SlideShare a Scribd company logo
1 of 8
Bab I
PENDAHULUAN
“..Teori adalah pengetahuan yang diorganisasikan
dengan cara tertentu yang meletakkan fakta di bawah kaidah umum...”
- Kaplan dan Manners, 1972:43 TEORI – baik dalam ilmu alamiah maupun ilmu sosial – pada dasarnya merupakan
“alat” yang mempunyai fungsi untuk menjelaskan fakta yang sudah diketahui, dan
membuka celah pemandangan baru yang dapat mengantar kita menemukan fakta-fakta
baru pula. Artinya, kejadian yang sama kemudian ditafsirkan dalam konteks teoritik
yang berbeda, akan memunculkan jenis-jenis fakta berbeda pula.
Meskipun saya meyakini bahwa teori dapat menstimulasi ide-ide baru,
memudahkan mengajukan pertanyaan baru, dan secara umum menuntun pekerjaan
lapangan, namun saya menyadari bahwa bisa saja teori tersebut justru akan lebih
membebani, mengendalikan, bahkan merintangi pengembangan pamahaman peneliti
ketika di lapangan.1 Hanya saja, harus diakui bahwa peneliti yang melakukan penelitian
di lapangan tidak mungkin dapat membuat pemerian dan analisis tentang suatu
fenomena, jika ia tidak menggunakan teori tertentu.
Berkenaan dengan topik tentang isu teoritik dalam penelitian kebudayaan – yang
memusatkan perhatian pada karya etnografi yang ada – maka saya membahasnya
sebagai isu metodologis dengan mempersoalkan bagaimana memilih “peran” dan “cara
menempatkan” teori pada setiap karya etnografi yang berhasil terakses. Peran dan cara
menempatkan teori di satu sisi lebih mengarah pada istilah “kerangka konseptual” yang
biasanya dipaparkan dalam desain penelitian. Sedangkan di sisi lain, untuk melihat
peran dan cara menempatkan teori berdasarkan karya etnografi yang ada, akan dapat
dilihat berdasarkan asumsi-asumsi, pertanyaan-pertanyaan, bukti-bukti, fakta-fakta,

1

Pengalaman Jeremy Kemp (1988) ketika mengkaji komunitas desa di Asia Tenggara misalnya,
mendukung argumentasi akan hal itu. Dia tidak bisa mengeneralisasikan sebuah teori secara universal
dari hasil penelitian yang telah dikaji oleh para peneliti sebelumnya. Maka dia mengatakan bahwa untuk
menemukan garis tepat antara tuntutan teoritis dan determinasi berlebih dari teori-teori bukan lah tugas
yang mudah. Jika sebuah teori dipahami sebagai suatu ide, atau perangkat ide-ide, ditopang oleh bukti,
maka tuntaslah penelitian etnografis sebagai bagian dari proses kreatif teoritis.
serta temuan-temuan yang terbangun dari karya etnografi itu sendiri (bandingkan pada
Kaplan dan Manner,1972 dan Saifuddin, 2005).
Untuk melihat peran dan cara menempatkan teori berdasarkan hasil karya
etnografi yang ada, maka pertama saya harus berusaha untuk melakukan penjelajahan
terhadap

sejumlah

paradigma

(misalnya,

evolusionisme,

struktural

fungsional,

strukturalisme, materialisme kebudayaan, interpretivisme simbolik, hingga poststruktural atau postmodernisme). Kedua, saya harus berusaha terus menerus
membaca karya etnografi yang telah dihasilkan oleh peneliti kebudayaan. Hal itu
dilakukan semata-mata untuk melihat bahwa masing-masing karya etnografi tersebut
sebenarnya dapat dikegorikan isu teoritiknya.
Meskipun demikian, saya sangat menyadari bahwa dalam penjelajahan terhadap
sejumlah paradigma tersebut belum menghasilkan kerja yang ideal, apalagi mengingat
luas dan beragamnya paradigma kebudayaan yang terbentang di hadapan kita. Selain
itu, masing-masing paradigma mempunyai perbedaan disiplin, sudut pandang, bahkan
sentimen-sentimen sendiri-sendiri.
Demikian pula dalam membaca karya-karya etnografis, saya terbentur
keterbatasan mengakses sejumlah karya etnografi yang ada. Kendati, saya sangat
menyadari akan keterbatasan dalam menelisik

isu teroritik dalam penelitian

kebudayaan, namun tulisan berikut ini secara sederhana memcoba berusaha
mendiskusikan beberapa hal sebagai berikut, yakni (1) kategorisasri teori yang
digunakan para peneliti kebudayaan berdasarkan etnografi yang terakses; (2) peran
dan cara menempatkan teori-teori dalam karya etnografi; serta (3) refleksi yang
merupakan respons terhadap karya etnografi tersebut.
Mulai kapan dan karya etnografi harus direspons? Apakah tokoh Herbert
Spencer (1820-1903)2 yang menandai pemikiran teori evolusi masyarakat, atau Lewis

2

Dalam tulisan Herbert Spencer (Peel, Ed., 1972.) terungkap tentang konsepsi bahwa seluruh alam –
baik nonorganis, organis, maupun superorganis berevolusi, karena didorong oleh kekuatan mutlak yang
disebutnya evolusi universal. Penelitian Spencer lebih banyak menggunakan studi pustaka dari sejumlah
bahan etnografi. Buku Descriptive Sociology (1873-1934) dan Priciple of Sociology (1876-1896) memberi
gambaran menyeluruh tentang evolusi dari umat manusia. Kesimpulannya, perkembangan setiap
masyarakat dan kebudayaan dari setiap bangsa di dunia telah atau akan melalui tingkat evolusi yang
sama. Pemikiran Spencer inilah yang merupakan mengawali pemikiran tentang muncul teori evolusi
suatu masyarakat.
Henry Morgan (1818-1881)3 yang memperkenalkan tentang evolusi masyarakat kuno,
atau Edward Burnett Tylor (1832-1917)4 yang banyak mengkaji masyarakat primitif –
harus didiskusikan, meskipun ternyata karya etnografinya sebagian besar sulit terlacak
dan bahkan pengkajiannya lebih banyak berupa studi pustaka? Bagaimana juga
dengan tokoh Franz Boas – ahli geografi dari Jerman yang mempunyai peran besar
dalam

menandai

munculnya

teori

komparasi

dalam

penelitian

kebudayaan

(antropologi)?5
3

Morgan (1962 [1877]), dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan (kuesioner) tentang istilah
kekerabatan kepada beberapa suku bangsa seluruh dunia melalui lembaga Smithsonian Institute,
mendapatkan gambaran bahwa proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia kuno terdapat
delapan tingkat evolusi yang universal. Kedelapan tingkat itu adalah: (1) zaman liar tua, zaman sejak
manusia menemukan api, hidup meramu, dan mencari akar-akaran tumbuhan liar; (2) zaman liar madya,
zaman manusia menemukan api dan menemukan busur panah, yang kemudia manusia berubah dari
meramu menjadi pecari ikan di sungai atau berburu; (3) zaman liar muda, zaman sejak manusia
menemukan senjata busur panah hingga munculnya kepandaian membuat barang-barang tembikar; (4)
zaman barbar tua, zaman manusia menemukan kepandaian membuat tembikar hingga mereka mulai
berternak dan bercocok tanam; (5) zaman barbar madya, zaman manusia berternak, bercocok tanam,
dan menemukan kepandaian membuat benda dari logam; (6) zaman babar muda, zaman manusia
menemukan kepandaian dari logam sampai mengenal tulisan; (7) zaman peradaban purba; dan zaman
peradaban masa kini. Kedelapan itu tingkat evolusi itulah yang digunakan Morgan untuk melihat unsurunsur kebudayaan sejumlah suku bangsa Indian Amerika Serikat, penduduk asli Australia, Yunani, Roma
klasik, hingga bangsa Eropa.
4

