SlideShare a Scribd company logo
1 of 21
1
STUDY AGAMA ISLAM DALAM PENDEKATAN SEJARAH,
ETNOTOLOGI DAN AUTROPOLOGI.
Disusun oleh Kelompok II:
DARMANSYAH
AYU FITRIANI
ATAILLAH
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH
BANDA ACEH
2
STUDY AGAMA ISLAM DALAM PENDEKATAN SEJARAH,
ETNOTOLOGI DAN AUTROPOLOGI.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Antropologi mempelajari manusia dan segala aspeknya. Antropologi berperan
memecahkan masalah manusia yang berkaitan dengan pembangunan. Antropologi dapat
menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk membuat kebijakan pada suatu permasalahan
pada pembangunan Indonesia dan ikut serta dalam perencanaan program pemerintah.
Dalam buku Antropological Praxis: Translating Knowledge Into Action, Robert M. Wulff
and Sherly J. Fiske yang diterbitkan pada tahun 1991 menyebutkan antropologi harus bekerja
dalam seluruh tahap proyek pembangunan. Ada tahap yang harus dilakukan (Marzali:
2005). Meneliti, cari dan menentukan kebutuhan masyarakat. Memformulasikan kebijakan
dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Merencanakan dan
melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.[1]
Antropologi mempelajari kultur dalam masyarakat. Kultur diwujudkan dengan
ideational dan behavioral. Ideational membentuk perilaku yang khas dalam masyarakat dan
behavioral melihat bagaimana tingkah laku yang berjalan dalam masyarakat. Kultur
membentuk masyarakat dalam bertindak dan mempengaruhi bagaimana masyarakat ikut serta
dalam pembanguan. Koentjaraningrat pernah mengatakan istilah kebudayaan, sistem nilai
budaya dan sikap mental adalah termasuk ke dalam konsep kultur, menurut aliran cultural
developmentalism (2005:19). Penguasaan akan konsep kultur sesuatu yang mendasar
keperluannya bagi antropologi. Antropolog mengenalkan keadaan dunia luar tanpa
meninggalkan kultur yang ada dalam masyarakat dan mengatasi hambatan berupa adat
istiadat dan sikap mental yang kolot, pranata-pranata sosial dan unsur-unsur kebudayaan
tradisional, harus digeser disesuaikan dengan kultur kemajuan demi keperluan hidup masa
kini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan, maka perumusan masalah
yang dapat disusun adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana paradigma ilmu antropologi?
2. Apakah objek kajian dalam antropologi?
3. Bagaimana teori-teori dalam antropologi pembangunan?
4. Bagaimana aplikasi pembangunan di Indonesia?
5. Bagaimana situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia?
6. Apakah tantangan antropologi pembangunan di Indonesia?
7. Bagaimana konsep kultur dalam antropologi?
C. Tujuan Penulisan
3
Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan penulis menulis mekalah ini adalah
sebagai berikut.
1. Mengetahui paradigma ilmu antropologi.
2. Mengetahui objek kajian dalam antropologi.
3. Mengetahui bagaimana teori-teori dalam antropologi pembangunan.
4. Mengetahui bagaimana aplikasi pembangunan di Indonesia.
5. Mengetahui bagaimana situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia.
6. Mengetahui tantangan antropologi pembangunan di Indonesia.
7. Mengetahui bagaimana konsep kultur dalam antropologi.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pendekatan
Dalam KBBI pendekatan adalah “1.) proses perbuatan, cara mendekati; 2.) usaha dalam
rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti; metode-
metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian.”1 Secara terminology,
pendekatan merupakan serangkaian pendapat tentang hakikat belajar dan pengajaran. Jika
dihubungkan dengan studi Islam, pendekatan berarti serangkaian pendapat atau asumsi
tentang hakikat studi Islam dan pengajaran agama islam.
Pendekatan tidak terpisah dari tujuan, metode, dan teknik. Pendekatan memiliki peranan yang
sangat penting dalam studi Islam karena terkait dengan pemahaman akan Islam itu sendiri.
Pendekatan ada beberapa macam. Namun pada makalah ini hanya akan dipaparkan
pendekatan secara filosofis, histories, semiotika, dan fenomologis.
B. Macam-Macam Pendekatan
1) Pendekatan Filosofis
Berdasarkan pendekatan filosofis, pendidikan islam diartikan sebagai studi proses tentang
kependidikan yang didasari dengan nilai- nilai ajaran islam yang bersumber Al-qur'an dan
As-sunnah.
Pendekatan filosofis ini memandang bahwa manusia adalah makhluk rasional atau “homo
rational” sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengembangannya didasarkan kepada
sejauh mana pengembangan berfikir dapat dikembangkan.
Dalam proses belajar mengajar,pendekatan filosofis dapat diaplikasikan ketika guru
mengajar. Contohnya:pada pelajaran mengenai proses terjadinya penciptaan alam dan proses
penciptaan manusia. Hal ini terus berlangsung sampai batas maksimal pemikiran manusia
(hingga pada zat yang tidak dapat dijangkau oleh pemikiran,yaitu allah).
Dalam hal ini Al-qur'an memberikan motivasi kepada manusia untuk selalu menggunakan
pikirannya secara tepat guna untuk menemukan hakikatnya selaku hamba Allah, selaku
makhluk sosial dan selaku khalifah di bumi.
Pendekatan filosofis, al-qur'an memberikan konsep secara konkrit dan mendalam. Terbukti
dengan adanya penghargaan Allah kepada manusia yang selalu menggunakan pemikiran.
Ungkapan penghargaan tersebut. Terulang sebanyak 780 kali salah satu di antaranya ayat:
Artinya:
Allah SWT memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya .Dan barang siapa yang
4
diberi hikmah,sungguh telah diberi kebijakan yang banyak. Dan tak ada yang dapat
mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.2 (Q.S.Al-Baqarah:2:269).
Tujuan pendekatan ini dimaksudkan agar manusia dapat menggunakan pemikiran seluas-
luasnya sampai titik maksimal dari daya tangkapnya. Sehingga manusia terlatih untuk terus
berfikr dengan menggunaka kemampuan berfikirnya.
2) Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang dan perilaku dari proses tersebut.
Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi,
dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.3
Pendekatan sejarah juga dipakai untuk meneliti dan menjelaskan hal-hal yang berhubungan
dengan mitos dan kepercayaan agama-agama besar, seperti mitos atau cerita tentang Budha,
Yesus, Musa dianalisa dengan memperhatikan muatan sejarahnya. Diasumsikan bahwa
sebagai mitos untuk menunjuk pada peristiwa-peristiwa atau pribadi-pribadi dalam sejarah
yang benar-benar eksis, sebab tanpa terdapat beberapa basis dalam sejarah, maka cerita-cerita
itu tidak lain hanya akan bersifat fiksi atau khayal belaka.
Problem dasar dalam pedekatan sejarah adalah bahwa suatu penjelasan tentang sebuah agama
yang hidup tidak akan pernah sempurna atau berakhir. Selalu ada hari esok yang bisa
membawa perubahan dan usaha menunjukkan kembali agama keaslinya akan selalu bersifat
rabaan.4
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealisme alam yang yang
bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan
atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris
dan historis.
Melalui pendekatan sejarah di temukan informasi tentang pendidikan islam yaitu terdapat
sejumlah lembaga pendidikan islam yang pernah memainkan peranan dan sumbangan bagi
pengembangan ajaran islam dan pemberdayaan umat. Sejumlah lembaga pendidikan tersebut
antara lain rumah, seperti suffah,kuttab, masjid dan lain sebagainya.
Munculnya berbagai tempat tersebut memperlihatkan hal-hal seberikut:5
1.Sejak kedatangan islam, umat islam tergerak hati, pikiran, dan perasaannya untuk
memberikan perhatian yang besar terhadap penyelengaraan pendidikan.
2.Model lembaga pendidikan islam yang diadakan oleh umat islam adalah model lembaga
pendidikan informal, nonformal dan formal.
3.Lembaga pendidikan yang di bagun umat islam bersifat dinamis, kreatif, inovatif, fleksibel
dan terbuka untuk dilakukan perubahan dari waktu ke waktu.
4.Adanya lembaga-lembaga pendidikan tersebut menunjukkan adanya pendidikan yang
berbasis masyarakat, gerakan wajib belajar dan pendidikan gratis.
5.Diketahui bahwa di kalangan umat islam telah terdapat sejumlah ulama’ yang memiliki
perhatian untuk berkiprah dalam bidang pendidikan.
6.Diketahui tentang kehidupan para guru dan pelajar.
7.Diketahui tentang adanya sistem pengaturan atau menejemen pendidikan, mulai dari yang
amat sederhana seperti di masjid-masjid sampai kepada yang besar dan canggih seperti yang
diselenggarakanpada madrasah-madrasah. Menejemen pendidikan yang diterapkan pada saat
ini dapat dikategorikan masih sederhana karena masih dalam taraf pertumbuhan dan
5
perkembangan.
8.Diketahui tentang adanya pendanaan biaya pendidikan, selain bersumber dari pemerintah ,
wakaf, infak, sedekah dari orang dermawan dan lain sebagainya.
9.Diketahui adanya sumbangan yang diberikan dunia pendidikan dan pengajaran, baik yang
bersifat informal, nonformal maupun formal dalam rangka menghasilkan para ulama’ yang
berkiprah, tidak hanya dalam pemerintah tetapi juga dimasyarakat pada umumnya sesuai
dengan bidang keahliannya sehingga membawa kemajuan.
10.Diketahui tentang adanya kurikulum yang diterapkan di berbagai lembaga pendidikan
yang disesuaikan dengan visi, misi, tujuan dan ideologi keagamaan yang dimiliki oleh tokoh
pendiri atau masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan.
Model dan strategi ilmu pendidikan islam dengan pendekatan sejarah telah dilakukan baik
oleh sarjana muslim maupun nonmuslim.
Jika dilakukan analisis secara seksama terhadap hasil penelitian ilmu pendidikan islam
dengan pendekatan sejarah dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut:6
1.Permasalahan yang menjadi fokus kajian ternyata vukup variatif. Bertitik tolak pada
pendekatan waktu, pendekatan aspek-aspek pendidikan tertentu, dari segi para tokoh yang
berperan dalam kegiatan pendidikan, dari segi pertumbuhan dan perkembangan.
2.Berkaitan dengan metode yang digunakan. Dilihat dari segi bahan kajiannya ada yang
bersifat riset kepustakaan dan riset lapangan; dari segi tujuan bersifat deskriptif, eskploratif
dan uji teori; dari segi pendekatan analisnya mengunakan pendekatan analis sejarah; dan dari
segi tujuan dan mafaatnya antara lain untuk menambah dan mengembangkan khazanah ilmu
pendidikan islam, untuk selanjutnya digunakan bagi kepentingan peningkatan kualitas
pendidikan islam.
3) Pendekatan Semiotika
Kata semiotika ( semioligi ) berasal dari bahasa Yunani “ semeion” yang berarti tanda. Tanda
ini bersifat universal, misalnya: bahasa, gambar, gerak, isyarat , warna, suara. Semuanya
merujuk sebagai tanda Karena kehadirannya direspon manusia sebagai sarana komunikasi
yang mempunyai arti. Misalnya ada bunyi bel dil luar rumah, itu merupakan tanda yang
berarti ada orang di luar rumah yang mau bertamu. Dalam hal ini, Charles Sanders pierce
menyatakan bahwa manusia hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Artinya, manusia
dalam komuniasi seehari-harinya selalu mempergunakan tanda.7 Sementara Scoles
menegaskan bahwa semiotika merupakan studi mengenai tanda-tanda (the study of signs)
yang merupakan studi atas kode-kode sebagai suatu sistem yang memungkinkan manusia
memandang sebagai tanda atau sesuatu yang bermakna. Pada hakikatnya, semiotika
merupakan studi tentang tanda dengan segala substansinya.
Simbol-simbol keagamaan menunjuk kepada struktur kehidupan mengungkapkan kehidupan
secara lebih mendasar dan misterius dengan membukakan sisi kehidupan yang gaib dan tak
terpahami. Dan pada saat yang sama dimensi sacramental eksistensi manusia di tangkap
dalam sinaran-sinaran simbol-simbol keagamaan, kehidupan manusia mengungkapakan
sisinya yang tersembunyi.
Bagi masyarakat primitife, simbol-simbol selalu bersifat religius karena mengacu kepada
sesuatu yang nyata atau struktur dunia. Karena budaya primitife yang nyata adalah yang
berkekuatan, bermakna dan hidup adalah sejajar dengan yang sakral.
6
4)Pendekatan Fenomenologis
Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Edmund Husserl (1859- 1938) yang
mengembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia.
Berdasarkan prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali pada data bukan
pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Fenomenologi
memperoleh pamor yang sangat luas karena fenomenologi tidak mengajukan suatu sistem
pemikiran yang ekslusif, sebagaimana aliran- aliran filsafat yang pernah berkembang
sebelumnya, yang menjadi isme- isme basar, melainkan cara atau metode saja dalam
mendekati persoalan. Dengan demikian fenomenologi bisa digunakan untuk atau dianut oleh
berbagai bidang ilmu seperti antropologi, sosiologi, psikologi dan studi- studi agama.8
Husserl kemudian mengembangkan fenomenologi menjadi sebuah metode untuk menemukan
hakikat realitas yang akan diperoleh manakala subjek dan kesadaran manusia menemukan
kesadaran yang murni dengan jalan membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran
kehidupan sehari- hari agar sampai pada gambaran- gambaran yang esensial atau intuisi
esensi (intuition esensi). Operasi ini oleh Husserl disebut epoche yaitu menempatkan antara
kurung segala hal yang bukan esensial. Ini bukan berrati bahwa aspek- aspek tertentu dari
suatu benda tidak dihargai atau ditolak, tetapi sedapat mungkin aspek- aspek tersebut tidak
diperhatikan dulu. 9
Sebelumnya kata fenomenologi sudah digunakan oleh Hegel dalam bukunya yang terkenal,
Phanomenologie der Geistes (1807), dimana ia mengadakan pembedaan antara esensi
(hakikat) dan manifestasi (pengungkapannya). Menurut CJ. Bleeker dalam bukunya The
Phenomenological Method, pendekatan fenomenolgi adalah study pendekatan agama dengan
cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang sama antara berbagai macam
agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa- doa, upacara penguburan dan sebagainya.
Yang di coba diperoleh di sini adalah hakikat yang sama dari gejala- gejala yang berbeda.
Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bentuk luar dari ungkapan manusia mempunyai pola
atau konfigurasi kehidupan dalam yang teratur, yang dapat dilukiskan kerangkanya dengan
menggunakan metode fenomenologi. Metode ini mencoba menemukan struktur yang
mendasari fakta sejarah dan memahami maknanya yang lebih dalam, sebagaimana
dimanifestasikan lewat struktur tersebut dengan hukum- hukum dan karakteristik yang
khas.10
Boleh dikata penekanan pendekatan fenomenologis bertolak belakang dengan pendekatan
historis. Jika pendekatan Historis menekankan tentang apa yang sebenarnya terjadi, maka
pendekatan fenomenologis menekankan pada apa yang di anggap subjek telah terjadi,
meskipun bukti empirisnya tidak ada. Misalnya beberapa cerita maulid yang ditulis kaum
muslim mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW lahir, beliau sudah dalam keadaan
dikhitan dan bercelak mata, dan waktu kelahirannya itu dihadiri oleh Maryam (Ibu Isa) dan
Asiyah (isteri Fir’aun) serta para bidadari. Pendekatan historis akan cenderung menolak
riwayat semacam ini karena sulit dibuktikan, tetapi pendekatan fenomenologis menerimanya
sebagai suatu fenomena keagamaan kaum muslim yang menunjukkan pengagungan mereka
terhadap nabi. Selain itu kalau pendekatan historis menekankan hubungan sebab akibat dalam
kerangka kesinambungan dan perubahan, pendekatan fenomenologis lebih melihat pada
kesamaan struktur diantara fenomena keagamaan tanpa keharusan untuk melihat hubungan
7
pengaruh mempengaruhi
Fenomenologi dan sejarah saling melengkapi, fenomenologi tidak dapat bekerja tanpa
etnologi, filologi dan disiplin- displin yang lain. Fenomenologi di sisi lain memberikan
kepada disiplin- displin historis makna religiositas yang tak tertangkap oleh disiplin- disiplin
tersebut. Dengan demikian fenomenologi keagamaan adalah pemahaman keagamaan
(verstandniss) terhadap sejarah; ia adalah sejarah dalam dimensi keagamaannya.
Fenomenologi keagamaan dan sejarah bukanlah dua buah ilmu, melainkan dua aspek yang
saling melengkapi dari satu ilmu agama yang integral dan ilmu agama yang murni memiliki
sifat yang sudah didefinisikan secara mapan sebagai hasil dari objek kajiannya yang unik.
C. Pengertian Antropologi
Antropologi berasal dari bahasa Yunani Anthropos yang berarti manusia
dan Logos yang berarti wacana (dalam pengertian "bernalar", "berakal").[2]
Menurut Achmad Fedyani Saifuddin[3], antropologi bisa saja didudukkan sebagai
salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial Hanya saja, ia sejatinya adalah
suatu perspektif ilmiah. Mengingat sukarnya tercapai kesepakatan di kalangan antropolog
mengenai kualifikasi antropologi –apakah- sebagai suatu ilmu pengetahuan (science) ataukah
bukan.
Para pengkaji memang tampak berbeda pendapat mengenai definisi (pengertian)
antropologi. Misalnya:[4]
1. William A. Havilland : Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun
generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh
pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
2. David Hunter : Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas
tentang umat manusia.
3. Koentjaraningrat : Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya
dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat sertakebudayaan yang dihasilkan.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disusun pengertian sederhana bahwa antropologi
adalah sebuah ilmu (studi) yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia, yang terdiri
dari aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, kebudayaan,
aspek politik, dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan lainnya yang bermanfaat.
Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Secara garis
besar ia –menurut obyek kajiannya- bisa dibagi menjadi dua macam. Yang pertama ialah
antropologi fisik, yang obyek kajiannya berupa manusia sebagai organisme biologis.
Sedangkan kedua ialah antropologi budaya, yang obyek kajiannya terkait manusia sebagai
makhluk sosial-(ber)budaya. Selanjutnya, obyek kajian antropologi budaya terdiri dari tiga
cabang: arkeologi, linguistik dan etnologi.[5]
8
Secara garis besar antropologi –sebagai sebuah ilmu- memiliki cabang-cabang ilmu
yang terdiri dari:[6]
A. Antropologi Fisik
1. Paleoantropologi : ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan
meneliti fosil-fosil.
2. Somatologi : ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri
fisik.
B. Antropologi Sosial-Budaya
1. Prehistori : ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan semua
kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal tulisan.
2. Etnolinguistik Antropologi : ilmu yang mempelajari pelukisan tentang ciri dan tata bahasa
dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
3. Etnologi : ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat
suku bangsa di seluruh dunia.
4. Etnopsikologi : ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada
bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada
konsep psikologi.
D. Perkembangan Kajian Antropologi
Antropologi –sebagai sebuah ilmu- juga mengalami tahapan-tahapan dalam
perkembangannya. Menurut Koentjaraninggrat,[7]antropologi –sebagai sebuah ilmu-
mengalami empat fase (tahapan) dalam perkembangannya. Meliputi:
1. Fase Kesatu : sebelum tahun 1800-an.
Sekitar abad ke-15-16M, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk
menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika,Asia, hingga ke Australia. Dalam
penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak
menjumpai suku-sukuyang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan
mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat
segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri
fisik,kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang
berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau
deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada
permulaan abad ke-19 M perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar
Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk
mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
9
2. Fase Kedua : pertengahan abad 19 M.
Pada fase ini bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-
karangan berdasarkan cara berpikir evolusimasyarakat pada saat itu. Masyarakat dan
kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka
menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsaprimitif yang tertinggal dan
menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya.
Pada fase ini antropologi bertujuan akademis mereka mempelajari masyarakat dan
kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat
sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
3. Fase Ketiga : awal abad ke-20 M
Pada fase ini negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua
lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni
tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-
pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain.
Dalam menghadapinya pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari
kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai
mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari
kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
4. Fase Keempat : setelah tahun 1930-an
Pada fase ini antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku
bangsa asli yang dijajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa
Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa:Perang Dunia II. Perang ini
membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar
negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan,
kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu juga muncullah
semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu
penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak
masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah
mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian
ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga
kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
Menurut David N. Gellner,[8] antropologi bermula pada abad 19 M. Pada abad ini
antropologi dimaknai sebagai penelitian –yang difokuskan- pada kajian asal-usul manusia.
Penelitian antropologi tersebut mencakup pencarian fosil yang masih ada dan mengkaji
keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti
masyarakat manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada masa ini
antropologi dikembangkan dalam paradigma evolusi sebagai ide kunci.
10
Antropologi –masih menurut David N Gellner- juga tertarik untuk mengkaji agama.
Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan di kalangan mereka, misalnya pertanyaan:
Apakah bentuk agama yang paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan
alam? Apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan suatu
bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama primitif
itu sangat digemari pembaca-nya pada abad ke 19 M. Antropologi abad 19 M tampak
menghasilkan setidaknya dua karya besar tentang kajian agama: The Golden Bough (1890)
karya Sir James Frazer dan The Element Forms of Religious Life (1912) karya Emil
Durkheim.
E. Obyek Antropologi
Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Secara garis
besar ia –menurut obyek kajiannya- bisa dibagi menjadi dua macam. Yang pertama ialah
antropologi fisik, yang obyek kajiannya berupa manusia sebagai organisme biologis.
Sedangkan kedua ialah antropologi budaya, yang obyek kajiannya terkait manusia sebagai
makhluk sosial (ber)budaya. Selanjutnya, obyek kajian antropologi budaya terdiri dari tiga
cabang: arkeologi, linguistik dan etnologi.
Meskipun antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul
nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi manusia sebagai organisme
biologis. Tetapiantropologi fisik inilah yang sejatinya menyediakan kerangka yang
diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia.[9]
F. Antropologi Sebagai Suatu Pendekatan Dalam Penelitian Agama
Agama (Islam) merupakan bagian dari kebudayaan. Sehingga ia pun bisa dikaji dengan pendekatan
antropologis.Agama (islam) bisa dikaji dengan pendekatan antropologis karena ia dipandang secara
antropologis sebagaisuatu –produk- budaya atau suatu fenomena –agama- yang memiliki unsurbudaya.
Pendekatan antropologis masih dan sangat dibutuhkan untuk –lebih- memahami makna-makna yang
terkandung dalam ajaran agama. Pendekatan antropologis dalam memahami agama juga dapat diartikan sebagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Pendekatan Antropologis dalam arti ini lebih mengutamakan pengamatan
langsung,bahkan bersifat partisipatif.
Dan salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologimodern adalah Holisme. Yaitu pandangan
bahwa praktik-praktik sosial-budaya dalam masyarakat yang sedang diteliti itu harus dilihat sebagaipraktik-
praktik yang secara esensial saling berkaitan.
Agama (Islam) bisa dikaji dan diteliti tanpa merusak ajaran atau esensiagama itu sendiri dengan
berbagai pendekatan. Termasuk dengan pendekatan antropologis. Melalui pendekatan antropologis,sosok
agama yang berada pada tataran empirik pun akan dapat dilihat hubungan dan keterkaitannya dengan berbagai
pranata sosial-budaya yang ada di masyarakat.
G. Obyek Pendekatan Antropologis Dalam Penelitian Agama
Budaya sebagai produk manusia yang bersosial-budaya pun dipelajari oleh
Antropologi. Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari di
11
sini adalah agama sebagai fenomena budaya, bukannya agama (ajaran) yang datang dari
Tuhan.[10]
Menurut Atho Mudzhar,[11] fenomena agama –yang dapat dikaji- ada lima
kategori. Meliputi:
1. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
2. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama. Yakni sikap, perilaku dan penghayatan
para penganutnya.
3. Ritus, lembaga dan ibadat. Misalnya shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
4. Alat-alat (dan sarana). Misalnya masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
5. Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan. Misalnya
seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima fenomena (obyek) di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologis,
karena kelima fenomena (obyek) tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi
manusia.
H. Paradigma Pendekatan Antropologis
Beberapa paradigma pendekatan antropologis dijelaskan secara singkat oleh Achmad
Fedyani Saifuddin dalam bukunya yang berjudul Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar
Kritis Mengenai Paradigma. Meliputi:[12]
1. Evolusionisme Klasik : paradigma ini berupaya menelusuri perkembangan kebudayaan sejak
yang paling awal, asal usul primitif, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling
kompleks.
2. Difusionisme : paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman di antara bebagai
kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan.
3. Partikularisme : paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data etnografi dan
deskripsi mengenai kebudayaan tertentu.
4. Struktural-Fungsionalisme : paradigma ini berasumsi bahwa komponen-komponen sistem
sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organisme, berfungsi memelihara integritas
dan stabilitas keseluruhan sistem.
5. Antropologi Psikologi : paradigma ini mengekspresikan dirinya ke dalam tiga hal besar :
hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia, hubungan antara kebudayaan dan
individu, dan hubungan antara kebudayaan dan kepribadian khas masyarakat.
6. Strukturalisme : paradigma ini merupakan suatu strategi penelitian untuk mengungkapkan
struktur pikiran manusia –yakni, struktur dari poses pikiran manusia- yang oleh kaum
strukturalis dipandang sama dalam lintas budaya.
12
7. Materalisme Dialektik : paradigma ini berupaya menjelaskan alasan-alasan terjadinya
perubahan dan perkembangan sistem sosial budaya.
8. Kultural Materialisme : paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan
pebedaan sosial budaya.
9. Etno-sains : paradigma ini juga disebut “etnografi baru” atau “etnografi kognitif” . Perspektif
teoritis mendasar dari paradigma tersebut terkandung dalam konsep analisis
kompensional, yang mengemukakan komponen kategori-kategori kebudayaan dapat
dianalisis dalam konteksnya sendiri untuk melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan
lapangan kognisis.
10. Antropologi Simbolik : paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan
pencari makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia –secara
individual dan kelompok-kelompok kebudayan dari manusia- memberikan makna kepada
kehidupannya.
11. Sosiobiologi : paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolusi biologi terhadap
fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak
perilaku kebudayaan.
Menurut David N Gellner,[13] salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi
modern adalah Holisme. Yaitupandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam
konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam
masyarakat yang sedang diteliti. Dalam konsepHolisme, agama –menurut Gellner- tidak bisa
dilihat oleh seorang antropolog sebagai satu sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh
praktik-praktik sosial lainnya. Sebaliknya, agama harus dilihat oleh para antropolog dengan
praktik pertanian, kekeluargaan, politik,magic, dan pengobatan secara bersama-sama.
I. Cara Kerja Pendekatan Antropologis Dalam Penelitian Agama
Menurut Amin Abdullah,[14] cara kerja –yang dalam hal ini bisa kita artikan sebagailangkah dan
tahapan-pendekatan antropologis pada penelitian agama memiliki empat ciri fundamental. Meliputi:
1. Deskriptif : Pendekatan antropologis bermula dan diawali dari kerja lapangan (field work), berhubungan
dengan orang dan –atau- masyarakat (kelompok) setempat yang diamati dalam jangka waktu yang lama. Inilah
yang biasa disebut dengan (thick description).
2. Lokal Praktis : Pendekatan antropologis disertai praktik konkrit dan nyata di lapangan.Yakni, dengan ikut
praktik di dalam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan, semisal kelahiran, perkawinan, kematian dan
pemakaman.
3. Keterkaitan antar domain kehidupan secara lebih utuh (connections across social domains) : Pendekatan
antropologis mencari keterkaitan antara domain-domain kehidupan sosial secara lebih utuh. Yakni, hubungan
antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik. Hal ini dikarenakan hampir tidak ada satu pun
domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri dan terlepas tanpa terkait dengan wilayah domain
kehidupan yang lainnya.
4. Komparatif (Perbandingan) : Pendekatan antropologis –perlu- melakukan perbandingan dengan berbagai tradisi,
sosial, budaya dan agama-agama.
13
J. Contoh Penelitian Agama Dengan Pendekatan Antropologis
Salah satu contoh rancangan penelitian yang akan dikemukakan pada bagian ini
adalah rancangan penelitian bertopik: Runtuhnya Daulah Bani Umawiyah Dan
Bangkitnya Daulah BaniAbbasiyah. Menurut M. Atho Mudzhar,[15] rancangan penelitian
tersebut sebaiknya memperhatikan dan memperjelas –setidaknya- empat hal. Meliputi:
1. Rumusan Masalah : faktor-faktor apa saja yangmenyebabkan jatuhnya Bani Umawiyah
dan bangkitnya Bani Abbasiyah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus
dirumuskan faktor penyebab runtuh atau bangkitnya dinasti, dan aspek –antropologis- apa
saja yang akan dikaji.
2. Arti Penting Penelitian : menjelaskan signifikasi penelitian. Misalnya, menjelaskan maksud
penelitian (sesuatu yang belum pernah diteliti atau dibahas sebelumnya) dan kontribusi apa
yang diperoleh dari hasil penelitian setelah dilakukan nantinya.
3. Metode Penelitian : metode yang akan digunakan untuk menjawab
pertanyaan penelitian. Yakni, dengan merinci hal-hal semisal: bentuk dan sumber
informasi serta cara mendapatkannya, cara memahami dan menganalisa informasi,
dan cara pemaparan informasi.
4. Sumber Literatur : melakukan telaah pustaka dan membuat rangkuman dari teori yang telah
dipaparkan. Setelah itu, seorang peneliti harus mengetahui apa saja yang belum dibicarakan,
dan dari sinilah akan diperoleh kontribusi dari hasil penemuan penelitianyang digunakan.
K. Paradigma Antropologi
Antropologi, khususnya antropologi sosiokultural adalah suatu disiplin ilmu dengan
ciri-ciri dan tradisi yang khas berbeda dari disiplin-disiplin ilmu lain. Antropologi adalah
sebuah science yang berisi pardigma yang khas. Di bawah ini adalah beberapa butir penting
dalam tradisi paradigma ilmu antropologi sosiokultural yang harus diketahui secara
mendalam oleh mahasiswanya.
1. Objek Kajian Ilmu Antropologi
Antropologi sosiokultural secar tradisional berasal dari hasil kajian-kajian terhadap
kelompok-kelompok masyarakat yang berskala kecil, relative terisolasi dan sederhana secara
teknologi, sosial, politik, dan ekonomi. Mereka antara lain adalah kelompok-kelompok orang
aborigin di Australia, suku-suka bangsa di Papua dan Papua Nugini, kelompok-kelompok
Indian di Amerika, Dayak di pedalaman Kalimantan, suku-suku bangsa di Afrika, dan
seterusnya. Hampir seluruh teori, metode, konsep, dan pendekatan antropologi sosiokultural
berasal dari kajian terhadap masyarakat seperti ini. Dulu masyrakat yang seperti ini disebut
dengan istilah masyarakat primitif atau masyarakat savage oleh para penelitinya. sedangkan
penelitiannya yaitu para antropologi, adalah anggota dari masyarakat modern dan beradab
yang berasal dari Eropa dan Amerika. Karena itu, studi tentang masyarakt primitf dan savage
ini mereka sebut sebagai studi tentang “other culture”. Antropologi adalah studi tentang
budaya dari masyarakat lain. Sang peneliti berbeda tataran budayanya dari masyarakat objek
kajiannya.
14
Meskipun pada masa kini kelompok masyarakat yang dulu dianggap primitif
dansavage tersebut sudah hampir punah dari muka bumi karena mereka sudah bersalin rupa
menjadi masyarakat modern tapi tinggalan-tinggalan teori, konsep, metode, dan pendekatan
antropologi hasil dari kajian terhadap kelompok-kelompok ini tetap mendominasi
paradigma antropologi. Sebagai contoh dapat kita ambil teori, konsep dan metode
penelitian the culture of poverty dari Oscar lewis. Ini adalah teori, konsep dan metode
penelitian modern dalam antropologi sosiokultural , berasal dari kajian terhadap kampung-
kampung kumuh di perkotaan Amerika Latin. Konsep baru ini adalah tradisi penelitian
Etnografi tradisional pada masyarakat primitive, savage,sederhana yang berskala kecil,
seperti yang dulu dirintis oleh Malinowski, Margaret Mead, Radcliff-Brown, dan sebagianya
pada awal ke 20.
2. Metodologi
Dalam antropologi sosiokultural, metodologi tidak terlepas dari teori. Secara teoritis
dan metodologis, antropologi dibagi menjadi dua peringkat. Peringkat bawah disebut
Etnografi, sedangkan peringkat atas adalah Etnologi. Pada peringkat bawah melalui hasil
karya etnografi lapangan, seorang ahli antropologi sosiokultural disebut sebagai Etnografer.
Sedangkan pada peringkat selanjutnya melalui karya-karya kompararif dia berupaya
membangun teori-teori, dan dengan demikian dia akan menjadi seorang ahli Etnologi.
Etnografi adalah metode penelitian lapangan yang dilaksanakan secara mendalam melalui
keterlibatan langsung dan peneliti dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian, dengan
mengambil satu kelompok social tertentu sebagai kasus. Secara tradisional, kelompok sosial
tersebut adalah juga dapat disebut sebagai deskripsi mengenai masyarakat dan budaya suatu
suku bangsa tertentu. Jadi Etnografi adalah metode penelitian yang khas antropologi
sekaligus hasil laporan dari penelitian tersebut. Etnografi adalah kerja lapangan sekaligus
buku laporannya.
Karena pada masa lampau suku bangsa selalu diasumsikan bersifat homogeny secara
sosiokultural, maka gambaran sosiokultural sebuah buku bangsa dianggap dapat terwakili
oleh sebuah komunitas yang tipikal dari suku bangsa tersebut. Demikianlah, misalnya
“agama jawa” dianggap oleh Clifford Geertz akan terwakili dengan melakukan penelitian
etnografi terhadap agama dari komunitas “Mojokuto” dekat Kediri. Atau budaya orang
Trobriand, menurut Melinowski cukup akan terwakili dengan meneliti Komunitas Kiriwana
di kepulauan Trobriand, Irian timur. Dengan adanya kebiasaan seperti ini, maka etnografi
sering juga disebut sebagai kajian komunitas. Di Inggris istilah lain untuk antropologi
sosiokultural adalah micro sociology karena antropologi meneliti masyarakat berskala kecil,
atau juga disebutcomparative sociology, Karena pembangunan dan pengujian teori dilakukan
dengan menggunakan pendekatan komparatif.
Bagaimanapun etnografi adalah pekerjaan tingkat awal dari seorang ahli antropologi yang
profesional. Etnografi adalah satu pekerjaan inisiasi bagi seorang yang ingin menjadi ahli
antropologi yang profesional. Seseorang tidak mungkin dapat diakui sebagai seorang ahli
antropologi profesional sebelum dia melakukan etnografi, dan melaporkan hasil penelitannya.
Hasil penelitiannya dinilai kualitasnya oleh para ahli antropologi senior. Setelah itu jika
etnografer ini tetap tinggal menggeluti kegiatan seperti itu tanpa ada usaha untuk meningkat
ke peringkat yang lebih tinggi maka dia tidak akan pernah menjadi seorang ahli etnologi atau
ahli antropologi yang sesungguhnya. Tingkat pekerjaan yang harus dilakukan selanjutnya
15
adalah apa yang disebut sebagai comparative study, basic secra diakronis maupun secara
sinkronis. Dalam fase ini dia tidak lagi wajib ke lapangan, seperti yang dia lakukan dulu
waktu menghasilkan sebuah etnografi. Tapi dia pergi ke perpustakaan.
Setelah memeilih topik tertentu sebagai fokus penelitiannya, ia mulai melakukan pekerjaan
perbandingan. Misalnya, dia memilih topik tentang upacara kematian kemudian ia
membandingkan dengan adat kematian suku lain. Dari hasil perbandingan akan muncul
sebuah generalisasi atau sebuah teori tentang upacara kematian. Ini adalah
perbandingan sinkronis, yaitu membandingkan berbagai upacara kematian pada berbagai
suku bangsa pada masa kini. Ahli antropologi ini juga dapat melakukan perbandingan secra
diakronis misalnya membandingkan sistem pertanian yang dipraktikkan orang di
Mesopotamia 10.000 tahun yang lalu, dan dengan praktik pada masa kini. Hasilnya adalah
sebuah teori tentang perkembangan system pertanian Mesopotamia.
Sehubungan dengan system pertanian ini atau system pencarian hidup secara umumnya,
banyak orang yang tidak menyadari bahwa pada suatu masa dulu seluruh penduduk Jawa
yang modern ini adalah pemburu dan peramu, Setelah itu pada suatu titik masa tertentu
kemampuan cultural orang jawa dapat mengembangkan system pertanian primitive yaitu
