan profesinya. 2. Untuk mengisi kekosongan hukum, Notaris PPAT dapat membuat perjanjian penitipan, yang nantinya dapat digunakan sebagai alat bukti.
  • 28. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 23 DAFTAR ISI BUKU Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta. Habib Adjie, 2011, Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris & PPAT, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. I Gede A.B. Wiranata, 2005, Dasar-Dasar Etika dan Moralitas (Pengantar Kajian Etika Profesi), Citra Aditya Bakti, Bandung. Ignatius Ridwan Wiryadharma, 2001, Etika Profesi Hukum dan Peranannya, Cetakan I, Badan penerbit Universitas Diponegoro Semarang, Semarang. K. Wantjik Saleh, 1977, Hak Anda Atas Tanah, Cet. V, Ghalia Indonesia, Jakarta. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. P.L Wery, 2003, Hoofdzaken Maatschap , Vennootschap Onder Firma En Commanditaire Vennootschap, Kluwer, Deventer. Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. R. Soesanto, 1982, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta. Saleh Adiwinata, 1983, Pengertian Hukum adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahu n 2004 Tentang Jabatan Notaris. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.01.HT.03.01 Tahun 2006 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Dan Pemberhentian Notaris. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah Nomer 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan J abatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.01.HT.03.01 Tahun 2006 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Dan Pemberhentian Notaris. Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/Pu u-X/2012 Tertanggal 23 Maret 2012. Kode Etik Notaris. Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah. INTERNET Sudikno Mertokusumo, 2011, Arti Penemuan Hukum Bagi Notaris. http://sudiknoartikel.blogspot.com/2012/12/arti-penemuan-hukum-bagi-notaris_1004.html (cited: 13 Oktober 2013) *****
  • 29. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 24 EKSEKUSI BARANG JAMINAN KENDARAAN BERMOTOR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN NON BANK YANG TIDAK DIDAFTARKAN JAMINAN FIDUSIA Oleh : Gede Ray Ardian Machini Yasa NIM : 1092461035 Email; Gederayardian@yahoo.com Pembimbing I: Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH Pembimbing II: Dr. Putu Tuni Cakabawa L, SH.,M.Hum ABSTRACT This studyis intended tofind outwhat lies behind the creditorto execute against the collateralin themotor vehicles registeredin the fiduciaryandnon -bank financing agreementsdue execution ofthe lawsagainst the collateralof mo tor vehicles that are not registered fiduciary in non-bank financing agreements. This studyis anempirical legal research that this study willex amine the gap between the provisions of Article 11 of Law no.42 of 1999 with implementation in the field.Toobtainprimary data research field that is by doing research directly from the field to the informants, secondary data will be obtained through there search literature, namely the collection of various data obtained from the literature , magazinesin the field of lawin order to find the relevant the ory issues to be discussed. The resultobtained is that the execution of fiduciary agreement not registered in terms ofthe debtorin default the lendercan not use parate executie ( direct execution), but the execution remains to bedone by filing a civil action by the District Courtcivil proce edingsuntil decline in the judge's ruling that its implementation procedure takes a long time. Keywords: Execution, financing agreements, Fiduciary I. Pendahuluan Perkembangan di bidang ekonomi dan perdagangan telah mempengaruhi ber- kembangnya aneka jenis perjanjian dalam masyarakat, yang salah satunya adalah perjanjian pinjam-meminjam melalui lembaga pembiayaan dengan perjanjian standar. Perjanjian standar adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul- klausulnya distandarisasi oleh pembuatnya dan kemudian diberikan ke pihak lain, dan pihak lain itu pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan isinya.1 Suatu utang piutang merupakan suatu perbuatan yang tidak asing lagi bagi kehidupan dimasyarakat. Utang piutang tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang ekonominya lemah, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang ekonominya relatif mampu. Suatu utang diberikan atas integritas atau kepribadian debitur, kepribadian yang menimbulkan rasa kepercayaan dalam diri kreditur, bahwa debitur akan memenuhi kewajiban pelunasannya dengan baik. Akan tetapi juga suatu ketika nampaknya keadaan keuangan seseorang baik, belum menjadi jaminan bahwa nanti pada saat jatuh tempo untuk 1 Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo Jakarta, hal 119. mengembalikan pinjaman.2 Dalam hal pemberian fasilitas pembiayaan bagi debitur, maka lembaga pembiayaan juga membutuhkan adanya suatu jaminan dari pihak debitur. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suatu keyakinan dan keamanan bagi pihak kreditur atas kredit yang diberikannya mendapat jaminan pelunasan dari pihak debitur. Keberadaan lembaga dimaksud menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889, selanjutnya disebut UUJF). Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para konsumen untuk menguasai benda yang dijaminkan untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan Jaminan Fidusia. Salah satu konsumen dikemukakan mengadukan buruknya pelayanan lembaga pebiayaan karena hanya terlambat membayar cicilan selama tiga 2 J. Satrio, 1991, Hukum Jaminan, Hak- hak Kebendaan, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal 97.