Taylor (1971 [1871]), bertolak dari unsur-unsur kebudayaan seperti, sistem religi, kepercayaan,
kesusasteraan, adat istiadat, upacara, dan kesenian. Dalam buku ini Morgan mengajukan teorinya
tentang kebudayaan primitif dan asal mula religi yang dianggapnya mengalamai evolusi (dari animisme
ke monoteisme). Dengan cara melakukan studi pustaka terhadap 300 suku bangsa dan dibuktikan
dengan angka-angka statistik, Taylor berpendapat bahwa kebudayaan setiap masyarakat manusia
mengalami tingkat evolusi. Tingkat evolusi itulah, yang kemudian melahirkan konsep survivals.
5

Boas pula yang menandai kajian antropologi abad 20, terutama lahirnya perspektif relativis antropologi
budaya yang berkaitan dengan teori defusionisme yang menjadi landasan pembentukan deteminisme
budaya (Bohannan dab Glazer, 1988: 81-100). Bahkan Boas, 1963 (1911) mempunyai peran besar
dalam melihat terbatasnya metode komparasi dalam penelitian antropologi, dan Boaslah yang kemudian
mengajukan metode etnologi. Penelitian lapangan Boas (1963 [1911]) menulis buku The Mind of
Primitive Man yang mengungkapkan suku bangsa Eskimo (daerah pantai Buffinland), suku bangsa
Indian Belakula (pantai barat Kanada), juga kebudayaan Siberia, dan penduduk asli Amerika. Dari
sejumlah pengalaman penelitiannya inilah Boas mengutarakan pendapatnya atas perbedaan tegas
antara etnografi dan enologi. Ahli etnografi seolah hanya menjadi seorang juru catat suatu kebudayaan,
sedangkan sarjana etnologi mahir dalam teori-teori kebudayaan manusia. Menurutnya, sebaiknya
seorang etnografer juga menguasai teori sederajat dengan para teoritikus di belakang meja, sementara
para etnolog juga harus mampu melakukan penelitian di lapangan. Dari Boas lahirlah R.H. Lowie (1937)
yang menghasilkan konsep atau teori determinisme budaya dan menulis buku The History of Etnological
yang merupakan satu rangkaian tinjauan buku dari tokoh-tokoh antropologi yang penting hingga tahun
1935, khususnya menyangkut sistem kekerabatan dan asal mula religi. Akan tetapi, dalam beberapa hal
buku ini juga mengungkap hasil pemikiran Lowie yang bertolak dari penelitian lapangan yang
dilakukannya, terutama dari karya etnografinya yang berjudul The Social Life of Cow Indian (1912). Hasil
tinjauan buku yang dilakukan, Lowie mengemukakan bahwa para antropolog masa itu lebih banyak
mengkaji kebudayaan sejumlah suku bangsa di luar Ero-Amerika. Maka, berangkat dari konsep atau teori
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menelikung saya ketika menuliskan tulisan
ini. Maka tulisan berikut ini, hanya mendiskusikan beberapa kategori isu teoritik
berdasarkan hasil karya etnografi para peneliti kebudayaan, yang di dalamnya termuat
asumsi-asumsi, pertanyaan-pertanyaan, bukti-bukti, fakta-fakta, serta temuan-temuan
yang terbangun dari hasil penelitiannya. Di samping itu, diskusi isu teoritik dalam paper
ini tidak bertolak dari kurun waktu atau angka tahun penulisannya, juga tidak bertolak
dari klaim nama antropolog mewakili kategori teori tertentu.

Kategorisasi Teori-Teori Pada Karya Etnografi
Kategorisasi teori yang digunakan para karya etnografi pada dasarnya dapat dilihat dari
tiga perspektif, yakni (1) perspektif

masyarakat dan kebudayaan, (2) perspektif

diakronik, sinkronik, dan interaktif, serta (3) perspektif konstelasi teori-teori antropologi
(Banard, 2000 dan Saifuddin, 2005).
memunculkan

teori

transaksionalisme,

Kategori bertolak dari perspektif masyarakat

evolusionisme,

prosesualisme,

fungsionalisme,

marxisme,

struktural-fungsional,

post-strukturalisme,

strukturalisme

pendekatan daerah kebudayaan, dan feminisme. Kategori bertolak dari perspektif
kebudayaan memunculkan teori difusionisme, relavitisme, pendekatan kognitif,
intepretivisme, posmodernisme, pendekatan daerah kebudayaan, strukturalisme, poststrukturalisme, dan feminisme.
Perspektif sinkronik, diakronik, dan interaktif memunculkan teori sebagai berikut.
Teori evolusionisme, difusionisme, marxisme, dan pendekatan daerah kebudayaan
(sinkronik). Teori relativisme (termasuk kebudayaan dan kepribadian), strukturalisme,
struktural-fungsionalisme,

pendekatan

kognitif,

pedekatan

daerah

kebudayaan,

fungsionalisme, interpretivisme (diakronik). Teori transaksionisme, prosesualisme,
feminisme, post-strukturalisme, post-modernisme, fungsionalisme, interpretivisme, dan
marxisme (interaktif).
Perspektif konstelasi teori-teori, terdiri dari teori-teori evolusionisme, konflik,
tindakan

sosial,

struktural-fungsionalisme,

partikularisme-difusionisme

historis,

antropologi psikologi, dan strukturalisme. Evolusionisme terdiri dari teori evolisi awal,

determinisme budaya dia meneliti sejumlah bangsa di Ero-Amerika, sebagai salah satu cara untuk
menandai perkembangan antropologi di Amerika.
neo-evolusi, ekologi budaya, matrealisme kebudayaan, sosiobiologi, kebudayaan
materi. Konflik memunculkan teori konflik Marx, konflik Non-Marx. Konflik Simmel, dan
konflik neo-Marx. Tindakan sosial memunculkan teori tindakan sosial Weber, tindakan
sosial Bailey, tindakan sosial Parson, interaksionalisme simbolik, model generatif,
marxisme fenomenologis, teori tukar menukar. Struktural-fungsionalisme memunculkan
teori fakta sosial Durkheim, struktural-fungsionalisme Inggris, sistem teori, sibernetika,
teori

permainan,

analis

jaringan

sosial.

Partikularisme-difusionisme

historis

memunculkan teori partikularisme historis Boas, aliran kulturkriese, defusionisme
Inggris, dan etnohistoris. Antropologi psikologi memunculkan teori kebudayaan dan
kepribadian,

neo-antropologi

sosiolinguisitik,

akulturasi,

psikologi,

analisis

formal

dan antropologi simbolik.

dan

etnografi

Sedangkan

baru,

strukturalisme

memunculkan teori Altahusser (marxisme ilmiah), etnometodologi, dan antropologi
dialektif.