system pertanian berladang tebang-bakar seperti yang dipraktikkan kebanyak orang dayak
pada masa kini. Setelah itu, orang jawa khususnya yang bermukim di tepi bengwan solo di
sekeliling gunung sumbing, Merapi dan Merbabu, katanya sekitar 700 masehi mampu
menegembangkan system pertanian sawah bawah. Terakhir, pada masa millennium ketiga
akhir-akhir ini, petani jawa mulai berkembang menjadi petani modern komersil.
L. Teori – Teori Pembangunan
Syarat berikutnya bagi seorang antropolog untuk dapat berkiprah di dalam dunia praktis
adalah pengusaan akan teori–teori pembangunan. Secara umum terdapat beberapa teori
pembangunan yang harus dipelajari oleh ahli–ahli ilmu sosial, termasuk ahli antropologi.
Teori ekonomi pembangunan, atau pertumbuhan ekonomi, meskipun merupakan
perkembangan yang khas dalam ilmu ekonomi, namun karena teori ini mendominasi
kebijakan–kebijakan pembangunan di masyarakat dunia ketiga, maka ahli ilmu–ilmu sosial
lain mau tidak mau harus mempelajarinya, sekurang–kurangnya secara garis besar.
Sementara itu, ahli ilmu–ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan politik, telah mengembangkan
teori pembangunan yang disebut teori modernisasi. Inti dari teori ini adalah usaha
pembangunan institusional (perekayasaan struktur sosial melalui pembentukan institusi–
institusi baru) dan pembangunan mentalitas manusia (perekayasaan kultural). Teori ini bukan
lagi patut dipelajari oleh mereka yang mengaku ahli antropologi, tapi bahkan justru
memerlukan masukan–masukan baru para ahli antropologi dalam proses pengembangannya.
Pada matra internasional berkembang teori dependasi dan pendekatan sistem global.
Matra universal adalah matra yang jarang di masuki oleh antropolog, karena secara
tradisional perhatian antropolog adalah para small scale society. Orang antropologi
cenderung berwawasan suntuk, yaitu think locally, act locally. Mereka yang meneliti tentang
masyarakat Orang Dayak, hanya berpikir dan bergelut di sekitar masalah Orang Dayak saja.
Padahal wawasan yang seperti ini tidak sesuai dengan tradisi awal ilmu antropologi, yang
bertujuan untuk menjawab mengapa kelompok dan masyarakat manusia berbeda di seluruh
dunia. Seharusnya seorang antropolog memegang semboyan act locally, think globally,
16
melalui kajian-kajian kasus pada masyarakat lokal, antropolog harus berpikir secara global
tentang perbedaan dan persamaan masyarakat di seluruh dunia. Berdasarkan atas kenyataan
kurangnya antropolog Indonesia yang berwawasan nasional, wawasan mereka hanya sebatas
masyarakat suku bangsa yang mereka kaji, maka sampai kini kita bisa mengatakan bahwa
yang namanya antropolog Indonesia itu belum ada apalagi ahli antropologi Indonesia yang
berkelas dan berwawasan universal. Mungkin sebagian orang tidak setuju akan pernyataan
ini. Tapi adalah lebih baik kita berlaku rendah hati, dalam rangka mencabuk diri sendii agar
terus mengejar pencapaian yang lebih tinggi.
M. Pembangunan Indonesia
Ini adalah satu lagi hal yang harus diketahui oleh para antropolog. Pembangunan
Indonesia, atau pembangunan masyarakat dan manusia Indonesia sampai kejatuhan
pemerintahan Soeharto 1998, garis besarnya ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) setiap lima tahun dalam apa yang disebut Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN). GBHN ini kemudian diperinci kedalam Rencana Pembangunan Lima Tahun
(REPELITA). Pelaksanaan dari rencana ini terwujud dalam kebijakan, program, dan proyek-
proyek Departemen. Semua kebijakan dan implemensinya ini harus didasarkan kepada
Pancasila dan UUD 1945.
Jadi, dalam pembangunan Indonesia terdapat lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa, UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, GBHN,
PELITA, dan kebijakan-kebijakan Departemen. Tentu saja tidak seluruh hal tersebut perlu
diketahui oleh antropolog yang ingin ikut berkiprah dan pembangunan Indonesia. Dia cukup
mengonsetrasikan dirinya pada suatu bidang atau suatu aspek pembangunan yang
digelutinya. Ambil contoh tentang seorang antropolog yang begelut dalam bidang
pembangunan kehutanan, khususnya pembangunan masyarakat desa hutan. Dia mungkin
perlu mulai belajar dari UUD No. 33 Pasal (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Dasar-Dasar Agraria. Dari sini
kemudian meningkat kepada penguasaan Bidang Kehutanan dalam GBHN. Ini pada tingkat
nasional. Setelah itu dia perlu mempelajari dengan cermat UU pokok kehutanan No. 41
Tahun 1999 (No. 5 Tahun 1967), beserta segala Keutusan Mentri dan Drijen yang relevan.
Barulah setelah itu dia masuk ke dalam aspek khusus, yaitu program dan proyek-proyek yang
berkaitan dengan pembangunan masyarakat desa hutan.
Bagaimanapun, perlu diingatkan bahwa keterlibatan orang terebut dalam bidang di atas
adalah dalam kapasitas sebagai seorang antropolog. Artinya, sebagai seorang antropolog, dia
adalah juga seorang etnografer yang menguasai pengetahuan mengenai budaya dari berbagai
suku bangsa di Indonesia. Sehingga ketika antropolog tersebut diminta untuk menyusun
sebuah program pembangunan masyarakat desa hutan di Kalimantan, misalnya, dia bukan
hanya menguasai dasar-dasar kebijakan pembangunan masyarakat desa hutan, tetapi juga
dianggap menguasai ciri-ciri umum masyarakat dan kultur suku-suku bangsa di Kalimantan.
N. Situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia
Seorang antropolog tidak akan pernah memahami cara menerapkan ilmu antropologi
dalam pembangunan Indonesia, dan tidak akan mengerti peranan yang harus dia maikan
17
sebagai seorang antropolog dalam proyek-proyek pembangunan, kecuali dia menguasai
pengetahuan yang memadai tentang sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu paradigma
ilmu antropologi, teori-teori sosial pembangunan, dan kebijakan dalam program
pembangunan Indonesia. Maka dari itu penulis mencoba menggambarkan situasi dan kondisi
mahasiswa dalam Departemen Antropologi Universitas Indonesia.
Departemen Antropologi UI, sebagai pewaris tradisi ilmu antropologi dari Dunia barat
selama ini berada di bawah bayang-bayang nilai ilmu murni atau ilmu abstrak (pure science).
Pada tahun 1970-an, Prof. Koentjaraningrat membuka mata kuliah baru yaitu “Antropologi
Pembangunan”. Selanjutnya, Departemen Antropologi UI pada tahun 1994 menambahkan
beberapa kurikulum baru untuk memudahkan mahasiswa memahami antropologi
pembangunan yaitu; a) Analisis faktor sosial-Kultural dalam Pembangunan, b) Antropologi
terapan, c) Dampak pembanguna terhadap masyarakat dan budaya daerah, d) Manajemen dan
Kultur, Industrialisasi dan Perubahan Kebudayaan. Permasalahan terbesar dalam Departemen
Antropologi UI adalah kurangnya tenaga pendidik yang tidak terampil dalam ilmu
pendidikan.
O. Sebuah Tantangan Antropologi Pembangunan di Indonesia
Sumbangan antropologi sangat besar dalam pembangunan Indonesia, yaitu aktualisasi
konsep budaya atau (culture). Titik temu dan titik pisah antara Departemen Antropologi
dengan pembangunan Indonesia ketika berbicara tentang budaya adalah dalam pendekatan
UUD 45 dan GBHN yang meliputi sektor-sektor sebagai berikut.
1. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa
2. Nilai Budaya Indonesia
3. Tanggung jawab sosial dan disiplin nasional
4. Pembaruan bangsa
5. Bahasa dan sastra
6. Kesenian
7. Pembukuan dan kepustakaan
8. Warisan budaya dalam bentuk artefak, lokasi, bangunan, dan tulisan kuno.
Dengan uraian diatas, dapat dapat diartikan bahwa kebudayaan menurut pengertian
pemerintah, adalah salah satu sektor kehidupan yang terdiri atas 8 subsektor. Dengan
memajukan 8 hal ihwal kebudayaan diatas, maka pemerintah berharap dapat membangun
kultur bangsa. Secara regional, pemerintah menganggap kebudayaan adalah sebagai tradisi
kebudayaan (cultural heritage) yang menjadi milik suku bangsa di Indonesia.
P. Konsep Kultur dalam Antropologi
Dalam ilmu antropologi masa kini ada dua aliran besar dalam pendefinisian konsep
kultur (culture), yaitu aliran behavorial dan aliran ideational. Aliran behavorial melihat kultur
sebagai a total way of life. Pada masa kini konsep ini masih digunakan para antropolog untuk
menekuni bidang studi evolusi kebudayaan dan ekologi manusia. Sementara
aliranideational melihat kultur sebagai sesuatu yang abstrak, sesuatu yang
bersifat ideational(gagasan, pemikiran) yang membentuk pola perilaku yang khas suatu
kelompok masyarakat. Kultur yang bersifat abstrak tersebut dapat: sistem pengetahuan, the
state of mind, spirit, belief, meaning, ethos, value, the capability of mind, dan sebagainya.
18
Dari sini kita dapat menganalisis perbedaan pemerintah dan antropolog dalam
memandang kultur dan budaya. Di satu pihak kita melihat konsep kebudayaan pemerintah
yang berorientasi kepada program praktisa dan problem oriented., yaitu kepada pembangunan
bangsa, namun definisi dan tolak ukurnya belum jelas. Disisi lain kita melihat definisi kultur
ilmu antropologi yang lebih berorientsi pada pengembangan teori dan aplikasinya terhadap
penelitian etnografi.
Q. Analisis Pembangunan Gedung DPR RI yang Masih Penuh Kontroversi
Kali ini penulis akan mencoba mengangkat studi kasus tentang pembiayaan
pembangunan Gedung Baru DPR RI yang beberapa tahun lalu sempat menjadi kontroversi
dan bahkan sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Seperti yang kita ketahui, gedung
DPR yang berada di Senayan masih berdiri megah dan layak ditempati para wakil rakyat kita.
Kalaupun mereka bosan dengan kondisi gedung DPR yang sekarang, tinggal panggil desainer
interior yang handal untuk merombaknya. Karena itulah, mengapa gedung baru DPR ini
harus didirikan.
DPR RI merencanakan melakukan pembangunan gedung baru dengan anggaran yang
sangat besar yaitu berkisar 1,6 triliun. Gedung DPR RI yang baru ini akan dilengkapi
berbagai fasilitas yang begitu mewah padahal telah kita ketahui kinerja anggota DPR RI
masih belum maksimal sehingga pembangunan gedung ini banyak menuai kontroversi.
Alasan mereka mengusulkan adanya pembangunan gedung baru ini dikarenakan gedung
Nusantara I dirasa sudah tidak muat menampung maupun mengatur jumlah karyawan yang
ada sehingga kurang menunjang kinerja para anggota DPR RI. Pertanyaan pun bermunculan
saat berita pembangunan gedung yang rencanannya memiliki 27 lantai dan luas total 120 ribu
meter persegi ini, salah satunya adalah darimanakah sumber pembiayaan pembangunan
gedung yang mewah ini?.
Total biaya pembangunan gedung DPR RI yang baru ini berkisar Rp1.162.202.186.793
(Rp1,162 triliun). Biaya tersebut belum termasuk anggaran fasilitas pendukung misalnya
Perlengkapan IT, Security System dan Furniture/mebelair. Seperti yang kita ketahui, sumber
pembiayaan pembangunan dibagi menjadi dua, yaitu pembiayaan konvensional dan non-
konvensional. Pada kasus kali ini, sumber pembiayaan pembangunan gedung baru DPR RI
ini berasal dari dana 3 tahun APBN dengan asumsi pada tahun 2010 sebesar Rp.50 milyar,
tahun 2011 sebesar 800 milyar dan 2012 menutupi sisa dari anggaran proyek pembangunan
gedung DPR RI, maka pembiayaan pembangunannya bersifat konvensional. Dimana kucuran
dana konvensional dari APBN tersebut didapatkan dari Pajak, DAU, DAK, dan juga
Retribusi Nasional. Pihak swasata sama sekali tidak bisa berinvestasi dalam proyek ini,
dikarenakan gedung DPR termasuk barang Toll Goods. Artinya adalah, semua orang berhak
masuk ke dalam gedung DPR, tetapi harus sesuai dengan kepentingan. Tetapi kepentingan
disini bukanlah kepentingan dalam mencari keuntungan. Oleh karena itu sumber pembiayaan
yang sesuai dengan status gedung DPR sebagai pelayanan masyarakat adalah pembiayaan
konvensional.
Tetapi, jika melihat nilai proyek yang mencapai triliunan ini, pembiayaan konvensional
melalui APBN dirasa terlalu membebani negara. Tingkat prioritas yang harus dibiayai oleh
APBN harusnya peningkatan kualitas masyarakat terlebih dahulu, misalnya dengan
peningkatan fasilitas pendidikan ataupun fasilitas kesehatan. Jika memang memaksa Gedung
19
DPR baru ini untuk terus dibangun, maka pemerintah harus mengurangi pengeluaran
pembayaran gaji pegawai (Terutama anggota DPR) supaya dana APBN bisa bertambah dan
layak untuk diinvestasikan dalam proyek ini. Selain itu, pemerintah harus mulai berinovasi
dengan bekerjasama dengan pihak swasta dalam pembiayaan pembangunan, misalnya dengan
BOT (Build Operate Transfer), Konsesi, Joint Venture, dan juga Kontrak pelayanan. Adanya
kucuran dana dari investor tersebut juga mempercepat pengembangan proyek. Dengan
demikian, APBN pun tidak terlalu terbebani dengan nilai proyek yang mencapai triliunan.
Biaya pembangunan gedung MPR ini pada akhirnya dapat dialihkan untuk pembangunan
dalam bidang lain yang lebih bermanfaat dan tepat guna.
BAB III
KESIMPULAN
Antropologi mempelajari manusia dan segala aspeknya. Antropologi berperan
memecahkan masalah manusia yang berkaitan dengan pembangunan. Antropologi dapat
menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk membuat kebijakan pada suatu permasalahan
pada pembangunan Indonesia dan ikut serta dalam perencanaan program pemerintah.
Dalam buku Antropological Praxis: Translating Knowledge Into Action, Robert M. Wulff
and Sherly J. Fiske yang diterbitkan pada tahun 1991 menyebutkan antropologi harus bekerja
dalam seluruh tahap proyek pembangunan. Ada tahap yang harus dilakukan (Marzali:
2005). Meneliti, cari dan menentukan kebutuhan masyarakat. Memformulasikan kebijakan
dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Merencanakan dan
melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.
Syarat berikutnya bagi seorang antropolog untuk dapat berkiprah di dalam dunia praktis
adalah pengusaan akan teori–teori pembangunan. Secara umum terdapat beberapa teori
pembangunan yang harus dipelajari oleh ahli–ahli ilmu sosial, termasuk ahli antropologi.
Teori ekonomi pembangunan, atau pertumbuhan ekonomi, meskipun merupakan
perkembangan yang khas dalam ilmu ekonomi, namun karena teori ini mendominasi
kebijakan–kebijakan pembangunan di masyarakat dunia ketiga, maka ahli ilmu–ilmu sosial
lain mau tidak mau harus mempelajarinya, sekurang–kurangnya secara garis besar.
Sementara itu, ahli ilmu–ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan politik, telah mengembangkan
teori pembangunan yang disebut teori modernisasi. Inti dari teori ini adalah usaha
pembangunan institusional (perekayasaan struktur sosial melalui pembentukan institusi–
institusi baru) dan pembangunan mentalitas manusia (perekayasaan kultural). Teori ini bukan
lagi patut dipelajari oleh mereka yang mengaku ahli antropologi, tapi bahkan justru
memerlukan masukan–masukan baru para ahli antropologi dalam proses pengembangannya.
Setelah menguraikan secara singkat pendekatan antropologis di atas, dapat dipahami
bahwa pendekatan antropologis mendekati dan meneliti segala sesuatu yang
berhubungan dengan manusia (masyarakat) sebagai makhluk hidup (organisme
biologis) dan –atau- makhluk sosial-budaya. Dalam lingkup penelitian agama,
pendekatan tersebut bisa terfokus pada para penganut atau pemuka agama, organisasi
keagamaan pemeluk agama, naskah (sumber) dan simbol agama, ritual peribadatan serta alat-
alat dan sarananya.
20
Pendekatan filosofis memandang bahwa manusia adalah makhluk rasional atau “homo
rational” sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengembangannya didasarkan kepada
sejauh mana pengembangan berfikir dapat dikembangkan.
Dalam proses belajar mengajar, pendekatan filosofis dapat diaplikasikan ketika guru
mengajar. Contohnya: pada pelajaran mengenai proses terjadinya penciptaan alam dan proses
penciptaan manusia. Hal ini terus berlangsung sampai batas maksimal pemikiran manusia
(hingga pada zat yang tidak dapat dijangkau oleh pemikiran,yaitu allah).
Problem dasar dalam pendekatan sejarah adalah bahwa suatu penjelasan tentang sebuah
agama yang hidup tidak akan pernah sempurna atau berakhir. Selalu ada hari esok yang bisa
membawa perubahan dan usaha menunjukkan kembali agama keaslinya akan selalu bersifat
rabaan
Semiotika merupakan studi mengenai tanda-tanda (the study of signs) yang merupakan studi
atas kode-kode sebagai suatu sistem yang memungkinkan manusia memandang sebagai tanda
atau sesuatu yang bermakna. Pada hakikatnya, semiotika merupakan studi tentang tanda
dengan segala substansinya.
Simbol-simbol keagamaan menunjuk kepada struktur kehidupan mengungkapkan kehidupan
secara lebih mendasar dan misterius dengan membukakan sisi kehidupan yang gaib dan tak
terpahami. Dan pada saat yang sama dimensi sacramental eksistensi manusia di tangkap
dalam sinaran-sinaran simbol-simbol keagamaan, kehidupan manusia mengungkapakan
sisinya yang tersembunyi.
Pendekatan fenomenologi adalah study pendekatan agama dengan cara memperbandingkan
berbagai macam gejala dari bidang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara
penerimaan penganut, doa- doa, upacara penguburan dan sebagainya. Yang di coba diperoleh
di sisi adalah hakikat yang sama dari gejala- gejala yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Marzali Amir. 2009. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Prenada media.
Abd. Somad, “Pendekatan Antropologi”, dalam M. Amin Abdullah,Metodologi Penelitian
Agama: Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga,
2006.
Achmad Fedyani Saifuddin
, Antropologi Kontemporer : SuatuPengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006.
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta:
Raja Grapindo Persada, 2006.
Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996.
21
David N. Gellner, “Pendekaan Antropologis”, dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi
Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Yogyakarta: PT Rineka Cipta, 1996.
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.
http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-
studi-islam/
http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
[1] Lihat: Daniel L. Pals (ed), Seven Theories ofReligion,New York: Oxford University Press,1996,
hlm. 1.
[2] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
Armai, Arief, 2002, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta:Ciputat Pers
AR Badafal, Fadal 2005, Al-Qur’an dan terjemahnya, Bandung: Sygma.
Connolly (ed), Peter, 2009, Aneka Pendekatan Study Agama, Yogyakarta:LkiS
Davamony,MariaSusai, 2008, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: KANISIUS
Djam’annuri, 2000, Agama kita: Perspektif sejarah agama- agama (sebuah pengantar),
Yogyakarta: Karunia Kalam Semesta
Hakim, Atang Abdul dan Jaih Mubarak.2000. Metodologi Studi Islam,Bandung: Remaja
Rosdakary
Kurniawan, Heru, 2009, Sastra Anak,Yogyakarta:Graha Ilmu
Nata, Abuddin , 2002, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Nata, Abuddin, 2009, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner: Normative,
Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajement, Teknologi, Informasi,
Kebudayaan, Politik, Hukum Jakarta: Rajawali Pers
Permata, Ahmad Norma. 2000. Metodologi Studi Islam. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
http://ceritamahasiswa.multiply.com/journal/item/148/Peran_Ilmu_Antropologi_Dalam_Pembangu
nan?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
http://www.dpr.go.id/id/sosialisasi-gedung/
http://fokus.vivanews.com/news/read/213024-pembangunan-gedung-dpr-digugat

