Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya kemandirian bagi subjek didik dan proses pembelajaran. Kemandirian diperlukan untuk menghadapi situasi kehidupan masa kini dan masa depan yang semakin kompleks. Pendidikan perlu mempersiapkan remaja dengan mengembangkan kemandirian mereka agar dapat menghadapi tantangan di masa depan. Kemandirian berkembang melalui proses interaksi sosial dan pemberian makna terhadap diri
1. PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN DAN PROSES
PEMBELAJARAN
A. Pentingnya Kemandirian bagi Subjek Didik
Subjek didik akan selalu dihadapkan pada situasi dan dinamika kehidupan
yang terus berubah dan berkembang. Situasi kehidupan dewasa ini sudah semakin
kompleks. Kompleksitas kehidupan itu, yang pada saat sekarang seolah-olah telah
menjadi bagian yang mapan dari kehidupan masyarakat, sebagian demi sebagian
akan bergeser atau bahkan mungkin hilang sama sekali karena digantikan oleh
pola kehidupan baru pada masa mendatang yang diprakirakan akan semakin lebih
kompleks.
Kecenderungan yang muncul di permukaan dewasa ini, ditunjang oleh laju
perkembangan teknologi dan arus gelombang kehidupan global yang sulit atau
tidak mungkin untuk dibendung, mengisyratkan bahwa kehidupan masa
mendatang akan menjadi sarat pilihan yang rumit. Ini mengisyaratkan pula bahwa
manusia akan semakin didesak ke arah kehidupan yang amat kompetitif.
Andersen (1993:718) memprediksikan situasi kehidupan semacam itu dapat
menyebabkan manusia menjadi serba bingung atau bahkan larut ke dalam situasi
baru itu tanpa dapat menyeleksi lagi jika tidak memiliki ketahanan hidup yang
memadai karena tata-nilai lama yang telah mapan ditantang oleh nilai-nilai baru
yang belum banyak dipahami.
Situasi kehidupan semacam itu memiliki pengaruh kuat terhadap dinamika
kehidupan remaja, apalagi remaja, secara psikologis, tengah berada pada masa
topan dan badai dan tengah mencari jatidiri. Pengaruh kompleksitas kehidupan
dewasa ini sudah tampak pada berbagai fenomena remaja yang perlu memperoleh
perhatian pendidikan. Fenomena yang tampak akhir-akhir ini antara lain
perkelahian antarpelajar, penyalahgunaan obat dan alkohol, reaksi emosional yang
berlebihan, dan berbagai perilaku yang mengarah pada tindak kriminal.
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
1
2. Dalam konteks proses belajar, gejala negatif yang tampak adalah kurang
mandiri dalam belajar yang berakibat pada gangguan mental setelah memasuki
perguruan tinggi, kebiasaan belajar yang kurang baik yakni tidak tahan lama dan
baru belajar setelah menjelang ujian, menyontek, dan mencari kebocoran soal
ujian.
Problem menjadi di atas, yang merupakan perilaku-perilaku reaktif,
semakin meresahkan jika dikaitkan dengan situasi masa depan remaja yang
diprakirakan akan semakin kompleks dan penuh tantangan itu. Menurut Tilaar
(1987:2), tantangan kompleksitas masa depan itu memberikan dua alternatif:
pasrah kepada nasib atau mempersiapkan diri sebaik mungkin. Misi pendidikan
yang juga berdimensi masa depan tentunya menjatuhkan pilihannya pada
alternatif kedua. Artinya, pendidikan mengemban tugas untuk mempersiapkan
remaja bagi peranannya di masa depan agar kelak menjadi manusia berkualitas
dan memiliki kemandirian yang tinggi.
Pentingnya ikhtisar mempersiapkan remaja bagi masa depannya itu, di
samping mereka tengah mencari jatidiri, karena mereka juga tengah berada pada
tahap perkembangan yang amat potensial. Perkembangan kognitifnya, menurut
teori perkembangan kognitif dari Piaget, telah mencapai tahap puncak
perkembangan kognitif: masa munculnya kemampuan berpikir sistematis dalam
menghadapi persoalan-persoalan abstrak dan hipotesis karena telah mencapai
tahap operasional formal. Perkembangan moralnya tengah berada pada tingkatan
konvensional: suatu tindakan yang ditandai dengan adanya kecenderungan
tumbuhnya kesadaran bahwa norma-norma yang ada dalam masyarakat perlu
dijadikan acuan dalam hidupnya, menyadari kewajibannya melaksanakan normanorma itu, dan mempertahankan perlunya ada norma. Perkembangan fsisiknya
juga tengah berada pada masa perkembangan fisik yang amat pesat.
