SlideShare a Scribd company logo
1 of 248
1
DAFTAR ISI
PELAKSANAAN UU KORUPSI DAN LEX SPECIALIS
Andi Hamzah 4
PARPOL JANGAN TERBELAH (CATATAN AKHIR TAHUN
DEMOKRASI)
Marwan Mas 8
11 TAHUN KPK
Emerson Yuntho 11
MENGHUKUM MATI KORUPTOR? (REFLEKSI DAN TITIK BALIK
HUKUM 2014)
Mardiansyah SP 14
FORMAT BARU RELASI ISLAM DAN PANCASILA
Ma’mun Murod Al-Barbasy 17
REFLEKSI PEMERINTAHAN JOKOWI-JK
Idil Akbar 21
SEGERAKAN UU PEMILU 2019
Moh Mahfud MD 24
FAKSIONALISASI PARTAI DAN OLIGARKI ELITE
Wasisto Raharjo Jati 27
CATATAN TAHUN 2014 DAN HARAPAN 2015
Bambang Soesatyo 30
MENEGAKKAN KONSTITUSIONALISME
Janedjri M Gaffar 34
MENGHIDUPKAN DEMOKRASI DEMOKRAT
Gede Pasek Suardika 37
KONTROVERSI IZIN TERBANG QZ8501
W Riawan Tjandra 40
2015, BAGAIMANA NASIB PEMERINTAHAN JOKOWI?
Bawono Kumoro 43
KEHARUSAN SELEKSI HAKIM MK
Moh Mahfud MD 46
RELASI MEDIA & TERORISME
Ahmad Khoirul Umam 49
2
KPK MENANTANG PRESIDEN!
Tjipta Lesmana 52
KASUS BG VERSUS KPK
Romli Atmasasmita 56
PENEGAKAN HUKUM BELUM MENUNJUKKAN SINYAL
PERUBAHAN
Frans H Winarta 59
SILANG SENGKARUT TATA KELOLA DESA
Caswiyono Rusydie CW 62
AWAN POLITIK CUMULONIMBUS
Komaruddin Hidayat 66
KASUS BG: PERSILANGAN HUKUM PIDANA & TATA NEGARA
Gede Pasek Suardika 68
KURSI PANAS KAPOLRI
Marwan Mas 71
MORAL DI ATAS HUKUM
Moh Mahfud MD 74
PERSETUJUAN PERPPU PILKADA
Saldi Isra 77
KONTROVERSI EKSEKUSI MATI
Amzulian Rifai 80
EFEK JERA DAN DARURAT NARKOBA
Bambang Soesatyo 84
INDONESIA MOVE ON
Achmad M Akung 87
HUKUMAN MATI DALAM KONTEKS INTERNASIONAL
Dinna Wisnu 91
PROMOSI YANG ABAIKAN ETIKA
Victor Silaen 94
KASUS BG: ALAT BUKTI DAN TERSANGKA
Romli Atmasasmita 97
TEKNIK MEMILIH ARBITRER TERBAIK
Frans H Winarta 100
KASUS SAMAD DAN MASA DEPAN KPK
3
Moh Mahfud MD 104
MOMENT OF TRUTH BAGI POLRI
Reza Indragiri Amriel 107
PEMERINTAH TAK PERLU KHAWATIR PADA MEDIA MASSA
Hasan Asyari 110
PERHATIAN PADA KASUS BG
Yunus Husein 113
TIMUR TENGAH PASCA-ABDULLAH
Abdul Mu’ti 117
REVOLUSI MENTAL JOKOWI!
Mohammad Nasih 121
KE(TAK)JELASAN SIKAP PRESIDEN
Zainal Arifin Mochtar 124
PELEMAHAN KPK
Amzulian Rifai 128
MEMUDARNYA PESONA BINTANG
Gun Gun Heryanto 131
BUKAN SEKADAR OKNUM
Dinna Wisnu 134
SELAMAT(KAN) JALAN KPK (5)
Saldi Isra 137
SAATNYA PERPPU DAN KOMITE ETIK KPK
Gede Pasek Suardika 141
DEMAGOG
Moch Nurhasim 143
KARTEL POLITIK DAN POSISI JOKOWI
Aditya Perdana 146
DRAMATURGI POLITIK MADU TIGA
Idil Akbar 150
4
Pelaksanaan UU Korupsi dan Lex Specialis
Koran SINDO
27 Desember 2014
Kita telah memiliki sosok jaksa agung baru. Kita berharap, jaksa agung yang akarnya berasal
dari internal, bisa menjadi figur independen, mampu membuat strategi penegakan hukum
yang adil dan fair.
Ketegasan jaksa agung baru penting mengingat saat ini mengemuka kasus-kasus hukum yang
kontroversial terhadap sejumlah perusahaan, baik swasta maupun BUMN. Kasus-kasus
tersebut karena cenderung Undang-Undang Pemberantasan Korupsi ditafsirkan terlalu luas
sehingga keluar dari teori hukum pidana.
Belakangan ini kasus-kasus yang cukup ramai dibahas dan banyak menjadi kekhawatiran
para pebisnis adalah perkara pengadaan LTE PLTGU Belawan Medan; dan kerja sama PT
Indosat Tbk dan anak usahanya PT Indosat Mega Media (IM2) dalam penyelenggaraan 3G di
frekuensi 2.1 GHz. Dua kasus ini mirip karena diduga terjadi pemaksaan terhadap korporasi.
Pada kasus-kasus ini, perdebatan yang sudah sejak lama terjadi adalah, apakah layak tetap
menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ataukah selayaknya
menggunakan Undang-Undang lex specialis, mengingat ada payung hukum khusus selain UU
Tipikor. Adalah tugas mulia jaksa agung baru menempatkan kasus apakah layak dengan UU
Tipikor ataukah dengan lex specialis, seperti UU Telekomunikasi dan UU Kepabeanan.
Cukup menarik perhatian dalam perkara IM2, yang bahkan bisa dijadikan studi kasus hukum
karena kontroversinya. Kasus tersebut saat ini ramai di publik akibat munculnya dua putusan
kasasi Mahkamah Agung (MA) yang muncul tak berselang lama tapi saling bertentangan.
Dalam perkara IM2, MA mengeluarkan dua putusan kasasi yang tidak sinkron. Pertama,
kerja sama Indosat dan anak usahanya tersebut dianggap merugikan negara senilai Rp1,3
triliun berdasarkan perhitungan BPKP. Hal ini tertuang dalam putusan Kasasi Nomor
282K/PID.SUS/2014 tertanggal 10 Juli 2014, yang memutuskan Direktur Utama PT Indosat
Mega Media (IM2) Indar Atmanto dijatuhi hukuman pidana selama delapan tahun disertai
dengan denda sebesar Rp300 juta, dan kewajiban uang pengganti sebesar Rp1,358 triliun
yang dibebankan kepada korporasi IM2.
Sedangkan dalam putusan kasasi yang lain yaitu Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli
2014, yang isinya menolak kasasi yang diajukan Deputi Kepala Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investigasi atas putusan PTUN perkara IM2.
Bagaimana penyelesaiannya?
5
Lex Specialis
Perkara ini adalah tentang kerja sama antara PT Indosat Tbk dan anak usahanya PT IM2
dalam penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz. Bila melihat kasus ini melalui Undang-
Undang Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, terdapat 11 rumusan delik. Dengan demikian
apakah perbuatan menyewa jaringan internet Indosat harus ada izin Menkominfo atau tidak
perlu izin?
Jika harus mengajukan izin menteri dan IM2 tidak mendapat izin tetapi IM2 tetap
melanjutkan usahanya, maka IM2 termasuk melanggar Pasal 47 jo pasal 11 ayat (1) jo Pasal 7
UU Telekomunikasi tersebut. Pasal itu memuat ancaman pidana hingga maksimum enam
tahun penjara dan denda maksimum 600 juta rupiah. Itulah merupakan lex specialis.
Tetapi, saya tidak melihat pasal lain mana yang dilanggar. Hal ini juga telah diperkuat oleh
Surat Kementerian Komunikasi dan Informatika bernomor
T684/M.KOMINFO/KU.04.01/11/2012 yang menegaskan bahwa kerja sama Indosat dan
IM2 tersebut telah sesuai aturan. Sesungguhnya, bila pejabat atau Menteri Kominfo telah
mengatakan bahwa kerja sama Indosat dan IM2 serta perbuatan Indar Atmanto tidak
melawan hukum karena sudah sesuai UU Telekomunikasi, berarti dia tidak melawan hukum
seandainya pun negara dapat rugi.
Kejaksaan Agung seharusnya menggunakan dasar Undang-Undang Telekomunikasi sebagai
pengecualian (lex specialis). Bukan dengan menggunakan aturan yang bersifat umum (legi
generali). Dengan status lex specialis, artinya memiliki bobot lebih besar ketimbang undang-
undang legi generali.
Dalam memutuskan sebuah kasus yang menyangkut UU lex specialis, maka UU legi generali
harus mengikuti lex specialis. Namun mantan Dirut PT IM2, Indar Atmanto telah dijatuhi
pidana berdasarkan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Tidak tepat dalam perkara semacam
IM2 ini menggunakan legi generali.
Layak Bebas
PT IM2 dan mantan dirutnya layak bebas jika satu atau semua bagian inti delik tidak terbukti.
Ada tiga bagian inti delik atau delictsbestanddelen dalam Pasal 2. Pertama, unsur melawan
hukum. Kedua, unsur memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi. Ketiga, dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Apabila ini digunakan untuk mengusut kasus penggunaan jaringan 3G PT Indosat oleh PT
IM2, maka ketiga bagian delik dalam Pasal 2 itu harus termuat dalam surat dakwaan dan
harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun, jika satu bagian inti saja tidak
terbukti, maka putusannya menjadi bebas.
6
Perbuatan melawan hukum artinya beberapa pengertian, namun yang paling cocok untuk
korupsi ialah ”tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati uang tersebut”. Melawan
hukum ini berkaitan langsung dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi. Kedua bagian inti delik inilah yang paling penting.
Sedangkan bagian inti delik ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
otomatis terbukti jika dapat dibuktikan orang itu, dengan melawan hukum dia memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Hal yang sering terjadi dalam praktik penegakan hukum, sering salah kaprah mengenai Pasal
2 ini. Ketika telah merugikan keuangan negara, sudah langsung dianggap telah terjadi
korupsi. Padahal yang terpenting harus dibuktikan bahwa orang itu telah melawan hukum
dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Bahkan United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi Indonesia menegaskan
bahwa kerugian negara bukan unsur korupsi.
Jadi bagaimana jika negara sudah jelas mengalami kerugian tetapi orang itu tidak
memperoleh, mendapatkan, menerima uang yang jumlahnya besar (memperkaya) atau
menyebabkan orang lain atau korporasi menjadi kaya secara melawan hukum? Saya ulangi
yang terpenting dibuktikan ialah secara melawan hukum telah memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi. Berapa jumlahnya dan perbuatan itu melawan hukum. Jika tidak
dibuktikan itu semua, maka putusan itu keliru.
Kejaksaan Agung tidak menggunakan UU Telekomunikasi, barangkali karena tidak
berwenang menyelidiki delik telekomunikasi. Dalam proses persidangan juga sudah
menghadirkan Menkominfo saat itu. Bahkan ada surat edaran bahwa PT IM2 tidak
merugikan negara. Sehingga kementerian itu tidak gusar karena semua penyedia jasa layanan
internet di Indonesia menggunakan model bisnis yang sama.
Jadi PT IM2 tidak melawan hukum. Dan karena melawan hukum menjadi bagian dari inti
delik korupsi Pasal 2, maka terdakwa harus diputus bebas jika tidak melawan hukum karena
dakwaan tidak terbukti.
Selain itu untuk dapat menghitung dapat merugikan negara, maka semua akuntan atau auditor
dapat dipanggil sebagai ahli, tidak mesti BPKP. Namun yang harus dibuktikan lebih dulu
adalah apakah perbuatan terdakwa itu melawan hukum atau bertentangan dengan UU
Telekomunikasi atau tidak, dan berapa jumlah uang yang diperoleh secara melawan hukum?
Upaya mencari keadilan bagi Indar dengan dua putusan saling bertentangan maka ada
langkah peninjauan kembali (PK). Jika putusan itu nyata ada kekeliruan hakim yaitu
menjatuhkan pidana yang tidak didakwakan maka PK adalah sesuai Pasal 263 KUHAP. Ada
kelalaian hukum yang nyata dan ada putusan yang saling bertentangan.
7
Kasus IM2 memang bisa menjadi pertaruhan dan tugas mulia kejaksaan dan jaksa agung baru
untuk kembali menata dan mendudukan persoalan pelaksanaan UU Tipikor (legi generali)
dan lex specialis.
PROF DR ANDI HAMZAH SH
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana
8
Parpol Jangan Terbelah (Catatan Akhir
Tahun Demokrasi)
Koran SINDO
30 Desember 2014
Konflik internal dua partai politik besar belakangan ini menjadi ukuran bahwa di negeri ini
belum sepenuhnya dewasa dalam membangun demokrasi. Dua partai tersebut adalah Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar) yang sebetulnya bisa
disebut “partai senior” karena merupakan partai yang sudah eksis sejak Orde
Baru. Seharusnya mereka lebih matang dalam menata organisasi dan pergantian
kepemimpinan, bukan malah terjebak pada permainan dan kepentingan kelompok.
Salah satu penyebab kedua partai itu berkonflik lantaran terjebak antara mendukung atau
tidak mendukung pemerintahan baru. Dua kelompok elite parpol saling mengklaim
kebenarannya sendiri untuk memperebutkan jabatan ketua umum dengan beragam
kepentingan.
Jika dilihat perjalanan sejarahnya, PPP dan Golkar punya prestasi di saat Orde Baru. PPP
berhasil dengan posisinya yang selalu di luar pemerintahan, meski beberapa kali ada
kadernya dijadikan menteri oleh penguasa Orde Baru. Sedangkan Golkar begitu kokoh
menjadi pendukung pemerintah (the ruling party) selama hampir 32 tahun.
Tetapi kisruh internal kali ini malah dibelah oleh keinginan untuk masuk dalam jajaran
koalisi partai pemerintah di bawah kendali Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kelompok lainnya
bertekad di luar kekuasaan di bawah Koalisi Merah Putih (KMP). Wajar jika ada tudingan
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla punya andil dari terbelahnya soliditas partai yang
sejak awal mendukung calon Presiden Prabowo Subianto.
Jaga Soliditas
PPP terbelah setelah dua kubu melakukan muktamar. Kubu Romahurmuziy (Romy)
bermuktamar di Surabaya, sedangkan kubu Suryadharma Ali memilih Jakarta sebagai tempat
muktamar dengan memilih Djan Faridz sebagai Ketua Umum. Kepengurusan Muktamar
Surabaya di bawah pimpinan Romy yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM
dinyatakan tidak boleh melakukan kegiatan, setelah digugat di PTUN oleh kubu Djan
Faridz. Akibatnya, tidak sedikit pengurus DPW PPP menjadi korban pemecatan dari Ketua
Umum PPP versi Muktamar Surabaya lantaran mendukung kubu Muktamar Jakarta.
Bagi Golkar yang ikut-ikutan terbelah, setelah Aburizal Bakrie (ARB) terpilih kembali dalam
musyawarah nasional (munas) di Bali, kemudian kubu Agung Laksono juga melakukan
9
munas tandingan di Ancol, Jakarta.
Kedua susunan pengurus DPP sudah didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM, tetapi
dikembalikan ke Mahkamah Partai untuk diselesaikan melalui rekonsiliasi secara
musyawarah dan mufakat, sesuai Pasal 32 Ayat (3) UU Nomor 8/2008 tentang Parpol. Pihak
yang tidak menerima keputusan itu dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri (Pasal 32
Ayat 2 UU Parpol).
Fenomena dualisme kepengurusan cukup menghantui sejumlah partai jelang masa akhir
jabatan tahun 2015, terutama partai yang tergabung dalam KMP. Partai Gerindra, PAN, dan
PKS harus hati-hati dari kemungkinan perpecahan internal. Meski ketiga parpol itu punya
tokoh sentral yang punya karisma menenteramkan kader dan elite parpol dalam perbedaan
pendapat, tetapi tidak tertutup adanya celah yang bisa dimasuki orang luar untuk memecah
belah kesolidan mereka.
Gerindra ada Prabowo Subianto yang punya karisma untuk menangkal isu mendukung
pemerintah yang bisa menimbulkan perpecahan. Begitu pula PAN, ada Amien Rais sebagai
pemegang kebijakan partai, bahkan PAN punya sistem kuat dalam pergantian
kepemimpinan. Bagi PKS yang dikenal partai kader dengan jenjang pengaderan dari tingkat
bawah sampai DPP, sehingga soliditas mereka sangat kuat dan tidak mudah dipecah.
Meski begitu, harus tetap waspada dan menjaga soliditas kader agar tidak mudah
dibenturkan. Kita ingin parpol yang kuat, sebab dualisme kepengurusan di PPP dan Golkar
jelas tidak kondusif bagi pembangunan demokrasi ke depan.
Regenerasi dan Kaderisasi
Salah satu yang sering disoroti pada sebagian besar parpol adalah soal regenerasi dan
kaderisasi. Pimpinan parpol selalu tidak sadar akan hal itu. Biasanya barulah tersentak
tentang pentingnya regenerasi dan kaderisasi saat menyusun calon anggota legislatif (caleg)
menjelang pemilu.
Partai kelimpungan mencari caleg untuk memenuhi ketentuan undang-undang, sehingga
banyak caleg yang dipasang tidak dikenal reputasinya. Hanya sekadar memburu kepentingan
sesaat dengan mengandalkan kemampuan finansial dan elektabilitas belaka.
Masih kuatnya dominasi tokoh senior (tokoh tua) pada pucuk kepemimpinan parpol, menjadi
indikasi kalau parpol sedang krisis regenerasi dan kaderisasi. Sebut saja, Megawati
Soekarnoputri di PDIP, ARB di Partai Golkar, Prabowo Subianto di Partai Gerindra, Surya
Paloh di Partai Nasdem, Wiranto di Partai Hanura, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
di Partai Demokrat. Tetapi karena tokoh itu masih dibutuhkan sebagai pemersatu yang
karismatik dan panutan kader, posisinya sangat sulit digantikan oleh kader muda.
10
Salah satu penyebab krisis regenerasi yang dialami sebagian besar parpol ialah tidak adanya
upaya maksimal melakukan pengaderan untuk dipersiapkan menjadi pemimpin. Calon
pemimpin diukur melalui lamanya menjadi pengurus dan jabatan apa yang pernah dipegang,
serta mampu memengaruhi pemilik suara yang ada di kepengurusan daerah. Bahkan ada yang
bisa jadi ketua umum parpol tanpa pernah menjadi pengurus teras, tanpa melalui jenjang
pengaderan, tetapi hanya karena punya kekuasaan dan uang.
Kader muda potensial di parpol sepertinya kurang mendapat ruang yang memadai. Apalagi
kalau berpikiran progresif untuk perubahan sesuai kehendak rakyat, yang kadang tidak
sejalan dengan kebijakan dan pemikiran elite partai. Padahal, pemikiran kaum muda
senantiasa berkumandang di balik setiap episode penting perjalanan bangsa. Sangat beralasan
apabila tiap parpol berani mempromosikan kader muda di level kepemimpinan nasional.
Tokoh senior elite parpol diharapkan cepat menyadari hal ini, betapa urgennya keterlibatan
tokoh muda dalam jajaran kepengurusan partai. Jika parpol ingin tetap eksis dalam jangka
panjang dan tidak terbelah oleh konflik, tuntutan untuk melahirkan generasi politik muda
merupakan sesuatu yang niscaya.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
11
11 Tahun KPK
Koran SINDO
31 Desember 2014
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 29 Desember 2014 lalu, tepat berusia 11
tahun. Keberadaan lembaga antikorupsi yang berdiri pada akhir tahun 2013 ini telah menjadi
harapan bagi seluruh rakyat Indonesia yang sudah lama frustrasi atas merebaknya korupsi di
negeri ini.
Meski pada awal berdiri muncul banyak pesimisme, perlahan tapi pasti KPK mulai menjadi
institusi yang ditakuti atau setidaknya menjadi ancaman bagi para koruptor. Upaya
pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh komisi antirasuah ini telah menyentuh hampir
semua lini, mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga kelompok bisnis. Wilayah
kerjanya mulai dari pusat hingga daerah. Sudah ratusan koruptor yang berhasil dijerat KPK
dan dijebloskan ke penjara.
Selama 11 tahun kinerjanya memberantas korupsi, dalam catatan Indonesia Corruption
Watch (ICW) terdapat sejumlah prestasi yang berhasil diraih KPK. Di antaranya seluruh
kasus korupsi yang disidik dan dituntut oleh KPK pada akhirnya divonis bersalah oleh
pengadilan. Tidak ada satu pun koruptor yang divonis bebas ketika prosesnya sudah sampai
ke pengadilan.
Prestasi KPK lainnya yang tidak dimiliki lembaga lain adalah berhasil menjerat praktik
korupsi yang dilakukan antara lain oleh tiga menteri aktif di era pemerintahan SBY, yaitu
Andi Mallarangeng, Jero Wacik, dan Suryadharma Ali. KPK juga telah memproses kasus
korupsi yang melibatkan jenderal polisi aktif, yaitu Irjen Pol Djoko Susilo; dan Ketua
Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Sejak KPK beroperasi hingga kini tercatat uang negara
Rp249 triliun berhasil diselamatkan.
Dalam aspek penindakan, KPK telah melakukan sejumlah terobosan, antara lain dengan
sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) pelaku korupsi, menjerat dan memiskinkan pelaku
korupsi secara berlapis dengan regulasi antikorupsi dan regulasi antipencucian uang,
menangkap koruptor yang melarikan diri ke luar negeri dan menuntut pencabutan hak politik
untuk pelaku korupsi.
***
Namun ibarat pepatah ”tak ada gading yang tidak retak”, KPK juga bukan institusi yang
sempurna. Dengan segudang prestasi dan kewenangan besar yang dimiliki, KPK juga
memiliki sejumlah catatan atau kekurangan yang perlu diperbaiki. Dalam lima tahun terakhir
12
mulai terjadi pelunakan perlakuan KPK terhadap tersangka korupsi. Meski berstatus
tersangka KPK, tidak semua pelaku korupsi langsung segera ditahan.
Hingga akhir 2014 ini, ICW mencatat sedikitnya 11 tersangka KPK yang lebih dari tiga bulan
berstatus tersangka tetapi belum juga ditahan. Bahkan terdapat tersangka korupsi yang sudah
lebih dari tiga tahun belum juga ditahan.
Selain muncul pelunakan terhadap koruptor, jika dicermati kembali faktanya masih banyak
perkara korupsi yang ditangani belum sepenuhnya dituntaskan KPK. Artinya, meski sudah
ada proses hukum yang dilakukan, masih ada aktor lain yang belum tersentuh. Dalam catatan
ICW, terdapat sedikitnya 11 kasus korupsi yang belum 100% dituntaskan meski telah
dilakukan penyidikan.
Fenomena ”membongkar tetapi belum menuntaskan” ini misalnya saja dalam perkara suap
pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia atau dikenal dengan kasus cek pelawat. KPK
sejauh ini hanya menjerat penerima (anggota DPR) dan perantara suap (Nunun Nurbaeti)
serta pihak yang diuntungkan (Miranda Goeltom). Namun hingga kini belum terungkap siapa
bandar atau penyandang dana yang memberikan suap melalui cek pelawat tersebut.
Selain sejumlah kasus korupsi yang belum selesai di tahap penyidikan, pada tahap
penyelidikan KPK juga belum menyelesaikan penanganan perkara korupsi Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tim khusus penanganan kasus korupsi BLBI sudah mulai
dibentuk sejak KPK dipimpin Antasari Azhar. Meski KPK telah meminta keterangan
sejumlah mantan menteri dan melakukan pencekalan, hingga saat ini proses hukumnya masih
tetap dalam tahap penyelidikan dan belum beranjak ke tahap penyidikan.
KPK juga perlu dikritik karena hingga 11 tahun terakhir ini belum menyentuh empat hal,
yaitu pelaku korupsi yang berasal dari korporasi, korupsi di sektor pengadaan alat pertahanan
atau melibatkan pelaku dari kalangan militer, korupsi di sektor pengeluaran keuangan negara,
dan pelaku pasif pencucian uang yang berasal dari korupsi.
***
Di luar prestasi dan upaya yang gencar dalam memberantas korupsi, sudah barang tentu
terdapat pihak yang dirugikan atau tidak suka dengan keberadaan KPK, yaitu koruptor dan
para pendukungnya. Massifnya upaya pelemahan terhadap KPK kemudian memunculkan
istilah perlawanan balik terhadap koruptor (corruptor fight back). Beberapa pelemahan yang
menonjol antara lain pengajuan permohonan uji materi (judicial review) UU KPK ke
Mahkamah Konstitusi (MK).
Sedikitnya tujuh uji materi UU KPK yang berpotensi melemahkan KPK diajukan ke MK.
Terakhir adalah uji materi UU KPK oleh Akil Mochtar, mantan Ketua MK, khususnya
mengenai kewenangan KPK dalam menuntut pelaku korupsi dengan UU Pencucian Uang.
Akil meminta hakim MK untuk menyatakan KPK tidak berwenang menuntut perkara
13
pencucian uang yang berasal dari korupsi.
Cara lain adalah pengusulan atau pembahasan regulasi oleh DPR maupun pemerintah.
Sejumlah rancangan undang-undang (RUU) pernah diusulkan untuk dibahas di DPR
meskipun substansinya dinilai berpotensi melemahkan KPK. Misalnya revisi UU KPK, RUU
KUHP, dan RUU KUHAP.
Meski banyak mengalami upaya pelemahan, hingga tahun ke-11 KPK masih membuktikan
diri sebagai lembaga yang paling dipercaya publik dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK
tetap menjadi ancaman bagi para koruptor maupun pendukungnya. Sejauh ini sejumlah upaya
pelemahan terhadap KPK pada akhirnya gagal dilakukan karena adanya dukungan banyak
pihak termasuk dari rakyat dan media.
Agar tetap didukung, sudah seharusnya KPK meningkatkan prestasi yang diperolehnya dan
memperbaiki kekurangan yang ada. Perlu ada keberanian KPK dalam melakukan segala
upaya agar koruptor jera dan menuntaskan kasus korupsi yang dinilai belum tuntas. KPK juga
harus tetap menjadi lembaga independen dan memperkuat fungsi koordinasi dan supervisi
dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian. Langkah
pencegahan juga perlu menjadi fokus utama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
pemberantasan korupsi.
Tahun 2015 adalah tahun paling krusial untuk eksistensi KPK di masa mendatang. Upaya
pembajakan dan pelemahan KPK berpotensi terus terjadi, terutama melalui pemilihan calon
pimpinan KPK dan pembahasan sejumlah rancangan regulasi bidang hukum di DPR seperti
RUU KUHAP dan RUU KUHP.
Pada sisi lain, janji maupun program Presiden Jokowi untuk selalu mendukung KPK perlu
terus dikawal. Selama masih berkuasa, Presiden Jokowi harus memastikan tidak boleh ada
upaya pelemahan terhadap KPK.
EMERSON YUNTHO
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
14
Menghukum Mati Koruptor? (Refleksi dan
Titik Balik Hukum 2015)
Koran SINDO
1 Januari 2015
Ungkapan China yang mengatakan hanya ada dua tempat yang tidak mengenal suap, yaitu
neraka dan Hakim Bao, boleh jadi benar adanya. Indonesia misalnya, sejak reformasi
digulirkan 1998 sampai kini memasuki usia yang ke-16 ternyata masih belum lepas dari
gurita suap, kolusi, nepotisme, dan korupsi.
Perihal korupsi oleh para koruptor sesungguhnya dipicu oleh adanya kekuasaan dengan
kewenangan diskretif yang tak terkontrol disertai dengan lemahnya pengawasan, atau lazim
kita kenal dengan power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely.
Akhir-akhir ini, berbagai pendapat dan ulasan pemikiran makin marak menyoroti penerapan
hukuman mati bagi koruptor di Indonesia bahkan langsung merujuk pada penerapan
hukuman mati seperti di China. Kita ketahui bahwa dalam sejarah perjalanan bangsa China
memang banyak diwarnai dengan penerapan hukum dan aturan yang silih berganti dalam
setiap dinasti.
Menurut Ivan Taniputera dalam History of China (2009) dikenal adanya reformasi
pemerintahan Dinasti Qin yang dicetuskan oleh Shang Yang. Sebagai penganut legalisme,
Shang Yang menerapkan hukum dengan tegas sebagai landasan pembangunan negara tanpa
pandang bulu sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Lebih jauh, penerapan hukuman
yang tegas sampai pada hukuman mati juga bisa dipelajari pada masa Dinasti Song (Hakim
Bao Zheng).
Namun, apa sesungguhnya yang bisa kita petik dari kisah hukuman mati dalam sejarah China
tersebut? Ada dua hal penting yang perlu disadari dan dipahami kita di Indonesia bahwasanya
hukuman mati tersebut bisa berlaku dan berjalan efektif karena adanya dua hal, yaitu: (1)
kepastian hukum yang diterapkan adil bagi siapa saja; (2) sosok pemimpin dan
kepemimpinannya yang menakhodai penegakan hukum tersebut. Ketegasan hukum Shang
Yang maupun Bao Zheng tidak lepas dari kuatnya sosok penegak hukum yang inheren dalam
setiap proses kepemimpinan mengambil keputusan, baik dalam memberikan hukuman
maupun imbalan/penghargaan (reward and punishment).
Kalau demikian alur pikir yang kita gunakan, lalu bagaimana seyogianya proses
penghukuman bagi koruptor di Indonesia? Sampai pada menghukum matikah?
Efek Jera Hukuman
15
Perilaku koruptif yang telah membudaya di Indonesia tidak lain disebabkan oleh hilangnya
efek jera yang semestinya ditimbulkan dari proses menghukum. Teori deterrence (efek jera)
sebagai doktrin sistem peradilan pidana di Indonesia menjelaskan tiga hal yang menyebabkan
suatu hukuman memiliki efek jera: Pertama, kesegeraan suatu tindakan (salarity); kedua,
specific deterrence yang menegaskan kepastian suatu perbuatan (certainty); dan ketiga,
pembebanan (severaty) yang memberikan hukuman secara adil sesuai dengan perbuatannya.
Demikian halnya hukuman mati bagi koruptor, setidaknya dapat memenuhi tiga unsur di atas
sehingga proses menghukum dimaknai sebagai rangkaian tindakan dari awal sampai akhir
(keseluruhan proses prosedural dan substansial) yang dapat menimbulkan efek jera.
Indonesia bersama 55 negara lainnya yang masih menerapkan hukuman mati (menurut
Amnesty International and hands off Cain, 2007) perlu mengkaji lebih dalam tentang
penerapan hukuman mati untuk para koruptor. Pasalnya, sepanjang permasalahan utama
kepastian hukum belum mampu diwujudkan, menghukum mati seseorang hanya akan
ditafsirkan sebagai tindakan kejam tidak manusiawi yang belum memberikan dampak jera
bagi orang lain dan masyarakat.
Belum lagi, untuk memahami hukuman seharusnya diletakkan pada kerangka utuh rangkaian
proses baik secara prosedural maupun substansial. Bukan semata seseorang diproses, lalu
berakhir dengan target dijatuhi hukuman, tapi juga proses-proses substansial yang
menyertainya seperti sanksi moral dan sosial dari lingkungan masyarakat. Pemahaman
“menghukum” secara utuh inilah yang patut dikembangkan dan dimaknai oleh publik
sehingga proses dihukum akan memberi efek pembelajaran bagi yang menjalaninya sekaligus
menimbulkan efek jera bagi orang lain (general deterrence).
Jadi makin jelaslah, kejeraan suatu hukuman akan sangat tergantung dari tingkat kepastian
hukum yang mampu diwujudkan. Tanpa kepastian, mustahil hukuman apa pun yang
diberikan (termasuk hukuman mati) akan membawa efek jera.
Kepemimpinan Menghukum Mati
Diskursus penanggulangan korupsi melalui salah satunya penerapan hukuman mati tidaklah
semudah yang diwacanakan dapat terealisasi. Dari segi aturan Undang-Undang No 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Korupsi, para koruptor dimungkinkan dikenai ancaman pidana
hukuman mati. Namun, dalam implementasinya tidak bisa serta-merta digunakan karena
masih menyisakan perdebatan panjang yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Meski dari ranah legal formal hukuman mati bagi koruptor dimungkinkan, alangkah baiknya
perdebatan itu kita arahkan pada ranah yang lebih konstruktif, yakni akar permasalahan
perilaku korupsi itu sendiri. Apa sebab masyarakat begitu kuat menginginkan korupsi
diberantas, bahkan sekalipun dengan cara menghukum mati? Mengapa masyarakat sangat
membenci perilaku koruptif seakan-akan terpuaskan bila pelakunya sudah dihukum mati?
16
Tentu saja jawaban tidak an sich untuk memberikan efek jera. Tetapi lebih dari itu, yang
dalam pemahaman saya mungkin saja menghukum mati para koruptor adalah salah satu
bentuk “pelarian” masyarakat (way out for the hope) yang telah jengah, jenuh dan letih atas
potret penegakan hukum kita di Indonesia.
Publik berpikir bahkan menjustifikasi bahwa dengan menghukum mati koruptor akan lahir
setidaknya secercah harapan baru keluar dari kemelut penegakan hukum yang penuh dengan
ketidakpastian dan ketidakadilan. Dalam konteks memformulasikan harapan publik tersebut,
kepemimpinan mewujudkan kepastian hukum menjadi kuncinya.
Hukuman mati hanya mungkin diterapkan di Indonesia oleh adanya kepastian hukum yang
lebih dulu diwujudkan melalui kepemimpinan yang kuat. Di tingkatan legislatif,
kepemimpinan politisi DPR dan DPD dalam mendorong kepastian hukum amat menentukan
pilihan politik bangsa ini terhadap penerapan hukuman mati. Di bagian lain pada tataran
eksekutif, kepemimpinan pemerintah dalam hal ini Presiden juga memegang peranan penting
dalam menjamin kepastian hukum agar dapat menjawab “kegundahan” masyarakat yang
sudah apatis terhadap upaya dan proses penegakan hukum selama ini.
Lantas, kalau boleh berandai-andai Indonesia masa depan di kala kepastian hukum sudah
mampu ditegakkan, masih perlukah hukuman mati untuk sang koruptor? Mari kita renungi
bersama.
MARDIANSYAH SP
Ketua Umum Dewan Dakwah Muslimin Indonesia (DDMI) Jakarta dan Kader Partai Perindo
17
Format Baru Relasi Islam dan Pancasila
Koran SINDO
2 Januari 2015
Tanggal 22-29 November 2014, Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
melakukan survei nasional mengenai relasi Islam dan Pancasila. Survei melibatkan 100
responden di tingkat provinsi, yang terdiri atas pengurus Muhammadiyah 40%, NU 40%, FPI
1%, HTI 1%, MUI 17%, dan GPII 1%.
Untuk memperkuat hasil survei, dilakukan juga wawancara mendalam (in depth interview)
dengan melibatkan 10 tokoh nasional yang berasal dari NU, Muhammadiyah, Persis, DDII,
HTI, FPI, MUI, dan IJABI. Ditilik dari tingkat pendidikan responden, 50% lulusan S-1, 28%
lulusan S-2, dan 22% lulusan S-3.
Survei ini bertujuan untuk mengetahui opini elite Islam tentang relasi Islam dan Pancasila;
memetakan pandangan dan pemikiran elite Islam tentang Pancasila dalam konteks beragama;
memberikan sumbangsih pemikiran dalam konteks penguatan pemahaman dan pengamalan
Pancasila; serta mendorong partisipasi aktif para tokoh Islam dalam penguatan pemahaman
dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Survei juga bertujuan untuk mengonfirmasi kevalidan
penelitian yang hampir serupa, yang pernah dilakukan oleh lembaga lain.
Hasil Survei
Hasil survei ini cukup menggembirakan dalam konteks penguatan Pancasila sebagai ideologi
negara. Diketahui 100% menyatakan setuju Pancasila menjadi dasar negara. Temuan ini
menunjukkan perkembangan yang menarik. Di awal Reformasi banyak muncul gerakan yang
ingin menerapkan syariah Islam atau mengusulkan kembali Piagam Jakarta, ternyata gerakan
tersebut tetap minoritas dan tak memiliki basis massa yang kuat.
Kokohnya Pancasila sebagai ideologi negara diperkuat dengan pandangan responden yang
menyatakan bahwa nilai-nilai Islam tidak bertentangan dengan Pancasila sebanyak 95%.
Hanya 5% yang menyebut Islam dan Pancasila saling bertentangan. Temuan ini menguatkan
fakta Pancasila yang memang digali dari nilai-nilai sosial, budaya, dan agama masyarakat
Indonesia.
Sebanyak 66% responden menyebut setuju Islam sebagai sumber nilai kehidupan berbangsa
dan bernegara, dan hanya 33% yang menolak, dan 1% tanpa komentar. Meski dukungan
terhadap Pancasila sangat tinggi, dalam survei ini didapati ketakkonsistenan, 33% responden
rindu hadirnya kembali Piagam Jakarta. Sementara yang menolak 67%. Pandangan ini
menunjukkan bahwa di kalangan responden masih menyimpan imajinasi masa lalu tentang
Piagam Jakarta, meski responden sadar bahwa keinginan tersebut tidak mudah direalisasi.
18
Sebagian besar elite Islam setuju bahwa ormas Islam harus terlibat sosialisasi Pancasila, yaitu
sebanyak 95%. Sementara yang menolak 4%, dan abstain 1%. Responden juga 90% setuju
jika Pancasila menjadi bagian dari materi pengaderan ormas-ormas Islam. Hanya 10% yang
tidak setuju.
Terkait Islam sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, 68% responden
juga menyatakan setuju. Sementara 32% menolak. Sepintas sikap responden ini ambigu. Satu
sisi menghendaki Pancasila sebagai dasar negara, tetapi sisi lain juga menghendaki peran
besar Islam dalam kehidupan bernegara.
Sikap responden ini sebaiknya dimaknai bahwa ada harapan besar agar Islam memiliki peran
normatif dan menjadi sumber nilai. Konteks demokrasi tentu wajar ketika nilai-nilai
mayoritas ingin mewarnai secara dominan pula dalam konteks kehidupan bernegara. Meski
sepakat Pancasila sebagai ideologi negara, mereka tidak ingin Islam marjinal secara politik.
Mereka ingin nilai-nilai Islam dominan dalam kehidupan bernegara. Keinginan tersebut
sangat mungkin diilhami oleh kenyataan bahwa Islam selama ini telah menjadi sumber nilai
di Indonesia, bahkan jauh sebelum merdeka. Tergambar dari kerajaan-kerajaan Islam yang
pernah hadir di Indonesia.
Terkait apakah negara wajib menerapkan syariat Islam untuk semua muslim, 51% responden
