SlideShare a Scribd company logo
1 of 29
Download to read offline
Policy Paper


“Implementasi BBG Berbasis Perda 2/2005 Propinsi DKI Jakarta,
                     Mencari Solusi Melalui Insentif Ekonomi”



                                                             Disusun oleh :




                                                      Pelaksana Program :
                                                  John Livingstone Wuisan
                                 Sekretaris Jenderal DPP Mitra Emisi Bersih




                                                    Program Advokasi
          Pemanfaatan BBG Sektor Transportasi Di Propinsi DKI Jakarta
             Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2/2005
                            Tentang Pengendalian Pencemaran Udara


                            Pelaksanaan Program Advokasi Didukung Oleh :
                                      Clean Air Project (CAP) Swisscontact




                                                     MITRA EMISI BERSIH
                                                      © September 2006
Policy Paper :
                              IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                  MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI




                              RINGKASAN EKSEKUTIF


      Dokumen Policy Paper berjudul IMPLEMENTASI BAHAN BAKAR GAS BERBASIS
PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI
ini disusun sebagai salah satu program dan kontribusi Mitra Emisi Bersih – sebagai
institusi nasional multistakeholder yang peduli pada peningkatan kualitas udara,
dimana pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi berpotensi
menurunkan tingkat pencemaran udara, khususnya di daerah urban – dalam
mewujudkan cita-cita udara bersih bagi semua orang.

     Pemanfaatan gas sebagai bahan bakar untuk sektor transportasi di Indonesia
telah dimulai sejak tahun 1986. Selang 20 tahun terakhir ini, penggunaan gas ini
terombang-ambing oleh ketidakjelasan arah yang meliputi keterbatasan sumber-
sumber daya, baik persoalan ketersediaan gas, pipanisasi, biaya dan investasi,
sosialisasi, dan lain sebagainya yang juga terkombinasi dengan inkonsistensi atau
ketidakstabilan kebijakan Pemerintah.

     Kewajiban penggunaan gas untuk kendaraan angkutan umum dan kendaraan
operasional Pemerintah Daerah di wilayah Propinsi DKI Jakarta sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 Peraturan Daerah 2 Tahun 2005 Propinsi DKI Jakarta merupakan
sebuah terobosan dan perkembangan yang cukup menggembirakan. Artinya bahwa
telah ada sebuah kebijakan publik di tingkat Peraturan Daerah yang secara spesifik
mengatur yang harus dilihat sebagai peluang daya dorong bagi percepatan
implementasi gasifikasi kendaraan, sebagaimana telah menjadi harapan banyak
orang setelah melewati masa pasang surut selama 20 tahun. Di tingkat teknis
implementasi, sebuah Draft Peraturan Gubernur tentang kewajiban penggunaan gas
ini telah disusun pada awal sampai pertengahan tahun 2006 (informasi terakhir
sedang dalam proses verbal di Kantor Gubernur DKI Jakarta). Dalam perjalanan
penyusunan Draft Peraturan Gubernur ini, menurut catatan yang ada, persoalan
insentif ekonomi masih menjadi bahan/substansi yang harus dipertajam lebih jauh.
Hal inilah yang kemudian mendorong Mitra Emisi Bersih untuk mengambil bagian
untuk secara khusus menyusun bahan advokasi, yang kemudian berbentuk sebuah
Policy Paper, dimana pada awalnya diarahkan bagi pemilik kendaraan semata-mata,
kemudian berkembang membahas hal-hal yang lebih luas terkait insentif ekonomi.
Cakupan insentif ekonomi dalam dokumen ini secara spesifik menguraikan 5 (lima)
aspek utama, yaitu Terminologi Masa Transisi, Skala Prioritas Target Jenis
Angkutan/Kendaraan, Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis
Angkutan/Kendaraan, Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola Insentif,
dan Para Pelaku lapangan sebagai Penerima Insentif.

    Berbagai rumusan yang ada dalam dokumen ini diharapkan dapat menjadi
bahan masukan bagi pihak-pihak terkait, baik Pemerintah, unsur Swasta, maupun
masyarakat luas untuk dapat mengambil peran masing-masing dalam
mengimplementasikan program atau gerakan gasifikasi kendaraan menuju pada
udara yang lebih bersih.



                                                                                  Halaman-1
Policy Paper :
                                  IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                      MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI




                                        DAFTAR ISI

                                                                                 Halaman

Ringkasan Eksekutif ........................................                            1

Daftar Isi ..............................                                               2

Daftar Tabel ..............................                                             3

Bab I   PENDAHULUAN ..............................                                      4

Bab II DATA HISTORIS DAN SITUASI TERKINI ........................                       6

Bab III GAMBARAN UMUM PROBLEMATIKA ........................               13
        III.A. Masalah Yang Dihadapi Pemakai / Calon Pemakai (hal. 13)
        III.B. Masalah Yang Dihadapi Sistem Penunjang Kendaraan (hal. 14)
        III.C. Masalah Yang Dihadapi Produsen (Pertamina) (hal. 15)
        III.D. Faktor Keselamatan Pemakaian Gas (hal. 16)

Bab IV SKEMA EKONOMI, TINJAUAN SITUASI DAN REKOMENDASI .....                           17
       IV.1. Terminologi Masa Transisi (hal. 17)
       IV.2. Skala Prioritas Target Jenis Angkutan/Kendaraan (hal. 19)
       IV.3. Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis
             Angkutan/Kendaraan (hal. 20)
       IV.4. Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola
             Insentif (hal. 21)
       IV.5. Para Pelaku lapangan sebagai Penerima Insentif (hal. 22)

Lampiran Daftar Referensi ...........................                                  28




                                                                                      Halaman-2
Policy Paper :
                            IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI




DAFTAR GRAFIK DAN TABEL


A. Daftar Grafik

   Grafik 1 :      Perkiraan Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA
                   Metro Jaya, Th. 1990-2015 (hal. 4)
   Grafik 2 :      Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA Metro Jaya,
                   Th. 2005 (hal. 5)
   Grafik 3 :      Perkembangan Harga Bahan Bakar Gas Per LSP Di Indonesia,
                   Th. 1986-2006 (hal. 7)
   Grafik 4 :      Perkembangan Kendaraan Bahan Bakar Gas Di DKI Jakarta, Th.
                   1987-2004 (hal. 7)

B. Daftar Tabel

   Tabel 1   :     Perkembangan Penggunaan Bahan Bakar Gas Di Beberapa
                   Negara (hal. 6)
   Tabel 2   :     Besaran Penjualan Bahan Bakar Gas Sektor Transportasi (CNG
                   dan LPG) Di Indonesia, Th. 1997-2001 (hal. 8)
   Tabel 3   :     Besaran Penjualan Gas Bumi Di Indonesia Menurut Sektor, Th.
                   1999-2003 (hal. 8)
   Tabel 4   :     Daftar Regulasi terkait Penggunaan Gas untuk Sektor
                   Transportasi Di Indonesia (hal. 9-10)




                                                                                Halaman-3
Policy Paper :
                                        IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                            MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI



                                                   Bab I
                                               PENDAHULUAN


      Pertumbuhan kendaraan bermotor yang dikaitkan dengan dampak yang
ditimbulkan terhadap kualitas udara di Indonesia sudah menjadi perhatian dalam
beberapa tahun belakangan. Dalam beberapa hal, persepsi masyarakat tentang
dampak emisi kendaraan terhadap lingkungan hidup, serta apa yang harus dilakukan
dalam mengatasi persoalan tersebut, juga muncul dari pengetahuan terhadap apa
yang telah dilakukan di negara-negara lain. Upaya untuk mengendalikan emisi
kendaraan bermotor memang sudah berlangsung sejak 30 tahun lalu di beberapa
negara, namun kualitas udara di wilayah perkotaan masih merupakan masalah besar
di banyak negara di dunia.

