1. Tulisan ini berikut merupakan summary dari tulisan Ho-Won Jeong yang berjudul
Understanding Conflict and Conflict Analysis yang diterbitkan pada tahun 2008 oleh SAGE
Publications. Tulisan ini menjelaskan mengenai jenis-jenis teori struktural dan psikologis yang
menjelaskan dasar konflik destruktif. Menurut Ho-Won Jeong disebabkan karena berbagai latar
belakang salah satunya seperti dengan mendapatkan pemahaman terhadap sumber dari
perjuangan sosial dapat menjadi awal yang tepat bagi pengelolaan dan pencegahan konflik.
pemahaman akan sumber perjuangan sosial dapat digunakan untuk menjelaskan dasar konflik
dan perilaku yang berkaitan dengan motivasi manusia, serta pola interaksinya dengan sosial dan
lembaga. Konflik yang awalnya dianggap hal yang tidak diinginkan dan tidak rasional faktanya
terdapat faktor lain yang melandasi sebuah konflik tidak hanya menyangkut perbedaan persepsi.
Hal inilah yang nantinya akan dibahas di dalam bab ini mengenai jenis-jenis teori struktural dan
psikologis.
Konflik Realistis Versus Konflik Non-Realisitic
Perbedaan kepentingan dan aspirasi yang saling bersaing merupakan hasil dari sumber
konflik yang realistis seperti kekurangan material, keterbatas posisi serta situasi objektif lainnya.
Sedangkan konflik yang tidak realistis sebagian besar disebabkan oleh ekspresi kemarahan,
kecemasan dan rasa malu terkait dengan tingkat stres pribadi atau kelompok. Menurut Wright
dan Taylor yang dikutip oleh Ho-Won Jeong, adanya perbedaan kepentingan politik dan
ekonomi seringkali menjadi hal yang sangat diperjuangkan hingga nantinya menuju kekerasan.
Tidak hanya itu, seringkali ideologi komprehensif menjadi acuan bagi rasionalisasi agresi yang
dilakukan oleh manusia. Agresivitas anggota kelompok sering didukung oleh motif
jahat. Karakter memfitnah lawan telah dibentuk untuk melepaskan frustrasi individu dalam
agresi terhadap kelompok lain. Pembantaian dan tindakan genosida menghancurkan semua, atau
sebagian, dari kategori kelompok etnis, ras, agama, atau mengizinkan kekerasan yang melebihi
batas-batas moralitas atau hukum.
Akar konflik
Pendekatan dalam menganalisa konflik kekerasan fokus terhadap bagaimana
menginterpretasikan kondisi sosial, psikologis, dan biologis dari perilaku manusia. Sumber
konflik tersebut kemudian menurun ke struktur sosial yang lebih besar dan kedalam lingkungan
2. psikologis masyarakat. Keberadaan posisi dalam sektor ekonomi dan sosial menjadi sebuah akar
konflik antara kelompok yang berbeda dalam suatu tingkatan institusional.
Penelitian menunjukan dalam faktor psikologis terdapat kesenjangan yang menunjukan
tingkatan tekanan dalam interaksi kelompok. Kekerasan yang terjadi dalam konflik bersifat
endemik dan universal. Dalam hal ini terdapat hubungan antara otoritas dan hirarki politik yang
mana menunjukan adanya status kelompok dalam suatu struktur sosial. Konlik yang bersifat
makro terjadi dikarenakan kurangnya alokasi sumber daya yang adil dan akses terhadap
kekuasaan yang tidak terbuka. Kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi, ketegangan
intrapersonal dan variabel psikis lainnya telah dianggap berasal dari kekerasan di semua tingkat
yaitu, antar individu, antar kelompok, antar masayarakat, dan internasional sehingga
mengakibatkan mudahnya timbul suatu konflik. Individu cenderung melakukan kekerasan akibat
frustasi terhadap lingkungan internal.
Faktor psikis digunakan untuk menggambarkan pengalaman kelompok dan perilaku
terhadap orang lain terutama dalam kasus-kasus seperti pembunuhan genosida yang dilakukan
oleh Serbia dan Kroasia di Bosnia-Herzegovina dan oleh Hutu di Rwanda. Lingkungan politik
yang tidak biasa sebagaimana kondisi sosial yang normal juga memicu terjadinya konflik seperti
pembunuhan massal. Secara keseluruhan, deskripsi substantif dari peristiwa tertentu dan
penjelasan kontekstual perilaku manusia tidak hanya dikarenakan suatu bentuk frustasi, namun
juga mengejar kepentingan pribadi dan beberapa pertimbangan yang strategis.
Sifat manusia dan determinisme
Kemajuan teknologi yang semakin pesat, tidak menjadikan konflik yang berujung pada
kekerasan kolektif makin membaik. Pemberontakan, kerusuhan, kudeta dan terorisme dan bentuk
revolusi tetap mengiringi dalam perkembangan peradaban dan budaya. Kebencian yang
mendalam dan bentuk agresi-agresi yang terjadi merupakan hasil psikologis yang ada dalam
masayarakat yang berkonflik. Didukung dengan perkembangan senjata yang semaikin maju
makin memudahkan proses terjadinya konflik kekerasan.
Kondisi psikologis agresi semacam ini diinterpretasikan oleh teori agama sebagai prilaku
yang menyimpang, dan diinterpretasikan oleh teori sosial-biologis sebagai bentuk perwujudan
hasil kerja syaraf yang menginginkan terpenuhi beberapa keinginan seperti pencarian kekayaan
3. pribadi. Dalam pandangan pesimis, konflik kekerasan mungkin tak terhindarkan dalam hubungan
manusia karena motivasi bawah sadar sendiri (seperti dinyatakan oleh para ahli teori
psikodinamik) atau dalam kombinasi dengan persaingan untuk persediaan terbatas kebutuhan
pokok.