Ikhtiar pendidikan yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk
mengembangkan kemandirian menjadi sangat penting karena selain problema
remaja dalam bentuk perilaku negatif sebagaimana dipaparkan di atas, ada
sejumlah gejala negatif yang tampak menjauhkan individu dari kemandirian.
Gejala-gejala tersebut dapat dipaparkan berikut ini:
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
2
3. 1. Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat sendiri
yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah kepada perilaku formalistik
dan ritualistik serta tidak konsisten. Situasi seperti ini akan menghambat
pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri
dari kualitas sumberdaya dan kemandirian manusia.
2. Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Manusia mandiri bukanlah
manusia
yang lepas
dari
lingkungannya,
melainkan
manusia
yang
bertransenden terhadap lingkungannya. Ketidakpedulian terhadap lingkungan
hidup merupakan gejala perilaku impulsif yang menunjukkan bahwa
kemandirian masyarakat masih rendah.
3. Sikap hidup konformistik tanpa pemahaman dan kompromistik dengan
mengorbankan prinsip. Gejala mitos bahwa segala sesuatunya bisa diatur yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat merupakan petunjuk adanya
ketidakjujuran berpikir dan bertindak serta kemandirian yang masih rendah.
Gejala-gejala di atas merupakan sebagian dari kendala utama dalam
mempersiapkan individu-individu yang mampu mengarungi kehidupan masa
mendatang yang semakin kompleks dan penuh tantangan. Oleh sebab itu,
perkembangan kemandirian remaja menuju ke arah kesempurnaan menjadi sangat
penting untuk diiktiarkan secara serius, sistematis, dan terprogram. Sebab,
problema kemandirian sesungguhnya bukanlah hanya merupakan masalah
“intergeneration” (dalam-generasi), tetapi juga merupakan masalah “betweengeneration” (antar-generasi). Perubahan tata nilai yang terjadi dalam generasi dan
antar-generasi akan tetap memposisikan kemandirian sebagai isu aktual dalam
perkembangan manusia.
B. Definisi Kemandirian
Kata “kemandirian” berasal dari kata dasar “diri” yang mendapatkan
awalan “ke” dan akhiran “an” yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau
badan kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar “diri”, maka
pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan
mengenai perkembangan “diri”
itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
3
4. disebut dengan istilah “self” karena “diri” itu merupakan inti dari kemandirian.
Kalau menelusuri berbagai literatur, sesungguhnya banyak sekali istilah yang
berkenan dengan “diri” ini. Terdapat sejumlah istilah yang dikemukakan oleh para
ahli yang makna dasarnya relevan dengan “diri” yakni: self-determinism (Emil
Durkheim), autonomous morality (Jean Piaget), ego integrity (Erick E. Erickson),
the creative self (Alfred Adler), self-actualization (Abraham H. Maslow), selfsystem (Harry Stack Sullivan), real self (Caren Horney), self-efficacy (Albert
Bandura), self-expansion, self-esteem, self-pity, self-respect, self-sentience, selfsufficiency, self-expression, self-direction, self-stucture, self-contempt, selfcontrol, self-righteousness, self-effacement (Hall dan Linzey).
Sedemikian banyak istilah atau konsep yang berkenaan dengan “diri” itu,
namun jika dikaji lebih mendalam lagi ternyata tidak selalu merujuk kepada
kemandirian. Konsep yang seringkali digunakan atau yang berdekatan dengan
kemandirian adalah yang sering disebut dengan istilah “autonomy”.
Upaya mendefinisikan kemandirian dan proses perkembangannya, ada
berbagai sudut pandang yang sejauh perkembangannya dalam kurun waktu
sedemikian lamanya telah dikembangkan oleh para ahli. Emil Durkheim,
misalnya, melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang
yang berpusat pada masyarakat.
