Rangkuman analisis dampak penebangan hutan di Petak 57d Desa Melung:
1) Penebangan berpotensi meningkatkan bencana longsor dan erosi di lereng gunung yang curam.
2) Sumber air penting untuk irigasi persawahan dan mata air desa berada di kawasan hutan tersebut, sehingga penebangan dapat mempengaruhi ketersediaan air.
3) Kawasan hutan merupakan habitat satwa dilindungi seperti elang jawa dan macan tutul j
1. Lampiran 1. Analisa Dampak Penebangan Hutan
Sebagai respon atas surat Asper/BKPH Gunung Slamet Barat, KPH Perhutani
Banyumas Timur dengan nomor surat 9/042.3/GSB/BYT/Divre Jateng, tertanggal 2
Januari 2015 tentang Pemberitahuan Rencana Penebangan di Petak 57d, yang
ditujukan kepada Muspika Kecamatan Kedung Banteng, berikut di bawah ini hasil
kajian yang sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Melung. Analisa resiko
dilakukan dengan berkonsultasi dengan berbagai pihak, antara lain LMDH Pager
Gunung, Pemuka Agama, Tokoh Masyarakat, Kelompok Pemuda, dan LSM yang
bergerak dibidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
1. Faktor Resiko Bencana Longsor
Petak 57d terletak di sebelah utara dan timur lereng Gunung Cendana, yang
berada di sebelah utara Desa Melung. Antara petak 57d dengan Desa Melung,
terbentang perbukitan curam dengan kemiringan antara 30o
hingga 90o
.
Perbukitan tersebut dari segi kewilayahan terbagi menjadi 2 kategori, yaitu Hutan
Produksi Terbatas yang dikelola Perhutani dan Hutan Masyarakat yang dimiliki
oleh masyarakat Desa Melung.
Kondisi hutan didaerah sekitar rencana lokasi penebangan:
a. Hutan Produksi Terbatas
Kondisi hutan masih relatif terbuka pasca penebangan tahun 2001. Tanaman
damar sebagai tegakan utama belum besar, dengan ketinggian rata-rata 4-5
meter. Pada beberapa sub petak, penanaman damar tidak begitu berhasil,
sehingga kondisinya sangat terbuka.
Beberapa kali masyarakat atas bantuan pihak luar, melakukan penanaman di
lokasi tersebut atas seizin Perhutani. Tujuan penanaman masyarakat adalah
untuk menjaga agar lokasi tersebut tidak semakin rusak dan mengakibatkan
bencana longsor. Tanaman yang ditanam adalah jenis-jenis lokal (native
species) yang memiliki fungsi konservasi air yang sangat baik seperti aren dan
pucung.
Kondisi tanaman tersebut tidak sepenuhnya berhasil hidup karena berbagai
faktor, antara lain serangan babi hutan, terdesak oleh gulma dan juga faktor
kekeringan pada saat musim kemarau. Kegiatan perawatan masih dilakukan,
namun karena keterbatasan kegiatan, perawatan tersebut tidak dapat
menjangkau seluruh area dan seluruh tanaman yang sudah ditanam.
Keberhasilan program penanaman juga relatif rendah, di bawah 50%.
b. Hutan Masyarakat
Hutan milik masyarakat berbatasan langsung dengan Hutan Produksi Terbatas.
Kondisi hutan milik masyarakat relatif lebih rapat karena berisi tanaman-
tanaman keras yang sudah berumur puluhan tahun seperti cengkeh, kelapa,
aren, albasia dan tanaman buah-buahan. Selain itu, rapatnya tanaman di
hutan masayrakat karena dikelola secara terus menerus dengan sistem
tradisional sehingga tanaman relatif terpelihara dengan baik.