Perdebatan tentang agresi bawaan berdasarkan naluri manusia, atau terkait dengan
kecenderungan fisiologis untuk kelangsungan hidup suatu kelompok ataupun merupakan suatu
kebiasaan dalam konteks sosial masih terjadi. Dalam teori motivasi, agresi berasal dari suatu rasa
frustasi yang timbul akibat lingkungan sosial yang. Jika agresi dianggap sebagai reaksi terhadap
stimulus eksternal, pengaktifan mekanisme fisiologis internal sebagian dapat disebabkan oleh
lingkungan sosial.
Agresi merupakan suatu bentuk usaha untuk melukai orang lain yang didorong oleh
psikologis dan fisik dengan beberapa keuntungan yang ditawarkan. Hal ini bisa tawaran dalam
bentuk keuntungan politik dan keuntungan ekonomi. Doktrin tradisional mengenai suatu naluri
mengatakan suatu agresi bukan hanya disebabkan lingkungan sosial yang tidak memadai, namun
juga dari bawaan sifat manusia yang pada dasarnya anarki. Hal ini mengadopsi prinsip The
survival of the fittest menjadi suatu legitimasi bahwa perbedaan status sosial dan kelas mendasari
hubungan hirarkis.
Internal Psychology dan Freud
Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang
tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu. Pandangan ini
menunjukkan bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik.
Freud mengemukakan tiga struktur spesifik kepribadian yaitu Id, Ego dan Superego.
Id merupakan sebuah keinginan yang dituntun oleh prinsip kenikmatan dan berusaha
untuk memuaskan kebutuhan ini. ID adalah bagian jahat dari manusia yang beresiko merugikan
orang lain dan diri sendiri. Ego merupakan sebuah pengatur agar id dapat dipuaskan atau
disalurkan dalam lingkungan sosial. Sistem kerjanya pada lingkungan adalah menilai realita
untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Sedangkan
Superego sendiri adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan nilai baik-
buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan Ego yaitu Id.
4. Setiap energi yang tidak terpenuhi dapat dibuang melalui berbagai macam kegiatan
substitusi atau dipindahkan ke kelompok sosial yang terpinggirkan. Sebuah impuls insting
perilaku manusia telah diterapkan tidak hanya untuk gaya pengambilan keputusan elit politik atas
tetapi juga untuk kedengkian dari budaya massa yang agresif. Energi psikis dan psikologis dasar
perlu dibatasi untuk mengontrol nafsu untuk kebencian dan kehancuran.
Intervensi lembaga-lembaga sosial seperti keluarga dan agama diperlukan untuk
mengurangi interaksi negatif dari insting. Menurut Dalai Lama, sentimen manusia diterjemahkan
ke dalam berbagai emosi positif, seperti kasih sayang, di luar emosi negatif yang terkait dengan
impuls destruktif. Persyaratan untuk cinta dan dukungan sosial dapat menyalurkan aliran energi
destruktif menjadi positif.
Memori Kolektif
Sebagai pertahanan psikologis, komitmen mendalam untuk kelompok budaya dapat
dikembangkan untuk mengatasi tekanan berhubungan dengan kecemasan. Intra-psikis, fantasi
bawah sadar dan kecemasan telah dikaitkan dengan agresi oleh trauma dan perlawanan terhadap
terhadap kondisi damai. Sumber identitas kelompok oposisi termasuk transkrip psikologis
tersembunyi dan situs simbolis yang menjelaskan kekejaman dan kemuliaan perang masa lalu.
Menurut beberapa analis, perang etnis di bekas Yugoslavia didorong oleh ideologi etnis
berakar pada trauma masa lalu yang membekas terkait dengan kekejaman Perang Dunia II di
Balkan. Pembersihan etnis dikatakan sebagai salah satu usaha untuk menghapus dendam masa
lalu masyarakat. Ia telah mengemukakan bahwa psiko-politik trauma dapat dikurangi dengan
penyembuhan sosial, dialog antar-komunitas, kebenaran dan komisi rekonsiliasi.
Frustrasi dan Agresi
John Dollard memandang agresi dari frustasi tidak selalu berhubungan dengan naluri
manusia. Gangguan dari keinginan individu untuk mengejar suatu objek yang diinginkan
merupakan keadaan psikologis dari frustasi. Makanan, wilayah atau resesi ekonomi yang gagal
didapatkan menjadi kecenderungan terjadinya kekerasan. Jenis tujuan dan sarana yang tersedia
untuk kelompok dapat dicerminkan dari sifat frustasi. Keinginan yang tidak realistis dan bahkan
lebih dapat mempengaruhi rasa frustasi yang lebih kuat. Kurangnya sarana alternatif untuk
5. pencapaian tujuan yang terhambat memberikan dorongan yang kuat untuk bertindak. Kedalaman
frustasi berkolerasi dengan tingkat intensitas dan frekuensi dari hambatan. Target awal frustasi
yang memiliki daya unggul tidak harus menjadi objek dari agresi untuk menghindari kekalahan
diri, meskipun frustasi dapat ditekan bersama-sama dengan penerimaan, penarikan, penhindaran
dan penyerahan dan konsentrasi sumber lain. Pada posisi kekuasaan, target agresi dapat
dipindahkan dengan tidak tepat. Hal ini membuat anggota kambil hitam dari luar kelompok
sosial dapat untuk meningkatkan agresi.