Pandang ini dikenal juga dengan pandangan konformistik. Dengan
menggunakan sudut pandang ini, Durkheim berpendirian bahwa kemandirian itu
merupakan elemen esensial ketiga dari moralitas yang bersumber pada kehidupan
masyarakat. Durkheim berpendapat bahwa kemandirian itu tumbuh dan
berkembang karena adanya dua faktor yang merupakan elemen prasyarat bagi
kemandirian, yaitu:
1. Adanya disiplin yaitu adanya aturan bertindak dan otoritas
2. Adanya komitmen terhadap kelompok
Dalam pandangan konformistik, kemandirian merupakan konformitas
terhadap prinsip moral kelompok rujukan. Oleh sebab itu, individu yang memiliki
kemandirian pengambilan keputusan pribadinya dilandasi oleh pemahaman
mendalam akan konsekuensi dari tindakannya dan disertai dengan keberanian diri
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
4
5. menrima segala konsekuensi dari tindakannya itu. Dengan demikian, dalam
pandangan konformistik ini pemahaman mendalam tentang hukum moralitas
menjadi faktor utama pendukung perkembangan kemandirian. Bahkan, menurut
Sunaryo Kartadinata (1988), faktor pemahaman inilah yang membedakan
kemandirian (self-determinism) dari kepatuhan (sumbission) karena dengan
pemahaman inilah individu akan terhindar dari konformitas pasif.
Pada pembahasan terdahulu telah dikatakan bahwa proses perkembangan
manusia dipandang sebagai “proses interaksional dinamis”. Interaksional
mengandung makna bahwa kemandirian berkembang melalui proses keragaman
manusia dalam kesamaan dan kebersamaan; bukan dan kevakuman. Dalam
konteks kesamaan dan kebersamaan ini, Abrahaman H. Maslow (1971)
membedakan kemandirian menjadi dua, yaitu:
1. Kemandirian aman (secure autonomy)
2. Kemandirian tak aman (insecure autonomy)
Kemandirian aman adalah kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih pada
dunia, kehidupan, orang lain, sadar akan tanggungjawab bersama, dan tumbuh
rasa percaya terhadap kehidupan. Kekuatan ini digunakan untuk mencintai
kehidupan dan membantu orang lain. Sedangkan kemandirian tak aman adalah
kekuatan kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku menentang dunia. Maslow
menyebut kondisi seperti ini sebagai “self autonomy” atau kemandirian
mementingkan diri sendiri.
Masih dalam konteks kemandirian ini, Maslow (1971) mengajukan suatu
konsep yang disebut “self-transcendence” yang merujuk kepada konsep
perkembangan. Dikatakannya bahwa “self-transcendence” itu bukanlah “selfobliteration” atau peleburan diri melainkan suatu proses perkembangan kekuatan
kemandirian dan pencapaian identitas diri. Melalui konsep transendensi ini juga
ditegaskan bahwa antara “autonomy” dengan “homonomy” merupakan dua hal
yang berhubungan dan tumbuh serta berkembang bersamaan. Ini mengandung
makna bahwa kemandirian sesungguhnya mengandung aspek keterkaitan, yakni
pengakuan dan kesadaran akan ketergantungan dalam berbagai faset kehidupan.
Dalam kaitannya dengan kesadaran akan ketergantungan ini, Stephen R. Covey
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
5
6. (1989) melalui bukunya yang meraih Bestseller yang berjudul “The Seven Habits
of Highly Effective People” memperkenalkan bahwa dalam paradigma
manajemen modern dan kehidupan modern justru yang paling tinggi adalah
interdependensi. Tahapannya adalah paling rendah ketergantungan (dependence),
di pertengahan adalah kemandirian (independence), dan paling tinggi adalah
saling ketergantungan (interdependence). Kata saling-ketergantungan atau
“interdependence” mengandung makna yang luas; bukan hanya salingketergantungan antar manusia saja melainkan juga saling-ketergantungan antar
berbagai motif dan nilai yang melandasai perilaku yang muncul dalam interaksi
antar manusia tersebut. Dengan demikian, keputusan dan tindakan tidak sematamata didasarkan atas kebutuhan dalam dimensi ruang dan waktu, tetapi juga
dimensi nilai.