Epistemologi Kebudayaan
Keraguan yang paling mendasar yang selama ini mengemukan pada diri peneliti sosial
yang menggunakan pendekatan kebudayaan adalah apakah peneltian yang dilakukan
selama ini bisa dikatakan objektif atau justru sebaliknya dianggap subjektif. Keraguan
itu muncul disebabkan selama ini penelitian kebudayaan yang cenderung berhubungan
dengan subjektivitas manusia yang sifatnya kualititaf seringkali dianggap kurang
objektif. Sementara penelitian lain dengan paradigma kuantitatif

justru lebih

menonjolkan istrumen ilmiah yang terkontrol dianggap lebih objektif.
Bertolak dari argumentasi tersebut, tentu saja pengertian objektif dan subjektif
harus kita kembalikan pada persoalan epistemologi tentang eksistensi kebudayaan itu
sendiri. Apalagi, selama ini ada pandangan bahwa pengertian kebudayaan bukanlah
sesuatu yang given dan merupakan harga mati, tetapi justru menyangkut konstruksi
interpretasi terhadap sejumlah perilaku manusia. Sebagai interpretasi terhadap
sejumlah perilaku manusia, maka pendekatan kebudayaan tidak pernah tunggal, pasti,
bahkan objektif. Penelitian kebudayaan akan selalu mengikuti perubahan. Ia akan
selalu bergerak terus menerus. Hal itulah yang kemudian mendorong pada kesimpulan
yang kadangkala dianggap kurang objektif.
Di sisi lain, penelitian kebudayaan yang diekspresikan dalam bentuk etnografi –
yang biasanya mirip dengan penyajian karya sastra – seringkali justru menghadirkan
tanggapan yang multiinterpretasi. Ibarat membaca novel, etnografi adalah interpretasiinterpretasi yang terkonstruksi dari sejumlah realitas kebudayaan manusia. Seperti hal
Geertz (1960) misalnya, bertolak dari sebuah kota kecil Pare mampu mendeskrisikan
tentang kebudayaan Jawa adalah hasil interpretasi terhadap realitas kebudayaan
manusia yang ditelitinya. Sebab, fenomena kebudayaan tidak hanya sekadar
dideskripsikan sebagaimana adanya, namun ia bisa kita konstruksi melalui sejumlah
penafsiran.
Untuk mampu mengkonstruksi penafsiran tersebut dibutuhkan kejujuran si
peneliti.

Objektitvitas

dan

kejujuran

peneliti

merupakan

instrumen

penelitian

kebudayaan. Dengan kata lain, objektif atau subjektif sebuah penelitian kebudayaan
akan tergantung dari kejujuran peneliti kebudayaan itu sendiri. Sejalan dengan
eksistensi kebudayan yang selalu berubah terus menerus menuntut si peneliti untuk
mengkaji secara komprehensif.
Dengan demikian anggapan bahwa penelitian kebudayaan kurang menghasilkan
kesimpulan objektif masih harus kita pertanyakan, sepanjang dilatarbelakangi oleh
tingkat kejujuran si peneliti. Kejujuran si peneliti akan berkaitan langsung dengan
persoalan metodologis yang dikembangkan si peneliti kebudayaan menyikapai
gambaran kebudayaan manusia yang diteliti. Sementara menyangkut persoalan
metodologis akan akan berkaitan erat dengan penyikapan yang dilakukan peneliti
kebudayaan terhadap kata “logika” dan “kebenaran”.
Seperti

halnya

dilakukan

dalam

penelitian-penelitian

ilmian

yang

lain,

mengedepankan logika – baik menyenkut logika formal, logika matematis, logika
reflektif, logika linguistik, maupun logika kualitatif – merupakan syarat utama
menemukan kebenaran dalam penelitian kebudayaan. Di antara kategori logika
tersebut, penelitian kebudayaan lazim menggunakan logika kualitatif, yang lebih
menonjolkan pencarian kebenaran berdasarkan gambaran empirik di lapangan.Kualitas
kebenaran didasarkan pada realita yang ada.
Dengan bertolak dari realitas empirik tersebut, tentu sebuah deskripsi tentang
kebudayaan manusia tidak bisa digeneralisasikan. Penelitian kebudayaan biasanya
digunakan dalam ruang lingkup kebenaran yang terbatas atau kasus-kasus tertentu
saja. Melalui logika kualitatif, mungkin sekali salah satu kebudayaan ketika diamati atau
diteliti oleh orang berbeda, hasilnya akan berbeda pula. Maka, melalui logika kualitatif
dalam penelitian kebudayaan persoalan kebenaran yang dilandasi argumensi,
imajinasi, dan common sense (akal sehat) akan bersifat relatif.
Di sinilah, kebenaran sebuah penelitian kebudayaan selalu menganut hukum
probabilitas yang serba mungkin. Hal itu sejalan dengan asumsi dasar penelitian
kebudayaan bahwa pengetahuan kebenaran itu bersifat interpretatif. Yang cenderung
lebih menitikberatkan pada aspek-aspek humanistik manusia. Aspek-aspek ini akan
menyiratkan pengertian bahwa fenomena kebudayaan adalah unik, artinya manusia
satu dan yang lain tidak harus sama, sehingga kadangkala tidak memiliki hubungan
kausal yang jelas. Bahkan, kebenaran penelitian kebudayaan tidak harus relasional
yang memungkinkan kontrol proposisi lain. Logika penelitian kebudayaan tidak jarang
juga berbaur dengan intuisi, imajinasi, dan kreativitas si peneliti penelitian kebudayaan
tersebut.
Untuk itulah, kekuatan penelitian kebudayaan akan bertumpu pada kemampuan
metodologis si peniliti mengembangkan penelitian di lapangan. Pengembangan
penelitian lapangan ini tentu saja didukung oleh orisinalitas data di lapangan. Oleh
karena itu, peneliti kebudayaan diharapkan mampu melukiskan fenomena budaya dan
sejumlah kasus secara proporsional. Dalam kaitan ini, penelitian kebudayaan tak lagi
menciptakan generalisasi.
Berangkat tidak ingin menciptakan generaliasi, maka penelitian kebudayaan
lazim menggunakan pendekatan emik dan buakan mengunakan pendekatan etik.
Kedua pendekatan itu secara epistemologis memberi implikasi yang bertolak belakang.
Jika pendekatan etik lebih menonjolkan pada cara pandang yang bertolak dari sejumlah
pengetahuan, ilmu, serta pola pikir si peneliti, maka pendekatan emik justru lebih
mengedepankan pengetahuan, ilmu, dan pola pikir kebudayaan manusia yang menjadi
subjek penelitian.
Pendekatan emik diharapkan dapat menguraikan esensi fenomena kebudayaan
manusia pada kurun waktu tertentu. Pendekatan ini dianggap lebih relevan sebagai
usaha untuk mengungkap pola kebudayaan menurut persepsi pemilik kebudayaan
tersebut. Pendekatan emik lebih merepresentasikan tentang makna budaya bertolak
dari

dalam

si

pelaku

kebudayaan,

sedangkan

pendekatan

etik

cenderung

menempatkan makna kebudayaan bertolak dari luar kacamata yang dimiliki si peneliti
kebudayaan.
Dari pendekatan emik itulah, penulisan etnografi tentang suatu kebudayaan
manusia dapat dideskripsikan oleh si peniliti. Penulisan etnografi – baik berupa biografi
individu maupun keunikan kehidupan sehari-hari – subjek penelitian kebudayaan
biasanya secara naratif yang tidak jarang disertai dialog-dialog hidup. Bahkan, tidak
jarang penulisan etnografi mirip dengan sebuah novel. Dengan penulisan yang mirip
novel itulah, sejumlah peneliti ilmu sosial menilai laporan penelitian kebudayaan – yang
berbentuk etnografi – dianggap subjektif. Padahal, gambaran objektif terhadap suatu
kebudayaan secara epistemologi justu bertolak dari penulisan etnografi. Dengan
penulisan etnografi itulah kebudayaan manusia akan mampu menampilkan realitasnya.

