2. TINDAK PIDANAAda dua unsur dalam pendekatan suatu Tindak
Pidana, Yaitu:
• Actus Reus
“Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu
sendiri atau perbuatan yang dilakukan”
• Mens rea
“mens rea adalah unsur kesalahan (fault element)
atau unsur mental (mental element)”
3. Hukum Pidana Jerman telah lama
mengadopsi perbedaan antara tiga
konsep yakni;
kesalahan,
ketiadaan pembenaran,
kelalaian.
4. PERBUATAN TANPA
SUKARELA
AUTOMATISM (OTOMATISME)
Otomatisme meliputi perbuatan yang dilakukan
tanpa sadar karena pengaruh dari kekuatan,
kejang, Pergerakan fisik yang dipaksa.
Tindakan tanpa sadar yang dipicu karena
gangguan kejiwaan (kegilaan) tidak termasuk
kedalam Konsep Otomatisme ini, begitu juga
dengan otomatisme yang didapati karena
pengaruh intoksinasi, jika intoksinasi merupakan
prior fault (kesalahan permulaan) pelaku.
5. KEWENANGAN NEGARA DAN
KEPEMILIKAN
Pertanggungjawaban Situasional
Dalam pertanggungjawaban ini terdakwa tetap dikenakan
pertanggungjawaban. Terdakwa dapat ditemukan
bertanggung jawab bahkan jika mereka tidak sengaja atau
secara sukarela melakukan tindak pidana, Hal ini
berhubungan dengan suatu Kewenangan Negara.
Pelanggaran kepemilikan
Hukum yang berlaku di Inggris terdiri dari beberapa
pelanggaran terkait kepemilikan, terutama masalah
kepemilikan senjata yang kemungkinan digunakan untuk
perampokan, pencurian, dan penipuan serta pengendalian
obat terlarang.
6. KELALAIAN
Kelalaian biasanya disebut juga dengan
kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan.
Berdasar sejumlah kasus kelalaian yang terjadi,
ada sejumlah kasus yang jelas merupakan
kelalaian meski sebagian lainnya merupakan
kasus yang ambigu dimana kelalaian seharusnya
tidak digunakan sebagai jubah untuk menghindari
isu moral.
7. KEPRIBADIAN (PERSONALITY)
a. Kepribadian Alami dan Kepribadian
Korporasi
Hukum pidana awalnya hanya berfokus pada
personalitas individu dalam sebagai pelaku
pelanggaran, kejahatan dan kelaiaian. Ini disebut
sebagai Personalitas Natural.
Dewasa ini hukum pidana telah membuat
perkembangan terobosan ke dalam aktivitas
perusahaan selama beberapa tahun terakhir
dimana pengadilan mengembangkan doktrin
kewajiban pengganti dan perusahaan serta
pengenalan parlemen kepada pelanggaran baru
yang lebih spesifik terhadap aktivitas perusahaan
di bidang keuangan dan perdagangan yang
disebut Personalitas Korporasi.
8. b. Tanggung Jawab Pidana Korporasi
• Kemungkinan dari mewakilkan kewajiban
Berkaitan dengan prinsip delegasi yakni dimana ada
kesepakatan yang memungkinkan kewajiban
pemilik, pemegang lisensi, atau penjaga, pengadilan
bisa membuat orang yang mewakili memiliki
kewajiban terhadap perbuatan siapapun yang
merupakan manajemen dan telah menerima
pendelegasian.
• Prinsip identifikasi
Pertanggungjawaban ini dengan cara
mengindentifikasi keterlibatan otak perusahaan
yakni, Direktur Senior dan Manajer untuk
menghindari ketidakadilan.
9. c. Individualisme dan Korporatisme
Pertanggungjawaban ini memisahkan antara
pertanggungjawaban individu pekerja suatu
perusahaan dan korporasi atau perusahaan
yang dipandang sebagai satu individu
tersendiri, yang terpenting adalah
perusahaan memiliki kemungkinan terbuka
baik untuk dipidana maupun kewajiban sosial
sejak mereka membentuk struktur dalam
kontek untuk perwakilan pekerja
perusahaan.
10. d. Perubahan basis kewajiban korporasi
Perubahan ini didasari terhadap kasus dimana suatu
perusahaan bertanggungjawab atas kasus
pembunuhan didasari “kegagalan manajemen”
sebagai berikut :
Korporasi dinyatakan bersalah telah membunuh
perusahaan jika:
1. Manajemen korporasi gagal karena telah
menyebabkan seseorang meninggal dunia; dan
2. Tindakan salah melawan hukum ini dijatuhkan atas
kegagalan yang merupakan perilaku dibawah
perkiraan yang dimungkinkan terjadi dalam
perusahaan.