Perkembangan kemandirian adalah proses yang menyangkut unsur-unsur
normatif. Ini mengandung makna bahwa kemandirian merupakan suatu proses
yang terarah. Karena perkembangan kemandirian sejalan dengan hakikat
eksistensial manusia, maka arah perkembangan tersebut harus sejalan dengan dan
berlandaskan pada tujuan hidup manusia.
Pada pembahasan terdahulu juga dikatakan bahwa “ego” juga merupakan
inti perkembangan kemandirian. Konsep ini mengandung makna perkembangan
manusia mengarah kepada penemuan makna diri dan dunianya. Cara individu
memberikan makna terhadap diri dan dunianya sangat bervariasi tergantung pada
persepsi individu itu terhadap diri dan dunianya. Konsep ini menyiratkan bahwa
kegiatan memberikan makna itu merupakan suatu proses selektif. Oleh karena itu,
bangun kehidupan yang terbentuk dalam setiap diri individu menjadi berbedabeda. Dalam konsep transendensi lingkungan yang dikemukakan Maslow
dikatakan bahwa individu dengan lingkungan tidak lagi bersifat interaksi antara
subjek dengan objek melainkan hubungan antar-subjektivitas (intersubjectivity
relationship) atau dapat dikatakan sebagai proses dialog dalam diri.
Jika dikatakan bahwa proses memaknai diri dan dunianya itu bersifat
selektif, maka sifat selektif itu menunjukkan bahwa apa yang dipersepsi dan
dimaknai oleh manusia itu ditentukan melalui proses memilih. Proses memilih itu
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
6
7. tidak terlepas dari proses kognitif dalam menimbang berbagai alternatif yang
selalu terkait dengan sistem inilai; bukan proses yang bersifat reaktif atau impilsif.
Mekanisme proses kognitif dan penyesuaian kehendak terhadap berbagai dimensi
kehidupan akan mewarnai cara individu memaknai dunianya.
Meskipun dalam proses peragaman manusia sudah memiliki kemampuan
instrumental, tetapi belum sampai kepada kemandirian karena pemunculannya
baru pada aspek-aspek kehidupan tertentu. Proses peragaman ini sesungguhnya
baru sampai pada suatu titik antara yang disebut dengan “having process” (proses
pemilikan) pengetahuan, keterampilan, teknologi. Padahal, suatu titik dimensi
kehidupan yang lebih penting dan harus dicapai oleh manusia dalam proses
perkembangannya adalah yang disebut dengan “being process” (proses menjadi).
Dalam konteks ini, Stephen R. Covey (1989) menegaskan bahwa perkembangan
kehidupan manusia harus mengarah dan sampai pada manusia sebagai “being at
cause” (menempatkan manusia pada posisi yang menentukan), berparadigma
“inside out” (berusaha mengubah dari dalam keluar), memusatkan pada “circle of
influence” (mengarahkan waktu dan energinya terhadap hal-hal di luar diri yang
dapat dikendalikannya), dan berpikir “to be” (berusaha untuk menjadi) dan bukan
mengarah kepada “to have” (berusaha untuk memiliki). Proses perkembangan
secara kontinyu sampai pada titik ini yang oleh Fuad Hassan (1986) disebut
sebagai upaya memantapkan jati diri.
Proses peragaman ini bahkan harus berkembang terus sampai pada suatu
tingkat yang disebut dengan tingkat integrasi atau tingkat mendunia. Pada tingkat
ini perkembangan individu sudah sampai pada tingkat mendekatkan diri pada
dunia yang dihadapi dan dihidupinya; bukan mengasingkan diri dari dunianya
sehingga menimbulkan kemandirian tak aman. Interaksi dan dinamika
perkembangan kemandirian manusia menuju tahapan integrasi ini dapat
digambarkan dengan lima karakteristik inheren dan esensial yang saling
berinteraksi dalam kehidupan, yaitu:
1. Kedirian
Kedirian ini menunjukkan pengukuhan bahwa dirinya berada dari orang
lain.