Kegilaan kolektik dengan disertai frustasi yang luas secara sosial, ekonomi dan politik
menyebabkan kelompok minoritas sebagai kambing hitam dalam penyakit sosial. Fustrasi yang
ada berwujud distorsi, kegembiraan dan tidak ada rasa takut akan pembalasan. Serangan orang
Albania Kosovo terhadap gypsies pasca penarikan pasukan federal di Yogoslavia tahun 1999 dan
pembunuhan pengungsi Palestina pada masa pemerintahan Saddam Hussein. Untuk
mengendalikan konversi frustasi menjadi agresi, teori agresi memandang saluran olahraga dan
keterlibatan yang tidak mematikan perlu disalurkan. Dalam hal ini, terdapat pemahaman frustasi
yang tidak secara otomatis dipandang sebagai kekerasan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
respon ketidakpuasan yang berbeda pada setiap orang membuat frustasi menjadi beragam.
Pengalaman pribadi dan cerminan interaksi dengan orang lain adalah prilaku yang
dipelajari dalam pengelolahan frustasi. Hal ini telah menyarankan bahwa perilaku agresif
diperoleh dengan meniru model peran yang berpengaruh. Beberapa budaya melalui media
nasional, hiburan atau pendidikan mendorong agresi. Perang sipil etnis di Balkan menjadi contoh
agresi yang dimuliakan untuk mendapatkan kemenangan.
Pengalaman Emosional
Model pilihan rasional dari biaya dan manfaat dalam perhitungan nyata tidak dapat
menjelaskan substansi dan bagian-bagian konflik yang berlarut-larut. Kepentingan pribadi yang
muncul sebagai rasionalitas ekonomi tidak bisa menjelaskan kemarahan dan kebenaran. Proses
sosial yang menghasilkan penghinaan dan kemarahan merupakan inti dari emosi yang memanas.
Disamping itu, solidaritas dalam kelompok dapat muncul dari perasaan bangga dan pencarian
martabat kelompok. Kondisi emosional negara seperti putus asa, ketidakberdayaan keinginan
balas dendam merupakan reaksi ekstrim dari konflik. Selain itu, perjuangan bercirikan
penderitaan manusia, kesedihan dan rasa sakit.
6. Perpecahan dalam kehidupan masyarakat dihasilkan dari kondisi psikologis dari
penghinaan yang meresap dibalik perjuangan berkelanjutan. Psikiater Aljazair, Frantz Fanon
menjelaskan bahwa penindasan brutal dapat melanggar kehendak yang tertindas. Lebih jauh lagi,
penggunaan kekerasaan dari kelompok jajahan dapat membebaskan diri dari rendah diri dan
putus asa. Perlawanan kolonial masa lalu dapat dicontohkan dari perjuangan Hamas-Hizbullah
dibawah penindasan dan serangan israel, serta perlawanan pendudukan kolonial di Vietnam dan
Aljazair.
Emotional experience atau pengalaman emosional dibentuk oleh norma-norma budaya
dan konteks sosial lainnya. Hal ini mengingat bahwa perasaan kebencian dan kemarahan sosial
dapat membentuk hubungan dalam pengalaman sosial. Dalam hal ini, emosi yang baku harus
ditindaklanjuti dengan cara yang berbeda. Daya tahan dan emosi dalam mempertahankan konflik
dapat dijelaskan dari jenis dan kedalaman emosi yang baku.
Relative Deprivation
Suasana hati masyarakat yang negatif dapat muncul dari kegagalan sistem politik dalam
memenuhi harapan masyarakat sosial. Peningkatan pengangguran, produksi bahan menurun dan
beban pajak tidak proposional merupakan akibat dari penurunan kondisi hidup. Namun,
keinginan dan aspirasi tetap stabill dalam kondisi yang buruk. Ketidakpastian yang tinggi dan
kecemasan sejalan dengan pergeseran kondisi sosial-ekonomi ke kondisi resesi. Dengan
demikian, deprivasi relatif dapat muncul dari kesenjangan antara harapan masyarakat dan
kemampuannya. Kurva J. memandang bahwa harapan naik secara linear pada kecepatan yang
sama dalam kondisi kepuasan yang menurun. Harapan yang meningkat dan pembalikan tajam
kepuasan material merupakan ketidakpuasan rakyat secara luas. Kemajuan kondisi sosial-
ekonomi berkelanjutan menyertai reaksi kekerasan. Ekspektasi yang meningkat dan perbaikan
ekonomi, diikuti oleh kemunduran kehidupan pada masa Revolusi Mesir tahun 1952 dan
Revolusi Rusia 1917.
Tingkat ketidakpuasan yang bermacam merupakan ketidakseimbangan dari pemenuhan
harapan. Dalam hal ini, perbedaan pertumbuhan antara antisipasi dan kondisi nyata
memunculkan rasa frustasi. Selain itu, peningkatan ekspektasi dan penurunan yang cepat
menimbulkan ketidakstabilan yang lebih besar. Struktur yang tidak fleksibel membuat institusi
7. enggan dalam engakomodasi permintaan baru. Persepsi prilaku yang tidak adil dan harapan yang
tidak terpenuhi dapat memunculkan protes populer, seperti permintaan orang Afrika-Amerika
dalam mobilitas sosial dan partisipasi politik yang lebih besar pada tahun 1960. Perbedaan
harapan dan kepuasan juga muncul setelah runtuhnya pemerintahan Komunis di Eropa Timur
tahun 1980-an. Rasa perbedaan yang tidak adil dapat muncul dari penurunan relatif referent
group. Walaupun kelompok lain memiliki keuntungan, perasaan frustasi suatu kelompok tetap
terjadi sebagai akibat penurunan bertahap dan kerugiaan. Perasaan keutungan kelompok yang
lebih kecil dari kelompok saingan dapat membesarkan ketidakpuasan suatu kelompok.