        Tingkat ekonomi yang bertumbuh sebagai bagian dari hasil Pembangunan
Nasional merupakan total hitungan dari berbagai aspek aktivitas, di antaranya
adalah kegiatan industri dan transportasi. Kedua aspek ini jugalah yang sangat
signifikan kontribusinya pada penurunan kualitas udara ambien dan atmosfir.
Penurunan ambien ini terjadi karena emisi yang berasal dari sektor industri,
transportasi, domestik ataupun kebakaran hutan, yang telah melampaui daya
dukung lingkungan sehingga tidak dapat dinetralkan secara alamiah. Dalam konteks
ini, intervensi perubahan sikap dan gaya hidup, teknologi, dan kebijakan menjadi
alternatif utama untuk menjaga udara tetap layak untuk dihirup.

      Dari berbagai aktivitas yang berkontribusi pada tingginya polusi udara di
wilayah perkotaan, sektor transportasi darat yang merupakan kombinasi dari
kendaraan angkutan orang dan barang, mempengaruhi sedikitnya 70%1 dari total
sumber yang ada. Sisi lain, istilah ini lebih tepat dipakai daripada menggunakan
terminologi : sisi negatif, dari pertumbuhan populasi kendaraan sama artinya dengan
peningkatan jumlah unit kendaraan yang memuntahkan polutan-polutan ke udara
setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik. Perkiraan populasi
kendaraan bermotor dalam wilayah hukum Kepolisian Daerah Metro Jaya dapat
digambarkan melalui Grafik2 di bawah ini.




                                                                                   Grafik 1.
           Perkiraan Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA Metro Jaya, Th. 1990-2015
1
    Studi JICA dan SARPEDAL, 1996.
2
    Draft atas revisi pertama (Juli 2002) Asian Development Bank, RETA: 5937 Reducing Vehicles Emissions,
    Integrated Vehicles Emission Reduction Strategy for Greater Jakarta, hal. 14

                                                                                               Halaman-4
Policy Paper :
                                                 IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                                     MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI



Data    resmi   yang                                                                Sepeda Motor,

dikeluarkan instansi3                                                            5,343,211 Unit, 24%


terkait     mencatat                     Sub-Total                                                                             Total (Termasuk
populasi kendaraan                   Non Sepeda Motor,                                                                          Sepeda Motor),
                                      4,004,640 Unit,                                                                          9,347,851 Unit,
bermotor     di  DKI                       18%                                                                                       41%

Jakarta pada tahun
2005     sebagaimana
Grafik berikut ini,                          Bus,
                                                                                                    Total Populasi
yang menggambarkan                       787,230 Unit,
                                              3%          Mobil Beban,                              Di Indonesia,
                                                                                                                      Populasi Kendaraan
besaran prosentase                                       1,187,621 Unit,
                                                                           Mobil Penumpang,
                                                                            2,029,789 Unit,
                                                                                                       19.61%
                                                                                                                     Di Propinsi DKI Jakarta
                                                               5%
populasi DKI Jakarta                                                              9%                                       Tahun 2005

terhadap     populasi
nasional.                                                                                      Grafik 2.
                                      Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA Metro Jaya, Th. 2005

       Pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi adalah salah satu
solusi bagi upaya penurunan polusi udara.

Terobosan hukum yang dilakukan melalui Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta
Nomor 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang mewajibkan
penggunaan bahan bakar gas untuk angkutan umum dan kendaraan operasional
Pemerintah Daerah di wilayah DKI Jakarta merupakan harapan baru bagi percepatan
implementasi BBG Sektor Transportasi yang telah dicanangkan selama 20 tahun
terakhir.

Kepedulian dan partipasi pemilik kendaraan yang diwajibkan menggunakan bahan
bakar gas sesuai Perda 2/2005 tersebut harus dirangsang sedemikian rupa dengan
berbagai pola atau skema ekonomi sehingga tersedia fasilitas bagi mereka
mendukung Program dimaksud. Kesuksesan penerapan bahan bakar gas untuk
angkutan umum, dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah ini, dapat menjadi
acuan utama dan pelajaran berharga bagi program masa datang untuk penerapan
bahan bakar gas bagi kendaraan pribadi.

       Draft Dokumen Kebijakan ini mengangkat alasan-alasan dalam mengajukan
rekomendasi kebijakan dan strategi. Bahan yang disiapkan oleh Mitra Emisi Bersih ini
berisi usulan kebijakan pengurangan emisi kendaraan bermotor berbasis Peraturan
Daerah DKI Jakarta Nomor 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, secara
khusus penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan dengan pendekatan
ketersediaan insentif ekonomi bagi pemilik kendaraan.




3
    Direktorat Lalu Lintas, POLRI, 2006 (InfoLantas).
                                                                                                                                 Halaman-5
Policy Paper :
                                       IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                           MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI



                                              Bab II
                                DATA HISTORIS DAN SITUASI TERKINI


       Sejarah pemakaian bahan bakar gas untuk kendaraan bermotor telah
berlangsung cukup lama. Sebagai contoh, di Italia telah digunakan sejak tahun 1920-
an. Selain di Italia, telah digunakan di beberapa negara lain. Data jumlah kendaraan
berbahan bakar gas di beberapa negara lain berikut jumlah SPBG dan rationya di
beberapa negara menurut data4 European Natural Gas Vehicle Association dan
International Association for Natural Gas Vehicle (IANGV) adalah sebagai berikut :

                  Nama                       Jumlah               Jumlah         Ratio
                  Negara              Kendaraan BBG                 SPBG