menyatakan setuju, sementara 47% tak setuju dan abstain 2%. Pertanyaan ini diajukan terkait
dengan maraknya ormas Islam baru di level lokal yang menuntut penegakan syariah Islam.
Perlunya negara menerapkan syariat Islam diperkuat 50% responden yang menyatakan setuju
penerapan perda-perda syariah, yang tidak setuju 44%, dan abstain 6%.
Format Baru Relasi
Memperhatikan hasil survei ini, bisa disimpulkan adanya optimisme besar terhadap Pancasila
sebagai dasar negara. Dalam konteks ormas Islam, bisa dikatakan bahwa posisi Pancasila saat
ini jauh lebih kuat dibandingkan dulu. Sangat mungkin jika survei dilakukan pada paruh
1940-an sampai paruh 1980-an hasilnya akan berbeda, karena saat itu polarisasi ideologinya
begitu kuat.
Hal ini terlihat saat sidang-sidang pembahasan dasar negara, baik di BPUPKI, PPKI, Panitia
Sembilan, dan Konstituante; maupun saat muncul kebijakan negara yang berwajah ideologis,
seperti soal RUU Perkawinan, Aliran Kepercayaan, dan asas tunggal Pancasila, yang disikapi
secara ekstrem oleh kekuatan Islam saat itu.
Dalam Pancasila terdapat nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan,
dan keadilan. Jika diterminologikan, nilai-nilai itu menjadi al-insanu, al-jamal-insanu,
aljamatu, al-musyawarah, dan al-adl. Adapun ketuhanan bisa dikaitkan dengan banyak nama
seperti Ar-Rahman, Al-Malik, Al-Quddus. Sementara terkait dengan Esa, dalam Islam dikenal
terminologi Al-Wahid atau Al-Ahad. Semua nilai-nilai itu sangat Islami.
19
Dalam berbagai kesempatan, Soekarno menyampaikan bahwa nilai-nilai agama harus
dilibatkan sepenuhnya, tidak setengah ataupun sebagian. Karena itu, agama menjadi pokok.
Kehadirannya tak perlu dipersoalkan lagi. Jika berbicara mengenai penguatan Pancasila,
nilai-nilai agama itu menjadi pokok satu kekuatan yang terlibat penuh.
Merujuk pandangan Soekarno, jelas bahwa agama harus diberi ruang untuk berkontribusi
tanpa harus menjadi dasar negara. Nilai-nilainya harus dijadikan rujukan kehidupan
berbangsa. Hal terpenting adalah diterimanya pesan moral Islam, yang mampu memberikan
rambu-rambu tentang apa yang harus dilakukan dan tak dilakukan oleh negara demi
terwujudnya kebaikan masyarakat (maslahati al-ammah).
Islam tak seharusnya dijadikan sebagai pesaing Pancasila. Umat Islam harus yakin bahwa
Pancasila merupakan penjabaran dari nilai-nilai Islam. Membenturkan Pancasila dan Islam
itu tindakan ekstrem dalam memahami Islam dan Pancasila. Mempertentangkan Islam
dengan Pancasila sama halnya merendahkan marwah Islam karena menyejajarkan Islam
dengan Pancasila. Agama merupakan “produk langit”, sementara Pancasila adalah “produk
bumi”.
Kehadiran Islam tidak selayaknya dipertentangkan dengan Pancasila. Sebaliknya, Islam harus
dijadikan rujukan sumber-sumber nilai untuk mengatur tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih baik. Dalam konteks ini, perlu ada tawaran format baru terkait relasi
Islam dan Pancasila.
Format ini harus mengusung semangat rekonsiliasi, dengan mendudukkan perannya masing-
masing, tidak sebagaimana perdebatan yang terjadi menjelang kemerdekaan dan saat sidang-
sidang di Konstituante. Saat itu ada dua kubu yang secara ekstrem terlibat perdebatan, yaitu
kaum nasionalis sekuler yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara dan kaum
nasionalis Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Perdebatan ini lahir akibat
tidak adanya kesadaran bahwa Pancasila dan Islam merupakan dua entitas yang kehadirannya
tak terelakkan, sehingga tak mungkin saling menegasikan.
Dari hasil survei ini, terlihat bahwa masyarakat tidak banyak mendukung keberadaan negara
Islam dan pendirian khilafah Islamiyah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam
sebenarnya lebih membutuhkan tawaran program politik yang lebih jelas dan konkret serta
terkait dengan kebutuhan sehari-hari. Ide tentang negara Islam maupun khilafah merupakan
hal yang mewah dan menarik sebagai wacana, namun sering berujung pada kebuntuan ketika
menyasar hal-hal yang membutuhkan penyelesaian secara tepat.
Sementara dalam kerangka menghindari polemik Islam dan Pancasila yang tak berkesudahan,
kiranya perlu memberikan kado “istimewa” kepada umat Islam. Perlakuan istimewa ini
bukan dengan cara memasukkan kembali rumusan Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945,
tetapi lebih berupa sikap politik negara yang mengakomodasi kepentingan sosial-keagamaan
umat Islam yang merupakan bagian dari kearifan lokal.
20
Namun apa yang disebut sebagai kearifan lokal, tetap harus tampil dengan memperhatikan
sila-sila Pancasila. Seandainya kita menganggap kehadiran perda-perda syariah, misalnya,
sebagai ekspresi kearifan lokal, maka perda-perda syariah tersebut harus disusun bukan hanya
dengan pertimbangan menjalankan sila pertama, tetapi juga sila-sila lainnya. Perda-perda
syariah tidak boleh bernuansa egois partikularis yang hanya mementingkan satu kelompok,
melainkan harus berwawasan Nusantara dan berke-bhineka tunggal ika-an.
Melalui format baru relasi Islam dan Pancasila ini, pertentangan Islam dan Pancasila
diharapkan bisa diakhiri. Baik Islam dan Pancasila bisa dijadikan sebagai inspirasi dan
sumber nilai. Sudah saatnya energi bangsa ini tidak boleh lagi dicurahkan untuk hal-hal yang
mubazir. Apalagi, hingga saat ini bangsa Indonesia masih dihadapkan pada persoalan-
persoalan yang jauh lebih kompleks dari sekadar persoalan ideologis.
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
21
Refleksi Pemerintahan Jokowi-JK
Koran SINDO
2 Januari 2015
Dua bulan lebih sudah sejak dilantik 20 Oktober lalu, Jokowi-JK memimpin Indonesia.
Untuk bisa menyimpulkan apakah pemerintahan saat ini berhasil atau tidak masihlah terlalu
dini. Usia pemerintah yang masih seumur jagung tentu belumlah bisa dinilai hasil
pemerintahannya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Namun, dalam waktu yang masih
minim tersebut, perencanaan dan proses di dalam menjalankan pemerintahan serta inisiasi
dari kebijakan yang telah pula diimplementasikan perlu menjadi bahan refleksi kita bersama.
Pertanyaannya, sudahkah pemerintahan Jokowi-JK memberi kesan positif terhadap usaha
memenuhi harapan rakyat akan Indonesia yang lebih baik? Harapan rakyat Indonesia
terhadap pemerintahan Jokowi-JK tidaklah berlebihan. Setidaknya, hal itu yang sering
tercitrakan bahwa Jokowi-JK diyakini memiliki kemampuan menyelesaikan segala
permasalahan yang dihadapi bangsa ini.
Lalu, apakah Jokowi-JK mampu memenuhi harapan tersebut, itu yang perlu dibuktikan
selama lima tahun ke depan. Kebijakan strategis dalam menyelesaikan persoalan negara akan
ditunggu dan dinilai oleh rakyat. Maka itu pula, setiap keputusannya akan memberi indikator
penting bagi keberlangsungan pemerintahan ke mana akan diarahkan.
Ke mana pemerintahan ini diarahkan mungkin menjadi kata kuncinya. Hal ini sekaligus
merefleksikan apa saja usaha yang dilakukan Jokowi-JK dalam membawa pemerintahannya.
Lebih jauh, perencanaan strategis juga perlu mendapat sorotan penting. Sebab, pada akhirnya
Jokowi-JK harus menjatuhkan keputusan pada pilihan kebijakan, melanjutkan perencanaan
sehingga menjadi sebuah kebijakan atau tidak.
Perlu dipahami bahwa penilaian terkait rencana kebijakan merupakan bagian penting dan tak
dapat dilepaskan dari penilaian terhadap kebijakan itu sendiri. Memang kadar penilaian ini
tak lebih tinggi dari halnya kebijakan yang telah diimplementasikan.
Beberapa Refleksi Strategis
Membangun tradisi politik yang sama sekali baru bukanlah hal mudah. Perlu komitmen dan
juga ketegasan mutlak agar proses politik yang dilakukan lebih karena dorongan
kebijaksanaan personal dan bukan atas intervensi dan problem jasa politik. Setidaknya itu
refleksi pertama yang diperoleh dari kabinet yang disusun Jokowi-JK, yang semula terlihat
cukup confidence untuk menyusun kabinet ramping, tetapi tidak dilakukan.
22
Beruntung, kabinet didominasi sebagian besar kalangan profesional. Namun, bukan berarti
menteri profesional tak lepas dari kesan politis. Selain di antaranya disorot karena persoalan
track record kepemimpinan dalam kementerian di masa lalu, terakhir pengangkatan orang
parpol menjadi Jaksa Agung menyiratkan kuatnya pengaruh parpol atau tokoh politik tertentu
dalam penyusunan SDM di kabinet.
Refleksi kedua yang sangat menyita perhatian publik Indonesia adalah terkait kenaikan harga
BBM bersubsidi. Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi memang cenderung lazim
diambil oleh setiap rezim. Bahkan di era pemerintahan SBY, Presiden telah menaikkan harga
BBM hingga 4 kali selama 10 tahun periode kepemimpinannya. Namun, di era Jokowi-JK,
menaikkan harga BBM menjadi tak lebih sesederhana dari sebelumnya.
Sebab pada saat yang sama, kebijakan menaikkan harga BBM kontradiktif dengan harga
minyak dunia yang justru turun dan semakin turun hingga berada di titik terendah dalam 10
tahun terakhir. Kontradiksi ini menjadi sumber pertanyaan, di mana relevansi perlunya
menaikkan harga BBM di saat harga minyak dunia turun? Memang akhirnya per 1 Januari
2015 pemerintahan Jokowi-JK menurunkan harga premium menjadi Rp7.600.
Refleksi ketiga terkait dengan beberapa rencana strategis Pemerintah yang juga sudah mulai
menyedot perhatian publik, di antaranya rencana kenaikan TDL. Kenaikan TDL yang
menurut klaim pemerintah sebagai dampak dari naiknya kurs dolar menjadi implikasi
kebijakan yang di masyarakat suka ataupun tidak harus diterima.
Tak berhenti di sini, dampak kenaikan TDL biasanya akan pula menimbulkan ekses lain
berupa kenaikan pada kebutuhan pokok masyarakat, kelesuan sektor industri dan bahkan tak
menutup kemungkinan akan menyebabkan terjadinya pengurangan pekerja pada sektor riil.
Problem seperti ini dipastikan akan membuat kebijakan yang dilematis bagi Pemerintah.
Meski, sangat kecil kemungkinan untuk tidak jadi dilaksanakan.
Menuntut Komitmen
Apa yang sudah disampaikan pada saat pencapresan lalu merupakan satu bentuk komitmen
yang harus dilaksanakan. Rakyat Indonesia tentu akan melihat dan menilai sejauh mana
komitmen tersebut mampu diimplementasikan secara riil dan berkontribusi terhadap
peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Sebagai pemimpin negara sewajarnya bisa mengatasi segala permasalahan yang dihadapi
bangsa. Karena itu, ketika rakyat menyampaikan pendapat kritis tentu didasarkan pada upaya
menuntut komitmen Jokowi-JK terhadap penuntasan masalah yang dihadapi rakyat.
Selama dua bulan memimpin Indonesia, Jokowi-JK masih terlihat gamang dengan komitmen
yang ada. Indikasinya tampak terlihat, baik dari kebijakan yang sudah diimplementasikan
maupun baru berupa rencana strategis, sudah cukup membuat ketidaknyamanan secara
massif. Tapi sebagai rakyat, masih tersisa harapan dan pemikiran positif bahwa situasi ini
23
hanya terjadi di permulaan dan akan happy ending pada perjalanan hingga pemerintahan ini
berakhir. Semoga!
IDIL AKBAR
Staf Pengajar FISIP Unpad dan Peneliti di Nusantara Institute
24
Segerakan UU Pemilu 2019
Koran SINDO
3 Januari 2015
Meski pada paruh kedua tahun 2014 kita sempat dibuat cemas oleh pertikaian politik yang
sangat panas, memasuki 2015 ini ada harapan kehidupan politik menjadi lebih sejuk. Koalisi
Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah mencapai titik temu; dan menyadari
kekisruhan politik yang bertendensi zero sum game dan saling memboikot hanya akan
merugikan semuanya, terutama rakyat.
Tahun 2015 memberi harapan untuk normalnya interaksi politik baik antara pemerintah dan
DPR maupun antarkoalisi di DPR. Pemerintah dan DPR dapat melaksanakan tugasnya
masing-masing sesuai konstitusi.
Di antara banyak hal penting yang harus segera dilakukan oleh DPR dan pemerintah adalah
membentuk UU Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 baik pemilu legislatif (pileg) maupun
pemilu presiden/wakil presiden (pilpres). UU Pemilu 2019 harus segera diselesaikan agar
cukup waktu bagi rakyat, pemerintah, dan partai-partai politik untuk melakukan berbagai
persiapan.
Ada dua hal terkait dengan ini. Pertama, kita harus melakukan evaluasi atas sistem pemilu
dengan urutan suara terbanyak yang ternyata, setelah dua kali kita mengalaminya,
menimbulkan banyak masalah. Kedua, pada 2019 pileg dan pilpres harus dilaksanakan
serentak.
Tidak dapat disangkal Pileg 2014 menimbulkan masalah karena berlangsung brutal dan
ditengarai penuh kecurangan. Jual beli suara, saling bantai antarcaleg dalam satu partai, dan
terlemparnya kader-kader penting partai karena dicurangi menjadi isu umum dalam Pileg
2014. Banyak yang mengusulkan agar pileg diubah kembali menjadi sistem proporsional
tertutup, bukan dengan urutan suara terbanyak. Hal itu mungkin saja dilakukan dan tidak
perlu dipertentangkan dengan putusan MK. Sebab, pileg dengan suara terbanyak itu
sebenarnya bukan perintah putusan MK, melainkan memang merupakan isi UU Nomor
10/2008 yang dibuat oleh DPR bersama Presiden. MK hanya mencoret persyaratannya yang
sangat tidak adil.
Pileg dengan suara terbanyak atau sistem pemilu pada 2009 itu yang menentukan adalah
lembaga legislatif sendiri melalui UU Nomor 10/2008 yang di dalam Pasal 214 huruf a, b, c,
d, e. (intinya) mengatur, ”Caleg terpilih di suatu dapil ditetapkan berdasarkan suara terbanyak
dari antara mereka yang mendapat suara minimal 30% dari BPP.” Menurut MK ketentuan
ambang 30% itu tidak adil sehingga MK membatalkan frase, ”.. dari antara mereka yang
mendapat suara minimal 30% dari BPP.”
25
Menurut MK, kalau lembaga legislatif mau menggunakan sistem proporsional atau sistem
distrik itu sama konstitusionalnya dan merupakan opened legal policy yang bisa dipilih yang
mana saja yang akan diberlakukan oleh DPR dan pemerintah.
Karena penetapan sistem pemilu itu merupakan ranah pembuatan undang-undang oleh
legislatif, maka jika dianggap perlu untuk Pileg 2019 bisa saja UU Pileg itu diubah lagi
menjadi sistem proporsional tertutup atau dengan sistem nomor urut. Sepenuhnya hal itu
menjadi hak lembaga legislatif.
Pilpres 2019 sangatlah krusial karena berdasarkan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
harus dilaksanakan serentak dengan pileg. Putusan MK tersebut dengan sendirinya menuntut
dibuatnya undang-undang baru yang bisa mencakup mekanisme pemilihan dan penetapan
capres/cawapres dan caleg sekaligus.
Untuk pilpres memang masih ada beberapa masalah krusial, apakah memakai presidential
threshold ataukah tidak. Ada yang mengusulkan tidak perlu memakai threshold sehingga
semua parpol peserta pemilu yang lama atau baru langsung bisa mengajukan
capres/cawapres.
Ada yang berpendapat agar pengajuan capres/cawapres oleh parpol tetap menggunakan
threshold sebagai bukti bahwa parpol tersebut benar-benar mendapat dukungan sejumlah
minimal tertentu dari rakyat. Menurut pendapat kedua ini, yang boleh mengajukan
capres/cawapres hanya parpol yang mencapai thereshold pada Pileg 2014 dan mempunyai
kursi di DPR RI sekarang.
Kelompok yang menghendaki adanya threshold dalam pilpres ini pun bisa berbeda ke dalam
dua pandangan. Pertama, yang menginginkan semua parpol yang sudah mencapai
parliamentary threshold dan mempunyai kursi di DPR berdasar Pileg 2014 langsung boleh
mengajukan capres/cawapres.
Kedua, yang menginginkan presidential threshold tetap dipatok 20% berdasar hasil Pileg
2014 sehingga capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang
sekarang sudah mempunyai kursi di DPR. Semua alternatif masih terbuka untuk
diperdebatkan dan tergantung alternatif mana yang nanti akan dipilih oleh lembaga legislatif.
Diskusi dan musyawarah untuk pembentukan UU Pemilu ini harus segera dimulai pada 2015
dan sedapat mungkin ditargetkan bisa diundangkan akhir 2016. Dengan demikian, jika ada
pengujian ke MK untuk masalah-masalah yang terkait dengan UU Pemilu bisa diproses dan
diselesaikan pada 2017 sehingga mulai 2018 semuanya sudah bisa melakukan persiapan
dengan undang-undang yang sudah jelas. Jangan sampai terjadi UU Pemilu baru selesai
menjelang pemilu dan pengujiannya ke MK masih dilakukan oleh masyarakat ketika tahapan-
tahapan pemilu sudah dimulai.
26
Selain itu, pentingnya penyelesaian segera UU Pemilu 2019 bukan hanya untuk mengatasi
kesiapan teknis, melainkan juga untuk menjaga jarak dari kepentingan-kepentingan politik
jangka pendek. Jika undang-undang bisa diselesaikan jauh sebelum pemilu maka ketegangan
dan manuver politik tidak akan terlalu kental sehingga lebih mudah dihadapi secara wajar.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
27
Faksionalisasi Partai dan Oligarki Elite
Koran SINDO
3 Januari 2015
Membincangkan eksistensi partai politik dalam pentas demokrasi elektoral tidaklah terlepas
dari adanya faksionalisasi partai. Adanya segregasi maupun fragmentasi antarelite internal
partai kerap kali melanda dalam dinamika kepartaian di Indonesia.
Perpecahan antarelite yang terjadi dalam kasus Munas Golkar 2014 yang kemudian
menghasilkan adanya faksi ARB dengan faksi Golkar Perjuangan yang dipimpin oleh Agung
Laksono adalah kasus terbarukan dalam membingkai adanya faksionalisasi dalam tubuh
partai. Meskipun kini sudah bisa tereduksi arena konfliktual dalam partai itu, adanya
kepentingan tertanam (vested intered) antarelite partai itu yang sifatnya laten.
Tercatat sejak tahun 1999 semenjak sistem multipartai diberlakukan dalam pemilu,
kemunculan partai-partai baru sendiri terlahir karena adanya faksionalisasi elite partai induk.
Semisal saja PPP yang menghasilkan adanya PBR, PBB, dan Masyumi. PDI yang
menghasilkan PNI Massa Marhaen, PNI Front Marhaen, PNBK, maupun PDI
Perjuangan. Golkar yang kemudian terpecah menjadi Hanura, Nasional Demokrat, dan
Gerindra.
Memang di luar tumbuhnya partai satelit tersebut masih ada partai politik lainnya terlahir dari
basis aktivisme gerakan, tetapi eksistensinya tidak berlangsung lama. Daya survivalitasnya
dalam dunia politik tidak memiliki akar dukungan ideologi, dana maupun massa kuat seperti
halnya partai yang terlahir dari proses faksionalisasi.
Adalah suatu keniscayaan bahwa faksionalisasi partai politik juga sebentuk persaingan antara
oligarki partai yang coba merebut kendali kuasa organisasi. Tipologi oligarki yang
berkembang dalam tubuh partai adalah kontestasi antara oligarki penguasa (warring
oligarchy) dengan oligarki menengah (middle oligarchy).
Dalam hal ini, terdapat persaingan dalam upaya mempertahankan dan menambah
kepemilikan sumber daya pribadi yang terinvestasikan dalam tubuh partai untuk bisa
ditambah dan diperkuat. Selain juga ditambah dengan adanya pemerkuatan arena jejaring
dalam tubuh kader partai untuk kian meneguhkan kekuasaan personal.
Secara jelas, faksionalisasi partai politik kerap kali terjadi dalam upaya merebut posisi ketua
umum. Posisi tersebut menjadi teramat penting dalam upaya mempertahankan maupun juga
menambah sumber daya ekonomi-politik.
Secara umum deskripsi mengenai faksionalisasi partai politik terjadi dalam dua tahap
28
pembilahan, yakni mutually excluded maupun mutually restricted (Katz & Mair, 2012).
Dalam pemahaman pertama, faksionalisasi itu terjadi secara laten yang kemudian
menciptakan adanya kelompok oligarki kecil dalam tubuh partai, namun masih berupaya
untuk membangun harmonisasi dengan kelompok lainnya dalam tubuh sama.
Pola transaksional maupun bargaining politic menjadi alat ukur dalam menjembatani
hubungan impersonal antara kelompok kecil tersebut yang pada akhirnya kemudian
menciptakan koalisi oligarki kolektif dalam partai tersebut. Fenomena seperti ini biasa terjadi
dalam tubuh kepartaian di Indonesia di mana masing-masing kader memiliki kepentingan
berbeda dalam menentukan orientasi partai yakni sebagai partai berbasis vote seeking, partai
berbasis office seeking, atau sebagai partai berbasis policy seeking. Ketiga varian orientasi
inilah yang menjadi sumber primer konfliktual partai itu terus berlangsung secara simultan
dan inheren.
Pemahaman kedua, faksionalisasi sendiri terjadi sebagai bentuk aksi disorganisasi dalam
tubuh partai yang sifatnya sentrifugal. Maksudnya ialah, faksionalisasi yang berujung pada
pembentukan berbagai macam kelompok oligarki partai yang justru kian mengidentifikasikan
dan mengafiliasikan diri sebagai bentuk kompetitor dengan kelompok elite dalam tubuh
partai itu sendiri.
Dalam tipe faksionalisasi kedua inilah yang kemudian menghasilkan adanya perpecahan
partai induk yang menghasilkan partai satelit baru. Meskipun kemudian terjadi disorganisasi
dalam tubuh partai, relasi partai induk maupun partai satelit kemudian masih tetap terjaga.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih terjalin hubungan patrimonial antarkeduanya
baik sebagai fungsi mentoring, koordinatif, maupun fungsi supervisi politik.
Faktor figuritas memang menjadi kata kunci dalam membedah akar oligarki dan
faksionalisasi dikarenakan figur inilah yang tampil sebagai simbol pemersatu, simbol
pengontrol, maupun juga simbol kompetitor bagi suatu kelompok maupun ketika berhadapan
dengan kelompok lain.
Maka melihat konteks kekinian, faksionalisasi partai itu sendiri berjalan instan serta memiliki
akar ideologi dan massa yang rapuh. Boleh jadi dikarenakan sekarang ini adalah era
kompetisi elektoral berbasis catch all party, jadinya meneguhkan premis dan asumsi bahwa
faksionalisasi partai tidak lebih dari usaha pragmatisme dan kompromi politik elite partai
saja.
Jika demikian, faksionalisasi yang lahir dan tumbuh justru kian menguatkan prinsip hukum
besi oligarki Michels bahwa oligarch yang menguasai partai yang justru menghamba kuasa
daripada menjadi abdi masyarakat. Analisis terkini memang menunjukkan gejala ke arah sana
bahwa faksionalisasi tidak lebih dari sekadar usaha mempertahankan dan menambah
keuntungan pribadi dan kelompok daripada mengartikulasikan kepentingan publik secara
utuh.
29
Faksionalisasi partai adalah sah-sah saja karena itu merupakan bagian dari dinamika
organisasi. Namun akan lebih tepat jika faksionalisasi tersebut kemudian menghasilkan
arahan partai yang lebih berada dalam public ground seeking. Itu lebih tepat untuk kembali
memperkuat relasi dengan massa partai sebagai penyokong suara partai di akar rumput
daripada sekadar ribut mempermasalahkan redistribusi kuasa dan cara mempertahankannya.
Berbicara mengenai kasus negara lain, faksionalisasi bukanlah dimaknai sebagai bentuk
kontestasi mencari materi dan rente (rent-seeking), tetapi lebih pada bentuk fragmentasi
ideologi yang tidak tertampung dalam partai induk. Hal inilah yang membedakan antara
kasus faksionalisasi di negara maju yang lebih ideologis dengan negara berkembang yang
mencari kuasa.
Kasus pembentukan partai politik yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara seperti yang
terjadi dalam kasus Jacobin dan Girodins di Prancis maupun Whig-Thories di Inggris lebih
karena perbedaan ideologi dan kultur meski dulunya masih satu partai. Adapun dalam kasus
negara berkembang seperti halnya Partai Kongres India dengan pecahannya Bharatiya Janata
Party dikarenakan adanya kontestasi antarelite yang kemudian berkembang dalam bentuk
identitas politik lainnya.
Maka apabila melihat dua contoh kecil di atas, setidaknya faksionalisasi dan oligarki itu pada
dasarnya berburu kekuasaan, yang kemudian berkembang dalam berbagai bentuk fragmentasi
identitas politik. Pertarungan antarberbagai identitas inilah yang kemudian akan mengerucut
pada munculnya partai baru dari partai induk atau mungkin munculnya “oligarki permanen”
dalam partai induk.
Pada akhirnya kemudian, perbincangan mengenai institusionalisasi partai hingga kemudian
menimbulkan faksi-faksi mengindikasikan bahwa partai bukanlah organ tunggal yang satu
kata, satu orientasi, dan satu tujuan sama. Ada pelbagai kontestasi antarelite yang saling
mengalahkan dan saling menjatuhkan dalam berbagai intrik politik tertentu.
Faksionalisasi adalah komoditas politik yang terjadi secara by design dan by product
dikhususkan untuk mengejar kepentingan pribadi dan kelompok dengan mengatasnamakan
kepentingan organisasi.
WASISTO RAHARJO JATI
Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
30
Catatan Tahun 2014 dan Harapan 2015
Koran SINDO
5 Januari 2015
Presiden Joko Widodo telah menetapkan sejumlah program dan target pembangunan tahun
2015 yang terdengar merdu dan ambisius.
Pertanyaannya, mungkinkah realisasi program-program itu bisa berjalan mulus kalau
pemerintah terus memainkan lakon harmoni semu dengan DPR? Tahun 2015 belum tentu
produktif karena suhu politik diperkirakan lebih panas.
Tahun politik 2014 memang telah berakhir. Karenanya, semua komponen masyarakat
Indonesia seharusnya mulai fokus membangun diri, komunitas dan
lingkungannya. Sayangnya, tahun politik 2014 belum bisa dikatakan telah berakhir. Tahun
politik itu ternyata menyisakan masalah. Penanda utamanya adalah belum harmonisnya
hubungan eksekutif-legislatif. Kalau ada klaim bahwa hubungan pemerintah-DPR baik-baik
saja, itu klaim tentang harmoni yang semu.
Siapa saja pasti masih ingat dengan instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang
larangan sementara bagi para menteri untuk menghadiri undangan rapat kerja dengan DPR.
Kiranya, esensi larangan itu sudah sangat memperjelas sikap dasar pemerintah yang belum
mau membangun sinergi dengan DPR. Padahal, sinergi pemerintah-DPR merupakan sebuah
keniscayaan. Tak boleh diingkari demi alasan apa pun.
Menjadi dosa konstitusional jika pemerintah-DPR tidak bersinergi. Pihak yang menolak
bersinergi akan langsung didakwa dengan tuduhan melanggar konstitusi. Hingga akhir 2014,
semua pihak bisa melihat bahwa sinergi pemerintah-DPR belum tulus. Hubungan kedua
lembaga tinggi negara ini masih diwarnai saling curiga. Bahkan, saling percaya belum
terbangun sama sekali.
Kendati mendapat dukungan solid Koalisi Indonesia Hebat (KIH), Presiden Jokowi terkesan
belum merasa aman jika mayoritas kekuatan di DPR digenggam Koalisi Merah Putih (KMP)
yang mengambil posisi sebagai mitra kritis. KMP bahkan dituding akan menjegal
pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Rasa tidak aman yang menyelimuti Presiden itu tercermin dari sikap dan keputusan
pemerintah terhadap kisruh Partai Golkar, dan juga PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
Cara atau strategi pemerintah membiarkan kedua partai politik ini terperangkap dalam
kepengurusan ganda memperlihatkan betapa pemerintah sangat berkepentingan untuk
menggoyahkan soliditas KMP.
31
Ketelanjangan interes itu sudah tak bisa lagi ditutup-tutupi oleh apa pun. Gerilya politik para
pendukung Jokowi dilanjutkan pascapelantikan presiden. PPP kisruh dan terbelah, begitu pun
Partai Golkar. Sebagian elemen kekuatan di dua partai ini ingin bergabung dalam koalisi
parpol pendukung Jokowi, sementara elemen kekuatan lainnya bertahan untuk menjadi mitra
yang kritis.
Memang, di permukaan, yang tampak adalah perebutan kepemimpinan partai. Tetapi,
sesungguhnya, kisruh di tubuh dua partai ini terjadi karena kerja kotor oknum penguasa yang
memecah belah kesolidan partai dengan kekuasaan dan iming-iming jabatan. Bagaimana
pemerintah menunggangi kisruh PPP dan Golkar bahkan ditunjukan dengan terang-terangan.
Dalam kasus Partai Golkar misalnya, kecenderungan pemerintah untuk memihak pada salah
satu kubu dinyatakan secara terbuka dengan pernyataan resmi. Sudah barang tentu, perilaku
tidak etis yang dipertontonkan pemerintah itu bukannya menyelesaikan masalah, tetapi justru
mengeskalasi persoalan.
Stagnasi Pemerintahan
Sebesar apakah persoalan itu tereskalasi akan dilihat publik setidaknya sepanjang paruh
pertama 2015. Artinya, bisa dipastikan bahwa sikap saling curiga antara pemerintah dan DPR
akan berlanjut di tahun 2015. Rumitnya PPP dan Golkar menyelesaikan masalah internal
mereka akan memberi dampak signifikan terhadap DPR dan dampak signifikan itu belum
tentu bersifat positif. Bisa saja yang muncul lebih banyak dampak negatifnya.
Bukan tidak mungkin DPR akan terbelah lagi sebagai akibat dari penyelesaian akhir kisruh
PPP dan Golkar yang tidak memuaskan semua elemen di tubuh dua partai itu serta anggota
KMP lainnya. Jadi, kalau sebelumnya KIH bermanuver membelah DPR, giliran KMP dan
elemen-elemen lain di tubuh PPP dan Golkar yang akan bermanuver membelah DPR. Kalau
perkiraan ini menjadi kenyataan, pemerintahan Jokowi-JK juga akan terkena dampak
negatifnya. Mungkin, Jokowi akan menerbitkan lagi surat berisi instruksi melarang para
menteri menghadiri rapat kerja dengan DPR. Jadi, bukan hanya suhu politik yang berpotensi
makin panas, tetapi persoalan pun menjadi semakin rumit dan berlarut-larut.
Dalam suasana serbatidak kondusif seperti itu, mungkinkah APBN-P 2015 yang akan
diajukan pemerintah akan dibahas dan disetujui DPR tepat pada waktunya? Patut diragukan.
Kalau persetujuan APBN-P 2015 tertunda, pemerintahan Jokowi-JK bisa mengalami
stagnasi. Karena itu, 2015 belum tentu lebih baik dari tahun 2014. Bisa dipastikan bahwa
harmoni semu yang coba dilakoni Presiden Jokowi saat ini pada gilirannya akan
memengaruhi pencapaian target-target presiden.
Seperti diketahui, untuk 2015, pemerintah benar-benar fokus pada sektor infrastruktur. Sudah
dipastikan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan PerumahanRakyat, Kementerian
Pertanian, dan Kementerian Perhubungan akan berupaya merealisasi program-program besar
32
nan strategis. Dalam mempersiapkan APBN- 2015, pemerintah lebih terfokus pada kerja-
kerja besar di tiga kementerian itu.
Untuk pembangunan infrastruktur, pemerintah berencana membangun jaringan kereta api
(KA) trans-Sumatera, trans-Kalimantan, dan trans-Sulawesi. Di tiga pulau besar ini,
pembangunannya direalisasi sekitar Februari atau Maret 2015. Untuk jaringan KA trans-
Papua, studi kelayakan sedang dibuat dan pembangunannya diharapkan bisa dimulai pada
paruh kedua 2015.
Selain rel KA dan ruas jalan tol, pemerintahan Jokowi juga berambisi merealisasi
pembangunan infrastruktur energi pada 2015. Di antaranya pembangkit listrik, kilang
minyak, dan jaringan pipa gas di sejumlah kota. Pembangunan infrastruktur di sektor maritim
pun mulai direalisasi. Hal itu ditandai dengan pembangunan dan pengembangan puluhan
pelabuhan untuk menopang program tol laut.
Untuk mewujudkan target swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang, akan dibangun
49 waduk dalam lima tahun. Untuk 2015, sebanyak 13 waduk akan dimulai pembangunannya
dengan anggaran sekitar Rp9 triliun. Kemampuan desa membangun pun dieskalasi.
Anggarannya dialokasikan Rp20 triliun dari sebelumnya Rp11 triliun. Per desa diproyeksikan
menerima sekitar Rp750 juta pada 2015, sementara alokasi anggaran untuk perlindungan
sosial mencapai Rp50 triliun.
Untuk membiayai program-program besar dan strategis itu, sebagian anggaran berasal dari
program pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Berkat turunnya harga
minyak dan menaikkan harga BBM bersubsidi, ruang fiskal pemerintah bertambah sekitar
Rp230 triliun. Kalau semua target program tahun 2015 berjalan mulus, target pertumbuhan
ekonomi 7% dalam tiga tahun ke depan bisa diwujudkan.
Jokowi boleh punya ambisi dan rencana. Tapi konstitusi mengamanatkan bahwa pemerintah
tidak boleh jalan sendiri. Untuk membiayai ambisi dan rencananya, pemerintah butuh
persetujuan DPR. Maka mulus atau tidak mulusnya realisasi program-program pembangunan
itu sangat bergantung pada setinggi apakah derajat harmoni pemerintah dan DPR. Untuk itu
kita perlu mengingatkan agar ambisi tersebut tidak kandas di tengah jalan.
Pertama, sangat urgen bagi Jokowi untuk menunjukkan respek kepada DPR. Kedua, jangan
usil mencampuri masalah internal partai politik. Ketiga, batasi segala bentuk politik balas
budi kepada para bandar atau sponsor dan para pendukung saat pilpres yang dapat merugikan
rakyat. Keempat, kendati telah beberapa kali ingkar janji seperti janji koalisi dan kabinet
ramping, menteri dan jaksa agung non-parpol, kali ini kita berharap Jokowi menepati janjinya
untuk tidak merebut jabatan ketua umum PDIP pada Kongres PDIP mendatang.
Kelima, hentikan segala bentuk intervensi dan campur tangan ke partai politik lawan. Karena
langkah tersebut bisa menjadi blunder politik yang membahayakan kelangsungan
pemerintahan itu sendiri.
33
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
34
Menegakkan Konstitusionalisme
Koran SINDO
6 Januari 2015
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara yang lahir dari peradaban negara-
negara modern. Peradaban yang menyelaraskan prinsip demokrasi yang berpangkal pada
kekuatan politik kuantitatif dengan prinsip negara hukum yang berpangkal pada kepatuhan
terhadap hukum yang dibuat dan disepakati bersama secara rasional.
Penyelesaian konflik dan perbedaan tidak lagi didasarkan pada kekuasaan dan kekuatan
politik, melainkan diselesaikan secara hukum yang putusannya dihormati dan dipatuhi
bersama. Peradaban inilah yang melahirkan dianutnya prinsip demokrasi dan nomokrasi
dalam konstitusi. Kita tentu berharap waktu demi waktu, tahun demi tahun, peradaban bangsa
Indonesia semakin matang yang mendukung praktik berdemokrasi dan bernegara hukum.
Tahun 2014 telah kita lalui dan kini telah menapaki tahun 2015. Tahun 2014 merupakan
tahun yang penting dan penuh dengan dinamika politik dan hukum. Apa yang telah terjadi
akan menjadi landasan dan pelajaran untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di
tahun 2015 ini.
Demikian pula halnya bagi MK, refleksi atas kinerja setahun yang lalu sangat penting untuk
meningkatkan kinerja dalam menjalankan kewenangan konstitusional sebagai bagian dari
upaya segenap komponen bangsa dalam menegakkan konstitusionalitas Indonesia. Bahkan
pengalaman dan pelajaran yang didapat pada tahun 2014 telah menunjukkan kematangan
peradaban bangsa Indonesia dalam menjalani kehidupan konstitusional.
Tahun 2014 bagi MK merupakan tahun penuh tantangan. Pertama, pada tahun lalu MK
berada pada jalan terjal mengembalikan kepercayaan publik dari posisi di bawah nol untuk
kembali menjadi lembaga peradilan yang tepercaya. Kedua, pada tahun lalu MK harus
