SlideShare a Scribd company logo
1 of 130
Download to read offline
PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN
KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN
INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN
TINGKAT EROSI TANAH
Studi Kasus DAS Tinalah
Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar kesarjanaan S1 pada
Fakultas Geografi UGM
Oleh :
Bramantiyo Marjuki
No. Mhs. 04/175633/GE/5579
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS GEOGRAFI
YOGYAKARTA
2008
i
KATA PENGANTAR
Pertama - tama penulis ingin memanjatkan puji dan syukur sedalam -
dalamnya kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya maka
penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tulisan ini merupakan laporan dari penelitian yang penulis lakukan guna
memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sains di bidang
geografi pada Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM. Dalam
pelaksanaannya, penulis mengalami berbagai kendala dan hambatan, oleh karena
itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besar kepada nama-nama di bawah ini, karena berkat kebaikan, keiklhasan, dan
pengorbanan mereka, penulis bisa mencapai kondisi sekarang dan dapat
menyelesaikan penyusunan laporan ini. Mereka adalah:
1. Dr. Junun Sartohadi., M.Sc, selaku Ketua Jurusan Geografi Lingkungan
dan Dosen Pembimbing Skripsi, atas begitu besarnya perhatian, gagasan,
masukan, dan ilmu yang telah diberikan, serta akses terhadap Citra SPOT-5
yang digunakan dalam penelitian.
2. Dr. H. Hartono., DEA., DESS, selaku Dekan Fakultas Geografi UGM
yang telah memberikan ijin penelitian.
3. Drs Tukidal Yunianto., M.Sc dan Barandi Sapta Widartono., S.Si.,
M.Si, selaku Dosen Penguji Skripsi, yang dengan segala keramahannya
telah bersedia menguji, mengkritisi hasil penelitian dan memberikan saran-
saran perbaikan yang bermanfaat.
4. Bapak, Ibu, adik-adikku dan keluarga di rumah, atas dukungan moral
dan material selama pelaksaan penelitian dan penulisan laporan skripsi,
sungguh merupakan pengorbanan yang tak mungkin terbalas.
5. Djaka Marwasta., S.Si., M.Si., dan Drs Projo Danoedoro., M.Sc., Ph.D.,
dan., yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi baik secara lisan
maupun melalui email tentang pemrosesan citra dan ekstraksi data biofisik
ii
dari citra penginderaan jauh.
6. Orang-orang baik yang telah membantu dalam kerja lapangan dan
meminjamkan Komputer, Printer, Laptop, GPS, dan Kamera digital, Aspian
Noor, Duwi Jalestari, Putu Perdana Kusuma Wiguna, Samudera Ivan
Supratikno, Romi Nugroho, Aris Widodo, Fara Dwi Sakti Kartika,
Vidyana Arsanti, Wahyu Kuncoro GIL 04, Dini Anggriani SIGPW 04,
Tommy Andryan GIL 03, Kun Hidayati Arifah dan Rahmi PWK FT
UGM 03.
7. Senior asisten Geografi Lingkungan Rino Cahyadi Srijaya Giyanto S.Si
(alm) dan Nugroho Christanto, S.Si yang telah membantu memperoleh
Citra SPOT-5, Muhammad Anggri Setiawan S.Si., M.Sc untuk beberapa
diskusi tentang erosi, dan Guruh Samodra GIL 04 untuk masukan dan
koreksi abstrak.
8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis yang tidak
dapat disebutkan satu per satu, baik dalam pelaksanaan penelitian maupun
penulisan skripsi.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini merupakan cerminan betapa masih
dangkalnya kemampuan penulis dalam bidang Geografi, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat penulis harapkan guna pengembangan kemampuan
akademis penulis. Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat
serta balasan atas segala kebaikan yang telah diberikan. Amin.
Yogyakarta, Juli 2008.
Penyusun
Bramantiyo Marjuki
iii
PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN
KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN
INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN
TINGKAT EROSI TANAH
Studi Kasus DAS Tinalah
Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Oleh
Bramantiyo Marjuki
04/175633/GE/5579
INTISARI
Tujuan daru penelitian ini adalah memetakan kondisi tutupan kanopi vegetasi di
DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo menggunakan indeks vegetasi (NDVI) dan
mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi.
Pemetaan dilakukan dengan menggunakan analisis regresi antara nilai digital
NDVI sebagai variabel bebas dan nilai persentase tutupan kanopi vegetasi sebagai
variabel terikat. NDVI dalam penelitian ini diturunkan dari Citra SPOT-5 HRG
dengan skala dasar pemetaan adalah 1:50.000. Pengumpulan data lapangan untuk
menurunkan model dilakukan secara purposive sampling pada dua kelas
penggunaan lahan. Analisis hubungan tutupan kanopi vegetasi dan tingkat erosi
dilakukan menggunakan tabel silang. Derajat hubungan secara kuantitatif
ditentukan menggunakan indeks kappa (κ).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan NDVI untuk memetakan
tutupan kanopi DAS Tinalah belum memberikan hasil yang memuaskan.
Hubungan terbaik diberikan oleh model regresi polinomial orde 2 untuk vegetasi
pada penggunaan lahan kebun campur dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,485 dan
nilai determinasi (r2
) sebesar 0,235. Untuk vegetasi pada penggunaan lahan
tegalan hubungan terbaik diberikan model regresi eksponensial dengan nilai
korelasi (r) sebesar 0,305 dan nilai determinasi (r2
) sebesar 0,093. Analisis tabel
silang antara hasil penilaian tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi
menunjukkan tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut dengan nilai (κ)
sebagai nilai korelasi sebesar 0,05.
Kata kunci: tutupan kanopi, NDVI, tingkat erosi
iv
APPLICATION OF CANOPY COVER MAPPING BASED ON
VEGETATION INDEX AND ITS RELATIONSHIP WITH
EROSION RATE
Case Study Tinalah Watershed
Kulonprogo Regency, Yogyakarta Special Province
by
Bramantiyo Marjuki
04/175633/GE/5579
ABSTRACT
The main objectives of this research are to apply canopy cover mapping based on
vegetation index (NDVI) in Tinalah Watershed and to analyze its relationship
with erosion rate.
Mapping was done through regression analysis between NDVI value as
independent variable and percentage fraction canopy cover as dependent
variable. SPOT-5 HRG imagery was used to derive NDVI map at scale 1:50.000.
Purposive sampling at two landuse class was chosen to obtain field data for
model generation. Relationship analysis between vegetation canopy cover and
erosion rate was done through cross tabulation analysis. Kappa index (κ) was
used to determine its correlation quantitatively.
The study result showed that utilization of NDVI for mapping canopy cover over
entire study area was not satisfied. Second order polynomial regression model
was the best model for estimating vegetation canopy cover in mixed garden land
use (r = 0,485 and r2
= 0,235) while exponential regression model was the best
model for field crop landuse (r = 0,305 and r2
= 0,093). Cross tabulation
analysis between canopy cover derived from fieldwork and qualitative field
assessment of soil erosion rate have shown that both of them was not correlated
(k=0,05).
Keywords= Canopy cover, NDVI, erosion rate
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
INTISARI......................................................................................................... iii
ABSTRACT.................................................................................................... iv
DAFTAR ISI.................................................................................................... v
DAFTAR TABEL............................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... x
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah....................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian......................................................................... 4
1.5 Tinjauan Pustaka........................................................................... 5
1.5.1 Tinjauan Teoritis................................................................ 5
1.5.2 Tinjauan Empiris............................................................... 14
1.6 Kerangka Pemikiran....................................................................... 15
1.7 Batasan Operasional....................................................................... 17
BAB II. METODE PENELITIAN
2.1 Pengumpulan Data........................................................................ 19
2.1.1 Macam Data...................................................................... 19
2.1.2 Sumber Data...................................................................... 19
2.1.3 Alat Penelitian................................................................... 19
2.1.4 Penentuan Lokasi Sampel................................................. 20
2.1.5 Metode Pengumpulan Data............................................... 20
2.2 Pengolahan dan Analisis Data....................................................... 26
2.2.1 Analisis Regresi NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi.. 26
2.2.2 Analisis Hubungan Tutupan Kanopi dan Tingkat Erosi..... 28
BAB III DESKRIPSI WILAYAH
3.1 Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian....................................... 30
3.2 Iklim............................................................................................... 32
3.2.1 Curah Hujan....................................................................... 32
3.2.2 Suhu................................................................................... 33
3.2.3 Tipe Iklim........................................................................... 34
3.3 Geologi........................................................................................... 36
3.4 Geomorfologi dan Bentuklahan..................................................... 38
3.5 Hidrologi......................................................................................... 41
3.6 Tanah.............................................................................................. 42
3.7 Vegetasi dan Penggunaan Lahan................................................... 46
3.8 Kependudukan dan Sosial Ekonomi............................................... 48
vi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Restorasi Citra................................................................................ 49
4.1.1 Koreksi Geometrik.............................................................. 49
4.1.2 Koreksi Radiometrik........................................................... 51
4.2 Transformasi NDVI........................................................................ 53
4.3 Penggabungan Citra dan Pemetaan Penggunaan Lahan................. 56
4.3.1 Penggabungan Citra............................................................ 56
4.3.2 Pemetaan Penggunaan Lahan.............................................. 59
4.4 Pengukuran Tutupan Kanopi.......................................................... 66
4.5 Pengamatan Bentukan Erosi dan Penilaian Tingkat Erosi
Kualitatif......................................................................................... 69
4.6 Analisis Regresi Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi...... 76
4.7 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Regresi................................... 80
4.8 Analisis Hubungan Tingkat Erosi dan Tutupan Kanopi Vegetasi.. 85
4.9 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Hubungan Tingkat Erosi dan
Tutupan Kanopi Vegetasi............................................................... 88
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan..................................................................................... 91
5.2 Saran................................................................................................ 92
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 94
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
No. Tabel Hal
1.1 Dampak Erosi....................................................................................... 5
1.2 Karakteristik Satelit dan Sensor SPOT-5............................................. 11
1.3 Tingkat Pemrosesan Citra SPOT-5...................................................... 13
2.1 Indikator Tingkat Erosi......................................................................... 26
2.2 Model Regresi Yang Digunakan dan Bentuk Persamaannya............... 27
2.3 Klasifikasi Tutupan Kanopi.................................................................. 28
3.1 Desa Yang Termasuk Dalam DAS Tinalah.......................................... 30
3.2 Curah Hujan Rata-rata Tahunan DAS Tinalah Tahun 1997-2006........ 32
3.3 Suhu Rata-rata Bulanan DAS Tinalah................................................... 34
3.4 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q............................................................ 35
3.5 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian..................................... 35
3.6 Distribusi dan Jenis Batuan DAS Tinalah............................................ 38
3.7 Distribusi Bentuklahan DAS Tinalah................................................... 41
3.8 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah................................. 46
3.9 Karakteristik Demografi DAS Tinalah................................................. 48
4.1 Nilai Bias atmosfer Pada Setiap Saluran Citra SPOT-5....................... 52
4.2 Hasil Uji Akurasi Interpretasi Penggunaan Lahan................................ 62
4.3a Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur....... 77
4.3b Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Tegalan................... 77
4.4 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan
Kanopi Vegetasi.................................................................................... 86
4.5 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan
Tanah..................................................................................................... 87
4.6 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kelas kemiringan
Lereng..................................................................................................... 87
viii
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Hal
1.1 Proses Erosi........................................................................................... 6
1.2 Canopy Cover dan Canopy Closure...................................................... 8
1.3 Kurva Pantulan Obyek Vegetasi, Tanah dan Air.................................. 9
1.4 Satelit SPOT-5 dan Konfigurasi Instrumen Pencitraannya.................. 12
1.5 Perekaman Nadir dan Off-Nadir Pada Instrumen HRG SPOT-5......... 13
1.6 Kerangka Pemikiran.............................................................................. 18
2.1 USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart......................................... 24
2.2 Plot Sampel............................................................................................ 25
2.3 Diagram Alir Penelitian.......................................................................... 29
3.1 Peta Administrasi Desa Di Sekitar DAS Tinalah................................... 31
3.2 Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan DAS Tinalah Tahun
1997-2006.............................................................................................. 33
3.3 Peta Geologi DAS Tinalah..................................................................... 37
3.4 Peta Bentuklahan DAS Tinalah.............................................................. 39
3.5 Peta Tanah DAS Tinalah........................................................................ 44
3.6 Peta Penggunaan Lahan DAS Tinalah................................................... 47
4.1 Perbandingan Citra SPOT-5 Sebelum dan Sesudah Koreksi
Geometrik............................................................................................... 50
4.2 Citra Hasil Orthorektifikasi.................................................................... 51
4.3 Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah....................................... 54
4.4 Citra NDVI SPOT-5 DAS Tinalah........................................................ 55
4.5 Perbandingan Citra Multispektral, Pankromatik dan Citra Gabungan... 57
4.6 Perbedaan Kenampakan Obyek Pada Citra Komposit 432 dan 321...... 58
4.7 Perbandingan Citra Pankromatik dan Komponen Intensitas Dari
Komposit 432......................................................................................... 59
4.8 Citra Gabungan Komposit 432 Menggunakan Transformasi IHS......... 60
4.9 Foto Perbandingan Kenampakan Penggunaan Lahan Pada Citra dan
Kenampakan Lapangan.......................................................................... 63
4.10 Foto Yang Menunjukkan Perbedaan Kondisi Penutup lahan Saat Citra
Direkam dan Kondisi Saat Survei Lapangan.......................................... 65
4.11 Foto Contoh Hasil Estimasi Persentase Tutupan Kanopi...................... 67
4.12 Peta Lokasi Sampel................................................................................. 68
4.13 Foto Kenampakan Pedestal.................................................................... 70
4.14 Foto Armour Layer................................................................................ 70
4.15 Foto Singkapan Akar Pada Tanaman Jagung..........................................71
4.16 Foto Gundukan Tanah Di bawah Kanopi Tanaman (tree mound)......... 72
4.17 Foto Akumulasi Material Pada Sisi Sebelah Atas Batang Tanaman...... 72
4.18 Foto Endapan Material Hasil Limpasan Permukaan Di sepanjang
Saluran Drainase..................................................................................... 73
4.19 Foto Kenampakan Erosi Alur................................................................. 74
4.20 Foto Erosi Parit...................................................................................... 75
ix
4.21 Grafik Hasil Penilaian Tingkat Erosi Pada 42 Lokasi Sampel................76
4.22 Diagram Pencar Hubungan NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi
Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur dan Tegalan ........... 78
4.23 Peta Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi Pada Penggunaan Lahan
Kebun Campur dan Tegalan DAS Tinalah............................................ 79
4.24a Grafik Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil
Pengukuran dan Hasil Prediksi Untuk Vegetasi Pada
Penggunaan Lahan Kebun Campur........................................................ 80
4.24b Grafik Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil
Pengukuran dan Hasil Prediksi Untuk Vegetasi Pada
Penggunaan Lahan Tegalan.................................................................... 81
4.25 Bukti Pengaruh Kabut Terhadap Perbedaan Nilai Pantulan Vegetasi
Saluran XS2 Pada Penutup Lahan Yang Sama dan Pengaruhnya
Terhadap Nilai NDVI............................................................................. 82
4.26 Profil Spektral Antara Area A dan Area B Pada Gambar 4.25 ............. 83
4.27a Foto Area Dengan Tutupan Kanopi Jarang Namun Tutupan
Tanahnya Rapat...................................................................................... 84
4.27b Lokasi Gambar 4.26a Pada Citra NDVI..................................................84
4.27c Lokasi Gambar 4.26a Pada Citra Komposit 432.................................... 84
4.28 Foto Lahan Tegalan Dengan Tutupan Tanah Rapat dan Jarang............. 88
x
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran
1 Hasil Perhitungan Koreksi Radiometrik Kalibrasi Bayangan............... L-1
2. Rekapitulasi Data Lapangan………………………………………...... L-5
3. Hasil Analisis Regresi Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi.... L-7
4. Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Bakosurtanal (dalam
Rahardjo, 1990)...................................................................................... L-10
5. Hasil dan Perhitungan Analisis Tabulasi Silang.................................... L-11
6. Hasil Perhitungan Standar Kesalahan (Standard Error) antara
Persentase Tutupan Kanopi Hasil Observasi dan Hasil Prediksi……... L-14
7. Metadata Citra SPOT-5 HRG XS dan PAN………………………….. L-16
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan studi erosi menggunakan pendekatan spatio-temporal
semakin banyak memperoleh perhatian. Hal ini dikarenakan antara lain adanya
kebutuhan data dan penilaian secara cepat (rapid assessment) dalam konteks
regional untuk mengidentifikasi area yang terjadi erosi intensif dan penyusunan
perencanaan konservasi pada lahan – lahan kritis (De Jong, 1999; Vrieling, 2004).
Studi erosi secara spasial dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu
pendekatan kuantitatif menggunakan model erosi dan pendekatan kualitatif
dengan factorial scoring (Vrieling, 2004). Kedua pendekatan tersebut
memerlukan data spasial faktor-faktor erosi yang meliputi faktor iklim, topografi,
tanah dan penutup/penggunaan lahan (Baban dan Yusof, 2001). Tutupan kanopi
merupakan salah satu atribut vegetasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap
erosi. Tutupan kanopi memberikan perlindungan terhadap tanah dari daya rusak
air hujan terhadap agregat tanah (Morgan, 2001). Jika kondisi tutupan vegetasi di
suatu daerah sangat rapat, maka tanah mendapat perlindungan yang baik dari air
hujan, sehingga erosi dengan intensitas tinggi yang dicirikan dengan adanya
kenampakan erosi alur dan parit kemungkinan besar tidak akan terjadi (De Jong,
1994; Morgan, 1995). Tutupan kanopi merupakan salah satu parameter utama
dalam beberapa model erosi seperti WEPP, RMMF, RUSLE dan SEMMED (De
Jong, 1999; Lanteri et al., 2004; Morgan, 2001).
Tutupan kanopi mempunyai karakteristik distribusi spasial yang bervariasi
dan heterogen. Distribusi ini seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam
pemetaan tutupan kanopi untuk studi erosi agar dapat diperoleh hasil estimasi
erosi yang akurat dan reliabel (Lanteri et al., 2004), akan tetapi metode untuk
menentukan tutupan kanopi yang telah dikembangkan adalah dengan estimasi dan
pengambilan sampel di lapangan. Metode sampel ini, selain memerlukan waktu
dan biaya yang besar, hasilnya bersifat lokal dan tidak dapat digunakan sebagai
2
masukan untuk studi erosi secara spasial (Lanteri et al., 2004; Lee, tanpa tahun).
Walaupun demikian, metode ini tetap digunakan oleh Yazidi (2003);
Theklehaimanot (2003); Cartagena (2004) dan Setiawan (2006), untuk
memperoleh data spasial tutupan kanopi dengan cara ekstrapolasi hasil
pengambilan sampel ke unit pemetaan yang lebih luas dengan mendasarkan pada
asumsi homogenitas karakteristik di dalam unit pemetaan yang sama. Asumsi
homogenitas dalam unit pemetaan yang dalam kenyataannya heterogen dan
bervariasi dapat menyebabkan ketidakpastian hasil analisis dan prediksi yang
tidak tepat (De Jong, 1994).
Sejak dua dasawarsa terakhir, teknologi penginderaan jauh telah menjadi
sumber data spasial yang efektif untuk studi erosi (Jaroslav et al., 1996 dalam
Yazidi, 2003). Data penginderaan jauh dapat memberikan informasi faktor
pengontrol erosi secara sinoptik pada area yang luas (Lee, tanpa tahun).
Kelebihaan ini memungkinkan data penginderaan jauh dapat digunakan untuk
memetakan obyek di permukaan bumi secara kontinu dan memperbaiki
kelemahan dari teknik sampel. Terlebih bila karakteristik obyek berkorelasi kuat
dengan nilai spektral citra, maka pemetaan dapat dilakukan dengan analisis
digital. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan salah satu
produk analisis digital citra penginderaan jauh yang mengandung berbagai macam
informasi vegetasi. Atribut spektral NDVI telah diketahui berkorelasi dengan
berbagai macam atribut vegetasi, termasuk di dalamnya tutupan kanopi (Larsson,
2002).
DAS Tinalah merupakan salah satu sub DAS dari DAS Progo yang
berlokasi di Kabupaten Kulonprogo bagian utara. DAS ini merupakan bagian dari
kawasan perbukitan Menoreh utara yang terbentuk akibat proses vulkanik tua dan
proses struktural pengangkatan (up-lifting) dilanjutkan proses denudasi, termasuk
di dalamnya adalah erosi (Bemmelen, 1970). Sstudi yang dilakukan Hartono
(1994) dan Restele (2004) menyimpulkan bahwa lahan – lahan di DAS Tinalah
didominasi lahan dengan kelas kemampuan VI dan VII dengan faktor pembatas
berupa erosi berat. Proses erosi di DAS ini sudah mencapai taraf berat yang
dicirikan dengan ditemukannya berbagai kenampakan erosi, mulai dari erosi
3
lembar hingga erosi parit di seluruh DAS. Di sisi lain, penggunaan lahan di DAS
Tinalah didominasi oleh kebun dan hutan dengan jenis tanaman berupa tanaman
tahunan dengan kerapatan tutupan vegetasi yang baik. Kontradiksi antara
kerapatan tutupan kanopi dan tingkat erosi yang terjadi di DAS Tinalah
menjadikan topik ini cukup menarik untuk diteliti.
1.2 Perumusan Masalah
Studi erosi secara spasial memerlukan integrasi berbagai macam data
spasial faktor erosi. Agar dapat diperoleh hasil yang reliabel dan akurat, data
spasial yang digunakan untuk studi erosi haruslah seakurat mungkin, termasuk
dalam hal ini pertimbangan variabilitas dan heterogenitas fenomena. Kendala
utama dalam penurunan data spasial untuk studi erosi adalah beberapa jenis data
masih diukur dengan metode sampel yang tidak mempunyai dimensi area. Data
hasil pengambilan sampel ini hanya shahih di lokasi pengambilan sampel.
Pemetaan yang dilakukan dengan menggunakan data hasil pengambilan sampel
sering dilakukan dengan cara mengekstrapolasi data ke satuan pemetaan (dari
dimensi titik ke dimensi area). Ekstrapolasi ini sebenarnya kurang dapat diterima
karena dapat menyebabkan ketidakpastian dan kesalahan hasil pengukuran dan
pemetaan mengingat heterogenitas dan variabilitas di dalam satuan pemetaan
diabaikan. Salah satu atribut vegeasi sebagai faktor erosi yang menghadapi
kendala di atas adalah tutupan kanopi.
Citra penginderaan jauh dapat memberikan informasi permukaan bumi
secara sinoptik pada area yang luas dalam waktu singkat. Termasuk dalam hal ini
adalah informasi vegetasi dan penutup lahan. NDVI (Normalized Difference
Vegetation Index) merupakan salah satu teknik analisis digital data penginderaan
jauh untuk memperoleh informasi distribusi spasial vegetasi dan atributnya. NDVI
berkorelasi kuat dengan berbagai macam atribut vegetasi seperti biomassa, LAI
(Leaf Area Index) dan tutupan kanopi.
Tutupan kanopi vegetasi berpengaruh besar terhadap erosi melalui dua
aspek. Pertama, kanopi tumbuhan dapat menahan air hujan dari kontak langsung
dengan tanah. Dengan tertahannya butir – butir air hujan oleh kanopi vegetasi,
4
energi kinetiknya menjadi berkurang, sehingga ketika sampai di permukaan tanah,
erosivitasnya kecil. Kedua, vegetasi dapat mengintersepsi air hujan sehingga
ketika sampai di permukaan tanah volumenya sudah jauh berkurang. Semakin
rapat tutupan semakin baik perlindungan sehingga erosi yang terjadi semakin
kecil, akan tetapi di DAS Tinalah kondisinya justru berkebalikan.
Bertolak pada masalah tersebut, maka dapat disusun perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah NDVI dapat digunakan sebagai sumber data tutupan kanopi?
2. Bagaimana hubungan tutupan kanopi dengan tingkat erosi tanah di DAS
Tinalah?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, penelitian ini bertujuan:
1. Menghitung nilai NDVI dari Citra SPOT-5 HRG multispektral.
2. Memetakan penggunaan lahan DAS Tinalah sebagai basis pemetaan
tutupan kanopi pada skala 1:50.000 menggunakan Citra SPOT-5
multispektral dan pankromatik.]
3. Memetakan tutupan kanopi vegetasi pada setiap unit penggunaan lahan di
DAS Tinalah pada skala 1: 50.000 menggunakan data NDVI yang
diintegrasikan dengan pengukuran lapangan
4. Menilai tingkat erosi DAS Tinalah berdasarkan observasi kenampakan
erosi.
5. Mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi hasil pemetaan sebagai salah
satu faktor erosi dengan tingkat erosi tanah di DAS Tinalah.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Dapat memberikan metode alternatif untuk pemetaan tutupan kanopi.
2. Dapat memberikan informasi hubungan tutupan kanopi dengan intensitas
erosi secara empiris berdasarkan kenampakan erosi yang terjadi.
5
3. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat Sarjana Geografi
Lingkungan pada Fakultas Geografi UGM.
1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1 Tinjauan Teoritis
1.5.1.1 Erosi, Proses Erosi dan Faktor yang Mempengaruhi Erosi
Erosi adalah hilang atau terkikisnya tanah atau bagian – bagian tanah dari
suatu tempat yang terangkut oleh media alami (air dan angin) te tempat lain
(Arsyad, 1989). Erosi menyebabkan berbagai kerusakan tanah dan lahan seperti
hilangnya lapisan atas tanah yang subur, berkurangnya kemampuan tanah untuk
menyerap dan menahan air, memicu banjir dan pendangkalan. Secara rinci
dampak dari erosi disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 1.1 Dampak Erosi
Bentuk
Dampak
Dampak di tempat kejadian
erosi
Dampak di luar tempat
kejadian
Kehilangan lapisan tanah yang
baik bagi berjangkarnya akar
tanaman
Pelumpuran dan pendangkalan
waduk, sungai, saluran dan
tubuh air lainnya
Kehilangan unsur hara dan
kerusakan struktur tanah
Tertimbunnya lahan pertanian,
jalan dan bangunan lainnya
Peningkatan penggunaan energi
untuk produksi
Menghilangnya mata air dan
memburuknya kualitas air
Kerusakan banguan konservasi
dan bangunan lainnya
Kerusakan ekosistem perairan
Langsung
Pemiskinan petani dan
pemilik/penggarap tanah
Meningkatnya frekuensi dan
masa kekeringan
Berkurangnya alternatif
penggunaan lahan
Kerugian oleh memendeknya
umur waduk
Tidak
langsung
Timbulnya tekanan untuk
membuka lahan baru
Meningkatkan frekuensi dan
besar banjir
(Arsyad, 1989)
Proses erosi oleh air merupakan kombinasi dua sub proses yaitu (1)
penghancuran struktur tanah menjadi butir – butir primer oleh energi tumbuk butir
– butir hujan yang menimpa tanah (Dh) dan perendaman oleh air yang tergenang
dan pemindahan butir – butir tanah oleh percikan hujan (Th) dan (2)
6
penghancuran struktur tanah (Di) diikuti pengangkutan butir – butir tanah tersebut
(Ti) oleh air yang mengalir di permukaan tanah. Secara skematis proses tersebut
dapat dijelaskan dengan Gambar 1.1.
(Arsyad, 1989)
Gambar 1.1 Diagram yang Menunjukkan Proses terjadinya erosi
Erosi merupakan hasil interaksi faktor – faktor yang mempengaruhi dan
menyebabkan erosi yang bekerja terhadap tanah. Faktor – faktor tersebut meliputi
iklim, topografi, tanah, vegetasi dan pengelolaan lahan (Arsyad, 1989).
Faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Karakteristik hujan
yang mempengaruhi erosi antara lain besarnya curah hujan, intensitas dan
distribusi. Kombinasi ketiga aspek hujan ini menentukan kekuatan dispersi hujan
terhadap tanah dan kecepatan limpasan permukaan (Utomo, 1994).
Faktor topografi yang berpengaruh terhadap erosi adalah panjang dan
kemiringan lereng. Panjang lereng berpengaruh terhadap volume limpasan,
volume limpasan semakin bertambah dengan bertambahnya panjang lereng.
7
Kemiringan lereng berpengaruh terhadap kecepatan limpasan. Pada lereng curam
kecepatan limpasan lebih tinggi daripada lereng landai (Utomo, 1994).
Sifat tanah yang berpengaruh terhadap erosi antara lain tekstur, struktur,
bahan organik, permeabilitas, dan kedalaman tanah. Tanah bertekstur pasir
mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, sehingga dapat mengurangi volume
limpasan. Tanah bertekstur pasir halus juga mempunyai kapasitas infiltrasi yang
tinggi, namun butir-butirnya mudah terangkut limpasan. Tanah bertekstur
lempung mudah tersuspensi oleh hujan dan pori-porinya dapat tersumbat,
sehingga dapat menyebabkan erosi berat. Struktur tanah juga berpengaruh
terhadap kapasiltas infiltrasi. Struktur granuler mempunyai kapasitas infiltrasi
yang lebih besar daripada struktur yang lebih mantap. Bahan organik menghambat
aliran limpasan, sehingga limpasan lebih lambat sekaligus meningkatkan infiltrasi.
Tanah yang dangkal dan permeabilitasnya cepat lebih peka erosi daripada tanah
yang dalam dan permeabilitasnya cepat. Kedalaman tanah juga berpengaruh
terhadap kapasitas infiltrasi (Utomo, 1994).
Vegetasi berpengaruh terhadap erosi karena vegetasi dapat melindungi
tanah dari kekuatan perusak hujan melalui penahanan dan intersepsi butir hujan
oleh kanopi vegetasi. Tertahannya hujan oleh kanopi dapat mengurangi kecepatan
jatuh butir hujan dan mengurangi energi hujan ketika mencapai permukaan tanah
serta memberikan waktu lebih untuk infiltrasi, sehingga volume dan kecepatan
limpasan berkurang. Vegetasi melalui perakaran juga mempengaruhi sifat tanah
dalam wujud memperbesar ketahanan massa tanah dari daya rusak hujan dan
limpasan serta memperbesar kapasitas infiltrasi melalui peningkatan porositas
(Utomo, 1994).
1.5.1.2 Kanopi dan Tutupan Kanopi
Kanopi merupakan lapisan paling atas dalam kumpulan vegetasi, yang
dibentuk oleh mahkota (kumpulan daun) tanaman dan menutupi lapisan di
bawahnya. Derajat kerapatan kanopi sering dinyatakan dengan tutupan kanopi
(canopy cover) yang didefinisikan sebagai persentase area permukaan tanah yang
tertutup kanopi proyeksi vertikal dari kanopi vegetasi (Lanteri et al., 2004).
8
Walaupun demikian, konsepsi tutupan kanopi masih belum sepenuhnya
terbakukan. Terdapat dua konsep tentang tutupan kanopi berkaitan dengan teknik
pengukuran yang digunakan, yaitu canopy cover dan canopy closure. (Jennings et
al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006). Definisi canopy cover telah disebutkan di
atas, sedangkan definisi canopy closure adalah proporsi bidang langit (open sky)
yang ditutupi tumbuhan jika dilihat dari suatu titik. Perbedaan antara canopy
cover dan canopy closure dapat dilihat pada Gambar 1.2. Kerancuan lain