Untuk mengidentifikasi potensi bencana longsor, dilakukan analisa berbasis
spasial menggunakan software ARCGIS 10, yang meng-overlay antara data slope
yang dikeluarkan oleh USGS dengan citra satelit tahun 2012. Dalam analisa
spasial tersebut, dimasukkan juga lokasi indikatif rencana tebang Perhutani tahun
2015-2020, sesuai informasi yang diperoleh Pemerintah Desa Melung secara
informal. Hasil analisa spasial digambarkan dalam peta sebagai berikut:
2. Warna kuning pada peta
menggambarkan daerah dengan
potensi rawan longsor, dengan nilai di
atas 70% yang tersebar di Desa
Melung. Lokasi yang diindikasikan akan
direncanakan untuk dilakukan aktifitas
penebangan, terletak di lokasi yang
teridentifikasi rawan longsor.
Selain itu, topografi lokasi rencana
penebangan cenderung berupa
cekungan yang terdapat banyak sekali
sungai-sungai kecil. Ketiadaan pohon
di kawasan tersebut, berpotensi
menjadikan kawasan tersebut sebagai
"cawan air" yang dapat membuat
kondisi tanah menjadi gembur dan
tercipta semacam waduk lumpur.
Kondisi sedemikian sangat
membahayakan bagi kawasan di
sebelah selatan lokasi yang
topografinya sangat curam, sehingga
potensi jebol dan mengakibatkan
longsoran yang parah. Kondisi serupa ini telah terjadi di Banjarnegara pada tahun
2006 dan 2014 yang lalu.
Dari hasil survey lapangan yang dilakukan bersama antara Pemerintah Desa
Melung dengan Komunitas Cendana dan Biodiversity Society, ditemukan lokasi
yang mengalami longsoran baru-baru ini. Lokasi longsoran tersebut tepat di
sebelah timur lereng Gunung Cendana, berbatasan langsung dengan tanaman
damar yang ditanam tahun 1955, yang menurut informasi akan direncanakan
ditebang juga hingga tahun 2020. Berikut di bawah ini foto longsoran baru yang
didokumentasikan pada tanggal 19 Februari 2015 yang lalu:
2. Faktor Resiko Kekeringan dan Krisis Air
3. Petak 57 merupakan kawasan serapan air yang sangat vital bagi Desa Melung,
baik untuk kebutuhan konsumsi maupun kebutuhan pengairan sawah. Terdapat
lima saluran irigasi utama yang sangat bergantung pada petak 57, yaitu 1)
Wangan Wali, 2) Irigasi Kali Manggis I, 3) Irigasi Kali Manggis II, 4) Irigasi Wangan
Aren, dan 5) Irigasi Wangan Gayong. Lokasi saluran irigasi tersebut tergambar
pada peta Saluran Irigasi Desa Melung.
a. Wangan Wali
Untuk kebutuhan pengairan sawah, tak kurang sejak ratusan tahun yang lalu,
para sesepuh Desa Melung telah membuat saluran irigasi sepanjang 3,5
kilometer yang bersumber dari hulu Kali Pagu di sebelah utara Gunung
Cendana. Saluran tersebut
mengalir mengikuti kontur di
sebelah timur Cendana menuju
area persawahan di Dukuh
Melung. Saluran irigasi ini
menjadi satu-satunya sumber
pengairan untuk perwasahan di
Dukuh Melung dan mengairi
sekitar 3,2 hektar sawah. Debit
air Wangan Wali relatif
berkurang jauh sejak
penebangan tahun 2001. Kami
menyimpulkan bahwa ada
pengaruh signifikan antara
penebangan tersebut dengan
turunnya debit air Wangan Wali.
Selain itu, terjadi erosi yang
cukup parah dan membuat
Wangan Wali menjadi dangkal,
terutama di sebelah timur lereng
Gunung Cendana.
Dalam Peta Sebaran Mata Air
dan Irigasi Desa Melung,
tergambar bahwa Wangan Wali melintasi lokasi yang diindikasikan akan
dilakukan penebangan dalam periode 2015-2020. Jika dilakukan penebangan
kembali di petak 57, dikhawatirkan debit yang sudah kecil tersebut akan
semakin berkurang dan tidak mencukupi untuk mengairi persawahan. Selain
itu, potensi erosi juga dapat membuat saluran tersebut terputus.
b. Irigasi Kali Manggis I
Irigasi Kali Manggis I merupakan saluran air yang bersumber dari Kali Manggis
di sebelah barat lereng Gunung Cendana. Irigasi ini dibangun pada tahun 2012
untuk mengairi persawahan seluas 10,7 hektar yang tersebar di Dukuh Depok.
c. Irigasi Kali Manggis II
Irigasi Kali Manggis II merupakan saluran air yang bersumber dari Kali Manggis
di sebelah barat lereng Gunung Cendana. Irigasi ini dibangun pada tahun 2012
untuk mengairi persawahan seluas 2,1 hektar yang tersebar di Dukuh Depok.