menjalankan salah satu kewenangan konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara perselisihan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden (pilpres) sebagai bagian dari
proses demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Artinya, dalam kondisi tingkat kepercayaan
yang sedang menurun, MK ditantang untuk dapat menyelesaikan tugas konstitusional yang
menentukan keberlanjutan kehidupan ketatanegaraan.
Berkat dukungan masyarakat dan kerja keras bersama, MK telah berhasil menyelesaikan
tugas konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hasil Pemilu 2014
sebanyak 903 perkara perselisihan hasil Pemilu Legislatif dan 1 perkara perselisihan hasil
Pilpres. Tercatat sebagai jumlah perkara perselisihan hasil pemilu terbanyak sepanjang
sejarah berdirinya MK.
35
Namun catatan yang lebih penting dari keberhasilan tersebut sesungguhnya adalah bahwa
bangsa Indonesia telah menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi sebagai negara demokrasi
dan nomokrasi. Kompetisi politik yang begitu kuat dan tajam, baik dalam pemilu legislatif
maupun dalam pilpres berakhir dengan damai melalui putusan MK yang bersifat final dan
mengikat sebagai amanat konstitusi.
Putusan MK telah mengakhiri konflik kontestasi politik dan sosial. Hal ini menunjukkan
adanya penghormatan dan kepatuhan segenap warga masyarakat untuk menerima dan
melaksanakan putusan MK yang sekaligus menunjukkan adanya penghormatan dan
kepatuhan terhadap konstitusi. Kepatuhan terhadap hukum dan putusan lembaga hukum
inilah yang perlu dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
menegakkan konstitusionalisme Indonesia.
Prinsip negara hukum atau nomokrasi tidak akan bermakna jika tidak ada penghormatan
terhadap hukum dan putusan hukum. Tanpa adanya penghormatan dan kepatuhan dengan
jalan melaksanakan putusan hukum dengan penuh kesadaran, penyelenggaraan negara akan
didominasi oleh pertimbangan kekuasaan dan kekuatan politik semata.
Selain memutus perselisihan hasil pemilu, pada tahun 2014 MK juga melaksanakan
kewenangan konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian undang-
undang (PUU). Sepanjang 2014, MK telah memutus sebanyak 131 perkara PUU dari 140
perkara PUU yang diregistrasi (94%). Jumlah perkara PUU yang diputus tersebut lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah perkara PUU yang diputus pada 2013, yaitu sebanyak
110 perkara. Namun, mengingat adanya sisa perkara PUU pada 2013 sebanyak 71 perkara
yang persidangannya dilanjutkan pada 2014, maka sisa perkara PUU sampai dengan 31
Desember 2014 adalah sebanyak 80 perkara.
Adapun jumlah perkara PUU yang amar putusannya mengabulkan pada 2014 sebanyak 29
perkara (29%), meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 sebanyak 26%, dan di atas rata-
rata jumlah perkara yang dikabulkan oleh MK selama 11 tahun, yaitu sebanyak 22%.
Beberapa putusan perkara PUU penting yang diputus antara lain adalah putusan terkait
pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres serentak mulai tahun 2019, putusan penafsiran
persetujuan DPR dalam proses pemilihan hakim agung dan anggota KY, putusan memutus
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah bukan kewenangan MK, putusan tindak pidana
perbuatan tidak menyenangkan bertentangan dengan konstitusi, dan putusan pembatalan
keseluruhan UU Koperasi.
Pelaksanaan putusan MK merupakan tantangan dalam menegakkan konstitusionalisme
Indonesia di masa yang akan datang karena hal itu merupakan wujud penghormatan dan
kepatuhan terhadap konstitusi di satu sisi, dan di sisi lain MK tidak memiliki kekuatan untuk
mengeksekusi putusan yang telah dijatuhkan. Semuanya bergantung dan sekaligus
merefleksikan kesadaran konstitusional masyarakat dan setiap penyelenggara negara.
36
Kepatuhan dan pelaksanaan putusan MK oleh setiap lembaga negara akan memperkuat
kematangan peradaban berbangsa dan bernegara yang telah ditunjukkan oleh masyarakat
yang menerima dan menghormati putusan MK terkait dengan hasil pemilu legislatif dan
pilpres. Kepatuhan dan pelaksanaan putusan MK juga akan menjadi penentu keberhasilan
mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstitusional.
Sepanjang keberadaan MK, sebagian besar putusan MK, khususnya putusan perkara PUU,
telah dilaksanakan oleh lembaga negara sesuai dengan lingkup kewenangan yang
dimiliki. Pada tahun 2014 misalnya, MK telah memutus bahwa pemilihan kepala daerah tidak
termasuk bagian dari rezim pemilu sehingga kewenangan memutus perselisihan hasilnya
tidak lagi menjadi bagian dari kewenangan MK. Putusan itu telah ditindaklanjuti dengan
adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang kemudian dicabut dengan Perppu
Nomor 1 Tahun 2014. Kedua produk hukum tersebut memberikan kewenangan memutus
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah kepada MA.
Namun ada beberapa putusan yang perlu segera didorong untuk dilaksanakan karena
menentukan bangunan hukum dan ketatanegaraan demi tegaknya konstitusionalisme
Indonesia. Beberapa putusan tersebut antara lain adalah putusan terkait dengan kewenangan
dan mekanisme pembentukan undang-undang secara tripartit antara DPR, Presiden, dan DPD
yang belum sepenuhnya terwadahi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, dan DPD; putusan yang menyatakan pembatasan pengajuan peninjauan kembali
(PK) bertentangan dengan konstitusi; putusan pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres
serentak yang perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan undang-undang; dan putusan
mengenai UU Organisasi Kemasyarakatan yang perlu segera ditindaklanjuti dalam tingkat
administrasi pemerintahan.
JANEDJRI M GAFFAR
Doktor Ilmu Hukum; Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang
37
Menghidupkan Demokrasi Demokrat
Koran SINDO
6 Januari 2015
Membangun budaya demokrasi itu tidak mudah. Cendekiawan Nurcholish Madjid pernah
mengatakan bahwa membangun demokrasi dapat memakan waktu lebih satu generasi dan
prosesnya juga rumit, ibarat naik ke puncak gedung pencakar langit melalui tangga biasa.
Terkadang kita demikian mudah mengucap demokrasi, memberi nama demokrasi kepada
lembaga-lembaga yang kita dirikan agar tampak gagah dan modern, tetapi abai dalam
menerapkan nilai-nilainya. Di masa lalu, dalam perjalanan sejarah bangsa kita, muncul
berbagai penamaan sistem demokrasi. Ada Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila yang
hampir keseluruhannya hanyalah otoritarianisme berjubah demokrasi.
Dalam kondisi kita hari ini, dengan sistem demokrasi multipartai, partai politik merupakan
organisasi terbesar kedua setelah negara. Partai menjadi pertaruhan keberlangsungan
demokrasi kita hari ini dan di masa depan. Tanggung jawab partai politik dalam membangun
demokrasi di Indonesia sangat besar. Untuk dapat berkontribusi membangun demokrasi di
level kebangsaan dan kenegaraan, partai politik dituntut mampu menyelenggarakan
demokrasi di lingkup internalnya. Sebab bagaimana mungkin dapat menularkan ke luar jika
di partai sendiri masih bermasalah.
Potret kepartaian kita secara umum memiliki kecenderungan memunggungi kepentingan
publik atau sekurang-kurangnya tidak responsif terhadap kepentingan publik. Partai terjebak
dalam urusan internalnya akibat elite oligarkis di dalam partai memaksakan kepentingan
eksklusifnya untuk terus mendapat privilege. Hal ini berdampak pada menguatnya
antagonisme publik terhadap partai politik DPR. Kondisi ini harus menjadi peringatan
bersama para kader partai politik di Indonesia.
SBY dan Demokrat
Sejak berdiri tahun 2001, Partai Demokrat (PD) menempuh perjalanan yang unik dan
mengejutkan. Momen debutnya dalam Pemilu 2004 langsung mengantar partai berlambang
bintang Mercy ini ke puncak kekuasaan di negeri ini, yakni terpilihnya Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai Presiden RI. Pada penampilan keduanya, Pemilu 2009, PD bahkan
memenangi dua laga sekaligus, yakni pileg dan pilpres.
Pada Kongres II di Bandung tahun 2010, PD berhasil menggelar kongres dengan demokratis
yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai politik termuda. Inilah puncak
kejayaan PD.
38
Setiap kekuasaan ada masanya dan setiap masa ada penguasanya, demikian pula yang terjadi
dalam PD pasca-2010. Serangan-serangan eksternal dengan gencar menyulut simpul-simpul
konflik di partai dan semuanya pun terbakar. Semua keajaiban PD telah berakhir dan zaman
normal bermula.
Figur SBY adalah figur utama yang brilian dan tidak ada bandingannya di PD. Beliau adalah
anugerah bagi partai. Faktanya figur SBY-lah yang membesarkan suara partai pada Pemilu
2004 dan 2009, bukan sebaliknya. Namun, di sisi lain, dominannya figur SBY juga
menyebabkan sistem dan struktur partai tidak dapat berkembang, dikalahkan personalitas
SBY.
Dalam salah satu bagian perjalanannya, mantan ketua umum Anas Urbaningrum pernah
bekerja sangat serius untuk membangun dan melembagakan ketokohan, ide, dan pemikiran
SBY agar dapat menularkan ”tuah”-nya kepada partai. Namun upaya ini terjegal, bahkan
Anas menjadi korban dari intrik politik para Sengkuni.
Ketika SBY memutuskan untuk mengambil alih kewenangan partai yang kemudian
dikukuhkan dalam KLB PD 30-31 Maret 2013 selepas Anas Urbaningrum menyatakan
berhenti, keputusan itu dilandasi keprihatinan atas situasi darurat yang sedang terjadi. SBY
menyatakan hanya bersedia menjadi ketua umum partai hingga mengantarkan partai ke
Pemilu 2014.
Namun, berkaca dari sejarah para pendahulu, situasi darurat adalah situasi paling nyaman
bagi sejumlah kalangan yang memiliki bakat mengail keuntungan di air keruh masa darurat.
Bagi mereka, jika diperbolehkan, situasi darurat harus diperpanjang hingga waktu tak
terhingga agar semakin banyak keuntungan diperoleh. Kondisi inilah yang sedang terjadi di
PD menjelang Kongres 2015.
SBY harus diakui sebagai tokoh politik yang sangat hebat dalam kapasitas dan konteks
sebagai Presiden Republik Indonesia. Namun dalam kapasitas dan konteks sebagai ketua
umum PD, masih terbuka ruang untuk didiskusikan dengan jernih.
Beberapa hal yang dapat dicatat di sini adalah PD di bawah kepemimpinan SBY gagal
mempertahankan suara partai 15% dalam Pileg 2014, gagal memperjuangkan peserta
konvensi sebagai capres bahkan cawapres, gagal mengawal pilkada langsung dalam
pembahasan RUU Pilkada dengan skenario walkout yang tidak bertanggung jawab, gagal
menempatkan kader PD sebagai ketua MPR RI yang sudah dijanjikan. Pada prinsipnya, PD
di bawah kepemimpinan SBY gagal menempatkan siapa pun kecuali SBY dan segelintir
kerabatnya.
Di lingkup internal partai berlangsung praktik yang lebih buram. Puluhan ketua DPC dan
DPD di-plt-kan dengan kesalahan dicari-cari hanya karena mereka dianggap dekat dengan
mantan ketua umum Anas Urbaningrum. Selepas pileg berlangsung drama yang sungguh
memalukan di mana 8 anggota DPR RI yang terpilih secara sah dipecat oleh Mahkamah
39
Partai tanpa alasan yang dapat dibenarkan hanya untuk memberikan kursi mereka kepada 8
kroni besar yang dekat dengan SBY. Dan saat ini sedang dilakukan penggalangan dukungan
bermeterai di DPC-DPC untuk mencalonkan SBY secara aklamasi dalam kongres yang
rencananya diadakan tahun 2015. Kesemua praktik buram di atas terjadi tepat di depan
hidung SBY dan dibiarkan saja terjadi.
Ikhtiar Membangun Demokrasi
Demokrasi sejak diperkenalkan 2.500 tahun silam di Athena, Yunani, adalah ikhtiar panjang
untuk memerangi kepentingan eksklusif dan menyebarkannya kepada publik luas. Demokrasi
tidak ditujukan untuk terbangunnya poliarki sejumput elite, kartel, atau bahkan oligarki yang
menghisap habis seluruh sumber daya untuk diri sendiri. Apalagi hanya untuk sekawanan
Sengkuni yang berkomplot berbisik tiap malam, menjadi benalu yang sibuk mencari
keuntungan pribadi di dalam partai.
SBY sebagai tokoh utama, figur, dan guru politik bagi banyak sekali orang termasuk penulis
cukup lama dikenal sebagai tokoh demokrasi yang hari ini kesemuanya harus beliau
pertaruhkan. Kondisi kurang menguntungkan karena di seluruh dunia ini hanya Partai
Demokrat yang ketua umum dan sekjennya adalah bapak dan anak, belum ditambah urutan
panjang: ketua fraksi dijabat oleh anak kandung, bendahara fraksi dijabat tetangga rumah
Cikeas, dan wakil ketua DPR RI dijabat oleh adik dari adik ipar.
Jika ingin tetap dikenang sebagai sang demokrat, SBY semestinya berusaha lebih keras untuk
memenuhi standar demokrasi di PD. Beliau harus memberi contoh bagaimana melaksanakan
ajaran sendiri. Beliau boleh saja turut mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai ketua umum,
tetapi harus mengikuti proses pertarungan yang wajar, bukan membiarkan saja dagelan
pengumpulan dukungan bermeterai yang mengintimidasi DPC-DPC. Beliau wajib turut
dalam ikhtiar membangun demokrasi untuk membuktikan bahwa PD adalah partai milik
rakyat Indonesia, bukan partai milik keluarga dan tetangga. Inilah cara berdemokrasi di
zaman normal.
GEDE PASEK SUARDIKA
Kader Partai Demokrat; Anggota Dewan Perwakilan Daerah
40
Kontroversi Izin Terbang QZ8501
Koran SINDO
7 Januari 2015
Di tengah masih berkabungnya keluarga penumpang dan seluruh rakyat di negeri ini atas
musibah yang dialami pesawat terbang AirAsia Indonesia QZ8501 dengan rute Surabaya-
Singapura yang jatuh di sekitar perairan Karimata/dekat Belitung Timur, aksi saling
melempar tanggung jawab perihal siapa pemberi izin untuk penerbangan pesawat AirAsia
QZ8501 terus berlangsung.
Dalam teori hukum administrasi negara, izin dimaknai oleh Spelt dan Ten Berge (1993)
sebagai “bentuk persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan
pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari larangan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan”. Dengan memberikan izin, pemerintah selaku penguasa
memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan tertentu yang
sejatinya dilarang.
Masih menurut Ten Berge dan Spelt, izin diperlukan karena aktivitas yang dilakukan
pemohon izin berkaitan dengan perkenan yang diberikan pemerintah atas tindakan yang demi
kepentingan umum mengharuskan dilakukan pengawasan khusus terhadapnya.
Perdebatan mengenai pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas aktivitas
penerbangan pesawat nahas AirAsia Indonesia QZ 8501 pada Minggu pagi, 28 Desember
2014, berkembang paralel dengan pertanyaan publik mengenai peristiwa yang
melatarbelakangi musibah yang menimpa pesawat nahas tersebut meski dugaan sementara
diarahkan pada kecelakaan pesawat yang disebabkan oleh awan cumulonimbus (awan CB)
yang selama ini banyak dilansir oleh berbagai media massa.
Pihak maskapai AirAsia Indonesia dipersalahkan telah melanggar izin rute penerbangan
periode winter 2014-2015 26 Oktober 2014-26 Maret 2015 yang seharusnya menjadi otoritas
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) cq Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Menurut
Kepala Pusat Komunikasi Kemenhub J.A. Barata pada 4 Januari 2015 surat izin terbang dari
Kemenhub hanya diberikan pada Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu sehingga aktivitas
penerbangan AirAsia pada Minggu dinilai dilakukan menyalahi izin yang telah diberikan.
Namun, Sekretaris Perusahaan Angkasa Pura I Farid Indra Nugraha mengungkapkan, tak ada
masalah perizinan pada penerbangan AirAsia QZ8501. Untuk rute penerbangan tersebut,
AirAsia telah mengajukan izin rute dan jadwal kepada Indonesia Slot Coordinator (IDSC)
dan di dalam slot sudah diperbolehkan. Rapat IDSC dihadiri oleh Kemenhub selaku
regulator, juga Angkasa Pura I dan AirNav Indonesia.
41
Slot yang diminta telah disesuaikan pula dengan kesediaan bandara internasional tujuan
seperti Australia atau Singapura. Apabila memang tersedia dan tak ada masalah pada jalur
udara, akan diteruskan ke Dirjen Perhubungan Udara untuk mendapatkan persetujuan.
Setelah itu akan dikirimkan ke Air Traffic Controller dan Angkasa Pura I (AP I) untuk
diumumkan.
Namun, menurut General Manager Angkasa Pura I Trikora Harjo, pemberian izin rute
penerbangan bukan merupakan kewenangan AP I. AP I bertugas sebatas pemberian fasilitas
terminal dan tempat parkir pesawat di bandara.
Melalui Surat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Nomor AU.008/30/6/DRJU. DAU-
2014 tanggal 24 Oktober 2014 perihal Izin Penerbangan Luar Negeri Periode Winter
2014/2015, Plt. Dirjen Perhubungan Udara Djoko Murjatmodjo membekukan sementara izin
rute penerbangan Indonesia AirAsia Surabaya-Singapura pp terhitung mulai Jumat, 2 Januari
2014. Itu berkaitan dengan penilaian pihak Kemenhub bahwa penerbangan rute Surabaya-
Singapura tersebut melanggar izin. Menurut versi Kemenhub, pembekuan baru akan dicabut
setelah hasil investigasi dan evaluasi terhadap jatuhnya QZ 8501 di Selat Karimata keluar.
Pembekuan rute penerbangan Surabaya-Singapura PT Indonesia AirAsia oleh Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub tersebut tak urung mendapat kritik tajam dari
sejumlah pilot dan mantan pilot maskapai penerbangan di Indonesia. Salah satunya datang
dari mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Capt Sardjono Jhony
Tjitrokusumo. Menurut Jhony, alasan pembekuan rute AirAsia oleh Kemenhub akibat
melayani penerbangan pada Minggu (saat terjadi insiden QZ8501) tidak sesuai dengan jadwal
yang diberikan Kemenhub yaitu Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu terlalu dipaksakan.
Mantan pilot tersebut menilai kalaupun penerbangan yang dilakukan AirAsia tersebut dinilai
oleh pihak Kemenhub sebagai tidak berjadwal, dia yakin bahwa maskapai tersebut pasti telah
menerima flight approval untuk melayani penerbangan tambahan atau extra flight yang
diajukan ke otoritas penerbangan nasional yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan
Udara. Menurut Jhony, extra flight merupakan bagian dari pelayanan angkutan Natal dan
Tahun Baru sehingga tidak perlu mencari-cari kesalahan.
Dia menyayangkan penerbitan kebijakan pembekuan rute tersebut oleh Kemenhub yang
dinilainya sebagai keputusan reaktif. Padahal, Komite Nasional Keselamatan Transportasi
(KNKT) belum juga menyelesaikan investigasi atas penyebab kecelakaan nahas yang
menimpa Airbus A320-200 milik AirAsia pada Minggu lalu.
Berkaca pada silang sengkarut kebijakan perizinan penerbangan yang berkembang
pascainsiden jatuhnya pesawat AirAsia Indonesia QZ8501 tersebut, kiranya itu
memperlihatkandengan kasatmata kelemahan administratif sistem perizinan penerbangan
pesawat. Secara paradigmatik izin telah digeser maknanya sekadar sebagai persyaratan
administratif semata-mata dari hakikat maknanya sebagai instrumen pengawasan dan
pengendalian oleh pemerintah untuk kepentingan umum. Itu terlihat dari ketidakjelasan
42
rentang kendali dalam kebijakan perizinan penerbangan yang terkesan tersebar pada berbagai
tangan otoritas.
Dalam hukum administrasi negara, sejatinya kewenangan yang berhak memberikan atau
menolak izin adalah yang diberikan kewenangan secara atributif oleh undang-undang secara
langsung. Dalam kasus tersebut, sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2009 kewenangan itu
melekat pada Kemenhub yang mewakili pemerintah dalam melaksanakan “hak menguasai
negara atas penerbangan.” Meskipun suatu kewenangan tersebut dapat dimandatkan kepada
otoritas tertentu sebagai mandataris, pertanggungjawaban eksternal terakhir tetap berpuncak
pada Kemenhub sebagai wakil pemerintah di bidang perhubungan.
Justru dengan kasus yang menimpa AirAsia QZ8501 tersebut, kini saatnya Kemenhub
menata ulang desain rentang kendali perizinan penerbangan melalui standar operasional
prosedur yang jelas sebagai diamanatkan oleh UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
Jika polemik seputar otoritas perizinan terus berlanjut, dapat saja pihak keluarga korban
mengadukan kepada Ombudsman Republik Indonesia agar melakukan investigasi untuk
meneliti keabsahan perizinan tersebut. Ini penting karena itu konon juga terkait upaya hukum
klaim asuransi yang mensyaratkan legalitas penerbangan sebagai syarat untuk mendapat
santunan asuransi bagi para korban pesawat tersebut.
Inilah saatnya menhub berani berbenah dan melakukan bersih-bersih ke dalam agar ke depan
administrasi perizinan tidak justru menjadi kendala dalam sistem keselamatan penerbangan
karena sejumlah keuntungan haram yang dinikmati segelintir oknum yang abai terhadap
implikasinya yang mengamputasi hajat keselamatan orang banyak.
DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUM
Pengajar Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
43
2015, Bagaimana Nasib Pemerintahan
Jokowi?
Koran SINDO
9 Januari 2015
Tahun 2014 telah berakhir, berganti memasuki tahun 2015. Tidak dapat dimungkiri
sepanjang 2014 situasi politik nasional penuh dengan berbagai kegaduhan sebagai
konsekuensi dari pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).
Usai pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) kegaduhan politik berlanjut di
parlemen berupa pertikaian politik tajam antara partai-partai pendukung pasangan Joko
Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (Koalisi Indonesia Hebat) dan partai-partai politik
pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa (Koalisi Merah Putih).
Lalu bagaimana outlook politik Indonesia 2015, terutama nasib pemerintahan Jokowi dan
Jusuf Kalla? Meski politik bersifat dinamis, dapat dipastikan 2015 bukan tahun mudah bagi
pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Riak-riak kecil hingga gelombang besar politik sangat
mungkin menerpa biduk pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla pada 2015 mengingat
dukungan politik di tingkat elite terhadap mereka terbilang sangat lemah.
Koalisi Indonesia Hebat beranggotakan PDI Perjuangan (109 kursi), Partai Kebangkitan
Bangsa (47 kursi), Partai Persatuan Pembangunan (39 kursi), Partai NasDem (35 kursi), dan
Partai Hanura (16 kursi). Apabila dijumlahkan, kursi lima partai politik Koalisi Indonesia
Hebat tersebut tidak sampai separuh dari jumlah total 560 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR).
Ketiadaan dukungan kuat di tingkat elite terhadap pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla
diperparah dengan kelemahan Koalisi Indonesia Hebat di parlemen dalam melakukan lobi
dan komunikasi politik. Alhasil, dalam sejumlah kesempatan mereka kerapkali babak belur
menghadapi kekompakan Koalisi Merah Putih sebagaimana saat pemilihan pimpinan DPR
awal Oktober lalu.
Ketiadaan perwakilan dari Koalisi Indonesia Hebat dalam pimpinan DPR jelas semakin
mempersulit Jokowi dan Jusuf Kalla untuk menjalankan pemerintahan dengan mulus.
Akselerasi lembaga eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan akan sangat lamban.
Pemerintah tidak akan mudah memperoleh persetujuan politik parlemen saat hendak
menggulirkan berbagai rencana kebijakan.
Terbaru lihat saja bagaimana kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak
44
(BBM) bersubsidi harus bersiap menghadapi hadangan interpelasi di parlemen. Hingga awal
Desember, 240 anggota DPR telah membubuhkan tanda tangan dukungan penggunaan hak
interpelasi terkait kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi untuk kemudian diajukan
kepada pimpinan DPR seusai masa reses nanti. Para anggota DPR penandatangan hak
interpelasi berasal dari Koalisi Merah Putih seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera,
Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional.
Dengan berkaca dari realitas politik di atas, ke depan mau tidak mau pemerintahan Jokowi
dan Jusuf Kalla beserta koalisi pendukung mereka harus lebih cermat dalam
memperhitungkan aspek politik di setiap proses pembuatan kebijakan agar tidak menjadi
sasaran tembak empuk kelompok oposisi di parlemen. Apalagi pada 2015 akan ada
kepentingan strategis pemerintah agar pengajuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) berjalan mulus dan mendapatkan persetujuan politik seluruh kekuatan politik di
parlemen.
Proses rekonsiliasi elite-elite politik di DPR dengan mengakomodasi anggota-anggota Koalisi
Indonesia Hebat di alat-alat kelengkapan Dewan melalui perubahan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta perubahan tata tertib DPR
mendesak untuk segera dituntaskan.
Selain itu, langkah politik strategis lain juga harus dilakukan Koalisi Indonesia Hebat dalam
rangka memuluskan langkah pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dengan memperbaiki lobi
dan komunikasi politik mereka. Melakukan pendekatan politik kepada Partai Demokrat yang
memiliki 61 kursi patut dipertimbangkan lebih lanjut.
Sikap Partai Demokrat sebagai kekuatan politik penyeimbang dapat dimanfaatkan Koalisi
Indonesia Hebat untuk memperkuat dukungan politik di parlemen terhadap pemerintahan
Jokowi dan Jusuf Kalla, terutama saat hendak meloloskan sebuah kebijakan strategis seperti
pengurangan subsidi BBM dan APBN.
Kekalahan telak dalam pemilihan pimpinan DPR tidak akan terjadi bila saat itu Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku pimpinan Koalisi Indonesia Hebat
melakukan komunikasi politik secara total dengan Partai Demokrat. Karena itu, pada masa
mendatang diharapkan tidak ada lagi sikap jual mahal merasa tidak butuh dari PDIP terhadap
Partai Demokrat.
Selain dapat membantu pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam menunaikan janji-janji
politik untuk mewujudkan kesejahteraan, kedekatan antara PDIP dan Partai Demokrat juga
dapat menghangatkan kembali relasi Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) sebagaimana saat mereka belum terlibat rivalitas pertarungan Pilpres
2004.
Kesamaan pandangan dan sikap politik terhadap Peraturan Presiden Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah dapat menjadi awal dari
45
kerja sama politik PDIP dan Partai Demokrat. Mungkinkah kedekatan dan kerja sama politik
antardua partai itu akan terwujud pada 2015? Tidak ada yang tidak mungkin di dalam politik.
BAWONO KUMORO
Peneliti Politik The Habibie Center
46
Keharusan Seleksi Hakim MK
Koran SINDO
10 Januari 2015
Rabu, 7 Januari 2014 pekan ini, dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru, I Gede
Palguna dan Suhartoyo, mengucapkan sumpah di hadapan Presiden untuk mulai bertugas
sebagai hakim konstitusi. Palguna terpilih menggantikan Hamdan Zoelva sebagai hakim yang
diajukan oleh Presiden, sedangkan Suhartoyo menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi sebagai
hakim yang diajukan oleh Mahkamah Agung (MA).
Menurut Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, hakim konstitusi terdiri atas sembilan orang yang
diajukan (nominated) oleh tiga lembaga negara, yakni tiga orang diajukan oleh presiden, tiga
orang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga orang diajukan oleh
MA. Harus ditegaskan, menurut konstitusi kesembilan hakim tersebut bukan “mewakili”,
melainkan hanya diajukan atau diusulkan oleh ketiga lembaga negara tersebut. Semua hakim
konstitusi haruslah independen dan tidak bisa dipengaruhi oleh lembaga negara yang
mengusulkannya. Meskipun ditetapkan dengan keputusan presiden (keppres), hakim MK
tidak bertanggung jawab dan tidak mewakili presiden, sebab keppres hanya bersifat
administratif untuk meresmikan.
Sekarang ada kemajuan. Terpilihnya hakim I Gede Palguna dilakukan melalui proses seleksi
yang transparan dan partisipatif, sesuai dengan perintah Pasal 19 UU MK. Ini jauh berbeda
dari penetapan hakim-hakim sebelumnya. Pada periode pertama, saat pertama kali MK
dibentuk tahun 2003, pengajuan hakim-hakim MK memang lebih bersifat langsung diajukan
oleh tiga lembaga negara, tidak banyak melibatkan partisipasi publik karena saat itu memang
belum menarik perhatian publik.
Meski begitu, mungkin karena masih berimpit atau dekat dengan awal sejarah dan segala
idealisme pembentukan MK, pengusulan hakim-hakim periode pertama yang tanpa isu dan
intrik politik telah melahirkan figur-figur yang baik dan berintegritas. Di bawah
kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, hakim-hakim MK periode pertama mampu meletakkan
dasar-dasar MK sebagai pengawal konstitusi yang kokoh dan disegani.
Namun, sesudah habisnya masa jabatan periode pertama mulai muncul aspirasi agar hakim-
hakim MK berikutnya diseleksi secara terbuka. Sejak rekrutmen hakim MK periode kedua,
masyarakat mulai mengkritik calon-calon hakim yang berlatar belakang partai politik. Ketika
saya mengikuti seleksi sebagai calon hakim MK dari DPR pada tahun 2008, misalnya,
Indonesia Corruption Watch (ICW) mempersoalkan saya karena saya berasal dari parpol.
Tetapi ketika itu saya terus maju karena menurut undang- undang tidak ada syarat calon
47
hakim MK harus bukan orang parpol. Yang penting kalau sudah menjadi hakim MK mereka
bukan lagi orang parpol atau keluar dari parpol. Ketika itu saya bilang, saya tak pernah
terlibat korupsi. Sebaliknya saya bisa menunjukkan, banyak orang yang berlatar belakang
LSM terlibat korupsi.
Hakim-hakim periode pertama pun banyak yang mempunyai kaitan dengan parpol. Sebutlah
Roestandi yang menjadi penasihat PPP atau Harjono dan I Gede Palguna yang duduk di MPR
mewakili PDI Perjuangan. Toh, mereka bisa bekerja dengan baik.
Yang menarik adalah perkembangan pengajuan hakim-hakim MK yang dari Presiden sejak
periode kedua. Untuk pengajuan hakim MK pada periode kedua (2008) Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menerima usulan dari tim seleksi terbuka yang dipimpin oleh Adnan
Buyung Nasution. Namun, untuk pengajuan hakim-hakim MK berikutnya Presiden SBY
tidak lagi melakukan seleksi terbuka. Hamdan Zoelva (2010) langsung ditetapkan oleh
Presiden tanpa seleksi terbuka sehingga muncul kritik gencar dari masyarakat.
Menurut pengakuan Hamdan, terhadap dirinya sudah dilakukan fit and proper test oleh tiga
menteri terkait, yakni Menko Polhukam, Mensesneg, dan Menkumham. Tetapi siapa pun
tahu, kalaupun ada, tentu itu bukanlah seleksi yang transparan dan partisipatif, melainkan
lebih politis. Untungnya, terlepas dari prosesnya yang banyak dipersoalkan, pengangkatan
Hamdan yang cukup dikritik; ternyata dia cukup kapabel dan profesional sampai mengakhiri
tugasnya.
Namun, ketika ternyata pada 2013 Presiden SBY masih mengangkat lagi Patrialis Akbar
tanpa seleksi terbuka, maka masyarakat sipil bukan hanya mengkritik, melainkan langsung
memperkarakannya ke PTUN.
Terpilihnya Palguna sebagai hakim MK haruslah kita terima sebagai produk dari satu proses
yang transparan dan partisipatif sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UU MK. Palguna tidak
ditunjuk secara sepihak, melainkan sudah melalui seleksi terbuka yang bertahap. Bahwa ada
yang mengkritik atas penetapannya karena dia pernah punya kaitan dengan partai politik
adalah biasa di dalam negara demokrasi. Siapa pun yang ditetapkan oleh Presiden pasti akan
ada yang mengkritik, tetapi siapa pun bisa mengkritik lagi terhadap kritik yang mungkin
berlebihan.
Kritik bahwa kalau punya latar belakang parpol cenderung korup tentu harus dikritik balik
karena hal itu tidak faktual dan ngawur. Faktanya, lihat saja, orang-orang yang dipenjara
karena korupsi ternyata bukan hanya mereka yang berlatar belakang parpol, melainkan juga
mereka yang datang dari berbagai latar belakang profesi dan organisasi seperti parpol,
birokrasi, perguruan tinggi, pengusaha, bahkan dari LSM.
Seleksi untuk memilih hakim MK harus lebih dikaitkan dengan integritas dan kapabilitas,
bukan dengan latar belakang profesi atau organisasinya. Pada masa-masa mendatang
48
pembentukan tim seleksi yang independen untuk menyeleksi hakim MK harus ditradisikan,
bukan hanya oleh Presiden, tetapi juga oleh DPR dan MA.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
49
Relasi Media & Terorisme
Koran SINDO
12 Januari 2015
Tragedi memilukan berupa aksi penembakan di kantor redaksi majalah Charlie Hebdo di
Paris, Prancis yang menewaskan 12 korban (7/1/2015), kembali mengguncang kesadaran
masyarakat internasional tentang bahaya ancaman terorisme global.
Tragedi di Charlie Hebdo ini seolah membuka luka menganga yang belum reda akibat aksi
kebiadaban terorisme di pusat jantung Kota Sydney, Australia; serta penembakan massal di
sekolah militer oleh milisi Taliban di Peshawar, Pakistan yang menewaskan 140-an korban,
termasuk guru dan anak-anak tak berdosa pada medio Desember 2014.
Pembedanya, para korban aksi terorisme di Australia dan Pakistan tampak hanya dijadikan
sebagai “target antara”, sementara target utama (main target) para teroris adalah
menyampaikan pesan kekecewaan terhadap otoritas negara setempat yang dianggap tidak
mengakomodasi kepentingan ekonomi-politik, aspirasi sipil, dan ideologinya.
Sementara aksi terorisme di Paris kali ini, korban yang mayoritas anggota tim redaksi
majalah Charlie Hebdo kuat diduga menjadi “target utama” dari aksi terorisme yang
dilancarkan, sekaligus juga menjadi “target antara” untuk mengamplifikasi (to amplify) pesan
kekerasan mereka kepada publik dan pemerintah setempat tentang kemarahan mereka
terhadap materi-materi pemberitaan yang dimuat majalah Charlie Hebdo.
Karena itu, wajar jika pernyataan kecaman keras yang disampaikan PM Inggris David
Cameron, Presiden Amerika Barrack Obama, dan Perdana Menteri Perancis Manuel Valls
cenderung menekankan aksi terorisme ini sebagai upaya untuk menyasar dan membungkam
kebebasan pers, yang dilancarkan oleh agen-agen terorisme global.
Anomali Relasi Media dan Terorisme
Secara teoritik, ‘terorisme’ merupakan terminologi yang tidak bebas nilai. Pemahaman dan
penggunaan terminologi ‘terorisme’ sangat dipengaruhi oleh kepentingan pihak-pihak yang
menggunakan dan menginterpretasikannya, baik itu aktor negara, kelompok non-negara (non-
state agent), maupun media itu sendiri.
Dengan kata lain, wacana tentang pelabelan “terorisme” merupakan area perang terbuka
antarkepentingan. Negara dapat menstereotip setiap kelompok yang tidak sesuai dengan garis
kepentingannya sebagai “teroris”. Sebaliknya, masyarakat sipil dan kelompok non-negara
juga dapat menuding aktor-aktor kekuasaan dalam sistem dan struktur negara sebagai agen
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS
LEX SPECIALIS

