Keluarga Yudha pindah ke rumah tua dan kumuh setelah ayahnya dituduh korupsi. Yudha awalnya marah pada ayahnya, tetapi setelah membaca surat ayahnya, Yudha menyadari ayahnya berkorban demi keluarga. Surat itu membuat Yudha menyesal atas sikapnya dan berjanji akan menjadi anak yang baik.
1. RASA SAYANG DIBALIK PENGORBANAN
“Ciiitttttt!!!” suara rem mobil tua yang kami tumpangi berdecit kencang. Pertanda
kami telah tiba di tujuan kami. Sebuah gubuk tua rapuh serta ringkih yang berada di
pinggiran Kota kembang Bandung, menyambut kedatangan kami. Terlihat cat dinding yang
sudah mulai mengelupas dimakan usia.
“Ma, beneran yang ini rumahnya?” tanyaku tidak percaya.
“Iya, ini rumah baru kita.” Jawab Mama.
Kepindahan kami menuju gubuk tua yang tak bertuan ini bukannya tanpa alasan.
Namun semenjak Ayahku yang bekerja sebagai Jenderal TNI AU terbukti bersalah atas
dugaan kasus korupsi. Rasa marah, sedih, serta malu, belum juga terhapuskan. Ditambah
dengan rasa kekecawaanku terhadap Ayah, semua terasa menggumpal dan amat sulit untuk
dilupakan.
“Yudha! Jangan bengong saja. Cepat masuk dan bantu Mama, sayang!” teriak Mama
dari dalam rumah.
Sesampainya didalam rumah, mataku tak henti - hentinya menjelajah seisi rumah.
Keadaan didalam rumah tak kalah mirisnya dengan keadaan diluar rumah. Dinding – dinding
penuh dengan coretan, serta beberapa bagian atap memiliki lubang yang besar.
“Loh, kok masih bengong aja sih? Itu, barang – barang milikmu. Cepat kamu bawa ke
kamar barumu.” Ucap Mama sambil menunjuk kardus tempat barang – barangku.
Setibanya dikamar yang kotor dan pengap, aku mulai membuka kardus kecil yang
ditunjuk oleh Mama tadi. Didalamnya terdapat beberapa potong baju dan beberapa barang
yang tidak berharga lainnya. Namun betapa kagetnya aku, ketika menemukan album foto
lama yang sudah usang didalamnya.
“Ini album apa ya? Rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat album ini.” Tanyaku
keheranan.
Perlahan, mulai kubuka lembaran – lembaran foto didalamnya. Didalam lembaran –
lembaran foto itu, tergambar jelas raut kegembiraan keluargaku. Didalamfoto itu pula,
kuingat jelas memori indah tentang Ayah. Terlukis indah didalamnya hubungan antara Ayah
2. dan anaknya. Saat – saat kami begitu akrab, dalam suka maupun duka. Yang tak kusangka
akan membuat air mataku mulai mencair.
“Yudha! Jangan cengeng, lagi pula itukan hanya masa lalu.” Ucapku dalam hati
sambil mengusap-usap air mata yang hampir menetes.
Setelah meletakkan buku album kenangan tersebut, aku lalu kembali untuk
memerika isi kardus yang tersisa. Dan kutemukan sepucuk surat didalamnya. Rasa heran
kembali mengisi ruang fikiranku.
“Surat apa ya?” hatiku bertanya-tanya.
Untuk Anakku tersayang,
Yudha
Ketika engkau membaca surat ini, mungkin semuanya telah sia – sia nak. Mungkin
sekarang Ayah sudah tidak dapat lagi bersamamu. Tidak dapat lagi menemani
keseharianmu. Bukan karena Ayah tidak mau, namun waktulah yang membatasi kita. Nak,
meskipun kini Ayahmu telah merasakan dinginnya tembok penjara. Atau panasnya siksa
kubur. Dan seberapa bencinya dirimu kepada Ayah, aku ingin kau tahu bahwa sebenarnya
segala yang kulakukan itu demi kamu. Maafkan Ayah, karena telah memilih jalan yang
salah.
Dari Ayahmu,
Sonny Widjaja
Air mata tak dapat kubendung lagi. Rasa kekecewaanku terhadap Ayah hilang
seketika, ketika kutahu bahwa beliau melakukannya demi aku.
“Ayah, aku minta maaf kepadamu. Aku berjanji Ayah, akan menjadi anak yang baik.
Tapi kapan kau akan kembali Ayah?”
“Ayaaaaahhhh!!!”
3. Air mata penyesalan terus mengucur, bahkan kedatangan Ibu yang coba
menenangkanku tiada sedikitpun berarti. Namun tetap saja, yang namanya penyesalan akan
tetap sia - sia.
---THE END---
Nama : Sugeng Dwi Setiawan
Tempat Tanggal Lahir : Blitar, 05 Oktober 1997
Alamat : Jl. Cengger Ayam 1/5 Malang
Email : sugengsetiawan97@gmail.com