4. d. Irigasi Wangan Aren
Irigasi Wangan Aren merupakan saluran air yang bersumber dari Kali Manggis
di sebelah barat lereng Gunung Cendana. Irigasi ini dibangun pada tahun 2009
untuk mengairi persawahan seluas 1,2 hektar yang tersebar di Dukuh
Kaliputra.
e. Irigasi Watu Gayong
Irigasi Watu Gayong merupakan saluran air yang bersumber dari Kali Manggis
di sebelah barat lereng Gunung Cendana. Irigasi ini dibangun pada tahun 2011
untuk mengairi persawahan seluas 9,4 hektar yang tersebar di Dukuh
Selarendeng.
Selain untuk keperluan irigasi,
masyarakat Desa Melung juga sangat
bergantung dengan keberadaan mata
air yang tersebar di Desa Melung.
Dalam peta Sebaran Mata Air dan
Irigasi Desa Melung, terdaftar
sebanyak 19 mata air yang tersebar
di empat perdukuhan. Akan tetapi,
sebaran mata air yang paling banyak
berada di tiga dukuh yaitu Dukuh
Melung, Dukuh Kaliputra dan Dukuh
Depok. Ketiga dukuh tersebut berada
tepat di bawah lereng Gunung
Cendana dan petak 57. Dukuh
Selarendeng tidak dijumpai banyak
mata air karena terdapat Gunung
Butak, sehingga kondisi hidrologinya
berbeda dengan ketiga dukuh
lainnya. (Sebaran mata air di Desa
Melung tergambar pada Peta Sebaran
Mata Air Desa Melung)
Dari 19 mata air yang ada, saat ini
hanya tersisa 7 mata air yang masih hidup dan digunakan oleh masyarakat untuk
keperluan konsumsi sehari-hari, sedangkan 12 mata air yang lain mati dalam
periode sepuluh tahun terakhir. Penebangan hutan yang dilaksanakan pada tahun
2001 yang lalu, diduga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
keberadaan mata air tersebut, mengingat, saat ini yang mata air yang masih
hidup lokasinya cenderung semakin dekat dengan kawasan hutan. Keterbatasan
stok air di dalam tanah, menyebabkan mata air yang jauh dari hutan tidak lagi
dapat mengeluarkan air.
Satu mata air yang kauh dari kawasan hutan Gunung Slamet, yaitu Tuk Watu
Gayong, terletak di lereng Gunung Butak. Gunung Butak sendiri merupakan
kawasan yang secara vegetasi dikelompokkan sebagai hutan masyarakat, di
mana kondisi vegetasinya selalu terjaga tetap rimbun, meskipun dikelola secara
intensif.