          Argentina                           668.480                 923                  724
          Italia                              370.000                 355                1.042
          Federasi Rusia                       30.000                 202                  149
          Canada                               20.505                 222                   92
          USA                                 102.430               1.250                   82
          Brazil                               80.000                 131                  611
          Venezuela                            33.586                 150                  224
          Mesir                                24.115                  45                  536
          Selandia Baru                       12.000                 100                  120
          China                                36.000                  70                  514
          Jepang                                8.053                 138                   58
          Jerman                               10.000                 146                   68
          Pakistan                            200.000                 200                1.000
          Malaysia                              3.700                  18                  206
          Indonesia                             3.000                  12                  250

           Tabel 1.
           Perkembangan Penggunaan Bahan Bakar Gas di Beberapa Negara

Meskipun sejarah penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan bermotor sudah
berlangsung cukup lama, tetapi pertumbuhan jumlah kendaraan yang berbahan-
bakar gas tidak secepat pertumbuhan jumlah kendaraan yang berbahan bakar
minyak. Sampai saat ini5 jumlah kendaraan yang berbahan bakar gas di dunia
diperkirakan baru mencapai 1,7 juta unit. Jumlah tersebut sangat kecil
dibandingkan jumlah kendaraan berbahan bakar bensin dan solar yang diperkirakan
mencapai 99% dari total populasi kendaraan di dunia.

       Di Indonesia, bahan bakar gas ditetapkan oleh pemerintah untuk digunakan
pada sektor transportasi pada bulan Juni 1986, dalam rangka mendukung program
diversifikasi energi serta program lingkungan hidup yang dikenal sebagai Program
Langit Biru. Pada bulan April 1989, gas sebagai bahan bakar kendaraan mulai
dipasarkan secara komersial di Jakarta dengan harga Rp. 190 per Isp (liter setara
premium). Harga ini kemudian naik mencapai Rp. 450 per Isp pada tahun 1998 yang
bertahan hingga November 2004. Secara garis besar, perkembangan harga bahan
bakar gas per lsp sampai saat ini digambarkan pada Grafik6 3.
4
    Laporan Akhir, KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral,
    2003, hal. 14, telah diolah kembali.
5
    Ibid.
6
    Diolah MEB dari berbagai sumber.
                                                                                             Halaman-6
Policy Paper :
                                                         IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                                             MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI



                                                      Perkembangan Harga BBG Per LSP Di Indonesia
                                                                 Tahun 1986 s/d 2006

                          3,500
                                                                                                             3,000
                          3,000
              R .P L P
                                                                                                                                        2,562
               p er S

                          2,500
                          2,000                                                             1,550
                          1,500
                                                                              700
                          1,000          190                 450
                            500
                              0
                                       April 1986            1998           Agustus        November               Februari         Agustus
                                                                             2003                2004              2006             2006

                                                                                    Waktu


                                                                                                      Grafik 3.
                                        Perkembangan Harga Bahan Bakar Gas Per LSP Di Indonesia, Th. 1986-2006

       Perkembangan pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi di DKI
Jakarta tidak terlepas dari posisi DKI Jakarta sebagai lokasi pilot project nasional.
Pemanfaatan gas untuk transportasi dimulai dengan pelaksanaan konversi 300 taksi
di tahun 1987. Jumlah ini meningkat perlahan menjadi ± 4.500 kendaraan dalam
waktu 10 tahun kemudian ditambah dengan sekitar 40 bus besar. Puncaknya pada
tahun 2000, pada saat jumlah kendaraan pengguna gas mencapai angka ± 6.600 unit.
Setelah itu, jumlahnya turun drastis, dan hanya tersisa ± 2.500 di tahun 2002,
bahkan menjadi hanya 534 unit pada tahun 2004. Sementara itu, berkaitan dengan
permasalahan teknis yang dialami PPD dalam mengoperasikan bus berbahan bakar
gas, jumlah bus dimaksud pada tahun 2002 hanya tersisa 5 unit, dan habis sama
sekali di tahun 2004. Grafik7 di bawah ini menggambarkan kondisi tersebut.

                                         Jumlah Kendaraan yang Menggunakan BBG
    7000
                                                                                                                    6633


    6000


                                                                                                   4881   4944
    5000
                                                                                                                           4660
                                                                                           4503


    4000                                                                            3889


                                                                            3000
    3000
                                                                     2565                                                          2500

                                                              2000
    2000
                                                      1479
                                               1 7
                                                01
    1000
                                500     551                                                                                                534
           300           300                                                                40      40      40       25      18     5
      0    1987          1988   1989   1990    1991   1992    1993   1994   1995    1996   1997    1 8
                                                                                                    99    199 9     2000   2 001   20 02   20 04


                                                                                                    Grafik 4.
                                        Perkembangan Kendaraan Bahan Bakar Gas Di DKI Jakarta, Th. 1987-2004


      Di tahun 1998 di Jakarta diperkirakan kendaraan berbahan bakar gas meliputi
3.000 unit taksi dan 110 unit bus milik Perum PPD DKI. Di samping taksi dan bus kota
tersebut, juga telah dioperasikan sekitar 40 unit mikrolet berbahan bakar gas.

7
    Dokumen Rencana Strategis PEMANFAATAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI DI PROPINSI DKI
    JAKARTA, BPLHD DKI Jakarta, 2004
                                                                                                                                        Halaman-7
Policy Paper :
                                            IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                                MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


Sampai dengan tahun 2003 telah dibangun 28 unit SPBG, terdiri dari 21 unit milik
Pertamina dan 7 unit milik swasta. Dari 21 unit SPBG milik Pertamina, yang
beroperasi saat ini hanya 11 unit, sementara dari 7 unit SPBG milik swasta,
beroperasi 6 unit. Total kapasitas dari 28 unit SPBG tersebut sebesar 403.020 Isp per
hari dengan tingkat pemanfaatan baru mencapai 18% dari total kapasitas. Selain
CNG, sejak tahun 1995 LPG juga telah dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk
kendaraan bermotor di Indonesia. Hingga saat ini telah dibangun 18 unit SPB LPG
(SPBE) oleh pihak swasta dimana yang beroperasi hanya 8 unit di Jabotabek.

Seiring dengan perkembangan situasi, di tahun 2003 Gubernur DKI Jakarta
mengeluarkan Instruksi8 untuk melakukan pemeriksaan peralatan konversi bahan
bakar gas di wilayah DKI Jakarta. Laporan Program Aksi yang diterbitkan pada
pertengahan 2004 ini menyebutkan bahwa tersisa 534 unit kendaraan yang masih
menggunakan bahan bakar gas dimana 58,24% dari angka tersebut dinilai memiliki
instalasi peralatan konversi yang tak laik jalan. Di samping itu, dari 14 SPBG dan 12
SPBE yang telah ada di Jakarta, ditemukan hanya 7 SPBG9 yang masih beroperasi.