Persepsi dari perbedaan antara realitas dan harapan diekspresikan melalui kekerasan
sebagai sarana instrumental. Derajat kekurangan, yaitu ringan, sedang atau intens berhubungan
dengan besarnya kekerasan dan lamanya kekerasan. Selain itu, kekerasaan dari kemampuan
mobilisasi muncul dari perasaan aspirasi yang tidak terpenuhi. Hal ini berakhir pada sifat
kekerasan yang dibentuk dari paksaan antara pemerintah dan kelompok pembangkang. Salah
satu syarat munculnya kekerasan adalah perasaan yang tidak setara berkepanjangan dan
kombinasi dari kehancuran sarana. Konflik kelompok dan tekanan sosial muncul karena sistem
penghargaan dan stratifikasi sosial yang tidak adil. Keterbatasan individu dalam sistem muncul
dari kelemahan pendapatan dan tidak adanya kemajuan kerja. Lebih jauh lagi, perbedaan antara
status formal dan pencapaian aktual dapat menimbulkan frustasi.
Perubahan negatif dalam materi mungkin dapat dipindahkan kedalam ketersediaan
prestasi dibidang lain, seperti pendidikan jika hasutan konflik komparatif diminimalisirkan.
Dalam kritik yang paling penting, deprivasi relatif memiliki perbedaan pada setiap individu
dalam persepsi terhadap kelompok dari standar perbandingan dan tingkat kepuasan. Dalam hal
ini, rendahnya penghargaan sosial dan prestise juga dapat menyebabkan kurangnya perasaan
yang kuat pribadi untuk memahami kekurangan kolektif.
Kebutuhan Manusia
Ketidakpuasan eksistensial dan kebutuhan yang mendalam merupakan asal dari sumber-
sumber konflik yang keras. Perbedaan budaya dan pendidikan menimbulkan interpretasi yang
berbeda mengenai kebutuhan manusia sebagai elemen ontologis dan penting. Dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam teori konflik antar kelompok, menimbulkan perjuangan
8. otonomi dan kemerdekaan. Selain itu, kondisi fisik dan psikologis (harga diri, pengakuan dan
penghargaan) dalam penindasan kebutuhan dasar, menimbulkan konflik etnis dan identitas.
Perilaku manusia dalam interaksi sosialnya berjuang tanpa menyerah untuk memenuhi
kebutuhan individu dan kelompok. Keamanan dan keselamatan (dari ketakuatan dan kecemasan),
rasa memiliki dan cinta, pengakuan dan penerimaan dari orang lain, martabat dan perasaan
pemenuhan pribadi merupakan kebutuhan penting untuk kelangsungan hidup. Ahli psikologi,
Abraham Maslow memandang kebutuhan dasar seperti makanan, air dan tempat tinggal menjadi
hal yang harus dipenuhi terlebih dahulu dalam piramida kebutuhan, sebelum kebutuhan harga
diri.
Disamping kebutuhan pemenuhan kebutuhan material yang berlaku umum, rasa terhadap
ancaman identitas dan keamanan juga menjadi sumber dari konflik yang paling keras. Dalam hal
ini, pengembangan kapasitas untuk melakukan pilihan dalam semua aspek kehidupan perlu
dilakukan jika memungkinkan. Pilihan dan akses ke peluang sosial dan ekonomi dapat
diwujudkan dengan alokasi sumber daya yang adil kepada semua anggota masyarakat. John W.
Burton dan ahli resolusi konflik lainnya memandang pengakuan dari setiap kelompok bahasa,
tradisi dan agama merupakan kebutuhan utama dalam masalah ini. Konflik Israel-Palestina
berhubungan dengan kebutuhan identitas dan keamanan yang belum ditangani, terkait masalah
teritorial divisi, pengembalian pengungsi, alokasi air dan masalah lainnya.
Hukum dan norma sosial dilembagakan untuk memaksa dan memanipulasi prilaku
individu dalam kehidupan sosial. Norma tradisional yang tidak respon terhadap kebutuhan
masyarakat menimbulkan tantangan terhadap legitimasi negara. Mobilitas keluar dilakukan oleh
kelompok identitas dan individu jika kebutuhan tidak dapat dicapai dalam hubungan sosial yang
ada. Dalam hal ini, konflik terjadi ketika kurangannya respon institusional dan penolakan
pengembangan. Hal ini menimbulkan pergerakan unit analisis dari negara ke kelompok identitas
sebagai akibat dari kebutuhan manusia. Selain itu, tanpa memuaskan kebutuhan ontologis
manusia, kebutuhan yang melekat dalam tatanan dan hukum tidak bisa menimbulkan kondisi
takut dan mengancam bagi masyarakat.
Konflik Fungsional dan Disfungsional
9. Karl Marx dengan teorinya berpendapat bahwa perubahan dalam hubungan manusia
menyebabkan manusia keluar dari konflik. Kekuatan ekonomi (kekuatan produksi) dalam
pandangan Marxis merupakan elemen penting penetapan panggung kelas dan konflik sosial.