More Related Content

What's hot

Pemikiran sosial klasik
Pemikiran sosial klasikPemikiran sosial klasik
Pemikiran sosial klasikFatin Halid
 
Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya
Kebudayaan Materi dan Materialisme BudayaKebudayaan Materi dan Materialisme Budaya
Kebudayaan Materi dan Materialisme BudayaSatrio Arismunandar
 
Sejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiSejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiNovira Chaniago II
 
Jurnal teori-teori-tentang-budaya
Jurnal teori-teori-tentang-budayaJurnal teori-teori-tentang-budaya
Jurnal teori-teori-tentang-budayaSella Ewinda P
 
Antropologi Budaya
Antropologi BudayaAntropologi Budaya
Antropologi Budayaarifdefri
 
02. korelasi antropologi dan ilmu lain
02. korelasi  antropologi dan ilmu lain02. korelasi  antropologi dan ilmu lain
02. korelasi antropologi dan ilmu lainIrman Aras
 
Tugas filsafat olahraga
Tugas filsafat olahragaTugas filsafat olahraga
Tugas filsafat olahragaEprilNur
 
Taksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdf
Taksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdfTaksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdf
Taksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdfherzanetti
 
Filsafat ppt resa sevia putri
Filsafat ppt resa sevia putriFilsafat ppt resa sevia putri
Filsafat ppt resa sevia putriResaSevia
 
Artikel filsafat lakatos
Artikel filsafat lakatosArtikel filsafat lakatos
Artikel filsafat lakatosThiya Apriana
 
Pengenalan sains sosial
Pengenalan sains sosialPengenalan sains sosial
Pengenalan sains sosialSyahremie Teja
 
1 pengantar-antropologi-sosial 2
1 pengantar-antropologi-sosial 21 pengantar-antropologi-sosial 2
1 pengantar-antropologi-sosial 2Arief Hanafie
 
Baru baru ppt yusril filsafat
Baru baru ppt yusril filsafatBaru baru ppt yusril filsafat
Baru baru ppt yusril filsafatYusril Yusril
 
Makalah filsum siap di print
Makalah filsum siap di printMakalah filsum siap di print
Makalah filsum siap di printLiza Fadilah
 
Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)
Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)
Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)DIP IPDN Angkatan 3
 
Sejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiSejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiYasirecin Yasir
 
Sejarah Filsafat Barat Modern
Sejarah Filsafat Barat ModernSejarah Filsafat Barat Modern
Sejarah Filsafat Barat ModernErni Setyaningsih
 

What's hot (20)

Pemikiran sosial klasik
Pemikiran sosial klasikPemikiran sosial klasik
Pemikiran sosial klasik
 
Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya
Kebudayaan Materi dan Materialisme BudayaKebudayaan Materi dan Materialisme Budaya
Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya
 
Sejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiSejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologi
 
Jurnal teori-teori-tentang-budaya
Jurnal teori-teori-tentang-budayaJurnal teori-teori-tentang-budaya
Jurnal teori-teori-tentang-budaya
 
Antropologi Budaya
Antropologi BudayaAntropologi Budaya
Antropologi Budaya
 
Michel foucault
Michel foucaultMichel foucault
Michel foucault
 
02. korelasi antropologi dan ilmu lain
02. korelasi  antropologi dan ilmu lain02. korelasi  antropologi dan ilmu lain
02. korelasi antropologi dan ilmu lain
 
Tugas filsafat olahraga
Tugas filsafat olahragaTugas filsafat olahraga
Tugas filsafat olahraga
 
Metode dan pendekatan dalam ilmu antropologi
Metode dan pendekatan dalam ilmu antropologiMetode dan pendekatan dalam ilmu antropologi
Metode dan pendekatan dalam ilmu antropologi
 
Taksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdf
Taksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdfTaksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdf
Taksonomi Ilmu Pengetahuan Kelompok 5.pdf
 
Teori ilmu sosial dasar
Teori ilmu sosial dasarTeori ilmu sosial dasar
Teori ilmu sosial dasar
 
Filsafat ppt resa sevia putri
Filsafat ppt resa sevia putriFilsafat ppt resa sevia putri
Filsafat ppt resa sevia putri
 
Artikel filsafat lakatos
Artikel filsafat lakatosArtikel filsafat lakatos
Artikel filsafat lakatos
 
Pengenalan sains sosial
Pengenalan sains sosialPengenalan sains sosial
Pengenalan sains sosial
 
1 pengantar-antropologi-sosial 2
1 pengantar-antropologi-sosial 21 pengantar-antropologi-sosial 2
1 pengantar-antropologi-sosial 2
 
Baru baru ppt yusril filsafat
Baru baru ppt yusril filsafatBaru baru ppt yusril filsafat
Baru baru ppt yusril filsafat
 
Makalah filsum siap di print
Makalah filsum siap di printMakalah filsum siap di print
Makalah filsum siap di print
 
Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)
Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)
Teori ilmu sosial s3 6-15 (prof nyoman)
 
Sejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiSejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologi
 
Sejarah Filsafat Barat Modern
Sejarah Filsafat Barat ModernSejarah Filsafat Barat Modern
Sejarah Filsafat Barat Modern
 

Viewers also liked

Inverted sentence23(1)
Inverted sentence23(1)Inverted sentence23(1)
Inverted sentence23(1)Michele Foo
 
Zlatibor
ZlatiborZlatibor
Zlatiborboban95
 
Inverted sentence
Inverted sentenceInverted sentence
Inverted sentenceMichele Foo
 
Inverted sentence23(1)
Inverted sentence23(1)Inverted sentence23(1)
Inverted sentence23(1)Michele Foo
 
Using Lifetime Value to Optimize Your Digital Marketing Investments
Using Lifetime Value to Optimize Your Digital Marketing InvestmentsUsing Lifetime Value to Optimize Your Digital Marketing Investments
Using Lifetime Value to Optimize Your Digital Marketing InvestmentsAdknowledge
 
Shaun Milne - TV's Digital Journey
Shaun Milne - TV's Digital JourneyShaun Milne - TV's Digital Journey
Shaun Milne - TV's Digital JourneyShaun Milne
 
Journalism @ 2014 - notes for MA Journalism students by @milnemedia
Journalism @ 2014 - notes for MA Journalism students by @milnemediaJournalism @ 2014 - notes for MA Journalism students by @milnemedia
Journalism @ 2014 - notes for MA Journalism students by @milnemediaShaun Milne
 
Targeting Millennial Cord Cutters: Why Digital Video Is the Way to Reach This...
Targeting Millennial Cord Cutters: Why Digital Video Is the Way to Reach This...Targeting Millennial Cord Cutters: Why Digital Video Is the Way to Reach This...
Targeting Millennial Cord Cutters: Why Digital Video Is the Way to Reach This...Adknowledge
 
Opportunities in Digital Video and Social Media: Reach and engage your audien...
Opportunities in Digital Video and Social Media: Reach and engage your audien...Opportunities in Digital Video and Social Media: Reach and engage your audien...
Opportunities in Digital Video and Social Media: Reach and engage your audien...Adknowledge
 
Customer Lifetime Value: The Core Metric in Marketing
Customer Lifetime Value: The Core Metric in MarketingCustomer Lifetime Value: The Core Metric in Marketing
Customer Lifetime Value: The Core Metric in MarketingAdknowledge
 
A FINANCIAL STATEMENT USING RATIO ANALYSIS AT MAHINDRA AND MAHINDRA LTD
A FINANCIAL STATEMENT USING RATIO ANALYSIS AT MAHINDRA AND MAHINDRA LTDA FINANCIAL STATEMENT USING RATIO ANALYSIS AT MAHINDRA AND MAHINDRA LTD
A FINANCIAL STATEMENT USING RATIO ANALYSIS AT MAHINDRA AND MAHINDRA LTDMurali RN
 
Social institution
Social institutionSocial institution
Social institutionSandy Viceno
 

Viewers also liked (15)

Masks completo
Masks completoMasks completo
Masks completo
 
Inverted sentence23(1)
Inverted sentence23(1)Inverted sentence23(1)
Inverted sentence23(1)
 
Caponata di Melanzane
Caponata di MelanzaneCaponata di Melanzane
Caponata di Melanzane
 
Zlatibor
ZlatiborZlatibor
Zlatibor
 
Inverted sentence
Inverted sentenceInverted sentence
Inverted sentence
 
Inverted sentence23(1)
Inverted sentence23(1)Inverted sentence23(1)
Inverted sentence23(1)
 