Perkembangan penggunaan bahan bakar gas untuk transportasi dapat pula dibaca
melalui indikator besaran penjualan10 CNG dan LPG untuk transportasi selang tahun
1997 sampai 2001, sebagai berikut :

                  Tahun                       BBG (LSP)                           LPG (LSP)
                   1997                      20.233.637                           1.148.210
                   1998                      27.501.348                           2.335.454
                   1999                      28.839.000                           1.033.989
                   2000                      27.184.000                           1.068.226
                   2001                      21.766.805                           1.506.394
           Tabel 2.
           Besaran Penjualan Bahan Bakar Gas Sektor Transportasi (CNG dan LPG)
           di Indonesia, Th. 1997-2001

Lebih jauh, besaran pemanfaatan Gas Bumi menurut sektor peruntukkannya dapat
digambarkan pada Tabel11 berikut ini.

                               Penjualan Gas Bumi Menurut Sektor (juta m3)
                                            Industri &
             Tahun      Rumah Tangga                         Transportasi                       Jumlah
                                        Komersialisasi
              1999                12            1.612                 23,1                       1.647
              2000                13            1.908                 21,8                       1.942
              2001                14            2.117                 17,5                       2.148
              2002                15            2.440                 15,6                       2.471
              2003                16            2.682                 15,6                       2.714
          Tabel 3.
          Besaran Penjualan Gas Bumi Menurut Sektor di Indonesia, Th. 1999-2003


8
     Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi Pemeriksaan Peralatan Konversi
     Bahan Bakar Gas Di Wilayah Propinsi DKI Jakarta.
9
     Terdiri dari SPBG di Jl. Tendean-Mampang, Jl. Raya Pasar Minggu, Jl. Raya Pluit, Jl. Pemuda, Jl. Tebet Timur,
     Jl. Boulevard Kelapa Gading, dan Jl. Sumenep.
10
     Laporan Akhir, KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral,
     2003, Bab III.
11
     Sumber : Ditjen MIGAS, Departemen ESDM, dikutip dari Buku Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2005,
     hal. 165.
                                                                                                       Halaman-8
Policy Paper :
                                   IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                       MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


Data yang ada menunjukkan penurunan yang cukup tajam dimana besaran penjualan
gas alam untuk transportasi mencapai angka 23,1 juta m3 di tahun 1999 (saat
jumlah kendaraan berbahan bakar gas mencapai angka 5.000 unit) dan turun
menjadi hanya 15,6 juta m3 pada tahun 2003.



MENCERMATI PENGGUNAAN BBG DI PROPINSI DKI JAKARTA

Bersamaan dengan pencabutan subsidi atas bahan bakar minyak (BBM) yang
dilakukan selang akhir tahun 2005 dan awal 2006, serta dikombinasikan dengan
tingginya harga minyak internasional telah mendorong Pemerintah untuk kembali
menseriusi Bahan Bakar Gas untuk sektor transportasi. Di tanggal 20 Mei 2006,
Presiden RI melakukan Pencanangan Kembali bahan bakar gas ini di sebuah SPBG
yang khusus diperuntukkan untuk pengisian Bus TransJakarta di Jl. Perintis
Kemerdekaan, Jakarta Timur yang sekaligus meresmikan sebuah unit SPBG baru yang
berbasiskan investasi swasta.


Terobosan Regulasi

Terkait dengan pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi, Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan,
sebagaimana Tabel berikut ini.

No.                         No.                                                       Substansi
         Substansi Pokok                        Nama Regulasi
Urut                        Urut                                               Yang Diatur/Diwajibkan
                                   Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor       Semua perusahaan taksi
                                   28 Tahun 1990 tentang Penggunaan Bahan     harus memiliki sedikitnya
                                   Bakar Gas dan Elpiji untuk Angkutan        20% dari total armada
                                   Umum dan Taksi.                            menggunakan BBG/Elpiji.
                            A.1.   Ditindaklanjuti dgn Pengumuman Dinas
                                   Perhubungan     DKI     Jakarta    Nomor
                                   1648/18.11.3219 tertanggal 26 Februari
                                   1990 tentang Kewajiban Penggunaan
                                   BBG/Elpiji untuk Taksi.
                                   Keputusan Menteri Keuangan Nomor           Bea Masuk sebesar 5%.
                            A.2.   1249/KMK.01/1989 ttg Penentuan Tarif
                                   Bea Masuk dari Peralatan Konversi.
                                   Keputusan Menteri Perhubungan Nomor
                                   64/1993 tentang Persyaratan Teknik
                            A.3.
           KENDARAAN               untuk Penggunaan BBG pada Kendaraan
 A.            &                   Bermotor.
       PERALATAN KONVERSI          Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 230
                                   Tahun 2003 tentang Program Aksi
                            A.4.   Pemeriksaan Peralatan Konversi Bahan
                                   Pada Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI
                                   Jakarta.
                                   Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan
                                   Darat Nomor SK.852/AJ.302/DRJD/2004
                            A.5.   tentang Aspek Keselamatan Dan Laik
                                   Jalan Penggunaan Bahan Bakar Gas Untuk
                                   Transportasi.
                                   Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta      Kewajiban menggunakan
                                   Nomor 2/2005 tentang Pengendalian          bahan bakar gas bagi
                            A.6.   Pencemaran Udara (PPU), Pasal 20.          Angkutan     Umum     &
                                                                              Kendaraan    Operasional
                                                                              Pemda di DKI Jakarta.

                                                                                             Halaman-9
Policy Paper :
                                          IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                              MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


                                         Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor       Pembangunan SPBU baru
                                         2508/-1.824.132/1993 tertanggal 3 Agt      diharap juga membangun
                                  B.1.   1993     tentang     Kesediaan     untuk   Dispender untuk BBG.
                                         Membangun/Memasang Dispenser BBG di
                                         SPBU.
                                         Surat Gubernur DKI Jakarta Nomor 2605/-    Perintah Gubernur agar
                                         1.824.133/1994 tertanggal 16 Agt 1994.     tiap pembangunan SPBU
                                  B.2.                                              harus     memprioritaskan
                                                                                    fasilitas dispenser untuk
           BAHAN BAKAR GAS
                                                                                    BBG.
                   &
     B.                                  Keputusan Menteri Keuangan Nomor           Bea Masuk diturunkan
          FASILITAS PENGISIAN
                                         801/KMK.00/1992 tertanggal 23 Juli 1992    menjadi 0% dari angka
           BAHAN BAKAR GAS        B.3.
                                         ttg Penentuan Tarif Bea Masuk Kompresor    sebelumnya 5%.
                                         BBG dan Elpiji.
                                         Surat Keputusan Direktur Jenderal Minyak
                                         dan Gas Nomor 10K/DJM/1993 tentang
                                  B.4.
                                         Spesifikasi   BBG    untuk    Kendaraan
                                         Bermotor.
                                         Surat Keputusan Direktur Pertamina
                                  B.5.   Nomor 10K/DJM/1993 tentang Spesifikasi
                                         BBG untuk Kendaraan Bermotor.
          Tabel 4.
          Daftar Regulasi terkait Penggunaan Gas untuk Sektor Transportasi di Indonesia

Kehadiran Perda 2/2005 Propinsi DKI Jakarta yang mewajibkan penggunaan bahan
bakar gas bagi Angkutan Umum & Kendaraan Operasional Pemerintah Daerah di
wilayah DKI Jakarta adalah regulasi terbaru sekaligus sebuah terobosan bagi
percepatan implementasi bahan bakar gas sektor transportasi, setelah selang 20
tahun digulirkan tidak berkembang sebagaimana diharapkan.