berkaitan dengan konsepsi tutupan kanopi adalah pertimbangan celah diantara
mahkota tanaman sebagai bagian dari kanopi atau tidak. Hal ini penting karena
akan berpengaruh terhadap hasil akhir estimasi. Untuk itu Rauitiainen et al.,
(1995) dalam Korhonen et al, (2006) memperkenalkan konsep tutupan kanopi
tradisional dan tutupan kanopi efektif. Perbedaan dari dua konsep tersebut adalah
tutupan kanopi tradisional menganggap celah di antara mahkota tumbuhan sebagai
bagian dari kanopi, sedangkan tutupan kanopi efektif tidak. Berdasarkan tinjauan
di atas, maka konsep tutupan kanopi yang sesuai dengan pengaruh kanopi
terhadap erosi dan ekstraksi data tutupan kanopi dari citra penginderaan jauh
adalah tutupan kanopi efektif. Konsepsi tutupan kanopi efektif ini yang digunakan
dalam penelitian ini.
(a) (b)
Gambar 1.2
Canopy Cover (a) dan Canopy Closure (b),
(Jennings et al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006),
9
1.5.1.3 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
Vegetasi, sebagaimana tanah dan air, mempunyai karakteristik spektral
yang unik dalam merespon energi elektromagnetik matahari yang mengenainya.
Vegetasi menyerap banyak energi pada spektrum tampak (terutama biru dan
merah), namun banyak memantulkan energi pada spektrum inframerah dekat
(Gambar 1.3). Vegetasi hijau menyerap banyak radiasi matahari pada spektrum
merah untuk digunakan sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis,
sedangkan energi pada spektrum inframerah dekat tidak mencukupi untuk
mensintesiskan molekul – molekul organik dalam tumbuhan. Penyerapan energi
pada spektrum ini hanya akan menyebabkan pemanasan yang berlebihan pada
tumbuhan dan berpotensi merusak metabolisme tumbuhan, oleh karena itu
dipantulkan dengan kuat (Gates, 1980 dalam Lee, tanpa tahun).
(A = tanah kering, B = Tanah lembab, C = Vegetasi, D = air)
Gambar 1.3.
Kurva Pantulan Obyek Tanah, Vegetasi dan Air (Lillesand dan Kiefer, 2004)
Implikasi hal di atas terhadap data penginderaan jauh adalah pada saluran
merah citra penginderaan jauh multispektral, vegetasi hijau akan berona gelap dan
mempunyai nilai pantulan yang rendah, sedangkan pada saluran inframerah dekat
justru sebaliknya (Hoffer, 1978). Dengan transformasi indeks vegetasi, informasi
respon vegetasi dari saluran merah dan inframerah dekat dapat dikombinasikan
untuk memperoleh informasi vegetasi dengan hasil lebih baik daripada analisis
dua saluran secara terpisah (Schreiber, 2007).
10
Indeks vegetasi adalah suatu formula transformasi matematis yang
mengkombinasikan dua atau lebih saluran pada citra penginderaan jauh yang
ditujukan untuk memperoleh informasi vegetasi dengan lebih baik. Berbagai
macam indeks vegetasi telah dikembangkan, namun NDVI merupakan indeks
yang paling banyak diaplikasikan (Lee, tanpa tahun).
NDVI dapat dikalkulasi dengan menggunakan rumus berikut:
)(
)(
REDNIR
REDNIR
+
−
(1)
NIR = saluran infra merah dekat
RED = saluran merah (Schreiber, 2007)
1.5.1.4 Hubungan NDVI Dengan Tutupan Kanopi
Nilai spektral NDVI berkaitan dengan banyak atribut dan karakteristik
kanopi seperti biomasaa, produktivitas daun, leaf area index, PAR
(Photosynthecally Active Radiation) dan tutupan kanopi (Jensen, 1991; Larsson,
2002). Dilihat dari hubungannya dengan obyek vegetasi dan tutupan kanopi
vegetasi, nilai -1 hingga 0 dari citra NDVI mengindikasikan obyek bukan
vegetasi. Nilai positif rendah (nilai spektral saluran inframerah dekat dan saluran
merah berselisih sedikit) mengindikasikan vegetasi dengan kerapatan rendah,
sedangkan nilai positif tinggi (nilai spektral saluran inframerah dekat dan saluran
merah berselisih banyak) mengindikasikan vegetasi dengan kerapatan/tutupan
tinggi (Schreiber, 2007; Lee, tanpa tahun).
1.5.1.5 Sistem Penginderaan Jauh Satelit SPOT-5
Satelit SPOT-5 merupakan generasi kelima dari keluarga Satelit SPOT
(Système pour d’Observation de la Terre). SPOT-5 diluncurkan pada tanggal 4
Mei 2002 dengan membawa tiga instrumen penginderaan jauh untuk berbagai
misi pemetaan tematik sumberdaya. Instrumen-instrumen penginderaan jauh pada
Satelit SPOT-5 merupakan perbaikan dari instrumen generasi satelit sebelumnya.
Instrumen tersebut adalah Instrumen HRG (High Resolution Geometric) yang
11
merupakan instrumen penerus HRV (High Resolution Visible) pada satelit SPOT
1-4 dengan resolusi spasial dan spektral yang lebih baik, instrumen HRS (High
Resolution Stereoscopic) yang merupakan instrumen pencitraan stereo untuk
pemetaan topografi, dan terakhir adalah VEGETATION-2 untuk pemetaan dan
monitoring vegetasi dalam skala global (SPOT Image, 2006). Karakteristik umum
dari Satelit SPOT dari SPOT-1 hingga 5 dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2
Karakteristik Satelit dan Instrumen Pencitraan SPOT-5 dan Satelit
Sebelumnya
SatelitParamater
SPOT-5 SPOT-4 SPOT-1,2,3
Peluncuran 4 Mei 2002 24 Maret 1998 1. 22 Februari 1986
2. 22 Januari 1990
3. 20 September 1993
Masa Kerja 5 tahun 5 tahun 3 tahun
Orbit Sinkron Matahari Sinkron Matahari Sinkron Matahari
Waktu melintasi ekuator
(waktu lokal)
10.30 10.30 10.30
Ketinggian orbit (ekuator) 822 km 822 km 822 km
Periode Orbit 101,4 menit 101,4 menit 101,4 menit
Sudut inklinasi 98,7 derajat 98,7 derajat 98,7 derajat
Siklus Orbit 26 hari 26 hari 26 hari
Instrumen Resolusi tinggi
- Saluran spektral
- Julat Spektral
- Luas Liputan
- Resolusi Radiometrik
- Resolusi Temporal
2 Sensor HRG
- 2 pankromatik (5m) yang
bisa dikombinasikan
menjadi 1 pankromatik (2,5
m)
- 3 VNIR (10m)
- 1 SWIR (20m)
- P : 0,48-0,71 μm
- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm
- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm
- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm
- B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm
- 60 x 60 km hingga 80 km
- 8 bits
- 2 hingga 3 hari
2 Sensor HRVIR
- 1 Pankromatik (10m)
- 3 VNIR (20m)
- 1 SWIR (20m)
- M : 0,61-0,68 μm
- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm
- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm
- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm
- B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm
- 60 x 60 km hingga 80 km
- 8 bits
- 2 hingga 3 hari
2 Sensor HRV
- 1 Pankromati (10m)
- 3 VNIR (20m)
- P : 0,48-0,71 μm
- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm
- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm
- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm
- 60 x 60 km hingga 80 km
- 8 bits
- 2 hingga 3 hari
Sumber: SPOT Image (2006)
12
Gambar 1.4 Satelit SPOT5 dan Instrumen Pencitraannya
(SPOT Image, 2006)
Instrumen HRG pada Satelit SPOT-5 merupakan instrumen yang
menghasilkan citra dengan resolusi tinggi pada mode multispektral (10 meter) dan
mode pankromatik (5 meter). Citra Pankromatik dari dua Instrumen HRG dengan
resolusi 5 meter dapat diintegrasikan untuk menurunkan citra sintesis pankromatik
dengan resolusi spasial 2,5 meter yang disebut Supermode (SPOT Image, 2006).
Citra turunan ini dapat digabungkan dengan citra multispektral untuk memperoleh
citra berwarna pada resolusi spasial 2,5 meter. Instrumen HRG merekam
permukaan bumi melalui mekanisme pushbroom scanning baik melalui
perekaman nadir atau off nadir viewing sebagaimana instrumen HRV. Mekanisme
perekaman nadir dan off nadir Sensor HRG SPOT-5 dapat dilihat pada Gambar
1.4. Kapabilitas perekaman off nadir memungkinkan instrumen HRG dapat
digunakan untuk memperoleh citra stereo untuk analisis tiga dimensi dan ekstraksi
DEM. Perekaman data pada Instrumen HRG SPOT-5 menggunakan detektor
berupa CCD linear array sebanyak 6000 detektor (Richards dan Jia, 2006). Citra
yang diperoleh dari instrumen HRG dipasarkan dengan berbagai macam tingkat
pemrosesan yang dapat dilihat pada Tabel 1.3.
13
Gambar 1.5
Perekaman Nadir dan Off-Nadir Pada Instrumen HRG Satelit SPOT-5
(SPOT Image, 2006)
Tabel 1.3
Tingkat Pemrosesan Citra SPOT-5HRG
Level Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik Akurasi
posisi
1A - Normalisasi respon CCD untuk
memperbaiki variasi radiometrik yang
dikarenakan perbedaan sensitivitas
detektor
- Pengaruh eksternal (atmosfer) belum
dikoreksi.
- N/A < 50 meter
1B - Sama dengan 1A - Distorsi geometrik sistematik sudah
terkoreksi (distorsi panoramik, efek
rotasi bumi, variasi ketinggian orbit)
< 30 meter
2A - Sama dengan 1A - Pemrosesan level 1B
- Transformasi koordinat ke UTM
- Orthorektifikasi tanpa menggunakan
GCP, hanya menggunakan
informasi ephemeris sensor plus
DEM dengan resolusi 1 km
< 30 meter
2B (Precision) - Sama dengan 1A - Pemrosesan Level 2A
- Penggunaan GCP untuk koreksi
geometrik guna memperoleh
ketelitian posisi yang lebih baik
Tergantung
akurasi
GCP
3 (Ortho) - Sama dengan 1A - Pemrosesan Level 2A
- Orthorektifikasi menggunakan DEM
berkualitas tinggi dan GCP untuk
mengkoreksi distorsi geometrik
akibat pengaruh medan
< 10 meter,
tergantung
akurasi
GCP dan
DEM
Sumber: SPOT Image (2006).
14
Instrumen HRG dapat beroperasi pada mode multispektral dan
pankromatik. Dibanding instrumen HRV dan HRVIR pada satelit sebelumnya,
instrumen HRG mempunyai banyak perbaikan dari segi resolusi spasial dan
spektral. Resolusi spasial instrumen HRG mempunyai resolusi spasial 10 meter
untuk mode multispektral dan 5 meter untuk mode pankromatik. Resolusi spasial
ini lebih baik dari instrumen HRV dan HRVIR yang resolusi spasialnya 20 meter
untuk mode multispektral dan 10 meter untuk mode pankromatik. Terlebih dengan
menggunakan supermode, dua instrumen HRG pada satelit SPOT-5 dapat
menghasilkan citra pankromatik sintesis dengan resolusi 2,5 meter. Perbaikan dari
segi resolusi spasial ini memungkinkan Citra SPOT-5 dapat digunakan untuk
berbagai aplikasi yang memerlukan detil spasial tinggi dan pemetaan skala detil
yang tidak dapat dilakukan oleh Citra SPOT dari satelit sebelumnya. Selain
resolusi spasial, resolusi spektral instrumen HRG juga lebih baik dari instrumen
HRV dengan adanya penambahan Saluran Inframerah Gelombang Pendek (SWIR)
dengan julat spektral 1500-1750 nm. Penambahan saluran ini membuat instrumen
HRG mempunyai lebih banyak pilihan komposit warna untuk interpretasi visual
dan kapabilitas yang lebih baik dalam klasifikasi multispektral daripada instrumen
HRV. Selain itu citra dari instrumen HRG ini juga dapat dieksploitasi untuk
aplikasi-aplikasi yang memanfaatkan kelebihan spektral saluran SWIR seperti
analisis spektral lahan perkotaan, analisis kelembaban tanah dan kandungan air
pada vegetasi. Aplikasi –aplikasi semacam ini tidak dapat diterapkan dengan
menggunakan Citra SPOT dari Instrumen HRV (SPOT Image, 2006).
1.5.2 Tinjauan Empiris
Studi yang mengkaji hubungan antara tutupan kanopi dan NDVI telah
dilakukan oleh Gitelson (2004) yang melakukan studi penggunaan indeks vegetasi
untuk ekstraksi karakteristik biofisik tumbuhan menggunakan citra NOAA-
AVHRR di Israel. Hasil yang diperoleh menunjukkan korelasi yang kuat antara
tutupan kanopi dan NDVI pada berbagai jenis tumbuhan (R2
= 0,94-0,98).
Kancheva, Borisova (2006) memperoleh nilai R2
sebesar 0,95 dan 0,97 dalam
studi hubungan tutupan kanopi dan NDVI pada dua jenis tanah yang berbeda di
15
Bulgaria menggunakan LANDSAT TM. Hasil serupa juga diperoleh Nagler et al,
(2003) dengan hasil nilai R2
antara NDVI dan tutupan kanopi sebesar 0,82. Studi
dilakukan menggunakan foto udara multispektral di lembah Sungai Colorado
Amerika. Carreiras et al., (2006) memperoleh nilai R2
sebesar 0,72 dalam studi
estimasi tutupan kanopi di daerah Mediteran Portugal menggunakan LANDSAT
TM.
Studi ekstraksi data tutupan kanopi dari citra penginderaan jauh untuk
studi erosi pernah dilakukan Lanteri et al., (2004) menggunakan citra MODIS di
daerah semi arid California Amerika. Hasil studi menunjukkan NDVI dan tutupan
kanopi mempunyai korelasi positif kuat (R= 0,88), sehingga persamaan regresi
dapat diturunkan dan diaplikasikan untuk mengkalibrasi persentase tutupan
kanopi ke seluruh area penelitian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Data
tutupan kanopi yang diperoleh kemudian digunakan sebagai masukan model erosi
WEPP.
Studi erosi di DAS Tinalah sendiri pernah dilakukan oleh beberapa
peneliti antara lain Wiraswasti (2005); Ariyanto (2004); Setiawan (2005); Restele
(2004); Kumalawati (2005), dengan fokus studi yang berbeda – beda, mulai dari
evaluasi praktek konservasi hingga valuasi ekonomi erosi terhadap lahan
pertanian. Dari beberapa studi erosi yang telah dilakukan, terutama oleh Hartono
(1994) dan Restele (2004), keduanya menyimpulkan bahwa tingkat erosi di DAS
Tinalah termasuk dalam kategori sedang hingga berat.
1.6. Kerangka Pemikiran
Erosi tanah oleh air merupakan proses yang bervariasi, heterogen dan
dinamis secara spasial dan temporal. Variabilitas ini ditentukan oleh variabilitas
topografi, iklim, tanah, vegetasi dan pengelolaan lahan yang merupakan faktor –
faktor erosi oleh tenaga air. Pengaruh vegetasi terhadap erosi salah satunya
berasal dari kondisi tutupan kanopi. Vegetasi dengan kondisi tutupan kanopi yang
baik dapat melindungi tanah dari erosivitas hujan, sehingga ketika mencapai
permukaan tanah, energi dan kemampuannya untuk melepas butir tanah dari
agregat tanah sudah jauh berkurang. Selain itu vegetasi dengan kondisi tutupan
16
baik juga mempunyai kemampuan untuk mengintersepsi air hujan yang lebih
besar sehingga dapat mengurangi volume hujan yang sampai ke permukaan tanah
serta memberi waktu yang lebih banyak untuk proses infiltrasi. Kombinasi dari
tiga aspek di atas menjadikan kemungkinan terjadinya erosi pada lahan dengan
kondisi penutup vegetasi yang baik cukup rendah.
Studi erosi dan pemodelan erosi secara spasial dan temporal memerlukan
data masukan faktor-faktor yang terlibat dalam proses erosi diatas yang
mengakomodasi variabilitas spasial dan temporal faktor-faktor tersebut. Pada
kenyataannya, selain data topografi, data faktor – faktor erosi yang diperlukan
untuk studi erosi dan pemodelan erosi sebagian besar berasal dari data sampel
yang sejatinya bersifat data titik, dimana data ini hanya shahih dan akurat hanya
pada lokasi pengambilan sampel. Untuk memenuhi kebutuhan data pada lingkup
regional, data hasil pengambilan sampel sering diekstrapolasi ke unit area yang
lebih luas dengan asumsi homogenitas karakteristik pada satu unit area.
Ekstrapolasi ini sebenarnya kurang dapat diterima karena variabilitas dan
heterogenitas fenomena menjadi tidak diperhatikan. Terlebih dalam kenyataannya,
faktor-faktor erosi mempunyai variabilitas dan heterogenitas yang besar. Salah
satu faktor erosi yang datanya secara konvensional dikumpulkan dengan teknik
sampel adalah tutupan kanopi vegetasi. Penggunaan sampel dalam pemetaan
tutupan kanopi lebih dipilih karena pemetaan secara menyeluruh memerlukan
waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Sejak tahun 1972, data penginderaan jauh satelit telah digunakan untuk
memperoleh informasi permukaan bumi, pada cakupan area yang luas, dalam
waktu yang singkat. Jenis data ini dapat memberikan informasi distribusi spasial
dan temporal secara sinoptik, sehingga variabilitas dan heterogenitas fenomena
dapat dipetakan dengan baik. Perolehan informasi vegetasi dan karakteristiknya
saat ini telah menjadi salah satu fokus utama dalam bidang penginderaan jauh.
Terlebih saat ini telah diketahui bahwa atribut spektral data penginderaan jauh
berkorelasi dengan berbagai macam atribut vegetasi seperti leaf area index,
biomassa, Photosyntecally active radiation dan tutupan kanopi. Dengan demikian,
data penginderaan jauh mempunyai potensi sebagai sumber data spasial tutupan
17
kanopi vegetasi sebagai data masukan dalam studi dan pemodelan erosi, dengan
beberapa kelebihan dibanding data hasil pengambilan sampel yang diekstrapolasi.
1.7 Batasan Operasional
Daerah aliran sungai adalah seluruh daerah yang dialiri sebuah sungai atau anak
sungai yang berhubungan sedemikia rupa sehingga semua aliran yang
berasal dari daerah itu keluar sebagai keluaran tunggal (Sutikno, 1985).
Erosi adalah proses pelepasan partikel – partikel tanah dari massa tanah oleh
tenaga erosi seperti air dan angin (Morgan, 1995)
NDVI adalah indeks yang dihitung dari hasil pengukuran pantulan obyek pada
saluran merah dan inframerah citra satelit penginderaan jauh (Lanteri et
al.,, 2006)
Tingkat Erosi adalah besarnya erosi yang terjadi pada suatu permukaan tanah
(Arsyad, 1989)
Tutupan Kanopi adalah proporsi dari area permukaan tanah yang tertutup oleh
proyeksi vertikal dari kanopi tumbuhan (Lanteri et al, 2004).
18
Erosi
Faktor erosi
Erosi
aktual
Erosi
potensial
Topografi
Vegetasi
Tanah
Iklim
Variasi spasial dan
temporal
Pengambilan
l
ekstrapolasi
Pemetaan Terabaikan
Citra PJ
Berkorelasi
Terakomodasi
Nilai spektral
Pemetaan
Tutupan kanopi
Peta tutupan
kanopi
Korelasi
NDVI
Gambar 1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian
18
19
BAB II
METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan - tujuan penelitian, penelitian dilakukan melalui
beberapa tahap sebagai berikut:
2.1 Pengunpulan Data
2.1.1 Macam Data
Untuk dapat memperoleh data tutupan kanopi yang diturunkan dari citra
dan bagaimana hubungannya dengan erosi yang terjadi, diperlukan beberapa
macam data yang dikategorikan menjadi data primer dan data sekunder. Adapun
yang termasuk dalam data primer adalah:
1. Data hasil pengukuran tutupan kanopi di lapangan.
2. Data bentukan erosi dan karakterisiknya.
Adapun yang termasuk dalam data sekunder adalah:
1. Data NDVI daerah penelitian.
2.1.2 Sumber Data
Data di atas, sebagian dapat diperoleh dari sumber data berikut:
1. Citra SPOT-5 HRG1 XS resolusi 10 meter dan PAN resolusi 2,5 meter
tingkat pemrosesan 1A, rekaman Mei 2006.
2. Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25.000 Tahun 2001 Lembar
Sendangagung.
2.1.3 Alat Penelitian
Alat penelitian yang diperlukan untuk memperoleh data adalah sebagai
berikut:
1. Peralatan Lapangan untuk pengukuran persentase tutupan kanopi dan
bentukan erosi yang meliputi pita ukur, meteran, dan abney level.
2. GPS Garmin 60 untuk memperoleh koordinat titik pengukuran.
3. Kamera digital untuk perekam kenampakan visual di lapangan.
20
4. Checklist untuk mencatat data lapangan.
5. Perangkat lunak untuk menjalankan model dan analisis data, yang
meliputi:
1. ILWIS 3.4 Open Source Version untuk pemrosesan dan analisis
data spasial serta penurunan model regresi tutupan kanopi.
2. ENVI 4.3 untuk orthorektifikasi Citra SPOT-5 dan pembuatan
Citra NDVI.
3. ArcGIS ArcInfo 9.2 untuk pembuatan peta secara kartografis.
4. Microsoft Excell 2003 untuk analisis tabel silang.
2.1.4` Penentuan Lokasi Sampel
Penentuan lokasi observasi dan pengukuran persentase tutupan kanopi
dilakukan dengan menggunakan plot kuadrat. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah purposive sampling dikarenakan hanya dua kelas penggunaan
lahan yang menjadi fokus penelitian. Selain itu pada unit penggunaan lahan yang
areanya cukup luas, sampel diambil beberapa kali agar dapat diperoleh data yang
signifikan secara statistik untuk menurunkan model regresi.
2.1.5 Metode Pengumpulan Data
A. Orthorektifikasi dan Koreksi Radiometrik Citra
Citra penginderaan jauh mengandung berbagai distorsi radiometrik dan
geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber data spasial yang akurat,
distorsi ini harus dihilangkan. Penelitian ini menggunakan citra SPOT 5 HRG1
Level 1A. Berdasarkan SPOT technical guide (2006), citra level 1A merupakan
citra yang sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum terkoreksi
geometrik. Karena baru terkoreksi radiometrik sistem, distorsi radiometrik yang
disebabkan pengaruh hamburan atmosfer dan perawanan masih belum tereduksi.
Oleh karena itu, distorsi radiometrik dan geometrik citra harus dikoreksi terlebih
dulu sebelum digunakan sebagai sumber informasi tematik.
Menurut Danoedoro (1996), terdapat tiga metode sederhana untuk
mengkoreksi distorsi radiometrik citra penginderaan jauh, yaitu:
21
1. Penyesuaian histogram,
2. Penyesuaian regresi,
3. Kalibrasi bayangan,
Metode penyesuaian histogram dan penyesuaian regresi tidak dapat diaplikasikan
pada citra SPOT yang digunakan untuk penelitian. Hal ini dikarenakan kedua
metode tersebut memerlukan informasi nilai spektral dari obyek air jernih dan
dalam untuk menentukan nilai bias dan offset, sedangkan citra yang digunakan
tidak meliput obyek air jernih dan dalam. Sebagai alternatifnya, metode kalibrasi
bayangan yang digunakan. Selain itu, metode kalibrasi bayangan juga memiliki
kelebihan dibanding metode penyesuaian histogram dan regresi karena dapat
mengkompensasi hamburan atmosfer yang tidak homogen pada seluruh liputan
citra, sehingga nilai offset yang diperoleh lebih mewakili.
Metode kalibrasi bayangan menggunakan informasi nilai spektral dari
obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan (obyeknya sama). Dari
pembandingan nilai spektral obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan
akan diketahui nilai bias akibat hamburan atmosfer dari setiap saluran. Mengingat
gangguan atmosfer tidak homogen di semua tempat, maka pembacaan nilai
spektral piksel dilakukan beberapa kali secara menyebar di seluruh liputan citra.
Penentuan nilai bias rata-rata ditentukan dengan menggunakan analisis regresi
antara nilai spektral obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan. Rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut:
(1 )Eit A xEis D Aλ λ λ λ λ= + − (2)
Eitλ = nilai piksel obyek tertutup awan
Eisλ = nilai piksel obyek tidak tertutup awan
Dλ = Nilai bias
(Danoedoro, 1996)
Nilai baru hasil koreksi ditentukan berdasarkan rumus berikut:
DNi DNo Dλ= − (3)
DNi = nilai piksel sesudah dikoreksi
DNo = nilai piksel sebelum dikoreksi
(Danoedoro, 1996)
22
Koreksi geometrik citra dapat dilakukan dengan menggunakan
transformasi dua dimensi maupun tiga dimensi (Petrie, 2006). Transformasi tiga
dimensi disebut juga orthorektifikasi. Pemilihan teknik orthorektifikasi untuk
mengkoreksi distorsi geometrik citra didasarkan pada pertimbangan akurasi yang
lebih baik dan ketersediaan data pendukung. Transformasi dua dimensi persamaan
polinomial tidak dipilih karena transformasi ini tidak dapat mengkompensasi
variasi ketinggian medan yang dapat menyebabkan pergeseran bayangan atau
relief displacement (Harintaka, 2003). Orthorektifikasi dilakukan menggunakan
DEM sebagai sumber data elevasi dan informasi orientasi internal dan eksternal
sensor dalam bentuk koefisien RPC (Rational Polynomial Coefficient). DEM
diperoleh dari data kontur peta RBI yang diinterpolasi linier. Informasi koefisien
RPC diperoleh dari header citra.
B. Pembuatan Peta Unit Penggunaan Lahan Sebagai Satuan Pemetaan
Jenis vegetasi yang berbeda mempunyai kondisi penutupan yang berbeda.
Selain itu, vegetasi dengan kondisi tutupan yang sama namun jenisnya berbeda,
pengaruhnya terhadap erosi juga berbeda. Oleh karena itu, analisis kondisi tutupan
kanopi dengan menggunakan data NDVI harus dilakukan secara terpisah pada
setiap jenis vegetasi. Hal ini dikarenakan NDVI tidak dapat membedakan jenis
vegetasi karena NDVI berkaitan dengan karakteristik internal vegetasi, bukan
pada jenis vegetasinya. Skala dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1:50.000. Skala tersebut terlalu kecil untuk pemetaan vegetasi hingga tingkat
jenis. Oleh karena itu unit penggunaan lahan digunakan sebagai alternatif satuan
pemetaan untuk membedakan jenis vegetasi. Asumsi yang digunakan adalah di
dalam satu unit penggunaan lahan, jenis dan karakteristik vegetasinya relatif
homogen.
Pembuatan Peta penggunaan lahan skala 1:50.000 diturunkan dari citra
SPOT-5. Teknik yang digunakan adalah interpretasi visual dengan mendasarkan
pada kunci interpretasi citra. Klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan
mengikuti klasifikasi penggunaan lahan menurut BAKOSURTANAL dalam
Rahardjo (1990). Skema klasifikasi dapat dilihat pada lampiran 4.
23
Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua citra, yaitu
citra multispektral (XS) dengan resolusi spasial 10 meter dan citra Pankromatik
(PAN) dengan resolusi spasial 2,5 meter. Citra multispektral dengan resolusi
spasial 10 meter sering kali dianggap kurang detil untuk memperoleh informasi
penggunaan lahan pada skala 1: 50.000 (Richards dan Jia, 2006), oleh karena itu
informasi dari citra pankromatik perlu ditambahkan untuk mencapai standar
kerincian informasi untuk pemetaan penggunaan lahan menurut
BAKOSURTANAL. Untuk itu, citra multispektral dan pankromatik digabungkan
dengan menggunakan teknik pan-sharpening. Algoritma pan-sharpening yang
dipilih digunakan adalah transformasi IHS (Intensity Hue Saturation). Pemilihan
algoritma ini didasarkan pertimbangan algoritma IHS dapat memberikan hasil
citra dengan kontras yang baik dan layak untuk interpretasi visual.
C. Transformasi NDVI
Citra NDVI diturunkan dari saluran XS2 (tampak merah) dan XS3
(inframerah dekat) dari citra SPOT-5. Penurunannya dilakukan menggunakan
rumus transformasi berikut:
SPOT NDVI = (5)
XS2 = SPOT XS saluran 2 (merah)
XS3 = SPOT XS saluran 3 (inframerah dekat)
Nilai NDVI hasil kalkulasi berkisar antara -1 hingga +1. Nilai di sekitar 0 hingga
-1 mengindikasikan obyek bukan vegetasi, sedangkan nilai positif rendah hingga
+1 menunjukkan obyek vegetasi dengan berbagai variasi tutupan kanopi.
D Estimasi Tutupan Kanopi di Lapangan
Menurut Korhonen et al, (2006), penentuan tutupan kanopi di lapangan
melalui pengukuran langsung dapat dilakukan menggunakan alat pengukur
(Densiometer, Cajanus Tube), Fotografi (Hemisferikal dan standar) dan estimasi
oskular. Teknik pengambilan sampelnya dapat secara plot (point sampling)
maupun transek (line intercept sampling). Karena konsep tutupan kanopi yang
)23(
)23(
XSXS
XSXS
+
−
24
digunakan dalam penelitian ini adalah tutupan kanopi efektif, maka teknik yang
dapat digunakan adalah fotografi standar dengan sudut pandang (angle of view)
kamera kecil atau estimasi oskular. Dalam penelitian ini metode estimasi tutupan
kanopi yang digunakan adalah estimasi oskular dengan menggunakan USDA FIA
Canopy Cover Estimation Chart pada Gambar 2.1.
.
Gambar 2.1.
USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart (Jennings et al., 1999 dalam
Korhonen et al., 2006)
Pengukuran dilakukan mengikuti prosedur yang dilakukan Korhonen et al,
(2006). Pengukuran dilakukan pada plot sampel berukuran 40 x 40 meter. Lima
pengamatan diambil pada setiap plot, meliputi satu pengamatan di tengah plot dan
empat yang lain di arah barat laut, tenggara, timur laut dan barat daya pusat plot
dengan jarak kurang lebih 15 meter . Representasi plot dapat dilihat pada Gambar
2.2.
25
Gambar 2.2 Plot Pengukuran
E. Pengukuran Tingkat Erosi di Lapangan
Menurut Linden (1980), penentuan tingkat erosi di lapangan dapat
dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Dalam penelitian ini, penentuan
tingkat erosi dilakukan secara kualitatif berdasarkan kenampakan erosi di
lapangan. Bentuk – bentuk erosi yang dapat dijadikan indikator tingkat erosi
antara lain kenampakan erosi alur, parit, pedestal, singkapan akar tanaman,
armour layer dan tree mound (Stocking, dan Murnaghan, 2001). Tingkat erosi
secara kualitatif ditentukan menggunakan kriteria tingkat erosi menurut Morgan
(1995) sebagai berikut:
40 m
15
m
1
2 3
4 5
26
Tabel 2.1 Indikator Tingkat Erosi di Lapangan
Kelas Indikator
Sangat ringan Tidak terdapat akar pohon yang nampak di permukaan, tidak ada
kenampakan pedestal, tidak terdapat permukaan yang keras
Ringan Akar pohon terlihat di atas permukaan tanah, terdapat
kenampakan pedestal dan gundukan tanah yang terlindungi
vegetasi (tree mound) dengan kedalaman 1-10 mm, terdapat
sedikit permukaan kasar (armour layer)
Sedang Akar pohon yang kelihatan, pedestal dan gundukan tanah dengan
ketinggian 1-5 cm, terdapat permukaan yang mengeras.
Berat Akar pohon yang nampak, pedestal dan gundukan tanah
berkedalaman 5-10 cm, kenampakan material kasar (armour
layer) yang renggang, terdapat erosi alur dengan kedalaman
kurang dari 8 cm.
Sangat Berat Terdapat erosi parit, terdapat erosi alur dengan kedalaman lebih
dari 8 cm
Sumber: Analisis, 2008 berdasarkan Morgan, 1995
2.2 Pengolahan dan Analisis Data
2.2.1 Pembuatan Model Regresi untuk Estimasi Tutupan Kanopi dari
Citra NDVI
Untuk memperoleh data spasial tutupan kanopi daerah penelitian, analisis
regresi digunakan untuk menurunkan hubungan antara persentase tutupan kanopi
hasil pengukuran lapangan dengan nilai digital NDVI. Berdasarkan penelitian-
penelitian yang telah dilakukan, nilai NDVI berkorelasi kuat dengan persentase
tutupan kanopi, oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa nilai digital NDVI
sangat dipengaruhi oleh kerapatan tutupan kanopi. Dengan demikian penggunaan
analisis regresi untuk memperoleh hubungan fungsional antara NDVI dan
persentase tutupan kanopi dapat diterima. Walaupun demikian, linearitas
hubungan antara persentase tutupan kanopi vegetasi dan nilai NDVI belum dapat
27
diketahui dengan baik. Hasil dari berbagai penelitian sebelumnya memperlihatkan
adanya variabilitas hubungan antara nilai NDVI dan persentase tutupan kanopi
pada lokasi geografis yang berbeda, mulai dari hubungan linier (Larsson, 2002)
hingga polinomial orde dua (Purevdorj et al., 1998). Oleh karena itu analisis
regresi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan lima model regresi
yang meliputi model regresi linear, polinomial orde dua, power, eksponensial dan
logaritmik. Bentuk persamaan regresi pada setiap model ditunjukkan pada Tabel
2.2.
Tabel 2.2 Model Regresi Yang Digunakan Beserta Bentuk Persamaannya
Model Persamaan
Linear y = α + βx
Logaritmik y = α + βLn(x)
Polinomial orde 2 y = α + β1x + β2x2
Power y = αxβ
Eksponensial y = αeβx
Sumber: ILWIS User guide
Tujuan penelitian adalah memprediksi nilai persentase tutupan kanopi dari
nilai digital NDVI, maka formula diatas diterapkan pada NDVI dan persentase
tutupan kanopi dengan NDVI sebagai variabel independen (X) dan persentase
tutupan kanopi sebagai variabel (Y). NDVI sebagai variabel independen karena
NDVI merupakan variabel yang sudah diketahui nilainya, dan persentase tutupan
kanopi (% CC) merupakan variabel yang akan diprediksi. Persamaan pada Tabel
2.2 digunakan untuk mengkalibrasi citra NDVI menjadi peta persentase tutupan
kanopi. Hasil dari pemetaan kemudian diklasifikasikan untuk analisis lebih lanjut
dengan berpedoman pada klasifikasi tutupan kanopi menurut Keputusan Dirjen
RRL Departemen Kehutanan No. 041/Kpts/V/1998 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Kriteria penentuan dapat dilihat pada
Tabel 2.3.
28
Tabel 2.3 Klasifikasi Tutupan Kanopi
Tutupan kanopi Kelas
> 80% Sangat baik
61 – 80% Baik
41- 60% Sedang
21 - 40% Buruk
< 20% Sangat buruk
Sumber: Departemen Kehutanan (2004)
2.2.2 Analisis Hubungan Kelas Tutupan Kanopi dengan Tingkat Erosi
Tanah.
Analisis hubungan antara persentase tutupan kanopi dengan tingkat erosi
tanah dilakukan menggunakan teknik tabulasi silang. Tabulasi silang lebih dipilih
karena kedua variabel yang dihubungkan mempunyai sifat data ordinal. Indeks
kappa (Campbell, 2002) digunakan untuk menilai derajat hubungan antara dua
variabel hasil operasi tabulasi silang secara kuantitatif. Indeks kappa (κ)
mempunyai nilai berkisar dari -1 hingga +1 yang mengindikasikan besar dan arah
hubungan antara dua variabel. Nilai indeks ditentukan dari persamaan 6. Metode
perhitungan untuk menentukan parameter observed value dan expected value dari
tabel silang mengacu pada Campbell (2002). ‘
(6)
(Campbell, 2002)
exp
1 exp
observed ected
ected
κ
−
=
−
29
Peta Rupabumi Indonesia
skala 1:25.000
Data kontur
Interpolasi linier
DEM
Citra SPOT-5 XS dan PAN level 1A
Orthorektifikasi dan koreksi radiometrik
Citra terkoreksi
NDVI
Survei lapangan
1. Pengukuran persentase tutupan
kanopi di lapangan
2. Pengukuran tingkat erosi di lapangan
Analisis korelasi dan
regresi
Peta persentase tutupan
kanopi
Tabulasi silang
Transformasi NDVI
Data tingkat erosi tanah
Data hasil pengukuran
persentase tutupan kanopi
Informasi hubungan tingkat erosi dan
tutupan kanopi
Gambar 2.3 Diagram Alir Penelitian
Input
Proses
Output
sementara
Output
akhir
XSPAN
Transformasi IHS
Interpretasi visual Citra gabungan
Peta penggunaan lahan
Keterangan:
29
30
BAB III
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
3.1 Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian
DAS Tinalah terletak di Pegunungan Progo Barat (West Progo Mountains)
bagian utara. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah
Kecamatan Samigaluh dan Kalibawang Kabupaten Kulonprogo. DAS Tinalah
dibatasi:
1. Kabupaten Magelang di sebelah utara
2. Desa Kebonharjo Kecamatan Samigaluh dan Desa Purwosari Kecamatan
Girimulyo di sebelah selatan.
3. Kecamatan Kalibawang di sebelah timur.
4. Kabupaten Purworejo di sebelah barat.
Secara geografis daerah penelitian terletak antara 110o
08’ 15’’-110o
13’
00’’ BT dan 07o
38’ 45’’-07o
43’ 15’’ LS. Peta administrasi DAS Tinalah disajikan
dalam Gambar 3.1. Berdasarkan peta tersebut, DAS Tinalah terdiri dari beberapa
desa di Kecamatan Samigaluh dan satu desa di Kecamatan Kalibawang. Nama
desa dan luas wilayah disajikan pada tabel 3.1.
Tabel 3.1
Desa yang Termasuk dalam Wilayah DAS Tinalah
Desa Kecamatan
Luas wilayah
(ha)
Luas wilayah
(%)
Banjararum Kalibawang 163.42 3.73
Purwoharjo Samigaluh 943.98 21.55
Banjarsari Samigaluh 775.84 17.71
Pagerharjo Samigaluh 159.26 3.64
Gerbosari Samigaluh 1055.08 24.09
Ngargosari Samigaluh 608.83 13.90
Sidoharjo Samigaluh 673.61 15.38
Luas Keseluruhan 4380.02 100.00
Sumber : Analisis Peta administrasi Kabupaten Kulonprogo
31
31
32
III.2 Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi erosi. Pengaruh
iklim terutama adalah pada kecepatan pelapukan batuan, pembentukan bahan
induk tanah, dan parameter erosivitas hujan yang meliputi curah hujan, energi dan
intensitas hujan. Parameter iklim yang penting untuk diketahui dalam kaitannya