More Related Content

What's hot

ILMU SEJARAH (PENGANTAR ILMU SOSIAL)
ILMU SEJARAH (PENGANTAR ILMU SOSIAL)ILMU SEJARAH (PENGANTAR ILMU SOSIAL)
ILMU SEJARAH (PENGANTAR ILMU SOSIAL)Asri Yunita
 
Ilmu dan kebudayaan
Ilmu dan kebudayaanIlmu dan kebudayaan
Ilmu dan kebudayaanAdy Setiawan
 
Teori Evolusi Dalam Antropoligi
Teori Evolusi Dalam AntropoligiTeori Evolusi Dalam Antropoligi
Teori Evolusi Dalam Antropoligitegarae
 
Ilmu dan kebudayaan
Ilmu dan kebudayaanIlmu dan kebudayaan
Ilmu dan kebudayaanAdy Setiawan
 
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)eka septarianda
 
P aradigma dan teori antropologi
P aradigma dan teori antropologiP aradigma dan teori antropologi
P aradigma dan teori antropologiyoulinda
 
Konsep dan defenisi antropologi
Konsep dan defenisi antropologiKonsep dan defenisi antropologi
Konsep dan defenisi antropologiMuslimin B. Putra
 
Iptek dan kebudayaan bab 19 kelas xi
Iptek dan kebudayaan bab 19 kelas xiIptek dan kebudayaan bab 19 kelas xi
Iptek dan kebudayaan bab 19 kelas xiStella Patasik
 
Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Manusia Sebagai Makhluk BudayaManusia Sebagai Makhluk Budaya
Manusia Sebagai Makhluk BudayaBob Septian
 
Presentasi manusia dan peradaban
Presentasi manusia dan peradabanPresentasi manusia dan peradaban
Presentasi manusia dan peradabanDeni Wahyu
 
Tugas makalah antropologi kebudayaan
Tugas makalah antropologi kebudayaanTugas makalah antropologi kebudayaan
Tugas makalah antropologi kebudayaanarifdefri
 
MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN PERADABAN
MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN PERADABAN MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN PERADABAN
MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN PERADABAN pjj_kemenkes
 
Ppt ilmu dan budaya
Ppt ilmu dan budayaPpt ilmu dan budaya
Ppt ilmu dan budayaNur Asiah
 
Antropologi Budaya
Antropologi BudayaAntropologi Budaya
Antropologi Budayaarifdefri
 
Makalh karakteristik sosionatropologi k
Makalh karakteristik sosionatropologi kMakalh karakteristik sosionatropologi k
Makalh karakteristik sosionatropologi kYadhi Muqsith
 

What's hot (20)

Antropologi Sosial & Budaya
Antropologi Sosial & Budaya Antropologi Sosial & Budaya
Antropologi Sosial & Budaya
 
Hubungan antara ilmu dengan kebudayaan
Hubungan antara ilmu dengan kebudayaanHubungan antara ilmu dengan kebudayaan
Hubungan antara ilmu dengan kebudayaan
 
ILMU SEJARAH (PENGANTAR ILMU SOSIAL)
ILMU SEJARAH (PENGANTAR ILMU SOSIAL)ILMU SEJARAH (PENGANTAR ILMU SOSIAL)
ILMU SEJARAH (PENGANTAR ILMU SOSIAL)
 
Ilmu dan kebudayaan
Ilmu dan kebudayaanIlmu dan kebudayaan
Ilmu dan kebudayaan
 
Teori Evolusi Dalam Antropoligi
Teori Evolusi Dalam AntropoligiTeori Evolusi Dalam Antropoligi
Teori Evolusi Dalam Antropoligi
 
Ilmu dan kebudayaan
Ilmu dan kebudayaanIlmu dan kebudayaan
Ilmu dan kebudayaan
 
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
Power Point Presentasi Antropologi Budaya (Etnik dan Ras)
 
P aradigma dan teori antropologi
P aradigma dan teori antropologiP aradigma dan teori antropologi
P aradigma dan teori antropologi
 