Dibandingkan dengan sebuah Keputusan Gubernur12 yang hanya mewajibkan 20% dari
total armada taksi harus menggunakan bahan bakar gas, serta sebuah Instruksi
Gubernur13 tentang Program Aksi Pemeriksaan, maka posisi Peraturan Daerah
memiliki kekuatan hukum dan konsekuensi kebijakan yang lebih optimal. Sebuah
terobosan hukum yang tentu saja membutuhkan persiapan baik di tingkat regulasi
lanjutan, teknis dan aplikasi lapangan. Keberanian untuk mewajibkan semua
angkutan umum serta kendaraan operasional Pemerintah Daerah harus diimbangi
dengan keseriusan dan konsistensi.

Salah satu hal yang menjadi indikator dari berjalannya Peraturan Daerah ini dapat
dilihat pada operasi Bus TransJakarta. Dari total 146 Unit Busway yang dioperasikan
di 3 koridor, terdapat 56 unit14 kendaraan bus yang menggunakan bahan bakar gas,
yaitu yang melayani rute Koridor Pulo Gadung – Harmoni sebanyak 26 bus dan
Koridor Kali Deres – Harmoni sebanyak 30 bus. 90 bus sisanya yaitu yang melayani
Koridor Blok M – Kota masih menggunakan bahan bakar solar.

Fenomena baru muncul berbasis Peraturan Daerah ini yaitu pada angkutan jenis
Bajaj. Dalam kategori Angkutan Umum berdasarkan UU15 dan Peraturan Daerah16


12
     Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 28 Tahun 1990 tentang Penggunaan Bahan Bakar Gas dan Elpiji untuk
     Angkutan Umum dan Taksi.
13
     Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi Pemeriksaan Peralatan Konversi
     Bahan Pada Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta.
14
     Artikel Kompas, edisi 20 Mei 2006, hal. 26.
15
     Undang-Undang Nomor 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
                                                                                                  Halaman-10
Policy Paper :
                                          IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                              MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


terkait memang Bajaj yang berbasis roda tiga dan kebanyakan bermesin dua-tak,
tidak disebutkan. Fakta lapanganlah yang memberi predikat kepada kendaraan jenis
ini sebagai angkutan yang umum dipakai sehari-hari oleh masyarakat dengan
imbalan nominal uang tertentu, sehingga dari sisi ini dapat disebut angkutan umum.

Bajaj telah menjadi salah satu moda angkutan di Jakarta sejak tahun 1975. Sampai
dengan tahun 1980, impor Bajaj telah mencapai angka 13.335 unit. Dalam catatan17
Dinas Perhubungan DKI Jakarta, populasi Bajaj saat ini di DKI Jakarta adalah
sebanyak 14.600 unit, belum termasuk ± 6.000 unit bajaj ilegal hasil kreativitas
karoseri atau bengkel jalanan. Terkait dengan upaya mendukung Program Langit
Biru18 dan implementasi Perda 2/2005 maka Pemerintah DKI Jakarta telah melaunch
Program Bajaj berbahan bakar gas yang secara simbolis telah dilakukan Gubernur
Sutiyoso pada tanggal 9 Agustus 2006 di Jakarta dengan 7 unit dari total rencana
awal 250 unit bajaj. Menurut informasi19 yang ada, Gubernur Sutiyoso juga telah
menerbitkan ijin pengoperasian bagi 5.000 unit bajaj dimana dalam setiap bulan
terhitung November 2006 akan diproduksi 500 unit. Menariknya lagi, selain
menggunakan bahan bakar gas yang sudah jelas berkategori ramah lingkungan,
mesin yang digunakan berbasis mesin empat-langkah sehingga emisi yang dihasilkan
akan lebih baik.


Implikasi Ekonomi

Keberanian Pemerintah Daerah DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah ini
sesungguhnya memiliki implikasi lanjutan yang berbasis ekonomi, dengan catatan
bahwa sebuah langkah kecil akan diikuti oleh langkah berikutnya secara konsisten,
sebagai berikut :

1. Apabila semua kendaraan penumpang umum (bis kota, mirobis, taksi dan
   mikrolet) yang berjumlah mendekati 100.000 unit dan kendaraan operasional
   Pemerintah Daerah di wilayah DKI Jakarta mengganti bahan bakarnya (bensin dan
   solar) dengan bahan bakar gas, maka potensi kebutuhan gas akan meningkat
   signifikan.

2. Kebutuhan tersebut akan menumbuhkan minat pengusaha SPBG untuk melakukan
   investasi. Dalam konteks awal, Program Revitalisasi20 17 SPBG di wilayah DKI
   Jakarta sebagaimana menjadi komitmen Pertamina menjadi program utama.
   Dengan semakin meningkatnya jumlah kendaraan dan kebutuhan bahan bakar gas
   maka secara otomatis akan menumbuhkan jumlah SPBG seiring dengan naiknya
   tingkat kebutuhan tersebut.

16
     Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 12/2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api,
     Sungai dan Danau serta Penyeberangan di Propinsi DKI Jakarta.
17
     Dikumpulkan MEB dari berbagai sumber artikel media cetak seperti Kompas, Seputar Indonesia, Berita Kota
     dan Media Indonesia selang Agustus 2006, Ketua DPD Organda DKI Jakarta, Djauhari Peranginangin, populasi
     Bajaj di DKI Jakarta sebanyak 15.300 unit.
18
     UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Surat Keputusan Menteri Lingkungan
     Hidup Nomor MenLH-35/1996 tertanggal 26 April 1996 tentang Program Langit Biru.
19
     Artikel pada Harian Berita Kota, edisi 10 Agustus 2006, hal. 11.
20
     Telah menjadi Program Pemerintah di bawah koordinasi Menko Perekonomian untuk akhir Tahun 2006 dimana
     anggaran diturunkan Pemerintah melalui Ditjen MIGAS Dep. ESDM, kerjasama implementasi dengan
     Pertamina.
                                                                                                 Halaman-11
Policy Paper :
                               IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                   MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI



3. Jumlah kendaraan yang akan beralih ke bahan bakar gas adalah jumlah unit yang
   membutuhkan alat konversi (converter kit) dan jasa pemasangan.