dengan erosi antara adalah curah hujan, suhu dan tipe iklim.
3.2.1 Curah Hujan
Curah hujan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan data hujan dari
stasiun hujan terdekat. Stasiun tersebut meliputi stasiun Samigaluh yang berada di
dalam lokasi penelitian dan tiga stasiun di sekitarnya yang meliputi stasiun
Kaligesing, Kalibawang dan Kenteng. Hasil analisis curah hujan rata – rata
bulanan selama 10 tahun (1997-2006) dari keempat stasiun disajikan dalam tabel
3.2 dan grafik 3.1.
Tabel 3.2
Curah Hujan Rata-rata Bulanan Daerah Penelitian Tahun 1997-2006 (mm)
Bulan Kaligesing Kenteng Kalibawang Samigaluh
Januari 434,7 248,1 359,8 333,3
Februari 470,8 241,4 396,2 389,1
Maret 363,6 208,2 302,2 401,9
April 306,0 180,2 174,8 237,6
Mei 159,6 89,4 98,3 134,5
Juni 59,7 36,5 61,0 48,4
Juli 59,0 20,2 22,7 43,3
Agustus 2,8 7,0 19,4 17,1
September 10,8 10,0 11,4 11,9
Oktober 154,0 97,9 184,4 211,7
November 290,6 172,2 189,7 292,5
Desember 613,8 254,9 300,1 347,5
Curah hujan tahunan 2925,3 1566,0 2119,9 2468,6
Sumber : Perhitungan data sekunder, 2008
33
Sumber: Perhitungan data sekunder, 2008
Gambar 3.2
Dari tabel dan grafik diatas dapat diketahui bahwa bulan – bulan terbasah
adalah sekitar november hingga april, dan bulan kering sekitar mei hingga
september. Bulan dengan curah hujan tertinggi dari Desember hingga Februari
dengan curah hujan terbesar 600 mm. Dalam kaitannya dengan laju erosi, bulan –
bulan ini merupakan waktu dimana erosi intensif terjadi.
3.2.2 Suhu
Suhu merupakan salah satu komponen iklim yang secara tidak langsung
berpengaruh terhadap erosi. Gambaran fluktuasi curah hujan dan suhu di daerah
penelitian dapat menjelaskan bagaimana iklim berpengaruh terhadap erosi.
Pengaruh suhu terutama pada proses pelapukan batuan yang menjadi sumber
bahan induk tanah. Fluktuasi suhu yang ekstrim dapat menyebabkan laju
pelapukan batuan yang lebih intensif dan mempercepat pembentukan bahan induk
tanah. Stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah tidak menyediakan data suhu, oleh
karena itu, data suhu rerata bulanan di daerah penelitian dihitung dengan
menggunakan data dari ketinggian tempat dalam PSBA UGM (2004). Rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut:
T max = 32,11 – 0,00618*h
T min = 23,09 – 0,00642*h (6)
Keterangan : Tmax/min : suhu udara maksimum/minimum
Grafik Curah Hujan Rata-rata Bulanan Stasiun Hujan Daerah Penelitian
(1997-2006)
0,0
100,0
200,0
300,0
400,0
500,0
600,0
700,0
Januari Maret Mei Juli September November
Bulan
Curahhujan(mm)
Stasiun Kaligesing
Stasiun Kenteng
Stasiun kalibawang
Stasiun Samigaluh
34
h : ketinggian tempat (mdpl)
23,09 dan 0,00642 : tetapan untuk perhitungan suhu minimum
32,11 dan 0,00618 : tetapan untuk perhitungan suhu maksimum
Rumus di atas pernah digunakan PSBA UGM (2004) untuk menentukan
suhu bulanan rata-rata di kabupaten Purworejo, mengingat daerah penelitian
dengan Kabupaten Purworejo masih berada pada satu jalur pegunungan, dapat
diasumsikan kondisi iklimnya tidak jauh berbeda, dengan demikian maka rumus
() dapat digunakan untuk menghitung suhu bulanan rata – rata di DAS Tinalah.
Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Suhu rata-rata bulanan di DAS Tinalah
Ketinggian Suhu maksimum (o
C) Suhu minimum (o
C)
300 30,26 21,16
400 29,64 20,52
500 29,02 19,88
600 28,4 19,24
700 27,78 18,6
800 27,17 17,95
Sumber: Hasil analisis, 2008
Daerah penelitian mempunyai ketinggian antara 300 hingga 800 meter.
Berdasarkan nilai ketinggian rata-rata daerah penelitian tersebut, maka dapat
diperkirakan suhu maksimum dan minimum daerah penelitian, yaitu berkisar 17
hingga 30 o
C untuk suhu maksimum. Fluktuasi suhu sebesar 13 o
C relatif cukup
untuk dapat mempercepat proses pelapukan batuan dan pembentukan bahan induk
tanah. Proses pembentukan bahan induk tanah yang relatif cepat ditambah curah
hujan yang tinggi dan kemiringan lereng yang terjal menyebabkan laju kehilangan
tanah yang tinggi di daerah penelitian.
3.2.3 Tipe Iklim
Tipe iklim daerah penelitian dapat ditentukan dengan menggunakan
klasifikasi iklim sistem Schmidt-Ferguson. Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson
mendasarkan pada banyaknya bulan basah dan bulan kering untuk menentukan
tipe iklim suatu daerah. Penentuan bulan basah dan bulan kering menggunakan
klasifikasi Mohr sebagai berikut:
35
a. Bulan basah apabila CH lebih dari 100 mm per bulan.
b. Bulan lembab apabila CH antara 60-100 mm per bulan.
c. Bulan kering apabila CH kurang dari 60 mm per bulan.
Tipe iklim menurut sistem Schmidt-Ferguson ditentukan berdasarkan nilai
Q (quotient). Nilai Q ditentukan berdasarkan rumus berikut:
Rata-rata jumlah bulan kering
Q = X 100% (7)
Rata-rata jumlah bulan basah
Tipe iklim ditentukan berdasarkan nilai Q dalam Tabel 3.3 sebagai berikut:
Tabel 3.4 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q
Golongan Nilai Q Keterangan
A 0,000 ≤ Q ≤ 0,143 Sangat basah
B 0,143 ≤ Q ≤ 0,333 Basah
C 0,333 ≤ Q ≤ 0,600 Agak basah
D 0,600 ≤ Q ≤ 1,000 Sedang
E 1,000 ≤ Q ≤ 1,670 Agak kering
F 1,670 ≤ Q ≤ 3,000 Kering
G 3,000 ≤ Q ≤ 7,000 Sangat kering
H 7,000 ≤ Q Luar biasa kering
Sumber: Wisnubroto dan Aminah (1986)
Hasil perhitungan dan penentuan tipe iklim dari empat stasiun hujan di
sekitar daerah penelitian terlampir dalam Tabel 3.4.
Tabel 3.5 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian
Stasiun Rata-rata
bulan basah
Rata-rata
bulan kering
Q Golongan Keterangan
Samigaluh 8 4 0,428 C Agak basah
Kalibawang 7 3 0,714 D Sedang
Kenteng 6 4 0,667 D Sedang
Kaligesing 8 4 0,5 C Agak basah
Sumber: Pengolahan data sekunder, 2008
36
Berdasarkan hasil perhitungan, stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah
mempunyai rasio kurang lebih 7 bulan basah dan 3 bulan kering. Oleh karena itu
daerah penelitian termasuk dalam iklim agak basah hingga sedang.
3.3 Geologi
Secara geologis, DAS Tinalah termasuk dalam kawasan Perbukitan Progo
Barat yang membentang sepanjang jurus utara-selatan mulai dari bagian barat
Kabupaten Kulonprogo hingga bagian timur Kabupaten Purworejo. Menurut
Bemmelen (1970), Perbukitan Progo Barat mempunyai struktur kubah (dome)
dengan proses evolusi geologis yang cukup kompleks. Proses geologi yang
membentuk perbukitan ini dimulai pada Masa Eosen. Pada masa ini Alas
Nanggulan terbentuk. Pada kurun waktu Oligosen hingga Miosen Awal, aktivitas
geologi di daerah ini didominasi oleh aktivitas vulkanik tiga gunung api tua, yaitu
Gunungapi Gajah, Ijo dan Menoreh yang merupakan gunung api termuda di
bagian utara. Material dari tiga gunung api tersebut didominasi oleh breksi
andesit. Seiring dengan berakhirnya aktivitas vulkanik Gunungapi Menoreh,
daerah ini mengalami proses pengangkatan (uplifting) yang pertama. Pada kurun
waktu Miosen Bawah-Tengah, bagian yang terangkat mengalami penenggelaman
(subsidence) hingga di bawah permukaan laut. Pada waktu ini Formasi
Jonggrangan yang terdiri dari batu gamping, lignit dan marl mulai terbentuk dan
diendapkan, diikuti pembentukan Formasi Sentolo di sebelah selatan pada Miosen
Tengah. Masih dalam kurun waktu yang sama, proses pengangkatan dimulai lagi
di bagian selatan. Bagian utara tetap berupa dataran rendah dan peneplain dengan
sisa Gunungapi Menoreh membentuk igir dengan ketinggian 700 meter.
Pengangkatan terakhir baru terjadi pada masa Pleistosen Tengah yang membentuk
perbukitan dengan struktur kubah dengan puncak yang datar.
37
37
38
Dengan latar belakang geologi di atas, maka di daerah penelitian
setidaknya kini terdapat empat formasi batuan utama. Deskripsi karakteristik tiap
formasi batuan disajikan dalam Tabel 3.6.
Tabel 3.6
Distribusi dan Jenis Formasi Batuan di Daerah Penelitian
No. Formasi Batuan Kode Litologi Waktu
pembentukan/pengendapan
1. Andesit Tua Tmoa Breksi volkanik (lahar) dengan
sisipan lava andesit dan
batupasir tufan.
Oligosen Akhir – Miosen
Awal
2. Jonggrangan Tmj Napal tufan, batupasir
gampingan dengan sisipan lignit,
dan ke arah atas berubah
menjadi batugamping berlapis
dan batugamping terumbu
Miosen Awal– Tengah
3. Endapan
koluvial
Qc Material koluvial hasil rombakan
formasi andesit tua
Pleistosen-Holosen
4. Endapan Merapi
Muda
Qa tuf, abu, breksi, aglomerat dan
leleran lava
Pleistosen-Holosen (Kuarter)
Sumber: Peta Geologi Yogyakarta Skala 1:100.000 Direktorat Geologi Indonesia (2004)
3.4 Geomorfologi dan Bentuk Lahan
Berdasarkan Peta Bentuk lahan DAS Tinalah, secara umum, terdapat tiga
proses geomorfologi yang membentuk konfigurasi bentuk lahan di daerah
penelitian, yaitu proses struktural, denudasional dan fluvial. Proses struktural
berupa pengangkatan (uplifting) dan penenggelaman (subsidence) yang terjadi
pada masa Miosen hingga Pleistosen yang kemudian menyebabkan terbentuknya
jalur patahan di beberapa tempat. Pengangkatan Kubah Progo menyebabkan Plato
Jonggrangan reliefnya naik yang kemudian terdenudasi dan tersolusi kuat,
sehingga sebagian besar material gampingan kini menghilang dan digantikan
material dibawahnya (material volkanik tua). Sisa – sisa dari Plato Jonggrangan di
daerah penelitian masih dapat ditemui di daerah hilir berupa perbukitan struktural
gamping dengan tingkat pengikisan yang bervariasi. Perbukitan ini merupakan
sisa dari Plato Jonggrangan di daerah penelitian yang terdenudasi sehingga
morfologinya berubah menjadi perbukitan.
39
39
40
Proses denudasional merupakan proses dominan dan yang paling
berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan kondisi bentuk lahan di
daerah penelitian. Hal ini tidak lepas pula dari pengaruh iklim yang relatif basah
dengan fluktuasi curah hujan dan temperatur yang tinggi, sehingga pelapukan,
terutama pelapukan mekanis terjadi secara intensif. Material lapukan kemudian
terdeposisi melalui mekanisme erosi dan longsoran ke daerah bawah. Proses erosi
terjadi secara intensif yang dicirikan dengan kenampakan – kenampakan erosi
berat seperti alur dan parit yang lebar dan dalam hingga mencapai batuan dasar.
Dikarenakan bekerja pada satuan litologi yang relatif seragam (batuan andesit
tua), hasil proses denudasi di daerah penelitian juga relatif seragam membentuk
susunan morfoaransemen perbukitan, lereng, lembah, walaupun tingkat
pengikisannya bervariasi pada setiap satuan bentuk lahan. Satuan – satuan bentuk
lahan ini diklasifikasikan sebagai perbukitan dan lereng denudasional dengan
tingkat pengikisan bervariasi.
Proses fluvial terjadi di daerah lembah antar perbukitan dimana disini
terjadi akumulasi limpasan permukaan membentuk jaringan Sungai Tinalah.
Proses fluvial yang terjadi berupa pengangkutan dan pengendapan material hasil
proses denudasi di sepanjang aliran Sungai Tinalah dan membentuk dataran
aluvial sungai di hilir. Di beberapa bagian DAS, material aluvium ini bercampur
dengan material koluvium dari perbukitan diatasnya membentuk dataran fluvio-
koluvial. Secara lebih rinci, bentuk lahan yang terdapat di DAS Tinalah dapat
dilihat pada Tabel 3.7 dan Gambar 3.4.
41
Tabel 3.7
Distribusi Bentuk Lahan di Daerah Penelitian
Nama Bentuk Lahan Luas (Ha)
Dataran Aluvial Endapan Vulkanik Merapi Muda 0,4
Dataran Aluvial Sungai Tinalah 2,3
Dataran Fluvio-Koluvial 2,9
Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Napal Tuf Terkikis Sedang 35,7
Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Napal Tuf, Gamping
Terkikis Kuat 53,7
Kompleks Perbukitan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Sedang 27
Lembah Antar Perbukitan 35,5
Lembah Sungai Tinalah 4,6
Lereng Atas Perbukitan Denudasional Andesit, Breksi Andesit Terkikis Kuat 16,4
Lereng Bawah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat 11,8
Lereng Kaki Koluvial 46,8
Lereng Kaki Koluvial Gamping Koral 0,4
Lereng Kaki Koluvial Gamping Tersisip 7,4
Lereng Landai Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Lemah 24
Lereng Landai Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Gamping Koral Terkikis
Ringan 7
Lereng Tengah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat 48,3
Lereng Terjal Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat 29,1
Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat 30,5
Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Ringan 18,3
Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Sedang 7,7
Sumber: Peta Bentuk Lahan DAS Tinalah
3.5 Hidrologi
Kondisi iklim, geologi dan geomorfologi sangat menentukan kondisi
hidrologi suatu DAS, baik air permukaan maupun air tanah. Kondisi iklim daerah
penelitian termasuk dalam kategori agak basah menurut klasifikasi Schmidt-
Ferguson. Hujan yang tersedia relatif cukup untuk mengalirkan sungai sepanjang
tahun. Oleh karena itu Sungai Tinalah termasuk dalam kategori sungai perenial.
Jenis pola aliran sungai di DAS Tinalah termasuk dalam tipe dentritik dengan
distribusi cabang sungai yang relatif rapat. Terbentuknya pola aliran sungai
dentritik di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh struktur geologi dan litologi
Pegunungan Progo Barat yang didominasi batuan breksi andesit. Pola aliran
sungai yang rapat dengan beberapa anak sungai masih berupa parit alam yang
42
lebar dan dalam hingga mengikis batuan induk mengindikasikan bahwa proses
erosi telah berlangsung intensif dalam jangka waktu yang lama.
Litologi yang bersifat masif berupa andesit dan gamping merupakan
penyebab langkanya air tanah di daerah penelitian, terutama di daerah perbukitan.
Dua jenis batuan di atas tidak mampu menyimpan air dalam jumlah besar.
Terlebih perbukitan yang ada mempunyai kemiringan lereng yang relatif terjal,
sehingga sebagian besar material hasil rombakan dan pelapukan langsung tererosi
dan terendapkan di lereng kaki dan dataran aluvial. Dua hal diatas yang
menyebabkan aquifer tidak dapat berkembang dengan baik di daerah perbukitan.
Walaupun demikian, pada area dengan solum tanah yang cukup tebal, aquifer
lokal dan dangkal dapat terbentuk. Lapisan ini biasanya langsung mengalami
kontak dengan batuan induk yang dicirikan dengan munculnya mata air dan
rembesan. Aquifer di daerah penelitian terbentuk di daerah bentuk lahan lereng
kaki koluvial dan dataran aluvial yang merupakan tempat akumulasi dan
pengendapan material hasil proses fluvial dan denudasional.
3.6 Tanah
Pembentukan tanah di DAS Tinalah dikontrol oleh faktor – faktor
pembentukan tanah, terutama oleh iklim, topografi, batuan dan waktu. Kombinasi
ketiga faktor tersebut mempengaruhi jenis tanah yang terbentuk di daerah
penelitian. Bahan induk tanah di DAS Tinalah berasal dari tiga formasi batuan,
yaitu Andesit Tua, Jonggrangan dan Nanggulan. Pada setiap bahan induk yang
berasal dari formasi berbeda, jenis tanah yang terbentuk juga berbeda. Kondisi
iklim yang fluktuatif mempercepat proses pelapukan batuan, sehingga
pembentukan bahan induk tanah berlangsung cepat. Namun demikian, curah
hujan yang tinggi juga membawa konsekuensi tingkat erosi dan longsoran yang
tinggi sehingga sebagian besar material biasanya langsung tererosi dan
terakumulasi di lereng bawah. Oleh karena itu, tanah di daerah perbukitan dan
lereng atas biasanya mempunyai ciri - ciri solum tanah yang tipis. Kondisi iklim
di daerah penelitian kondisinya relatif sama (sedang hingga agak basah), sehingga
praktis proses pembentukan tanah di daerah penelitian ditentukan oleh topografi
43
dan batuan sebagai sumber bahan induk tanah. Tanah yang terbentuk pada batuan
yang sama namun kondisi reliefnya berbeda, tanah yang terbentuk dan
perkembangannya juga berbeda.
Berdasarkan Peta Tanah DAS Tinalah pada Gambar 3.4, ordo tanah yang
berkembang di daerah penelitian adalah ordo Entisol, Inceptisol dan Alfisol.
Berikut ini diuraikan karakteristik setiap ordo.
1. Entisol
Ordo Entisol merupakan tanah yang paling mendominasi di daerah
penelitian. Entisol merupakan ordo tanah belum berkembang. Ciri khas dari ordo
ini yang juga ditemui pada tanah di daerah penelitian adalah horison-horisonnya
belum terdiferensiasi secara jelas. Tanah Entisol di daerah penelitian berkembang
terutama di bentuk lahan perbukitan dengan kemiringan lereng relatif terjal, oleh
karena itu kepekaannya terhadap erosi juga relatif tinggi. Solum tanahnya pada
umumnya tipis. Hal ini dikarenakan material hasil lapukan yang merupakan bahan
induk tanah kebanyakan langsung tererosi sebelum mengalami pedogenesis.
Karena belum menunjukkan kecenderungan perkembangan ke ordo lain, Tanah
Entisol di daerah penelitian diklasifikasikan ke dalam subordo Orthents. Rejim
kelembabannya termasuk dalam kategori tropis, sehingga termasuk dalam group
Troporthents. Pada area yang solum tanahnya tipis akibat sering tererosi, Alfisol
yang terbentuk diklasifikasikan lebih detil ke dalam subgroup Lithic.
44
44
45
2. Inceptisol
Inceptisol merupakan ordo tanah yang baru berkembang yang dicirikan
dengan diferensiasi antar horison yang mulai tampak. Subordo Inceptisol yang
berkembang di daerah penelitian adalah eutropepts karena mempunyai
karakteristik rejim tropis dengan kejenuhan basa yang tinggi. Ciri lainnya adalah
kedalaman tanahnya tipis (di bawah 30 cm) sehingga termasuk dalam subgroup
lithic dan sebagian lainnya mempunyai sifat yang khas sehingga termasuk dalam
subgroup typic. Di lapangan, tanah ini berkembang di bentuk lahan lereng kaki
perbukitan dengan kemiringan lereng 8 sampai 20%. Bahan induknya sebagian
besar berasal dari material koluvium dari perbukitan di atasnya. Tingkat
kesuburannya secara umum lebih baik daripada Entisol dengan kepekaan erosi
yang lebih rendah.
3. Alfisol
Alfisol merupakan tanah yang sedang berkembang. Salah satu penciri dari
ordo ini adalah adanya horison argilik yang merupakan hasil proses iluviasi.
Subordo Alfisol yang berkembang di daerah penelitian adalah udalfs karena
memiliki rejim kelembaban udik. Ciri lain dari sifat Tanah Alfisol di DAS Tinalah
adalah horison argilik yang ada perkembangannya belum maksimal yang dicirikan
dengan tidak jelasnya perbedaan antara horison argilik dan non argilik, sehingga
dimasukkan dalam group Hapludalfs. Pada umumnya, ciri khas group Hapludalfs
hampir semua ditemui di Tanah Alfisol di daerah penelitian. Adanya sifat ini
memungkinkan tanah Alfisol di daerah penelitian dapat diklasifikasi secara lebih
rinci ke dalam subgroup Typic Hapludalfs. Tanah Alfisol di daerah penelitian
berkembang di bentuk lahan lereng perbukitan dengan batuan dasar breksi andesit
dan gamping. Tekstur tanahnya didominasi lempung dengan kedalaman tanah
antara 50 hingga 100 cm. Sebagian dari Alfisol ini terdapat secara asosiasi dan
kompleks baik dengan ordo Entisol maupun Inceptisol, terutama pada bentuk
lahan dengan kemiringan lereng bervariasi.
46
3.7 Vegetasi dan Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil intepretasi citra SPOT hasil operasi penggabungan citra
dan kerja lapangan, daerah penelitian didominasi penggunaan lahan kebun dan
tegalan. Tanaman yang ada pada penggunaan lahan kebun antara lain jati, mahoni,
akasia, sengon, cengkeh dan ketela. Sedangkan jenis tanaman yang terdapat di
penggunaan lahan ladang berupa tanaman semusim seperti kacang tanah, kedelai,
ketela, dan jagung. Proporsi dan jenis penggunaan lahan yang terdapat di DAS
Tinalah dapat dilihat pada Tabel 3.8. Permukiman penduduk di DAS Tinalah
mempunyai karakteristik distribusi yang menyebar. Konsentrasi permukiman
terbesar di Desa Gerbosari dimana desa ini merupakan ibukota Kecamatan
Samigaluh. Penggunaan lahan sawah tadah hujan berada pada bentuk lahan lereng
kaki dan dataran aluvial.
Tabel 3.8 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah
No Penggunaan lahan Luas (Ha)
1 Sawah irigasi 48,1
2 Sawah tadah hujan 463,0
3 Kebun 3029,9
4 Ladang 367,2
5 Permukiman 450,4
6 Semak 72,0
Total 4430,5
Sumber: Hasil interpretasi Citra SPOT-5 Pan sharpened resolusi spasial 2,5 meter (2006).
Vegetasi pada setiap bentuk penggunaan lahan mempunyai karakteristik
tutupan yang berbeda. Penggunaan lahan kebun didominasi vegetasi strata pohon
dengan tutupan vertikal kanopi yang tebal dan ketinggiannya bisa mencapai lebih
dari 5 meter. Penggunaan lahan ladang dan semak didominasi vegetasi strata
pohon dan semak dengan ketinggian kanopi maksimal 5 meter. Ketebalan kanopi
vegetasi di penggunaan lahan ladang pada umumnya lebih tipis dari vegetasi pada
penggunaan lahan kebun. Penggunaan lahan sawah didominasi vegetasi strata
herba dan rumput yang termasuk dalam kategori penutupan tanah (ground cover)
dengan ketinggian di bawah 2 meter. Karakteristik vegetasi yang berbeda pada
setiap bentuk penggunaan lahan menyebabkan erosi yang terjadi juga berbeda.
47
47
48
3.8 Kependudukan dan Sosial-Ekonomi
Kondisi lingkungan fisik berupa perbukitan sangat mempengaruhi kondisi
kependudukan dan sosial ekonomi penduduk di sekitar DAS Tinalah. Berdasarkan
data PODES 2005 Kabupaten Kulonprogo, jumlah penduduk di DAS Tinalah
sekitar lima puluh ribu jiwa yang tersebar di beberapa desa. Desa Gerbosari yang
berada di bagian tengah DAS merupakan desa dengan jumlah penduduk dan luas
permukiman terbesar, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.9. Hal ini dikarenakan
Desa Gerbosari merupakan ibukota Kecamatan Samigaluh dimana segala aktivitas
ekonomi terpusat di sini, sehingga penduduk banyak yang terkonsentrasi di desa
ini. Permukiman di DAS Tinalah mempunyai karakteristik distribusi yang
menyebar tidak teratur (random). Keberadaan permukiman biasanya di bawah
lereng perbukitan dan dibangun dengan memotong lereng. Pemotongan lereng
untuk pembangunan permukiman menyebabkan daerah penelitian memiliki
tingkat kerawanan longsor yang tinggi. Mata pencaharian penduduk sebagian
besar di sektor pertanian dan perkebunan. Ketergantungan yang tinggi pada
sumber daya alam yang ada menyebabkan degradasi lahan, terutama erosi
berdampak nyata terhadap kondisi perekonomian penduduk DAS. Keterbatasan
kemampuan lahan daerah penelitian untuk mendukung berbagai penggunaan
menyebabkan penduduk tidak dapat memanfaatkan lahan yang ada secara
optimal. Oleh karena itu tidak heran apabila Kecamatan Samigaluh merupakan
salah satu kecamatan termiskin di Kabupaten Kulonprogo.
Tabel 3.9 Karakteristik Demografi DAS Tinalah
Nama Desa Laki-Laki
(jiwa)
Perempuan
(jiwa)
Jumlah Luas
permukiman
(ha)
Kepadatan
penduduk pada
permukiman
(jiwa/ha)
Banjarsari 1951 1969 3920 42.8 91.6
Purwoharjo 1998 2209 4207 38.5 109.3
Sidoharjo 2601 2501 5102 61.8 82.6
Gerbosari 2857 2569 5426 63.8 85.0
Ngargosari 2018 2001 4019 38.7 103.9
Jumlah 24106 24678 48784
Sumber: Analisis data PODES 2005.
49
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan utama dari studi ini adalah memprediksi dan memetakan tutupan
kanopi vegetasi dengan menggunakan atribut spektral citra penginderaan jauh dan
mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi kualitatif yang
dinilai dari bentukan erosi yang terjadi. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian
dilaksanakan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan, mulai dari pemrosesan
citra dan pembuatan peta dasar, kerja lapangan pengamatan erosi dan pengukuran
persentase tutupan kanopi vegetasi. Bagian ini akan menguraikan tentang jalannya
penelitian yang telah dilakukan dan hasil - hasil yang diperoleh, mulai dari
pemrosesan citra hingga analisis tabulasi silang untuk melihat hubungan antara
tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi.
4.1 Restorasi Citra
Citra penginderaan jauh mengalami berbagai macam kesalahan baik
radiometrik maupun geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber informasi
tematik sumber daya, kesalahan – kesalahan ini harus dikoreksi terlebih dulu.
Citra SPOT 5 HRG yang digunakan dalam penelitian mempunyai tingkat
pemrosesan 1A yang berarti sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum
terkoreksi geometrik.
4.1.1 Koreksi Geometrik
Citra SPOT 5 tingkat pemrosesan 1A yang digunakan dalam penelitian
masih bersifat data mentah (raw image), artinya kesalahan geometrik sistematik
dan non sistematik yang diakibatkan mekanisme perekaman sebagai aspek
internal sensor dan sifat-sifat bumi sebagai aspek eksternal masih belum
diperbaiki, sehingga citra perlu dikoreksi geometrik. Koreksi geometrik untuk
memperbaiki kesalahan geometrik dilakukan dengan menggunakan transformasi
tiga dimensi atau orthorektifikasi. Orthorektifikasi citra dalam penelitian ini
dilakukan menggunakan RPC dan informasi elevasi dari DEM ataupun titik
50
kontrol tanah. Jika citra yang digunakan tidak mempunyai informasi RPC,
informasi RPC dapat diperoleh dengan menerapkan model persamaan RPC
dengan menggunakan minimal tujuh titik kontrol tanah (untuk transformasi orde
1) hingga 39 (untuk transformasi orde3) (Harintaka dkk, 2006). Dikarenakan citra
SPOT yang digunakan telah mengandung informasi RPC dalam header citranya,
maka orthorektifikasi dalam penelitian ini dilakukan tanpa menggunakan titik
kontrol tanah. Informasi ketinggian pada setiap piksel citra diperoleh dari DEM
(digital elevation model) yang diturunkan dari data kontur Peta Rupabumi.
Perbandingan citra sebelum dan sesudah koreksi geometrik dapat dilihat pada
Gambar 4.1.
(a) (b)
Gambar 4.1.
Citra SPOT-5 sebelum koreksi geometrik (a) dan sesudah koreksi geometrik
(b)
Ketelitian posisi citra hasil koreksi dapat dinilai secara kualitatif maupun
kuantitatif dengan menggunakan RMSE (root mean square error). Dalam
penelitian ini, ketelitian posisi dinilai secara kualitatif dengan menggunakan data
vektor dari Peta Rupabumi Indonesia Bakosurtanal Skala 1:25.000 (Harintaka,
51
2003). Pembandingan dilakukan dengan mentumpangsusunkan antara citra hasil
koreksi dengan obyek sungai yang diturunkan dari Peta RBI. Hasil
orthorektifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dari Gambar tersebut, obyek
sungai dari peta RBI ternyata dapat tepat berimpit dengan kenampakan sungai dari
peta. Hasil ini menunjukkan bahwa orthorektifikasi menghasilkan ketelitian posisi
yang tinggi.
Gambar 4.2 Citra hasil orthorektifikasi
4.1.2 Koreksi Radiometrik
Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian ini sudah terkoreksi
radiometrik sistematik. Terkoreksi radiometrik sistematik dapat diartikan bahwa
kesalahan – kesalahan radiometrik yang berkaitan dengan mekanisme internal
sensor sudah dikoreksi oleh stasiun penerima, namun demikian faktor eksternal
sensor seperti pengaruh hamburan atmosfer belum tentu sudah terkoreksi
(Danoedoro, komunikasi pribadi). Pengaruh hamburan atmosfer dapat
diidentifikasi jika terdapat obyek air yang mempunyai nilai piksel lebih dari 0
pada saluran inframerah gelombang pendek (saluran 4 pada sensor SPOT-5).
52
Secara teori, obyek air yang jernih, tenang dan dalam seharusnya mempunyai nilai
piksel tidak jauh dari 0. Hal ini dikarenakan obyek air banyak menyerap sinyal
elektromagenik matahari pada saluran inframerah gelombang pendek, sehingga
respon spektral air pada saluran ini biasanya sangat lemah. Namun jika nilainya
bukan 0, maka bisa dipastikan telah terjadi penambahan informasi spektral yang
mencapai sensor yang tidak berasal dari obyek air di permukaan bumi, melainkan
dari hamburan atmosfer (Danoedoro, 1996). Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan pada seluruh area liputan citra, kenampakan air yang jernih dan dalam
(Waduk Sermo) ternyata tidak menunjukkan nilai 0 pada saluran 4 (saluran
inframerah gelombang pendek), sehingga bisa dipastikan bahwa ada pengaruh
hamburan atmosfer yang menyebabkan peningkatan respon spektral.
Koreksi radiometrik citra dilakukan dengan menggunakan metode
kalibrasi bayangan. Tahapan dalam koreksi diawali dengan pengambilan pasangan
sampel nilai piksel yang merepresentasikan obyek penutup lahan yang sama, yang
berada di daerah yang tertutup bayangan awan (Eis) dan daerah yang tidak
tertutup bayangan awan (Eit). Dari pembacaan yang dilakukan, diperoleh 10 titik
sampel pengamatan yang tersebar merata di seluruh area liputan citra. Informasi
nilai piksel pada setiap titik sampel dapat dilihat pada lampiran 1.
Penentuan nilai bias atmosfer (Dλ) dilakukan dengan menggunakan
analisis regresi antara Eit dan Eis. Persamaan regresi linier yang diperoleh
kemudian disubstitusikan ke persamaan 2 untuk memperoleh nilai Dλ. dan nilai
bias (Dλ) yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.2. Hasil analisis regresi dan
persamaan yang diperoleh serta perhitungan lengkap dapat dilihat pada lampiran
1.
Tabel 4.1 Nilai Bias Atmosfer Setiap Saluran Citra SPOT-5
Nama Saluran Nilai bias (Dλ)
Saluran 1 (Hijau) 36
Saluran 2 (Merah) 21
Saluran 3 (Inframerah dekat/NIR) 33
Saluran 4 (Inframerah gelombang pendek/SWIR) 21
Sumber: Hasil analisis kalibrasi bayangan, 2008
53
Hasil koreksi radiometrik pada tabel menunjukkan saluran XS1 SPOT
merupakan saluran yang paling terpengaruh oleh kondisi atmosfer berupa
hamburan yang menyebabkan penambahan pantulan spektral, sehingga respon
spektral yang direkam sensor tidak mencerminkan hasil interaksi obyek dengan
tenaga matahari yang sebenarnya. Berdasarkan hasil analisis, nilai biasnya cukup
tinggi yaitu berkisar 20 hingga 36. Semakin bertambah panjang gelombang,
pengaruh hamburan seakin berkurang yang ditandai dengan penurunan nilai bias.
Hasil analisis menunjukkan saluran 2, 3 dan 4 mempunyai nilai bias yang lebih
rendah dari saluran 1.
Hasil yang diperoleh dari operasi restorasi citra adalah citra yang minim
kesalahan baik secara radiometrik maupun geometrik untuk digunakan dalam
tahapan analisis berikutnya, yaitu pembuatan citra NDVI dan ekstraksi data
tutupan kanopi.
4.2 Transformasi NDVI
NDVI dirancang untuk dapat memilahkan obyek vegetasi dan bukan
vegetasi secara cepat dengan menggunakan informasi karakteristik pantulan
vegetasi pada saluran merah dan inframerah dekat. Pantulan vegetasi yang tinggi
pada saluran inframerah dekat dan sebaliknya pada saluran merah menyebabkan
obyek vegetasi mengumpul di kisaran nilai positif tinggi pada citra NDVI,
sedangkan obyek tanah air yang pantulannya lebih tinggi pada saluran merah
mengumpul pada nilai positif rendah hingga nol untuk obyek air, dan negatif
rendah untuk obyek tanah dan lahan terbangun. Dengan karakteristik tersebut,
maka obyek vegetasi, tanah dan air dapat dibedakan dengan mudah menggunakan
teknik density slicing.
Berdasarkan hasil analisis, NDVI yang diperoleh mempunyai karakteristik
julat nilai digital antara -0,5 hingga 0,89. Dari histogram citra pada Gambar 4.3
dapat diketahui bahwa frekuensi nilai digital kebanyakan mengumpul di julat 0,4
hingga 0,8. Hasil ini menunjukkan bahwa daerah penelitian didominasi penutup
lahan vegetasi. Hasil inspeksi pada seluruh bagian citra menunjukkan nilai
ambang batas (treshold) untuk membedakan obyek vegetasi dan bukan vegetasi
54
adalah 0,4. Dengan demikian maka nilai di bawah 0,4 dari citra NDVI tidak
digunakan dalam analisis regresi untuk menurunkan model tutupan kanopi. Nilai
yang digunakan adalah julat 0,4 hingga 1 yang mencerminkan obyek vegetasi
dengan kondisi tutupan yang bervariasi.
Gambar 4.3 Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah
Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
-0,50
-0,20
-0,10
-0,10
0,00
0,05
0,11
0,17
0,23
0,29
0,35
0,41
0,47
0,53
0,59
0,65
0,71
0,77
0,83
0,89
Nilai NDVI
Frekuensi
55
55
56
4.3 Penggabungan Citra dan Pemetaan Penggunaan Lahan
4.3.1 Penggabungan Citra
Pemetaan penggunaan lahan pada skala 1:50.000 memerlukan citra
penginderaan jauh dengan resolusi spasial sama atau lebih tinggi dari 10 meter
(Richards dan Jia, 2006). Persyaratan ini menyebabkan citra SPOT-5
multispektral tidak selalu dapat digunakan untuk menurunkan informasi
penggunaan lahan pada skala yang menjadi tujuan penelitian. Hambatan ini dapat
diatasi dengan menggunakan citra pakromatik yang direkam pada waktu yang
sama dengan citra multispektral, namun mempunyai resolusi dan detil spasial
yang lebih baik (2,5 meter). Namun demikian, citra ini hanya dapat
divisualisasikan secara monokromatik karena direkam pada saluran tunggal. Oleh
karena itu, pembedaan obyek dari segi spektral hanya bisa dilakukan dari
identifikasi perbedaan rona pada citra. Hal ini membawa kesulitan tersendiri
karena saluran pankromatik SPOT hanya peka pada saluran hijau – merah (0,51-
0,73µm), sehingga obyek tertentu seperti vegetasi berdaun jarum kerapatan jarang
dan tanah terbuka menunjukkan respon spektral yang hampir seragam sehingga
sukar dibedakan dari ronanya. Permasalahan di atas yang mendasari dilakukannya
penggabungan citra (image fusion) antara citra multispektral dan pankromatik.
Dengan digabungkannya kedua citra, kelebihan –kelebihan dari citra multispektral
dan pankromatik dapat diintegrasikan menjadi citra baru yang memiliki kerincian
informasi spektral citra multispektral sekaligus kedetilan spasial citra pakromatik.
Hasil operasi penggabungan citra dengan susunan komposit warna 432 dan
perbandingannya dengan citra asal dapat dilihat pada Gambar 4.5
57
(a) (b) (c)
Gambar 4.5
Citra multispektral (a), Citra Pankromatik (b) dan Citra gabungan (c)
Penggunaan komposit warna 432 dan algoritma transformasi IHS
(Intensity Hue Saturation) untuk menggabungkan citra multispektral dan
pankromatik memberikan beberapa kelebihan dilihat dari aspek kegunaannya
untuk interpretasi penggunaan lahan. Pelibatan saluran 4 (SWIR) yang peka
terhadap kandungan air dalam penyusunan komposit warna memberikan
keuntungan berupa kemudahan dalam membedakan obyek tanah terbuka lembab
(berasosiasi dengan penggunaan lahan sawah) dan lahan terbangun. Sebaliknya,
pada susunan komposit warna semu standar 321 SPOT yang biasa diterapkan
pada Citra SPOT 1-3, lahan terbuka lembab dan lahan terbangun tidak dapat
dibedakan dengan mudah. Hal ini disebabkan pada saluran 1 dan 2, kedua obyek
tersebut mempunyai karakteristik spektral yang mirip. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 4.6.
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah
Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah

More Related Content

What's hot

Kesehatan lingkungan
Kesehatan lingkunganKesehatan lingkungan
Kesehatan lingkunganShoetiaone
 
Konsep Monitoring dan Evaluasi
Konsep Monitoring dan Evaluasi Konsep Monitoring dan Evaluasi
Konsep Monitoring dan Evaluasi Dadang Solihin
 
Laporan Praktkum Kultur Jaringan Tumbuhan: Pembuatan Media MS (Murashige & Sk...
Laporan Praktkum Kultur Jaringan Tumbuhan: Pembuatan Media MS (Murashige & Sk...Laporan Praktkum Kultur Jaringan Tumbuhan: Pembuatan Media MS (Murashige & Sk...
Laporan Praktkum Kultur Jaringan Tumbuhan: Pembuatan Media MS (Murashige & Sk...UNESA
 
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)CIFOR-ICRAF
 
Laporan tugas mata kuliah sumberdaya alamiah dan lingkungan
Laporan tugas mata kuliah sumberdaya alamiah dan lingkunganLaporan tugas mata kuliah sumberdaya alamiah dan lingkungan
Laporan tugas mata kuliah sumberdaya alamiah dan lingkunganfriska silalahi
 
Cara pembuatan peta gis secara sederhana
Cara pembuatan peta gis secara sederhanaCara pembuatan peta gis secara sederhana
Cara pembuatan peta gis secara sederhanaBagus ardian
 
Laporan kadar air benih (autosaved)
Laporan kadar air benih (autosaved)Laporan kadar air benih (autosaved)
Laporan kadar air benih (autosaved)Mohammad Muttaqien
 
Contoh Ppt Seminar Proposal
Contoh Ppt Seminar ProposalContoh Ppt Seminar Proposal
Contoh Ppt Seminar ProposalAgung Agung
 
Istilah istilah dalam rancangan percobaan
Istilah istilah dalam rancangan percobaanIstilah istilah dalam rancangan percobaan
Istilah istilah dalam rancangan percobaanIr. Zakaria, M.M
 
Karakteristik lahan rawa
Karakteristik lahan rawaKarakteristik lahan rawa
Karakteristik lahan rawaBoaz Salosa
 
Survei dan Pemetaan Menggunakan GPS
Survei dan Pemetaan Menggunakan GPSSurvei dan Pemetaan Menggunakan GPS
Survei dan Pemetaan Menggunakan GPSbramantiyo marjuki
 
Pp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatan
Pp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatanPp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatan
Pp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatanUlfah Hanum
 
PRINSIP-PRINSIP DAN ETIKA PENYULUHAN
PRINSIP-PRINSIP DAN ETIKA PENYULUHANPRINSIP-PRINSIP DAN ETIKA PENYULUHAN
PRINSIP-PRINSIP DAN ETIKA PENYULUHANSri Wahyuni
 
Monitoring Kualitas Ikan Dan Lingkungan Kawasan Budidaya
Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  BudidayaMonitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya
Monitoring Kualitas Ikan Dan Lingkungan Kawasan BudidayaBBAP takalar
 
PETA, GIS, dan DATABASE SPASIAL
PETA, GIS, dan DATABASE SPASIALPETA, GIS, dan DATABASE SPASIAL
PETA, GIS, dan DATABASE SPASIALElisa Lumintang
 

What's hot (20)

Kesehatan lingkungan
Kesehatan lingkunganKesehatan lingkungan
Kesehatan lingkungan
 
Konsep Monitoring dan Evaluasi
Konsep Monitoring dan Evaluasi Konsep Monitoring dan Evaluasi
Konsep Monitoring dan Evaluasi
 
Review Jurnal
Review JurnalReview Jurnal
Review Jurnal
 
Laporan Praktkum Kultur Jaringan Tumbuhan: Pembuatan Media MS (Murashige & Sk...
Laporan Praktkum Kultur Jaringan Tumbuhan: Pembuatan Media MS (Murashige & Sk...Laporan Praktkum Kultur Jaringan Tumbuhan: Pembuatan Media MS (Murashige & Sk...
Laporan Praktkum Kultur Jaringan Tumbuhan: Pembuatan Media MS (Murashige & Sk...
 