More Related Content

What's hot

Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...
Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...
Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...Abd Rahman
 
Catatan dan Usulan atas RUU Perubahan UU ITE
Catatan dan Usulan atas RUU Perubahan UU ITECatatan dan Usulan atas RUU Perubahan UU ITE
Catatan dan Usulan atas RUU Perubahan UU ITEICT Watch
 
PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIFPENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIFICT Watch
 
RUU Perubahan UU ITE
RUU Perubahan UU ITERUU Perubahan UU ITE
RUU Perubahan UU ITEICT Watch
 
Tinjauan yuridis tentang diskresi kepolisian (pasal 18 uu nomor 2 tahun 2002 ...
Tinjauan yuridis tentang diskresi kepolisian (pasal 18 uu nomor 2 tahun 2002 ...Tinjauan yuridis tentang diskresi kepolisian (pasal 18 uu nomor 2 tahun 2002 ...
Tinjauan yuridis tentang diskresi kepolisian (pasal 18 uu nomor 2 tahun 2002 ...MAfrizal5
 
Peran bank indonesia dalam penanggulangan tindak pidana perbankan
Peran bank indonesia dalam penanggulangan tindak pidana perbankanPeran bank indonesia dalam penanggulangan tindak pidana perbankan
Peran bank indonesia dalam penanggulangan tindak pidana perbankancekkembali dotcom
 
Nota Keberatan APJII atas Permen Situs Negatif
Nota Keberatan APJII atas Permen Situs NegatifNota Keberatan APJII atas Permen Situs Negatif
Nota Keberatan APJII atas Permen Situs NegatifICT Watch
 
Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaAndy Susanto
 
Contoh kasus penegakkan hukum indonesia
Contoh kasus penegakkan hukum indonesiaContoh kasus penegakkan hukum indonesia
Contoh kasus penegakkan hukum indonesiafadylirma.blogspot.com
 
Akuntansi Pemerintahan
Akuntansi PemerintahanAkuntansi Pemerintahan
Akuntansi PemerintahanRestiPutri6
 
Masukan Elsam terhadap RPM Konten Negatif
Masukan Elsam terhadap RPM Konten NegatifMasukan Elsam terhadap RPM Konten Negatif
Masukan Elsam terhadap RPM Konten NegatifICT Watch
 
Rekomendasi pertanyaan dpr ri
Rekomendasi pertanyaan dpr riRekomendasi pertanyaan dpr ri
Rekomendasi pertanyaan dpr rippibelanda
 
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)Herlambang Bagus
 

What's hot (18)

Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...
Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...
Laporan penelitian penerapan_bantuan_timbal_balik_dalam_masalah_pidana_terhad...
 
Catatan dan Usulan atas RUU Perubahan UU ITE
Catatan dan Usulan atas RUU Perubahan UU ITECatatan dan Usulan atas RUU Perubahan UU ITE
Catatan dan Usulan atas RUU Perubahan UU ITE
 
PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIFPENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
 
Kapita selekta
Kapita selektaKapita selekta
Kapita selekta
 
RUU Perubahan UU ITE
RUU Perubahan UU ITERUU Perubahan UU ITE
RUU Perubahan UU ITE
 
Tinjauan yuridis tentang diskresi kepolisian (pasal 18 uu nomor 2 tahun 2002 ...
Tinjauan yuridis tentang diskresi kepolisian (pasal 18 uu nomor 2 tahun 2002 ...Tinjauan yuridis tentang diskresi kepolisian (pasal 18 uu nomor 2 tahun 2002 ...
Tinjauan yuridis tentang diskresi kepolisian (pasal 18 uu nomor 2 tahun 2002 ...
 