  • 30. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 25 bulan kendaraan langsung ditarik. 3 Kasus seperti ini tentunya terlihat bahwa lembaga pembiayaan melakukan pelanggaran dalam kaitannya dengan pemberian kredit dengan menggunakan jaminan fidusia dan pelaksanaan eksekusinya pun cenderung juga tidak memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pihak konsumen. Dengan demikian lembaga jaminan perlu mendapat perhatian serius sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dalam praktik kehidupan masyarakat dalam rangka pembangunan Indonesia khususnya dibidang hukum, karena perkembangan ekonomi akan selalu diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka menarik untuk dibahas lebih lanjut dalam tesis ini dengan mengangkat judul “Eksekusi Barang Jaminan Kendaraan Bermotor Dalam Perjanjian Pembiayaan Non Bank Yang Tidak Didaftarkan Jaminan Fidusia”. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yaitu berupa tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut: a. Tujuan Umum adapun tujuan umum dari penelitan ini yaitu untuk pengembangan ilmu hukum terkait paradigma Science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu hukum tidak akan mandek dalam penggalian atas kebenaran, khususnya terkait dengan materi Eksekusi Barang Jaminan Kendaraan Bermotor Dalam Perjanjian Pembiayaan Non Bank Yang Tidak Didaftarkan Jaminan Fidusia. b. Tujuan Khusus 1. untuk mengetahui, mengkaji, dan meng- analisis yang melandasi melandasi pihak kreditur melakukan eksekusi terhadap barang jaminan kendaraan bermotor roda dua yang tidak didaftarkan jaminan fidusia; 2. untuk mengetahui, mengkaji, dan meng- analisis akibat hukum terhadap pe- laksanaan eksekusi barang jaminan kendaraan bermotor yang tidak didaftarkan jaminan fidusia oleh kreditur I. METODE PENELITIAN a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah jenis penelitian hukum empiris, yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan dan mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, Undang-Undang atau kontrak) secara in action/in abstracto pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat (in concreto).4 1.1.1.1.1 3 Harian Bali Post, 2013, “Lembaga Pembiayaan di Bali Banyak Melanggar Hukum”, hal. 3. b. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum empiris terdapat dua macam pendekatan yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. 5 Dalam penulisan karya ilmiah ini, agar mendapatkan hasil yang ilmiah, serta dapat dipertahankan secara ilmiah, maka masalah dalam penelitian ini akan dibahas menggunakan jenis pendekatan kualitatif. c. Lokasi Penelitian Mengenai lokasi yang dipilih untuk mendapatkan data primer adalah pada beberapa lembaga pembiayaan (lembaga pebiayaan) yang berkantor di Denpasar. Lokasi penelitian ini di- pilih dengan menggunakan teknik purposive/ jugmental sampling. yaitu “sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan atau penelitian subyektif dari peneliti”,6 karena lokasi tersebut telah memenuhi karakteristik yang representatif untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah yang akan diteliti. d. Sumber Data Dalam penelitian pada umumnya di- bedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat yang dinamakan data primer (data dasar) dan diperoleh dari bahan- bahan pustaka dinamakan data sekunder.7 Data primer dilakukan dengan penelitian lapangan, dengan cara melakukan penelitian secara langsung ke lapangan yang berasal dari para informan, yang mengetahui dan mengalami ke- jadian tersebut dan Data sekunder adalah pe- nelitian kepustakaan, baik bahan hukum primer, sekunder, tertier. e. Teknik pengumpulan data Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk men- dapatkan data primer adalah melalui wawancara. Wawancara adalah proses interaksi dan komunikasi serta cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang di wawancarai.8 teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk men- dapatkan data primer adalah melalui wawancara. wawancaraini dilakukan dengan, pelaku bisnis dan konsumen yang terkait. dan data sekunder sebagai pendukung data primer maka bahan hukum dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (card system). 4 Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 134 5 Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, hal. 192 6 Burhan Ashshofa, op.cit, hal.91 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 12 8 Ronny Hanitijo, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 57