4. Jumlah kendaraan berbahan bakar gas yang signifikan akan memicu tumbuhnya
   bengkel-bengkel untuk jenis kendaraan tersebut yang berarti peluang bisnis baru.

5. Pada tingkat harga saat ini dimana premium Rp. 4.500,-/liter dan harga bahan
   bakar gas (CNG) pada level Rp. 2.562 per lsp, dimana perhitungan sementara
   sebuah unit kendaraan (angkutan umum) membutuhkan rata-rata 30 liter per
   hari maka ada selisih harga ± Rp. 2.000 per liter bahan bakar atau ± Rp. 60.000
   per hari. Margin ini adalah keuntungan bagi Pemilik Kendaraan dan juga Sopir
   Angkutan.

6. Dengan biaya modifikasi kendaraan bensin menjadi kendaraan gas saat ini
   sebesar ± Rp. 10.000.000,- sampai Rp. 12.500.000,- dan asumsi masa pakai
   peralatan konversi 5 (lima) tahun, waktu balik modal yang diharapkan pemilik
   kendaraan adalah 2 (dua) tahun maka jenis kendaraan yang secara ekonomis
   berpotensi memanfaatkan gas adalah kendaraan jenis bensin yang mempunyai
   jarak tempuh harian sektar 115 km. Kendaraan bensin yang mempunyai jarak
   tempuh rata-rata sekitar 300 km/hari, seperti armada taksi di DKI, sangat
   berpotensi memanfaatkan gas. Investasi untuk modifikasi akan kembali dalam
   waktu sekitar 8 (delapan) bulan atau maksimal 18 (delapan belas) bulan.

7. Karena biaya modifikasi kendaraan diesel menjadi kendaraan gas masih relatif
   tinggi (di tahun 2003, Rp. 25.000.000,- untuk kendaraan 200 HP), kendaraan
   jenis diesel belum berpotensi memanfaatkan gas. Kendaraan jenis ini, terutama
   yang berukuran besar (200 HP) dan mempunyai jarak tempuh rata-rata 250
   km/hari, akan berpotensi memanfaatkan gas.




                                                                                  Halaman-12
Policy Paper :
                               IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                   MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI



                                     Bab III
                           GAMBARAN UMUM PROBLEMATIKA


       Secara garis besar, berbagai kendala pengembangan pemanfaatan gas untuk
sektor transportasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
       1. Penyebaran SPBG terbatas karena keterbatasan jaringan distribusi pipa
          gas.
       2. Investasi peralatan kompresor dirasa mahal.
       3. Biaya operasi SPBG tinggi terutama biaya untuk listrik.
       4. Partisipasi swasta dalam investasi SPBG kurang.
       5. Conversion Kit masih diimpor, dengan nilai tukar yang terjadi akhir-akhir
          ini tidak menarik bagi konsumen.

Untuk memperjelas kondisi permasalahan yang dihadapi, penjabaran dilakukan
berdasarkan pada Pihak Yang Terlibat secara langsung, sebagai berikut :

A. Masalah Yang Dihadapi Pemakai / Calon Pemakai :

   A.1.   Terbatasnya Informasi / Sosialisasi
          Informasi/sosialisasi tentang keselamatan dan keekonomian pemakai BBG,
          bagaimana mendapatkan Conversion Kit, serta dimana-mana tempat
          penjualan gas (SPBG) masih terbatas. Hasil survey menunjukkan bahwa
          hanya sebagian kecil masyarakat yang telah mendapatkan informasi
          tentang bahan bakar gas.

   A.2.   Kesulitan mendapatkan SPBG
          Jumlah SPBG di DKI Jakarta yang pernah mencapai angka 17 unit, saat ini
          praktis hanya berfungsi sebanyak-banyaknya 7 SPBG.

   A.3.   Harga Conversion Kit yang relatif mahal
          Harga Conversion Kit saat ini berkisar antara Rp. 10 juta sampai Rp. 12,5
          juta termasuk pemasangannya. Bagi golongan kelas menengah yang
          tertarik pada penghematan yang diperoleh dari pemakaian gas akan
          menganggap investasi tersebut terlalu tinggi, sedangkan bagi yang mampu
          penghematan yang diperoleh dengan menggunakan gas tidak begitu
          menarik.

   A.4.   Belum tersebarnya Bengkel dan Toko Suku Cadang
          Pemilik kendaraan gas masih sulit mendapatkan bengkel-bengkel dan toko-
          toko suku cadang untuk menunjang operasi kendaraannya apabila
          mengalami kerusakan.

   A.5.   Meningkatnya frekwensi pengisian bahan bakar
          Tabung premium bisa berisi 30 – 50 liter, sedangkan tabung gas sebesar 40
          liter dapat memuat CNG setara dengan 17 liter premium. Berarti
          frekwensi pengisian bahan bakar akan naik 2 sampai 3 kali dibanding jika
          menggunakan premium.


                                                                                  Halaman-13
Policy Paper :
                                IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                    MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


   A.6.   Menurunnya daya akselerasi kendaraan
          Penggunaan gas akan menurunkan daya akselerasi, hal yang dirasakan
          mengganggu bagi pengemudi taksi yang memerlukan akselerasi tinggi di
          sela-sela kemacetan lalu lintas kota walaupun asumsi ini tidak perlu
          dipikirkan terkait dengan situasi kemacetan yang memang tidak
          terhindarkan di Jakarta.

B. Masalah Yang Dihadapi Sistem Penunjang Kendaraan :

   Dalam hal ini yang termasuk sistem penunjang kendaraan adalah SPBG, Bengkel
   Kendaraan, dan Toko Suku Cadang Peralatan, konsep ini membahas mengenai
   SPBG yang berkaitan langsung dengan konsumen. Hambatan pihak
   pengusaha/pengelola SPBG dalam melayani konsumen antara lain adalah :

   B.1.   Biaya Investasi pembangunan SPBG yang sangat mahal
          Komponen biaya investasi yang besar adalah harga tanah dan sistem
          pemipaan pada lokasi yang jauh dari jalur distribusi pipa gas, di samping
          harga kompresor saat ini berkisar mencapai Rp. 4 – Rp. 5 Milyar, perijinan
          untuk membangun SPBG (CNG) juga mahal dan lama.

   B.2.   Langkanya teknisi yang terlatih
          Operator SPBG yang mampu menangani kerusakan minor pada alat-alat
          SPBG masih sedikit.

   B.3.   Langkanya Suku Cadang SPBG
          Sampai dengan tahun 2004, kesulitan terbesar adalah perawatan
          kompresor, suku cadang untuk kompresor tidak tersedia di pasaran dalam
          negeri dan harus diimpor, sementara sistem penyetokan suku cadang tidak
          diijinkan oleh Departemen Perdagangan. Apabila SPBG mengalami
          kerusakan memerlukan 2–3 bulan untuk beroperasi kembali.