Dari peta tersebut dapat digambarkan kondisi mata air terkini di Desa Melung,
sebagai berikut:
1. Tuk Buyute, kondisi mati
5. 2. Tuk Gula Geseng, kondisi mati
3. Tuk Dregel, kondisi mati
4. Tuk Tekukan, kondisi mati
5. Tuk Kali Cilik, kondisi hidup
6. Tuk Kali Gombong, kondisi hidup
7. Tuk Mpete, kondisi mati
8. Tuk Capit Urang, kondisi mati
9. Tuk Igir Sapi, kondisi mati
10. Tuk Waton, kondisi hidup
11. Tuk Lubang, kondisi hidup
12. Tuk Goa Kampret, kondisi hidup
13. Tuk Yudi, kondisi mati
14. Tuk Talun, kondisi mati
15. Tuk Clirang, kondisi hidup
16. Tuk Pucung, kondisi hidup
17. Tuk Mpucung, kondisi mati
18. Tuk Watu Gayong, kondisi hidup
19. Tuk Aren, kondisi mati
Rencana penebangan di petak 57, dikhawatirkan akan meningkatkan potensi
matinya mata air yang tersisa di kawasan Desa Melung dan menyebabkan krisis
air konsumsi. Saat ini, jumlah air yang berasal dari ketujuh mata air tersebut
sudah tidak mencukupi kebutuhan air masyarakat. Semenjak tahun 2008, untuk
kebutuhan konsumsi air di Dukuh Melung, pasokan air konsumsi sudah
bergantung kepada suplai air dari Dukuh Kalipagu Desa Ketenger, atas kerjasama
antara Pemerintah Desa Melung dengan Pemerintah Desa Ketenger. Jika mata air
yang tersisa tidak dijaga dengan baik, dikhawatirkan pemukiman-pemukiman
yang selama ini bergantung kepada mata air tersebut akan kesulitan mendapat
pasokan air konsumsi.
3. Faktor Habitat Satwaliar Terancam Punah Dilindungi
Kawasan Hutan Produksi Terbatas yang masuk dalam Hutan Pangkuan Desa
Melung merupakan kawasan hutan yang menjadi habitat satwa terancam punah
dan dilindungi oleh PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa. Jenis-jenis satwaliar yang dilindungi yang menggunakan kawasan
Pangkuan Hutan Desa Melung antara lain elang jawa (Nisaetus bartelsi), elang
hitam (Ictinaetus malayensis), elang ular bido (Spilornis cheela bido), alap-alap
sapi (Falco moluccensis), alap-alap capung (Microhierax fringillarius), elang tikus
(Elanus caeruleus), owa jawa (Hylobates moloch), rekrekan (Presbytis fredericae),
lutung jawa (Trachypitecus auratus), macan tutul jawa (Panthera pardus melas),
kucing hutan (Prionailurus bengalensis), kijang (Muntiacus muntjak), trenggiling
(Manis javanica), sigung (Midaus javanensis) dan berbagai jenis famili
Nectariniidae. Data ini dihimpun oleh Biodiversity Society melalui monitoring
keragaman hayati sejak tahun 2002.
Di antara jenis dilindungi tersebut, terdapat 4 jenis yang menjadi prioritas
nasional yang ditetapkan sebagai bagian dari 25 Spesies Prioritas Nasional yang
Harus Ditingkatkan Populasinya di Alam. Keempat jenis tersebut yaitu elang jawa,
macan tutul jawa, owa jawa dan rekrekan.
Berdasarkan Permenhut Nomor P.58/Menhut-II/2013 tentang Strategi dan
Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa tahun 2013-2022, Gunung Slamet
diidentifikasi sebagai kawasan penting pelestarian elang jawa. Dokumen tersebut
memiliki visi untuk menjamin keberadaan populasi dan habitat elang jawa di
6. alam yang hidup secara harmoni dengan manusia. Tujuan dari diterbitkannya
peraturan tersebut adalah : a) sebagai acuan bagi para pihak di tingkat lokal,
regional dan nasional untuk menentukan prioritas kegiatan konservasi elang
jawa, dan b) menselaraskan tata ruang wilayah dan rancangan program di
tingkat lokal, regional dan nasional guna menjamin keberadaan habitat dan
populasi elang jawa di alam.
Berdasarkan hasil monitoring yang
dilakukan oleh Biodiversity Society
bersama dengan Pemerintah Desa
Melung dari tahun 2011 sampai 2014,
berhasil dipetakan penggunaan kawasan
oleh elang jawa sebagaimana
ditampilkan dalam Peta Habitat Elang
Jawa di Desa Melung.
Sebagian besar kawasan Desa Melung
digunakan elang jawa sebagai daerah
jelajah, dengan tujuan utamanya adalah
berburu mangsa. Wilayah tersebut
meliputi kawasan Hutan Produksi
Terbatas, Hutan Lindung dan juga hutan
masyarakat. Daerah perbatasan antara
Hutan Lindung dan Hutan Produksi
Terbatas diketahui sebagai habitat
bersarang elang jawa.