Konsep dan defenisi antropologi
Konsep dan defenisi antropologiKonsep dan defenisi antropologi
Konsep dan defenisi antropologi
 
Iptek dan kebudayaan bab 19 kelas xi
Iptek dan kebudayaan bab 19 kelas xiIptek dan kebudayaan bab 19 kelas xi
Iptek dan kebudayaan bab 19 kelas xi
 
Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Manusia Sebagai Makhluk BudayaManusia Sebagai Makhluk Budaya
Manusia Sebagai Makhluk Budaya
 
Ppt 3 tinjauan antropologi media
Ppt 3 tinjauan antropologi mediaPpt 3 tinjauan antropologi media
Ppt 3 tinjauan antropologi media
 
Presentasi manusia dan peradaban
Presentasi manusia dan peradabanPresentasi manusia dan peradaban
Presentasi manusia dan peradaban
 
Manusia dan peradaban
Manusia dan peradabanManusia dan peradaban
Manusia dan peradaban
 
Iad
IadIad
Iad
 
Tugas makalah antropologi kebudayaan
Tugas makalah antropologi kebudayaanTugas makalah antropologi kebudayaan
Tugas makalah antropologi kebudayaan
 
MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN PERADABAN
MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN PERADABAN MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN PERADABAN
MANUSIA, KEBUDAYAAN DAN PERADABAN
 
Ppt ilmu dan budaya
Ppt ilmu dan budayaPpt ilmu dan budaya
Ppt ilmu dan budaya
 
Antropologi Budaya
Antropologi BudayaAntropologi Budaya
Antropologi Budaya
 
Makalh karakteristik sosionatropologi k
Makalh karakteristik sosionatropologi kMakalh karakteristik sosionatropologi k
Makalh karakteristik sosionatropologi k
 

Similar to M. romli, s.ag, s.hi

islam sebagai objek kajian dan penelitian
islam sebagai objek kajian dan penelitianislam sebagai objek kajian dan penelitian
islam sebagai objek kajian dan penelitianRoisMansur
 
PENELITIAN STUDI ISLAM DI SMK AL-MUNAWWIR.docx
PENELITIAN STUDI ISLAM DI SMK AL-MUNAWWIR.docxPENELITIAN STUDI ISLAM DI SMK AL-MUNAWWIR.docx
PENELITIAN STUDI ISLAM DI SMK AL-MUNAWWIR.docxAvontur
 
Aktualisasi Pancasila Di Kampus
Aktualisasi Pancasila Di KampusAktualisasi Pancasila Di Kampus
Aktualisasi Pancasila Di KampusAbida Muttaqiena
 
Pengertian Tujuan dan Ruang Lingkup filsafat pendidikan Islam
Pengertian Tujuan dan Ruang Lingkup  filsafat pendidikan Islam Pengertian Tujuan dan Ruang Lingkup  filsafat pendidikan Islam
Pengertian Tujuan dan Ruang Lingkup filsafat pendidikan Islam Ikram ishadila (202127050)
 
paper mk filsafat pendidikan kelompok 1.docx
paper mk filsafat pendidikan kelompok 1.docxpaper mk filsafat pendidikan kelompok 1.docx
paper mk filsafat pendidikan kelompok 1.docxALABDALI2
 
paper mk filsafat pendidikan kelompok 1.pdf
paper mk filsafat pendidikan kelompok 1.pdfpaper mk filsafat pendidikan kelompok 1.pdf
paper mk filsafat pendidikan kelompok 1.pdfirnayunita2
 
Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...
Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...
Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...Lovita Ivan Hidayatullah S. Pd.I
 
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikanPengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikanSeptian Muna Barakati
 
Landasan Kependidikan
Landasan KependidikanLandasan Kependidikan
Landasan KependidikanAdy Setiawan
 
Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...
Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...
Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...Ndya2
 
proses sistematika keilmuan dakwah
 proses sistematika keilmuan dakwah proses sistematika keilmuan dakwah
proses sistematika keilmuan dakwahmuhamadnursalim123
 
Falsafah pendidikan amran talib
Falsafah pendidikan   amran talibFalsafah pendidikan   amran talib
Falsafah pendidikan amran talibSha Amran
 
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docxFKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docxEkoSulastri
 
PP3 Landasan dan Asas-asas Pendidikan.pptx
PP3 Landasan dan Asas-asas Pendidikan.pptxPP3 Landasan dan Asas-asas Pendidikan.pptx
PP3 Landasan dan Asas-asas Pendidikan.pptxFirmanRengel
 
SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM.pptx
SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM.pptxSOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM.pptx
SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM.pptxfaqihdownload
 

Similar to M. romli, s.ag, s.hi (20)

Ppt kurikulum
Ppt kurikulumPpt kurikulum
Ppt kurikulum
 
Bai
BaiBai
Bai
 
Bai
BaiBai
Bai
 
islam sebagai objek kajian dan penelitian
islam sebagai objek kajian dan penelitianislam sebagai objek kajian dan penelitian
islam sebagai objek kajian dan penelitian
 
cjr teologi.docx
cjr teologi.docxcjr teologi.docx
cjr teologi.docx
 
PENELITIAN STUDI ISLAM DI SMK AL-MUNAWWIR.docx
PENELITIAN STUDI ISLAM DI SMK AL-MUNAWWIR.docxPENELITIAN STUDI ISLAM DI SMK AL-MUNAWWIR.docx
PENELITIAN STUDI ISLAM DI SMK AL-MUNAWWIR.docx
 
Aktualisasi Pancasila Di Kampus
Aktualisasi Pancasila Di KampusAktualisasi Pancasila Di Kampus
Aktualisasi Pancasila Di Kampus
 
Pengertian Tujuan dan Ruang Lingkup filsafat pendidikan Islam
Pengertian Tujuan dan Ruang Lingkup  filsafat pendidikan Islam Pengertian Tujuan dan Ruang Lingkup  filsafat pendidikan Islam
Pengertian Tujuan dan Ruang Lingkup filsafat pendidikan Islam
 
paper mk filsafat pendidikan kelompok 1.docx
paper mk filsafat pendidikan kelompok 1.docxpaper mk filsafat pendidikan kelompok 1.docx
paper mk filsafat pendidikan kelompok 1.docx
 
paper mk filsafat pendidikan kelompok 1.pdf
paper mk filsafat pendidikan kelompok 1.pdfpaper mk filsafat pendidikan kelompok 1.pdf
paper mk filsafat pendidikan kelompok 1.pdf
 
Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...
Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...
Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...
 
Lanpen 3 fix
Lanpen 3 fixLanpen 3 fix
Lanpen 3 fix
 
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikanPengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
 
Landasan Kependidikan
Landasan KependidikanLandasan Kependidikan
Landasan Kependidikan
 
Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...
Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...
Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...
 
proses sistematika keilmuan dakwah
 proses sistematika keilmuan dakwah proses sistematika keilmuan dakwah
proses sistematika keilmuan dakwah
 
Falsafah pendidikan amran talib
Falsafah pendidikan   amran talibFalsafah pendidikan   amran talib
Falsafah pendidikan amran talib
 
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docxFKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
 
PP3 Landasan dan Asas-asas Pendidikan.pptx
PP3 Landasan dan Asas-asas Pendidikan.pptxPP3 Landasan dan Asas-asas Pendidikan.pptx
PP3 Landasan dan Asas-asas Pendidikan.pptx
 
SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM.pptx
SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM.pptxSOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM.pptx
SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM.pptx
 