Using Lifetime Value to Optimize Your Digital Marketing Investments
Using Lifetime Value to Optimize Your Digital Marketing InvestmentsUsing Lifetime Value to Optimize Your Digital Marketing Investments
Using Lifetime Value to Optimize Your Digital Marketing Investments
 
Shaun Milne - TV's Digital Journey
Shaun Milne - TV's Digital JourneyShaun Milne - TV's Digital Journey
Shaun Milne - TV's Digital Journey
 
Journalism @ 2014 - notes for MA Journalism students by @milnemedia
Journalism @ 2014 - notes for MA Journalism students by @milnemediaJournalism @ 2014 - notes for MA Journalism students by @milnemedia
Journalism @ 2014 - notes for MA Journalism students by @milnemedia
 
Targeting Millennial Cord Cutters: Why Digital Video Is the Way to Reach This...
Targeting Millennial Cord Cutters: Why Digital Video Is the Way to Reach This...Targeting Millennial Cord Cutters: Why Digital Video Is the Way to Reach This...
Targeting Millennial Cord Cutters: Why Digital Video Is the Way to Reach This...
 
Opportunities in Digital Video and Social Media: Reach and engage your audien...
Opportunities in Digital Video and Social Media: Reach and engage your audien...Opportunities in Digital Video and Social Media: Reach and engage your audien...
Opportunities in Digital Video and Social Media: Reach and engage your audien...
 
DOLARIZACIÓN EN EL ECUADOR
DOLARIZACIÓN EN EL ECUADORDOLARIZACIÓN EN EL ECUADOR
DOLARIZACIÓN EN EL ECUADOR
 
Customer Lifetime Value: The Core Metric in Marketing
Customer Lifetime Value: The Core Metric in MarketingCustomer Lifetime Value: The Core Metric in Marketing
Customer Lifetime Value: The Core Metric in Marketing
 
A FINANCIAL STATEMENT USING RATIO ANALYSIS AT MAHINDRA AND MAHINDRA LTD
A FINANCIAL STATEMENT USING RATIO ANALYSIS AT MAHINDRA AND MAHINDRA LTDA FINANCIAL STATEMENT USING RATIO ANALYSIS AT MAHINDRA AND MAHINDRA LTD
A FINANCIAL STATEMENT USING RATIO ANALYSIS AT MAHINDRA AND MAHINDRA LTD
 
Social institution
Social institutionSocial institution
Social institution
 

Similar to Teori Etnografi

Tugas filsafat ppt AZZAHRA_037.pptx
Tugas filsafat ppt AZZAHRA_037.pptxTugas filsafat ppt AZZAHRA_037.pptx
Tugas filsafat ppt AZZAHRA_037.pptx22A037LailiyahSyafaa
 
Tugas filsafat PPT Lailiyah S. Zahra_037.pptx
Tugas filsafat PPT Lailiyah S. Zahra_037.pptxTugas filsafat PPT Lailiyah S. Zahra_037.pptx
Tugas filsafat PPT Lailiyah S. Zahra_037.pptx22A037LailiyahSyafaa
 
Ontologi Keilmuan_Lailiyah S. Zahra_037.pptx
Ontologi Keilmuan_Lailiyah S. Zahra_037.pptxOntologi Keilmuan_Lailiyah S. Zahra_037.pptx
Ontologi Keilmuan_Lailiyah S. Zahra_037.pptx22A037LailiyahSyafaa
 
Tugas filsafat PPT Azzahra_037.pptx
Tugas filsafat PPT Azzahra_037.pptxTugas filsafat PPT Azzahra_037.pptx
Tugas filsafat PPT Azzahra_037.pptx22A037LailiyahSyafaa
 
Tugas filsafat PPT Azzahra_037.pptx
Tugas filsafat PPT Azzahra_037.pptxTugas filsafat PPT Azzahra_037.pptx
Tugas filsafat PPT Azzahra_037.pptx22A037LailiyahSyafaa
 
Pert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdf
Pert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdfPert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdf
Pert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdfMThantawiJauhari
 
2 kebudayaan dlm-positivisme
2 kebudayaan dlm-positivisme2 kebudayaan dlm-positivisme
2 kebudayaan dlm-positivismegumaha
 
SosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptx
SosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptxSosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptx
SosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptxRazkyAhmad
 
Teori teori kebudayaan
Teori teori kebudayaanTeori teori kebudayaan
Teori teori kebudayaanKalaiSelvan235
 
Fenomenologi
FenomenologiFenomenologi
Fenomenologippi51
 
Ontologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSI
Ontologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSIOntologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSI
Ontologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSISUFINA SHUKRI
 
Makalah filsafat umum
Makalah filsafat umumMakalah filsafat umum
Makalah filsafat umumAyah Abeeb
 
Bab iii pembahasan
Bab iii pembahasanBab iii pembahasan
Bab iii pembahasanCindar Tyas
 
Filsafat pend
Filsafat pendFilsafat pend
Filsafat pendUNIB
 

Similar to Teori Etnografi (20)

Tugas filsafat ppt AZZAHRA_037.pptx
Tugas filsafat ppt AZZAHRA_037.pptxTugas filsafat ppt AZZAHRA_037.pptx
Tugas filsafat ppt AZZAHRA_037.pptx
 
Tugas filsafat PPT Lailiyah S. Zahra_037.pptx
Tugas filsafat PPT Lailiyah S. Zahra_037.pptxTugas filsafat PPT Lailiyah S. Zahra_037.pptx
Tugas filsafat PPT Lailiyah S. Zahra_037.pptx
 
Ontologi Keilmuan_Lailiyah S. Zahra_037.pptx
Ontologi Keilmuan_Lailiyah S. Zahra_037.pptxOntologi Keilmuan_Lailiyah S. Zahra_037.pptx
Ontologi Keilmuan_Lailiyah S. Zahra_037.pptx
 
Tugas filsafat PPT Azzahra_037.pptx
Tugas filsafat PPT Azzahra_037.pptxTugas filsafat PPT Azzahra_037.pptx
Tugas filsafat PPT Azzahra_037.pptx
 
Tugas filsafat PPT Azzahra_037.pptx
Tugas filsafat PPT Azzahra_037.pptxTugas filsafat PPT Azzahra_037.pptx
Tugas filsafat PPT Azzahra_037.pptx
 
22B_121_INDAH QORY P..pptx
22B_121_INDAH QORY P..pptx22B_121_INDAH QORY P..pptx
22B_121_INDAH QORY P..pptx
 
Pert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdf
Pert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdfPert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdf
Pert.-3.2-Antropologi-Budaya.pdf
 
Filsafat pendidikan
Filsafat pendidikanFilsafat pendidikan
Filsafat pendidikan
 
2 kebudayaan dlm-positivisme
2 kebudayaan dlm-positivisme2 kebudayaan dlm-positivisme
2 kebudayaan dlm-positivisme
 
Tugas Akhir Filsafat_Kelompok 4.pptx
Tugas Akhir Filsafat_Kelompok 4.pptxTugas Akhir Filsafat_Kelompok 4.pptx
Tugas Akhir Filsafat_Kelompok 4.pptx
 
SosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptx
SosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptxSosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptx
SosiologiKomunikasi_RazkyAhmad_44222010197.pptx
 
Teori teori kebudayaan
Teori teori kebudayaanTeori teori kebudayaan
Teori teori kebudayaan
 
Antropologi
AntropologiAntropologi
Antropologi
 
Fenomenologi
FenomenologiFenomenologi
Fenomenologi
 
Ontologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSI
Ontologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSIOntologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSI
Ontologi Ilmu FALSAFAH ILMU HNF 3012 UPSI
 