Dari hasil penelitian Biodiversity Society,
kawasan Desa Melung dinilai merupakan kawasan ideal untuk menunjang
kehidupan elang jawa. Dari hasil monitoring populasi pada tahun 2012,
ditemukan sebanyak 2 pasang elang jawa dan 1 ekor remaja. Pada tahun 2014,
teramati sebanyak 3 pasang elang jawa dan 1 remaja.
Keterlibatan masyarakat Desa Melung
dalam upaya konservasi elang jawa
sendiri sudah sangat baik. Hal ini
ditunjukkan melalui kegiatan
pelepasliaran elang jawa yang
dilakukan pada tahun 2012 yang lalu.
Kegiatan tersebut merupakan
kerjasama antara Biodiversity Society,
Pemerintah Desa Melung, Suaka
Elang, Balai Konservasi Sumber Daya
Alam Jawa Tengah dan didukung oleh
Indonesia Power. Pada kesempatan
tersebut, Wakil Bupati Banyumas Ir.
Achmad Husein (saat ini menjabat
sebagai Bupati Banyumas)
melepasliarkan elang jawa tersebut
yang beliau beri nama Dokjali (elang
jawa dalam bahasa Banyumas).
Keberadaan elang jawa tersebut
dipantau secara intensif selama 2
minggu pasca pelepasliaran, dan dipantau secara periodik hingga saat ini. Dari
hasil monitoring pasca pelepasliaran, Dokjali diketahui berhasil beradaptasi
7. dengan lingkungan baru. Bahkan beberapa kali teramati sedang melakukan
gerakan undulating yang merupakan gerakan untuk mempertahankan teritori
yang sedang digunakan sebagai daerah bersarang.
Selain mejadi habitat penting elang jawa, Gunung Slamet juga diidentifikasi
sebagai kawasan penting pelestarian owa jawa dan primata lainnya. Dari hasil
penelitian yang dilakukan sejak tahun 2002 - 2014, batas antara Hutan Produksi
Terbatas dengan Hutan Lindung merupakan kawasan yang dihuni oleh 3 jenis
primata terancam punah yaitu owa jawa, lutung jawa dan juga rekrekan. Selain
itu, terdapat 1 jenis primata yang termasuk dalam kategori Appendix II yaitu
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Populasi yang teramati berada di kawasan Pangkuan Hutan Desa Melung berkisar
antara 12 - 16 ekor yang terbagi dalam 4 kelompok. Masing-masing kelompok
hidup berdekatan satu sama lain akibat fragmentasi hutan pasca penebangan
tahun 2001. Pada tahun 2000, pergerakan kelompok tersebut diketahui hingga
Gunung Cendana dan Gunung Bunder, akan tetapi setelah tahun 2001,
pergerakan mereka hanya terbatas di Igir Malang. Populasi owa jawa tersebut
sulit untuk pindah ke lokasi lain, mengingat karakter owa jawa adalah menyukai
wilayah tepi hutan di mana banyak tersedia sumber pakan akibat pengaruh dari
melimpahnya sinar matahari. Sangat jarang teramati owa jawa beraktifitas jauh
di dalam hutan di kawasan Gunung Slamet.
Keterangan gambar:
kiri atas: Dokjali, elang jawa
yang dilepasliarkan pada tahun
2012 di Desa Melung,
kiri bawah: Ir. Achmad Husein
melepasliarkan elang jawa pada
bulan November 2012 di lereng
selatan Gunung Cendana,
kanan bawah: Antusiasme
masyarakat Desa Melung untuk
melepasliarkan elang jawa.
8. Jarak dari habitat owa jawa
dengan lokasi yang
direncanakan ditebang kurang
dari 1 kilometer. Dikhawatirkan
aktifitas ini akan mengakibatkan
populasi owa jawa tersebut
mengalami tekanan, mengingat
owa jawa merupakan satwa
yang sangat sensitif dan rentan
terhadap perubahan. Selain itu,
dengan kemampuan reproduksi
yang rendah (rata-rata 1 ekor
setiap 3-4 tahun), dikhawatirkan
populasi yang terdapat di
kawasan hutan di sekitar Desa
Melung tidak dapat bertahan.