M. romli, s.ag, s.hi

  • 1. 1 STUDY AGAMA ISLAM DALAM PENDEKATAN SEJARAH, ETNOTOLOGI DAN AUTROPOLOGI. Disusun oleh Kelompok II: DARMANSYAH AYU FITRIANI ATAILLAH Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH BANDA ACEH
  • 2. 2 STUDY AGAMA ISLAM DALAM PENDEKATAN SEJARAH, ETNOTOLOGI DAN AUTROPOLOGI. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antropologi mempelajari manusia dan segala aspeknya. Antropologi berperan memecahkan masalah manusia yang berkaitan dengan pembangunan. Antropologi dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk membuat kebijakan pada suatu permasalahan pada pembangunan Indonesia dan ikut serta dalam perencanaan program pemerintah. Dalam buku Antropological Praxis: Translating Knowledge Into Action, Robert M. Wulff and Sherly J. Fiske yang diterbitkan pada tahun 1991 menyebutkan antropologi harus bekerja dalam seluruh tahap proyek pembangunan. Ada tahap yang harus dilakukan (Marzali: 2005). Meneliti, cari dan menentukan kebutuhan masyarakat. Memformulasikan kebijakan dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Merencanakan dan melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.[1] Antropologi mempelajari kultur dalam masyarakat. Kultur diwujudkan dengan ideational dan behavioral. Ideational membentuk perilaku yang khas dalam masyarakat dan behavioral melihat bagaimana tingkah laku yang berjalan dalam masyarakat. Kultur membentuk masyarakat dalam bertindak dan mempengaruhi bagaimana masyarakat ikut serta dalam pembanguan. Koentjaraningrat pernah mengatakan istilah kebudayaan, sistem nilai budaya dan sikap mental adalah termasuk ke dalam konsep kultur, menurut aliran cultural developmentalism (2005:19). Penguasaan akan konsep kultur sesuatu yang mendasar keperluannya bagi antropologi. Antropolog mengenalkan keadaan dunia luar tanpa meninggalkan kultur yang ada dalam masyarakat dan mengatasi hambatan berupa adat istiadat dan sikap mental yang kolot, pranata-pranata sosial dan unsur-unsur kebudayaan tradisional, harus digeser disesuaikan dengan kultur kemajuan demi keperluan hidup masa kini. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan, maka perumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana paradigma ilmu antropologi? 2. Apakah objek kajian dalam antropologi? 3. Bagaimana teori-teori dalam antropologi pembangunan? 4. Bagaimana aplikasi pembangunan di Indonesia? 5. Bagaimana situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia? 6. Apakah tantangan antropologi pembangunan di Indonesia? 7. Bagaimana konsep kultur dalam antropologi? C. Tujuan Penulisan
  • 3. 3 Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan penulis menulis mekalah ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui paradigma ilmu antropologi. 2. Mengetahui objek kajian dalam antropologi. 3. Mengetahui bagaimana teori-teori dalam antropologi pembangunan. 4. Mengetahui bagaimana aplikasi pembangunan di Indonesia. 5. Mengetahui bagaimana situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia. 6. Mengetahui tantangan antropologi pembangunan di Indonesia. 7. Mengetahui bagaimana konsep kultur dalam antropologi. BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pendekatan Dalam KBBI pendekatan adalah “1.) proses perbuatan, cara mendekati; 2.) usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti; metode- metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian.”1 Secara terminology, pendekatan merupakan serangkaian pendapat tentang hakikat belajar dan pengajaran. Jika dihubungkan dengan studi Islam, pendekatan berarti serangkaian pendapat atau asumsi tentang hakikat studi Islam dan pengajaran agama islam. Pendekatan tidak terpisah dari tujuan, metode, dan teknik. Pendekatan memiliki peranan yang sangat penting dalam studi Islam karena terkait dengan pemahaman akan Islam itu sendiri. Pendekatan ada beberapa macam. Namun pada makalah ini hanya akan dipaparkan pendekatan secara filosofis, histories, semiotika, dan fenomologis. B. Macam-Macam Pendekatan 1) Pendekatan Filosofis Berdasarkan pendekatan filosofis, pendidikan islam diartikan sebagai studi proses tentang kependidikan yang didasari dengan nilai- nilai ajaran islam yang bersumber Al-qur'an dan As-sunnah. Pendekatan filosofis ini memandang bahwa manusia adalah makhluk rasional atau “homo rational” sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengembangannya didasarkan kepada sejauh mana pengembangan berfikir dapat dikembangkan. Dalam proses belajar mengajar,pendekatan filosofis dapat diaplikasikan ketika guru mengajar. Contohnya:pada pelajaran mengenai proses terjadinya penciptaan alam dan proses penciptaan manusia. Hal ini terus berlangsung sampai batas maksimal pemikiran manusia (hingga pada zat yang tidak dapat dijangkau oleh pemikiran,yaitu allah). Dalam hal ini Al-qur'an memberikan motivasi kepada manusia untuk selalu menggunakan pikirannya secara tepat guna untuk menemukan hakikatnya selaku hamba Allah, selaku makhluk sosial dan selaku khalifah di bumi. Pendekatan filosofis, al-qur'an memberikan konsep secara konkrit dan mendalam. Terbukti dengan adanya penghargaan Allah kepada manusia yang selalu menggunakan pemikiran. Ungkapan penghargaan tersebut. Terulang sebanyak 780 kali salah satu di antaranya ayat: Artinya: Allah SWT memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya .Dan barang siapa yang
  • 4. 4 diberi hikmah,sungguh telah diberi kebijakan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.2 (Q.S.Al-Baqarah:2:269). Tujuan pendekatan ini dimaksudkan agar manusia dapat menggunakan pemikiran seluas- luasnya sampai titik maksimal dari daya tangkapnya. Sehingga manusia terlatih untuk terus berfikr dengan menggunaka kemampuan berfikirnya. 2) Pendekatan Historis Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang dan perilaku dari proses tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.3 Pendekatan sejarah juga dipakai untuk meneliti dan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan mitos dan kepercayaan agama-agama besar, seperti mitos atau cerita tentang Budha, Yesus, Musa dianalisa dengan memperhatikan muatan sejarahnya. Diasumsikan bahwa sebagai mitos untuk menunjuk pada peristiwa-peristiwa atau pribadi-pribadi dalam sejarah yang benar-benar eksis, sebab tanpa terdapat beberapa basis dalam sejarah, maka cerita-cerita itu tidak lain hanya akan bersifat fiksi atau khayal belaka. Problem dasar dalam pedekatan sejarah adalah bahwa suatu penjelasan tentang sebuah agama yang hidup tidak akan pernah sempurna atau berakhir. Selalu ada hari esok yang bisa membawa perubahan dan usaha menunjukkan kembali agama keaslinya akan selalu bersifat rabaan.4 Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealisme alam yang yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis. Melalui pendekatan sejarah di temukan informasi tentang pendidikan islam yaitu terdapat sejumlah lembaga pendidikan islam yang pernah memainkan peranan dan sumbangan bagi pengembangan ajaran islam dan pemberdayaan umat. Sejumlah lembaga pendidikan tersebut antara lain rumah, seperti suffah,kuttab, masjid dan lain sebagainya. Munculnya berbagai tempat tersebut memperlihatkan hal-hal seberikut:5 1.Sejak kedatangan islam, umat islam tergerak hati, pikiran, dan perasaannya untuk memberikan perhatian yang besar terhadap penyelengaraan pendidikan. 2.Model lembaga pendidikan islam yang diadakan oleh umat islam adalah model lembaga pendidikan informal, nonformal dan formal. 3.Lembaga pendidikan yang di bagun umat islam bersifat dinamis, kreatif, inovatif, fleksibel dan terbuka untuk dilakukan perubahan dari waktu ke waktu. 4.Adanya lembaga-lembaga pendidikan tersebut menunjukkan adanya pendidikan yang berbasis masyarakat, gerakan wajib belajar dan pendidikan gratis. 5.Diketahui bahwa di kalangan umat islam telah terdapat sejumlah ulama’ yang memiliki perhatian untuk berkiprah dalam bidang pendidikan. 6.Diketahui tentang kehidupan para guru dan pelajar. 7.Diketahui tentang adanya sistem pengaturan atau menejemen pendidikan, mulai dari yang amat sederhana seperti di masjid-masjid sampai kepada yang besar dan canggih seperti yang diselenggarakanpada madrasah-madrasah. Menejemen pendidikan yang diterapkan pada saat ini dapat dikategorikan masih sederhana karena masih dalam taraf pertumbuhan dan
  • 5. 5 perkembangan. 8.Diketahui tentang adanya pendanaan biaya pendidikan, selain bersumber dari pemerintah , wakaf, infak, sedekah dari orang dermawan dan lain sebagainya. 9.Diketahui adanya sumbangan yang diberikan dunia pendidikan dan pengajaran, baik yang bersifat informal, nonformal maupun formal dalam rangka menghasilkan para ulama’ yang berkiprah, tidak hanya dalam pemerintah tetapi juga dimasyarakat pada umumnya sesuai dengan bidang keahliannya sehingga membawa kemajuan. 10.Diketahui tentang adanya kurikulum yang diterapkan di berbagai lembaga pendidikan yang disesuaikan dengan visi, misi, tujuan dan ideologi keagamaan yang dimiliki oleh tokoh pendiri atau masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Model dan strategi ilmu pendidikan islam dengan pendekatan sejarah telah dilakukan baik oleh sarjana muslim maupun nonmuslim. Jika dilakukan analisis secara seksama terhadap hasil penelitian ilmu pendidikan islam dengan pendekatan sejarah dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut:6 1.Permasalahan yang menjadi fokus kajian ternyata vukup variatif. Bertitik tolak pada pendekatan waktu, pendekatan aspek-aspek pendidikan tertentu, dari segi para tokoh yang berperan dalam kegiatan pendidikan, dari segi pertumbuhan dan perkembangan. 2.Berkaitan dengan metode yang digunakan. Dilihat dari segi bahan kajiannya ada yang bersifat riset kepustakaan dan riset lapangan; dari segi tujuan bersifat deskriptif, eskploratif dan uji teori; dari segi pendekatan analisnya mengunakan pendekatan analis sejarah; dan dari segi tujuan dan mafaatnya antara lain untuk menambah dan mengembangkan khazanah ilmu pendidikan islam, untuk selanjutnya digunakan bagi kepentingan peningkatan kualitas pendidikan islam. 3) Pendekatan Semiotika Kata semiotika ( semioligi ) berasal dari bahasa Yunani “ semeion” yang berarti tanda. Tanda ini bersifat universal, misalnya: bahasa, gambar, gerak, isyarat , warna, suara. Semuanya merujuk sebagai tanda Karena kehadirannya direspon manusia sebagai sarana komunikasi yang mempunyai arti. Misalnya ada bunyi bel dil luar rumah, itu merupakan tanda yang berarti ada orang di luar rumah yang mau bertamu. Dalam hal ini, Charles Sanders pierce menyatakan bahwa manusia hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Artinya, manusia dalam komuniasi seehari-harinya selalu mempergunakan tanda.7 Sementara Scoles menegaskan bahwa semiotika merupakan studi mengenai tanda-tanda (the study of signs) yang merupakan studi atas kode-kode sebagai suatu sistem yang memungkinkan manusia memandang sebagai tanda atau sesuatu yang bermakna. Pada hakikatnya, semiotika merupakan studi tentang tanda dengan segala substansinya. Simbol-simbol keagamaan menunjuk kepada struktur kehidupan mengungkapkan kehidupan secara lebih mendasar dan misterius dengan membukakan sisi kehidupan yang gaib dan tak terpahami. Dan pada saat yang sama dimensi sacramental eksistensi manusia di tangkap dalam sinaran-sinaran simbol-simbol keagamaan, kehidupan manusia mengungkapakan sisinya yang tersembunyi. Bagi masyarakat primitife, simbol-simbol selalu bersifat religius karena mengacu kepada sesuatu yang nyata atau struktur dunia. Karena budaya primitife yang nyata adalah yang berkekuatan, bermakna dan hidup adalah sejajar dengan yang sakral.
  • 6. 6 4)Pendekatan Fenomenologis Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Edmund Husserl (1859- 1938) yang mengembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. Berdasarkan prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali pada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Fenomenologi memperoleh pamor yang sangat luas karena fenomenologi tidak mengajukan suatu sistem pemikiran yang ekslusif, sebagaimana aliran- aliran filsafat yang pernah berkembang sebelumnya, yang menjadi isme- isme basar, melainkan cara atau metode saja dalam mendekati persoalan. Dengan demikian fenomenologi bisa digunakan untuk atau dianut oleh berbagai bidang ilmu seperti antropologi, sosiologi, psikologi dan studi- studi agama.8 Husserl kemudian mengembangkan fenomenologi menjadi sebuah metode untuk menemukan hakikat realitas yang akan diperoleh manakala subjek dan kesadaran manusia menemukan kesadaran yang murni dengan jalan membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari- hari agar sampai pada gambaran- gambaran yang esensial atau intuisi esensi (intuition esensi). Operasi ini oleh Husserl disebut epoche yaitu menempatkan antara kurung segala hal yang bukan esensial. Ini bukan berrati bahwa aspek- aspek tertentu dari suatu benda tidak dihargai atau ditolak, tetapi sedapat mungkin aspek- aspek tersebut tidak diperhatikan dulu. 9 Sebelumnya kata fenomenologi sudah digunakan oleh Hegel dalam bukunya yang terkenal, Phanomenologie der Geistes (1807), dimana ia mengadakan pembedaan antara esensi (hakikat) dan manifestasi (pengungkapannya). Menurut CJ. Bleeker dalam bukunya The Phenomenological Method, pendekatan fenomenolgi adalah study pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa- doa, upacara penguburan dan sebagainya. Yang di coba diperoleh di sini adalah hakikat yang sama dari gejala- gejala yang berbeda. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bentuk luar dari ungkapan manusia mempunyai pola atau konfigurasi kehidupan dalam yang teratur, yang dapat dilukiskan kerangkanya dengan menggunakan metode fenomenologi. Metode ini mencoba menemukan struktur yang mendasari fakta sejarah dan memahami maknanya yang lebih dalam, sebagaimana dimanifestasikan lewat struktur tersebut dengan hukum- hukum dan karakteristik yang khas.10 Boleh dikata penekanan pendekatan fenomenologis bertolak belakang dengan pendekatan historis. Jika pendekatan Historis menekankan tentang apa yang sebenarnya terjadi, maka pendekatan fenomenologis menekankan pada apa yang di anggap subjek telah terjadi, meskipun bukti empirisnya tidak ada. Misalnya beberapa cerita maulid yang ditulis kaum muslim mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW lahir, beliau sudah dalam keadaan dikhitan dan bercelak mata, dan waktu kelahirannya itu dihadiri oleh Maryam (Ibu Isa) dan Asiyah (isteri Fir’aun) serta para bidadari. Pendekatan historis akan cenderung menolak riwayat semacam ini karena sulit dibuktikan, tetapi pendekatan fenomenologis menerimanya sebagai suatu fenomena keagamaan kaum muslim yang menunjukkan pengagungan mereka terhadap nabi. Selain itu kalau pendekatan historis menekankan hubungan sebab akibat dalam kerangka kesinambungan dan perubahan, pendekatan fenomenologis lebih melihat pada kesamaan struktur diantara fenomena keagamaan tanpa keharusan untuk melihat hubungan
  • 7. 7 pengaruh mempengaruhi Fenomenologi dan sejarah saling melengkapi, fenomenologi tidak dapat bekerja tanpa etnologi, filologi dan disiplin- displin yang lain. Fenomenologi di sisi lain memberikan kepada disiplin- displin historis makna religiositas yang tak tertangkap oleh disiplin- disiplin tersebut. Dengan demikian fenomenologi keagamaan adalah pemahaman keagamaan (verstandniss) terhadap sejarah; ia adalah sejarah dalam dimensi keagamaannya. Fenomenologi keagamaan dan sejarah bukanlah dua buah ilmu, melainkan dua aspek yang saling melengkapi dari satu ilmu agama yang integral dan ilmu agama yang murni memiliki sifat yang sudah didefinisikan secara mapan sebagai hasil dari objek kajiannya yang unik. C. Pengertian Antropologi Antropologi berasal dari bahasa Yunani Anthropos yang berarti manusia dan Logos yang berarti wacana (dalam pengertian "bernalar", "berakal").[2] Menurut Achmad Fedyani Saifuddin[3], antropologi bisa saja didudukkan sebagai salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial Hanya saja, ia sejatinya adalah suatu perspektif ilmiah. Mengingat sukarnya tercapai kesepakatan di kalangan antropolog mengenai kualifikasi antropologi –apakah- sebagai suatu ilmu pengetahuan (science) ataukah bukan. Para pengkaji memang tampak berbeda pendapat mengenai definisi (pengertian) antropologi. Misalnya:[4] 1. William A. Havilland : Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. 2. David Hunter : Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia. 3. Koentjaraningrat : Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat sertakebudayaan yang dihasilkan. Dari beberapa definisi di atas, dapat disusun pengertian sederhana bahwa antropologi adalah sebuah ilmu (studi) yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia, yang terdiri dari aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, kebudayaan, aspek politik, dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan lainnya yang bermanfaat. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Secara garis besar ia –menurut obyek kajiannya- bisa dibagi menjadi dua macam. Yang pertama ialah antropologi fisik, yang obyek kajiannya berupa manusia sebagai organisme biologis. Sedangkan kedua ialah antropologi budaya, yang obyek kajiannya terkait manusia sebagai makhluk sosial-(ber)budaya. Selanjutnya, obyek kajian antropologi budaya terdiri dari tiga cabang: arkeologi, linguistik dan etnologi.[5]
  • 8. 8 Secara garis besar antropologi –sebagai sebuah ilmu- memiliki cabang-cabang ilmu yang terdiri dari:[6] A. Antropologi Fisik 1. Paleoantropologi : ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil. 2. Somatologi : ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik. B. Antropologi Sosial-Budaya 1. Prehistori : ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan semua kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal tulisan. 2. Etnolinguistik Antropologi : ilmu yang mempelajari pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi. 3. Etnologi : ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia. 4. Etnopsikologi : ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi. D. Perkembangan Kajian Antropologi Antropologi –sebagai sebuah ilmu- juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Menurut Koentjaraninggrat,[7]antropologi –sebagai sebuah ilmu- mengalami empat fase (tahapan) dalam perkembangannya. Meliputi: 1. Fase Kesatu : sebelum tahun 1800-an. Sekitar abad ke-15-16M, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika,Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-sukuyang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik,kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa. Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 M perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