Peran bank indonesia dalam penanggulangan tindak pidana perbankan
Peran bank indonesia dalam penanggulangan tindak pidana perbankanPeran bank indonesia dalam penanggulangan tindak pidana perbankan
Peran bank indonesia dalam penanggulangan tindak pidana perbankan
 
Nota Keberatan APJII atas Permen Situs Negatif
Nota Keberatan APJII atas Permen Situs NegatifNota Keberatan APJII atas Permen Situs Negatif
Nota Keberatan APJII atas Permen Situs Negatif
 
Ptik
PtikPtik
Ptik
 
Gratifikasi
GratifikasiGratifikasi
Gratifikasi
 
Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab I Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusus
 
Contoh kasus penegakkan hukum indonesia
Contoh kasus penegakkan hukum indonesiaContoh kasus penegakkan hukum indonesia
Contoh kasus penegakkan hukum indonesia
 
Akuntansi Pemerintahan
Akuntansi PemerintahanAkuntansi Pemerintahan
Akuntansi Pemerintahan
 
Masukan Elsam terhadap RPM Konten Negatif
Masukan Elsam terhadap RPM Konten NegatifMasukan Elsam terhadap RPM Konten Negatif
Masukan Elsam terhadap RPM Konten Negatif
 
HARIAN WARTA NASIONAL
HARIAN WARTA NASIONALHARIAN WARTA NASIONAL
HARIAN WARTA NASIONAL
 
Rekomendasi pertanyaan dpr ri
Rekomendasi pertanyaan dpr riRekomendasi pertanyaan dpr ri
Rekomendasi pertanyaan dpr ri
 
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
 

Similar to LEX SPECIALIS

Pernyataan sikap atas tindakan pemerintah melakukan pembubaran ormas tanpa me...
Pernyataan sikap atas tindakan pemerintah melakukan pembubaran ormas tanpa me...Pernyataan sikap atas tindakan pemerintah melakukan pembubaran ormas tanpa me...
Pernyataan sikap atas tindakan pemerintah melakukan pembubaran ormas tanpa me...glugutharipamungkas
 
34. 33020210176_Isvianta Lasyiva.pdf
34. 33020210176_Isvianta Lasyiva.pdf34. 33020210176_Isvianta Lasyiva.pdf
34. 33020210176_Isvianta Lasyiva.pdfRINIRISDAYANTI0125
 
Wewenang KPK untuk Tidak Mengeluarkan SP3 PerkaraTtipikor Dihubungkan dengan ...
Wewenang KPK untuk Tidak Mengeluarkan SP3 PerkaraTtipikor Dihubungkan dengan ...Wewenang KPK untuk Tidak Mengeluarkan SP3 PerkaraTtipikor Dihubungkan dengan ...
Wewenang KPK untuk Tidak Mengeluarkan SP3 PerkaraTtipikor Dihubungkan dengan ...AndriKoswara1
 
Pernyataan Pers Menyikap Permen Blokir
Pernyataan Pers Menyikap Permen BlokirPernyataan Pers Menyikap Permen Blokir
Pernyataan Pers Menyikap Permen BlokirICT Watch
 
Contoh kasus uu ite
Contoh kasus uu iteContoh kasus uu ite
Contoh kasus uu iteagusjepara
 
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015SatuDunia
 
Tugas hukum dan etika pers danu
Tugas hukum dan etika pers danuTugas hukum dan etika pers danu
Tugas hukum dan etika pers danuDanu Putra
 
K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...
K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...
K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...fraksi balkon
 
Cyber crime
Cyber crimeCyber crime
Cyber crimetahmabsi
 
Cyber crime
Cyber crimeCyber crime
Cyber crimetahmabsi
 
M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014
M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014
M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014fraksi balkon
 
BE & GG, purwono sutoyo, hapzi ali, Kritik terhadap kasus Privatisasi Indosat...
BE & GG, purwono sutoyo, hapzi ali, Kritik terhadap kasus Privatisasi Indosat...BE & GG, purwono sutoyo, hapzi ali, Kritik terhadap kasus Privatisasi Indosat...
BE & GG, purwono sutoyo, hapzi ali, Kritik terhadap kasus Privatisasi Indosat...Ipung Sutoyo
 
Noni Putra Irama Gulo 19310003.docx
Noni Putra Irama Gulo 19310003.docxNoni Putra Irama Gulo 19310003.docx
Noni Putra Irama Gulo 19310003.docxputrairamagulo
 
Ius constitutum dan ius constituendum dalam perlindungan data pribadi
Ius constitutum dan ius constituendum dalam perlindungan data pribadiIus constitutum dan ius constituendum dalam perlindungan data pribadi
Ius constitutum dan ius constituendum dalam perlindungan data pribadiAditamaDirga
 
3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi
3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi
3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasidunianyamaya
 

Similar to LEX SPECIALIS (20)

Praktik penanganan korporasi, padang, 6 juni 2014
Praktik penanganan korporasi, padang, 6 juni 2014Praktik penanganan korporasi, padang, 6 juni 2014
Praktik penanganan korporasi, padang, 6 juni 2014
 
Pernyataan sikap atas tindakan pemerintah melakukan pembubaran ormas tanpa me...
Pernyataan sikap atas tindakan pemerintah melakukan pembubaran ormas tanpa me...Pernyataan sikap atas tindakan pemerintah melakukan pembubaran ormas tanpa me...
Pernyataan sikap atas tindakan pemerintah melakukan pembubaran ormas tanpa me...
 
ppt hukum.pptx
ppt hukum.pptxppt hukum.pptx
ppt hukum.pptx
 
34. 33020210176_Isvianta Lasyiva.pdf
34. 33020210176_Isvianta Lasyiva.pdf34. 33020210176_Isvianta Lasyiva.pdf
34. 33020210176_Isvianta Lasyiva.pdf
 
Wewenang KPK untuk Tidak Mengeluarkan SP3 PerkaraTtipikor Dihubungkan dengan ...
Wewenang KPK untuk Tidak Mengeluarkan SP3 PerkaraTtipikor Dihubungkan dengan ...Wewenang KPK untuk Tidak Mengeluarkan SP3 PerkaraTtipikor Dihubungkan dengan ...
Wewenang KPK untuk Tidak Mengeluarkan SP3 PerkaraTtipikor Dihubungkan dengan ...
 
Uu ite
Uu iteUu ite
Uu ite
 
Diskusi 1.docx
Diskusi 1.docxDiskusi 1.docx
Diskusi 1.docx
 
Pernyataan Pers Menyikap Permen Blokir
Pernyataan Pers Menyikap Permen BlokirPernyataan Pers Menyikap Permen Blokir
Pernyataan Pers Menyikap Permen Blokir
 
Contoh kasus uu ite
Contoh kasus uu iteContoh kasus uu ite
Contoh kasus uu ite
 
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015
 
IACF GTC: Menakar pertanggungjawaban korporasi
IACF GTC: Menakar pertanggungjawaban korporasiIACF GTC: Menakar pertanggungjawaban korporasi
IACF GTC: Menakar pertanggungjawaban korporasi
 
Tugas hukum dan etika pers danu
Tugas hukum dan etika pers danuTugas hukum dan etika pers danu
Tugas hukum dan etika pers danu
 
K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...
K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...
K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...
 
Cyber crime
Cyber crimeCyber crime
Cyber crime
 
Cyber crime
Cyber crimeCyber crime
Cyber crime
 
M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014
M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014
M 001 -a1-catatan rdp komisi-1 dpr-ri dengan mastel - 10 nov 2014
 
BE & GG, purwono sutoyo, hapzi ali, Kritik terhadap kasus Privatisasi Indosat...
BE & GG, purwono sutoyo, hapzi ali, Kritik terhadap kasus Privatisasi Indosat...BE & GG, purwono sutoyo, hapzi ali, Kritik terhadap kasus Privatisasi Indosat...
BE & GG, purwono sutoyo, hapzi ali, Kritik terhadap kasus Privatisasi Indosat...
 
Noni Putra Irama Gulo 19310003.docx
Noni Putra Irama Gulo 19310003.docxNoni Putra Irama Gulo 19310003.docx
Noni Putra Irama Gulo 19310003.docx
 
Ius constitutum dan ius constituendum dalam perlindungan data pribadi
Ius constitutum dan ius constituendum dalam perlindungan data pribadiIus constitutum dan ius constituendum dalam perlindungan data pribadi
Ius constitutum dan ius constituendum dalam perlindungan data pribadi
 
3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi
3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi
3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi
 