C. Masalah Yang Dihadapi Produsen (Pertamina) :

   Setelah sekian lama (+/- 14 sampai 20 tahun) gas diperkenalkan sebagai usaha
   Pemerintah untuk mengurangi kenaikan pemakaian bbm sektor transportasi,
   pemakaian gas tidak menunjukkan kemajuan yang berarti sehingga produsen
   (Pertamina) mengalami kerugian, yang disebabkan antara lain :

   C.1.   Harga ekonomis bahan bakar gas
          Kendala utama pengembangan usaha gas adalah harga jual yang lebih
          rendah dari harga ekonomisnya di sekitar tahun 2003-2004. Harga
          ekonomis pengadaan gas sampai di SPBG (konsumen) adalah sebesar US$
          24,6 per barel setara premium (bsp) atau sekitar Rp. 1.550,- per lsp pada
          Kurs 1 US$ = Rp. 10.000,- Selang Agustus 2003 sampai November 2004,
          harga jual gas pada konsumen tercatat sebesar Rp. 450,- per lsp atau
          setara US$ 7,16 per bsp. Dengan demikian terdapat selisih harga dan biaya
          gas yang cukup signifikan yaitu Rp. 1.550 dikurangi Rp. 450 = Rp. 1.100 per
          lsp atau US$ 17,44 per bsp, dimana selisih harga tersebut sementara
          ditanggung oleh Pertamina.


                                                                                   Halaman-14
Policy Paper :
                                           IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                               MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


               Terhadap persoalan ini, titik temu telah diperoleh dengan kenaikan harga
               per 1 lsp sebesar Rp. 3.000 terhitung tanggal 1 Februari 2006.
               Bahkan, dalam upaya melakukan percepatan bagi implementasi massal,
               Pertamina setuju untuk menerima turunnya harga mencapai Rp. 2.562 per
               lsp sejak 1 Agustus 2006 yang sekaligus dapat dibaca sebagai keseriusan
               dan komitmen Pertamina21 dan Pemerintah terhadap program gasifikasi
               kendaraan ini.

      C.2.     Tingginya Biaya Operasi SPBG
               Biaya terbesar dalam mengoperasikan SPBG adalah biaya listrik, terutama
               untuk menjalankan kompresor. Sampai tahun 2003, tarip listrik yang
               diberlakukan untuk SPBG dikategorikan sebagai “Tarip Bisnis Besar”
               (B2/B3) yaitu Rp. 130,- s/d Rp. 160,- per lsp atau 73% dari total biaya
               operasional pengelolaan SPBG. Sebagai contoh : kerugian per bulan akibat
               adanya kenaikan tarip listrik yang dilakukan secara bertahap oleh PT. PLN
               yang dialami oleh pengelola SPBG Pertamina di Jakarta sebagai berikut :
               - Jl. Pemuda, kerugian mencapai Rp. 4.598.305,-
               - Jl. Sumenep, kerugian mencapai Rp. 4.196.596,-
               - Jl. Warung Buncit, kerugian mencapai Rp. 4.105.442,-
               Sejumlah kasus di akhir tahun 2003, beberapa Pengelola SPBG di Jakarta
               yang keberatan untuk melanjutkan pengelolaannya, karena mengalami
               kerugian akibat tingginya biaya operasional khusunya dengan kenaikan
               Tarip Dasar Listrik (TDL). Akibat adanya kenaikan Kurs US$ maka harga
               spare parts material untuk perbaikan kompresor SPBG dan biaya
               perawatan cukup tinggi yaitu mencapai Rp. 178,- per lsp atau 40% dari
               harga gas di tingkat Rp. 450,- per lsp.

D. Faktor Keselamatan Pemakaian Gas

      Sisi standarisasi keselamatan pengguna bahan bakar gas sangat terkait dengan
      penggunaan tabung. Meskipun telah diatur sepenuhnya dalam keputusan Menteri
      Perhubungan No. KM 64/1993, namun belum jelas instansi mana yang berhak
      mengadakan pengetesan atau mensertifikasi peralatan kendaraan berbahan
      bakar gas.

      Berbagai peristiwa ledakan pada kendaraan berbahan bakar gas, menurut
      catatan22 yang ada, sedikitnya 17 kali ledakan telah terjadi selang 10 tahun
      terakhir, membuat masyarakat merasa enggan untuk mendukung Program ini.
      Hal ini diperparah dengan tidak cukupnya penjelasan yang diberikan Pemerintah
      atau instansi terkait sehingga banyak opini dan asumsi berkembang di
      masyarakat yang pada akhirnya dapat membangun resistensi publik.

      Sebuah survey23 pendapat masyarakat menunjukkan bahwa sedikitnya 75%
      anggota masyarakat ibukota mengaku masih trauma dengan penggunaan bahan
      bakar gas untuk kendaraan.

21
     Artikel pada harian Kompas, edisi 8 Juli 2006, hal. 18.
22
     Hasil investigasi pribadi Steve Sugita, seorang korban hidup ledakan kendaraan berbahan bakar gas pada
     Januari 1999, diangkat menjadi data dan referensi utama pada Metro Realitas dengan tajuk “Plus Minus BBG,”
     Metro TV, edisi Januari 2006.
23
     Artikel harian IndoPos, edisi 25 Juli 2006, hal. 17.
                                                                                                   Halaman-15
Policy Paper :
                                          IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                              MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI



      Berbagai permasalahan seputar penggunaan bahan bakar gas untuk sektor
transportasi ini memang saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipilah-pilah
secara parsial.

Berbagai kajian yang komprehensif telah dilakukan, baik di tingkat nasional misalnya
melalui sebuah Tim Gas Nasional yang menyelesaikan hasilnya24 pada tahun 2003,
maupun di tingkat Propinsi DKI Jakarta melalui sebuah Kelompok Kerja yang
dikoordinasikan melalui BPLHD Propinsi DKI Jakarta dengan melibatkan unsur
stakeholder dari Pemerintah Pusat dan DKI Jakarta, LSM, jaringan dan dukungan
partner internasional serta sektor swasta yang telah merumuskan berbagai
dokumen25 kerja. Diaturnya kewajiban penggunaan bahan bakar gas untuk angkutan
umum dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah di dalam Pasal 20 Peraturan
Daerah 2/2005 adalah salah satu hasil utama proses percepatan implementasi
gasifikasi kendaraan.

Mengacu pada konteks tersebut maka Mitra Emisi Bersih berpendapat bahwa pintu
masuk bagi percepatan penggunaan gas untuk sektor transportasi dapat diawali
dengan cakupan yang diatur melalui Perda dimaksud yaitu angkutan umum dan
kendaraan operasional Pemerintah Daerah. Dengan tidak mengesampingkan berbagai
problem makro dari penggunaan BBG, misalnya masalah ketersediaan gas, jaringan
pipanisasi, dan lain-lain, pendekatan dapat dilakukan dengan secara langsung fokus
pada upaya memfasilitasi kedua kelompok target dimaksud, khususnya dalam
pengadaan Alat Konversi dan aspek-aspek yang terkait secara langsung.