  • 9. 9 2. Fase Kedua : pertengahan abad 19 M. Pada fase ini bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan- karangan berdasarkan cara berpikir evolusimasyarakat pada saat itu. Masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsaprimitif yang tertinggal dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya. Pada fase ini antropologi bertujuan akademis mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia. 3. Fase Ketiga : awal abad ke-20 M Pada fase ini negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan- pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial. 4. Fase Keempat : setelah tahun 1930-an Pada fase ini antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang dijajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa:Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu juga muncullah semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp. Menurut David N. Gellner,[8] antropologi bermula pada abad 19 M. Pada abad ini antropologi dimaknai sebagai penelitian –yang difokuskan- pada kajian asal-usul manusia. Penelitian antropologi tersebut mencakup pencarian fosil yang masih ada dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada masa ini antropologi dikembangkan dalam paradigma evolusi sebagai ide kunci.
  • 10. 10 Antropologi –masih menurut David N Gellner- juga tertarik untuk mengkaji agama. Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan di kalangan mereka, misalnya pertanyaan: Apakah bentuk agama yang paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan suatu bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama primitif itu sangat digemari pembaca-nya pada abad ke 19 M. Antropologi abad 19 M tampak menghasilkan setidaknya dua karya besar tentang kajian agama: The Golden Bough (1890) karya Sir James Frazer dan The Element Forms of Religious Life (1912) karya Emil Durkheim. E. Obyek Antropologi Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Secara garis besar ia –menurut obyek kajiannya- bisa dibagi menjadi dua macam. Yang pertama ialah antropologi fisik, yang obyek kajiannya berupa manusia sebagai organisme biologis. Sedangkan kedua ialah antropologi budaya, yang obyek kajiannya terkait manusia sebagai makhluk sosial (ber)budaya. Selanjutnya, obyek kajian antropologi budaya terdiri dari tiga cabang: arkeologi, linguistik dan etnologi. Meskipun antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi manusia sebagai organisme biologis. Tetapiantropologi fisik inilah yang sejatinya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia.[9] F. Antropologi Sebagai Suatu Pendekatan Dalam Penelitian Agama Agama (Islam) merupakan bagian dari kebudayaan. Sehingga ia pun bisa dikaji dengan pendekatan antropologis.Agama (islam) bisa dikaji dengan pendekatan antropologis karena ia dipandang secara antropologis sebagaisuatu –produk- budaya atau suatu fenomena –agama- yang memiliki unsurbudaya. Pendekatan antropologis masih dan sangat dibutuhkan untuk –lebih- memahami makna-makna yang terkandung dalam ajaran agama. Pendekatan antropologis dalam memahami agama juga dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pendekatan Antropologis dalam arti ini lebih mengutamakan pengamatan langsung,bahkan bersifat partisipatif. Dan salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologimodern adalah Holisme. Yaitu pandangan bahwa praktik-praktik sosial-budaya dalam masyarakat yang sedang diteliti itu harus dilihat sebagaipraktik- praktik yang secara esensial saling berkaitan. Agama (Islam) bisa dikaji dan diteliti tanpa merusak ajaran atau esensiagama itu sendiri dengan berbagai pendekatan. Termasuk dengan pendekatan antropologis. Melalui pendekatan antropologis,sosok agama yang berada pada tataran empirik pun akan dapat dilihat hubungan dan keterkaitannya dengan berbagai pranata sosial-budaya yang ada di masyarakat. G. Obyek Pendekatan Antropologis Dalam Penelitian Agama Budaya sebagai produk manusia yang bersosial-budaya pun dipelajari oleh Antropologi. Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari di
  • 11. 11 sini adalah agama sebagai fenomena budaya, bukannya agama (ajaran) yang datang dari Tuhan.[10] Menurut Atho Mudzhar,[11] fenomena agama –yang dapat dikaji- ada lima kategori. Meliputi: 1. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama. 2. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama. Yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya. 3. Ritus, lembaga dan ibadat. Misalnya shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. 4. Alat-alat (dan sarana). Misalnya masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya. 5. Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan. Misalnya seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain. Kelima fenomena (obyek) di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologis, karena kelima fenomena (obyek) tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia. H. Paradigma Pendekatan Antropologis Beberapa paradigma pendekatan antropologis dijelaskan secara singkat oleh Achmad Fedyani Saifuddin dalam bukunya yang berjudul Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Meliputi:[12] 1. Evolusionisme Klasik : paradigma ini berupaya menelusuri perkembangan kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul primitif, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling kompleks. 2. Difusionisme : paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman di antara bebagai kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan. 3. Partikularisme : paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data etnografi dan deskripsi mengenai kebudayaan tertentu. 4. Struktural-Fungsionalisme : paradigma ini berasumsi bahwa komponen-komponen sistem sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organisme, berfungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan sistem. 5. Antropologi Psikologi : paradigma ini mengekspresikan dirinya ke dalam tiga hal besar : hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia, hubungan antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara kebudayaan dan kepribadian khas masyarakat. 6. Strukturalisme : paradigma ini merupakan suatu strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia –yakni, struktur dari poses pikiran manusia- yang oleh kaum strukturalis dipandang sama dalam lintas budaya.
  • 12. 12 7. Materalisme Dialektik : paradigma ini berupaya menjelaskan alasan-alasan terjadinya perubahan dan perkembangan sistem sosial budaya. 8. Kultural Materialisme : paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan pebedaan sosial budaya. 9. Etno-sains : paradigma ini juga disebut “etnografi baru” atau “etnografi kognitif” . Perspektif teoritis mendasar dari paradigma tersebut terkandung dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan komponen kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiri untuk melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis. 10. Antropologi Simbolik : paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan pencari makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia –secara individual dan kelompok-kelompok kebudayan dari manusia- memberikan makna kepada kehidupannya. 11. Sosiobiologi : paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolusi biologi terhadap fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak perilaku kebudayaan. Menurut David N Gellner,[13] salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah Holisme. Yaitupandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Dalam konsepHolisme, agama –menurut Gellner- tidak bisa dilihat oleh seorang antropolog sebagai satu sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya. Sebaliknya, agama harus dilihat oleh para antropolog dengan praktik pertanian, kekeluargaan, politik,magic, dan pengobatan secara bersama-sama. I. Cara Kerja Pendekatan Antropologis Dalam Penelitian Agama Menurut Amin Abdullah,[14] cara kerja –yang dalam hal ini bisa kita artikan sebagailangkah dan tahapan-pendekatan antropologis pada penelitian agama memiliki empat ciri fundamental. Meliputi: 1. Deskriptif : Pendekatan antropologis bermula dan diawali dari kerja lapangan (field work), berhubungan dengan orang dan –atau- masyarakat (kelompok) setempat yang diamati dalam jangka waktu yang lama. Inilah yang biasa disebut dengan (thick description). 2. Lokal Praktis : Pendekatan antropologis disertai praktik konkrit dan nyata di lapangan.Yakni, dengan ikut praktik di dalam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan, semisal kelahiran, perkawinan, kematian dan pemakaman. 3. Keterkaitan antar domain kehidupan secara lebih utuh (connections across social domains) : Pendekatan antropologis mencari keterkaitan antara domain-domain kehidupan sosial secara lebih utuh. Yakni, hubungan antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik. Hal ini dikarenakan hampir tidak ada satu pun domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri dan terlepas tanpa terkait dengan wilayah domain kehidupan yang lainnya. 4. Komparatif (Perbandingan) : Pendekatan antropologis –perlu- melakukan perbandingan dengan berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama.
  • 13. 13 J. Contoh Penelitian Agama Dengan Pendekatan Antropologis Salah satu contoh rancangan penelitian yang akan dikemukakan pada bagian ini adalah rancangan penelitian bertopik: Runtuhnya Daulah Bani Umawiyah Dan Bangkitnya Daulah BaniAbbasiyah. Menurut M. Atho Mudzhar,[15] rancangan penelitian tersebut sebaiknya memperhatikan dan memperjelas –setidaknya- empat hal. Meliputi: 1. Rumusan Masalah : faktor-faktor apa saja yangmenyebabkan jatuhnya Bani Umawiyah dan bangkitnya Bani Abbasiyah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dirumuskan faktor penyebab runtuh atau bangkitnya dinasti, dan aspek –antropologis- apa saja yang akan dikaji. 2. Arti Penting Penelitian : menjelaskan signifikasi penelitian. Misalnya, menjelaskan maksud penelitian (sesuatu yang belum pernah diteliti atau dibahas sebelumnya) dan kontribusi apa yang diperoleh dari hasil penelitian setelah dilakukan nantinya. 3. Metode Penelitian : metode yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Yakni, dengan merinci hal-hal semisal: bentuk dan sumber informasi serta cara mendapatkannya, cara memahami dan menganalisa informasi, dan cara pemaparan informasi. 4. Sumber Literatur : melakukan telaah pustaka dan membuat rangkuman dari teori yang telah dipaparkan. Setelah itu, seorang peneliti harus mengetahui apa saja yang belum dibicarakan, dan dari sinilah akan diperoleh kontribusi dari hasil penemuan penelitianyang digunakan. K. Paradigma Antropologi Antropologi, khususnya antropologi sosiokultural adalah suatu disiplin ilmu dengan ciri-ciri dan tradisi yang khas berbeda dari disiplin-disiplin ilmu lain. Antropologi adalah sebuah science yang berisi pardigma yang khas. Di bawah ini adalah beberapa butir penting dalam tradisi paradigma ilmu antropologi sosiokultural yang harus diketahui secara mendalam oleh mahasiswanya. 1. Objek Kajian Ilmu Antropologi Antropologi sosiokultural secar tradisional berasal dari hasil kajian-kajian terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang berskala kecil, relative terisolasi dan sederhana secara teknologi, sosial, politik, dan ekonomi. Mereka antara lain adalah kelompok-kelompok orang aborigin di Australia, suku-suka bangsa di Papua dan Papua Nugini, kelompok-kelompok Indian di Amerika, Dayak di pedalaman Kalimantan, suku-suku bangsa di Afrika, dan seterusnya. Hampir seluruh teori, metode, konsep, dan pendekatan antropologi sosiokultural berasal dari kajian terhadap masyarakat seperti ini. Dulu masyrakat yang seperti ini disebut dengan istilah masyarakat primitif atau masyarakat savage oleh para penelitinya. sedangkan penelitiannya yaitu para antropologi, adalah anggota dari masyarakat modern dan beradab yang berasal dari Eropa dan Amerika. Karena itu, studi tentang masyarakt primitf dan savage ini mereka sebut sebagai studi tentang “other culture”. Antropologi adalah studi tentang budaya dari masyarakat lain. Sang peneliti berbeda tataran budayanya dari masyarakat objek kajiannya.
  • 14. 14 Meskipun pada masa kini kelompok masyarakat yang dulu dianggap primitif dansavage tersebut sudah hampir punah dari muka bumi karena mereka sudah bersalin rupa menjadi masyarakat modern tapi tinggalan-tinggalan teori, konsep, metode, dan pendekatan antropologi hasil dari kajian terhadap kelompok-kelompok ini tetap mendominasi paradigma antropologi. Sebagai contoh dapat kita ambil teori, konsep dan metode penelitian the culture of poverty dari Oscar lewis. Ini adalah teori, konsep dan metode penelitian modern dalam antropologi sosiokultural , berasal dari kajian terhadap kampung- kampung kumuh di perkotaan Amerika Latin. Konsep baru ini adalah tradisi penelitian Etnografi tradisional pada masyarakat primitive, savage,sederhana yang berskala kecil, seperti yang dulu dirintis oleh Malinowski, Margaret Mead, Radcliff-Brown, dan sebagianya pada awal ke 20. 2. Metodologi Dalam antropologi sosiokultural, metodologi tidak terlepas dari teori. Secara teoritis dan metodologis, antropologi dibagi menjadi dua peringkat. Peringkat bawah disebut Etnografi, sedangkan peringkat atas adalah Etnologi. Pada peringkat bawah melalui hasil karya etnografi lapangan, seorang ahli antropologi sosiokultural disebut sebagai Etnografer. Sedangkan pada peringkat selanjutnya melalui karya-karya kompararif dia berupaya membangun teori-teori, dan dengan demikian dia akan menjadi seorang ahli Etnologi. Etnografi adalah metode penelitian lapangan yang dilaksanakan secara mendalam melalui keterlibatan langsung dan peneliti dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian, dengan mengambil satu kelompok social tertentu sebagai kasus. Secara tradisional, kelompok sosial tersebut adalah juga dapat disebut sebagai deskripsi mengenai masyarakat dan budaya suatu suku bangsa tertentu. Jadi Etnografi adalah metode penelitian yang khas antropologi sekaligus hasil laporan dari penelitian tersebut. Etnografi adalah kerja lapangan sekaligus buku laporannya. Karena pada masa lampau suku bangsa selalu diasumsikan bersifat homogeny secara sosiokultural, maka gambaran sosiokultural sebuah buku bangsa dianggap dapat terwakili oleh sebuah komunitas yang tipikal dari suku bangsa tersebut. Demikianlah, misalnya “agama jawa” dianggap oleh Clifford Geertz akan terwakili dengan melakukan penelitian etnografi terhadap agama dari komunitas “Mojokuto” dekat Kediri. Atau budaya orang Trobriand, menurut Melinowski cukup akan terwakili dengan meneliti Komunitas Kiriwana di kepulauan Trobriand, Irian timur. Dengan adanya kebiasaan seperti ini, maka etnografi sering juga disebut sebagai kajian komunitas. Di Inggris istilah lain untuk antropologi sosiokultural adalah micro sociology karena antropologi meneliti masyarakat berskala kecil, atau juga disebutcomparative sociology, Karena pembangunan dan pengujian teori dilakukan dengan menggunakan pendekatan komparatif. Bagaimanapun etnografi adalah pekerjaan tingkat awal dari seorang ahli antropologi yang profesional. Etnografi adalah satu pekerjaan inisiasi bagi seorang yang ingin menjadi ahli antropologi yang profesional. Seseorang tidak mungkin dapat diakui sebagai seorang ahli antropologi profesional sebelum dia melakukan etnografi, dan melaporkan hasil penelitannya. Hasil penelitiannya dinilai kualitasnya oleh para ahli antropologi senior. Setelah itu jika etnografer ini tetap tinggal menggeluti kegiatan seperti itu tanpa ada usaha untuk meningkat ke peringkat yang lebih tinggi maka dia tidak akan pernah menjadi seorang ahli etnologi atau ahli antropologi yang sesungguhnya. Tingkat pekerjaan yang harus dilakukan selanjutnya
  • 15. 15 adalah apa yang disebut sebagai comparative study, basic secra diakronis maupun secara sinkronis. Dalam fase ini dia tidak lagi wajib ke lapangan, seperti yang dia lakukan dulu waktu menghasilkan sebuah etnografi. Tapi dia pergi ke perpustakaan. Setelah memeilih topik tertentu sebagai fokus penelitiannya, ia mulai melakukan pekerjaan perbandingan. Misalnya, dia memilih topik tentang upacara kematian kemudian ia membandingkan dengan adat kematian suku lain. Dari hasil perbandingan akan muncul sebuah generalisasi atau sebuah teori tentang upacara kematian. Ini adalah perbandingan sinkronis, yaitu membandingkan berbagai upacara kematian pada berbagai suku bangsa pada masa kini. Ahli antropologi ini juga dapat melakukan perbandingan secra diakronis misalnya membandingkan sistem pertanian yang dipraktikkan orang di Mesopotamia 10.000 tahun yang lalu, dan dengan praktik pada masa kini. Hasilnya adalah sebuah teori tentang perkembangan system pertanian Mesopotamia. Sehubungan dengan system pertanian ini atau system pencarian hidup secara umumnya, banyak orang yang tidak menyadari bahwa pada suatu masa dulu seluruh penduduk Jawa yang modern ini adalah pemburu dan peramu, Setelah itu pada suatu titik masa tertentu kemampuan cultural orang jawa dapat mengembangkan system pertanian primitive yaitu system pertanian berladang tebang-bakar seperti yang dipraktikkan kebanyak orang dayak pada masa kini. Setelah itu, orang jawa khususnya yang bermukim di tepi bengwan solo di sekeliling gunung sumbing, Merapi dan Merbabu, katanya sekitar 700 masehi mampu menegembangkan system pertanian sawah bawah. Terakhir, pada masa millennium ketiga akhir-akhir ini, petani jawa mulai berkembang menjadi petani modern komersil. L. Teori – Teori Pembangunan Syarat berikutnya bagi seorang antropolog untuk dapat berkiprah di dalam dunia praktis adalah pengusaan akan teori–teori pembangunan. Secara umum terdapat beberapa teori pembangunan yang harus dipelajari oleh ahli–ahli ilmu sosial, termasuk ahli antropologi. Teori ekonomi pembangunan, atau pertumbuhan ekonomi, meskipun merupakan perkembangan yang khas dalam ilmu ekonomi, namun karena teori ini mendominasi kebijakan–kebijakan pembangunan di masyarakat dunia ketiga, maka ahli ilmu–ilmu sosial lain mau tidak mau harus mempelajarinya, sekurang–kurangnya secara garis besar. Sementara itu, ahli ilmu–ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan politik, telah mengembangkan teori pembangunan yang disebut teori modernisasi. Inti dari teori ini adalah usaha pembangunan institusional (perekayasaan struktur sosial melalui pembentukan institusi– institusi baru) dan pembangunan mentalitas manusia (perekayasaan kultural). Teori ini bukan lagi patut dipelajari oleh mereka yang mengaku ahli antropologi, tapi bahkan justru memerlukan masukan–masukan baru para ahli antropologi dalam proses pengembangannya. Pada matra internasional berkembang teori dependasi dan pendekatan sistem global. Matra universal adalah matra yang jarang di masuki oleh antropolog, karena secara tradisional perhatian antropolog adalah para small scale society. Orang antropologi cenderung berwawasan suntuk, yaitu think locally, act locally. Mereka yang meneliti tentang masyarakat Orang Dayak, hanya berpikir dan bergelut di sekitar masalah Orang Dayak saja. Padahal wawasan yang seperti ini tidak sesuai dengan tradisi awal ilmu antropologi, yang bertujuan untuk menjawab mengapa kelompok dan masyarakat manusia berbeda di seluruh dunia. Seharusnya seorang antropolog memegang semboyan act locally, think globally,