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
7
8. 2. Komunikasi
Kedirian manusia itu tidak pernah berlangsung dalam kemandirian
melainkan dalam komunikasinya dengan lingkungan fisik, lingkungan sosial, diri
sendiri, maupun Tuhan.
3. Keterarahan
Komunikasi manusia dengan berbagai pihak itu menunjukkan adanya
keterarahan dalam diri manusia yang menyatakan bahwa hidupnya bertujuan.
4. Dinamika
Proses perwujudan dan pencapaian tujuan manusia memerlukan adanya
dinamika yang menyatakan bahwa manusia memiliki pikiran, kemampuan dan
kemauan sendiri untuk berbuat dan berkreasi, dan tidak menjadi objek yang
dipolakan atau digerakkan oleh orang lain.
5. Sistem nilai
Keempat karakteristik di atas muncul secara terintegrasi dalam
keterpautannya dengan sistem nilai sebagai elemen inti dari cara dan tujuan hidup.
Pembahasan kemandirian ditinjau dari berbagai perspektif di atas
mengantarkan pada suatu intisari bahwa kemandirian merupakan suatu kekuatan
internal individu yang diperoleh melalui proses individuasi. Proses individuasi itu
adalah proses realisasi kedirian dan proses menuju kesempurnaan. “Diri” adalah
inti dari kepribadian dan merupakan titik pusat yang menyelaraskan dan
mengkoordinasikan seluruh aspek kepribadian. Kemandirian yang terintegrasi dan
sehat dapat dicapai melalui proses peragaman, perkembangan, dan ekspresi sistem
kepribadian sampai pada tingkatan yang tertinggi.
C. Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian
Lovinger mengemukakan tingkatan kemandirian beserta ciri-cirinya
sebagai berikut:
1. Tingkatan pertama, adalah tingkatan impulsif dan melindungi diri
Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari
interaksinya dengan orang lain.
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
8
9. b. Mengikuti aturan secara oportunistik dan hedonistik.
c. Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu (stereotype).
d. Cenderung melihat kehidupan sebagai “zero-sum game”.
e. Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.
2. Tingkatan kedua, adalah tingkatan konformistik
Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial.
b. Cenderung berpikir stereotype dan klise.
c. Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal.
d. Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian.
e. Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya introspeksi.
f. Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal.
g. Takut tidak diterima kelompok.
h. Tidak sensitif terhadap keindividualan.
i. Merasa berdosa jika melanggar aturan.
3. Tingkatan ketiga, adalah tingkat sadar diri
Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Mampu berpikir alternatif.
b. Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi.
c. Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada.
d. Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah.
e. Memikirkan cara hidup.
f. Penyesuaian terhadap situasi dan peranan.
4. Tingkatan keempat, adalah tingkat saksama (conscientious)
Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Bertindak atas dasar nilai-nilai internal.
b. Mampu melihat dari sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan.
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
9
10. c. Mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri sendiri
maupun orang lain.
d. Sadar akan tanggungjawab.
e. Mampu melakukan kritik dan penilaian diri.
f. Peduli akan hubungan mutualistik
g. Memiliki tujuan jangka panjang.
h. Cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial.
i. Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis.
5. Tingkatan kelima, adalah tingkat individualistik
Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Peningkatan kesadaran individualitas.
b. Kesadaran
akan
konflik
emosional
antara
kemandirian
dengan
ketergantungan.
c. Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiiri dan orang lain.
d. Mengenal eksistensi perbedaan individual.
e. Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan.
f. Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya.
g. Mengenal kompleksitas diri.
h. Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
6. Tingkatan keenam, adalah tingkat mandiri
Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan
b. Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri maupun
orang lain.
c. Peduli terhadap faham-faham abstrak, seperti keadilan sosial.
d. Toleran terhadap ambiguitas.
e. Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment).
f. Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal.
g. Respek terhadap kemandirian orang lain.
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
10
11. h. Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain.
i. Mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan
keceriaan.
Dengan menggunakan perspektif tingkatan-tingkatan kemandirian di atas,
maka berdasarkan penelitian mendalam yang dilakukan oleh Sunaryo Kartadinata
(1988) menunjukkan bahwa tingkat kemandirian remaja pada umumnya bervariasi
dan menyebar pada tingkatan sadar diri, saksama, individualistik, dan mandiri.