Makalah filsafat umum
Makalah filsafat umumMakalah filsafat umum
Makalah filsafat umum
 
Pss tutor (2)
Pss tutor (2)Pss tutor (2)
Pss tutor (2)
 
Bab iii pembahasan
Bab iii pembahasanBab iii pembahasan
Bab iii pembahasan
 
Filsafat pend
Filsafat pendFilsafat pend
Filsafat pend
 
asrangeofisika
asrangeofisikaasrangeofisika
asrangeofisika
 

Recently uploaded

adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxmtsmampunbarub4
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2noviamaiyanti
 
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPCMBANDUNGANKabSemar
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanNiKomangRaiVerawati
 
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaAbdiera
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasAZakariaAmien1
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfTaqdirAlfiandi1
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxg66527130
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfcicovendra
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxsyafnasir
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxRioNahak1
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...jumadsmanesi
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfandriasyulianto57
 
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdfWahyudinST
 
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPPOWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPAnaNoorAfdilla
 

Recently uploaded (20)

adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptxadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
adap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.pptx
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
 
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptxPRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
PRESENTASI EEC social mobile, and local marketing.pptx
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
 
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
 
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
5. HAK DAN KEWAJIBAN JEMAAH indonesia.pdf
 
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMPPOWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
POWERPOINT BAHAN AJAR SENYAWA KELAS VIII SMP
 