Dalam hal ini, Max Weber dengan pandangan fungsionalis berpendapat bahwa hubungan timbal
balik yang kompleks antara lembaga ekonomi dan sosial merupakan penjelasan dari stabilitas
dan ketertiban. Weber juga berpendapat bahwa situasi konflik yang mendasar dapat dihubungkan
dengan fungsi suatu masyarakat.
Perspektif konsensus ekulibrium masyarakat berbeda dengan perspektif Marxis.
Perspektif ini menganggap konflik sebagai disfungsional dalam pertimbangan ketegangan dan
gangguan di dalam sistem yang harmonis. Aturan, norma dan fungsi yang dibentuk berfungsi
sebagai penegah. Dalam proses interaksi antara komponen yang berbeda, penyesuaian dalam
sistem intergral masyarakat tercipta dari segmen fungsi yang dilakukan masyarakat. Selain itu,
keseimbangan fungsi keamanan fungsi politik dilegitimasi oleh nilai-nilai.
Pembagian kerja secara alami dan deferensiasi sosial menjadi dasar dari perpecahan
distribusi kekuatan politik dan ekonomi. Dalam hal ini, penyeimbangan kekuatan dan aturan baru
universal dari kelompok yang beragam dalam sistem dapat menjadi upaya pencapaian koherensi
sosial. Disfungsional dan patologis dari konflik dapat dihindari dengan kohesi internal yang
dibuat oleh mekanisme regulasi dari institusi konflik.
Perubahan Sosial
Marxist memandang setiap individu dalam kategori tertentu tidak dapat menghindarkan
diri dari pertentangan antar individu. Kelompok masyarakat dibagi berdasarkan perekonomian,
sehingga aspek perekonomian sangat penting dalam memahami hubungan sosial. Menurut Karl
Marx, keadaan saling mempengaruhi antara kekuatan sosial membawa pengaruh terhadap
perubahan. Kunci utama untuk memahami pertarungan sosial adalah menghapuskan struktur
kelas dalam masyarakat yang didasarkan pada pembagian kerja dalam perekonomian. Marxist
memandang konsensus utama dalam masyarakat dapat diwujudkan dengan masyarakat tanpa
kelas.
Analisa Marxist mengenai perubahan struktural didasarkan atas revolusi sosial.
Kepentingan individu dan kesadaran terbentuk dari posisi relatif dalam hirarki sosial, dalam hal
10. ini tergantung pada status sosial individu. Situasi ini dapat dilihat dari tuntutan pekerja yang
menginginkan upah atau bayaran yang adil, sementara itu pemilik modal menginginkan bayaran
yang rendah. Motivasi ekonomi menempatkan setiap kelompok dalam pertentangan kepentingan.
Sistem kapitalisme membuat kepemilikan modal terfokus pada sekelompok kecil masyarakat.
Industri yang dijalankan masyarakat yang memiliki modal yang besar dapat menyingkirkan
kelompok bisnis kecil. Sistem ini memberikan keuntungan politik dan ekonomi terhadap suatu
kelompok dengan mengorbankan kelompok masyarakat lainnya.
Dahrendorf mengungkapkan bahwa dalam suatu masyarakat konflik structural lebih
mudah digambarkan daripada hubungan antarkelas. Berbagai perpecahan sosial menjadi dasar
munculnya konflik. Perbedaan kekuasaan merupakan struktur dasar yang mencerminkan
bagaimana suatu masyarakat diatur. Pertimbangan ekonomi menjadi penting apabila hal tersebut
memberikan pengaruh yang kuat terhadap pertarungan politik. Perbedaan kekuasaan tercermin
dari masyarakat dan organisasi didalamnya. Kekuasaan tersebut secara langsung berhubungan
dengan usaha dalam melakukan suatu perubahan. Menurut Dahrendorf, perbedaan kepentingan
terbentuk atas dasar pembagian struktural atas dominasi dan subdominasi. Konflik merupakan
proses dialektika yang mendorong transformasi dalam masyarakat dengan menggabungkan
elemen-elemen yang saling berlawanan. Institusi sosial dapat direkonstruksi dengan masuknya
elit-elit baru dalam institusi tersebut.
Konflik yang Tertanam dalam Struktur Sosial
Konflik bersifat silikal, inheren dan endemic ketika struktur menciptakan situasi
persaingan antara kekuasaan dan status. Fragmentasi dan polarisasi setiap kepentingan
mencerminkan pengelompokan structural yang berakar dari perbedaan kategori sosial seperti
agama, bahasa dan afiliasi politik suatu etnis. Kepentingan dibagi dan dipengaruhi oleh berbagai
kelompok yang didasarkan pada asosiasi professional, liga olahraga, kelompok sosial dan
institusi ekonomi. Pengaruh tersebut mengurangi potensi perpecahan sosial yang diartikan
kedalam kategori pertentangan yang permanen. Kebersamaan dari bebagai jenis kepentingan
yang berbeda berdampak pada segmentasi kepentingan individu atau sebaliknya dapat
terkonsentrasi menjadi isu superordinat.
11. Keterlibatan pada beberapa hubungan dapat meminimalkan kemungkinan untuk
pengembangan konflik superordinat disekitar masalah monolitik. Keterlibatan dalam satu
pertempuran besar atas kepentingan tertentu dapat dihindari dengan adanya berbagai kelompok
yang mengejar segmentasi dan kepentingan saling bertentangan. Kelompok agama dan sosial
dapat menjadi moderat atau membendung kekerasan dengan menciptakan kenyamanan
psikologis dan keharmonisan sosial. Berbagai lapisan kelompok terlibat dalam berbagai struktur
konflik dan beragam kepentingan dapat menyeimbangkan perbedaan dalam interaksi
berkesinambungan. Suatu kelompok yang mendominasi pada suatu daerah bisa saja menjadi
kelompok yang lebih rendah didaerah lain.