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)
 
Laporan tugas mata kuliah sumberdaya alamiah dan lingkungan
Laporan tugas mata kuliah sumberdaya alamiah dan lingkunganLaporan tugas mata kuliah sumberdaya alamiah dan lingkungan
Laporan tugas mata kuliah sumberdaya alamiah dan lingkungan
 
Cara pembuatan peta gis secara sederhana
Cara pembuatan peta gis secara sederhanaCara pembuatan peta gis secara sederhana
Cara pembuatan peta gis secara sederhana
 
Laporan kadar air benih (autosaved)
Laporan kadar air benih (autosaved)Laporan kadar air benih (autosaved)
Laporan kadar air benih (autosaved)
 
Contoh Ppt Seminar Proposal
Contoh Ppt Seminar ProposalContoh Ppt Seminar Proposal
Contoh Ppt Seminar Proposal
 
Istilah istilah dalam rancangan percobaan
Istilah istilah dalam rancangan percobaanIstilah istilah dalam rancangan percobaan
Istilah istilah dalam rancangan percobaan
 
Karakteristik lahan rawa
Karakteristik lahan rawaKarakteristik lahan rawa
Karakteristik lahan rawa
 
Presentasi gita
Presentasi gitaPresentasi gita
Presentasi gita
 
Survei dan Pemetaan Menggunakan GPS
Survei dan Pemetaan Menggunakan GPSSurvei dan Pemetaan Menggunakan GPS
Survei dan Pemetaan Menggunakan GPS
 
Pp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatan
Pp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatanPp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatan
Pp nomor 46 tahun 2014 tentang sistem informasi kesehatan
 
PRINSIP-PRINSIP DAN ETIKA PENYULUHAN
PRINSIP-PRINSIP DAN ETIKA PENYULUHANPRINSIP-PRINSIP DAN ETIKA PENYULUHAN
PRINSIP-PRINSIP DAN ETIKA PENYULUHAN
 
Skala pengukuran dalam penelitian
Skala pengukuran dalam penelitianSkala pengukuran dalam penelitian
Skala pengukuran dalam penelitian
 
Sistem Informasi geografis
Sistem Informasi geografisSistem Informasi geografis
Sistem Informasi geografis
 
Monitoring Kualitas Ikan Dan Lingkungan Kawasan Budidaya
Monitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  BudidayaMonitoring  Kualitas  Ikan Dan  Lingkungan  Kawasan  Budidaya
Monitoring Kualitas Ikan Dan Lingkungan Kawasan Budidaya
 
contoh Proposal praktikum
contoh Proposal praktikumcontoh Proposal praktikum
contoh Proposal praktikum
 
PETA, GIS, dan DATABASE SPASIAL
PETA, GIS, dan DATABASE SPASIALPETA, GIS, dan DATABASE SPASIAL
PETA, GIS, dan DATABASE SPASIAL
 

Similar to Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah

latihan semdraf.pptx
latihan semdraf.pptxlatihan semdraf.pptx
latihan semdraf.pptxPolisiGendut1
 
ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN KEBUTUHAN OKSIGEN (Studi K...
ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN KEBUTUHAN OKSIGEN (Studi K...ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN KEBUTUHAN OKSIGEN (Studi K...
ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN KEBUTUHAN OKSIGEN (Studi K...Hanifah Nurhayati
 
PENILAIAN KUALITAS AIR TANAH MELALUI ANALISIS INDEKS KUALITAS AIR TANAH DI CE...
PENILAIAN KUALITAS AIR TANAH MELALUI ANALISIS INDEKS KUALITAS AIR TANAH DI CE...PENILAIAN KUALITAS AIR TANAH MELALUI ANALISIS INDEKS KUALITAS AIR TANAH DI CE...
PENILAIAN KUALITAS AIR TANAH MELALUI ANALISIS INDEKS KUALITAS AIR TANAH DI CE...DasaptaErwinIrawan
 
Perbandingan Metode Empiris Satellite-Derived Bathymetry
Perbandingan Metode Empiris Satellite-Derived BathymetryPerbandingan Metode Empiris Satellite-Derived Bathymetry
Perbandingan Metode Empiris Satellite-Derived BathymetryLuhur Moekti Prayogo
 
Laporan pj kelompok besar1
Laporan pj kelompok besar1Laporan pj kelompok besar1
Laporan pj kelompok besar1Ricky Ramadhan
 
Metode Semi Analitis Multikanal untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal di ...
Metode Semi Analitis Multikanal untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal di ...Metode Semi Analitis Multikanal untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal di ...
Metode Semi Analitis Multikanal untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal di ...Luhur Moekti Prayogo
 
Dokumen.tips judul skripsi-fisikadoc
Dokumen.tips judul skripsi-fisikadocDokumen.tips judul skripsi-fisikadoc
Dokumen.tips judul skripsi-fisikadocDeniKurochiki EpHh
 
MODEL KESESUAIAN POLA RUANG BERBASIS GEOLOGI TERINTEGRASI SOSIOEKONOMI DI KAW...
MODEL KESESUAIAN POLA RUANG BERBASIS GEOLOGI TERINTEGRASI SOSIOEKONOMI DI KAW...MODEL KESESUAIAN POLA RUANG BERBASIS GEOLOGI TERINTEGRASI SOSIOEKONOMI DI KAW...
MODEL KESESUAIAN POLA RUANG BERBASIS GEOLOGI TERINTEGRASI SOSIOEKONOMI DI KAW...Dasapta Erwin Irawan
 
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...Luhur Moekti Prayogo
 
Analisis kelas kemampuan lahan sebagai penentu kesesuaian
Analisis kelas kemampuan lahan sebagai penentu kesesuaianAnalisis kelas kemampuan lahan sebagai penentu kesesuaian
Analisis kelas kemampuan lahan sebagai penentu kesesuaianjufrikarim
 
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...Luhur Moekti Prayogo
 
Comparison of Normalized Difference Water Index (NDWI) and Sobel Filter Metho...
Comparison of Normalized Difference Water Index (NDWI) and Sobel Filter Metho...Comparison of Normalized Difference Water Index (NDWI) and Sobel Filter Metho...
Comparison of Normalized Difference Water Index (NDWI) and Sobel Filter Metho...Luhur Moekti Prayogo
 
Perbandingan Metode Roberts’ Filter, Segmentasi dan Band Ratio Pada Citra Lan...
Perbandingan Metode Roberts’ Filter, Segmentasi dan Band Ratio Pada Citra Lan...Perbandingan Metode Roberts’ Filter, Segmentasi dan Band Ratio Pada Citra Lan...
Perbandingan Metode Roberts’ Filter, Segmentasi dan Band Ratio Pada Citra Lan...Luhur Moekti Prayogo
 
Penerapan indraaja
Penerapan indraajaPenerapan indraaja
Penerapan indraajaKoko Harnoko
 
Xii geografi kd 3.3_ pemanfaatan peta untuk jaringan transportasi
Xii geografi kd 3.3_ pemanfaatan peta untuk jaringan transportasiXii geografi kd 3.3_ pemanfaatan peta untuk jaringan transportasi
Xii geografi kd 3.3_ pemanfaatan peta untuk jaringan transportasijopiwildani
 

Similar to Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah (20)

Resensi jurnal ilmiah
Resensi jurnal ilmiahResensi jurnal ilmiah
Resensi jurnal ilmiah
 
latihan semdraf.pptx
latihan semdraf.pptxlatihan semdraf.pptx
latihan semdraf.pptx
 
ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN KEBUTUHAN OKSIGEN (Studi K...
ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN KEBUTUHAN OKSIGEN (Studi K...ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN KEBUTUHAN OKSIGEN (Studi K...
ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN KEBUTUHAN OKSIGEN (Studi K...
 
PENILAIAN KUALITAS AIR TANAH MELALUI ANALISIS INDEKS KUALITAS AIR TANAH DI CE...
PENILAIAN KUALITAS AIR TANAH MELALUI ANALISIS INDEKS KUALITAS AIR TANAH DI CE...PENILAIAN KUALITAS AIR TANAH MELALUI ANALISIS INDEKS KUALITAS AIR TANAH DI CE...
PENILAIAN KUALITAS AIR TANAH MELALUI ANALISIS INDEKS KUALITAS AIR TANAH DI CE...
 
Perbandingan Metode Empiris Satellite-Derived Bathymetry
Perbandingan Metode Empiris Satellite-Derived BathymetryPerbandingan Metode Empiris Satellite-Derived Bathymetry
Perbandingan Metode Empiris Satellite-Derived Bathymetry
 
Laporan pj kelompok besar1
Laporan pj kelompok besar1Laporan pj kelompok besar1
Laporan pj kelompok besar1
 
Metode Semi Analitis Multikanal untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal di ...
Metode Semi Analitis Multikanal untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal di ...Metode Semi Analitis Multikanal untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal di ...
Metode Semi Analitis Multikanal untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal di ...
 
Dokumen.tips judul skripsi-fisikadoc
Dokumen.tips judul skripsi-fisikadocDokumen.tips judul skripsi-fisikadoc
Dokumen.tips judul skripsi-fisikadoc
 
MODEL KESESUAIAN POLA RUANG BERBASIS GEOLOGI TERINTEGRASI SOSIOEKONOMI DI KAW...
MODEL KESESUAIAN POLA RUANG BERBASIS GEOLOGI TERINTEGRASI SOSIOEKONOMI DI KAW...MODEL KESESUAIAN POLA RUANG BERBASIS GEOLOGI TERINTEGRASI SOSIOEKONOMI DI KAW...
MODEL KESESUAIAN POLA RUANG BERBASIS GEOLOGI TERINTEGRASI SOSIOEKONOMI DI KAW...
 
Kerentanan air
Kerentanan airKerentanan air
Kerentanan air
 
51 99-1-sm
51 99-1-sm51 99-1-sm
51 99-1-sm
 
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
 
Analisis kelas kemampuan lahan sebagai penentu kesesuaian
Analisis kelas kemampuan lahan sebagai penentu kesesuaianAnalisis kelas kemampuan lahan sebagai penentu kesesuaian
Analisis kelas kemampuan lahan sebagai penentu kesesuaian
 
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
 
5101409018
51014090185101409018
5101409018
 
Comparison of Normalized Difference Water Index (NDWI) and Sobel Filter Metho...
Comparison of Normalized Difference Water Index (NDWI) and Sobel Filter Metho...Comparison of Normalized Difference Water Index (NDWI) and Sobel Filter Metho...
Comparison of Normalized Difference Water Index (NDWI) and Sobel Filter Metho...
 
Perbandingan Metode Roberts’ Filter, Segmentasi dan Band Ratio Pada Citra Lan...
Perbandingan Metode Roberts’ Filter, Segmentasi dan Band Ratio Pada Citra Lan...Perbandingan Metode Roberts’ Filter, Segmentasi dan Band Ratio Pada Citra Lan...
Perbandingan Metode Roberts’ Filter, Segmentasi dan Band Ratio Pada Citra Lan...
 
Penerapan indraaja
Penerapan indraajaPenerapan indraaja
Penerapan indraaja
 
Xii geografi kd 3.3_ pemanfaatan peta untuk jaringan transportasi
Xii geografi kd 3.3_ pemanfaatan peta untuk jaringan transportasiXii geografi kd 3.3_ pemanfaatan peta untuk jaringan transportasi
Xii geografi kd 3.3_ pemanfaatan peta untuk jaringan transportasi
 
12 kustamar-itn
 12  kustamar-itn 12  kustamar-itn
12 kustamar-itn
 

More from bramantiyo marjuki

Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrintPemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrintbramantiyo marjuki
 
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processingHow to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processingbramantiyo marjuki
 
Crowsource Mapping, Captures Neography Practices
Crowsource Mapping, Captures Neography PracticesCrowsource Mapping, Captures Neography Practices
Crowsource Mapping, Captures Neography Practicesbramantiyo marjuki
 
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK  MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK  MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...bramantiyo marjuki
 
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID bramantiyo marjuki
 
Mapping Water features from SAR Imagery
Mapping Water features from SAR ImageryMapping Water features from SAR Imagery
Mapping Water features from SAR Imagerybramantiyo marjuki
 
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?bramantiyo marjuki
 
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017bramantiyo marjuki
 
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan UtaraFGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utarabramantiyo marjuki
 
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALILaporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALIbramantiyo marjuki
 
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...bramantiyo marjuki
 
Stakeholder Approach benefits in Organization Practices
Stakeholder Approach benefits in Organization PracticesStakeholder Approach benefits in Organization Practices
Stakeholder Approach benefits in Organization Practicesbramantiyo marjuki
 
Jenang Cluster Local Development in Kudus District
Jenang Cluster Local Development in Kudus DistrictJenang Cluster Local Development in Kudus District
Jenang Cluster Local Development in Kudus Districtbramantiyo marjuki
 
Planning theory in Toll Road Provision in Indonesia
Planning theory in Toll Road Provision in IndonesiaPlanning theory in Toll Road Provision in Indonesia
Planning theory in Toll Road Provision in Indonesiabramantiyo marjuki
 
Planning theory in Waster Management
Planning theory in Waster ManagementPlanning theory in Waster Management
Planning theory in Waster Managementbramantiyo marjuki
 
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...bramantiyo marjuki
 
A translation paper about Cellular Automata,
A translation paper about Cellular Automata, A translation paper about Cellular Automata,
A translation paper about Cellular Automata, bramantiyo marjuki
 
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...bramantiyo marjuki
 
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 TahunPerkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahunbramantiyo marjuki
 
Critical review insights debate about urban decline urban regeneration
Critical review insights debate about urban decline  urban regenerationCritical review insights debate about urban decline  urban regeneration
Critical review insights debate about urban decline urban regenerationbramantiyo marjuki
 

More from bramantiyo marjuki (20)

Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrintPemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
 
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processingHow to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
 
Crowsource Mapping, Captures Neography Practices
Crowsource Mapping, Captures Neography PracticesCrowsource Mapping, Captures Neography Practices
Crowsource Mapping, Captures Neography Practices
 
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK  MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK  MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
 
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
 
Mapping Water features from SAR Imagery
Mapping Water features from SAR ImageryMapping Water features from SAR Imagery
Mapping Water features from SAR Imagery
 
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
 
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
 
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan UtaraFGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
 
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALILaporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
 
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
 
Stakeholder Approach benefits in Organization Practices
Stakeholder Approach benefits in Organization PracticesStakeholder Approach benefits in Organization Practices
Stakeholder Approach benefits in Organization Practices
 
Jenang Cluster Local Development in Kudus District
Jenang Cluster Local Development in Kudus DistrictJenang Cluster Local Development in Kudus District
Jenang Cluster Local Development in Kudus District
 
Planning theory in Toll Road Provision in Indonesia
Planning theory in Toll Road Provision in IndonesiaPlanning theory in Toll Road Provision in Indonesia
Planning theory in Toll Road Provision in Indonesia
 
Planning theory in Waster Management
Planning theory in Waster ManagementPlanning theory in Waster Management
Planning theory in Waster Management
 
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
 
A translation paper about Cellular Automata,
A translation paper about Cellular Automata, A translation paper about Cellular Automata,
A translation paper about Cellular Automata,
 
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
 
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 TahunPerkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
 
Critical review insights debate about urban decline urban regeneration
Critical review insights debate about urban decline  urban regenerationCritical review insights debate about urban decline  urban regeneration
Critical review insights debate about urban decline urban regeneration
 