LEX SPECIALIS

  • 1. 1 DAFTAR ISI PELAKSANAAN UU KORUPSI DAN LEX SPECIALIS Andi Hamzah 4 PARPOL JANGAN TERBELAH (CATATAN AKHIR TAHUN DEMOKRASI) Marwan Mas 8 11 TAHUN KPK Emerson Yuntho 11 MENGHUKUM MATI KORUPTOR? (REFLEKSI DAN TITIK BALIK HUKUM 2014) Mardiansyah SP 14 FORMAT BARU RELASI ISLAM DAN PANCASILA Ma’mun Murod Al-Barbasy 17 REFLEKSI PEMERINTAHAN JOKOWI-JK Idil Akbar 21 SEGERAKAN UU PEMILU 2019 Moh Mahfud MD 24 FAKSIONALISASI PARTAI DAN OLIGARKI ELITE Wasisto Raharjo Jati 27 CATATAN TAHUN 2014 DAN HARAPAN 2015 Bambang Soesatyo 30 MENEGAKKAN KONSTITUSIONALISME Janedjri M Gaffar 34 MENGHIDUPKAN DEMOKRASI DEMOKRAT Gede Pasek Suardika 37 KONTROVERSI IZIN TERBANG QZ8501 W Riawan Tjandra 40 2015, BAGAIMANA NASIB PEMERINTAHAN JOKOWI? Bawono Kumoro 43 KEHARUSAN SELEKSI HAKIM MK Moh Mahfud MD 46 RELASI MEDIA & TERORISME Ahmad Khoirul Umam 49
  • 2. 2 KPK MENANTANG PRESIDEN! Tjipta Lesmana 52 KASUS BG VERSUS KPK Romli Atmasasmita 56 PENEGAKAN HUKUM BELUM MENUNJUKKAN SINYAL PERUBAHAN Frans H Winarta 59 SILANG SENGKARUT TATA KELOLA DESA Caswiyono Rusydie CW 62 AWAN POLITIK CUMULONIMBUS Komaruddin Hidayat 66 KASUS BG: PERSILANGAN HUKUM PIDANA & TATA NEGARA Gede Pasek Suardika 68 KURSI PANAS KAPOLRI Marwan Mas 71 MORAL DI ATAS HUKUM Moh Mahfud MD 74 PERSETUJUAN PERPPU PILKADA Saldi Isra 77 KONTROVERSI EKSEKUSI MATI Amzulian Rifai 80 EFEK JERA DAN DARURAT NARKOBA Bambang Soesatyo 84 INDONESIA MOVE ON Achmad M Akung 87 HUKUMAN MATI DALAM KONTEKS INTERNASIONAL Dinna Wisnu 91 PROMOSI YANG ABAIKAN ETIKA Victor Silaen 94 KASUS BG: ALAT BUKTI DAN TERSANGKA Romli Atmasasmita 97 TEKNIK MEMILIH ARBITRER TERBAIK Frans H Winarta 100 KASUS SAMAD DAN MASA DEPAN KPK
  • 3. 3 Moh Mahfud MD 104 MOMENT OF TRUTH BAGI POLRI Reza Indragiri Amriel 107 PEMERINTAH TAK PERLU KHAWATIR PADA MEDIA MASSA Hasan Asyari 110 PERHATIAN PADA KASUS BG Yunus Husein 113 TIMUR TENGAH PASCA-ABDULLAH Abdul Mu’ti 117 REVOLUSI MENTAL JOKOWI! Mohammad Nasih 121 KE(TAK)JELASAN SIKAP PRESIDEN Zainal Arifin Mochtar 124 PELEMAHAN KPK Amzulian Rifai 128 MEMUDARNYA PESONA BINTANG Gun Gun Heryanto 131 BUKAN SEKADAR OKNUM Dinna Wisnu 134 SELAMAT(KAN) JALAN KPK (5) Saldi Isra 137 SAATNYA PERPPU DAN KOMITE ETIK KPK Gede Pasek Suardika 141 DEMAGOG Moch Nurhasim 143 KARTEL POLITIK DAN POSISI JOKOWI Aditya Perdana 146 DRAMATURGI POLITIK MADU TIGA Idil Akbar 150
  • 4. 4 Pelaksanaan UU Korupsi dan Lex Specialis Koran SINDO 27 Desember 2014 Kita telah memiliki sosok jaksa agung baru. Kita berharap, jaksa agung yang akarnya berasal dari internal, bisa menjadi figur independen, mampu membuat strategi penegakan hukum yang adil dan fair. Ketegasan jaksa agung baru penting mengingat saat ini mengemuka kasus-kasus hukum yang kontroversial terhadap sejumlah perusahaan, baik swasta maupun BUMN. Kasus-kasus tersebut karena cenderung Undang-Undang Pemberantasan Korupsi ditafsirkan terlalu luas sehingga keluar dari teori hukum pidana. Belakangan ini kasus-kasus yang cukup ramai dibahas dan banyak menjadi kekhawatiran para pebisnis adalah perkara pengadaan LTE PLTGU Belawan Medan; dan kerja sama PT Indosat Tbk dan anak usahanya PT Indosat Mega Media (IM2) dalam penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz. Dua kasus ini mirip karena diduga terjadi pemaksaan terhadap korporasi. Pada kasus-kasus ini, perdebatan yang sudah sejak lama terjadi adalah, apakah layak tetap menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ataukah selayaknya menggunakan Undang-Undang lex specialis, mengingat ada payung hukum khusus selain UU Tipikor. Adalah tugas mulia jaksa agung baru menempatkan kasus apakah layak dengan UU Tipikor ataukah dengan lex specialis, seperti UU Telekomunikasi dan UU Kepabeanan. Cukup menarik perhatian dalam perkara IM2, yang bahkan bisa dijadikan studi kasus hukum karena kontroversinya. Kasus tersebut saat ini ramai di publik akibat munculnya dua putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang muncul tak berselang lama tapi saling bertentangan. Dalam perkara IM2, MA mengeluarkan dua putusan kasasi yang tidak sinkron. Pertama, kerja sama Indosat dan anak usahanya tersebut dianggap merugikan negara senilai Rp1,3 triliun berdasarkan perhitungan BPKP. Hal ini tertuang dalam putusan Kasasi Nomor 282K/PID.SUS/2014 tertanggal 10 Juli 2014, yang memutuskan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto dijatuhi hukuman pidana selama delapan tahun disertai dengan denda sebesar Rp300 juta, dan kewajiban uang pengganti sebesar Rp1,358 triliun yang dibebankan kepada korporasi IM2. Sedangkan dalam putusan kasasi yang lain yaitu Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014, yang isinya menolak kasasi yang diajukan Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investigasi atas putusan PTUN perkara IM2. Bagaimana penyelesaiannya?
  • 5. 5 Lex Specialis Perkara ini adalah tentang kerja sama antara PT Indosat Tbk dan anak usahanya PT IM2 dalam penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz. Bila melihat kasus ini melalui Undang- Undang Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, terdapat 11 rumusan delik. Dengan demikian apakah perbuatan menyewa jaringan internet Indosat harus ada izin Menkominfo atau tidak perlu izin? Jika harus mengajukan izin menteri dan IM2 tidak mendapat izin tetapi IM2 tetap melanjutkan usahanya, maka IM2 termasuk melanggar Pasal 47 jo pasal 11 ayat (1) jo Pasal 7 UU Telekomunikasi tersebut. Pasal itu memuat ancaman pidana hingga maksimum enam tahun penjara dan denda maksimum 600 juta rupiah. Itulah merupakan lex specialis. Tetapi, saya tidak melihat pasal lain mana yang dilanggar. Hal ini juga telah diperkuat oleh Surat Kementerian Komunikasi dan Informatika bernomor T684/M.KOMINFO/KU.04.01/11/2012 yang menegaskan bahwa kerja sama Indosat dan IM2 tersebut telah sesuai aturan. Sesungguhnya, bila pejabat atau Menteri Kominfo telah mengatakan bahwa kerja sama Indosat dan IM2 serta perbuatan Indar Atmanto tidak melawan hukum karena sudah sesuai UU Telekomunikasi, berarti dia tidak melawan hukum seandainya pun negara dapat rugi. Kejaksaan Agung seharusnya menggunakan dasar Undang-Undang Telekomunikasi sebagai pengecualian (lex specialis). Bukan dengan menggunakan aturan yang bersifat umum (legi generali). Dengan status lex specialis, artinya memiliki bobot lebih besar ketimbang undang- undang legi generali. Dalam memutuskan sebuah kasus yang menyangkut UU lex specialis, maka UU legi generali harus mengikuti lex specialis. Namun mantan Dirut PT IM2, Indar Atmanto telah dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Tidak tepat dalam perkara semacam IM2 ini menggunakan legi generali. Layak Bebas PT IM2 dan mantan dirutnya layak bebas jika satu atau semua bagian inti delik tidak terbukti. Ada tiga bagian inti delik atau delictsbestanddelen dalam Pasal 2. Pertama, unsur melawan hukum. Kedua, unsur memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi. Ketiga, dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Apabila ini digunakan untuk mengusut kasus penggunaan jaringan 3G PT Indosat oleh PT IM2, maka ketiga bagian delik dalam Pasal 2 itu harus termuat dalam surat dakwaan dan harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun, jika satu bagian inti saja tidak terbukti, maka putusannya menjadi bebas.
  • 6. 6 Perbuatan melawan hukum artinya beberapa pengertian, namun yang paling cocok untuk korupsi ialah ”tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati uang tersebut”. Melawan hukum ini berkaitan langsung dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Kedua bagian inti delik inilah yang paling penting. Sedangkan bagian inti delik ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” otomatis terbukti jika dapat dibuktikan orang itu, dengan melawan hukum dia memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Hal yang sering terjadi dalam praktik penegakan hukum, sering salah kaprah mengenai Pasal 2 ini. Ketika telah merugikan keuangan negara, sudah langsung dianggap telah terjadi korupsi. Padahal yang terpenting harus dibuktikan bahwa orang itu telah melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Bahkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi Indonesia menegaskan bahwa kerugian negara bukan unsur korupsi. Jadi bagaimana jika negara sudah jelas mengalami kerugian tetapi orang itu tidak memperoleh, mendapatkan, menerima uang yang jumlahnya besar (memperkaya) atau menyebabkan orang lain atau korporasi menjadi kaya secara melawan hukum? Saya ulangi yang terpenting dibuktikan ialah secara melawan hukum telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Berapa jumlahnya dan perbuatan itu melawan hukum. Jika tidak dibuktikan itu semua, maka putusan itu keliru. Kejaksaan Agung tidak menggunakan UU Telekomunikasi, barangkali karena tidak berwenang menyelidiki delik telekomunikasi. Dalam proses persidangan juga sudah menghadirkan Menkominfo saat itu. Bahkan ada surat edaran bahwa PT IM2 tidak merugikan negara. Sehingga kementerian itu tidak gusar karena semua penyedia jasa layanan internet di Indonesia menggunakan model bisnis yang sama. Jadi PT IM2 tidak melawan hukum. Dan karena melawan hukum menjadi bagian dari inti delik korupsi Pasal 2, maka terdakwa harus diputus bebas jika tidak melawan hukum karena dakwaan tidak terbukti. Selain itu untuk dapat menghitung dapat merugikan negara, maka semua akuntan atau auditor dapat dipanggil sebagai ahli, tidak mesti BPKP. Namun yang harus dibuktikan lebih dulu adalah apakah perbuatan terdakwa itu melawan hukum atau bertentangan dengan UU Telekomunikasi atau tidak, dan berapa jumlah uang yang diperoleh secara melawan hukum? Upaya mencari keadilan bagi Indar dengan dua putusan saling bertentangan maka ada langkah peninjauan kembali (PK). Jika putusan itu nyata ada kekeliruan hakim yaitu menjatuhkan pidana yang tidak didakwakan maka PK adalah sesuai Pasal 263 KUHAP. Ada kelalaian hukum yang nyata dan ada putusan yang saling bertentangan.
  • 7. 7 Kasus IM2 memang bisa menjadi pertaruhan dan tugas mulia kejaksaan dan jaksa agung baru untuk kembali menata dan mendudukan persoalan pelaksanaan UU Tipikor (legi generali) dan lex specialis. PROF DR ANDI HAMZAH SH Guru Besar Ilmu Hukum Pidana
  • 8. 8 Parpol Jangan Terbelah (Catatan Akhir Tahun Demokrasi) Koran SINDO 30 Desember 2014 Konflik internal dua partai politik besar belakangan ini menjadi ukuran bahwa di negeri ini belum sepenuhnya dewasa dalam membangun demokrasi. Dua partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar) yang sebetulnya bisa disebut “partai senior” karena merupakan partai yang sudah eksis sejak Orde Baru. Seharusnya mereka lebih matang dalam menata organisasi dan pergantian kepemimpinan, bukan malah terjebak pada permainan dan kepentingan kelompok. Salah satu penyebab kedua partai itu berkonflik lantaran terjebak antara mendukung atau tidak mendukung pemerintahan baru. Dua kelompok elite parpol saling mengklaim kebenarannya sendiri untuk memperebutkan jabatan ketua umum dengan beragam kepentingan. Jika dilihat perjalanan sejarahnya, PPP dan Golkar punya prestasi di saat Orde Baru. PPP berhasil dengan posisinya yang selalu di luar pemerintahan, meski beberapa kali ada kadernya dijadikan menteri oleh penguasa Orde Baru. Sedangkan Golkar begitu kokoh menjadi pendukung pemerintah (the ruling party) selama hampir 32 tahun. Tetapi kisruh internal kali ini malah dibelah oleh keinginan untuk masuk dalam jajaran koalisi partai pemerintah di bawah kendali Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kelompok lainnya bertekad di luar kekuasaan di bawah Koalisi Merah Putih (KMP). Wajar jika ada tudingan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla punya andil dari terbelahnya soliditas partai yang sejak awal mendukung calon Presiden Prabowo Subianto. Jaga Soliditas PPP terbelah setelah dua kubu melakukan muktamar. Kubu Romahurmuziy (Romy) bermuktamar di Surabaya, sedangkan kubu Suryadharma Ali memilih Jakarta sebagai tempat muktamar dengan memilih Djan Faridz sebagai Ketua Umum. Kepengurusan Muktamar Surabaya di bawah pimpinan Romy yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM dinyatakan tidak boleh melakukan kegiatan, setelah digugat di PTUN oleh kubu Djan Faridz. Akibatnya, tidak sedikit pengurus DPW PPP menjadi korban pemecatan dari Ketua Umum PPP versi Muktamar Surabaya lantaran mendukung kubu Muktamar Jakarta. Bagi Golkar yang ikut-ikutan terbelah, setelah Aburizal Bakrie (ARB) terpilih kembali dalam musyawarah nasional (munas) di Bali, kemudian kubu Agung Laksono juga melakukan
  • 9. 9 munas tandingan di Ancol, Jakarta. Kedua susunan pengurus DPP sudah didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM, tetapi dikembalikan ke Mahkamah Partai untuk diselesaikan melalui rekonsiliasi secara musyawarah dan mufakat, sesuai Pasal 32 Ayat (3) UU Nomor 8/2008 tentang Parpol. Pihak yang tidak menerima keputusan itu dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri (Pasal 32 Ayat 2 UU Parpol). Fenomena dualisme kepengurusan cukup menghantui sejumlah partai jelang masa akhir jabatan tahun 2015, terutama partai yang tergabung dalam KMP. Partai Gerindra, PAN, dan PKS harus hati-hati dari kemungkinan perpecahan internal. Meski ketiga parpol itu punya tokoh sentral yang punya karisma menenteramkan kader dan elite parpol dalam perbedaan pendapat, tetapi tidak tertutup adanya celah yang bisa dimasuki orang luar untuk memecah belah kesolidan mereka. Gerindra ada Prabowo Subianto yang punya karisma untuk menangkal isu mendukung pemerintah yang bisa menimbulkan perpecahan. Begitu pula PAN, ada Amien Rais sebagai pemegang kebijakan partai, bahkan PAN punya sistem kuat dalam pergantian kepemimpinan. Bagi PKS yang dikenal partai kader dengan jenjang pengaderan dari tingkat bawah sampai DPP, sehingga soliditas mereka sangat kuat dan tidak mudah dipecah. Meski begitu, harus tetap waspada dan menjaga soliditas kader agar tidak mudah dibenturkan. Kita ingin parpol yang kuat, sebab dualisme kepengurusan di PPP dan Golkar jelas tidak kondusif bagi pembangunan demokrasi ke depan. Regenerasi dan Kaderisasi Salah satu yang sering disoroti pada sebagian besar parpol adalah soal regenerasi dan kaderisasi. Pimpinan parpol selalu tidak sadar akan hal itu. Biasanya barulah tersentak tentang pentingnya regenerasi dan kaderisasi saat menyusun calon anggota legislatif (caleg) menjelang pemilu. Partai kelimpungan mencari caleg untuk memenuhi ketentuan undang-undang, sehingga banyak caleg yang dipasang tidak dikenal reputasinya. Hanya sekadar memburu kepentingan sesaat dengan mengandalkan kemampuan finansial dan elektabilitas belaka. Masih kuatnya dominasi tokoh senior (tokoh tua) pada pucuk kepemimpinan parpol, menjadi indikasi kalau parpol sedang krisis regenerasi dan kaderisasi. Sebut saja, Megawati Soekarnoputri di PDIP, ARB di Partai Golkar, Prabowo Subianto di Partai Gerindra, Surya Paloh di Partai Nasdem, Wiranto di Partai Hanura, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat. Tetapi karena tokoh itu masih dibutuhkan sebagai pemersatu yang karismatik dan panutan kader, posisinya sangat sulit digantikan oleh kader muda.
  • 10. 10 Salah satu penyebab krisis regenerasi yang dialami sebagian besar parpol ialah tidak adanya upaya maksimal melakukan pengaderan untuk dipersiapkan menjadi pemimpin. Calon pemimpin diukur melalui lamanya menjadi pengurus dan jabatan apa yang pernah dipegang, serta mampu memengaruhi pemilik suara yang ada di kepengurusan daerah. Bahkan ada yang bisa jadi ketua umum parpol tanpa pernah menjadi pengurus teras, tanpa melalui jenjang pengaderan, tetapi hanya karena punya kekuasaan dan uang. Kader muda potensial di parpol sepertinya kurang mendapat ruang yang memadai. Apalagi kalau berpikiran progresif untuk perubahan sesuai kehendak rakyat, yang kadang tidak sejalan dengan kebijakan dan pemikiran elite partai. Padahal, pemikiran kaum muda senantiasa berkumandang di balik setiap episode penting perjalanan bangsa. Sangat beralasan apabila tiap parpol berani mempromosikan kader muda di level kepemimpinan nasional. Tokoh senior elite parpol diharapkan cepat menyadari hal ini, betapa urgennya keterlibatan tokoh muda dalam jajaran kepengurusan partai. Jika parpol ingin tetap eksis dalam jangka panjang dan tidak terbelah oleh konflik, tuntutan untuk melahirkan generasi politik muda merupakan sesuatu yang niscaya. MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
  • 11. 11 11 Tahun KPK Koran SINDO 31 Desember 2014 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 29 Desember 2014 lalu, tepat berusia 11 tahun. Keberadaan lembaga antikorupsi yang berdiri pada akhir tahun 2013 ini telah menjadi harapan bagi seluruh rakyat Indonesia yang sudah lama frustrasi atas merebaknya korupsi di negeri ini. Meski pada awal berdiri muncul banyak pesimisme, perlahan tapi pasti KPK mulai menjadi institusi yang ditakuti atau setidaknya menjadi ancaman bagi para koruptor. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh komisi antirasuah ini telah menyentuh hampir semua lini, mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga kelompok bisnis. Wilayah kerjanya mulai dari pusat hingga daerah. Sudah ratusan koruptor yang berhasil dijerat KPK dan dijebloskan ke penjara. Selama 11 tahun kinerjanya memberantas korupsi, dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) terdapat sejumlah prestasi yang berhasil diraih KPK. Di antaranya seluruh kasus korupsi yang disidik dan dituntut oleh KPK pada akhirnya divonis bersalah oleh pengadilan. Tidak ada satu pun koruptor yang divonis bebas ketika prosesnya sudah sampai ke pengadilan. Prestasi KPK lainnya yang tidak dimiliki lembaga lain adalah berhasil menjerat praktik korupsi yang dilakukan antara lain oleh tiga menteri aktif di era pemerintahan SBY, yaitu Andi Mallarangeng, Jero Wacik, dan Suryadharma Ali. KPK juga telah memproses kasus korupsi yang melibatkan jenderal polisi aktif, yaitu Irjen Pol Djoko Susilo; dan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Sejak KPK beroperasi hingga kini tercatat uang negara Rp249 triliun berhasil diselamatkan. Dalam aspek penindakan, KPK telah melakukan sejumlah terobosan, antara lain dengan sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) pelaku korupsi, menjerat dan memiskinkan pelaku korupsi secara berlapis dengan regulasi antikorupsi dan regulasi antipencucian uang, menangkap koruptor yang melarikan diri ke luar negeri dan menuntut pencabutan hak politik untuk pelaku korupsi. *** Namun ibarat pepatah ”tak ada gading yang tidak retak”, KPK juga bukan institusi yang sempurna. Dengan segudang prestasi dan kewenangan besar yang dimiliki, KPK juga memiliki sejumlah catatan atau kekurangan yang perlu diperbaiki. Dalam lima tahun terakhir
  • 12. 12 mulai terjadi pelunakan perlakuan KPK terhadap tersangka korupsi. Meski berstatus tersangka KPK, tidak semua pelaku korupsi langsung segera ditahan. Hingga akhir 2014 ini, ICW mencatat sedikitnya 11 tersangka KPK yang lebih dari tiga bulan berstatus tersangka tetapi belum juga ditahan. Bahkan terdapat tersangka korupsi yang sudah lebih dari tiga tahun belum juga ditahan. Selain muncul pelunakan terhadap koruptor, jika dicermati kembali faktanya masih banyak perkara korupsi yang ditangani belum sepenuhnya dituntaskan KPK. Artinya, meski sudah ada proses hukum yang dilakukan, masih ada aktor lain yang belum tersentuh. Dalam catatan ICW, terdapat sedikitnya 11 kasus korupsi yang belum 100% dituntaskan meski telah dilakukan penyidikan. Fenomena ”membongkar tetapi belum menuntaskan” ini misalnya saja dalam perkara suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia atau dikenal dengan kasus cek pelawat. KPK sejauh ini hanya menjerat penerima (anggota DPR) dan perantara suap (Nunun Nurbaeti) serta pihak yang diuntungkan (Miranda Goeltom). Namun hingga kini belum terungkap siapa bandar atau penyandang dana yang memberikan suap melalui cek pelawat tersebut. Selain sejumlah kasus korupsi yang belum selesai di tahap penyidikan, pada tahap penyelidikan KPK juga belum menyelesaikan penanganan perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tim khusus penanganan kasus korupsi BLBI sudah mulai dibentuk sejak KPK dipimpin Antasari Azhar. Meski KPK telah meminta keterangan sejumlah mantan menteri dan melakukan pencekalan, hingga saat ini proses hukumnya masih tetap dalam tahap penyelidikan dan belum beranjak ke tahap penyidikan. KPK juga perlu dikritik karena hingga 11 tahun terakhir ini belum menyentuh empat hal, yaitu pelaku korupsi yang berasal dari korporasi, korupsi di sektor pengadaan alat pertahanan atau melibatkan pelaku dari kalangan militer, korupsi di sektor pengeluaran keuangan negara, dan pelaku pasif pencucian uang yang berasal dari korupsi. *** Di luar prestasi dan upaya yang gencar dalam memberantas korupsi, sudah barang tentu terdapat pihak yang dirugikan atau tidak suka dengan keberadaan KPK, yaitu koruptor dan para pendukungnya. Massifnya upaya pelemahan terhadap KPK kemudian memunculkan istilah perlawanan balik terhadap koruptor (corruptor fight back). Beberapa pelemahan yang menonjol antara lain pengajuan permohonan uji materi (judicial review) UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sedikitnya tujuh uji materi UU KPK yang berpotensi melemahkan KPK diajukan ke MK. Terakhir adalah uji materi UU KPK oleh Akil Mochtar, mantan Ketua MK, khususnya mengenai kewenangan KPK dalam menuntut pelaku korupsi dengan UU Pencucian Uang. Akil meminta hakim MK untuk menyatakan KPK tidak berwenang menuntut perkara
  • 13. 13 pencucian uang yang berasal dari korupsi. Cara lain adalah pengusulan atau pembahasan regulasi oleh DPR maupun pemerintah. Sejumlah rancangan undang-undang (RUU) pernah diusulkan untuk dibahas di DPR meskipun substansinya dinilai berpotensi melemahkan KPK. Misalnya revisi UU KPK, RUU KUHP, dan RUU KUHAP. Meski banyak mengalami upaya pelemahan, hingga tahun ke-11 KPK masih membuktikan diri sebagai lembaga yang paling dipercaya publik dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK tetap menjadi ancaman bagi para koruptor maupun pendukungnya. Sejauh ini sejumlah upaya pelemahan terhadap KPK pada akhirnya gagal dilakukan karena adanya dukungan banyak pihak termasuk dari rakyat dan media. Agar tetap didukung, sudah seharusnya KPK meningkatkan prestasi yang diperolehnya dan memperbaiki kekurangan yang ada. Perlu ada keberanian KPK dalam melakukan segala upaya agar koruptor jera dan menuntaskan kasus korupsi yang dinilai belum tuntas. KPK juga harus tetap menjadi lembaga independen dan memperkuat fungsi koordinasi dan supervisi dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian. Langkah pencegahan juga perlu menjadi fokus utama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemberantasan korupsi. Tahun 2015 adalah tahun paling krusial untuk eksistensi KPK di masa mendatang. Upaya pembajakan dan pelemahan KPK berpotensi terus terjadi, terutama melalui pemilihan calon pimpinan KPK dan pembahasan sejumlah rancangan regulasi bidang hukum di DPR seperti RUU KUHAP dan RUU KUHP. Pada sisi lain, janji maupun program Presiden Jokowi untuk selalu mendukung KPK perlu terus dikawal. Selama masih berkuasa, Presiden Jokowi harus memastikan tidak boleh ada upaya pelemahan terhadap KPK. EMERSON YUNTHO Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
  • 14. 14 Menghukum Mati Koruptor? (Refleksi dan Titik Balik Hukum 2015) Koran SINDO 1 Januari 2015 Ungkapan China yang mengatakan hanya ada dua tempat yang tidak mengenal suap, yaitu neraka dan Hakim Bao, boleh jadi benar adanya. Indonesia misalnya, sejak reformasi digulirkan 1998 sampai kini memasuki usia yang ke-16 ternyata masih belum lepas dari gurita suap, kolusi, nepotisme, dan korupsi. Perihal korupsi oleh para koruptor sesungguhnya dipicu oleh adanya kekuasaan dengan kewenangan diskretif yang tak terkontrol disertai dengan lemahnya pengawasan, atau lazim kita kenal dengan power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely. Akhir-akhir ini, berbagai pendapat dan ulasan pemikiran makin marak menyoroti penerapan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia bahkan langsung merujuk pada penerapan hukuman mati seperti di China. Kita ketahui bahwa dalam sejarah perjalanan bangsa China memang banyak diwarnai dengan penerapan hukum dan aturan yang silih berganti dalam setiap dinasti. Menurut Ivan Taniputera dalam History of China (2009) dikenal adanya reformasi pemerintahan Dinasti Qin yang dicetuskan oleh Shang Yang. Sebagai penganut legalisme, Shang Yang menerapkan hukum dengan tegas sebagai landasan pembangunan negara tanpa pandang bulu sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Lebih jauh, penerapan hukuman yang tegas sampai pada hukuman mati juga bisa dipelajari pada masa Dinasti Song (Hakim Bao Zheng). Namun, apa sesungguhnya yang bisa kita petik dari kisah hukuman mati dalam sejarah China tersebut? Ada dua hal penting yang perlu disadari dan dipahami kita di Indonesia bahwasanya hukuman mati tersebut bisa berlaku dan berjalan efektif karena adanya dua hal, yaitu: (1) kepastian hukum yang diterapkan adil bagi siapa saja; (2) sosok pemimpin dan kepemimpinannya yang menakhodai penegakan hukum tersebut. Ketegasan hukum Shang Yang maupun Bao Zheng tidak lepas dari kuatnya sosok penegak hukum yang inheren dalam setiap proses kepemimpinan mengambil keputusan, baik dalam memberikan hukuman maupun imbalan/penghargaan (reward and punishment). Kalau demikian alur pikir yang kita gunakan, lalu bagaimana seyogianya proses penghukuman bagi koruptor di Indonesia? Sampai pada menghukum matikah? Efek Jera Hukuman
  • 15. 15 Perilaku koruptif yang telah membudaya di Indonesia tidak lain disebabkan oleh hilangnya efek jera yang semestinya ditimbulkan dari proses menghukum. Teori deterrence (efek jera) sebagai doktrin sistem peradilan pidana di Indonesia menjelaskan tiga hal yang menyebabkan suatu hukuman memiliki efek jera: Pertama, kesegeraan suatu tindakan (salarity); kedua, specific deterrence yang menegaskan kepastian suatu perbuatan (certainty); dan ketiga, pembebanan (severaty) yang memberikan hukuman secara adil sesuai dengan perbuatannya. Demikian halnya hukuman mati bagi koruptor, setidaknya dapat memenuhi tiga unsur di atas sehingga proses menghukum dimaknai sebagai rangkaian tindakan dari awal sampai akhir (keseluruhan proses prosedural dan substansial) yang dapat menimbulkan efek jera. Indonesia bersama 55 negara lainnya yang masih menerapkan hukuman mati (menurut Amnesty International and hands off Cain, 2007) perlu mengkaji lebih dalam tentang penerapan hukuman mati untuk para koruptor. Pasalnya, sepanjang permasalahan utama kepastian hukum belum mampu diwujudkan, menghukum mati seseorang hanya akan ditafsirkan sebagai tindakan kejam tidak manusiawi yang belum memberikan dampak jera bagi orang lain dan masyarakat. Belum lagi, untuk memahami hukuman seharusnya diletakkan pada kerangka utuh rangkaian proses baik secara prosedural maupun substansial. Bukan semata seseorang diproses, lalu berakhir dengan target dijatuhi hukuman, tapi juga proses-proses substansial yang menyertainya seperti sanksi moral dan sosial dari lingkungan masyarakat. Pemahaman “menghukum” secara utuh inilah yang patut dikembangkan dan dimaknai oleh publik sehingga proses dihukum akan memberi efek pembelajaran bagi yang menjalaninya sekaligus menimbulkan efek jera bagi orang lain (general deterrence). Jadi makin jelaslah, kejeraan suatu hukuman akan sangat tergantung dari tingkat kepastian hukum yang mampu diwujudkan. Tanpa kepastian, mustahil hukuman apa pun yang diberikan (termasuk hukuman mati) akan membawa efek jera. Kepemimpinan Menghukum Mati Diskursus penanggulangan korupsi melalui salah satunya penerapan hukuman mati tidaklah semudah yang diwacanakan dapat terealisasi. Dari segi aturan Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, para koruptor dimungkinkan dikenai ancaman pidana hukuman mati. Namun, dalam implementasinya tidak bisa serta-merta digunakan karena masih menyisakan perdebatan panjang yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Meski dari ranah legal formal hukuman mati bagi koruptor dimungkinkan, alangkah baiknya perdebatan itu kita arahkan pada ranah yang lebih konstruktif, yakni akar permasalahan perilaku korupsi itu sendiri. Apa sebab masyarakat begitu kuat menginginkan korupsi diberantas, bahkan sekalipun dengan cara menghukum mati? Mengapa masyarakat sangat membenci perilaku koruptif seakan-akan terpuaskan bila pelakunya sudah dihukum mati?
  • 16. 16 Tentu saja jawaban tidak an sich untuk memberikan efek jera. Tetapi lebih dari itu, yang dalam pemahaman saya mungkin saja menghukum mati para koruptor adalah salah satu bentuk “pelarian” masyarakat (way out for the hope) yang telah jengah, jenuh dan letih atas potret penegakan hukum kita di Indonesia. Publik berpikir bahkan menjustifikasi bahwa dengan menghukum mati koruptor akan lahir setidaknya secercah harapan baru keluar dari kemelut penegakan hukum yang penuh dengan ketidakpastian dan ketidakadilan. Dalam konteks memformulasikan harapan publik tersebut, kepemimpinan mewujudkan kepastian hukum menjadi kuncinya. Hukuman mati hanya mungkin diterapkan di Indonesia oleh adanya kepastian hukum yang lebih dulu diwujudkan melalui kepemimpinan yang kuat. Di tingkatan legislatif, kepemimpinan politisi DPR dan DPD dalam mendorong kepastian hukum amat menentukan pilihan politik bangsa ini terhadap penerapan hukuman mati. Di bagian lain pada tataran eksekutif, kepemimpinan pemerintah dalam hal ini Presiden juga memegang peranan penting dalam menjamin kepastian hukum agar dapat menjawab “kegundahan” masyarakat yang sudah apatis terhadap upaya dan proses penegakan hukum selama ini. Lantas, kalau boleh berandai-andai Indonesia masa depan di kala kepastian hukum sudah mampu ditegakkan, masih perlukah hukuman mati untuk sang koruptor? Mari kita renungi bersama. MARDIANSYAH SP Ketua Umum Dewan Dakwah Muslimin Indonesia (DDMI) Jakarta dan Kader Partai Perindo
  • 17. 17 Format Baru Relasi Islam dan Pancasila Koran SINDO 2 Januari 2015 Tanggal 22-29 November 2014, Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ melakukan survei nasional mengenai relasi Islam dan Pancasila. Survei melibatkan 100 responden di tingkat provinsi, yang terdiri atas pengurus Muhammadiyah 40%, NU 40%, FPI 1%, HTI 1%, MUI 17%, dan GPII 1%. Untuk memperkuat hasil survei, dilakukan juga wawancara mendalam (in depth interview) dengan melibatkan 10 tokoh nasional yang berasal dari NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, HTI, FPI, MUI, dan IJABI. Ditilik dari tingkat pendidikan responden, 50% lulusan S-1, 28% lulusan S-2, dan 22% lulusan S-3. Survei ini bertujuan untuk mengetahui opini elite Islam tentang relasi Islam dan Pancasila; memetakan pandangan dan pemikiran elite Islam tentang Pancasila dalam konteks beragama; memberikan sumbangsih pemikiran dalam konteks penguatan pemahaman dan pengamalan Pancasila; serta mendorong partisipasi aktif para tokoh Islam dalam penguatan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Survei juga bertujuan untuk mengonfirmasi kevalidan penelitian yang hampir serupa, yang pernah dilakukan oleh lembaga lain. Hasil Survei Hasil survei ini cukup menggembirakan dalam konteks penguatan Pancasila sebagai ideologi negara. Diketahui 100% menyatakan setuju Pancasila menjadi dasar negara. Temuan ini menunjukkan perkembangan yang menarik. Di awal Reformasi banyak muncul gerakan yang ingin menerapkan syariah Islam atau mengusulkan kembali Piagam Jakarta, ternyata gerakan tersebut tetap minoritas dan tak memiliki basis massa yang kuat. Kokohnya Pancasila sebagai ideologi negara diperkuat dengan pandangan responden yang menyatakan bahwa nilai-nilai Islam tidak bertentangan dengan Pancasila sebanyak 95%. Hanya 5% yang menyebut Islam dan Pancasila saling bertentangan. Temuan ini menguatkan fakta Pancasila yang memang digali dari nilai-nilai sosial, budaya, dan agama masyarakat Indonesia. Sebanyak 66% responden menyebut setuju Islam sebagai sumber nilai kehidupan berbangsa dan bernegara, dan hanya 33% yang menolak, dan 1% tanpa komentar. Meski dukungan terhadap Pancasila sangat tinggi, dalam survei ini didapati ketakkonsistenan, 33% responden rindu hadirnya kembali Piagam Jakarta. Sementara yang menolak 67%. Pandangan ini menunjukkan bahwa di kalangan responden masih menyimpan imajinasi masa lalu tentang Piagam Jakarta, meski responden sadar bahwa keinginan tersebut tidak mudah direalisasi.