Pembentukan Identitas
Setiap kelompok memiliki identitas yang berperan penting dalam memelihara batas-batas
fungsi. Identitas berhubungan dengan norma, kepercayaan, kebiasaan, dan tradisi yang
mempengaruhi interaksi suatu kelompok dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Hogg,
pembentukan identitas didasari oleh “categorization that perceptually homogenizes ingroups vis-
à-vis outgroups”. Ancaman-ancaman kepada identitas menambah potensi terjadinya konflik
destruktif dalam hubungannya dengan keteguhan batas-batas kelompok. Identitas dianggap dapat
membangun hubungan melalui unsur psikologis negara. Peran individu dan interaksi situasional
merupakan unsur yang diperlukan untuk memperkuat identitas.
Perspektif konstruktivis memandang batasan-batasan dalam kelompok terbentuk dari
konteks sosial yaitu proses artikulasi identitas dengan filter persepsi. Identitas kelompok
digunakan sebagai sumber daya budaya yang membantu meningkatkan rasa emosional dan
menjadi tempat untuk memobilisasi kekuatan. Budaya yang berada dalam hati dan pikiran
masyarakat merupakan senjata politik yang memiliki efek yang kuat. Keluarga, pendidikan dan
berbagai pola sosial memberikan kontribusi terhadap regenerasi simbol-simbol kuno dan sejarah.
Nilai-nilai budaya melahirkan bahasa yang berperan dalam kemunculan ideologi nasional.
Melalui budaya, kebiasaan etnolinguistik memberikan dukungan terhadap pemeliharaan batas-
batas antar etnis. Kebijakan diskriminasi bahasa dapat membuat suatu kelompok masyarakat
kesulitan mendapat kesempatan politik dan kemajuan ekonomi. Salah satu contohnya adalah
penghapusan bahasa Tamil dari official status Sri Lanka pada akhir periode 1950-an.
12. Konstruksi identitas sosial tidak hanya berhubungan dengan usaha mendorong perbedaan
parokial yang jelas tetapi juga berhubungan dengan pembentukan kelompok masyarakat yang
lebih luas. Kasus Turki dan Afrika Selatan dapat dijadikan contoh pada kondisi tersebut.
Identitas Turki sebagai negara muslim dipandang menghalangi asimiliasi negara tersebut
kedalam forum Uni Eropa sedangkan di Afrika Selatan terdapat pergolakan kekuasaan politik
antara kelompok kulit putih dan masyarakat pribumi selama periode aphartheid. Konflik utama
dalam masyarakat multikultural berakar dari kurangnya penghormatan terhadap perbedaan-
perbedaan terutama karena nilai-nilai kelompok yang dominan lebih ditekankan. Berbagai
dimensi yang menjadi batas antar kelompok dapat dilihat dari ciri sosial-budayanya seperti
bahasa, agama, usaha memperkuat integrasi dan motivasi terhadap kekuasaan.
Politisasi Identitas
Pertentangan nilai atau prinsip menyentuh berbagai elemen budaya dan politik. Dasar
sebuah identitas memiliki percabangan sosio-kultural ketika nilai positif dan negatif ditetapkan
berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, bahasa, atau pekerjaan dalam membenarkan
hubungan antar kelompok. Pada beberapa kelompok masyarakat, tingginya evaluasi politik yang
subjektif seringkali digabungkan kedalam kategori objektif dengan menggunakan status khusus
atau kekayaan. Tujuan dari kategorisasi sosial mencakup upaya suatu kelompok untuk membuat
sebuah landasan moral yang lebih tinggi dalam mempertahankan dominasi terhadap kelompok
lain. Persaingan untuk status sosial yang lebih tinggi menghasilkan perjuangan politik.
Keunggulan yang tidak sah suatu kelompok atas yang lain merupakan potensi konflik dimana
terdapat distribusi kekayaan dan kekuasaan yang tidak proporsional. Sikap emosional dan
dorongan primitif berdasarkan rasa permusuhan tergambar dalam kompetisi kelompok-kelompok
tersebut dalam meraih kekuasaan. Kelompok dominan bahkan berusaha untuk mempertahankan
perbedaan sosial dengan mempengaruhi status kelompok bawahan.
Identitas dapat diadaptasikan kedalam intensifikasi konflik atau manajemen permusuhan.
Pada masyarakat multi-etnis, terdapat orientasi kompetitif yang dirasakan terhadap kelompok
lain sehingga memunculkan sikap etnosentris. Identitas nasional dapat dimanipulasi sehingga
menjadi suatu hal yang negatif. Salah satu buktinya adalah kemunculan gerakan hyper-
nationalism yang menyebabkan terjadinya genosida dan pembersihan etnis.
13. Nasionalisme dan negara
Anderson berpendapat Nasionalisme bergantung pada kebanggaan primordial individu
yang membuat suatu kelompok terhubung dengan tanah airnya dan perasaan bersama. Solidaritas
berasal dari ikatan yang terbentuk dari kesamaan budaya, kenangan, leluhur, dan ideologi.