Hubungan Tutupan Kanopi dan Erosi Tanah

  • 1. PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT EROSI TANAH Studi Kasus DAS Tinalah Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan S1 pada Fakultas Geografi UGM Oleh : Bramantiyo Marjuki No. Mhs. 04/175633/GE/5579 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS GEOGRAFI YOGYAKARTA 2008
  • 2.
  • 3. i KATA PENGANTAR Pertama - tama penulis ingin memanjatkan puji dan syukur sedalam - dalamnya kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya maka penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Tulisan ini merupakan laporan dari penelitian yang penulis lakukan guna memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sains di bidang geografi pada Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM. Dalam pelaksanaannya, penulis mengalami berbagai kendala dan hambatan, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar- besar kepada nama-nama di bawah ini, karena berkat kebaikan, keiklhasan, dan pengorbanan mereka, penulis bisa mencapai kondisi sekarang dan dapat menyelesaikan penyusunan laporan ini. Mereka adalah: 1. Dr. Junun Sartohadi., M.Sc, selaku Ketua Jurusan Geografi Lingkungan dan Dosen Pembimbing Skripsi, atas begitu besarnya perhatian, gagasan, masukan, dan ilmu yang telah diberikan, serta akses terhadap Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian. 2. Dr. H. Hartono., DEA., DESS, selaku Dekan Fakultas Geografi UGM yang telah memberikan ijin penelitian. 3. Drs Tukidal Yunianto., M.Sc dan Barandi Sapta Widartono., S.Si., M.Si, selaku Dosen Penguji Skripsi, yang dengan segala keramahannya telah bersedia menguji, mengkritisi hasil penelitian dan memberikan saran- saran perbaikan yang bermanfaat. 4. Bapak, Ibu, adik-adikku dan keluarga di rumah, atas dukungan moral dan material selama pelaksaan penelitian dan penulisan laporan skripsi, sungguh merupakan pengorbanan yang tak mungkin terbalas. 5. Djaka Marwasta., S.Si., M.Si., dan Drs Projo Danoedoro., M.Sc., Ph.D., dan., yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi baik secara lisan maupun melalui email tentang pemrosesan citra dan ekstraksi data biofisik
  • 4. ii dari citra penginderaan jauh. 6. Orang-orang baik yang telah membantu dalam kerja lapangan dan meminjamkan Komputer, Printer, Laptop, GPS, dan Kamera digital, Aspian Noor, Duwi Jalestari, Putu Perdana Kusuma Wiguna, Samudera Ivan Supratikno, Romi Nugroho, Aris Widodo, Fara Dwi Sakti Kartika, Vidyana Arsanti, Wahyu Kuncoro GIL 04, Dini Anggriani SIGPW 04, Tommy Andryan GIL 03, Kun Hidayati Arifah dan Rahmi PWK FT UGM 03. 7. Senior asisten Geografi Lingkungan Rino Cahyadi Srijaya Giyanto S.Si (alm) dan Nugroho Christanto, S.Si yang telah membantu memperoleh Citra SPOT-5, Muhammad Anggri Setiawan S.Si., M.Sc untuk beberapa diskusi tentang erosi, dan Guruh Samodra GIL 04 untuk masukan dan koreksi abstrak. 8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu, baik dalam pelaksanaan penelitian maupun penulisan skripsi. Penulis menyadari bahwa tulisan ini merupakan cerminan betapa masih dangkalnya kemampuan penulis dalam bidang Geografi, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan guna pengembangan kemampuan akademis penulis. Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat serta balasan atas segala kebaikan yang telah diberikan. Amin. Yogyakarta, Juli 2008. Penyusun Bramantiyo Marjuki
  • 5. iii PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT EROSI TANAH Studi Kasus DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Oleh Bramantiyo Marjuki 04/175633/GE/5579 INTISARI Tujuan daru penelitian ini adalah memetakan kondisi tutupan kanopi vegetasi di DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo menggunakan indeks vegetasi (NDVI) dan mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan analisis regresi antara nilai digital NDVI sebagai variabel bebas dan nilai persentase tutupan kanopi vegetasi sebagai variabel terikat. NDVI dalam penelitian ini diturunkan dari Citra SPOT-5 HRG dengan skala dasar pemetaan adalah 1:50.000. Pengumpulan data lapangan untuk menurunkan model dilakukan secara purposive sampling pada dua kelas penggunaan lahan. Analisis hubungan tutupan kanopi vegetasi dan tingkat erosi dilakukan menggunakan tabel silang. Derajat hubungan secara kuantitatif ditentukan menggunakan indeks kappa (κ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan NDVI untuk memetakan tutupan kanopi DAS Tinalah belum memberikan hasil yang memuaskan. Hubungan terbaik diberikan oleh model regresi polinomial orde 2 untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,485 dan nilai determinasi (r2 ) sebesar 0,235. Untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan hubungan terbaik diberikan model regresi eksponensial dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,305 dan nilai determinasi (r2 ) sebesar 0,093. Analisis tabel silang antara hasil penilaian tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi menunjukkan tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut dengan nilai (κ) sebagai nilai korelasi sebesar 0,05. Kata kunci: tutupan kanopi, NDVI, tingkat erosi
  • 6. iv APPLICATION OF CANOPY COVER MAPPING BASED ON VEGETATION INDEX AND ITS RELATIONSHIP WITH EROSION RATE Case Study Tinalah Watershed Kulonprogo Regency, Yogyakarta Special Province by Bramantiyo Marjuki 04/175633/GE/5579 ABSTRACT The main objectives of this research are to apply canopy cover mapping based on vegetation index (NDVI) in Tinalah Watershed and to analyze its relationship with erosion rate. Mapping was done through regression analysis between NDVI value as independent variable and percentage fraction canopy cover as dependent variable. SPOT-5 HRG imagery was used to derive NDVI map at scale 1:50.000. Purposive sampling at two landuse class was chosen to obtain field data for model generation. Relationship analysis between vegetation canopy cover and erosion rate was done through cross tabulation analysis. Kappa index (κ) was used to determine its correlation quantitatively. The study result showed that utilization of NDVI for mapping canopy cover over entire study area was not satisfied. Second order polynomial regression model was the best model for estimating vegetation canopy cover in mixed garden land use (r = 0,485 and r2 = 0,235) while exponential regression model was the best model for field crop landuse (r = 0,305 and r2 = 0,093). Cross tabulation analysis between canopy cover derived from fieldwork and qualitative field assessment of soil erosion rate have shown that both of them was not correlated (k=0,05). Keywords= Canopy cover, NDVI, erosion rate
  • 7. v DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..................................................................................... i INTISARI......................................................................................................... iii ABSTRACT.................................................................................................... iv DAFTAR ISI.................................................................................................... v DAFTAR TABEL............................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR........................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... x BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang............................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah....................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 4 1.4 Manfaat Penelitian......................................................................... 4 1.5 Tinjauan Pustaka........................................................................... 5 1.5.1 Tinjauan Teoritis................................................................ 5 1.5.2 Tinjauan Empiris............................................................... 14 1.6 Kerangka Pemikiran....................................................................... 15 1.7 Batasan Operasional....................................................................... 17 BAB II. METODE PENELITIAN 2.1 Pengumpulan Data........................................................................ 19 2.1.1 Macam Data...................................................................... 19 2.1.2 Sumber Data...................................................................... 19 2.1.3 Alat Penelitian................................................................... 19 2.1.4 Penentuan Lokasi Sampel................................................. 20 2.1.5 Metode Pengumpulan Data............................................... 20 2.2 Pengolahan dan Analisis Data....................................................... 26 2.2.1 Analisis Regresi NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi.. 26 2.2.2 Analisis Hubungan Tutupan Kanopi dan Tingkat Erosi..... 28 BAB III DESKRIPSI WILAYAH 3.1 Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian....................................... 30 3.2 Iklim............................................................................................... 32 3.2.1 Curah Hujan....................................................................... 32 3.2.2 Suhu................................................................................... 33 3.2.3 Tipe Iklim........................................................................... 34 3.3 Geologi........................................................................................... 36 3.4 Geomorfologi dan Bentuklahan..................................................... 38 3.5 Hidrologi......................................................................................... 41 3.6 Tanah.............................................................................................. 42 3.7 Vegetasi dan Penggunaan Lahan................................................... 46 3.8 Kependudukan dan Sosial Ekonomi............................................... 48
  • 8. vi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Restorasi Citra................................................................................ 49 4.1.1 Koreksi Geometrik.............................................................. 49 4.1.2 Koreksi Radiometrik........................................................... 51 4.2 Transformasi NDVI........................................................................ 53 4.3 Penggabungan Citra dan Pemetaan Penggunaan Lahan................. 56 4.3.1 Penggabungan Citra............................................................ 56 4.3.2 Pemetaan Penggunaan Lahan.............................................. 59 4.4 Pengukuran Tutupan Kanopi.......................................................... 66 4.5 Pengamatan Bentukan Erosi dan Penilaian Tingkat Erosi Kualitatif......................................................................................... 69 4.6 Analisis Regresi Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi...... 76 4.7 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Regresi................................... 80 4.8 Analisis Hubungan Tingkat Erosi dan Tutupan Kanopi Vegetasi.. 85 4.9 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Hubungan Tingkat Erosi dan Tutupan Kanopi Vegetasi............................................................... 88 BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan..................................................................................... 91 5.2 Saran................................................................................................ 92 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 94 LAMPIRAN
  • 9. vii DAFTAR TABEL No. Tabel Hal 1.1 Dampak Erosi....................................................................................... 5 1.2 Karakteristik Satelit dan Sensor SPOT-5............................................. 11 1.3 Tingkat Pemrosesan Citra SPOT-5...................................................... 13 2.1 Indikator Tingkat Erosi......................................................................... 26 2.2 Model Regresi Yang Digunakan dan Bentuk Persamaannya............... 27 2.3 Klasifikasi Tutupan Kanopi.................................................................. 28 3.1 Desa Yang Termasuk Dalam DAS Tinalah.......................................... 30 3.2 Curah Hujan Rata-rata Tahunan DAS Tinalah Tahun 1997-2006........ 32 3.3 Suhu Rata-rata Bulanan DAS Tinalah................................................... 34 3.4 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q............................................................ 35 3.5 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian..................................... 35 3.6 Distribusi dan Jenis Batuan DAS Tinalah............................................ 38 3.7 Distribusi Bentuklahan DAS Tinalah................................................... 41 3.8 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah................................. 46 3.9 Karakteristik Demografi DAS Tinalah................................................. 48 4.1 Nilai Bias atmosfer Pada Setiap Saluran Citra SPOT-5....................... 52 4.2 Hasil Uji Akurasi Interpretasi Penggunaan Lahan................................ 62 4.3a Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur....... 77 4.3b Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Tegalan................... 77 4.4 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi.................................................................................... 86 4.5 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Tanah..................................................................................................... 87 4.6 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kelas kemiringan Lereng..................................................................................................... 87
  • 10. viii DAFTAR GAMBAR No. Gambar Hal 1.1 Proses Erosi........................................................................................... 6 1.2 Canopy Cover dan Canopy Closure...................................................... 8 1.3 Kurva Pantulan Obyek Vegetasi, Tanah dan Air.................................. 9 1.4 Satelit SPOT-5 dan Konfigurasi Instrumen Pencitraannya.................. 12 1.5 Perekaman Nadir dan Off-Nadir Pada Instrumen HRG SPOT-5......... 13 1.6 Kerangka Pemikiran.............................................................................. 18 2.1 USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart......................................... 24 2.2 Plot Sampel............................................................................................ 25 2.3 Diagram Alir Penelitian.......................................................................... 29 3.1 Peta Administrasi Desa Di Sekitar DAS Tinalah................................... 31 3.2 Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan DAS Tinalah Tahun 1997-2006.............................................................................................. 33 3.3 Peta Geologi DAS Tinalah..................................................................... 37 3.4 Peta Bentuklahan DAS Tinalah.............................................................. 39 3.5 Peta Tanah DAS Tinalah........................................................................ 44 3.6 Peta Penggunaan Lahan DAS Tinalah................................................... 47 4.1 Perbandingan Citra SPOT-5 Sebelum dan Sesudah Koreksi Geometrik............................................................................................... 50 4.2 Citra Hasil Orthorektifikasi.................................................................... 51 4.3 Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah....................................... 54 4.4 Citra NDVI SPOT-5 DAS Tinalah........................................................ 55 4.5 Perbandingan Citra Multispektral, Pankromatik dan Citra Gabungan... 57 4.6 Perbedaan Kenampakan Obyek Pada Citra Komposit 432 dan 321...... 58 4.7 Perbandingan Citra Pankromatik dan Komponen Intensitas Dari Komposit 432......................................................................................... 59 4.8 Citra Gabungan Komposit 432 Menggunakan Transformasi IHS......... 60 4.9 Foto Perbandingan Kenampakan Penggunaan Lahan Pada Citra dan Kenampakan Lapangan.......................................................................... 63 4.10 Foto Yang Menunjukkan Perbedaan Kondisi Penutup lahan Saat Citra Direkam dan Kondisi Saat Survei Lapangan.......................................... 65 4.11 Foto Contoh Hasil Estimasi Persentase Tutupan Kanopi...................... 67 4.12 Peta Lokasi Sampel................................................................................. 68 4.13 Foto Kenampakan Pedestal.................................................................... 70 4.14 Foto Armour Layer................................................................................ 70 4.15 Foto Singkapan Akar Pada Tanaman Jagung..........................................71 4.16 Foto Gundukan Tanah Di bawah Kanopi Tanaman (tree mound)......... 72 4.17 Foto Akumulasi Material Pada Sisi Sebelah Atas Batang Tanaman...... 72 4.18 Foto Endapan Material Hasil Limpasan Permukaan Di sepanjang Saluran Drainase..................................................................................... 73 4.19 Foto Kenampakan Erosi Alur................................................................. 74 4.20 Foto Erosi Parit...................................................................................... 75
  • 11. ix 4.21 Grafik Hasil Penilaian Tingkat Erosi Pada 42 Lokasi Sampel................76 4.22 Diagram Pencar Hubungan NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur dan Tegalan ........... 78 4.23 Peta Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur dan Tegalan DAS Tinalah............................................ 79 4.24a Grafik Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Pengukuran dan Hasil Prediksi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur........................................................ 80 4.24b Grafik Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Pengukuran dan Hasil Prediksi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Tegalan.................................................................... 81 4.25 Bukti Pengaruh Kabut Terhadap Perbedaan Nilai Pantulan Vegetasi Saluran XS2 Pada Penutup Lahan Yang Sama dan Pengaruhnya Terhadap Nilai NDVI............................................................................. 82 4.26 Profil Spektral Antara Area A dan Area B Pada Gambar 4.25 ............. 83 4.27a Foto Area Dengan Tutupan Kanopi Jarang Namun Tutupan Tanahnya Rapat...................................................................................... 84 4.27b Lokasi Gambar 4.26a Pada Citra NDVI..................................................84 4.27c Lokasi Gambar 4.26a Pada Citra Komposit 432.................................... 84 4.28 Foto Lahan Tegalan Dengan Tutupan Tanah Rapat dan Jarang............. 88
  • 12. x DAFTAR LAMPIRAN No. Lampiran 1 Hasil Perhitungan Koreksi Radiometrik Kalibrasi Bayangan............... L-1 2. Rekapitulasi Data Lapangan………………………………………...... L-5 3. Hasil Analisis Regresi Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi.... L-7 4. Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Bakosurtanal (dalam Rahardjo, 1990)...................................................................................... L-10 5. Hasil dan Perhitungan Analisis Tabulasi Silang.................................... L-11 6. Hasil Perhitungan Standar Kesalahan (Standard Error) antara Persentase Tutupan Kanopi Hasil Observasi dan Hasil Prediksi……... L-14 7. Metadata Citra SPOT-5 HRG XS dan PAN………………………….. L-16
  • 13. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan studi erosi menggunakan pendekatan spatio-temporal semakin banyak memperoleh perhatian. Hal ini dikarenakan antara lain adanya kebutuhan data dan penilaian secara cepat (rapid assessment) dalam konteks regional untuk mengidentifikasi area yang terjadi erosi intensif dan penyusunan perencanaan konservasi pada lahan – lahan kritis (De Jong, 1999; Vrieling, 2004). Studi erosi secara spasial dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif menggunakan model erosi dan pendekatan kualitatif dengan factorial scoring (Vrieling, 2004). Kedua pendekatan tersebut memerlukan data spasial faktor-faktor erosi yang meliputi faktor iklim, topografi, tanah dan penutup/penggunaan lahan (Baban dan Yusof, 2001). Tutupan kanopi merupakan salah satu atribut vegetasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap erosi. Tutupan kanopi memberikan perlindungan terhadap tanah dari daya rusak air hujan terhadap agregat tanah (Morgan, 2001). Jika kondisi tutupan vegetasi di suatu daerah sangat rapat, maka tanah mendapat perlindungan yang baik dari air hujan, sehingga erosi dengan intensitas tinggi yang dicirikan dengan adanya kenampakan erosi alur dan parit kemungkinan besar tidak akan terjadi (De Jong, 1994; Morgan, 1995). Tutupan kanopi merupakan salah satu parameter utama dalam beberapa model erosi seperti WEPP, RMMF, RUSLE dan SEMMED (De Jong, 1999; Lanteri et al., 2004; Morgan, 2001). Tutupan kanopi mempunyai karakteristik distribusi spasial yang bervariasi dan heterogen. Distribusi ini seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam pemetaan tutupan kanopi untuk studi erosi agar dapat diperoleh hasil estimasi erosi yang akurat dan reliabel (Lanteri et al., 2004), akan tetapi metode untuk menentukan tutupan kanopi yang telah dikembangkan adalah dengan estimasi dan pengambilan sampel di lapangan. Metode sampel ini, selain memerlukan waktu dan biaya yang besar, hasilnya bersifat lokal dan tidak dapat digunakan sebagai
  • 14. 2 masukan untuk studi erosi secara spasial (Lanteri et al., 2004; Lee, tanpa tahun). Walaupun demikian, metode ini tetap digunakan oleh Yazidi (2003); Theklehaimanot (2003); Cartagena (2004) dan Setiawan (2006), untuk memperoleh data spasial tutupan kanopi dengan cara ekstrapolasi hasil pengambilan sampel ke unit pemetaan yang lebih luas dengan mendasarkan pada asumsi homogenitas karakteristik di dalam unit pemetaan yang sama. Asumsi homogenitas dalam unit pemetaan yang dalam kenyataannya heterogen dan bervariasi dapat menyebabkan ketidakpastian hasil analisis dan prediksi yang tidak tepat (De Jong, 1994). Sejak dua dasawarsa terakhir, teknologi penginderaan jauh telah menjadi sumber data spasial yang efektif untuk studi erosi (Jaroslav et al., 1996 dalam Yazidi, 2003). Data penginderaan jauh dapat memberikan informasi faktor pengontrol erosi secara sinoptik pada area yang luas (Lee, tanpa tahun). Kelebihaan ini memungkinkan data penginderaan jauh dapat digunakan untuk memetakan obyek di permukaan bumi secara kontinu dan memperbaiki kelemahan dari teknik sampel. Terlebih bila karakteristik obyek berkorelasi kuat dengan nilai spektral citra, maka pemetaan dapat dilakukan dengan analisis digital. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan salah satu produk analisis digital citra penginderaan jauh yang mengandung berbagai macam informasi vegetasi. Atribut spektral NDVI telah diketahui berkorelasi dengan berbagai macam atribut vegetasi, termasuk di dalamnya tutupan kanopi (Larsson, 2002). DAS Tinalah merupakan salah satu sub DAS dari DAS Progo yang berlokasi di Kabupaten Kulonprogo bagian utara. DAS ini merupakan bagian dari kawasan perbukitan Menoreh utara yang terbentuk akibat proses vulkanik tua dan proses struktural pengangkatan (up-lifting) dilanjutkan proses denudasi, termasuk di dalamnya adalah erosi (Bemmelen, 1970). Sstudi yang dilakukan Hartono (1994) dan Restele (2004) menyimpulkan bahwa lahan – lahan di DAS Tinalah didominasi lahan dengan kelas kemampuan VI dan VII dengan faktor pembatas berupa erosi berat. Proses erosi di DAS ini sudah mencapai taraf berat yang dicirikan dengan ditemukannya berbagai kenampakan erosi, mulai dari erosi
  • 15. 3 lembar hingga erosi parit di seluruh DAS. Di sisi lain, penggunaan lahan di DAS Tinalah didominasi oleh kebun dan hutan dengan jenis tanaman berupa tanaman tahunan dengan kerapatan tutupan vegetasi yang baik. Kontradiksi antara kerapatan tutupan kanopi dan tingkat erosi yang terjadi di DAS Tinalah menjadikan topik ini cukup menarik untuk diteliti. 1.2 Perumusan Masalah Studi erosi secara spasial memerlukan integrasi berbagai macam data spasial faktor erosi. Agar dapat diperoleh hasil yang reliabel dan akurat, data spasial yang digunakan untuk studi erosi haruslah seakurat mungkin, termasuk dalam hal ini pertimbangan variabilitas dan heterogenitas fenomena. Kendala utama dalam penurunan data spasial untuk studi erosi adalah beberapa jenis data masih diukur dengan metode sampel yang tidak mempunyai dimensi area. Data hasil pengambilan sampel ini hanya shahih di lokasi pengambilan sampel. Pemetaan yang dilakukan dengan menggunakan data hasil pengambilan sampel sering dilakukan dengan cara mengekstrapolasi data ke satuan pemetaan (dari dimensi titik ke dimensi area). Ekstrapolasi ini sebenarnya kurang dapat diterima karena dapat menyebabkan ketidakpastian dan kesalahan hasil pengukuran dan pemetaan mengingat heterogenitas dan variabilitas di dalam satuan pemetaan diabaikan. Salah satu atribut vegeasi sebagai faktor erosi yang menghadapi kendala di atas adalah tutupan kanopi. Citra penginderaan jauh dapat memberikan informasi permukaan bumi secara sinoptik pada area yang luas dalam waktu singkat. Termasuk dalam hal ini adalah informasi vegetasi dan penutup lahan. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan salah satu teknik analisis digital data penginderaan jauh untuk memperoleh informasi distribusi spasial vegetasi dan atributnya. NDVI berkorelasi kuat dengan berbagai macam atribut vegetasi seperti biomassa, LAI (Leaf Area Index) dan tutupan kanopi. Tutupan kanopi vegetasi berpengaruh besar terhadap erosi melalui dua aspek. Pertama, kanopi tumbuhan dapat menahan air hujan dari kontak langsung dengan tanah. Dengan tertahannya butir – butir air hujan oleh kanopi vegetasi,
  • 16. 4 energi kinetiknya menjadi berkurang, sehingga ketika sampai di permukaan tanah, erosivitasnya kecil. Kedua, vegetasi dapat mengintersepsi air hujan sehingga ketika sampai di permukaan tanah volumenya sudah jauh berkurang. Semakin rapat tutupan semakin baik perlindungan sehingga erosi yang terjadi semakin kecil, akan tetapi di DAS Tinalah kondisinya justru berkebalikan. Bertolak pada masalah tersebut, maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah NDVI dapat digunakan sebagai sumber data tutupan kanopi? 2. Bagaimana hubungan tutupan kanopi dengan tingkat erosi tanah di DAS Tinalah? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, penelitian ini bertujuan: 1. Menghitung nilai NDVI dari Citra SPOT-5 HRG multispektral. 2. Memetakan penggunaan lahan DAS Tinalah sebagai basis pemetaan tutupan kanopi pada skala 1:50.000 menggunakan Citra SPOT-5 multispektral dan pankromatik.] 3. Memetakan tutupan kanopi vegetasi pada setiap unit penggunaan lahan di DAS Tinalah pada skala 1: 50.000 menggunakan data NDVI yang diintegrasikan dengan pengukuran lapangan 4. Menilai tingkat erosi DAS Tinalah berdasarkan observasi kenampakan erosi. 5. Mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi hasil pemetaan sebagai salah satu faktor erosi dengan tingkat erosi tanah di DAS Tinalah. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Dapat memberikan metode alternatif untuk pemetaan tutupan kanopi. 2. Dapat memberikan informasi hubungan tutupan kanopi dengan intensitas erosi secara empiris berdasarkan kenampakan erosi yang terjadi.
  • 17. 5 3. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat Sarjana Geografi Lingkungan pada Fakultas Geografi UGM. 1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Tinjauan Teoritis 1.5.1.1 Erosi, Proses Erosi dan Faktor yang Mempengaruhi Erosi Erosi adalah hilang atau terkikisnya tanah atau bagian – bagian tanah dari suatu tempat yang terangkut oleh media alami (air dan angin) te tempat lain (Arsyad, 1989). Erosi menyebabkan berbagai kerusakan tanah dan lahan seperti hilangnya lapisan atas tanah yang subur, berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air, memicu banjir dan pendangkalan. Secara rinci dampak dari erosi disajikan dalam tabel berikut : Tabel 1.1 Dampak Erosi Bentuk Dampak Dampak di tempat kejadian erosi Dampak di luar tempat kejadian Kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman Pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan tubuh air lainnya Kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan lainnya Peningkatan penggunaan energi untuk produksi Menghilangnya mata air dan memburuknya kualitas air Kerusakan banguan konservasi dan bangunan lainnya Kerusakan ekosistem perairan Langsung Pemiskinan petani dan pemilik/penggarap tanah Meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan Berkurangnya alternatif penggunaan lahan Kerugian oleh memendeknya umur waduk Tidak langsung Timbulnya tekanan untuk membuka lahan baru Meningkatkan frekuensi dan besar banjir (Arsyad, 1989) Proses erosi oleh air merupakan kombinasi dua sub proses yaitu (1) penghancuran struktur tanah menjadi butir – butir primer oleh energi tumbuk butir – butir hujan yang menimpa tanah (Dh) dan perendaman oleh air yang tergenang dan pemindahan butir – butir tanah oleh percikan hujan (Th) dan (2)
  • 18. 6 penghancuran struktur tanah (Di) diikuti pengangkutan butir – butir tanah tersebut (Ti) oleh air yang mengalir di permukaan tanah. Secara skematis proses tersebut dapat dijelaskan dengan Gambar 1.1. (Arsyad, 1989) Gambar 1.1 Diagram yang Menunjukkan Proses terjadinya erosi Erosi merupakan hasil interaksi faktor – faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan erosi yang bekerja terhadap tanah. Faktor – faktor tersebut meliputi iklim, topografi, tanah, vegetasi dan pengelolaan lahan (Arsyad, 1989). Faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Karakteristik hujan yang mempengaruhi erosi antara lain besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi. Kombinasi ketiga aspek hujan ini menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah dan kecepatan limpasan permukaan (Utomo, 1994). Faktor topografi yang berpengaruh terhadap erosi adalah panjang dan kemiringan lereng. Panjang lereng berpengaruh terhadap volume limpasan, volume limpasan semakin bertambah dengan bertambahnya panjang lereng.
  • 19. 7 Kemiringan lereng berpengaruh terhadap kecepatan limpasan. Pada lereng curam kecepatan limpasan lebih tinggi daripada lereng landai (Utomo, 1994). Sifat tanah yang berpengaruh terhadap erosi antara lain tekstur, struktur, bahan organik, permeabilitas, dan kedalaman tanah. Tanah bertekstur pasir mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, sehingga dapat mengurangi volume limpasan. Tanah bertekstur pasir halus juga mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, namun butir-butirnya mudah terangkut limpasan. Tanah bertekstur lempung mudah tersuspensi oleh hujan dan pori-porinya dapat tersumbat, sehingga dapat menyebabkan erosi berat. Struktur tanah juga berpengaruh terhadap kapasiltas infiltrasi. Struktur granuler mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih besar daripada struktur yang lebih mantap. Bahan organik menghambat aliran limpasan, sehingga limpasan lebih lambat sekaligus meningkatkan infiltrasi. Tanah yang dangkal dan permeabilitasnya cepat lebih peka erosi daripada tanah yang dalam dan permeabilitasnya cepat. Kedalaman tanah juga berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi (Utomo, 1994). Vegetasi berpengaruh terhadap erosi karena vegetasi dapat melindungi tanah dari kekuatan perusak hujan melalui penahanan dan intersepsi butir hujan oleh kanopi vegetasi. Tertahannya hujan oleh kanopi dapat mengurangi kecepatan jatuh butir hujan dan mengurangi energi hujan ketika mencapai permukaan tanah serta memberikan waktu lebih untuk infiltrasi, sehingga volume dan kecepatan limpasan berkurang. Vegetasi melalui perakaran juga mempengaruhi sifat tanah dalam wujud memperbesar ketahanan massa tanah dari daya rusak hujan dan limpasan serta memperbesar kapasitas infiltrasi melalui peningkatan porositas (Utomo, 1994). 1.5.1.2 Kanopi dan Tutupan Kanopi Kanopi merupakan lapisan paling atas dalam kumpulan vegetasi, yang dibentuk oleh mahkota (kumpulan daun) tanaman dan menutupi lapisan di bawahnya. Derajat kerapatan kanopi sering dinyatakan dengan tutupan kanopi (canopy cover) yang didefinisikan sebagai persentase area permukaan tanah yang tertutup kanopi proyeksi vertikal dari kanopi vegetasi (Lanteri et al., 2004).
  • 20. 8 Walaupun demikian, konsepsi tutupan kanopi masih belum sepenuhnya terbakukan. Terdapat dua konsep tentang tutupan kanopi berkaitan dengan teknik pengukuran yang digunakan, yaitu canopy cover dan canopy closure. (Jennings et al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006). Definisi canopy cover telah disebutkan di atas, sedangkan definisi canopy closure adalah proporsi bidang langit (open sky) yang ditutupi tumbuhan jika dilihat dari suatu titik. Perbedaan antara canopy cover dan canopy closure dapat dilihat pada Gambar 1.2. Kerancuan lain berkaitan dengan konsepsi tutupan kanopi adalah pertimbangan celah diantara mahkota tanaman sebagai bagian dari kanopi atau tidak. Hal ini penting karena akan berpengaruh terhadap hasil akhir estimasi. Untuk itu Rauitiainen et al., (1995) dalam Korhonen et al, (2006) memperkenalkan konsep tutupan kanopi tradisional dan tutupan kanopi efektif. Perbedaan dari dua konsep tersebut adalah tutupan kanopi tradisional menganggap celah di antara mahkota tumbuhan sebagai bagian dari kanopi, sedangkan tutupan kanopi efektif tidak. Berdasarkan tinjauan di atas, maka konsep tutupan kanopi yang sesuai dengan pengaruh kanopi terhadap erosi dan ekstraksi data tutupan kanopi dari citra penginderaan jauh adalah tutupan kanopi efektif. Konsepsi tutupan kanopi efektif ini yang digunakan dalam penelitian ini. (a) (b) Gambar 1.2 Canopy Cover (a) dan Canopy Closure (b), (Jennings et al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006),