11. Kausalitas (sebab-akibat)
Kausalitas merupakan satu dari syarat utama
kewajiban pidana, dimana untuk setiap
perbuatan yang dilakukan dengan sukarela
(automatism) memiliki konsekuensi tersendiri.
Sebelum melihat lebih jauh mengenai
pendekatan common law, ada dua
kemungkinan yang mesti dijelaskan.
• Pertama, ada keinginan yang digunakan
untuk melakukan pendekatan mengenai
penyebab dimana tindakan pelaku
sepenuhnya salah.
• Kedua, ada pendekatan yang lebih sempit
terhadap kasus khusus dimana penyebab
didasarkan pada otonomi.
12. Intervensi antara perbuatan/ tindakan
dan hasil perbuatan
Ada tiga kondisi yang
mengindikasikan adanya intervensi
berkaitan dengan perbuatan dan
hasil perbuatan pidana yang
dikecualikan, yaitu :
1. “ketidaksengajaan’ tindakan dari
pihak ketiga
2. Perbuatan dokter
3. Perbuatan yang dilakukan korban
13. Kausalitas dan Kelalaian
Ada pernyataan yang menyebutkan
adanya korelasi kelalaian terhadap suatu
hasil dari perbuatan.
Seperti misalnya orang tua yang tidak
hadir untuk menyelamatkan anaknya
ketika tenggelam bisa dikatakan
menyebabkan anaknya meninggal, hal ini
bisa mengindikasikan adanya kelalaian
dari orang tua.
14. Menyebabkan perbuatan orang
lain (penyertaan)
ada bagian yang tidak konsisten dari
prinsip umum otonomi individu, dimana
ketika tanggung jawab atas sebuah
perbuatan bisa dialihkan atau dilimpahkan
kepada orang lain yang dengan sukarela
melakukan perbuatan tersebut.
Banyak penulis sekarang mengetahui
bahwa unsur sebab-akibat dimungkinkan
hadir dari “membantu dan bersekongkol”.
15. Perilaku yang Dibenarkan
1. Pertahanan diri
Individu yang diserang dengan
kekerasan fisik yang serius mesti
diberi kebebasan melakukan
perlawanan sebagai wujud hak
dasarnya untuk melindungi diri sendiri.
Hukum pidana tidak bisa menghormati
atau memaklumi kebebasan individu
jika tidak dapat dibuktikan ia dalam
situasi yang mengerikan.
16. Kisaran pembenaran
Ada enam hal pembenaran yang terkandung dalam draft
Criminal Code :
1. Untuk mencegah atau menghentikan kejahatan atau
untuk mempengaruhi atau membantu dalam
penangkapan yang sah dari pelaku atau diduga pelaku
atau seseorang secara melawan hukum pada umumnya
2. Untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran
perdamaian
3. Untuk melindungi dirinya sendiri atau orang lain dari
tindakan melawan hukum atau pelaku yang diduga
melawan hukum
4. Untuk mencegah atau menghentikan penahanan yang
tidak sah dari dirinya atau yang lain
5. Untuk melindungi property miliknya dari upaya tindakan
melawan hukum(pencurian, perampokan), perusakan
atau kerusakan
6. Untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran
kepada orang atau hartanya.
17. Aspek kebutuhan yang disyaratkan
Nilai kebutuhan dalam suatu tindak
kekerasan mesti dinilai berdasar: tujuan yang
sah. Sejumlah hal yang merupakan nilai
“kebutuhan” antara lain:
1. Kesegeraan
2. Kewajiban untuk menghindari konflik
3. Upaya melindungi rumah
4. Kebebasan untuk bergerak
5. Serangan pre-emptive
6. Kebutuhan, proporsional, dan
pelaksanaan hukum
18. Hukuman (siksa) Terhadap
Anak
Sistem common law berpendapat bahwa
orang tua dilarang karena alasan apapun
menggunakan kekerasan terutama untuk
mendisiplinkan anak. Negara memiliki
kekuatan untuk memberikan hukuman
kepada orang tua yang melangar aturan
ini, karena ada pembatasan mengenai
izin untuk mendidik anak mereka dari
Negara, terutama kaitannya dalam
pengembangan pribadi anak.
19. Pembenaran Terhadap Kebutuhan dan
Pilihan Kejahatan
Kebutuhan yang dibenarkan
Hukum di Negara Inggris memberikan pembatasan
terhadap pembelaan diri, ini berlaku hanya bagi seseorang
yang dinyatakan terancam atau takut terhadap bahaya
yang serius. Perbuatan yang dilakukan di bawah paksaan
atau karena kebutuhan merupakan suatu tidakan yang
dilakukan tidak sukarela (terpaksa).