Berbeda dari sifat negara yang berusaha mengejar tujuan politik dan sosial, nasionalisme
mengembangkan sentimen loyalitas. Setiap individu memiliki keterikatan psikologis yang lebih
kuat pada sebuah bangsa dari pada suatu negara. Pada suatu negara terdiri dari satu bangsa,
mayoritas masyarakatnya mendukung legitimasi negara. Sebuah negara bangsa dianggap sebagai
basis utama identitas politik dan loyalitas penduduk. Benturan antara identitas daerah dengan
kesetiaan pada negara sering terjadi pada masyarakat di negara yang multicultural, contohnya
bangsa Welsh yang lebih setia kepada Wales daripada kerajaan Inggris atau bangsa Walloon
yang lebih erat kepada Wallonia dibandingkan dengan Belgia.
Sedikit negara yang masyarakatnya terdiri dari kelompok etnis yang murni. Pada negara
yang memiliki beragam etnis, pertentangan antara kelompok minoritas terhadap mayoritas tidak
dapat dihindari. Batas-batas politik dan teritorial buatan melahirkan banyak negara-negara
modern pasca-kolonial seperti India, Pakistan, Sudan, dan Burundi. Klaim historis mengenai
kenegaraan menjadi sumber berbagai bentrokan antara pemerintah dengan kelompok etnis.
Kelompok minoritas di Kashmir, Chechnya, dan sebagian besar di bekas Republik Yugoslavia
contohnya telah menentang otoritas pusat. Pada krisis tertentu yang melibatkan seluruh
masyarakat, seperti di Rwanda, Serbia, dan Kroasia, berbagai teknologi media dibentuk ulang
sebagai alat propaganda untuk mendorong pembunuhan massal.
Disintegrasi Yugoslavia menjadi enam negara bagian yang terpisah menghasilkan sumber
ketidakstabilan karena kurangnya kesepakatan tentang batas-batas antara kelompok-kelompok
nasional yang sebelumnya terintegrasi di bawah sistem federal. Di Kosovo dan Bosnia-
Herzegovina, beragam anggota kelompok etnis tetap berada di daerah mereka dengan sedikit
kontak dengan kelompok lain. Lima belas negara yang baru lahir dari perpecahan Uni Soviet
menciptakan pembagian dan ketegangan baru. Kebanyakan etnis minoritas telah dipengaruhi
oleh aturan nasionalistik elit negara baru. Isolasi atau segregasi kelompok etnis minoritas yang
tersebar di berbagai unit geografis menunjukkan kerentanan terhadap kekerasan sistematis atau
acak. Dalam suatu tatanan, untuk membangun basis sosial berdasarkan dukungan pemerintah
14. pusat, elit dari negara yang baru lahir mencoba untuk mengurangi identifikasi dan loyal terhadap
sistem sosial tradisional yang tertanam dalam kehidupan komunal. Periode ketidakstabilan
pembentukan negara sering berakhir dengan pemerintahan otokratis seperti di Kazakhstan,
Turkmenistan, Tajikistan dan Uzbekistan, yang memprovokasi gerakan pemberontakan.
Hiper-nationalism sering memicu terjadinya bentuk kekerasan paling brutal. Perasaan
emosional yang kuat dimobilisasi menjadi pembenaran kekejaman internal. Secara khusus,
masyarakat dapat didorong untuk melakukan kekerasan kepada kelompok lain yang menolak
untuk berasimilasi kepada negara. Pemimpin politik dapat menghasut perang antar negara
dengan memanfaatkan aspirasi kelompok nasional yang belum terpenuhi untuk memperluas
wilayah. Sejak awal abad kedua puluh, sebagian besar korban jiwa dari kekerasan konflik
disebabkan hiper-nationalism.
Sistem Negara Kontemporer
Perselisihan antar negara merupakan persaingan kompetitif untuk mengejar kepentingan
ekonomi atau militer dalam kekuasaan politik, penjelasan konflik kontemporer muncul dari
keinginan kelompok-kelompok etnis atau nasionalis memisahkan diri. Signifikansi geopolitik
dan geo-ekonomi, misalnya, yang melekat pada persaingan atas cadangan minyak, telah
mendorong campur tangan dari negara-negara besar di berbagai bagian dunia. Perbedaan agama
dan bahasa sering muncul kepermukaan sebagai penyebab dari permusuhan etnis dan
perselisihan teritorial.
Persaingan geografis dan historis, misalnya, antara India dan Pakistan, telah dibuat oleh
aturan kolonial dan pasca-kolonial. Seiring dengan pembentukan negara baru, telah terjadi
banyak kekerasan politik dengan skala yang berbeda, mulai dari perubahan rezim yang
merugikan dan pemberontakan revolusioner untuk perang etnis dan genosida. Perpecahan negara
yang terjadi sering disebabkan kekerasan antar-komunal, seperti perjuangan Muslim terhadap
Muslim lainnya di Irak dan perang antara Muslim dan non Muslim di Sudan.
Diskriminasi pemerintah terhadap minoritas
Perubahan yang signifikan terjadi dalam sistem global disertai dekolonisasi wilayah yang
dikuasai Eropa di Afrika dan Asia, khususnya antara tahun 1950 dan 1975. Menurut Marshall
15. dan Gurr, jumlah negara merdeka lebih dari dua kali lipat dari 79 negara independen pada 1950
menjadi 161 di tahun 2003, akibat konflik etnis. Afiliasi kelompok etnis secara langsung
berkaitan dengan mobilisasi politik dan persaingan untuk kekuasaan negara di Ethiopia.
Diskriminasi etnis dan ras, misalnya, terhadap Roma dari Bulgaria dan terhadap suku-suku asli
di Brasil, menggambarkan pola sosial dan pertikaian dalam masing-masing masyarakat.