Kecenderungan bervariasi ini mengisyaratkan bahwa proses pengambilan
keputusan oleh remaja belum sepenuhnya dilakukan secara mandiri. Walaupun
proses pengambilan keputusan oleh remaja belum sepenuhnya dilakukan secara
mandiri, tetapi tampak bahwa proses tersebut telah didasari oleh kecenderungan
berpikir alternatif. Dalam posisi seperti ini, proses penyesuaian diri terhadap
situasi dan peranan yang dihadapi tidak dilakukan secara mekanis belaka karena
dalam diri remaja telah tumbuh dan berkembang tentang hubungan dirinya dengan
kelompok.
Remaja ada juga yang kemandiriannya berada pada tingkat saksama.
Kemandirian seperti ini menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan yang
dilakukan bukan saja didasarkan pada kemampuan berpikir alternatif melainkan
didasarkan pada patokan atau prinsip sendiri dan disertai kesadaran akan
tanggungjawab atas keputusan yang diambil meskipun keputusan yang dilakukan
berada dengan yang dilakukan oleh orang lain. Pengambilan keputusan secara
saksama itu akan mengantarkan remaja ke tingkat berikutnya yakni tingkat
individualistik yang ditandai oleh sikap penghargaan terhadap individualitas orang
lain. Remaja yang kemandiriannya berada pada tingkat individualistik ini sudah
semakin menyadari akan adanya perbedaan antara proses dan hasil.
Bagi remaja yang kemandiriannya berada pada tingkat mandiri berarti
telah berkembang kesadaran bahwa sikap bergantung itu adalah masalah
emosional yang akan semakin berkembang dalam dirinya karena memahami
bahwa dirinya tidak mampu bersikap realistik. Remaja yang kemandiriannya
berada pada tingkat mandiri bukan saja sadar akan berbagai alternatif yang dapat
dipilih secara saksama dan dialami sendiri, tetapi juga mampui bersikap realistik
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
11
12. dan memecahkan konflik internal secara obejektif dengan tetap saling
ketergantungan dengan orang lain.
Jika temuan penelitian pada umumnya menunjukkan bahwa tingkatan
kemandirian remaja menyebar pada tingkatan sadar diri, saksama, individualistik,
dan mandiri, maka semua ini dapat ditafsirkan secara rinci masing-masing
tingkatan sebagai berikut.
1. Tingkat sadar diri
Ini dsapat ditafsirkan bahwa remaja telah memiliki kemampuan berikut
ini:
a. Cenderung mampu berpikir alternatif.
b. Melihat berbagai kemungkinan dalam suatu situasi.
c. Peduli akan pengambilan manfaat dari situasi yang ada.
d. Berorientasi pada pemecahan masalah.
e. Memikirkan cara mengarungi hidup.
f. Berupaya menyesuaikan diri terhadap situasi dan peranan.
2. Tingkat Saksama
Ini dapat ditafsirkan bahwa remaja telah memiliki kemampuan berikut ini:
a. Cenderung bertindak atas dasar nilai internal.
b. Melihat dirinya sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan.
c. Melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri sendiri maupun orang
lain
d. Sadar akan tanggungjawab.
e. Mampu melakukan kritik dan penilaian diri.
f. Peduli akan hubungan mutualistik.
g. Berorientasi pada tujuan jangka panjang.
3. Tingkat individualistik
Ini dapat ditafsirkan bahwa remaja telah memiliki kemampuan berikut ini;
a. Memiliki kesadaran yang lebih tinggi akan individualitas.
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
12
13. b. Kesadaran
akan
konflik
emosionalitas
antara
kemandirian
dan
ketergantungan.
c. Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain.
d. Sadar akan eksistensi perbedaan individual.
e. Bersikap toleran terhadap perkembangan dalam kehidupan.
f. Mampu membedakan kehidupan dalam dirinya dengan kehidupan luar
dirinya.
4. Tingkat mandiri
Ini dapat ditafsirkan bahwa remaja telah memiliki kemampuan berikut ini:
a. Telah memiliki pandangan hidup sesuai suatu keseluruhan
b. Bersikap objektif dan realistis terhadap diri sendiri maupun orang lain.
c. Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan
d. Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik dalam diri.
e. Menghargai kemandirian orang lain
f. Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain.
g. Mampu mengekspresikan perasaannya dengan penuh keyakinan dan
keceriaan.