  • 16. 16 melalui kajian-kajian kasus pada masyarakat lokal, antropolog harus berpikir secara global tentang perbedaan dan persamaan masyarakat di seluruh dunia. Berdasarkan atas kenyataan kurangnya antropolog Indonesia yang berwawasan nasional, wawasan mereka hanya sebatas masyarakat suku bangsa yang mereka kaji, maka sampai kini kita bisa mengatakan bahwa yang namanya antropolog Indonesia itu belum ada apalagi ahli antropologi Indonesia yang berkelas dan berwawasan universal. Mungkin sebagian orang tidak setuju akan pernyataan ini. Tapi adalah lebih baik kita berlaku rendah hati, dalam rangka mencabuk diri sendii agar terus mengejar pencapaian yang lebih tinggi. M. Pembangunan Indonesia Ini adalah satu lagi hal yang harus diketahui oleh para antropolog. Pembangunan Indonesia, atau pembangunan masyarakat dan manusia Indonesia sampai kejatuhan pemerintahan Soeharto 1998, garis besarnya ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setiap lima tahun dalam apa yang disebut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN ini kemudian diperinci kedalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Pelaksanaan dari rencana ini terwujud dalam kebijakan, program, dan proyek- proyek Departemen. Semua kebijakan dan implemensinya ini harus didasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Jadi, dalam pembangunan Indonesia terdapat lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu: Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa, UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, GBHN, PELITA, dan kebijakan-kebijakan Departemen. Tentu saja tidak seluruh hal tersebut perlu diketahui oleh antropolog yang ingin ikut berkiprah dan pembangunan Indonesia. Dia cukup mengonsetrasikan dirinya pada suatu bidang atau suatu aspek pembangunan yang digelutinya. Ambil contoh tentang seorang antropolog yang begelut dalam bidang pembangunan kehutanan, khususnya pembangunan masyarakat desa hutan. Dia mungkin perlu mulai belajar dari UUD No. 33 Pasal (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Dasar-Dasar Agraria. Dari sini kemudian meningkat kepada penguasaan Bidang Kehutanan dalam GBHN. Ini pada tingkat nasional. Setelah itu dia perlu mempelajari dengan cermat UU pokok kehutanan No. 41 Tahun 1999 (No. 5 Tahun 1967), beserta segala Keutusan Mentri dan Drijen yang relevan. Barulah setelah itu dia masuk ke dalam aspek khusus, yaitu program dan proyek-proyek yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat desa hutan. Bagaimanapun, perlu diingatkan bahwa keterlibatan orang terebut dalam bidang di atas adalah dalam kapasitas sebagai seorang antropolog. Artinya, sebagai seorang antropolog, dia adalah juga seorang etnografer yang menguasai pengetahuan mengenai budaya dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Sehingga ketika antropolog tersebut diminta untuk menyusun sebuah program pembangunan masyarakat desa hutan di Kalimantan, misalnya, dia bukan hanya menguasai dasar-dasar kebijakan pembangunan masyarakat desa hutan, tetapi juga dianggap menguasai ciri-ciri umum masyarakat dan kultur suku-suku bangsa di Kalimantan. N. Situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia Seorang antropolog tidak akan pernah memahami cara menerapkan ilmu antropologi dalam pembangunan Indonesia, dan tidak akan mengerti peranan yang harus dia maikan
  • 17. 17 sebagai seorang antropolog dalam proyek-proyek pembangunan, kecuali dia menguasai pengetahuan yang memadai tentang sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu paradigma ilmu antropologi, teori-teori sosial pembangunan, dan kebijakan dalam program pembangunan Indonesia. Maka dari itu penulis mencoba menggambarkan situasi dan kondisi mahasiswa dalam Departemen Antropologi Universitas Indonesia. Departemen Antropologi UI, sebagai pewaris tradisi ilmu antropologi dari Dunia barat selama ini berada di bawah bayang-bayang nilai ilmu murni atau ilmu abstrak (pure science). Pada tahun 1970-an, Prof. Koentjaraningrat membuka mata kuliah baru yaitu “Antropologi Pembangunan”. Selanjutnya, Departemen Antropologi UI pada tahun 1994 menambahkan beberapa kurikulum baru untuk memudahkan mahasiswa memahami antropologi pembangunan yaitu; a) Analisis faktor sosial-Kultural dalam Pembangunan, b) Antropologi terapan, c) Dampak pembanguna terhadap masyarakat dan budaya daerah, d) Manajemen dan Kultur, Industrialisasi dan Perubahan Kebudayaan. Permasalahan terbesar dalam Departemen Antropologi UI adalah kurangnya tenaga pendidik yang tidak terampil dalam ilmu pendidikan. O. Sebuah Tantangan Antropologi Pembangunan di Indonesia Sumbangan antropologi sangat besar dalam pembangunan Indonesia, yaitu aktualisasi konsep budaya atau (culture). Titik temu dan titik pisah antara Departemen Antropologi dengan pembangunan Indonesia ketika berbicara tentang budaya adalah dalam pendekatan UUD 45 dan GBHN yang meliputi sektor-sektor sebagai berikut. 1. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa 2. Nilai Budaya Indonesia 3. Tanggung jawab sosial dan disiplin nasional 4. Pembaruan bangsa 5. Bahasa dan sastra 6. Kesenian 7. Pembukuan dan kepustakaan 8. Warisan budaya dalam bentuk artefak, lokasi, bangunan, dan tulisan kuno. Dengan uraian diatas, dapat dapat diartikan bahwa kebudayaan menurut pengertian pemerintah, adalah salah satu sektor kehidupan yang terdiri atas 8 subsektor. Dengan memajukan 8 hal ihwal kebudayaan diatas, maka pemerintah berharap dapat membangun kultur bangsa. Secara regional, pemerintah menganggap kebudayaan adalah sebagai tradisi kebudayaan (cultural heritage) yang menjadi milik suku bangsa di Indonesia. P. Konsep Kultur dalam Antropologi Dalam ilmu antropologi masa kini ada dua aliran besar dalam pendefinisian konsep kultur (culture), yaitu aliran behavorial dan aliran ideational. Aliran behavorial melihat kultur sebagai a total way of life. Pada masa kini konsep ini masih digunakan para antropolog untuk menekuni bidang studi evolusi kebudayaan dan ekologi manusia. Sementara aliranideational melihat kultur sebagai sesuatu yang abstrak, sesuatu yang bersifat ideational(gagasan, pemikiran) yang membentuk pola perilaku yang khas suatu kelompok masyarakat. Kultur yang bersifat abstrak tersebut dapat: sistem pengetahuan, the state of mind, spirit, belief, meaning, ethos, value, the capability of mind, dan sebagainya.
  • 18. 18 Dari sini kita dapat menganalisis perbedaan pemerintah dan antropolog dalam memandang kultur dan budaya. Di satu pihak kita melihat konsep kebudayaan pemerintah yang berorientasi kepada program praktisa dan problem oriented., yaitu kepada pembangunan bangsa, namun definisi dan tolak ukurnya belum jelas. Disisi lain kita melihat definisi kultur ilmu antropologi yang lebih berorientsi pada pengembangan teori dan aplikasinya terhadap penelitian etnografi. Q. Analisis Pembangunan Gedung DPR RI yang Masih Penuh Kontroversi Kali ini penulis akan mencoba mengangkat studi kasus tentang pembiayaan pembangunan Gedung Baru DPR RI yang beberapa tahun lalu sempat menjadi kontroversi dan bahkan sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Seperti yang kita ketahui, gedung DPR yang berada di Senayan masih berdiri megah dan layak ditempati para wakil rakyat kita. Kalaupun mereka bosan dengan kondisi gedung DPR yang sekarang, tinggal panggil desainer interior yang handal untuk merombaknya. Karena itulah, mengapa gedung baru DPR ini harus didirikan. DPR RI merencanakan melakukan pembangunan gedung baru dengan anggaran yang sangat besar yaitu berkisar 1,6 triliun. Gedung DPR RI yang baru ini akan dilengkapi berbagai fasilitas yang begitu mewah padahal telah kita ketahui kinerja anggota DPR RI masih belum maksimal sehingga pembangunan gedung ini banyak menuai kontroversi. Alasan mereka mengusulkan adanya pembangunan gedung baru ini dikarenakan gedung Nusantara I dirasa sudah tidak muat menampung maupun mengatur jumlah karyawan yang ada sehingga kurang menunjang kinerja para anggota DPR RI. Pertanyaan pun bermunculan saat berita pembangunan gedung yang rencanannya memiliki 27 lantai dan luas total 120 ribu meter persegi ini, salah satunya adalah darimanakah sumber pembiayaan pembangunan gedung yang mewah ini?. Total biaya pembangunan gedung DPR RI yang baru ini berkisar Rp1.162.202.186.793 (Rp1,162 triliun). Biaya tersebut belum termasuk anggaran fasilitas pendukung misalnya Perlengkapan IT, Security System dan Furniture/mebelair. Seperti yang kita ketahui, sumber pembiayaan pembangunan dibagi menjadi dua, yaitu pembiayaan konvensional dan non- konvensional. Pada kasus kali ini, sumber pembiayaan pembangunan gedung baru DPR RI ini berasal dari dana 3 tahun APBN dengan asumsi pada tahun 2010 sebesar Rp.50 milyar, tahun 2011 sebesar 800 milyar dan 2012 menutupi sisa dari anggaran proyek pembangunan gedung DPR RI, maka pembiayaan pembangunannya bersifat konvensional. Dimana kucuran dana konvensional dari APBN tersebut didapatkan dari Pajak, DAU, DAK, dan juga Retribusi Nasional. Pihak swasata sama sekali tidak bisa berinvestasi dalam proyek ini, dikarenakan gedung DPR termasuk barang Toll Goods. Artinya adalah, semua orang berhak masuk ke dalam gedung DPR, tetapi harus sesuai dengan kepentingan. Tetapi kepentingan disini bukanlah kepentingan dalam mencari keuntungan. Oleh karena itu sumber pembiayaan yang sesuai dengan status gedung DPR sebagai pelayanan masyarakat adalah pembiayaan konvensional. Tetapi, jika melihat nilai proyek yang mencapai triliunan ini, pembiayaan konvensional melalui APBN dirasa terlalu membebani negara. Tingkat prioritas yang harus dibiayai oleh APBN harusnya peningkatan kualitas masyarakat terlebih dahulu, misalnya dengan peningkatan fasilitas pendidikan ataupun fasilitas kesehatan. Jika memang memaksa Gedung
  • 19. 19 DPR baru ini untuk terus dibangun, maka pemerintah harus mengurangi pengeluaran pembayaran gaji pegawai (Terutama anggota DPR) supaya dana APBN bisa bertambah dan layak untuk diinvestasikan dalam proyek ini. Selain itu, pemerintah harus mulai berinovasi dengan bekerjasama dengan pihak swasta dalam pembiayaan pembangunan, misalnya dengan BOT (Build Operate Transfer), Konsesi, Joint Venture, dan juga Kontrak pelayanan. Adanya kucuran dana dari investor tersebut juga mempercepat pengembangan proyek. Dengan demikian, APBN pun tidak terlalu terbebani dengan nilai proyek yang mencapai triliunan. Biaya pembangunan gedung MPR ini pada akhirnya dapat dialihkan untuk pembangunan dalam bidang lain yang lebih bermanfaat dan tepat guna. BAB III KESIMPULAN Antropologi mempelajari manusia dan segala aspeknya. Antropologi berperan memecahkan masalah manusia yang berkaitan dengan pembangunan. Antropologi dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk membuat kebijakan pada suatu permasalahan pada pembangunan Indonesia dan ikut serta dalam perencanaan program pemerintah. Dalam buku Antropological Praxis: Translating Knowledge Into Action, Robert M. Wulff and Sherly J. Fiske yang diterbitkan pada tahun 1991 menyebutkan antropologi harus bekerja dalam seluruh tahap proyek pembangunan. Ada tahap yang harus dilakukan (Marzali: 2005). Meneliti, cari dan menentukan kebutuhan masyarakat. Memformulasikan kebijakan dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Merencanakan dan melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan. Syarat berikutnya bagi seorang antropolog untuk dapat berkiprah di dalam dunia praktis adalah pengusaan akan teori–teori pembangunan. Secara umum terdapat beberapa teori pembangunan yang harus dipelajari oleh ahli–ahli ilmu sosial, termasuk ahli antropologi. Teori ekonomi pembangunan, atau pertumbuhan ekonomi, meskipun merupakan perkembangan yang khas dalam ilmu ekonomi, namun karena teori ini mendominasi kebijakan–kebijakan pembangunan di masyarakat dunia ketiga, maka ahli ilmu–ilmu sosial lain mau tidak mau harus mempelajarinya, sekurang–kurangnya secara garis besar. Sementara itu, ahli ilmu–ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan politik, telah mengembangkan teori pembangunan yang disebut teori modernisasi. Inti dari teori ini adalah usaha pembangunan institusional (perekayasaan struktur sosial melalui pembentukan institusi– institusi baru) dan pembangunan mentalitas manusia (perekayasaan kultural). Teori ini bukan lagi patut dipelajari oleh mereka yang mengaku ahli antropologi, tapi bahkan justru memerlukan masukan–masukan baru para ahli antropologi dalam proses pengembangannya. Setelah menguraikan secara singkat pendekatan antropologis di atas, dapat dipahami bahwa pendekatan antropologis mendekati dan meneliti segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia (masyarakat) sebagai makhluk hidup (organisme biologis) dan –atau- makhluk sosial-budaya. Dalam lingkup penelitian agama, pendekatan tersebut bisa terfokus pada para penganut atau pemuka agama, organisasi keagamaan pemeluk agama, naskah (sumber) dan simbol agama, ritual peribadatan serta alat- alat dan sarananya.
  • 20. 20 Pendekatan filosofis memandang bahwa manusia adalah makhluk rasional atau “homo rational” sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengembangannya didasarkan kepada sejauh mana pengembangan berfikir dapat dikembangkan. Dalam proses belajar mengajar, pendekatan filosofis dapat diaplikasikan ketika guru mengajar. Contohnya: pada pelajaran mengenai proses terjadinya penciptaan alam dan proses penciptaan manusia. Hal ini terus berlangsung sampai batas maksimal pemikiran manusia (hingga pada zat yang tidak dapat dijangkau oleh pemikiran,yaitu allah). Problem dasar dalam pendekatan sejarah adalah bahwa suatu penjelasan tentang sebuah agama yang hidup tidak akan pernah sempurna atau berakhir. Selalu ada hari esok yang bisa membawa perubahan dan usaha menunjukkan kembali agama keaslinya akan selalu bersifat rabaan Semiotika merupakan studi mengenai tanda-tanda (the study of signs) yang merupakan studi atas kode-kode sebagai suatu sistem yang memungkinkan manusia memandang sebagai tanda atau sesuatu yang bermakna. Pada hakikatnya, semiotika merupakan studi tentang tanda dengan segala substansinya. Simbol-simbol keagamaan menunjuk kepada struktur kehidupan mengungkapkan kehidupan secara lebih mendasar dan misterius dengan membukakan sisi kehidupan yang gaib dan tak terpahami. Dan pada saat yang sama dimensi sacramental eksistensi manusia di tangkap dalam sinaran-sinaran simbol-simbol keagamaan, kehidupan manusia mengungkapakan sisinya yang tersembunyi. Pendekatan fenomenologi adalah study pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa- doa, upacara penguburan dan sebagainya. Yang di coba diperoleh di sisi adalah hakikat yang sama dari gejala- gejala yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Marzali Amir. 2009. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Prenada media. Abd. Somad, “Pendekatan Antropologi”, dalam M. Amin Abdullah,Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006. Achmad Fedyani Saifuddin , Antropologi Kontemporer : SuatuPengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006. Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996.
  • 21. 21 David N. Gellner, “Pendekaan Antropologis”, dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Yogyakarta: PT Rineka Cipta, 1996. M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan- studi-islam/ http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi [1] Lihat: Daniel L. Pals (ed), Seven Theories ofReligion,New York: Oxford University Press,1996, hlm. 1. [2] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi Armai, Arief, 2002, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta:Ciputat Pers AR Badafal, Fadal 2005, Al-Qur’an dan terjemahnya, Bandung: Sygma. Connolly (ed), Peter, 2009, Aneka Pendekatan Study Agama, Yogyakarta:LkiS Davamony,MariaSusai, 2008, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: KANISIUS Djam’annuri, 2000, Agama kita: Perspektif sejarah agama- agama (sebuah pengantar), Yogyakarta: Karunia Kalam Semesta Hakim, Atang Abdul dan Jaih Mubarak.2000. Metodologi Studi Islam,Bandung: Remaja Rosdakary Kurniawan, Heru, 2009, Sastra Anak,Yogyakarta:Graha Ilmu Nata, Abuddin , 2002, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Nata, Abuddin, 2009, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner: Normative, Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajement, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum Jakarta: Rajawali Pers Permata, Ahmad Norma. 2000. Metodologi Studi Islam. Yogyakarta:Pustaka Pelajar http://ceritamahasiswa.multiply.com/journal/item/148/Peran_Ilmu_Antropologi_Dalam_Pembangu nan?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem http://www.dpr.go.id/id/sosialisasi-gedung/ http://fokus.vivanews.com/news/read/213024-pembangunan-gedung-dpr-digugat