Perbedaan etnis yang ekstrim terdapat di India, Cina, Burma, Ethiopia, Uganda, Pakistan,
Indonesia, dan negara-negara merdeka bekas Uni Soviet, yang bertentangan dengan homogenitas
etnis di Korea, Jepang, Swedia, dan Denmark. Pembubaran Uni Soviet pada 31 Desember 1991
menciptakan divisi baru dalam setiap daerah dengan menempatkan satu kelompok etnis yang
memimpin sebuah negara yang baru merdeka. Kemerdekaan Bangladesh pada tahun 1972
membawa etnis Bengali di Pakistan menjadi kelompk mayoritas yang berkuasa. Upaya negara
baru tersebut untuk mengendalikan kelompok-kelompok minoritas mengakibatkan timbulnya
ketegangan dengan suku yang tinggal di Jalur Bukit Chittagong.
Beberapa kelompok etno-nasional merupakan kelompok kecil dan secara geografis
terpisah. Bebeda dari kelompok etno-nasional, kelompok-kelompok seperti Kurdi memiliki basis
dukungan yang kuat dengan konsentrasi geografis. Para Druze, yang tradisional sebagai cabang
dari Islam tersebar di seluruh Lebanon, Suriah, dan Israel. Druze telah resmi diakui sebagai
sebuah komunitas separatis agama yang memiliki sistem pengadilan sendiri. Dalam banyak
kasus, kebijakan pemerintah secara substansial membatasi praktek kelompok minoritas dan
pilihan politik. Terutama, represi yang terus membatasi mobilisasi kelompok dalam mendukung
otonomi, seperti Tibet dan Uighur di bagian Barat Cina. Represi yang paling parah dari etnis
minoritas juga ditemukan di Birma, Sudan, dan bekas republik Soviet seperti Uzbekistan.
Kelompok dominan menetapkan agenda politik yang dibuat dengan mengorbankan hak
masyarakat lain. Diskriminasi politik atau ekonomi terhadap kelompok etnis konstituen dengan
elit negara merupakan pusat konflik etnis. Variasi yang luas mengenai jumlah dan ukuran
penindasann terhadap kelompok minoritas oleh entitas negara mencirikan dinamika konflik
masyarakat multi-etnis. Di negara-negara seperti Cina, kesejahteraan kelompok minoritas
semakin didesak oleh perubahan ekonomi yang pesat, eksploitasi lingkungan, dan transfer
kebangsaan Han yang dominan ke daerah-daerah etnis yang sebelumnya otonom.
16. Perubahan status kelompok minoritas sangat jarang terjadi kecuali muncul niat
memisahkan diri dari negara federal. Gerakan separatis damai dapat terjadi dalam kasus tertentu
seperti pembagian Cekoslovakia menjadi dua negara. Perselisihan perbatasan dapat muncul dari
pemisahan ini meskipun telah ditetapkan daerah provinsi, wilayah, atau daerah sub-negara.
Gerakan separatis etnis atau agama dapat pula melakukan perlawanan militer seperti gerakan
Karen dan Arakan di Burma, Mindano-Filipina, Aceh-Indonesia, dan Patani-Thailand.
Pengekangan terhadap otonomi politik kelompok minoritas nasional membuat negara tetangga
yang berdekatan juga bisa terlibat langsung dalam konflik. Penindasan Hongaria di Slovakia dan
tindakan Rusia atas Estonia, Lithuania, dan Ukraina telah menghasilkan ketegangan yang
membara antara negara tuan rumah kelompok minoritas dan negara-negara yang berdekatan.
Terorisme
Penduduk sipil telah menjadi sasaran kekerasan dieksekusi secara sistematis dan
disengaja sebagai kerusakan jaminan. Terorisme merupakan pemaksaan kekuatan melalui
serangan yang tidak bermoral, teror mematikan dan taktik intimidasi. Teorisme dianggap sebagai
bagian dari kekerasan bermotif politik. Karakteristik dan pola tindakan terorisme bersifat tidak
teratur. Karakter yang controversial ini juga tercermin dalam ungkapan populer "pejuang
kemerdekaan hanya satu selain itu teroris". Menurut Richardson, sebagai bentuk politik
kekerasan, terorisme sering menargetkan symbol-simbol yang berpengaruh dalam struktur untuk
menarik perhatian dalam agenda politik. Terosisme dan pemerintah berada dalam pola asymetris
power, sehingga Teroris sering melakukan serangan mendadak dan situasional untuk
medapatkan suatu keuntungan.
Sebagai sarana kebijakan represif, pemerintah juga dapat menggunakan cara yang tidak
manusiawi terhadap pihak-pihak tertentu dalam upaya untuk memaksa suatu tatanan, hal tersebut
pernah diterapkan oleh Idi Amin yang memerintah Uganda antara 1971 dan 1979. Pemerintah
dapat meneror populasi di negara mereka sendiri atau negara lainnya. Tindakan lain yang dapat
dilakukan pemerintah adalah membatasi akses kebutuhan dasar manusia serta menggunakan
senjata berat yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Kondisi tersebut terjadi dalam serangan
Rusia terhadap daerah sipil Chechnya dan serangan Israel terhadap wilayah pemukiman.Efek
psikologis terhadap masyarakat yang disebabkan aksi terorisme lebih penting daripada kerusakan
fisik yang ditimbulkannya. Menurut Soeters, The perceptual response to the terrorist act obtains
17. peculiar social prominence in the collective consciousness projected, in large part, by surprise,
indiscriminate violence beyond ethical boundaries.