Berdasarkan informasi
keberadaan satwaliar di
kawasan Desa Melung yang
berhasil dihimpun, rencana
penebangan tersebut
dikhawatirkan akan
bertolakbelakang dengan target
yang ingin diraih Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan
Hidup dalam bidang konservasi
satwaliar, terutama satwa terancam punah.
Di sisi lain, inisiatif monitoring yang sudah secara kontinyu dilakukan bersama
antara Pemerintah Desa Melung dengan Biodiversity Society, telah mendapat
perhatian dari Kementerian Kehutanan dengan dijadikannya kawasan Hutan
Pangkuan Desa Melung sebagai Permanent Monitoring Site untuk elang jawa, owa
jawa dan juga rekrekan melalui kegiatan monitoring tahunan yang dilakukan
bersama antara BKSDA Jawa Tengah, Pemerintah Desa Melung dan Biodiversity
Society.
Pengakuan lain dari Pemerintah Indonesia terhadap inisiatif Masyarakat Desa
Melung dalam upaya konservasi satwaliar berbasis masyarakat salah satunya
adalah dicantumkannya kegiatan di Desa Melung dalam memonitor populasi
elang jawa di dalam buku Status Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia,
yang telah dilaunching oleh Menteri Lingkungan Hidup pada tahun 2014 yang
lalu.
Selain kegiatan monitoring populasi satwaliar terancam punah, Pemerintah Desa
Melung juga berinisiatif untuk meredam aktifitas perburuan baik di kawasan desa
maupun di kawasan hutan. Merebaknya hobi senapan angin, telah meresahkan
masyarakat karena hampir setiap hari dijumpai para penghobi senapan angin
menembak semua jenis satwa yang ditemui. Hal ini jika dibiarkan akan
berdampak pada rusaknya kawasan hutan di sekitar Desa Melung. Oleh karena
itu pada tahun 2014 yang lalu, Pemerintah Desa bersama-sama dengan BKSDA
Jawa Tengah, Mandor Perhutani, Babinkamtibmas serta Biodiversity Society
memasang papan larangan perburuan di bebeberapa titik strategis di Desa
Melung. Selain memasang papan larangan, Pemerintah Desa juga mengajak
masyarakat secara aktif menegur pendatang yang membawa senapan angin
9. untuk tidak melakukan
perburuan di sekitar Desa
Melung. Cara ini cukup efektif
dengan menurunnya jumlah
orang yang mendatangi Desa
Melung maupun kawasan
Pangkuan Hutan Desa Melung
untuk tujuan berburu.
Dari beberapa analisa di atas,
kami atas nama Masyarakat
Desa Melung menyimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Penebangan di petak 57d dan juga rencana penebangan selanjutnya di petak 57
sangat beresiko menyebabkan longsor dan membahayakan keselamatan
masyarakat Desa Melung yang notabene tinggal tepat di bawah lokasi
penebangan.
2. Penebangan di petak 57d dan juga rencana penebangan selanjutnya di petak 57
beresiko menyebabkan kurangnya pasokan air baik untuk kepentingan irigasi
maupun konsumsi air bersih masyarakat. Berkaca dari dampak penebangan
tahun 2001 yang lalu, sebanyak 12 mata air berangsur-angsur berkurang debit
airnya dan kemudian mati. Dikhawatirkan penebangan yang akan datang akan
mengakibatkan mata air yang tersisa juga akan mati.
3. Kawasan Hutan Pangkuan Desa Melung merupakan habitat bagi 4 spesies
dilindungi yang terancam punah, yang diprioritaskan untuk ditingkatkan
populasinya di alam. Kegiatan penebangan tersebut dikhawatirkan akan
bertolakbelakang dengan capaian nasional yang ingin diraih oleh Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Demikian hasil analisa yang telah kami, Pemerintah Desa, lakukan dengan
mendengarkan dan menerima masukan dari berbagai pihak.