  • 21. 9 1.5.1.3 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Vegetasi, sebagaimana tanah dan air, mempunyai karakteristik spektral yang unik dalam merespon energi elektromagnetik matahari yang mengenainya. Vegetasi menyerap banyak energi pada spektrum tampak (terutama biru dan merah), namun banyak memantulkan energi pada spektrum inframerah dekat (Gambar 1.3). Vegetasi hijau menyerap banyak radiasi matahari pada spektrum merah untuk digunakan sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis, sedangkan energi pada spektrum inframerah dekat tidak mencukupi untuk mensintesiskan molekul – molekul organik dalam tumbuhan. Penyerapan energi pada spektrum ini hanya akan menyebabkan pemanasan yang berlebihan pada tumbuhan dan berpotensi merusak metabolisme tumbuhan, oleh karena itu dipantulkan dengan kuat (Gates, 1980 dalam Lee, tanpa tahun). (A = tanah kering, B = Tanah lembab, C = Vegetasi, D = air) Gambar 1.3. Kurva Pantulan Obyek Tanah, Vegetasi dan Air (Lillesand dan Kiefer, 2004) Implikasi hal di atas terhadap data penginderaan jauh adalah pada saluran merah citra penginderaan jauh multispektral, vegetasi hijau akan berona gelap dan mempunyai nilai pantulan yang rendah, sedangkan pada saluran inframerah dekat justru sebaliknya (Hoffer, 1978). Dengan transformasi indeks vegetasi, informasi respon vegetasi dari saluran merah dan inframerah dekat dapat dikombinasikan untuk memperoleh informasi vegetasi dengan hasil lebih baik daripada analisis dua saluran secara terpisah (Schreiber, 2007).
  • 22. 10 Indeks vegetasi adalah suatu formula transformasi matematis yang mengkombinasikan dua atau lebih saluran pada citra penginderaan jauh yang ditujukan untuk memperoleh informasi vegetasi dengan lebih baik. Berbagai macam indeks vegetasi telah dikembangkan, namun NDVI merupakan indeks yang paling banyak diaplikasikan (Lee, tanpa tahun). NDVI dapat dikalkulasi dengan menggunakan rumus berikut: )( )( REDNIR REDNIR + − (1) NIR = saluran infra merah dekat RED = saluran merah (Schreiber, 2007) 1.5.1.4 Hubungan NDVI Dengan Tutupan Kanopi Nilai spektral NDVI berkaitan dengan banyak atribut dan karakteristik kanopi seperti biomasaa, produktivitas daun, leaf area index, PAR (Photosynthecally Active Radiation) dan tutupan kanopi (Jensen, 1991; Larsson, 2002). Dilihat dari hubungannya dengan obyek vegetasi dan tutupan kanopi vegetasi, nilai -1 hingga 0 dari citra NDVI mengindikasikan obyek bukan vegetasi. Nilai positif rendah (nilai spektral saluran inframerah dekat dan saluran merah berselisih sedikit) mengindikasikan vegetasi dengan kerapatan rendah, sedangkan nilai positif tinggi (nilai spektral saluran inframerah dekat dan saluran merah berselisih banyak) mengindikasikan vegetasi dengan kerapatan/tutupan tinggi (Schreiber, 2007; Lee, tanpa tahun). 1.5.1.5 Sistem Penginderaan Jauh Satelit SPOT-5 Satelit SPOT-5 merupakan generasi kelima dari keluarga Satelit SPOT (Système pour d’Observation de la Terre). SPOT-5 diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002 dengan membawa tiga instrumen penginderaan jauh untuk berbagai misi pemetaan tematik sumberdaya. Instrumen-instrumen penginderaan jauh pada Satelit SPOT-5 merupakan perbaikan dari instrumen generasi satelit sebelumnya. Instrumen tersebut adalah Instrumen HRG (High Resolution Geometric) yang
  • 23. 11 merupakan instrumen penerus HRV (High Resolution Visible) pada satelit SPOT 1-4 dengan resolusi spasial dan spektral yang lebih baik, instrumen HRS (High Resolution Stereoscopic) yang merupakan instrumen pencitraan stereo untuk pemetaan topografi, dan terakhir adalah VEGETATION-2 untuk pemetaan dan monitoring vegetasi dalam skala global (SPOT Image, 2006). Karakteristik umum dari Satelit SPOT dari SPOT-1 hingga 5 dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Karakteristik Satelit dan Instrumen Pencitraan SPOT-5 dan Satelit Sebelumnya SatelitParamater SPOT-5 SPOT-4 SPOT-1,2,3 Peluncuran 4 Mei 2002 24 Maret 1998 1. 22 Februari 1986 2. 22 Januari 1990 3. 20 September 1993 Masa Kerja 5 tahun 5 tahun 3 tahun Orbit Sinkron Matahari Sinkron Matahari Sinkron Matahari Waktu melintasi ekuator (waktu lokal) 10.30 10.30 10.30 Ketinggian orbit (ekuator) 822 km 822 km 822 km Periode Orbit 101,4 menit 101,4 menit 101,4 menit Sudut inklinasi 98,7 derajat 98,7 derajat 98,7 derajat Siklus Orbit 26 hari 26 hari 26 hari Instrumen Resolusi tinggi - Saluran spektral - Julat Spektral - Luas Liputan - Resolusi Radiometrik - Resolusi Temporal 2 Sensor HRG - 2 pankromatik (5m) yang bisa dikombinasikan menjadi 1 pankromatik (2,5 m) - 3 VNIR (10m) - 1 SWIR (20m) - P : 0,48-0,71 μm - B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm - B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm - B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm - B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm - 60 x 60 km hingga 80 km - 8 bits - 2 hingga 3 hari 2 Sensor HRVIR - 1 Pankromatik (10m) - 3 VNIR (20m) - 1 SWIR (20m) - M : 0,61-0,68 μm - B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm - B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm - B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm - B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm - 60 x 60 km hingga 80 km - 8 bits - 2 hingga 3 hari 2 Sensor HRV - 1 Pankromati (10m) - 3 VNIR (20m) - P : 0,48-0,71 μm - B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm - B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm - B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm - 60 x 60 km hingga 80 km - 8 bits - 2 hingga 3 hari Sumber: SPOT Image (2006)
  • 24. 12 Gambar 1.4 Satelit SPOT5 dan Instrumen Pencitraannya (SPOT Image, 2006) Instrumen HRG pada Satelit SPOT-5 merupakan instrumen yang menghasilkan citra dengan resolusi tinggi pada mode multispektral (10 meter) dan mode pankromatik (5 meter). Citra Pankromatik dari dua Instrumen HRG dengan resolusi 5 meter dapat diintegrasikan untuk menurunkan citra sintesis pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 meter yang disebut Supermode (SPOT Image, 2006). Citra turunan ini dapat digabungkan dengan citra multispektral untuk memperoleh citra berwarna pada resolusi spasial 2,5 meter. Instrumen HRG merekam permukaan bumi melalui mekanisme pushbroom scanning baik melalui perekaman nadir atau off nadir viewing sebagaimana instrumen HRV. Mekanisme perekaman nadir dan off nadir Sensor HRG SPOT-5 dapat dilihat pada Gambar 1.4. Kapabilitas perekaman off nadir memungkinkan instrumen HRG dapat digunakan untuk memperoleh citra stereo untuk analisis tiga dimensi dan ekstraksi DEM. Perekaman data pada Instrumen HRG SPOT-5 menggunakan detektor berupa CCD linear array sebanyak 6000 detektor (Richards dan Jia, 2006). Citra yang diperoleh dari instrumen HRG dipasarkan dengan berbagai macam tingkat pemrosesan yang dapat dilihat pada Tabel 1.3.
  • 25. 13 Gambar 1.5 Perekaman Nadir dan Off-Nadir Pada Instrumen HRG Satelit SPOT-5 (SPOT Image, 2006) Tabel 1.3 Tingkat Pemrosesan Citra SPOT-5HRG Level Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik Akurasi posisi 1A - Normalisasi respon CCD untuk memperbaiki variasi radiometrik yang dikarenakan perbedaan sensitivitas detektor - Pengaruh eksternal (atmosfer) belum dikoreksi. - N/A < 50 meter 1B - Sama dengan 1A - Distorsi geometrik sistematik sudah terkoreksi (distorsi panoramik, efek rotasi bumi, variasi ketinggian orbit) < 30 meter 2A - Sama dengan 1A - Pemrosesan level 1B - Transformasi koordinat ke UTM - Orthorektifikasi tanpa menggunakan GCP, hanya menggunakan informasi ephemeris sensor plus DEM dengan resolusi 1 km < 30 meter 2B (Precision) - Sama dengan 1A - Pemrosesan Level 2A - Penggunaan GCP untuk koreksi geometrik guna memperoleh ketelitian posisi yang lebih baik Tergantung akurasi GCP 3 (Ortho) - Sama dengan 1A - Pemrosesan Level 2A - Orthorektifikasi menggunakan DEM berkualitas tinggi dan GCP untuk mengkoreksi distorsi geometrik akibat pengaruh medan < 10 meter, tergantung akurasi GCP dan DEM Sumber: SPOT Image (2006).
  • 26. 14 Instrumen HRG dapat beroperasi pada mode multispektral dan pankromatik. Dibanding instrumen HRV dan HRVIR pada satelit sebelumnya, instrumen HRG mempunyai banyak perbaikan dari segi resolusi spasial dan spektral. Resolusi spasial instrumen HRG mempunyai resolusi spasial 10 meter untuk mode multispektral dan 5 meter untuk mode pankromatik. Resolusi spasial ini lebih baik dari instrumen HRV dan HRVIR yang resolusi spasialnya 20 meter untuk mode multispektral dan 10 meter untuk mode pankromatik. Terlebih dengan menggunakan supermode, dua instrumen HRG pada satelit SPOT-5 dapat menghasilkan citra pankromatik sintesis dengan resolusi 2,5 meter. Perbaikan dari segi resolusi spasial ini memungkinkan Citra SPOT-5 dapat digunakan untuk berbagai aplikasi yang memerlukan detil spasial tinggi dan pemetaan skala detil yang tidak dapat dilakukan oleh Citra SPOT dari satelit sebelumnya. Selain resolusi spasial, resolusi spektral instrumen HRG juga lebih baik dari instrumen HRV dengan adanya penambahan Saluran Inframerah Gelombang Pendek (SWIR) dengan julat spektral 1500-1750 nm. Penambahan saluran ini membuat instrumen HRG mempunyai lebih banyak pilihan komposit warna untuk interpretasi visual dan kapabilitas yang lebih baik dalam klasifikasi multispektral daripada instrumen HRV. Selain itu citra dari instrumen HRG ini juga dapat dieksploitasi untuk aplikasi-aplikasi yang memanfaatkan kelebihan spektral saluran SWIR seperti analisis spektral lahan perkotaan, analisis kelembaban tanah dan kandungan air pada vegetasi. Aplikasi –aplikasi semacam ini tidak dapat diterapkan dengan menggunakan Citra SPOT dari Instrumen HRV (SPOT Image, 2006). 1.5.2 Tinjauan Empiris Studi yang mengkaji hubungan antara tutupan kanopi dan NDVI telah dilakukan oleh Gitelson (2004) yang melakukan studi penggunaan indeks vegetasi untuk ekstraksi karakteristik biofisik tumbuhan menggunakan citra NOAA- AVHRR di Israel. Hasil yang diperoleh menunjukkan korelasi yang kuat antara tutupan kanopi dan NDVI pada berbagai jenis tumbuhan (R2 = 0,94-0,98). Kancheva, Borisova (2006) memperoleh nilai R2 sebesar 0,95 dan 0,97 dalam studi hubungan tutupan kanopi dan NDVI pada dua jenis tanah yang berbeda di
  • 27. 15 Bulgaria menggunakan LANDSAT TM. Hasil serupa juga diperoleh Nagler et al, (2003) dengan hasil nilai R2 antara NDVI dan tutupan kanopi sebesar 0,82. Studi dilakukan menggunakan foto udara multispektral di lembah Sungai Colorado Amerika. Carreiras et al., (2006) memperoleh nilai R2 sebesar 0,72 dalam studi estimasi tutupan kanopi di daerah Mediteran Portugal menggunakan LANDSAT TM. Studi ekstraksi data tutupan kanopi dari citra penginderaan jauh untuk studi erosi pernah dilakukan Lanteri et al., (2004) menggunakan citra MODIS di daerah semi arid California Amerika. Hasil studi menunjukkan NDVI dan tutupan kanopi mempunyai korelasi positif kuat (R= 0,88), sehingga persamaan regresi dapat diturunkan dan diaplikasikan untuk mengkalibrasi persentase tutupan kanopi ke seluruh area penelitian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Data tutupan kanopi yang diperoleh kemudian digunakan sebagai masukan model erosi WEPP. Studi erosi di DAS Tinalah sendiri pernah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain Wiraswasti (2005); Ariyanto (2004); Setiawan (2005); Restele (2004); Kumalawati (2005), dengan fokus studi yang berbeda – beda, mulai dari evaluasi praktek konservasi hingga valuasi ekonomi erosi terhadap lahan pertanian. Dari beberapa studi erosi yang telah dilakukan, terutama oleh Hartono (1994) dan Restele (2004), keduanya menyimpulkan bahwa tingkat erosi di DAS Tinalah termasuk dalam kategori sedang hingga berat. 1.6. Kerangka Pemikiran Erosi tanah oleh air merupakan proses yang bervariasi, heterogen dan dinamis secara spasial dan temporal. Variabilitas ini ditentukan oleh variabilitas topografi, iklim, tanah, vegetasi dan pengelolaan lahan yang merupakan faktor – faktor erosi oleh tenaga air. Pengaruh vegetasi terhadap erosi salah satunya berasal dari kondisi tutupan kanopi. Vegetasi dengan kondisi tutupan kanopi yang baik dapat melindungi tanah dari erosivitas hujan, sehingga ketika mencapai permukaan tanah, energi dan kemampuannya untuk melepas butir tanah dari agregat tanah sudah jauh berkurang. Selain itu vegetasi dengan kondisi tutupan
  • 28. 16 baik juga mempunyai kemampuan untuk mengintersepsi air hujan yang lebih besar sehingga dapat mengurangi volume hujan yang sampai ke permukaan tanah serta memberi waktu yang lebih banyak untuk proses infiltrasi. Kombinasi dari tiga aspek di atas menjadikan kemungkinan terjadinya erosi pada lahan dengan kondisi penutup vegetasi yang baik cukup rendah. Studi erosi dan pemodelan erosi secara spasial dan temporal memerlukan data masukan faktor-faktor yang terlibat dalam proses erosi diatas yang mengakomodasi variabilitas spasial dan temporal faktor-faktor tersebut. Pada kenyataannya, selain data topografi, data faktor – faktor erosi yang diperlukan untuk studi erosi dan pemodelan erosi sebagian besar berasal dari data sampel yang sejatinya bersifat data titik, dimana data ini hanya shahih dan akurat hanya pada lokasi pengambilan sampel. Untuk memenuhi kebutuhan data pada lingkup regional, data hasil pengambilan sampel sering diekstrapolasi ke unit area yang lebih luas dengan asumsi homogenitas karakteristik pada satu unit area. Ekstrapolasi ini sebenarnya kurang dapat diterima karena variabilitas dan heterogenitas fenomena menjadi tidak diperhatikan. Terlebih dalam kenyataannya, faktor-faktor erosi mempunyai variabilitas dan heterogenitas yang besar. Salah satu faktor erosi yang datanya secara konvensional dikumpulkan dengan teknik sampel adalah tutupan kanopi vegetasi. Penggunaan sampel dalam pemetaan tutupan kanopi lebih dipilih karena pemetaan secara menyeluruh memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Sejak tahun 1972, data penginderaan jauh satelit telah digunakan untuk memperoleh informasi permukaan bumi, pada cakupan area yang luas, dalam waktu yang singkat. Jenis data ini dapat memberikan informasi distribusi spasial dan temporal secara sinoptik, sehingga variabilitas dan heterogenitas fenomena dapat dipetakan dengan baik. Perolehan informasi vegetasi dan karakteristiknya saat ini telah menjadi salah satu fokus utama dalam bidang penginderaan jauh. Terlebih saat ini telah diketahui bahwa atribut spektral data penginderaan jauh berkorelasi dengan berbagai macam atribut vegetasi seperti leaf area index, biomassa, Photosyntecally active radiation dan tutupan kanopi. Dengan demikian, data penginderaan jauh mempunyai potensi sebagai sumber data spasial tutupan
  • 29. 17 kanopi vegetasi sebagai data masukan dalam studi dan pemodelan erosi, dengan beberapa kelebihan dibanding data hasil pengambilan sampel yang diekstrapolasi. 1.7 Batasan Operasional Daerah aliran sungai adalah seluruh daerah yang dialiri sebuah sungai atau anak sungai yang berhubungan sedemikia rupa sehingga semua aliran yang berasal dari daerah itu keluar sebagai keluaran tunggal (Sutikno, 1985). Erosi adalah proses pelepasan partikel – partikel tanah dari massa tanah oleh tenaga erosi seperti air dan angin (Morgan, 1995) NDVI adalah indeks yang dihitung dari hasil pengukuran pantulan obyek pada saluran merah dan inframerah citra satelit penginderaan jauh (Lanteri et al.,, 2006) Tingkat Erosi adalah besarnya erosi yang terjadi pada suatu permukaan tanah (Arsyad, 1989) Tutupan Kanopi adalah proporsi dari area permukaan tanah yang tertutup oleh proyeksi vertikal dari kanopi tumbuhan (Lanteri et al, 2004).
  • 30. 18 Erosi Faktor erosi Erosi aktual Erosi potensial Topografi Vegetasi Tanah Iklim Variasi spasial dan temporal Pengambilan l ekstrapolasi Pemetaan Terabaikan Citra PJ Berkorelasi Terakomodasi Nilai spektral Pemetaan Tutupan kanopi Peta tutupan kanopi Korelasi NDVI Gambar 1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian 18
  • 31. 19 BAB II METODE PENELITIAN Untuk mencapai tujuan - tujuan penelitian, penelitian dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut: 2.1 Pengunpulan Data 2.1.1 Macam Data Untuk dapat memperoleh data tutupan kanopi yang diturunkan dari citra dan bagaimana hubungannya dengan erosi yang terjadi, diperlukan beberapa macam data yang dikategorikan menjadi data primer dan data sekunder. Adapun yang termasuk dalam data primer adalah: 1. Data hasil pengukuran tutupan kanopi di lapangan. 2. Data bentukan erosi dan karakterisiknya. Adapun yang termasuk dalam data sekunder adalah: 1. Data NDVI daerah penelitian. 2.1.2 Sumber Data Data di atas, sebagian dapat diperoleh dari sumber data berikut: 1. Citra SPOT-5 HRG1 XS resolusi 10 meter dan PAN resolusi 2,5 meter tingkat pemrosesan 1A, rekaman Mei 2006. 2. Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25.000 Tahun 2001 Lembar Sendangagung. 2.1.3 Alat Penelitian Alat penelitian yang diperlukan untuk memperoleh data adalah sebagai berikut: 1. Peralatan Lapangan untuk pengukuran persentase tutupan kanopi dan bentukan erosi yang meliputi pita ukur, meteran, dan abney level. 2. GPS Garmin 60 untuk memperoleh koordinat titik pengukuran. 3. Kamera digital untuk perekam kenampakan visual di lapangan.
  • 32. 20 4. Checklist untuk mencatat data lapangan. 5. Perangkat lunak untuk menjalankan model dan analisis data, yang meliputi: 1. ILWIS 3.4 Open Source Version untuk pemrosesan dan analisis data spasial serta penurunan model regresi tutupan kanopi. 2. ENVI 4.3 untuk orthorektifikasi Citra SPOT-5 dan pembuatan Citra NDVI. 3. ArcGIS ArcInfo 9.2 untuk pembuatan peta secara kartografis. 4. Microsoft Excell 2003 untuk analisis tabel silang. 2.1.4` Penentuan Lokasi Sampel Penentuan lokasi observasi dan pengukuran persentase tutupan kanopi dilakukan dengan menggunakan plot kuadrat. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dikarenakan hanya dua kelas penggunaan lahan yang menjadi fokus penelitian. Selain itu pada unit penggunaan lahan yang areanya cukup luas, sampel diambil beberapa kali agar dapat diperoleh data yang signifikan secara statistik untuk menurunkan model regresi. 2.1.5 Metode Pengumpulan Data A. Orthorektifikasi dan Koreksi Radiometrik Citra Citra penginderaan jauh mengandung berbagai distorsi radiometrik dan geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber data spasial yang akurat, distorsi ini harus dihilangkan. Penelitian ini menggunakan citra SPOT 5 HRG1 Level 1A. Berdasarkan SPOT technical guide (2006), citra level 1A merupakan citra yang sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum terkoreksi geometrik. Karena baru terkoreksi radiometrik sistem, distorsi radiometrik yang disebabkan pengaruh hamburan atmosfer dan perawanan masih belum tereduksi. Oleh karena itu, distorsi radiometrik dan geometrik citra harus dikoreksi terlebih dulu sebelum digunakan sebagai sumber informasi tematik. Menurut Danoedoro (1996), terdapat tiga metode sederhana untuk mengkoreksi distorsi radiometrik citra penginderaan jauh, yaitu:
  • 33. 21 1. Penyesuaian histogram, 2. Penyesuaian regresi, 3. Kalibrasi bayangan, Metode penyesuaian histogram dan penyesuaian regresi tidak dapat diaplikasikan pada citra SPOT yang digunakan untuk penelitian. Hal ini dikarenakan kedua metode tersebut memerlukan informasi nilai spektral dari obyek air jernih dan dalam untuk menentukan nilai bias dan offset, sedangkan citra yang digunakan tidak meliput obyek air jernih dan dalam. Sebagai alternatifnya, metode kalibrasi bayangan yang digunakan. Selain itu, metode kalibrasi bayangan juga memiliki kelebihan dibanding metode penyesuaian histogram dan regresi karena dapat mengkompensasi hamburan atmosfer yang tidak homogen pada seluruh liputan citra, sehingga nilai offset yang diperoleh lebih mewakili. Metode kalibrasi bayangan menggunakan informasi nilai spektral dari obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan (obyeknya sama). Dari pembandingan nilai spektral obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan akan diketahui nilai bias akibat hamburan atmosfer dari setiap saluran. Mengingat gangguan atmosfer tidak homogen di semua tempat, maka pembacaan nilai spektral piksel dilakukan beberapa kali secara menyebar di seluruh liputan citra. Penentuan nilai bias rata-rata ditentukan dengan menggunakan analisis regresi antara nilai spektral obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: (1 )Eit A xEis D Aλ λ λ λ λ= + − (2) Eitλ = nilai piksel obyek tertutup awan Eisλ = nilai piksel obyek tidak tertutup awan Dλ = Nilai bias (Danoedoro, 1996) Nilai baru hasil koreksi ditentukan berdasarkan rumus berikut: DNi DNo Dλ= − (3) DNi = nilai piksel sesudah dikoreksi DNo = nilai piksel sebelum dikoreksi (Danoedoro, 1996)
  • 34. 22 Koreksi geometrik citra dapat dilakukan dengan menggunakan transformasi dua dimensi maupun tiga dimensi (Petrie, 2006). Transformasi tiga dimensi disebut juga orthorektifikasi. Pemilihan teknik orthorektifikasi untuk mengkoreksi distorsi geometrik citra didasarkan pada pertimbangan akurasi yang lebih baik dan ketersediaan data pendukung. Transformasi dua dimensi persamaan polinomial tidak dipilih karena transformasi ini tidak dapat mengkompensasi variasi ketinggian medan yang dapat menyebabkan pergeseran bayangan atau relief displacement (Harintaka, 2003). Orthorektifikasi dilakukan menggunakan DEM sebagai sumber data elevasi dan informasi orientasi internal dan eksternal sensor dalam bentuk koefisien RPC (Rational Polynomial Coefficient). DEM diperoleh dari data kontur peta RBI yang diinterpolasi linier. Informasi koefisien RPC diperoleh dari header citra. B. Pembuatan Peta Unit Penggunaan Lahan Sebagai Satuan Pemetaan Jenis vegetasi yang berbeda mempunyai kondisi penutupan yang berbeda. Selain itu, vegetasi dengan kondisi tutupan yang sama namun jenisnya berbeda, pengaruhnya terhadap erosi juga berbeda. Oleh karena itu, analisis kondisi tutupan kanopi dengan menggunakan data NDVI harus dilakukan secara terpisah pada setiap jenis vegetasi. Hal ini dikarenakan NDVI tidak dapat membedakan jenis vegetasi karena NDVI berkaitan dengan karakteristik internal vegetasi, bukan pada jenis vegetasinya. Skala dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1:50.000. Skala tersebut terlalu kecil untuk pemetaan vegetasi hingga tingkat jenis. Oleh karena itu unit penggunaan lahan digunakan sebagai alternatif satuan pemetaan untuk membedakan jenis vegetasi. Asumsi yang digunakan adalah di dalam satu unit penggunaan lahan, jenis dan karakteristik vegetasinya relatif homogen. Pembuatan Peta penggunaan lahan skala 1:50.000 diturunkan dari citra SPOT-5. Teknik yang digunakan adalah interpretasi visual dengan mendasarkan pada kunci interpretasi citra. Klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan mengikuti klasifikasi penggunaan lahan menurut BAKOSURTANAL dalam Rahardjo (1990). Skema klasifikasi dapat dilihat pada lampiran 4.
  • 35. 23 Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua citra, yaitu citra multispektral (XS) dengan resolusi spasial 10 meter dan citra Pankromatik (PAN) dengan resolusi spasial 2,5 meter. Citra multispektral dengan resolusi spasial 10 meter sering kali dianggap kurang detil untuk memperoleh informasi penggunaan lahan pada skala 1: 50.000 (Richards dan Jia, 2006), oleh karena itu informasi dari citra pankromatik perlu ditambahkan untuk mencapai standar kerincian informasi untuk pemetaan penggunaan lahan menurut BAKOSURTANAL. Untuk itu, citra multispektral dan pankromatik digabungkan dengan menggunakan teknik pan-sharpening. Algoritma pan-sharpening yang dipilih digunakan adalah transformasi IHS (Intensity Hue Saturation). Pemilihan algoritma ini didasarkan pertimbangan algoritma IHS dapat memberikan hasil citra dengan kontras yang baik dan layak untuk interpretasi visual. C. Transformasi NDVI Citra NDVI diturunkan dari saluran XS2 (tampak merah) dan XS3 (inframerah dekat) dari citra SPOT-5. Penurunannya dilakukan menggunakan rumus transformasi berikut: SPOT NDVI = (5) XS2 = SPOT XS saluran 2 (merah) XS3 = SPOT XS saluran 3 (inframerah dekat) Nilai NDVI hasil kalkulasi berkisar antara -1 hingga +1. Nilai di sekitar 0 hingga -1 mengindikasikan obyek bukan vegetasi, sedangkan nilai positif rendah hingga +1 menunjukkan obyek vegetasi dengan berbagai variasi tutupan kanopi. D Estimasi Tutupan Kanopi di Lapangan Menurut Korhonen et al, (2006), penentuan tutupan kanopi di lapangan melalui pengukuran langsung dapat dilakukan menggunakan alat pengukur (Densiometer, Cajanus Tube), Fotografi (Hemisferikal dan standar) dan estimasi oskular. Teknik pengambilan sampelnya dapat secara plot (point sampling) maupun transek (line intercept sampling). Karena konsep tutupan kanopi yang )23( )23( XSXS XSXS + −
  • 36. 24 digunakan dalam penelitian ini adalah tutupan kanopi efektif, maka teknik yang dapat digunakan adalah fotografi standar dengan sudut pandang (angle of view) kamera kecil atau estimasi oskular. Dalam penelitian ini metode estimasi tutupan kanopi yang digunakan adalah estimasi oskular dengan menggunakan USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart pada Gambar 2.1. . Gambar 2.1. USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart (Jennings et al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006) Pengukuran dilakukan mengikuti prosedur yang dilakukan Korhonen et al, (2006). Pengukuran dilakukan pada plot sampel berukuran 40 x 40 meter. Lima pengamatan diambil pada setiap plot, meliputi satu pengamatan di tengah plot dan empat yang lain di arah barat laut, tenggara, timur laut dan barat daya pusat plot dengan jarak kurang lebih 15 meter . Representasi plot dapat dilihat pada Gambar 2.2.
  • 37. 25 Gambar 2.2 Plot Pengukuran E. Pengukuran Tingkat Erosi di Lapangan Menurut Linden (1980), penentuan tingkat erosi di lapangan dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Dalam penelitian ini, penentuan tingkat erosi dilakukan secara kualitatif berdasarkan kenampakan erosi di lapangan. Bentuk – bentuk erosi yang dapat dijadikan indikator tingkat erosi antara lain kenampakan erosi alur, parit, pedestal, singkapan akar tanaman, armour layer dan tree mound (Stocking, dan Murnaghan, 2001). Tingkat erosi secara kualitatif ditentukan menggunakan kriteria tingkat erosi menurut Morgan (1995) sebagai berikut: 40 m 15 m 1 2 3 4 5
  • 38. 26 Tabel 2.1 Indikator Tingkat Erosi di Lapangan Kelas Indikator Sangat ringan Tidak terdapat akar pohon yang nampak di permukaan, tidak ada kenampakan pedestal, tidak terdapat permukaan yang keras Ringan Akar pohon terlihat di atas permukaan tanah, terdapat kenampakan pedestal dan gundukan tanah yang terlindungi vegetasi (tree mound) dengan kedalaman 1-10 mm, terdapat sedikit permukaan kasar (armour layer) Sedang Akar pohon yang kelihatan, pedestal dan gundukan tanah dengan ketinggian 1-5 cm, terdapat permukaan yang mengeras. Berat Akar pohon yang nampak, pedestal dan gundukan tanah berkedalaman 5-10 cm, kenampakan material kasar (armour layer) yang renggang, terdapat erosi alur dengan kedalaman kurang dari 8 cm. Sangat Berat Terdapat erosi parit, terdapat erosi alur dengan kedalaman lebih dari 8 cm Sumber: Analisis, 2008 berdasarkan Morgan, 1995 2.2 Pengolahan dan Analisis Data 2.2.1 Pembuatan Model Regresi untuk Estimasi Tutupan Kanopi dari Citra NDVI Untuk memperoleh data spasial tutupan kanopi daerah penelitian, analisis regresi digunakan untuk menurunkan hubungan antara persentase tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan dengan nilai digital NDVI. Berdasarkan penelitian- penelitian yang telah dilakukan, nilai NDVI berkorelasi kuat dengan persentase tutupan kanopi, oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa nilai digital NDVI sangat dipengaruhi oleh kerapatan tutupan kanopi. Dengan demikian penggunaan analisis regresi untuk memperoleh hubungan fungsional antara NDVI dan persentase tutupan kanopi dapat diterima. Walaupun demikian, linearitas hubungan antara persentase tutupan kanopi vegetasi dan nilai NDVI belum dapat
  • 39. 27 diketahui dengan baik. Hasil dari berbagai penelitian sebelumnya memperlihatkan adanya variabilitas hubungan antara nilai NDVI dan persentase tutupan kanopi pada lokasi geografis yang berbeda, mulai dari hubungan linier (Larsson, 2002) hingga polinomial orde dua (Purevdorj et al., 1998). Oleh karena itu analisis regresi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan lima model regresi yang meliputi model regresi linear, polinomial orde dua, power, eksponensial dan logaritmik. Bentuk persamaan regresi pada setiap model ditunjukkan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Model Regresi Yang Digunakan Beserta Bentuk Persamaannya Model Persamaan Linear y = α + βx Logaritmik y = α + βLn(x) Polinomial orde 2 y = α + β1x + β2x2 Power y = αxβ Eksponensial y = αeβx Sumber: ILWIS User guide Tujuan penelitian adalah memprediksi nilai persentase tutupan kanopi dari nilai digital NDVI, maka formula diatas diterapkan pada NDVI dan persentase tutupan kanopi dengan NDVI sebagai variabel independen (X) dan persentase tutupan kanopi sebagai variabel (Y). NDVI sebagai variabel independen karena NDVI merupakan variabel yang sudah diketahui nilainya, dan persentase tutupan kanopi (% CC) merupakan variabel yang akan diprediksi. Persamaan pada Tabel 2.2 digunakan untuk mengkalibrasi citra NDVI menjadi peta persentase tutupan kanopi. Hasil dari pemetaan kemudian diklasifikasikan untuk analisis lebih lanjut dengan berpedoman pada klasifikasi tutupan kanopi menurut Keputusan Dirjen RRL Departemen Kehutanan No. 041/Kpts/V/1998 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Kriteria penentuan dapat dilihat pada Tabel 2.3.
  • 40. 28 Tabel 2.3 Klasifikasi Tutupan Kanopi Tutupan kanopi Kelas > 80% Sangat baik 61 – 80% Baik 41- 60% Sedang 21 - 40% Buruk < 20% Sangat buruk Sumber: Departemen Kehutanan (2004) 2.2.2 Analisis Hubungan Kelas Tutupan Kanopi dengan Tingkat Erosi Tanah. Analisis hubungan antara persentase tutupan kanopi dengan tingkat erosi tanah dilakukan menggunakan teknik tabulasi silang. Tabulasi silang lebih dipilih karena kedua variabel yang dihubungkan mempunyai sifat data ordinal. Indeks kappa (Campbell, 2002) digunakan untuk menilai derajat hubungan antara dua variabel hasil operasi tabulasi silang secara kuantitatif. Indeks kappa (κ) mempunyai nilai berkisar dari -1 hingga +1 yang mengindikasikan besar dan arah hubungan antara dua variabel. Nilai indeks ditentukan dari persamaan 6. Metode perhitungan untuk menentukan parameter observed value dan expected value dari tabel silang mengacu pada Campbell (2002). ‘ (6) (Campbell, 2002) exp 1 exp observed ected ected κ − = −
  • 41. 29 Peta Rupabumi Indonesia skala 1:25.000 Data kontur Interpolasi linier DEM Citra SPOT-5 XS dan PAN level 1A Orthorektifikasi dan koreksi radiometrik Citra terkoreksi NDVI Survei lapangan 1. Pengukuran persentase tutupan kanopi di lapangan 2. Pengukuran tingkat erosi di lapangan Analisis korelasi dan regresi Peta persentase tutupan kanopi Tabulasi silang Transformasi NDVI Data tingkat erosi tanah Data hasil pengukuran persentase tutupan kanopi Informasi hubungan tingkat erosi dan tutupan kanopi Gambar 2.3 Diagram Alir Penelitian Input Proses Output sementara Output akhir XSPAN Transformasi IHS Interpretasi visual Citra gabungan Peta penggunaan lahan Keterangan: 29
  • 42. 30 BAB III DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 3.1 Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian DAS Tinalah terletak di Pegunungan Progo Barat (West Progo Mountains) bagian utara. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Kecamatan Samigaluh dan Kalibawang Kabupaten Kulonprogo. DAS Tinalah dibatasi: 1. Kabupaten Magelang di sebelah utara 2. Desa Kebonharjo Kecamatan Samigaluh dan Desa Purwosari Kecamatan Girimulyo di sebelah selatan. 3. Kecamatan Kalibawang di sebelah timur. 4. Kabupaten Purworejo di sebelah barat. Secara geografis daerah penelitian terletak antara 110o 08’ 15’’-110o 13’ 00’’ BT dan 07o 38’ 45’’-07o 43’ 15’’ LS. Peta administrasi DAS Tinalah disajikan dalam Gambar 3.1. Berdasarkan peta tersebut, DAS Tinalah terdiri dari beberapa desa di Kecamatan Samigaluh dan satu desa di Kecamatan Kalibawang. Nama desa dan luas wilayah disajikan pada tabel 3.1. Tabel 3.1 Desa yang Termasuk dalam Wilayah DAS Tinalah Desa Kecamatan Luas wilayah (ha) Luas wilayah (%) Banjararum Kalibawang 163.42 3.73 Purwoharjo Samigaluh 943.98 21.55 Banjarsari Samigaluh 775.84 17.71 Pagerharjo Samigaluh 159.26 3.64 Gerbosari Samigaluh 1055.08 24.09 Ngargosari Samigaluh 608.83 13.90 Sidoharjo Samigaluh 673.61 15.38 Luas Keseluruhan 4380.02 100.00 Sumber : Analisis Peta administrasi Kabupaten Kulonprogo
  • 43. 31 31