Teori Etnografi

  • 1. Bab I PENDAHULUAN “..Teori adalah pengetahuan yang diorganisasikan dengan cara tertentu yang meletakkan fakta di bawah kaidah umum...” - Kaplan dan Manners, 1972:43 TEORI – baik dalam ilmu alamiah maupun ilmu sosial – pada dasarnya merupakan “alat” yang mempunyai fungsi untuk menjelaskan fakta yang sudah diketahui, dan membuka celah pemandangan baru yang dapat mengantar kita menemukan fakta-fakta baru pula. Artinya, kejadian yang sama kemudian ditafsirkan dalam konteks teoritik yang berbeda, akan memunculkan jenis-jenis fakta berbeda pula. Meskipun saya meyakini bahwa teori dapat menstimulasi ide-ide baru, memudahkan mengajukan pertanyaan baru, dan secara umum menuntun pekerjaan lapangan, namun saya menyadari bahwa bisa saja teori tersebut justru akan lebih membebani, mengendalikan, bahkan merintangi pengembangan pamahaman peneliti ketika di lapangan.1 Hanya saja, harus diakui bahwa peneliti yang melakukan penelitian di lapangan tidak mungkin dapat membuat pemerian dan analisis tentang suatu fenomena, jika ia tidak menggunakan teori tertentu. Berkenaan dengan topik tentang isu teoritik dalam penelitian kebudayaan – yang memusatkan perhatian pada karya etnografi yang ada – maka saya membahasnya sebagai isu metodologis dengan mempersoalkan bagaimana memilih “peran” dan “cara menempatkan” teori pada setiap karya etnografi yang berhasil terakses. Peran dan cara menempatkan teori di satu sisi lebih mengarah pada istilah “kerangka konseptual” yang biasanya dipaparkan dalam desain penelitian. Sedangkan di sisi lain, untuk melihat peran dan cara menempatkan teori berdasarkan karya etnografi yang ada, akan dapat dilihat berdasarkan asumsi-asumsi, pertanyaan-pertanyaan, bukti-bukti, fakta-fakta, 1 Pengalaman Jeremy Kemp (1988) ketika mengkaji komunitas desa di Asia Tenggara misalnya, mendukung argumentasi akan hal itu. Dia tidak bisa mengeneralisasikan sebuah teori secara universal dari hasil penelitian yang telah dikaji oleh para peneliti sebelumnya. Maka dia mengatakan bahwa untuk menemukan garis tepat antara tuntutan teoritis dan determinasi berlebih dari teori-teori bukan lah tugas yang mudah. Jika sebuah teori dipahami sebagai suatu ide, atau perangkat ide-ide, ditopang oleh bukti, maka tuntaslah penelitian etnografis sebagai bagian dari proses kreatif teoritis.
  • 2. serta temuan-temuan yang terbangun dari karya etnografi itu sendiri (bandingkan pada Kaplan dan Manner,1972 dan Saifuddin, 2005). Untuk melihat peran dan cara menempatkan teori berdasarkan hasil karya etnografi yang ada, maka pertama saya harus berusaha untuk melakukan penjelajahan terhadap sejumlah paradigma (misalnya, evolusionisme, struktural fungsional, strukturalisme, materialisme kebudayaan, interpretivisme simbolik, hingga poststruktural atau postmodernisme). Kedua, saya harus berusaha terus menerus membaca karya etnografi yang telah dihasilkan oleh peneliti kebudayaan. Hal itu dilakukan semata-mata untuk melihat bahwa masing-masing karya etnografi tersebut sebenarnya dapat dikegorikan isu teoritiknya. Meskipun demikian, saya sangat menyadari bahwa dalam penjelajahan terhadap sejumlah paradigma tersebut belum menghasilkan kerja yang ideal, apalagi mengingat luas dan beragamnya paradigma kebudayaan yang terbentang di hadapan kita. Selain itu, masing-masing paradigma mempunyai perbedaan disiplin, sudut pandang, bahkan sentimen-sentimen sendiri-sendiri. Demikian pula dalam membaca karya-karya etnografis, saya terbentur keterbatasan mengakses sejumlah karya etnografi yang ada. Kendati, saya sangat menyadari akan keterbatasan dalam menelisik isu teroritik dalam penelitian kebudayaan, namun tulisan berikut ini secara sederhana memcoba berusaha mendiskusikan beberapa hal sebagai berikut, yakni (1) kategorisasri teori yang digunakan para peneliti kebudayaan berdasarkan etnografi yang terakses; (2) peran dan cara menempatkan teori-teori dalam karya etnografi; serta (3) refleksi yang merupakan respons terhadap karya etnografi tersebut. Mulai kapan dan karya etnografi harus direspons? Apakah tokoh Herbert Spencer (1820-1903)2 yang menandai pemikiran teori evolusi masyarakat, atau Lewis 2 Dalam tulisan Herbert Spencer (Peel, Ed., 1972.) terungkap tentang konsepsi bahwa seluruh alam – baik nonorganis, organis, maupun superorganis berevolusi, karena didorong oleh kekuatan mutlak yang disebutnya evolusi universal. Penelitian Spencer lebih banyak menggunakan studi pustaka dari sejumlah bahan etnografi. Buku Descriptive Sociology (1873-1934) dan Priciple of Sociology (1876-1896) memberi gambaran menyeluruh tentang evolusi dari umat manusia. Kesimpulannya, perkembangan setiap masyarakat dan kebudayaan dari setiap bangsa di dunia telah atau akan melalui tingkat evolusi yang sama. Pemikiran Spencer inilah yang merupakan mengawali pemikiran tentang muncul teori evolusi suatu masyarakat.
  • 3. Henry Morgan (1818-1881)3 yang memperkenalkan tentang evolusi masyarakat kuno, atau Edward Burnett Tylor (1832-1917)4 yang banyak mengkaji masyarakat primitif – harus didiskusikan, meskipun ternyata karya etnografinya sebagian besar sulit terlacak dan bahkan pengkajiannya lebih banyak berupa studi pustaka? Bagaimana juga dengan tokoh Franz Boas – ahli geografi dari Jerman yang mempunyai peran besar dalam menandai munculnya teori komparasi dalam penelitian kebudayaan (antropologi)?5 3 Morgan (1962 [1877]), dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan (kuesioner) tentang istilah kekerabatan kepada beberapa suku bangsa seluruh dunia melalui lembaga Smithsonian Institute, mendapatkan gambaran bahwa proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia kuno terdapat delapan tingkat evolusi yang universal. Kedelapan tingkat itu adalah: (1) zaman liar tua, zaman sejak manusia menemukan api, hidup meramu, dan mencari akar-akaran tumbuhan liar; (2) zaman liar madya, zaman manusia menemukan api dan menemukan busur panah, yang kemudia manusia berubah dari meramu menjadi pecari ikan di sungai atau berburu; (3) zaman liar muda, zaman sejak manusia menemukan senjata busur panah hingga munculnya kepandaian membuat barang-barang tembikar; (4) zaman barbar tua, zaman manusia menemukan kepandaian membuat tembikar hingga mereka mulai berternak dan bercocok tanam; (5) zaman barbar madya, zaman manusia berternak, bercocok tanam, dan menemukan kepandaian membuat benda dari logam; (6) zaman babar muda, zaman manusia menemukan kepandaian dari logam sampai mengenal tulisan; (7) zaman peradaban purba; dan zaman peradaban masa kini. Kedelapan itu tingkat evolusi itulah yang digunakan Morgan untuk melihat unsurunsur kebudayaan sejumlah suku bangsa Indian Amerika Serikat, penduduk asli Australia, Yunani, Roma klasik, hingga bangsa Eropa. 4 Taylor (1971 [1871]), bertolak dari unsur-unsur kebudayaan seperti, sistem religi, kepercayaan, kesusasteraan, adat istiadat, upacara, dan kesenian. Dalam buku ini Morgan mengajukan teorinya tentang kebudayaan primitif dan asal mula religi yang dianggapnya mengalamai evolusi (dari animisme ke monoteisme). Dengan cara melakukan studi pustaka terhadap 300 suku bangsa dan dibuktikan dengan angka-angka statistik, Taylor berpendapat bahwa kebudayaan setiap masyarakat manusia mengalami tingkat evolusi. Tingkat evolusi itulah, yang kemudian melahirkan konsep survivals. 5 Boas pula yang menandai kajian antropologi abad 20, terutama lahirnya perspektif relativis antropologi budaya yang berkaitan dengan teori defusionisme yang menjadi landasan pembentukan deteminisme budaya (Bohannan dab Glazer, 1988: 81-100). Bahkan Boas, 1963 (1911) mempunyai peran besar dalam melihat terbatasnya metode komparasi dalam penelitian antropologi, dan Boaslah yang kemudian mengajukan metode etnologi. Penelitian lapangan Boas (1963 [1911]) menulis buku The Mind of Primitive Man yang mengungkapkan suku bangsa Eskimo (daerah pantai Buffinland), suku bangsa Indian Belakula (pantai barat Kanada), juga kebudayaan Siberia, dan penduduk asli Amerika. Dari sejumlah pengalaman penelitiannya inilah Boas mengutarakan pendapatnya atas perbedaan tegas antara etnografi dan enologi. Ahli etnografi seolah hanya menjadi seorang juru catat suatu kebudayaan, sedangkan sarjana etnologi mahir dalam teori-teori kebudayaan manusia. Menurutnya, sebaiknya seorang etnografer juga menguasai teori sederajat dengan para teoritikus di belakang meja, sementara para etnolog juga harus mampu melakukan penelitian di lapangan. Dari Boas lahirlah R.H. Lowie (1937) yang menghasilkan konsep atau teori determinisme budaya dan menulis buku The History of Etnological yang merupakan satu rangkaian tinjauan buku dari tokoh-tokoh antropologi yang penting hingga tahun 1935, khususnya menyangkut sistem kekerabatan dan asal mula religi. Akan tetapi, dalam beberapa hal buku ini juga mengungkap hasil pemikiran Lowie yang bertolak dari penelitian lapangan yang dilakukannya, terutama dari karya etnografinya yang berjudul The Social Life of Cow Indian (1912). Hasil tinjauan buku yang dilakukan, Lowie mengemukakan bahwa para antropolog masa itu lebih banyak mengkaji kebudayaan sejumlah suku bangsa di luar Ero-Amerika. Maka, berangkat dari konsep atau teori