Kebutuhan di dunia medis
Ada sejumlah tindakan di dunia medis yang meski secara
hukum melanggar namun perlu dilakukan dalam dunia
medis. Jika pelanggaran ini dilakukan dengan alasan yang
kuat dan dengan kebutuhan yang mendesak, maka
kesalahan medis oleh tenaga medis seperti dokter , yang
terjadi bisa dibenarkan. Salah satunya adalah aborsi pada
ibu yang harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa
20. c. Perkembangan putusan terhadap
pembenaran
Ada anggapan dari komisi hukum bahwa kodifikasi
terhadap seluruh pelanggaran wajib dituliskan tidak
harus dilakukan dengan lengkap dan jelas, hal ini
dilakukan untuk memberi kelonggaran, terutama
dalam kaitannya dengan tindakan yang dilakukan
dalam kondisi terpaksa atau dibawah ancaman
21. Kesimpulan
Dalam menentukan pertanggungjawaban
pidana terdapat disparitas terhadap dua isu
yakni mengenai perbuatan sukarela
(voluntary act) dan perbuaatan tidak suka
rela (involuntary act). Dilihat dari perbuatan-
perbuatan itu, maka pertanggungjawaban
erat dengan hal mens rea (niat), sehingga
dapat diklasifikasikan bahwa suatu perbuatan
itu merupakan perbuatan yang diinginkan,
kelalaian dan otomatisme (diluar kontrol) .
Dalam perkembangannya disebutkan pula
adanya pertanggungjawaban oleh korporasi,
korporasi dianggap sebagai individu yang
memiliki pertanggungjawaban terhadap
kegiatannya. . Selain itu, pokok bahasan ini
juga mengenai dalam kondisi darurat ada
alasan pembenaran seseorang melakukan
tindak pidana.
22. Analisis
Otomatisme
Meskipun perbuatan yang dilakukan seseorang yang
kehilangan akal (kesadaran) karena suatu penyakit
mental (kegilaan) disebutkan sebagai perbuatan yang
dilakukan tanpa sukarela, tetapi hal ini tidak bisa
dikatakan masuk kedalam doktrin otomatisme, Si
pelaku harus tetap dilakukan penahanan berupa
dimasukan kedalam rumah sakit kejiwaan karena
dikhawatirkan dia akan mengulangi perbuatannya dan
menimbulkan efek bahaya bagi orang lain maupun
dirinya sendiri. Tetapi beda dengan penyakit kejiwaan
yang terjadi di waktu-waktu tertentu (tidak setiap saat
seperti "gila") contoh penyakit epilepsi, yang terjadi bila
faktor-faktor epilepsi terjadi. Disini penyakit epilepsi bisa
masuk kedalam doktrin atau ajaran otomatisme karena
keadaan kehilangan akalnya tidak terjadi setiap saat.
Jadi penyakit kejiwaan yang permanen lah yang tidak
dapat dimasukan kedalam konsep doktrin otomatisme.
23. • Konsep Kelalaian sebagai penyebab
Konsep antara kelalaian dan sebab akibat ini
pun kadang sangat sulit untuk dikaitkan. Sebagai
contohnya Orang tua yang lalai tidak berusaha
menyelamatkan anaknya yang hampir
tenggelam bisa diambil kesimpulan bahwa anak
itu akan meninggal. Tetapi ternyata walaupun
tanpa adanya pertolongan, Si anak tetap dapat
hidup. Ternyata dapat ditarik kesimpulan dengan
atau tanpa adanya orang tua di situ si anak tidak
tenggelam. Kelalaian orang tua itu tidak dapat
dikatakan sebagai penyebab si anak akan
tenggelam, karena tanpa tindakan pertolongan
dari orang tuanya pun si anak tetap akan
selamat.
24. • Choice of Evils dalam dunia medis
Choice of evil dalam dunia medis sampai
sekarang masih sering diperdebatkan terutama
mengenai aborsi terhadap anak. Jika calon anak
itu tidak segera dilakukan aborsi maka akan
membahayakan nyawa ibunya. Tetapi yang
menjadi perdebatan disini adalah si calon anak
tersebut sudah dianggap sebagai manusia dan
untuk itu dia memilki hak-hak asasi manusia
terutama hak untuk hidup.
25. •Pembelaan diri yang dilakukan sesuai aspek
kebutuhan
Pembelaan diri ini harus diperhatikan juga aspek
kebutuhannya. Apakah kebutuhan dalam upaya
pembelaan diri itu diperlukan dalam suatu
pembelaan diri. Hakim harus mempertimbangkan
apakah perbuatan pembelaan diri yang
mengakibatkan si penyerang meninggal itu perlu.