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kemandirian Subjek
Didik
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian,
yaitu:
1. Gen atau keturunan orang tua. Orang tua yang memiliki sifat kemandirian
tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga.
Namun, faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena ada yang
berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orang tuanya
itu menurun kepada anaknya melainkan sifat orang tuanya itu muncul
dalam cara-cara orang tua mendidik amaknya.
2. Pola asuh orang tua. Cara-cara orang tua mengasuh atau mendidik anak
akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remajanya. Orang
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
13
14. tua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata “jangan” kepada
anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat
perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang menciptakan
suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong
kelancaran perkembangan anak. Demikian juga, orang tua yang cenderung
sering membanding-bandingkan anak yang satu dengan lainnya juga akan
berpengaruh kurang baik terhadap perkembangan kemandirian anaknya.
3. Sistem pendidikan di sekolah. Proses pendidikan di sekolah yang tidak
mengembangkan demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan
indoktrinasi
tanpa
argumentasi
akan
menghambat
perkembangan
kemandirian remaja. Demikian juga, proses pendidikan yang banyak
menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman (punishment)i
juga dapat menghambat perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya,
proses pendidikan yang lebih menekankan pentingnya penghargaan
terhadap potensi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi
positif akan memperlancar perkembangan kemandirian remaja.
4. Sistem kehidupan di masyarakat. Sistem kehidupan masyarakat yang
terlalu menekankan pentingnya hirarkhi struktur sosial, kurang terasa
aman atau bahkan mencekam, dan kurang menghargai manisfestasi
potensi remaja dalam kegiatan-kegiatan produktif dapat menghambat
kelancaran perkembangan kemandirian ramaja. Sebaliknya, lingkungan
masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk
berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hirarkhis akan merangsang dan
mendorong bagi perkembangan kemandirian ramaja.
E.
Proses Pembelajaran untuk Membantu Perkembangan Kemandirian
Subjek Didik
Sejumlah intervensi dapat dilakukan sebagai ikhtiar pengembangan
kemandirian remaja, antara lain sebagai berikut:
1. Penciptaan partisipasi dan keterlibatan remaja dalam keluarga. Ini dapat
diwujudkan dalam bentuk:
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
14
15. a. Saling menghargai antaranggota keluarga
b. Keterlibatan dalam memecahkan masalah remaja atau keluarga
2. Penciptaan keterbukaan. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Toleransi terhadap perbedaan pendapat
b. Memberikan alasan terhadap keputusan yang diambil bagi remaja
c. Keterbukaan terhadap minat remaja
d. Mengembangkan komitmen terhadap tugas remaja
e. Kehadiran dan keakraban hubungan dengan remaja
3. Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan. Ini dapat
diwujudkan dalam bentuk:
a. Mendorong rasa ingin tahu remaja
b. Adanya jaminan rasa aman dan kebebasan untuk mengeksplorasi
lingkungan
c. Adanya aturan, tetapi tidak cenderung mengancam bila ditaati
4. Penerimaan positif tanpa syarat. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Menerima apapun kelebihan maupun kekurangan yang ada pada diri
remaja
b. Tidak membeda-bedakan remaja satu dengan yang lain
c. Menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk kegiatan produktif
apapun meskipun sebenarnya hasilnya kurang memuaskan
5. Empati terhadap remaja. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Memahmai dan menghayati pikiran dan perasaan remaja
b. Melihat berbagai persoalan remaja dengan menggunakan perspektif
atau sudut pandang remaja
c. Tidak mudah mencela karya remaja betapapun kurang bagusnya karya
itu
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
15
16. 6. Penciptaan kehangatan hubungan dengan remaja. Ini dapat diwujudkan
dalam bentuk:
a. Interaksi secara akrab tetapi tetap saling menghargai
b. Menambah frekuensi interaksi dan tidak bersikap dingin terhadap
remaja
c. Membangun suasana humor dan komunikasi ringan dengan remaja
Perkembangan Kemandirian dan Proses Pembelajaran
16