  • 4. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menelikung saya ketika menuliskan tulisan ini. Maka tulisan berikut ini, hanya mendiskusikan beberapa kategori isu teoritik berdasarkan hasil karya etnografi para peneliti kebudayaan, yang di dalamnya termuat asumsi-asumsi, pertanyaan-pertanyaan, bukti-bukti, fakta-fakta, serta temuan-temuan yang terbangun dari hasil penelitiannya. Di samping itu, diskusi isu teoritik dalam paper ini tidak bertolak dari kurun waktu atau angka tahun penulisannya, juga tidak bertolak dari klaim nama antropolog mewakili kategori teori tertentu. Kategorisasi Teori-Teori Pada Karya Etnografi Kategorisasi teori yang digunakan para karya etnografi pada dasarnya dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni (1) perspektif masyarakat dan kebudayaan, (2) perspektif diakronik, sinkronik, dan interaktif, serta (3) perspektif konstelasi teori-teori antropologi (Banard, 2000 dan Saifuddin, 2005). memunculkan teori transaksionalisme, Kategori bertolak dari perspektif masyarakat evolusionisme, prosesualisme, fungsionalisme, marxisme, struktural-fungsional, post-strukturalisme, strukturalisme pendekatan daerah kebudayaan, dan feminisme. Kategori bertolak dari perspektif kebudayaan memunculkan teori difusionisme, relavitisme, pendekatan kognitif, intepretivisme, posmodernisme, pendekatan daerah kebudayaan, strukturalisme, poststrukturalisme, dan feminisme. Perspektif sinkronik, diakronik, dan interaktif memunculkan teori sebagai berikut. Teori evolusionisme, difusionisme, marxisme, dan pendekatan daerah kebudayaan (sinkronik). Teori relativisme (termasuk kebudayaan dan kepribadian), strukturalisme, struktural-fungsionalisme, pendekatan kognitif, pedekatan daerah kebudayaan, fungsionalisme, interpretivisme (diakronik). Teori transaksionisme, prosesualisme, feminisme, post-strukturalisme, post-modernisme, fungsionalisme, interpretivisme, dan marxisme (interaktif). Perspektif konstelasi teori-teori, terdiri dari teori-teori evolusionisme, konflik, tindakan sosial, struktural-fungsionalisme, partikularisme-difusionisme historis, antropologi psikologi, dan strukturalisme. Evolusionisme terdiri dari teori evolisi awal, determinisme budaya dia meneliti sejumlah bangsa di Ero-Amerika, sebagai salah satu cara untuk menandai perkembangan antropologi di Amerika.
  • 5. neo-evolusi, ekologi budaya, matrealisme kebudayaan, sosiobiologi, kebudayaan materi. Konflik memunculkan teori konflik Marx, konflik Non-Marx. Konflik Simmel, dan konflik neo-Marx. Tindakan sosial memunculkan teori tindakan sosial Weber, tindakan sosial Bailey, tindakan sosial Parson, interaksionalisme simbolik, model generatif, marxisme fenomenologis, teori tukar menukar. Struktural-fungsionalisme memunculkan teori fakta sosial Durkheim, struktural-fungsionalisme Inggris, sistem teori, sibernetika, teori permainan, analis jaringan sosial. Partikularisme-difusionisme historis memunculkan teori partikularisme historis Boas, aliran kulturkriese, defusionisme Inggris, dan etnohistoris. Antropologi psikologi memunculkan teori kebudayaan dan kepribadian, neo-antropologi sosiolinguisitik, akulturasi, psikologi, analisis formal dan antropologi simbolik. dan etnografi Sedangkan baru, strukturalisme memunculkan teori Altahusser (marxisme ilmiah), etnometodologi, dan antropologi dialektif. Epistemologi Kebudayaan Keraguan yang paling mendasar yang selama ini mengemukan pada diri peneliti sosial yang menggunakan pendekatan kebudayaan adalah apakah peneltian yang dilakukan selama ini bisa dikatakan objektif atau justru sebaliknya dianggap subjektif. Keraguan itu muncul disebabkan selama ini penelitian kebudayaan yang cenderung berhubungan dengan subjektivitas manusia yang sifatnya kualititaf seringkali dianggap kurang objektif. Sementara penelitian lain dengan paradigma kuantitatif justru lebih menonjolkan istrumen ilmiah yang terkontrol dianggap lebih objektif. Bertolak dari argumentasi tersebut, tentu saja pengertian objektif dan subjektif harus kita kembalikan pada persoalan epistemologi tentang eksistensi kebudayaan itu sendiri. Apalagi, selama ini ada pandangan bahwa pengertian kebudayaan bukanlah sesuatu yang given dan merupakan harga mati, tetapi justru menyangkut konstruksi interpretasi terhadap sejumlah perilaku manusia. Sebagai interpretasi terhadap sejumlah perilaku manusia, maka pendekatan kebudayaan tidak pernah tunggal, pasti, bahkan objektif. Penelitian kebudayaan akan selalu mengikuti perubahan. Ia akan selalu bergerak terus menerus. Hal itulah yang kemudian mendorong pada kesimpulan yang kadangkala dianggap kurang objektif.
  • 6. Di sisi lain, penelitian kebudayaan yang diekspresikan dalam bentuk etnografi – yang biasanya mirip dengan penyajian karya sastra – seringkali justru menghadirkan tanggapan yang multiinterpretasi. Ibarat membaca novel, etnografi adalah interpretasiinterpretasi yang terkonstruksi dari sejumlah realitas kebudayaan manusia. Seperti hal Geertz (1960) misalnya, bertolak dari sebuah kota kecil Pare mampu mendeskrisikan tentang kebudayaan Jawa adalah hasil interpretasi terhadap realitas kebudayaan manusia yang ditelitinya. Sebab, fenomena kebudayaan tidak hanya sekadar dideskripsikan sebagaimana adanya, namun ia bisa kita konstruksi melalui sejumlah penafsiran. Untuk mampu mengkonstruksi penafsiran tersebut dibutuhkan kejujuran si peneliti. Objektitvitas dan kejujuran peneliti merupakan instrumen penelitian kebudayaan. Dengan kata lain, objektif atau subjektif sebuah penelitian kebudayaan akan tergantung dari kejujuran peneliti kebudayaan itu sendiri. Sejalan dengan eksistensi kebudayan yang selalu berubah terus menerus menuntut si peneliti untuk mengkaji secara komprehensif. Dengan demikian anggapan bahwa penelitian kebudayaan kurang menghasilkan kesimpulan objektif masih harus kita pertanyakan, sepanjang dilatarbelakangi oleh tingkat kejujuran si peneliti. Kejujuran si peneliti akan berkaitan langsung dengan persoalan metodologis yang dikembangkan si peneliti kebudayaan menyikapai gambaran kebudayaan manusia yang diteliti. Sementara menyangkut persoalan metodologis akan akan berkaitan erat dengan penyikapan yang dilakukan peneliti kebudayaan terhadap kata “logika” dan “kebenaran”. Seperti halnya dilakukan dalam penelitian-penelitian ilmian yang lain, mengedepankan logika – baik menyenkut logika formal, logika matematis, logika reflektif, logika linguistik, maupun logika kualitatif – merupakan syarat utama menemukan kebenaran dalam penelitian kebudayaan. Di antara kategori logika tersebut, penelitian kebudayaan lazim menggunakan logika kualitatif, yang lebih menonjolkan pencarian kebenaran berdasarkan gambaran empirik di lapangan.Kualitas kebenaran didasarkan pada realita yang ada. Dengan bertolak dari realitas empirik tersebut, tentu sebuah deskripsi tentang kebudayaan manusia tidak bisa digeneralisasikan. Penelitian kebudayaan biasanya
  • 7. digunakan dalam ruang lingkup kebenaran yang terbatas atau kasus-kasus tertentu saja. Melalui logika kualitatif, mungkin sekali salah satu kebudayaan ketika diamati atau diteliti oleh orang berbeda, hasilnya akan berbeda pula. Maka, melalui logika kualitatif dalam penelitian kebudayaan persoalan kebenaran yang dilandasi argumensi, imajinasi, dan common sense (akal sehat) akan bersifat relatif. Di sinilah, kebenaran sebuah penelitian kebudayaan selalu menganut hukum probabilitas yang serba mungkin. Hal itu sejalan dengan asumsi dasar penelitian kebudayaan bahwa pengetahuan kebenaran itu bersifat interpretatif. Yang cenderung lebih menitikberatkan pada aspek-aspek humanistik manusia. Aspek-aspek ini akan menyiratkan pengertian bahwa fenomena kebudayaan adalah unik, artinya manusia satu dan yang lain tidak harus sama, sehingga kadangkala tidak memiliki hubungan kausal yang jelas. Bahkan, kebenaran penelitian kebudayaan tidak harus relasional yang memungkinkan kontrol proposisi lain. Logika penelitian kebudayaan tidak jarang juga berbaur dengan intuisi, imajinasi, dan kreativitas si peneliti penelitian kebudayaan tersebut. Untuk itulah, kekuatan penelitian kebudayaan akan bertumpu pada kemampuan metodologis si peniliti mengembangkan penelitian di lapangan. Pengembangan penelitian lapangan ini tentu saja didukung oleh orisinalitas data di lapangan. Oleh karena itu, peneliti kebudayaan diharapkan mampu melukiskan fenomena budaya dan sejumlah kasus secara proporsional. Dalam kaitan ini, penelitian kebudayaan tak lagi menciptakan generalisasi. Berangkat tidak ingin menciptakan generaliasi, maka penelitian kebudayaan lazim menggunakan pendekatan emik dan buakan mengunakan pendekatan etik. Kedua pendekatan itu secara epistemologis memberi implikasi yang bertolak belakang. Jika pendekatan etik lebih menonjolkan pada cara pandang yang bertolak dari sejumlah pengetahuan, ilmu, serta pola pikir si peneliti, maka pendekatan emik justru lebih mengedepankan pengetahuan, ilmu, dan pola pikir kebudayaan manusia yang menjadi subjek penelitian. Pendekatan emik diharapkan dapat menguraikan esensi fenomena kebudayaan manusia pada kurun waktu tertentu. Pendekatan ini dianggap lebih relevan sebagai usaha untuk mengungkap pola kebudayaan menurut persepsi pemilik kebudayaan
  • 8. tersebut. Pendekatan emik lebih merepresentasikan tentang makna budaya bertolak dari dalam si pelaku kebudayaan, sedangkan pendekatan etik cenderung menempatkan makna kebudayaan bertolak dari luar kacamata yang dimiliki si peneliti kebudayaan. Dari pendekatan emik itulah, penulisan etnografi tentang suatu kebudayaan manusia dapat dideskripsikan oleh si peniliti. Penulisan etnografi – baik berupa biografi individu maupun keunikan kehidupan sehari-hari – subjek penelitian kebudayaan biasanya secara naratif yang tidak jarang disertai dialog-dialog hidup. Bahkan, tidak jarang penulisan etnografi mirip dengan sebuah novel. Dengan penulisan yang mirip novel itulah, sejumlah peneliti ilmu sosial menilai laporan penelitian kebudayaan – yang berbentuk etnografi – dianggap subjektif. Padahal, gambaran objektif terhadap suatu kebudayaan secara epistemologi justu bertolak dari penulisan etnografi. Dengan penulisan etnografi itulah kebudayaan manusia akan mampu menampilkan realitasnya.