  • 44. 32 III.2 Iklim Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi erosi. Pengaruh iklim terutama adalah pada kecepatan pelapukan batuan, pembentukan bahan induk tanah, dan parameter erosivitas hujan yang meliputi curah hujan, energi dan intensitas hujan. Parameter iklim yang penting untuk diketahui dalam kaitannya dengan erosi antara adalah curah hujan, suhu dan tipe iklim. 3.2.1 Curah Hujan Curah hujan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan data hujan dari stasiun hujan terdekat. Stasiun tersebut meliputi stasiun Samigaluh yang berada di dalam lokasi penelitian dan tiga stasiun di sekitarnya yang meliputi stasiun Kaligesing, Kalibawang dan Kenteng. Hasil analisis curah hujan rata – rata bulanan selama 10 tahun (1997-2006) dari keempat stasiun disajikan dalam tabel 3.2 dan grafik 3.1. Tabel 3.2 Curah Hujan Rata-rata Bulanan Daerah Penelitian Tahun 1997-2006 (mm) Bulan Kaligesing Kenteng Kalibawang Samigaluh Januari 434,7 248,1 359,8 333,3 Februari 470,8 241,4 396,2 389,1 Maret 363,6 208,2 302,2 401,9 April 306,0 180,2 174,8 237,6 Mei 159,6 89,4 98,3 134,5 Juni 59,7 36,5 61,0 48,4 Juli 59,0 20,2 22,7 43,3 Agustus 2,8 7,0 19,4 17,1 September 10,8 10,0 11,4 11,9 Oktober 154,0 97,9 184,4 211,7 November 290,6 172,2 189,7 292,5 Desember 613,8 254,9 300,1 347,5 Curah hujan tahunan 2925,3 1566,0 2119,9 2468,6 Sumber : Perhitungan data sekunder, 2008
  • 45. 33 Sumber: Perhitungan data sekunder, 2008 Gambar 3.2 Dari tabel dan grafik diatas dapat diketahui bahwa bulan – bulan terbasah adalah sekitar november hingga april, dan bulan kering sekitar mei hingga september. Bulan dengan curah hujan tertinggi dari Desember hingga Februari dengan curah hujan terbesar 600 mm. Dalam kaitannya dengan laju erosi, bulan – bulan ini merupakan waktu dimana erosi intensif terjadi. 3.2.2 Suhu Suhu merupakan salah satu komponen iklim yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap erosi. Gambaran fluktuasi curah hujan dan suhu di daerah penelitian dapat menjelaskan bagaimana iklim berpengaruh terhadap erosi. Pengaruh suhu terutama pada proses pelapukan batuan yang menjadi sumber bahan induk tanah. Fluktuasi suhu yang ekstrim dapat menyebabkan laju pelapukan batuan yang lebih intensif dan mempercepat pembentukan bahan induk tanah. Stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah tidak menyediakan data suhu, oleh karena itu, data suhu rerata bulanan di daerah penelitian dihitung dengan menggunakan data dari ketinggian tempat dalam PSBA UGM (2004). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: T max = 32,11 – 0,00618*h T min = 23,09 – 0,00642*h (6) Keterangan : Tmax/min : suhu udara maksimum/minimum Grafik Curah Hujan Rata-rata Bulanan Stasiun Hujan Daerah Penelitian (1997-2006) 0,0 100,0 200,0 300,0 400,0 500,0 600,0 700,0 Januari Maret Mei Juli September November Bulan Curahhujan(mm) Stasiun Kaligesing Stasiun Kenteng Stasiun kalibawang Stasiun Samigaluh
  • 46. 34 h : ketinggian tempat (mdpl) 23,09 dan 0,00642 : tetapan untuk perhitungan suhu minimum 32,11 dan 0,00618 : tetapan untuk perhitungan suhu maksimum Rumus di atas pernah digunakan PSBA UGM (2004) untuk menentukan suhu bulanan rata-rata di kabupaten Purworejo, mengingat daerah penelitian dengan Kabupaten Purworejo masih berada pada satu jalur pegunungan, dapat diasumsikan kondisi iklimnya tidak jauh berbeda, dengan demikian maka rumus () dapat digunakan untuk menghitung suhu bulanan rata – rata di DAS Tinalah. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3.3. Tabel 3.3. Suhu rata-rata bulanan di DAS Tinalah Ketinggian Suhu maksimum (o C) Suhu minimum (o C) 300 30,26 21,16 400 29,64 20,52 500 29,02 19,88 600 28,4 19,24 700 27,78 18,6 800 27,17 17,95 Sumber: Hasil analisis, 2008 Daerah penelitian mempunyai ketinggian antara 300 hingga 800 meter. Berdasarkan nilai ketinggian rata-rata daerah penelitian tersebut, maka dapat diperkirakan suhu maksimum dan minimum daerah penelitian, yaitu berkisar 17 hingga 30 o C untuk suhu maksimum. Fluktuasi suhu sebesar 13 o C relatif cukup untuk dapat mempercepat proses pelapukan batuan dan pembentukan bahan induk tanah. Proses pembentukan bahan induk tanah yang relatif cepat ditambah curah hujan yang tinggi dan kemiringan lereng yang terjal menyebabkan laju kehilangan tanah yang tinggi di daerah penelitian. 3.2.3 Tipe Iklim Tipe iklim daerah penelitian dapat ditentukan dengan menggunakan klasifikasi iklim sistem Schmidt-Ferguson. Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson mendasarkan pada banyaknya bulan basah dan bulan kering untuk menentukan tipe iklim suatu daerah. Penentuan bulan basah dan bulan kering menggunakan klasifikasi Mohr sebagai berikut:
  • 47. 35 a. Bulan basah apabila CH lebih dari 100 mm per bulan. b. Bulan lembab apabila CH antara 60-100 mm per bulan. c. Bulan kering apabila CH kurang dari 60 mm per bulan. Tipe iklim menurut sistem Schmidt-Ferguson ditentukan berdasarkan nilai Q (quotient). Nilai Q ditentukan berdasarkan rumus berikut: Rata-rata jumlah bulan kering Q = X 100% (7) Rata-rata jumlah bulan basah Tipe iklim ditentukan berdasarkan nilai Q dalam Tabel 3.3 sebagai berikut: Tabel 3.4 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q Golongan Nilai Q Keterangan A 0,000 ≤ Q ≤ 0,143 Sangat basah B 0,143 ≤ Q ≤ 0,333 Basah C 0,333 ≤ Q ≤ 0,600 Agak basah D 0,600 ≤ Q ≤ 1,000 Sedang E 1,000 ≤ Q ≤ 1,670 Agak kering F 1,670 ≤ Q ≤ 3,000 Kering G 3,000 ≤ Q ≤ 7,000 Sangat kering H 7,000 ≤ Q Luar biasa kering Sumber: Wisnubroto dan Aminah (1986) Hasil perhitungan dan penentuan tipe iklim dari empat stasiun hujan di sekitar daerah penelitian terlampir dalam Tabel 3.4. Tabel 3.5 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian Stasiun Rata-rata bulan basah Rata-rata bulan kering Q Golongan Keterangan Samigaluh 8 4 0,428 C Agak basah Kalibawang 7 3 0,714 D Sedang Kenteng 6 4 0,667 D Sedang Kaligesing 8 4 0,5 C Agak basah Sumber: Pengolahan data sekunder, 2008
  • 48. 36 Berdasarkan hasil perhitungan, stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah mempunyai rasio kurang lebih 7 bulan basah dan 3 bulan kering. Oleh karena itu daerah penelitian termasuk dalam iklim agak basah hingga sedang. 3.3 Geologi Secara geologis, DAS Tinalah termasuk dalam kawasan Perbukitan Progo Barat yang membentang sepanjang jurus utara-selatan mulai dari bagian barat Kabupaten Kulonprogo hingga bagian timur Kabupaten Purworejo. Menurut Bemmelen (1970), Perbukitan Progo Barat mempunyai struktur kubah (dome) dengan proses evolusi geologis yang cukup kompleks. Proses geologi yang membentuk perbukitan ini dimulai pada Masa Eosen. Pada masa ini Alas Nanggulan terbentuk. Pada kurun waktu Oligosen hingga Miosen Awal, aktivitas geologi di daerah ini didominasi oleh aktivitas vulkanik tiga gunung api tua, yaitu Gunungapi Gajah, Ijo dan Menoreh yang merupakan gunung api termuda di bagian utara. Material dari tiga gunung api tersebut didominasi oleh breksi andesit. Seiring dengan berakhirnya aktivitas vulkanik Gunungapi Menoreh, daerah ini mengalami proses pengangkatan (uplifting) yang pertama. Pada kurun waktu Miosen Bawah-Tengah, bagian yang terangkat mengalami penenggelaman (subsidence) hingga di bawah permukaan laut. Pada waktu ini Formasi Jonggrangan yang terdiri dari batu gamping, lignit dan marl mulai terbentuk dan diendapkan, diikuti pembentukan Formasi Sentolo di sebelah selatan pada Miosen Tengah. Masih dalam kurun waktu yang sama, proses pengangkatan dimulai lagi di bagian selatan. Bagian utara tetap berupa dataran rendah dan peneplain dengan sisa Gunungapi Menoreh membentuk igir dengan ketinggian 700 meter. Pengangkatan terakhir baru terjadi pada masa Pleistosen Tengah yang membentuk perbukitan dengan struktur kubah dengan puncak yang datar.
  • 49. 37 37
  • 50. 38 Dengan latar belakang geologi di atas, maka di daerah penelitian setidaknya kini terdapat empat formasi batuan utama. Deskripsi karakteristik tiap formasi batuan disajikan dalam Tabel 3.6. Tabel 3.6 Distribusi dan Jenis Formasi Batuan di Daerah Penelitian No. Formasi Batuan Kode Litologi Waktu pembentukan/pengendapan 1. Andesit Tua Tmoa Breksi volkanik (lahar) dengan sisipan lava andesit dan batupasir tufan. Oligosen Akhir – Miosen Awal 2. Jonggrangan Tmj Napal tufan, batupasir gampingan dengan sisipan lignit, dan ke arah atas berubah menjadi batugamping berlapis dan batugamping terumbu Miosen Awal– Tengah 3. Endapan koluvial Qc Material koluvial hasil rombakan formasi andesit tua Pleistosen-Holosen 4. Endapan Merapi Muda Qa tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava Pleistosen-Holosen (Kuarter) Sumber: Peta Geologi Yogyakarta Skala 1:100.000 Direktorat Geologi Indonesia (2004) 3.4 Geomorfologi dan Bentuk Lahan Berdasarkan Peta Bentuk lahan DAS Tinalah, secara umum, terdapat tiga proses geomorfologi yang membentuk konfigurasi bentuk lahan di daerah penelitian, yaitu proses struktural, denudasional dan fluvial. Proses struktural berupa pengangkatan (uplifting) dan penenggelaman (subsidence) yang terjadi pada masa Miosen hingga Pleistosen yang kemudian menyebabkan terbentuknya jalur patahan di beberapa tempat. Pengangkatan Kubah Progo menyebabkan Plato Jonggrangan reliefnya naik yang kemudian terdenudasi dan tersolusi kuat, sehingga sebagian besar material gampingan kini menghilang dan digantikan material dibawahnya (material volkanik tua). Sisa – sisa dari Plato Jonggrangan di daerah penelitian masih dapat ditemui di daerah hilir berupa perbukitan struktural gamping dengan tingkat pengikisan yang bervariasi. Perbukitan ini merupakan sisa dari Plato Jonggrangan di daerah penelitian yang terdenudasi sehingga morfologinya berubah menjadi perbukitan.
  • 51. 39 39
  • 52. 40 Proses denudasional merupakan proses dominan dan yang paling berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan kondisi bentuk lahan di daerah penelitian. Hal ini tidak lepas pula dari pengaruh iklim yang relatif basah dengan fluktuasi curah hujan dan temperatur yang tinggi, sehingga pelapukan, terutama pelapukan mekanis terjadi secara intensif. Material lapukan kemudian terdeposisi melalui mekanisme erosi dan longsoran ke daerah bawah. Proses erosi terjadi secara intensif yang dicirikan dengan kenampakan – kenampakan erosi berat seperti alur dan parit yang lebar dan dalam hingga mencapai batuan dasar. Dikarenakan bekerja pada satuan litologi yang relatif seragam (batuan andesit tua), hasil proses denudasi di daerah penelitian juga relatif seragam membentuk susunan morfoaransemen perbukitan, lereng, lembah, walaupun tingkat pengikisannya bervariasi pada setiap satuan bentuk lahan. Satuan – satuan bentuk lahan ini diklasifikasikan sebagai perbukitan dan lereng denudasional dengan tingkat pengikisan bervariasi. Proses fluvial terjadi di daerah lembah antar perbukitan dimana disini terjadi akumulasi limpasan permukaan membentuk jaringan Sungai Tinalah. Proses fluvial yang terjadi berupa pengangkutan dan pengendapan material hasil proses denudasi di sepanjang aliran Sungai Tinalah dan membentuk dataran aluvial sungai di hilir. Di beberapa bagian DAS, material aluvium ini bercampur dengan material koluvium dari perbukitan diatasnya membentuk dataran fluvio- koluvial. Secara lebih rinci, bentuk lahan yang terdapat di DAS Tinalah dapat dilihat pada Tabel 3.7 dan Gambar 3.4.
  • 53. 41 Tabel 3.7 Distribusi Bentuk Lahan di Daerah Penelitian Nama Bentuk Lahan Luas (Ha) Dataran Aluvial Endapan Vulkanik Merapi Muda 0,4 Dataran Aluvial Sungai Tinalah 2,3 Dataran Fluvio-Koluvial 2,9 Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Napal Tuf Terkikis Sedang 35,7 Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Napal Tuf, Gamping Terkikis Kuat 53,7 Kompleks Perbukitan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Sedang 27 Lembah Antar Perbukitan 35,5 Lembah Sungai Tinalah 4,6 Lereng Atas Perbukitan Denudasional Andesit, Breksi Andesit Terkikis Kuat 16,4 Lereng Bawah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat 11,8 Lereng Kaki Koluvial 46,8 Lereng Kaki Koluvial Gamping Koral 0,4 Lereng Kaki Koluvial Gamping Tersisip 7,4 Lereng Landai Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Lemah 24 Lereng Landai Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Gamping Koral Terkikis Ringan 7 Lereng Tengah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat 48,3 Lereng Terjal Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat 29,1 Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat 30,5 Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Ringan 18,3 Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Sedang 7,7 Sumber: Peta Bentuk Lahan DAS Tinalah 3.5 Hidrologi Kondisi iklim, geologi dan geomorfologi sangat menentukan kondisi hidrologi suatu DAS, baik air permukaan maupun air tanah. Kondisi iklim daerah penelitian termasuk dalam kategori agak basah menurut klasifikasi Schmidt- Ferguson. Hujan yang tersedia relatif cukup untuk mengalirkan sungai sepanjang tahun. Oleh karena itu Sungai Tinalah termasuk dalam kategori sungai perenial. Jenis pola aliran sungai di DAS Tinalah termasuk dalam tipe dentritik dengan distribusi cabang sungai yang relatif rapat. Terbentuknya pola aliran sungai dentritik di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh struktur geologi dan litologi Pegunungan Progo Barat yang didominasi batuan breksi andesit. Pola aliran sungai yang rapat dengan beberapa anak sungai masih berupa parit alam yang
  • 54. 42 lebar dan dalam hingga mengikis batuan induk mengindikasikan bahwa proses erosi telah berlangsung intensif dalam jangka waktu yang lama. Litologi yang bersifat masif berupa andesit dan gamping merupakan penyebab langkanya air tanah di daerah penelitian, terutama di daerah perbukitan. Dua jenis batuan di atas tidak mampu menyimpan air dalam jumlah besar. Terlebih perbukitan yang ada mempunyai kemiringan lereng yang relatif terjal, sehingga sebagian besar material hasil rombakan dan pelapukan langsung tererosi dan terendapkan di lereng kaki dan dataran aluvial. Dua hal diatas yang menyebabkan aquifer tidak dapat berkembang dengan baik di daerah perbukitan. Walaupun demikian, pada area dengan solum tanah yang cukup tebal, aquifer lokal dan dangkal dapat terbentuk. Lapisan ini biasanya langsung mengalami kontak dengan batuan induk yang dicirikan dengan munculnya mata air dan rembesan. Aquifer di daerah penelitian terbentuk di daerah bentuk lahan lereng kaki koluvial dan dataran aluvial yang merupakan tempat akumulasi dan pengendapan material hasil proses fluvial dan denudasional. 3.6 Tanah Pembentukan tanah di DAS Tinalah dikontrol oleh faktor – faktor pembentukan tanah, terutama oleh iklim, topografi, batuan dan waktu. Kombinasi ketiga faktor tersebut mempengaruhi jenis tanah yang terbentuk di daerah penelitian. Bahan induk tanah di DAS Tinalah berasal dari tiga formasi batuan, yaitu Andesit Tua, Jonggrangan dan Nanggulan. Pada setiap bahan induk yang berasal dari formasi berbeda, jenis tanah yang terbentuk juga berbeda. Kondisi iklim yang fluktuatif mempercepat proses pelapukan batuan, sehingga pembentukan bahan induk tanah berlangsung cepat. Namun demikian, curah hujan yang tinggi juga membawa konsekuensi tingkat erosi dan longsoran yang tinggi sehingga sebagian besar material biasanya langsung tererosi dan terakumulasi di lereng bawah. Oleh karena itu, tanah di daerah perbukitan dan lereng atas biasanya mempunyai ciri - ciri solum tanah yang tipis. Kondisi iklim di daerah penelitian kondisinya relatif sama (sedang hingga agak basah), sehingga praktis proses pembentukan tanah di daerah penelitian ditentukan oleh topografi
  • 55. 43 dan batuan sebagai sumber bahan induk tanah. Tanah yang terbentuk pada batuan yang sama namun kondisi reliefnya berbeda, tanah yang terbentuk dan perkembangannya juga berbeda. Berdasarkan Peta Tanah DAS Tinalah pada Gambar 3.4, ordo tanah yang berkembang di daerah penelitian adalah ordo Entisol, Inceptisol dan Alfisol. Berikut ini diuraikan karakteristik setiap ordo. 1. Entisol Ordo Entisol merupakan tanah yang paling mendominasi di daerah penelitian. Entisol merupakan ordo tanah belum berkembang. Ciri khas dari ordo ini yang juga ditemui pada tanah di daerah penelitian adalah horison-horisonnya belum terdiferensiasi secara jelas. Tanah Entisol di daerah penelitian berkembang terutama di bentuk lahan perbukitan dengan kemiringan lereng relatif terjal, oleh karena itu kepekaannya terhadap erosi juga relatif tinggi. Solum tanahnya pada umumnya tipis. Hal ini dikarenakan material hasil lapukan yang merupakan bahan induk tanah kebanyakan langsung tererosi sebelum mengalami pedogenesis. Karena belum menunjukkan kecenderungan perkembangan ke ordo lain, Tanah Entisol di daerah penelitian diklasifikasikan ke dalam subordo Orthents. Rejim kelembabannya termasuk dalam kategori tropis, sehingga termasuk dalam group Troporthents. Pada area yang solum tanahnya tipis akibat sering tererosi, Alfisol yang terbentuk diklasifikasikan lebih detil ke dalam subgroup Lithic.
  • 56. 44 44
  • 57. 45 2. Inceptisol Inceptisol merupakan ordo tanah yang baru berkembang yang dicirikan dengan diferensiasi antar horison yang mulai tampak. Subordo Inceptisol yang berkembang di daerah penelitian adalah eutropepts karena mempunyai karakteristik rejim tropis dengan kejenuhan basa yang tinggi. Ciri lainnya adalah kedalaman tanahnya tipis (di bawah 30 cm) sehingga termasuk dalam subgroup lithic dan sebagian lainnya mempunyai sifat yang khas sehingga termasuk dalam subgroup typic. Di lapangan, tanah ini berkembang di bentuk lahan lereng kaki perbukitan dengan kemiringan lereng 8 sampai 20%. Bahan induknya sebagian besar berasal dari material koluvium dari perbukitan di atasnya. Tingkat kesuburannya secara umum lebih baik daripada Entisol dengan kepekaan erosi yang lebih rendah. 3. Alfisol Alfisol merupakan tanah yang sedang berkembang. Salah satu penciri dari ordo ini adalah adanya horison argilik yang merupakan hasil proses iluviasi. Subordo Alfisol yang berkembang di daerah penelitian adalah udalfs karena memiliki rejim kelembaban udik. Ciri lain dari sifat Tanah Alfisol di DAS Tinalah adalah horison argilik yang ada perkembangannya belum maksimal yang dicirikan dengan tidak jelasnya perbedaan antara horison argilik dan non argilik, sehingga dimasukkan dalam group Hapludalfs. Pada umumnya, ciri khas group Hapludalfs hampir semua ditemui di Tanah Alfisol di daerah penelitian. Adanya sifat ini memungkinkan tanah Alfisol di daerah penelitian dapat diklasifikasi secara lebih rinci ke dalam subgroup Typic Hapludalfs. Tanah Alfisol di daerah penelitian berkembang di bentuk lahan lereng perbukitan dengan batuan dasar breksi andesit dan gamping. Tekstur tanahnya didominasi lempung dengan kedalaman tanah antara 50 hingga 100 cm. Sebagian dari Alfisol ini terdapat secara asosiasi dan kompleks baik dengan ordo Entisol maupun Inceptisol, terutama pada bentuk lahan dengan kemiringan lereng bervariasi.
  • 58. 46 3.7 Vegetasi dan Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil intepretasi citra SPOT hasil operasi penggabungan citra dan kerja lapangan, daerah penelitian didominasi penggunaan lahan kebun dan tegalan. Tanaman yang ada pada penggunaan lahan kebun antara lain jati, mahoni, akasia, sengon, cengkeh dan ketela. Sedangkan jenis tanaman yang terdapat di penggunaan lahan ladang berupa tanaman semusim seperti kacang tanah, kedelai, ketela, dan jagung. Proporsi dan jenis penggunaan lahan yang terdapat di DAS Tinalah dapat dilihat pada Tabel 3.8. Permukiman penduduk di DAS Tinalah mempunyai karakteristik distribusi yang menyebar. Konsentrasi permukiman terbesar di Desa Gerbosari dimana desa ini merupakan ibukota Kecamatan Samigaluh. Penggunaan lahan sawah tadah hujan berada pada bentuk lahan lereng kaki dan dataran aluvial. Tabel 3.8 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah No Penggunaan lahan Luas (Ha) 1 Sawah irigasi 48,1 2 Sawah tadah hujan 463,0 3 Kebun 3029,9 4 Ladang 367,2 5 Permukiman 450,4 6 Semak 72,0 Total 4430,5 Sumber: Hasil interpretasi Citra SPOT-5 Pan sharpened resolusi spasial 2,5 meter (2006). Vegetasi pada setiap bentuk penggunaan lahan mempunyai karakteristik tutupan yang berbeda. Penggunaan lahan kebun didominasi vegetasi strata pohon dengan tutupan vertikal kanopi yang tebal dan ketinggiannya bisa mencapai lebih dari 5 meter. Penggunaan lahan ladang dan semak didominasi vegetasi strata pohon dan semak dengan ketinggian kanopi maksimal 5 meter. Ketebalan kanopi vegetasi di penggunaan lahan ladang pada umumnya lebih tipis dari vegetasi pada penggunaan lahan kebun. Penggunaan lahan sawah didominasi vegetasi strata herba dan rumput yang termasuk dalam kategori penutupan tanah (ground cover) dengan ketinggian di bawah 2 meter. Karakteristik vegetasi yang berbeda pada setiap bentuk penggunaan lahan menyebabkan erosi yang terjadi juga berbeda.
  • 59. 47 47
  • 60. 48 3.8 Kependudukan dan Sosial-Ekonomi Kondisi lingkungan fisik berupa perbukitan sangat mempengaruhi kondisi kependudukan dan sosial ekonomi penduduk di sekitar DAS Tinalah. Berdasarkan data PODES 2005 Kabupaten Kulonprogo, jumlah penduduk di DAS Tinalah sekitar lima puluh ribu jiwa yang tersebar di beberapa desa. Desa Gerbosari yang berada di bagian tengah DAS merupakan desa dengan jumlah penduduk dan luas permukiman terbesar, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.9. Hal ini dikarenakan Desa Gerbosari merupakan ibukota Kecamatan Samigaluh dimana segala aktivitas ekonomi terpusat di sini, sehingga penduduk banyak yang terkonsentrasi di desa ini. Permukiman di DAS Tinalah mempunyai karakteristik distribusi yang menyebar tidak teratur (random). Keberadaan permukiman biasanya di bawah lereng perbukitan dan dibangun dengan memotong lereng. Pemotongan lereng untuk pembangunan permukiman menyebabkan daerah penelitian memiliki tingkat kerawanan longsor yang tinggi. Mata pencaharian penduduk sebagian besar di sektor pertanian dan perkebunan. Ketergantungan yang tinggi pada sumber daya alam yang ada menyebabkan degradasi lahan, terutama erosi berdampak nyata terhadap kondisi perekonomian penduduk DAS. Keterbatasan kemampuan lahan daerah penelitian untuk mendukung berbagai penggunaan menyebabkan penduduk tidak dapat memanfaatkan lahan yang ada secara optimal. Oleh karena itu tidak heran apabila Kecamatan Samigaluh merupakan salah satu kecamatan termiskin di Kabupaten Kulonprogo. Tabel 3.9 Karakteristik Demografi DAS Tinalah Nama Desa Laki-Laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah Luas permukiman (ha) Kepadatan penduduk pada permukiman (jiwa/ha) Banjarsari 1951 1969 3920 42.8 91.6 Purwoharjo 1998 2209 4207 38.5 109.3 Sidoharjo 2601 2501 5102 61.8 82.6 Gerbosari 2857 2569 5426 63.8 85.0 Ngargosari 2018 2001 4019 38.7 103.9 Jumlah 24106 24678 48784 Sumber: Analisis data PODES 2005.
  • 61. 49 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tujuan utama dari studi ini adalah memprediksi dan memetakan tutupan kanopi vegetasi dengan menggunakan atribut spektral citra penginderaan jauh dan mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi kualitatif yang dinilai dari bentukan erosi yang terjadi. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian dilaksanakan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan, mulai dari pemrosesan citra dan pembuatan peta dasar, kerja lapangan pengamatan erosi dan pengukuran persentase tutupan kanopi vegetasi. Bagian ini akan menguraikan tentang jalannya penelitian yang telah dilakukan dan hasil - hasil yang diperoleh, mulai dari pemrosesan citra hingga analisis tabulasi silang untuk melihat hubungan antara tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi. 4.1 Restorasi Citra Citra penginderaan jauh mengalami berbagai macam kesalahan baik radiometrik maupun geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber informasi tematik sumber daya, kesalahan – kesalahan ini harus dikoreksi terlebih dulu. Citra SPOT 5 HRG yang digunakan dalam penelitian mempunyai tingkat pemrosesan 1A yang berarti sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum terkoreksi geometrik. 4.1.1 Koreksi Geometrik Citra SPOT 5 tingkat pemrosesan 1A yang digunakan dalam penelitian masih bersifat data mentah (raw image), artinya kesalahan geometrik sistematik dan non sistematik yang diakibatkan mekanisme perekaman sebagai aspek internal sensor dan sifat-sifat bumi sebagai aspek eksternal masih belum diperbaiki, sehingga citra perlu dikoreksi geometrik. Koreksi geometrik untuk memperbaiki kesalahan geometrik dilakukan dengan menggunakan transformasi tiga dimensi atau orthorektifikasi. Orthorektifikasi citra dalam penelitian ini dilakukan menggunakan RPC dan informasi elevasi dari DEM ataupun titik
  • 62. 50 kontrol tanah. Jika citra yang digunakan tidak mempunyai informasi RPC, informasi RPC dapat diperoleh dengan menerapkan model persamaan RPC dengan menggunakan minimal tujuh titik kontrol tanah (untuk transformasi orde 1) hingga 39 (untuk transformasi orde3) (Harintaka dkk, 2006). Dikarenakan citra SPOT yang digunakan telah mengandung informasi RPC dalam header citranya, maka orthorektifikasi dalam penelitian ini dilakukan tanpa menggunakan titik kontrol tanah. Informasi ketinggian pada setiap piksel citra diperoleh dari DEM (digital elevation model) yang diturunkan dari data kontur Peta Rupabumi. Perbandingan citra sebelum dan sesudah koreksi geometrik dapat dilihat pada Gambar 4.1. (a) (b) Gambar 4.1. Citra SPOT-5 sebelum koreksi geometrik (a) dan sesudah koreksi geometrik (b) Ketelitian posisi citra hasil koreksi dapat dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan RMSE (root mean square error). Dalam penelitian ini, ketelitian posisi dinilai secara kualitatif dengan menggunakan data vektor dari Peta Rupabumi Indonesia Bakosurtanal Skala 1:25.000 (Harintaka,
  • 63. 51 2003). Pembandingan dilakukan dengan mentumpangsusunkan antara citra hasil koreksi dengan obyek sungai yang diturunkan dari Peta RBI. Hasil orthorektifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dari Gambar tersebut, obyek sungai dari peta RBI ternyata dapat tepat berimpit dengan kenampakan sungai dari peta. Hasil ini menunjukkan bahwa orthorektifikasi menghasilkan ketelitian posisi yang tinggi. Gambar 4.2 Citra hasil orthorektifikasi 4.1.2 Koreksi Radiometrik Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian ini sudah terkoreksi radiometrik sistematik. Terkoreksi radiometrik sistematik dapat diartikan bahwa kesalahan – kesalahan radiometrik yang berkaitan dengan mekanisme internal sensor sudah dikoreksi oleh stasiun penerima, namun demikian faktor eksternal sensor seperti pengaruh hamburan atmosfer belum tentu sudah terkoreksi (Danoedoro, komunikasi pribadi). Pengaruh hamburan atmosfer dapat diidentifikasi jika terdapat obyek air yang mempunyai nilai piksel lebih dari 0 pada saluran inframerah gelombang pendek (saluran 4 pada sensor SPOT-5).
  • 64. 52 Secara teori, obyek air yang jernih, tenang dan dalam seharusnya mempunyai nilai piksel tidak jauh dari 0. Hal ini dikarenakan obyek air banyak menyerap sinyal elektromagenik matahari pada saluran inframerah gelombang pendek, sehingga respon spektral air pada saluran ini biasanya sangat lemah. Namun jika nilainya bukan 0, maka bisa dipastikan telah terjadi penambahan informasi spektral yang mencapai sensor yang tidak berasal dari obyek air di permukaan bumi, melainkan dari hamburan atmosfer (Danoedoro, 1996). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada seluruh area liputan citra, kenampakan air yang jernih dan dalam (Waduk Sermo) ternyata tidak menunjukkan nilai 0 pada saluran 4 (saluran inframerah gelombang pendek), sehingga bisa dipastikan bahwa ada pengaruh hamburan atmosfer yang menyebabkan peningkatan respon spektral. Koreksi radiometrik citra dilakukan dengan menggunakan metode kalibrasi bayangan. Tahapan dalam koreksi diawali dengan pengambilan pasangan sampel nilai piksel yang merepresentasikan obyek penutup lahan yang sama, yang berada di daerah yang tertutup bayangan awan (Eis) dan daerah yang tidak tertutup bayangan awan (Eit). Dari pembacaan yang dilakukan, diperoleh 10 titik sampel pengamatan yang tersebar merata di seluruh area liputan citra. Informasi nilai piksel pada setiap titik sampel dapat dilihat pada lampiran 1. Penentuan nilai bias atmosfer (Dλ) dilakukan dengan menggunakan analisis regresi antara Eit dan Eis. Persamaan regresi linier yang diperoleh kemudian disubstitusikan ke persamaan 2 untuk memperoleh nilai Dλ. dan nilai bias (Dλ) yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.2. Hasil analisis regresi dan persamaan yang diperoleh serta perhitungan lengkap dapat dilihat pada lampiran 1. Tabel 4.1 Nilai Bias Atmosfer Setiap Saluran Citra SPOT-5 Nama Saluran Nilai bias (Dλ) Saluran 1 (Hijau) 36 Saluran 2 (Merah) 21 Saluran 3 (Inframerah dekat/NIR) 33 Saluran 4 (Inframerah gelombang pendek/SWIR) 21 Sumber: Hasil analisis kalibrasi bayangan, 2008
  • 65. 53 Hasil koreksi radiometrik pada tabel menunjukkan saluran XS1 SPOT merupakan saluran yang paling terpengaruh oleh kondisi atmosfer berupa hamburan yang menyebabkan penambahan pantulan spektral, sehingga respon spektral yang direkam sensor tidak mencerminkan hasil interaksi obyek dengan tenaga matahari yang sebenarnya. Berdasarkan hasil analisis, nilai biasnya cukup tinggi yaitu berkisar 20 hingga 36. Semakin bertambah panjang gelombang, pengaruh hamburan seakin berkurang yang ditandai dengan penurunan nilai bias. Hasil analisis menunjukkan saluran 2, 3 dan 4 mempunyai nilai bias yang lebih rendah dari saluran 1. Hasil yang diperoleh dari operasi restorasi citra adalah citra yang minim kesalahan baik secara radiometrik maupun geometrik untuk digunakan dalam tahapan analisis berikutnya, yaitu pembuatan citra NDVI dan ekstraksi data tutupan kanopi. 4.2 Transformasi NDVI NDVI dirancang untuk dapat memilahkan obyek vegetasi dan bukan vegetasi secara cepat dengan menggunakan informasi karakteristik pantulan vegetasi pada saluran merah dan inframerah dekat. Pantulan vegetasi yang tinggi pada saluran inframerah dekat dan sebaliknya pada saluran merah menyebabkan obyek vegetasi mengumpul di kisaran nilai positif tinggi pada citra NDVI, sedangkan obyek tanah air yang pantulannya lebih tinggi pada saluran merah mengumpul pada nilai positif rendah hingga nol untuk obyek air, dan negatif rendah untuk obyek tanah dan lahan terbangun. Dengan karakteristik tersebut, maka obyek vegetasi, tanah dan air dapat dibedakan dengan mudah menggunakan teknik density slicing. Berdasarkan hasil analisis, NDVI yang diperoleh mempunyai karakteristik julat nilai digital antara -0,5 hingga 0,89. Dari histogram citra pada Gambar 4.3 dapat diketahui bahwa frekuensi nilai digital kebanyakan mengumpul di julat 0,4 hingga 0,8. Hasil ini menunjukkan bahwa daerah penelitian didominasi penutup lahan vegetasi. Hasil inspeksi pada seluruh bagian citra menunjukkan nilai ambang batas (treshold) untuk membedakan obyek vegetasi dan bukan vegetasi
  • 66. 54 adalah 0,4. Dengan demikian maka nilai di bawah 0,4 dari citra NDVI tidak digunakan dalam analisis regresi untuk menurunkan model tutupan kanopi. Nilai yang digunakan adalah julat 0,4 hingga 1 yang mencerminkan obyek vegetasi dengan kondisi tutupan yang bervariasi. Gambar 4.3 Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 -0,50 -0,20 -0,10 -0,10 0,00 0,05 0,11 0,17 0,23 0,29 0,35 0,41 0,47 0,53 0,59 0,65 0,71 0,77 0,83 0,89 Nilai NDVI Frekuensi
  • 67. 55 55
  • 68. 56 4.3 Penggabungan Citra dan Pemetaan Penggunaan Lahan 4.3.1 Penggabungan Citra Pemetaan penggunaan lahan pada skala 1:50.000 memerlukan citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial sama atau lebih tinggi dari 10 meter (Richards dan Jia, 2006). Persyaratan ini menyebabkan citra SPOT-5 multispektral tidak selalu dapat digunakan untuk menurunkan informasi penggunaan lahan pada skala yang menjadi tujuan penelitian. Hambatan ini dapat diatasi dengan menggunakan citra pakromatik yang direkam pada waktu yang sama dengan citra multispektral, namun mempunyai resolusi dan detil spasial yang lebih baik (2,5 meter). Namun demikian, citra ini hanya dapat divisualisasikan secara monokromatik karena direkam pada saluran tunggal. Oleh karena itu, pembedaan obyek dari segi spektral hanya bisa dilakukan dari identifikasi perbedaan rona pada citra. Hal ini membawa kesulitan tersendiri karena saluran pankromatik SPOT hanya peka pada saluran hijau – merah (0,51- 0,73µm), sehingga obyek tertentu seperti vegetasi berdaun jarum kerapatan jarang dan tanah terbuka menunjukkan respon spektral yang hampir seragam sehingga sukar dibedakan dari ronanya. Permasalahan di atas yang mendasari dilakukannya penggabungan citra (image fusion) antara citra multispektral dan pankromatik. Dengan digabungkannya kedua citra, kelebihan –kelebihan dari citra multispektral dan pankromatik dapat diintegrasikan menjadi citra baru yang memiliki kerincian informasi spektral citra multispektral sekaligus kedetilan spasial citra pakromatik. Hasil operasi penggabungan citra dengan susunan komposit warna 432 dan perbandingannya dengan citra asal dapat dilihat pada Gambar 4.5
  • 69. 57 (a) (b) (c) Gambar 4.5 Citra multispektral (a), Citra Pankromatik (b) dan Citra gabungan (c) Penggunaan komposit warna 432 dan algoritma transformasi IHS (Intensity Hue Saturation) untuk menggabungkan citra multispektral dan pankromatik memberikan beberapa kelebihan dilihat dari aspek kegunaannya untuk interpretasi penggunaan lahan. Pelibatan saluran 4 (SWIR) yang peka terhadap kandungan air dalam penyusunan komposit warna memberikan keuntungan berupa kemudahan dalam membedakan obyek tanah terbuka lembab (berasosiasi dengan penggunaan lahan sawah) dan lahan terbangun. Sebaliknya, pada susunan komposit warna semu standar 321 SPOT yang biasa diterapkan pada Citra SPOT 1-3, lahan terbuka lembab dan lahan terbangun tidak dapat dibedakan dengan mudah. Hal ini disebabkan pada saluran 1 dan 2, kedua obyek tersebut mempunyai karakteristik spektral yang mirip. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.6.