  • 18. 18 Sebagian besar elite Islam setuju bahwa ormas Islam harus terlibat sosialisasi Pancasila, yaitu sebanyak 95%. Sementara yang menolak 4%, dan abstain 1%. Responden juga 90% setuju jika Pancasila menjadi bagian dari materi pengaderan ormas-ormas Islam. Hanya 10% yang tidak setuju. Terkait Islam sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, 68% responden juga menyatakan setuju. Sementara 32% menolak. Sepintas sikap responden ini ambigu. Satu sisi menghendaki Pancasila sebagai dasar negara, tetapi sisi lain juga menghendaki peran besar Islam dalam kehidupan bernegara. Sikap responden ini sebaiknya dimaknai bahwa ada harapan besar agar Islam memiliki peran normatif dan menjadi sumber nilai. Konteks demokrasi tentu wajar ketika nilai-nilai mayoritas ingin mewarnai secara dominan pula dalam konteks kehidupan bernegara. Meski sepakat Pancasila sebagai ideologi negara, mereka tidak ingin Islam marjinal secara politik. Mereka ingin nilai-nilai Islam dominan dalam kehidupan bernegara. Keinginan tersebut sangat mungkin diilhami oleh kenyataan bahwa Islam selama ini telah menjadi sumber nilai di Indonesia, bahkan jauh sebelum merdeka. Tergambar dari kerajaan-kerajaan Islam yang pernah hadir di Indonesia. Terkait apakah negara wajib menerapkan syariat Islam untuk semua muslim, 51% responden menyatakan setuju, sementara 47% tak setuju dan abstain 2%. Pertanyaan ini diajukan terkait dengan maraknya ormas Islam baru di level lokal yang menuntut penegakan syariah Islam. Perlunya negara menerapkan syariat Islam diperkuat 50% responden yang menyatakan setuju penerapan perda-perda syariah, yang tidak setuju 44%, dan abstain 6%. Format Baru Relasi Memperhatikan hasil survei ini, bisa disimpulkan adanya optimisme besar terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Dalam konteks ormas Islam, bisa dikatakan bahwa posisi Pancasila saat ini jauh lebih kuat dibandingkan dulu. Sangat mungkin jika survei dilakukan pada paruh 1940-an sampai paruh 1980-an hasilnya akan berbeda, karena saat itu polarisasi ideologinya begitu kuat. Hal ini terlihat saat sidang-sidang pembahasan dasar negara, baik di BPUPKI, PPKI, Panitia Sembilan, dan Konstituante; maupun saat muncul kebijakan negara yang berwajah ideologis, seperti soal RUU Perkawinan, Aliran Kepercayaan, dan asas tunggal Pancasila, yang disikapi secara ekstrem oleh kekuatan Islam saat itu. Dalam Pancasila terdapat nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Jika diterminologikan, nilai-nilai itu menjadi al-insanu, al-jamal-insanu, aljamatu, al-musyawarah, dan al-adl. Adapun ketuhanan bisa dikaitkan dengan banyak nama seperti Ar-Rahman, Al-Malik, Al-Quddus. Sementara terkait dengan Esa, dalam Islam dikenal terminologi Al-Wahid atau Al-Ahad. Semua nilai-nilai itu sangat Islami.
  • 19. 19 Dalam berbagai kesempatan, Soekarno menyampaikan bahwa nilai-nilai agama harus dilibatkan sepenuhnya, tidak setengah ataupun sebagian. Karena itu, agama menjadi pokok. Kehadirannya tak perlu dipersoalkan lagi. Jika berbicara mengenai penguatan Pancasila, nilai-nilai agama itu menjadi pokok satu kekuatan yang terlibat penuh. Merujuk pandangan Soekarno, jelas bahwa agama harus diberi ruang untuk berkontribusi tanpa harus menjadi dasar negara. Nilai-nilainya harus dijadikan rujukan kehidupan berbangsa. Hal terpenting adalah diterimanya pesan moral Islam, yang mampu memberikan rambu-rambu tentang apa yang harus dilakukan dan tak dilakukan oleh negara demi terwujudnya kebaikan masyarakat (maslahati al-ammah). Islam tak seharusnya dijadikan sebagai pesaing Pancasila. Umat Islam harus yakin bahwa Pancasila merupakan penjabaran dari nilai-nilai Islam. Membenturkan Pancasila dan Islam itu tindakan ekstrem dalam memahami Islam dan Pancasila. Mempertentangkan Islam dengan Pancasila sama halnya merendahkan marwah Islam karena menyejajarkan Islam dengan Pancasila. Agama merupakan “produk langit”, sementara Pancasila adalah “produk bumi”. Kehadiran Islam tidak selayaknya dipertentangkan dengan Pancasila. Sebaliknya, Islam harus dijadikan rujukan sumber-sumber nilai untuk mengatur tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Dalam konteks ini, perlu ada tawaran format baru terkait relasi Islam dan Pancasila. Format ini harus mengusung semangat rekonsiliasi, dengan mendudukkan perannya masing- masing, tidak sebagaimana perdebatan yang terjadi menjelang kemerdekaan dan saat sidang- sidang di Konstituante. Saat itu ada dua kubu yang secara ekstrem terlibat perdebatan, yaitu kaum nasionalis sekuler yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara dan kaum nasionalis Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Perdebatan ini lahir akibat tidak adanya kesadaran bahwa Pancasila dan Islam merupakan dua entitas yang kehadirannya tak terelakkan, sehingga tak mungkin saling menegasikan. Dari hasil survei ini, terlihat bahwa masyarakat tidak banyak mendukung keberadaan negara Islam dan pendirian khilafah Islamiyah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam sebenarnya lebih membutuhkan tawaran program politik yang lebih jelas dan konkret serta terkait dengan kebutuhan sehari-hari. Ide tentang negara Islam maupun khilafah merupakan hal yang mewah dan menarik sebagai wacana, namun sering berujung pada kebuntuan ketika menyasar hal-hal yang membutuhkan penyelesaian secara tepat. Sementara dalam kerangka menghindari polemik Islam dan Pancasila yang tak berkesudahan, kiranya perlu memberikan kado “istimewa” kepada umat Islam. Perlakuan istimewa ini bukan dengan cara memasukkan kembali rumusan Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945, tetapi lebih berupa sikap politik negara yang mengakomodasi kepentingan sosial-keagamaan umat Islam yang merupakan bagian dari kearifan lokal.
  • 20. 20 Namun apa yang disebut sebagai kearifan lokal, tetap harus tampil dengan memperhatikan sila-sila Pancasila. Seandainya kita menganggap kehadiran perda-perda syariah, misalnya, sebagai ekspresi kearifan lokal, maka perda-perda syariah tersebut harus disusun bukan hanya dengan pertimbangan menjalankan sila pertama, tetapi juga sila-sila lainnya. Perda-perda syariah tidak boleh bernuansa egois partikularis yang hanya mementingkan satu kelompok, melainkan harus berwawasan Nusantara dan berke-bhineka tunggal ika-an. Melalui format baru relasi Islam dan Pancasila ini, pertentangan Islam dan Pancasila diharapkan bisa diakhiri. Baik Islam dan Pancasila bisa dijadikan sebagai inspirasi dan sumber nilai. Sudah saatnya energi bangsa ini tidak boleh lagi dicurahkan untuk hal-hal yang mubazir. Apalagi, hingga saat ini bangsa Indonesia masih dihadapkan pada persoalan- persoalan yang jauh lebih kompleks dari sekadar persoalan ideologis. MA’MUN MUROD AL-BARBASY Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
  • 21. 21 Refleksi Pemerintahan Jokowi-JK Koran SINDO 2 Januari 2015 Dua bulan lebih sudah sejak dilantik 20 Oktober lalu, Jokowi-JK memimpin Indonesia. Untuk bisa menyimpulkan apakah pemerintahan saat ini berhasil atau tidak masihlah terlalu dini. Usia pemerintah yang masih seumur jagung tentu belumlah bisa dinilai hasil pemerintahannya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Namun, dalam waktu yang masih minim tersebut, perencanaan dan proses di dalam menjalankan pemerintahan serta inisiasi dari kebijakan yang telah pula diimplementasikan perlu menjadi bahan refleksi kita bersama. Pertanyaannya, sudahkah pemerintahan Jokowi-JK memberi kesan positif terhadap usaha memenuhi harapan rakyat akan Indonesia yang lebih baik? Harapan rakyat Indonesia terhadap pemerintahan Jokowi-JK tidaklah berlebihan. Setidaknya, hal itu yang sering tercitrakan bahwa Jokowi-JK diyakini memiliki kemampuan menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Lalu, apakah Jokowi-JK mampu memenuhi harapan tersebut, itu yang perlu dibuktikan selama lima tahun ke depan. Kebijakan strategis dalam menyelesaikan persoalan negara akan ditunggu dan dinilai oleh rakyat. Maka itu pula, setiap keputusannya akan memberi indikator penting bagi keberlangsungan pemerintahan ke mana akan diarahkan. Ke mana pemerintahan ini diarahkan mungkin menjadi kata kuncinya. Hal ini sekaligus merefleksikan apa saja usaha yang dilakukan Jokowi-JK dalam membawa pemerintahannya. Lebih jauh, perencanaan strategis juga perlu mendapat sorotan penting. Sebab, pada akhirnya Jokowi-JK harus menjatuhkan keputusan pada pilihan kebijakan, melanjutkan perencanaan sehingga menjadi sebuah kebijakan atau tidak. Perlu dipahami bahwa penilaian terkait rencana kebijakan merupakan bagian penting dan tak dapat dilepaskan dari penilaian terhadap kebijakan itu sendiri. Memang kadar penilaian ini tak lebih tinggi dari halnya kebijakan yang telah diimplementasikan. Beberapa Refleksi Strategis Membangun tradisi politik yang sama sekali baru bukanlah hal mudah. Perlu komitmen dan juga ketegasan mutlak agar proses politik yang dilakukan lebih karena dorongan kebijaksanaan personal dan bukan atas intervensi dan problem jasa politik. Setidaknya itu refleksi pertama yang diperoleh dari kabinet yang disusun Jokowi-JK, yang semula terlihat cukup confidence untuk menyusun kabinet ramping, tetapi tidak dilakukan.
  • 22. 22 Beruntung, kabinet didominasi sebagian besar kalangan profesional. Namun, bukan berarti menteri profesional tak lepas dari kesan politis. Selain di antaranya disorot karena persoalan track record kepemimpinan dalam kementerian di masa lalu, terakhir pengangkatan orang parpol menjadi Jaksa Agung menyiratkan kuatnya pengaruh parpol atau tokoh politik tertentu dalam penyusunan SDM di kabinet. Refleksi kedua yang sangat menyita perhatian publik Indonesia adalah terkait kenaikan harga BBM bersubsidi. Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi memang cenderung lazim diambil oleh setiap rezim. Bahkan di era pemerintahan SBY, Presiden telah menaikkan harga BBM hingga 4 kali selama 10 tahun periode kepemimpinannya. Namun, di era Jokowi-JK, menaikkan harga BBM menjadi tak lebih sesederhana dari sebelumnya. Sebab pada saat yang sama, kebijakan menaikkan harga BBM kontradiktif dengan harga minyak dunia yang justru turun dan semakin turun hingga berada di titik terendah dalam 10 tahun terakhir. Kontradiksi ini menjadi sumber pertanyaan, di mana relevansi perlunya menaikkan harga BBM di saat harga minyak dunia turun? Memang akhirnya per 1 Januari 2015 pemerintahan Jokowi-JK menurunkan harga premium menjadi Rp7.600. Refleksi ketiga terkait dengan beberapa rencana strategis Pemerintah yang juga sudah mulai menyedot perhatian publik, di antaranya rencana kenaikan TDL. Kenaikan TDL yang menurut klaim pemerintah sebagai dampak dari naiknya kurs dolar menjadi implikasi kebijakan yang di masyarakat suka ataupun tidak harus diterima. Tak berhenti di sini, dampak kenaikan TDL biasanya akan pula menimbulkan ekses lain berupa kenaikan pada kebutuhan pokok masyarakat, kelesuan sektor industri dan bahkan tak menutup kemungkinan akan menyebabkan terjadinya pengurangan pekerja pada sektor riil. Problem seperti ini dipastikan akan membuat kebijakan yang dilematis bagi Pemerintah. Meski, sangat kecil kemungkinan untuk tidak jadi dilaksanakan. Menuntut Komitmen Apa yang sudah disampaikan pada saat pencapresan lalu merupakan satu bentuk komitmen yang harus dilaksanakan. Rakyat Indonesia tentu akan melihat dan menilai sejauh mana komitmen tersebut mampu diimplementasikan secara riil dan berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sebagai pemimpin negara sewajarnya bisa mengatasi segala permasalahan yang dihadapi bangsa. Karena itu, ketika rakyat menyampaikan pendapat kritis tentu didasarkan pada upaya menuntut komitmen Jokowi-JK terhadap penuntasan masalah yang dihadapi rakyat. Selama dua bulan memimpin Indonesia, Jokowi-JK masih terlihat gamang dengan komitmen yang ada. Indikasinya tampak terlihat, baik dari kebijakan yang sudah diimplementasikan maupun baru berupa rencana strategis, sudah cukup membuat ketidaknyamanan secara massif. Tapi sebagai rakyat, masih tersisa harapan dan pemikiran positif bahwa situasi ini
  • 23. 23 hanya terjadi di permulaan dan akan happy ending pada perjalanan hingga pemerintahan ini berakhir. Semoga! IDIL AKBAR Staf Pengajar FISIP Unpad dan Peneliti di Nusantara Institute
  • 24. 24 Segerakan UU Pemilu 2019 Koran SINDO 3 Januari 2015 Meski pada paruh kedua tahun 2014 kita sempat dibuat cemas oleh pertikaian politik yang sangat panas, memasuki 2015 ini ada harapan kehidupan politik menjadi lebih sejuk. Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah mencapai titik temu; dan menyadari kekisruhan politik yang bertendensi zero sum game dan saling memboikot hanya akan merugikan semuanya, terutama rakyat. Tahun 2015 memberi harapan untuk normalnya interaksi politik baik antara pemerintah dan DPR maupun antarkoalisi di DPR. Pemerintah dan DPR dapat melaksanakan tugasnya masing-masing sesuai konstitusi. Di antara banyak hal penting yang harus segera dilakukan oleh DPR dan pemerintah adalah membentuk UU Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden/wakil presiden (pilpres). UU Pemilu 2019 harus segera diselesaikan agar cukup waktu bagi rakyat, pemerintah, dan partai-partai politik untuk melakukan berbagai persiapan. Ada dua hal terkait dengan ini. Pertama, kita harus melakukan evaluasi atas sistem pemilu dengan urutan suara terbanyak yang ternyata, setelah dua kali kita mengalaminya, menimbulkan banyak masalah. Kedua, pada 2019 pileg dan pilpres harus dilaksanakan serentak. Tidak dapat disangkal Pileg 2014 menimbulkan masalah karena berlangsung brutal dan ditengarai penuh kecurangan. Jual beli suara, saling bantai antarcaleg dalam satu partai, dan terlemparnya kader-kader penting partai karena dicurangi menjadi isu umum dalam Pileg 2014. Banyak yang mengusulkan agar pileg diubah kembali menjadi sistem proporsional tertutup, bukan dengan urutan suara terbanyak. Hal itu mungkin saja dilakukan dan tidak perlu dipertentangkan dengan putusan MK. Sebab, pileg dengan suara terbanyak itu sebenarnya bukan perintah putusan MK, melainkan memang merupakan isi UU Nomor 10/2008 yang dibuat oleh DPR bersama Presiden. MK hanya mencoret persyaratannya yang sangat tidak adil. Pileg dengan suara terbanyak atau sistem pemilu pada 2009 itu yang menentukan adalah lembaga legislatif sendiri melalui UU Nomor 10/2008 yang di dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, e. (intinya) mengatur, ”Caleg terpilih di suatu dapil ditetapkan berdasarkan suara terbanyak dari antara mereka yang mendapat suara minimal 30% dari BPP.” Menurut MK ketentuan ambang 30% itu tidak adil sehingga MK membatalkan frase, ”.. dari antara mereka yang mendapat suara minimal 30% dari BPP.”
  • 25. 25 Menurut MK, kalau lembaga legislatif mau menggunakan sistem proporsional atau sistem distrik itu sama konstitusionalnya dan merupakan opened legal policy yang bisa dipilih yang mana saja yang akan diberlakukan oleh DPR dan pemerintah. Karena penetapan sistem pemilu itu merupakan ranah pembuatan undang-undang oleh legislatif, maka jika dianggap perlu untuk Pileg 2019 bisa saja UU Pileg itu diubah lagi menjadi sistem proporsional tertutup atau dengan sistem nomor urut. Sepenuhnya hal itu menjadi hak lembaga legislatif. Pilpres 2019 sangatlah krusial karena berdasarkan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 harus dilaksanakan serentak dengan pileg. Putusan MK tersebut dengan sendirinya menuntut dibuatnya undang-undang baru yang bisa mencakup mekanisme pemilihan dan penetapan capres/cawapres dan caleg sekaligus. Untuk pilpres memang masih ada beberapa masalah krusial, apakah memakai presidential threshold ataukah tidak. Ada yang mengusulkan tidak perlu memakai threshold sehingga semua parpol peserta pemilu yang lama atau baru langsung bisa mengajukan capres/cawapres. Ada yang berpendapat agar pengajuan capres/cawapres oleh parpol tetap menggunakan threshold sebagai bukti bahwa parpol tersebut benar-benar mendapat dukungan sejumlah minimal tertentu dari rakyat. Menurut pendapat kedua ini, yang boleh mengajukan capres/cawapres hanya parpol yang mencapai thereshold pada Pileg 2014 dan mempunyai kursi di DPR RI sekarang. Kelompok yang menghendaki adanya threshold dalam pilpres ini pun bisa berbeda ke dalam dua pandangan. Pertama, yang menginginkan semua parpol yang sudah mencapai parliamentary threshold dan mempunyai kursi di DPR berdasar Pileg 2014 langsung boleh mengajukan capres/cawapres. Kedua, yang menginginkan presidential threshold tetap dipatok 20% berdasar hasil Pileg 2014 sehingga capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang sekarang sudah mempunyai kursi di DPR. Semua alternatif masih terbuka untuk diperdebatkan dan tergantung alternatif mana yang nanti akan dipilih oleh lembaga legislatif. Diskusi dan musyawarah untuk pembentukan UU Pemilu ini harus segera dimulai pada 2015 dan sedapat mungkin ditargetkan bisa diundangkan akhir 2016. Dengan demikian, jika ada pengujian ke MK untuk masalah-masalah yang terkait dengan UU Pemilu bisa diproses dan diselesaikan pada 2017 sehingga mulai 2018 semuanya sudah bisa melakukan persiapan dengan undang-undang yang sudah jelas. Jangan sampai terjadi UU Pemilu baru selesai menjelang pemilu dan pengujiannya ke MK masih dilakukan oleh masyarakat ketika tahapan- tahapan pemilu sudah dimulai.
  • 26. 26 Selain itu, pentingnya penyelesaian segera UU Pemilu 2019 bukan hanya untuk mengatasi kesiapan teknis, melainkan juga untuk menjaga jarak dari kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Jika undang-undang bisa diselesaikan jauh sebelum pemilu maka ketegangan dan manuver politik tidak akan terlalu kental sehingga lebih mudah dihadapi secara wajar. MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 27. 27 Faksionalisasi Partai dan Oligarki Elite Koran SINDO 3 Januari 2015 Membincangkan eksistensi partai politik dalam pentas demokrasi elektoral tidaklah terlepas dari adanya faksionalisasi partai. Adanya segregasi maupun fragmentasi antarelite internal partai kerap kali melanda dalam dinamika kepartaian di Indonesia. Perpecahan antarelite yang terjadi dalam kasus Munas Golkar 2014 yang kemudian menghasilkan adanya faksi ARB dengan faksi Golkar Perjuangan yang dipimpin oleh Agung Laksono adalah kasus terbarukan dalam membingkai adanya faksionalisasi dalam tubuh partai. Meskipun kini sudah bisa tereduksi arena konfliktual dalam partai itu, adanya kepentingan tertanam (vested intered) antarelite partai itu yang sifatnya laten. Tercatat sejak tahun 1999 semenjak sistem multipartai diberlakukan dalam pemilu, kemunculan partai-partai baru sendiri terlahir karena adanya faksionalisasi elite partai induk. Semisal saja PPP yang menghasilkan adanya PBR, PBB, dan Masyumi. PDI yang menghasilkan PNI Massa Marhaen, PNI Front Marhaen, PNBK, maupun PDI Perjuangan. Golkar yang kemudian terpecah menjadi Hanura, Nasional Demokrat, dan Gerindra. Memang di luar tumbuhnya partai satelit tersebut masih ada partai politik lainnya terlahir dari basis aktivisme gerakan, tetapi eksistensinya tidak berlangsung lama. Daya survivalitasnya dalam dunia politik tidak memiliki akar dukungan ideologi, dana maupun massa kuat seperti halnya partai yang terlahir dari proses faksionalisasi. Adalah suatu keniscayaan bahwa faksionalisasi partai politik juga sebentuk persaingan antara oligarki partai yang coba merebut kendali kuasa organisasi. Tipologi oligarki yang berkembang dalam tubuh partai adalah kontestasi antara oligarki penguasa (warring oligarchy) dengan oligarki menengah (middle oligarchy). Dalam hal ini, terdapat persaingan dalam upaya mempertahankan dan menambah kepemilikan sumber daya pribadi yang terinvestasikan dalam tubuh partai untuk bisa ditambah dan diperkuat. Selain juga ditambah dengan adanya pemerkuatan arena jejaring dalam tubuh kader partai untuk kian meneguhkan kekuasaan personal. Secara jelas, faksionalisasi partai politik kerap kali terjadi dalam upaya merebut posisi ketua umum. Posisi tersebut menjadi teramat penting dalam upaya mempertahankan maupun juga menambah sumber daya ekonomi-politik. Secara umum deskripsi mengenai faksionalisasi partai politik terjadi dalam dua tahap
  • 28. 28 pembilahan, yakni mutually excluded maupun mutually restricted (Katz & Mair, 2012). Dalam pemahaman pertama, faksionalisasi itu terjadi secara laten yang kemudian menciptakan adanya kelompok oligarki kecil dalam tubuh partai, namun masih berupaya untuk membangun harmonisasi dengan kelompok lainnya dalam tubuh sama. Pola transaksional maupun bargaining politic menjadi alat ukur dalam menjembatani hubungan impersonal antara kelompok kecil tersebut yang pada akhirnya kemudian menciptakan koalisi oligarki kolektif dalam partai tersebut. Fenomena seperti ini biasa terjadi dalam tubuh kepartaian di Indonesia di mana masing-masing kader memiliki kepentingan berbeda dalam menentukan orientasi partai yakni sebagai partai berbasis vote seeking, partai berbasis office seeking, atau sebagai partai berbasis policy seeking. Ketiga varian orientasi inilah yang menjadi sumber primer konfliktual partai itu terus berlangsung secara simultan dan inheren. Pemahaman kedua, faksionalisasi sendiri terjadi sebagai bentuk aksi disorganisasi dalam tubuh partai yang sifatnya sentrifugal. Maksudnya ialah, faksionalisasi yang berujung pada pembentukan berbagai macam kelompok oligarki partai yang justru kian mengidentifikasikan dan mengafiliasikan diri sebagai bentuk kompetitor dengan kelompok elite dalam tubuh partai itu sendiri. Dalam tipe faksionalisasi kedua inilah yang kemudian menghasilkan adanya perpecahan partai induk yang menghasilkan partai satelit baru. Meskipun kemudian terjadi disorganisasi dalam tubuh partai, relasi partai induk maupun partai satelit kemudian masih tetap terjaga. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih terjalin hubungan patrimonial antarkeduanya baik sebagai fungsi mentoring, koordinatif, maupun fungsi supervisi politik. Faktor figuritas memang menjadi kata kunci dalam membedah akar oligarki dan faksionalisasi dikarenakan figur inilah yang tampil sebagai simbol pemersatu, simbol pengontrol, maupun juga simbol kompetitor bagi suatu kelompok maupun ketika berhadapan dengan kelompok lain. Maka melihat konteks kekinian, faksionalisasi partai itu sendiri berjalan instan serta memiliki akar ideologi dan massa yang rapuh. Boleh jadi dikarenakan sekarang ini adalah era kompetisi elektoral berbasis catch all party, jadinya meneguhkan premis dan asumsi bahwa faksionalisasi partai tidak lebih dari usaha pragmatisme dan kompromi politik elite partai saja. Jika demikian, faksionalisasi yang lahir dan tumbuh justru kian menguatkan prinsip hukum besi oligarki Michels bahwa oligarch yang menguasai partai yang justru menghamba kuasa daripada menjadi abdi masyarakat. Analisis terkini memang menunjukkan gejala ke arah sana bahwa faksionalisasi tidak lebih dari sekadar usaha mempertahankan dan menambah keuntungan pribadi dan kelompok daripada mengartikulasikan kepentingan publik secara utuh.
  • 29. 29 Faksionalisasi partai adalah sah-sah saja karena itu merupakan bagian dari dinamika organisasi. Namun akan lebih tepat jika faksionalisasi tersebut kemudian menghasilkan arahan partai yang lebih berada dalam public ground seeking. Itu lebih tepat untuk kembali memperkuat relasi dengan massa partai sebagai penyokong suara partai di akar rumput daripada sekadar ribut mempermasalahkan redistribusi kuasa dan cara mempertahankannya. Berbicara mengenai kasus negara lain, faksionalisasi bukanlah dimaknai sebagai bentuk kontestasi mencari materi dan rente (rent-seeking), tetapi lebih pada bentuk fragmentasi ideologi yang tidak tertampung dalam partai induk. Hal inilah yang membedakan antara kasus faksionalisasi di negara maju yang lebih ideologis dengan negara berkembang yang mencari kuasa. Kasus pembentukan partai politik yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara seperti yang terjadi dalam kasus Jacobin dan Girodins di Prancis maupun Whig-Thories di Inggris lebih karena perbedaan ideologi dan kultur meski dulunya masih satu partai. Adapun dalam kasus negara berkembang seperti halnya Partai Kongres India dengan pecahannya Bharatiya Janata Party dikarenakan adanya kontestasi antarelite yang kemudian berkembang dalam bentuk identitas politik lainnya. Maka apabila melihat dua contoh kecil di atas, setidaknya faksionalisasi dan oligarki itu pada dasarnya berburu kekuasaan, yang kemudian berkembang dalam berbagai bentuk fragmentasi identitas politik. Pertarungan antarberbagai identitas inilah yang kemudian akan mengerucut pada munculnya partai baru dari partai induk atau mungkin munculnya “oligarki permanen” dalam partai induk. Pada akhirnya kemudian, perbincangan mengenai institusionalisasi partai hingga kemudian menimbulkan faksi-faksi mengindikasikan bahwa partai bukanlah organ tunggal yang satu kata, satu orientasi, dan satu tujuan sama. Ada pelbagai kontestasi antarelite yang saling mengalahkan dan saling menjatuhkan dalam berbagai intrik politik tertentu. Faksionalisasi adalah komoditas politik yang terjadi secara by design dan by product dikhususkan untuk mengejar kepentingan pribadi dan kelompok dengan mengatasnamakan kepentingan organisasi. WASISTO RAHARJO JATI Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
  • 30. 30 Catatan Tahun 2014 dan Harapan 2015 Koran SINDO 5 Januari 2015 Presiden Joko Widodo telah menetapkan sejumlah program dan target pembangunan tahun 2015 yang terdengar merdu dan ambisius. Pertanyaannya, mungkinkah realisasi program-program itu bisa berjalan mulus kalau pemerintah terus memainkan lakon harmoni semu dengan DPR? Tahun 2015 belum tentu produktif karena suhu politik diperkirakan lebih panas. Tahun politik 2014 memang telah berakhir. Karenanya, semua komponen masyarakat Indonesia seharusnya mulai fokus membangun diri, komunitas dan lingkungannya. Sayangnya, tahun politik 2014 belum bisa dikatakan telah berakhir. Tahun politik itu ternyata menyisakan masalah. Penanda utamanya adalah belum harmonisnya hubungan eksekutif-legislatif. Kalau ada klaim bahwa hubungan pemerintah-DPR baik-baik saja, itu klaim tentang harmoni yang semu. Siapa saja pasti masih ingat dengan instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang larangan sementara bagi para menteri untuk menghadiri undangan rapat kerja dengan DPR. Kiranya, esensi larangan itu sudah sangat memperjelas sikap dasar pemerintah yang belum mau membangun sinergi dengan DPR. Padahal, sinergi pemerintah-DPR merupakan sebuah keniscayaan. Tak boleh diingkari demi alasan apa pun. Menjadi dosa konstitusional jika pemerintah-DPR tidak bersinergi. Pihak yang menolak bersinergi akan langsung didakwa dengan tuduhan melanggar konstitusi. Hingga akhir 2014, semua pihak bisa melihat bahwa sinergi pemerintah-DPR belum tulus. Hubungan kedua lembaga tinggi negara ini masih diwarnai saling curiga. Bahkan, saling percaya belum terbangun sama sekali. Kendati mendapat dukungan solid Koalisi Indonesia Hebat (KIH), Presiden Jokowi terkesan belum merasa aman jika mayoritas kekuatan di DPR digenggam Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengambil posisi sebagai mitra kritis. KMP bahkan dituding akan menjegal pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Rasa tidak aman yang menyelimuti Presiden itu tercermin dari sikap dan keputusan pemerintah terhadap kisruh Partai Golkar, dan juga PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Cara atau strategi pemerintah membiarkan kedua partai politik ini terperangkap dalam kepengurusan ganda memperlihatkan betapa pemerintah sangat berkepentingan untuk menggoyahkan soliditas KMP.
  • 31. 31 Ketelanjangan interes itu sudah tak bisa lagi ditutup-tutupi oleh apa pun. Gerilya politik para pendukung Jokowi dilanjutkan pascapelantikan presiden. PPP kisruh dan terbelah, begitu pun Partai Golkar. Sebagian elemen kekuatan di dua partai ini ingin bergabung dalam koalisi parpol pendukung Jokowi, sementara elemen kekuatan lainnya bertahan untuk menjadi mitra yang kritis. Memang, di permukaan, yang tampak adalah perebutan kepemimpinan partai. Tetapi, sesungguhnya, kisruh di tubuh dua partai ini terjadi karena kerja kotor oknum penguasa yang memecah belah kesolidan partai dengan kekuasaan dan iming-iming jabatan. Bagaimana pemerintah menunggangi kisruh PPP dan Golkar bahkan ditunjukan dengan terang-terangan. Dalam kasus Partai Golkar misalnya, kecenderungan pemerintah untuk memihak pada salah satu kubu dinyatakan secara terbuka dengan pernyataan resmi. Sudah barang tentu, perilaku tidak etis yang dipertontonkan pemerintah itu bukannya menyelesaikan masalah, tetapi justru mengeskalasi persoalan. Stagnasi Pemerintahan Sebesar apakah persoalan itu tereskalasi akan dilihat publik setidaknya sepanjang paruh pertama 2015. Artinya, bisa dipastikan bahwa sikap saling curiga antara pemerintah dan DPR akan berlanjut di tahun 2015. Rumitnya PPP dan Golkar menyelesaikan masalah internal mereka akan memberi dampak signifikan terhadap DPR dan dampak signifikan itu belum tentu bersifat positif. Bisa saja yang muncul lebih banyak dampak negatifnya. Bukan tidak mungkin DPR akan terbelah lagi sebagai akibat dari penyelesaian akhir kisruh PPP dan Golkar yang tidak memuaskan semua elemen di tubuh dua partai itu serta anggota KMP lainnya. Jadi, kalau sebelumnya KIH bermanuver membelah DPR, giliran KMP dan elemen-elemen lain di tubuh PPP dan Golkar yang akan bermanuver membelah DPR. Kalau perkiraan ini menjadi kenyataan, pemerintahan Jokowi-JK juga akan terkena dampak negatifnya. Mungkin, Jokowi akan menerbitkan lagi surat berisi instruksi melarang para menteri menghadiri rapat kerja dengan DPR. Jadi, bukan hanya suhu politik yang berpotensi makin panas, tetapi persoalan pun menjadi semakin rumit dan berlarut-larut. Dalam suasana serbatidak kondusif seperti itu, mungkinkah APBN-P 2015 yang akan diajukan pemerintah akan dibahas dan disetujui DPR tepat pada waktunya? Patut diragukan. Kalau persetujuan APBN-P 2015 tertunda, pemerintahan Jokowi-JK bisa mengalami stagnasi. Karena itu, 2015 belum tentu lebih baik dari tahun 2014. Bisa dipastikan bahwa harmoni semu yang coba dilakoni Presiden Jokowi saat ini pada gilirannya akan memengaruhi pencapaian target-target presiden. Seperti diketahui, untuk 2015, pemerintah benar-benar fokus pada sektor infrastruktur. Sudah dipastikan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan PerumahanRakyat, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perhubungan akan berupaya merealisasi program-program besar
  • 32. 32 nan strategis. Dalam mempersiapkan APBN- 2015, pemerintah lebih terfokus pada kerja- kerja besar di tiga kementerian itu. Untuk pembangunan infrastruktur, pemerintah berencana membangun jaringan kereta api (KA) trans-Sumatera, trans-Kalimantan, dan trans-Sulawesi. Di tiga pulau besar ini, pembangunannya direalisasi sekitar Februari atau Maret 2015. Untuk jaringan KA trans- Papua, studi kelayakan sedang dibuat dan pembangunannya diharapkan bisa dimulai pada paruh kedua 2015. Selain rel KA dan ruas jalan tol, pemerintahan Jokowi juga berambisi merealisasi pembangunan infrastruktur energi pada 2015. Di antaranya pembangkit listrik, kilang minyak, dan jaringan pipa gas di sejumlah kota. Pembangunan infrastruktur di sektor maritim pun mulai direalisasi. Hal itu ditandai dengan pembangunan dan pengembangan puluhan pelabuhan untuk menopang program tol laut. Untuk mewujudkan target swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang, akan dibangun 49 waduk dalam lima tahun. Untuk 2015, sebanyak 13 waduk akan dimulai pembangunannya dengan anggaran sekitar Rp9 triliun. Kemampuan desa membangun pun dieskalasi. Anggarannya dialokasikan Rp20 triliun dari sebelumnya Rp11 triliun. Per desa diproyeksikan menerima sekitar Rp750 juta pada 2015, sementara alokasi anggaran untuk perlindungan sosial mencapai Rp50 triliun. Untuk membiayai program-program besar dan strategis itu, sebagian anggaran berasal dari program pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Berkat turunnya harga minyak dan menaikkan harga BBM bersubsidi, ruang fiskal pemerintah bertambah sekitar Rp230 triliun. Kalau semua target program tahun 2015 berjalan mulus, target pertumbuhan ekonomi 7% dalam tiga tahun ke depan bisa diwujudkan. Jokowi boleh punya ambisi dan rencana. Tapi konstitusi mengamanatkan bahwa pemerintah tidak boleh jalan sendiri. Untuk membiayai ambisi dan rencananya, pemerintah butuh persetujuan DPR. Maka mulus atau tidak mulusnya realisasi program-program pembangunan itu sangat bergantung pada setinggi apakah derajat harmoni pemerintah dan DPR. Untuk itu kita perlu mengingatkan agar ambisi tersebut tidak kandas di tengah jalan. Pertama, sangat urgen bagi Jokowi untuk menunjukkan respek kepada DPR. Kedua, jangan usil mencampuri masalah internal partai politik. Ketiga, batasi segala bentuk politik balas budi kepada para bandar atau sponsor dan para pendukung saat pilpres yang dapat merugikan rakyat. Keempat, kendati telah beberapa kali ingkar janji seperti janji koalisi dan kabinet ramping, menteri dan jaksa agung non-parpol, kali ini kita berharap Jokowi menepati janjinya untuk tidak merebut jabatan ketua umum PDIP pada Kongres PDIP mendatang. Kelima, hentikan segala bentuk intervensi dan campur tangan ke partai politik lawan. Karena langkah tersebut bisa menjadi blunder politik yang membahayakan kelangsungan pemerintahan itu sendiri.
  • 33. 33 BAMBANG SOESATYO Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
  • 34. 34 Menegakkan Konstitusionalisme Koran SINDO 6 Januari 2015 Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara yang lahir dari peradaban negara- negara modern. Peradaban yang menyelaraskan prinsip demokrasi yang berpangkal pada kekuatan politik kuantitatif dengan prinsip negara hukum yang berpangkal pada kepatuhan terhadap hukum yang dibuat dan disepakati bersama secara rasional. Penyelesaian konflik dan perbedaan tidak lagi didasarkan pada kekuasaan dan kekuatan politik, melainkan diselesaikan secara hukum yang putusannya dihormati dan dipatuhi bersama. Peradaban inilah yang melahirkan dianutnya prinsip demokrasi dan nomokrasi dalam konstitusi. Kita tentu berharap waktu demi waktu, tahun demi tahun, peradaban bangsa Indonesia semakin matang yang mendukung praktik berdemokrasi dan bernegara hukum. Tahun 2014 telah kita lalui dan kini telah menapaki tahun 2015. Tahun 2014 merupakan tahun yang penting dan penuh dengan dinamika politik dan hukum. Apa yang telah terjadi akan menjadi landasan dan pelajaran untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di tahun 2015 ini. Demikian pula halnya bagi MK, refleksi atas kinerja setahun yang lalu sangat penting untuk meningkatkan kinerja dalam menjalankan kewenangan konstitusional sebagai bagian dari upaya segenap komponen bangsa dalam menegakkan konstitusionalitas Indonesia. Bahkan pengalaman dan pelajaran yang didapat pada tahun 2014 telah menunjukkan kematangan peradaban bangsa Indonesia dalam menjalani kehidupan konstitusional. Tahun 2014 bagi MK merupakan tahun penuh tantangan. Pertama, pada tahun lalu MK berada pada jalan terjal mengembalikan kepercayaan publik dari posisi di bawah nol untuk kembali menjadi lembaga peradilan yang tepercaya. Kedua, pada tahun lalu MK harus menjalankan salah satu kewenangan konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden (pilpres) sebagai bagian dari proses demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Artinya, dalam kondisi tingkat kepercayaan yang sedang menurun, MK ditantang untuk dapat menyelesaikan tugas konstitusional yang menentukan keberlanjutan kehidupan ketatanegaraan. Berkat dukungan masyarakat dan kerja keras bersama, MK telah berhasil menyelesaikan tugas konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hasil Pemilu 2014 sebanyak 903 perkara perselisihan hasil Pemilu Legislatif dan 1 perkara perselisihan hasil Pilpres. Tercatat sebagai jumlah perkara perselisihan hasil pemilu terbanyak sepanjang sejarah berdirinya MK.