Apakah sebenarnya seseorang dalam pembelaan
diri tidak harus menyebabkan pelaku meninggal,
contoh A menyerang B dengan tangan kosong di
tengah malam, B yang kebetulan membawa senjata
api menembakan senjatanya ke B dan
mengakibatkan B meninggal. Hakim
mempertimbangkan bahwa tidak ada relevansi
kebutuhan antara B membela diri dengan
menggunakan pistol. Secara akal sehat,
penyerangan tangan kosong dapat dilakukan
pembelaan diri dengan tangan kosong juga. Tetapi
26. Implementasi di Indonesia
Dasar peniadaan pidana di luar KUHP dan
merupakan hukum tertulis menurut Van Bemmelen
ialah :
Hak mendidik orang tua dan wali terhadap anaknya,
hak mendidik guru, dosen terhadap siswanya
Hak jabatan atau pekerjaan dokter, apoteker, bidan,
peneliti ilmu alam
Izin mereka yang kepentingannya dilanggar kepada
orang yang melanggar kepentingan itu, yang
perbuatannya merupakan delikseandainya tak ada izin
tersebut
Zaakwarnerming menurut pasal 1354 – 1358 KUHP
Tidak ada sifat melwanb hukumnya yang material
Tidak ada kesalahan
27. Selain itu, Bemmelen juga menjelaskan
peraturan hukum lain yang
mengandung dasar pembenar dan
pemaaf, misalnya :
Hak dukun kampung mengobati atau
menyunat orang atau melakukan
pekerjaan bidan
Ketentuan adat sepanjang tidak
bertentangan dengan PAncasila
28. Peniadaan Pidana
Di Indonesia, ada dua dasar yang lazim, yakni :
Dasar pemaaf , unsure delik sudah terbukti,
namun unsure kesalahan tidak ada pada
pembuat. Maka terdakwa dilepaskan dari
segala tuntutan hukum. Dalam hal ini
misalnya :
Adanya ketidakmampuan bertanggung jawab
si pembuat (pasal 44 ayat 1)
Adanya daya ppaksa mutlak dan
pelampauan keadaan darurat (pasal 48)
Adanya pembelaan terpaksa yang
melampaui batas (pasal 49 ayat 2)
Karena menjalankan perintah jabatan yang
tidak sah dengan itikad baik (pasal 51 ayat 2)
29. Dasar pembenar, sifat melawan hukum
perbuatan hapus atau tidak terbukti ,
maka perbuatan terdakwa dianggap
patut dan benar sehingga terdakwa
harus dibebaskan oleh hakim, misalnya :
Adanya daya paksa relative dan
keadaan darurat (pasal 48)
Adanya pembelaan terpaksa (pasal 49
ayat 1)
Sebab menjalankan undang-undang
(pasal 50)
Melaksanakan perintah jabatan yang sah
(pasal 51 ayat )
30. Sementara itu, terkait tindak pidana
yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dalam dua
hal, jika menilik pasal 44 KUHP, yaitu ;
Jiwanya cacat dalam pertumbuhan
Terganggu karena penyakit jiwa.
31. Daya Paksa
Dalam pasal 48 KUHP dinyatakan bahwa
‘barangsiapa yang melakukan perbuatan karena
pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana”.
Daya paksa ini oleh Jonkers, dibagi kedala 3
bagian, yaitu
Daya paksa mutlak : pelaku tidak dapat berbuat
yang lainya, seperti dihipnotis
Daya paksa relative : terjadi akibat adanya
paksaan fisik atau psikis, contohnya pada
perampokan bank, banker ditodong pistol untuk
menyerahkan uang.
Keadaan darurat : bila seseorang terancam
bahaya, dimana ada tiga doktrin yang bekerja
pada keadaan darurat, yaitu dalam hal terjadi
dua kepentingan hukum
33. Menjalankan perintah jabatan
Dijelaskan dalam pasal 51 ayat (1)
KUHP
Sebab-akibat
KUHP hanya menentukan dalam
beberapa pasalnya bahwa untuk delik
tertentu diperlukan suatu akibat
tertentu untuk menjatuhkan pidana
terhadap pelaku
34. Terjadinya delik atau actus reus
hanya ada pada delik yang
mensyaratkan adanya akibat
tertentu, yaitu :
Delik materiil , misalnya pembunuhan,
penipuan
Delik culpa , misalnya kelalaian yang
mengakibatkan kematian seseorang (pasal
359 KUHP)
Ada pula syarat yang memperberat pidana
dengan terjadinya akibat tertentu pada
suatu delik
ada delik formal yang tidak mensyaratkan
adanya akibat