  • 35. 35 Namun catatan yang lebih penting dari keberhasilan tersebut sesungguhnya adalah bahwa bangsa Indonesia telah menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi sebagai negara demokrasi dan nomokrasi. Kompetisi politik yang begitu kuat dan tajam, baik dalam pemilu legislatif maupun dalam pilpres berakhir dengan damai melalui putusan MK yang bersifat final dan mengikat sebagai amanat konstitusi. Putusan MK telah mengakhiri konflik kontestasi politik dan sosial. Hal ini menunjukkan adanya penghormatan dan kepatuhan segenap warga masyarakat untuk menerima dan melaksanakan putusan MK yang sekaligus menunjukkan adanya penghormatan dan kepatuhan terhadap konstitusi. Kepatuhan terhadap hukum dan putusan lembaga hukum inilah yang perlu dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menegakkan konstitusionalisme Indonesia. Prinsip negara hukum atau nomokrasi tidak akan bermakna jika tidak ada penghormatan terhadap hukum dan putusan hukum. Tanpa adanya penghormatan dan kepatuhan dengan jalan melaksanakan putusan hukum dengan penuh kesadaran, penyelenggaraan negara akan didominasi oleh pertimbangan kekuasaan dan kekuatan politik semata. Selain memutus perselisihan hasil pemilu, pada tahun 2014 MK juga melaksanakan kewenangan konstitusional memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian undang- undang (PUU). Sepanjang 2014, MK telah memutus sebanyak 131 perkara PUU dari 140 perkara PUU yang diregistrasi (94%). Jumlah perkara PUU yang diputus tersebut lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perkara PUU yang diputus pada 2013, yaitu sebanyak 110 perkara. Namun, mengingat adanya sisa perkara PUU pada 2013 sebanyak 71 perkara yang persidangannya dilanjutkan pada 2014, maka sisa perkara PUU sampai dengan 31 Desember 2014 adalah sebanyak 80 perkara. Adapun jumlah perkara PUU yang amar putusannya mengabulkan pada 2014 sebanyak 29 perkara (29%), meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 sebanyak 26%, dan di atas rata- rata jumlah perkara yang dikabulkan oleh MK selama 11 tahun, yaitu sebanyak 22%. Beberapa putusan perkara PUU penting yang diputus antara lain adalah putusan terkait pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres serentak mulai tahun 2019, putusan penafsiran persetujuan DPR dalam proses pemilihan hakim agung dan anggota KY, putusan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah bukan kewenangan MK, putusan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan bertentangan dengan konstitusi, dan putusan pembatalan keseluruhan UU Koperasi. Pelaksanaan putusan MK merupakan tantangan dalam menegakkan konstitusionalisme Indonesia di masa yang akan datang karena hal itu merupakan wujud penghormatan dan kepatuhan terhadap konstitusi di satu sisi, dan di sisi lain MK tidak memiliki kekuatan untuk mengeksekusi putusan yang telah dijatuhkan. Semuanya bergantung dan sekaligus merefleksikan kesadaran konstitusional masyarakat dan setiap penyelenggara negara.
  • 36. 36 Kepatuhan dan pelaksanaan putusan MK oleh setiap lembaga negara akan memperkuat kematangan peradaban berbangsa dan bernegara yang telah ditunjukkan oleh masyarakat yang menerima dan menghormati putusan MK terkait dengan hasil pemilu legislatif dan pilpres. Kepatuhan dan pelaksanaan putusan MK juga akan menjadi penentu keberhasilan mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstitusional. Sepanjang keberadaan MK, sebagian besar putusan MK, khususnya putusan perkara PUU, telah dilaksanakan oleh lembaga negara sesuai dengan lingkup kewenangan yang dimiliki. Pada tahun 2014 misalnya, MK telah memutus bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk bagian dari rezim pemilu sehingga kewenangan memutus perselisihan hasilnya tidak lagi menjadi bagian dari kewenangan MK. Putusan itu telah ditindaklanjuti dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang kemudian dicabut dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Kedua produk hukum tersebut memberikan kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah kepada MA. Namun ada beberapa putusan yang perlu segera didorong untuk dilaksanakan karena menentukan bangunan hukum dan ketatanegaraan demi tegaknya konstitusionalisme Indonesia. Beberapa putusan tersebut antara lain adalah putusan terkait dengan kewenangan dan mekanisme pembentukan undang-undang secara tripartit antara DPR, Presiden, dan DPD yang belum sepenuhnya terwadahi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD; putusan yang menyatakan pembatasan pengajuan peninjauan kembali (PK) bertentangan dengan konstitusi; putusan pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres serentak yang perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan undang-undang; dan putusan mengenai UU Organisasi Kemasyarakatan yang perlu segera ditindaklanjuti dalam tingkat administrasi pemerintahan. JANEDJRI M GAFFAR Doktor Ilmu Hukum; Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang
  • 37. 37 Menghidupkan Demokrasi Demokrat Koran SINDO 6 Januari 2015 Membangun budaya demokrasi itu tidak mudah. Cendekiawan Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa membangun demokrasi dapat memakan waktu lebih satu generasi dan prosesnya juga rumit, ibarat naik ke puncak gedung pencakar langit melalui tangga biasa. Terkadang kita demikian mudah mengucap demokrasi, memberi nama demokrasi kepada lembaga-lembaga yang kita dirikan agar tampak gagah dan modern, tetapi abai dalam menerapkan nilai-nilainya. Di masa lalu, dalam perjalanan sejarah bangsa kita, muncul berbagai penamaan sistem demokrasi. Ada Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila yang hampir keseluruhannya hanyalah otoritarianisme berjubah demokrasi. Dalam kondisi kita hari ini, dengan sistem demokrasi multipartai, partai politik merupakan organisasi terbesar kedua setelah negara. Partai menjadi pertaruhan keberlangsungan demokrasi kita hari ini dan di masa depan. Tanggung jawab partai politik dalam membangun demokrasi di Indonesia sangat besar. Untuk dapat berkontribusi membangun demokrasi di level kebangsaan dan kenegaraan, partai politik dituntut mampu menyelenggarakan demokrasi di lingkup internalnya. Sebab bagaimana mungkin dapat menularkan ke luar jika di partai sendiri masih bermasalah. Potret kepartaian kita secara umum memiliki kecenderungan memunggungi kepentingan publik atau sekurang-kurangnya tidak responsif terhadap kepentingan publik. Partai terjebak dalam urusan internalnya akibat elite oligarkis di dalam partai memaksakan kepentingan eksklusifnya untuk terus mendapat privilege. Hal ini berdampak pada menguatnya antagonisme publik terhadap partai politik DPR. Kondisi ini harus menjadi peringatan bersama para kader partai politik di Indonesia. SBY dan Demokrat Sejak berdiri tahun 2001, Partai Demokrat (PD) menempuh perjalanan yang unik dan mengejutkan. Momen debutnya dalam Pemilu 2004 langsung mengantar partai berlambang bintang Mercy ini ke puncak kekuasaan di negeri ini, yakni terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI. Pada penampilan keduanya, Pemilu 2009, PD bahkan memenangi dua laga sekaligus, yakni pileg dan pilpres. Pada Kongres II di Bandung tahun 2010, PD berhasil menggelar kongres dengan demokratis yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai politik termuda. Inilah puncak kejayaan PD.
  • 38. 38 Setiap kekuasaan ada masanya dan setiap masa ada penguasanya, demikian pula yang terjadi dalam PD pasca-2010. Serangan-serangan eksternal dengan gencar menyulut simpul-simpul konflik di partai dan semuanya pun terbakar. Semua keajaiban PD telah berakhir dan zaman normal bermula. Figur SBY adalah figur utama yang brilian dan tidak ada bandingannya di PD. Beliau adalah anugerah bagi partai. Faktanya figur SBY-lah yang membesarkan suara partai pada Pemilu 2004 dan 2009, bukan sebaliknya. Namun, di sisi lain, dominannya figur SBY juga menyebabkan sistem dan struktur partai tidak dapat berkembang, dikalahkan personalitas SBY. Dalam salah satu bagian perjalanannya, mantan ketua umum Anas Urbaningrum pernah bekerja sangat serius untuk membangun dan melembagakan ketokohan, ide, dan pemikiran SBY agar dapat menularkan ”tuah”-nya kepada partai. Namun upaya ini terjegal, bahkan Anas menjadi korban dari intrik politik para Sengkuni. Ketika SBY memutuskan untuk mengambil alih kewenangan partai yang kemudian dikukuhkan dalam KLB PD 30-31 Maret 2013 selepas Anas Urbaningrum menyatakan berhenti, keputusan itu dilandasi keprihatinan atas situasi darurat yang sedang terjadi. SBY menyatakan hanya bersedia menjadi ketua umum partai hingga mengantarkan partai ke Pemilu 2014. Namun, berkaca dari sejarah para pendahulu, situasi darurat adalah situasi paling nyaman bagi sejumlah kalangan yang memiliki bakat mengail keuntungan di air keruh masa darurat. Bagi mereka, jika diperbolehkan, situasi darurat harus diperpanjang hingga waktu tak terhingga agar semakin banyak keuntungan diperoleh. Kondisi inilah yang sedang terjadi di PD menjelang Kongres 2015. SBY harus diakui sebagai tokoh politik yang sangat hebat dalam kapasitas dan konteks sebagai Presiden Republik Indonesia. Namun dalam kapasitas dan konteks sebagai ketua umum PD, masih terbuka ruang untuk didiskusikan dengan jernih. Beberapa hal yang dapat dicatat di sini adalah PD di bawah kepemimpinan SBY gagal mempertahankan suara partai 15% dalam Pileg 2014, gagal memperjuangkan peserta konvensi sebagai capres bahkan cawapres, gagal mengawal pilkada langsung dalam pembahasan RUU Pilkada dengan skenario walkout yang tidak bertanggung jawab, gagal menempatkan kader PD sebagai ketua MPR RI yang sudah dijanjikan. Pada prinsipnya, PD di bawah kepemimpinan SBY gagal menempatkan siapa pun kecuali SBY dan segelintir kerabatnya. Di lingkup internal partai berlangsung praktik yang lebih buram. Puluhan ketua DPC dan DPD di-plt-kan dengan kesalahan dicari-cari hanya karena mereka dianggap dekat dengan mantan ketua umum Anas Urbaningrum. Selepas pileg berlangsung drama yang sungguh memalukan di mana 8 anggota DPR RI yang terpilih secara sah dipecat oleh Mahkamah
  • 39. 39 Partai tanpa alasan yang dapat dibenarkan hanya untuk memberikan kursi mereka kepada 8 kroni besar yang dekat dengan SBY. Dan saat ini sedang dilakukan penggalangan dukungan bermeterai di DPC-DPC untuk mencalonkan SBY secara aklamasi dalam kongres yang rencananya diadakan tahun 2015. Kesemua praktik buram di atas terjadi tepat di depan hidung SBY dan dibiarkan saja terjadi. Ikhtiar Membangun Demokrasi Demokrasi sejak diperkenalkan 2.500 tahun silam di Athena, Yunani, adalah ikhtiar panjang untuk memerangi kepentingan eksklusif dan menyebarkannya kepada publik luas. Demokrasi tidak ditujukan untuk terbangunnya poliarki sejumput elite, kartel, atau bahkan oligarki yang menghisap habis seluruh sumber daya untuk diri sendiri. Apalagi hanya untuk sekawanan Sengkuni yang berkomplot berbisik tiap malam, menjadi benalu yang sibuk mencari keuntungan pribadi di dalam partai. SBY sebagai tokoh utama, figur, dan guru politik bagi banyak sekali orang termasuk penulis cukup lama dikenal sebagai tokoh demokrasi yang hari ini kesemuanya harus beliau pertaruhkan. Kondisi kurang menguntungkan karena di seluruh dunia ini hanya Partai Demokrat yang ketua umum dan sekjennya adalah bapak dan anak, belum ditambah urutan panjang: ketua fraksi dijabat oleh anak kandung, bendahara fraksi dijabat tetangga rumah Cikeas, dan wakil ketua DPR RI dijabat oleh adik dari adik ipar. Jika ingin tetap dikenang sebagai sang demokrat, SBY semestinya berusaha lebih keras untuk memenuhi standar demokrasi di PD. Beliau harus memberi contoh bagaimana melaksanakan ajaran sendiri. Beliau boleh saja turut mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai ketua umum, tetapi harus mengikuti proses pertarungan yang wajar, bukan membiarkan saja dagelan pengumpulan dukungan bermeterai yang mengintimidasi DPC-DPC. Beliau wajib turut dalam ikhtiar membangun demokrasi untuk membuktikan bahwa PD adalah partai milik rakyat Indonesia, bukan partai milik keluarga dan tetangga. Inilah cara berdemokrasi di zaman normal. GEDE PASEK SUARDIKA Kader Partai Demokrat; Anggota Dewan Perwakilan Daerah
  • 40. 40 Kontroversi Izin Terbang QZ8501 Koran SINDO 7 Januari 2015 Di tengah masih berkabungnya keluarga penumpang dan seluruh rakyat di negeri ini atas musibah yang dialami pesawat terbang AirAsia Indonesia QZ8501 dengan rute Surabaya- Singapura yang jatuh di sekitar perairan Karimata/dekat Belitung Timur, aksi saling melempar tanggung jawab perihal siapa pemberi izin untuk penerbangan pesawat AirAsia QZ8501 terus berlangsung. Dalam teori hukum administrasi negara, izin dimaknai oleh Spelt dan Ten Berge (1993) sebagai “bentuk persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan”. Dengan memberikan izin, pemerintah selaku penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan tertentu yang sejatinya dilarang. Masih menurut Ten Berge dan Spelt, izin diperlukan karena aktivitas yang dilakukan pemohon izin berkaitan dengan perkenan yang diberikan pemerintah atas tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan dilakukan pengawasan khusus terhadapnya. Perdebatan mengenai pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas aktivitas penerbangan pesawat nahas AirAsia Indonesia QZ 8501 pada Minggu pagi, 28 Desember 2014, berkembang paralel dengan pertanyaan publik mengenai peristiwa yang melatarbelakangi musibah yang menimpa pesawat nahas tersebut meski dugaan sementara diarahkan pada kecelakaan pesawat yang disebabkan oleh awan cumulonimbus (awan CB) yang selama ini banyak dilansir oleh berbagai media massa. Pihak maskapai AirAsia Indonesia dipersalahkan telah melanggar izin rute penerbangan periode winter 2014-2015 26 Oktober 2014-26 Maret 2015 yang seharusnya menjadi otoritas Kementerian Perhubungan (Kemenhub) cq Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Menurut Kepala Pusat Komunikasi Kemenhub J.A. Barata pada 4 Januari 2015 surat izin terbang dari Kemenhub hanya diberikan pada Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu sehingga aktivitas penerbangan AirAsia pada Minggu dinilai dilakukan menyalahi izin yang telah diberikan. Namun, Sekretaris Perusahaan Angkasa Pura I Farid Indra Nugraha mengungkapkan, tak ada masalah perizinan pada penerbangan AirAsia QZ8501. Untuk rute penerbangan tersebut, AirAsia telah mengajukan izin rute dan jadwal kepada Indonesia Slot Coordinator (IDSC) dan di dalam slot sudah diperbolehkan. Rapat IDSC dihadiri oleh Kemenhub selaku regulator, juga Angkasa Pura I dan AirNav Indonesia.
  • 41. 41 Slot yang diminta telah disesuaikan pula dengan kesediaan bandara internasional tujuan seperti Australia atau Singapura. Apabila memang tersedia dan tak ada masalah pada jalur udara, akan diteruskan ke Dirjen Perhubungan Udara untuk mendapatkan persetujuan. Setelah itu akan dikirimkan ke Air Traffic Controller dan Angkasa Pura I (AP I) untuk diumumkan. Namun, menurut General Manager Angkasa Pura I Trikora Harjo, pemberian izin rute penerbangan bukan merupakan kewenangan AP I. AP I bertugas sebatas pemberian fasilitas terminal dan tempat parkir pesawat di bandara. Melalui Surat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Nomor AU.008/30/6/DRJU. DAU- 2014 tanggal 24 Oktober 2014 perihal Izin Penerbangan Luar Negeri Periode Winter 2014/2015, Plt. Dirjen Perhubungan Udara Djoko Murjatmodjo membekukan sementara izin rute penerbangan Indonesia AirAsia Surabaya-Singapura pp terhitung mulai Jumat, 2 Januari 2014. Itu berkaitan dengan penilaian pihak Kemenhub bahwa penerbangan rute Surabaya- Singapura tersebut melanggar izin. Menurut versi Kemenhub, pembekuan baru akan dicabut setelah hasil investigasi dan evaluasi terhadap jatuhnya QZ 8501 di Selat Karimata keluar. Pembekuan rute penerbangan Surabaya-Singapura PT Indonesia AirAsia oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub tersebut tak urung mendapat kritik tajam dari sejumlah pilot dan mantan pilot maskapai penerbangan di Indonesia. Salah satunya datang dari mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Capt Sardjono Jhony Tjitrokusumo. Menurut Jhony, alasan pembekuan rute AirAsia oleh Kemenhub akibat melayani penerbangan pada Minggu (saat terjadi insiden QZ8501) tidak sesuai dengan jadwal yang diberikan Kemenhub yaitu Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu terlalu dipaksakan. Mantan pilot tersebut menilai kalaupun penerbangan yang dilakukan AirAsia tersebut dinilai oleh pihak Kemenhub sebagai tidak berjadwal, dia yakin bahwa maskapai tersebut pasti telah menerima flight approval untuk melayani penerbangan tambahan atau extra flight yang diajukan ke otoritas penerbangan nasional yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Menurut Jhony, extra flight merupakan bagian dari pelayanan angkutan Natal dan Tahun Baru sehingga tidak perlu mencari-cari kesalahan. Dia menyayangkan penerbitan kebijakan pembekuan rute tersebut oleh Kemenhub yang dinilainya sebagai keputusan reaktif. Padahal, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) belum juga menyelesaikan investigasi atas penyebab kecelakaan nahas yang menimpa Airbus A320-200 milik AirAsia pada Minggu lalu. Berkaca pada silang sengkarut kebijakan perizinan penerbangan yang berkembang pascainsiden jatuhnya pesawat AirAsia Indonesia QZ8501 tersebut, kiranya itu memperlihatkandengan kasatmata kelemahan administratif sistem perizinan penerbangan pesawat. Secara paradigmatik izin telah digeser maknanya sekadar sebagai persyaratan administratif semata-mata dari hakikat maknanya sebagai instrumen pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah untuk kepentingan umum. Itu terlihat dari ketidakjelasan
  • 42. 42 rentang kendali dalam kebijakan perizinan penerbangan yang terkesan tersebar pada berbagai tangan otoritas. Dalam hukum administrasi negara, sejatinya kewenangan yang berhak memberikan atau menolak izin adalah yang diberikan kewenangan secara atributif oleh undang-undang secara langsung. Dalam kasus tersebut, sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2009 kewenangan itu melekat pada Kemenhub yang mewakili pemerintah dalam melaksanakan “hak menguasai negara atas penerbangan.” Meskipun suatu kewenangan tersebut dapat dimandatkan kepada otoritas tertentu sebagai mandataris, pertanggungjawaban eksternal terakhir tetap berpuncak pada Kemenhub sebagai wakil pemerintah di bidang perhubungan. Justru dengan kasus yang menimpa AirAsia QZ8501 tersebut, kini saatnya Kemenhub menata ulang desain rentang kendali perizinan penerbangan melalui standar operasional prosedur yang jelas sebagai diamanatkan oleh UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Jika polemik seputar otoritas perizinan terus berlanjut, dapat saja pihak keluarga korban mengadukan kepada Ombudsman Republik Indonesia agar melakukan investigasi untuk meneliti keabsahan perizinan tersebut. Ini penting karena itu konon juga terkait upaya hukum klaim asuransi yang mensyaratkan legalitas penerbangan sebagai syarat untuk mendapat santunan asuransi bagi para korban pesawat tersebut. Inilah saatnya menhub berani berbenah dan melakukan bersih-bersih ke dalam agar ke depan administrasi perizinan tidak justru menjadi kendala dalam sistem keselamatan penerbangan karena sejumlah keuntungan haram yang dinikmati segelintir oknum yang abai terhadap implikasinya yang mengamputasi hajat keselamatan orang banyak. DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUM Pengajar Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
  • 43. 43 2015, Bagaimana Nasib Pemerintahan Jokowi? Koran SINDO 9 Januari 2015 Tahun 2014 telah berakhir, berganti memasuki tahun 2015. Tidak dapat dimungkiri sepanjang 2014 situasi politik nasional penuh dengan berbagai kegaduhan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pemilihan umum (pemilu). Usai pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) kegaduhan politik berlanjut di parlemen berupa pertikaian politik tajam antara partai-partai pendukung pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (Koalisi Indonesia Hebat) dan partai-partai politik pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa (Koalisi Merah Putih). Lalu bagaimana outlook politik Indonesia 2015, terutama nasib pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla? Meski politik bersifat dinamis, dapat dipastikan 2015 bukan tahun mudah bagi pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Riak-riak kecil hingga gelombang besar politik sangat mungkin menerpa biduk pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla pada 2015 mengingat dukungan politik di tingkat elite terhadap mereka terbilang sangat lemah. Koalisi Indonesia Hebat beranggotakan PDI Perjuangan (109 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (47 kursi), Partai Persatuan Pembangunan (39 kursi), Partai NasDem (35 kursi), dan Partai Hanura (16 kursi). Apabila dijumlahkan, kursi lima partai politik Koalisi Indonesia Hebat tersebut tidak sampai separuh dari jumlah total 560 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketiadaan dukungan kuat di tingkat elite terhadap pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla diperparah dengan kelemahan Koalisi Indonesia Hebat di parlemen dalam melakukan lobi dan komunikasi politik. Alhasil, dalam sejumlah kesempatan mereka kerapkali babak belur menghadapi kekompakan Koalisi Merah Putih sebagaimana saat pemilihan pimpinan DPR awal Oktober lalu. Ketiadaan perwakilan dari Koalisi Indonesia Hebat dalam pimpinan DPR jelas semakin mempersulit Jokowi dan Jusuf Kalla untuk menjalankan pemerintahan dengan mulus. Akselerasi lembaga eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan akan sangat lamban. Pemerintah tidak akan mudah memperoleh persetujuan politik parlemen saat hendak menggulirkan berbagai rencana kebijakan. Terbaru lihat saja bagaimana kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak
  • 44. 44 (BBM) bersubsidi harus bersiap menghadapi hadangan interpelasi di parlemen. Hingga awal Desember, 240 anggota DPR telah membubuhkan tanda tangan dukungan penggunaan hak interpelasi terkait kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi untuk kemudian diajukan kepada pimpinan DPR seusai masa reses nanti. Para anggota DPR penandatangan hak interpelasi berasal dari Koalisi Merah Putih seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional. Dengan berkaca dari realitas politik di atas, ke depan mau tidak mau pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla beserta koalisi pendukung mereka harus lebih cermat dalam memperhitungkan aspek politik di setiap proses pembuatan kebijakan agar tidak menjadi sasaran tembak empuk kelompok oposisi di parlemen. Apalagi pada 2015 akan ada kepentingan strategis pemerintah agar pengajuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berjalan mulus dan mendapatkan persetujuan politik seluruh kekuatan politik di parlemen. Proses rekonsiliasi elite-elite politik di DPR dengan mengakomodasi anggota-anggota Koalisi Indonesia Hebat di alat-alat kelengkapan Dewan melalui perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta perubahan tata tertib DPR mendesak untuk segera dituntaskan. Selain itu, langkah politik strategis lain juga harus dilakukan Koalisi Indonesia Hebat dalam rangka memuluskan langkah pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dengan memperbaiki lobi dan komunikasi politik mereka. Melakukan pendekatan politik kepada Partai Demokrat yang memiliki 61 kursi patut dipertimbangkan lebih lanjut. Sikap Partai Demokrat sebagai kekuatan politik penyeimbang dapat dimanfaatkan Koalisi Indonesia Hebat untuk memperkuat dukungan politik di parlemen terhadap pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, terutama saat hendak meloloskan sebuah kebijakan strategis seperti pengurangan subsidi BBM dan APBN. Kekalahan telak dalam pemilihan pimpinan DPR tidak akan terjadi bila saat itu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku pimpinan Koalisi Indonesia Hebat melakukan komunikasi politik secara total dengan Partai Demokrat. Karena itu, pada masa mendatang diharapkan tidak ada lagi sikap jual mahal merasa tidak butuh dari PDIP terhadap Partai Demokrat. Selain dapat membantu pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam menunaikan janji-janji politik untuk mewujudkan kesejahteraan, kedekatan antara PDIP dan Partai Demokrat juga dapat menghangatkan kembali relasi Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagaimana saat mereka belum terlibat rivalitas pertarungan Pilpres 2004. Kesamaan pandangan dan sikap politik terhadap Peraturan Presiden Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah dapat menjadi awal dari
  • 45. 45 kerja sama politik PDIP dan Partai Demokrat. Mungkinkah kedekatan dan kerja sama politik antardua partai itu akan terwujud pada 2015? Tidak ada yang tidak mungkin di dalam politik. BAWONO KUMORO Peneliti Politik The Habibie Center
  • 46. 46 Keharusan Seleksi Hakim MK Koran SINDO 10 Januari 2015 Rabu, 7 Januari 2014 pekan ini, dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru, I Gede Palguna dan Suhartoyo, mengucapkan sumpah di hadapan Presiden untuk mulai bertugas sebagai hakim konstitusi. Palguna terpilih menggantikan Hamdan Zoelva sebagai hakim yang diajukan oleh Presiden, sedangkan Suhartoyo menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi sebagai hakim yang diajukan oleh Mahkamah Agung (MA). Menurut Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, hakim konstitusi terdiri atas sembilan orang yang diajukan (nominated) oleh tiga lembaga negara, yakni tiga orang diajukan oleh presiden, tiga orang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga orang diajukan oleh MA. Harus ditegaskan, menurut konstitusi kesembilan hakim tersebut bukan “mewakili”, melainkan hanya diajukan atau diusulkan oleh ketiga lembaga negara tersebut. Semua hakim konstitusi haruslah independen dan tidak bisa dipengaruhi oleh lembaga negara yang mengusulkannya. Meskipun ditetapkan dengan keputusan presiden (keppres), hakim MK tidak bertanggung jawab dan tidak mewakili presiden, sebab keppres hanya bersifat administratif untuk meresmikan. Sekarang ada kemajuan. Terpilihnya hakim I Gede Palguna dilakukan melalui proses seleksi yang transparan dan partisipatif, sesuai dengan perintah Pasal 19 UU MK. Ini jauh berbeda dari penetapan hakim-hakim sebelumnya. Pada periode pertama, saat pertama kali MK dibentuk tahun 2003, pengajuan hakim-hakim MK memang lebih bersifat langsung diajukan oleh tiga lembaga negara, tidak banyak melibatkan partisipasi publik karena saat itu memang belum menarik perhatian publik. Meski begitu, mungkin karena masih berimpit atau dekat dengan awal sejarah dan segala idealisme pembentukan MK, pengusulan hakim-hakim periode pertama yang tanpa isu dan intrik politik telah melahirkan figur-figur yang baik dan berintegritas. Di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, hakim-hakim MK periode pertama mampu meletakkan dasar-dasar MK sebagai pengawal konstitusi yang kokoh dan disegani. Namun, sesudah habisnya masa jabatan periode pertama mulai muncul aspirasi agar hakim- hakim MK berikutnya diseleksi secara terbuka. Sejak rekrutmen hakim MK periode kedua, masyarakat mulai mengkritik calon-calon hakim yang berlatar belakang partai politik. Ketika saya mengikuti seleksi sebagai calon hakim MK dari DPR pada tahun 2008, misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mempersoalkan saya karena saya berasal dari parpol. Tetapi ketika itu saya terus maju karena menurut undang- undang tidak ada syarat calon
  • 47. 47 hakim MK harus bukan orang parpol. Yang penting kalau sudah menjadi hakim MK mereka bukan lagi orang parpol atau keluar dari parpol. Ketika itu saya bilang, saya tak pernah terlibat korupsi. Sebaliknya saya bisa menunjukkan, banyak orang yang berlatar belakang LSM terlibat korupsi. Hakim-hakim periode pertama pun banyak yang mempunyai kaitan dengan parpol. Sebutlah Roestandi yang menjadi penasihat PPP atau Harjono dan I Gede Palguna yang duduk di MPR mewakili PDI Perjuangan. Toh, mereka bisa bekerja dengan baik. Yang menarik adalah perkembangan pengajuan hakim-hakim MK yang dari Presiden sejak periode kedua. Untuk pengajuan hakim MK pada periode kedua (2008) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima usulan dari tim seleksi terbuka yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution. Namun, untuk pengajuan hakim-hakim MK berikutnya Presiden SBY tidak lagi melakukan seleksi terbuka. Hamdan Zoelva (2010) langsung ditetapkan oleh Presiden tanpa seleksi terbuka sehingga muncul kritik gencar dari masyarakat. Menurut pengakuan Hamdan, terhadap dirinya sudah dilakukan fit and proper test oleh tiga menteri terkait, yakni Menko Polhukam, Mensesneg, dan Menkumham. Tetapi siapa pun tahu, kalaupun ada, tentu itu bukanlah seleksi yang transparan dan partisipatif, melainkan lebih politis. Untungnya, terlepas dari prosesnya yang banyak dipersoalkan, pengangkatan Hamdan yang cukup dikritik; ternyata dia cukup kapabel dan profesional sampai mengakhiri tugasnya. Namun, ketika ternyata pada 2013 Presiden SBY masih mengangkat lagi Patrialis Akbar tanpa seleksi terbuka, maka masyarakat sipil bukan hanya mengkritik, melainkan langsung memperkarakannya ke PTUN. Terpilihnya Palguna sebagai hakim MK haruslah kita terima sebagai produk dari satu proses yang transparan dan partisipatif sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UU MK. Palguna tidak ditunjuk secara sepihak, melainkan sudah melalui seleksi terbuka yang bertahap. Bahwa ada yang mengkritik atas penetapannya karena dia pernah punya kaitan dengan partai politik adalah biasa di dalam negara demokrasi. Siapa pun yang ditetapkan oleh Presiden pasti akan ada yang mengkritik, tetapi siapa pun bisa mengkritik lagi terhadap kritik yang mungkin berlebihan. Kritik bahwa kalau punya latar belakang parpol cenderung korup tentu harus dikritik balik karena hal itu tidak faktual dan ngawur. Faktanya, lihat saja, orang-orang yang dipenjara karena korupsi ternyata bukan hanya mereka yang berlatar belakang parpol, melainkan juga mereka yang datang dari berbagai latar belakang profesi dan organisasi seperti parpol, birokrasi, perguruan tinggi, pengusaha, bahkan dari LSM. Seleksi untuk memilih hakim MK harus lebih dikaitkan dengan integritas dan kapabilitas, bukan dengan latar belakang profesi atau organisasinya. Pada masa-masa mendatang
  • 48. 48 pembentukan tim seleksi yang independen untuk menyeleksi hakim MK harus ditradisikan, bukan hanya oleh Presiden, tetapi juga oleh DPR dan MA. MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 49. 49 Relasi Media & Terorisme Koran SINDO 12 Januari 2015 Tragedi memilukan berupa aksi penembakan di kantor redaksi majalah Charlie Hebdo di Paris, Prancis yang menewaskan 12 korban (7/1/2015), kembali mengguncang kesadaran masyarakat internasional tentang bahaya ancaman terorisme global. Tragedi di Charlie Hebdo ini seolah membuka luka menganga yang belum reda akibat aksi kebiadaban terorisme di pusat jantung Kota Sydney, Australia; serta penembakan massal di sekolah militer oleh milisi Taliban di Peshawar, Pakistan yang menewaskan 140-an korban, termasuk guru dan anak-anak tak berdosa pada medio Desember 2014. Pembedanya, para korban aksi terorisme di Australia dan Pakistan tampak hanya dijadikan sebagai “target antara”, sementara target utama (main target) para teroris adalah menyampaikan pesan kekecewaan terhadap otoritas negara setempat yang dianggap tidak mengakomodasi kepentingan ekonomi-politik, aspirasi sipil, dan ideologinya. Sementara aksi terorisme di Paris kali ini, korban yang mayoritas anggota tim redaksi majalah Charlie Hebdo kuat diduga menjadi “target utama” dari aksi terorisme yang dilancarkan, sekaligus juga menjadi “target antara” untuk mengamplifikasi (to amplify) pesan kekerasan mereka kepada publik dan pemerintah setempat tentang kemarahan mereka terhadap materi-materi pemberitaan yang dimuat majalah Charlie Hebdo. Karena itu, wajar jika pernyataan kecaman keras yang disampaikan PM Inggris David Cameron, Presiden Amerika Barrack Obama, dan Perdana Menteri Perancis Manuel Valls cenderung menekankan aksi terorisme ini sebagai upaya untuk menyasar dan membungkam kebebasan pers, yang dilancarkan oleh agen-agen terorisme global. Anomali Relasi Media dan Terorisme Secara teoritik, ‘terorisme’ merupakan terminologi yang tidak bebas nilai. Pemahaman dan penggunaan terminologi ‘terorisme’ sangat dipengaruhi oleh kepentingan pihak-pihak yang menggunakan dan menginterpretasikannya, baik itu aktor negara, kelompok non-negara (non- state agent), maupun media itu sendiri. Dengan kata lain, wacana tentang pelabelan “terorisme” merupakan area perang terbuka antarkepentingan. Negara dapat menstereotip setiap kelompok yang tidak sesuai dengan garis kepentingannya sebagai “teroris”. Sebaliknya, masyarakat sipil dan kelompok non-negara juga dapat menuding aktor-aktor kekuasaan dalam sistem dan struktur negara sebagai agen