Untuk target Kendaraan Operasional, persoalan fasilitas dapat dikatakan tidak
bermasalah karena pada prinsipnya unit-unit kendaraan dimaksud dimiliki oleh
Pemerintah Daerah. Intervensi langsung dapat dilakukan oleh Gubernur/Walikota
atau Pimpinan Instansi dengan memanfaatkan kebijakan dan anggaran dinas.

Untuk target Angkutan Umum, persoalan fasilitas atau insentif ekonomi adalah salah
satu hal utama. Beberapa masukan telah menjadi substansi utama yang dibahas oleh
Kelompok Kerja Penyusun Draft Peraturan Gubernur Propinsi DKI Jakarta tentang
Penggunaan Bahan Bakar Gas Untuk Angkutan Umum dan Kendaraan Operasional
Pemerintah Daerah yang merupakan salah satu Petunjuk Teknis Operasional bagi
Perda 2/2005.




24
     KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral, 2003.
25
     Laporan Pelaksanaan Instruksi Gubernur Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi Pemeriksanaan
     Peralatan Konversi Bahan Bakar Gas Pada Kendaraan Bermotor di Wilayah Propinsi DKI Jakarta (BPLHD, 2004),
     Dokumen Rencana Strategis (RENSTRA) Pemanfaatan Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Di Propinsi DKI
     Jakarta (BPLHD, 2004), Dokumen Action Plan Pemanfaatan Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Di Propinsi DKI
     Jakarta (BPLHD, 2005), Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2/2005 dan Draft Final Peraturan
     Gubernur Propinsi DKI Jakarta tentang Penggunaan Bahan Bakar Gas Untuk Angkutan Umum dan Kendaraan
     Operasional Pemerintah Daerah (BPLHD, 2006).
                                                                                                  Halaman-16
Policy Paper :
                                          IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                              MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI



                                              Bab IV
                         SKEMA EKONOMI, TINJAUAN SITUASI DAN REKOMENDASI


       Insentif ekonomi bagi pemilik kendaraan yang dikategorikan angkutan umum
adalah substansi yang telah diangkat oleh berbagai dokumen terkait penggunaan
bahan bakar gas untuk transportasi. Persoalan insentif ini juga telah coba diterobosi
oleh Departemen Perhubungan dengan rencana pengalokasian anggaran pengadaan
conversion kit. Untuk tahap awal26 telah dialokasikan anggaran Rp. 40 milyar untuk
pengadaan 3.900-4.000 unit konverter. Di tingkat Menteri Koordinator, pernyataan
sejenis27 juga disampaikan Menko Perekonomian Budiono bahwa penggunaan bahan
bakar gas untuk transportasi akan dicarikan solusi yang bisa berbentuk subsidi tidak
penuh sampai dengan berbagai instrumen insentif. Menteri Perhubungan
menginformasikan bahwa skema28 yang akan diterapkan dalam distribusi ± 4.000
konverter kit tersebut akan disubsidi Pemerintah sebesar 25%.

Mitra Emisi Bersih berpendapat pada kondisi sekarang, dalam konteks menstimulasi
percepatan penggunaan bahan bakar gas berbasis Perda 2/2005 DKI Jakarta maka
skema atau pola insentif harus mencakup beberapa aspek yang saling terkait satu
sama lain yaitu :
1. Terminologi Masa Transisi,
2. Skala Prioritas Target Jenis Angkutan/Kendaraan,
3. Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis Angkutan/Kendaraan,
4. Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola Insentif, dan
5. Para Pelaku lapangan sebagai Penerima Insentif.

Tinjauan (sekaligus rekomendasi) Skema Ekonomi akan dijabarkan berdasarkan 5
(lima) kelompok dimaksud, sebagai berikut :


1. Terminologi Masa Transisi

      Subyek    : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) dan Produsen Kendaraan
      Instrumen : Kebijakan (Policy) dan Spesifikasi Teknis
      Variabel : Komitmen, Konsekuen, Konsistensi dan Kejelasan.

      Deskripsi      :

      1.1. Pemanfaatan bahan bakar gas yang sedang dilakukan tidak boleh dipisahkan
           dari kebijakan teknis produsen kendaraan bermotor. Apabila telah tercapai
           suatu kondisi permintaan akan kendaraan berbahan bakar gas maka hal ini
           akan dilihat sebagai peluang bisnis bagi pihak produsen yang akan
           memproduksi kendaraan berbahan bakar gas.

26
     Pernyataan Anton Tampubolon, Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Dep. Perhubungan, sebagaimana
     dikutip dari artikel di harian Kompas, edisi 25 April 2006, hal. 18.
27
     Artikel di harian Kompas, edisi 3 Juni 2006, hal. 3.
28
     Informasi yang diperoleh dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Rapat Terbatas Stakeholder tentang isu
     terkait Program Advokasi BBG pada tanggal 24 Agustus 2006, terkonfirmasi melalui berita media pada Liputan
     6 Malam SCTV tanggal 29 Agustus 2006.
                                                                                                   Halaman-17
Policy Paper :
                                        IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                            MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


            Artinya bahwa persoalan skema untuk memfasilitasi pengadaan konverter
            kit tidak lagi menjadi persoalan pada saat kondisi tersebut terjadi.

      1.2. Persoalan skema ekonomi – dengan segala aspek yang terkait - bagi
           kendaraan berbahan bakar non-gas harus terimplementasi simultan dengan
           proses pertumbuhan demand (kebutuhan) akan produksi kendaraan baru
           yang langsung berspesifikasi berbahan bakar gas bensin dari produsen.
           Proses inilah yang dikategorikan sebagai masa transisi29 yang harusnya
           dibatasi pada kurun waktu ± 5 (lima) tahun. Hal ini dikaitkan dengan masa
           pakai kendaraan angkutan umum yang dibatasi masa penggunaannya 7
           tahun atau apabila diperpanjang mencapai 10-12 tahun.

      1.3. Dari total populasi kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta30 di tahun 2005
           sebanyak 86.801 unit, 67,7% di antaranya dibuat sebelum atau pada tahun
           1993, artinya telah memasuki usia sedikitnya 12 tahun. Secara spesifik, data
           kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta berdasarkan analisa tahun
           pembuatan adalah sebagai berikut :

            a. Sebanyak 74% dari total populasi bus besar, dioperasikan oleh 17
               perusahaan, dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah memasuki
               usia pakai sedikitnya 12 tahun.

            b. Sebanyak 96% dari total populasi bus sedang, dioperasikan oleh 5
               perusahaan, dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah memasuki
               usia pakai sedikitnya 12 tahun.

            c. Sebanyak 72% dari total populasi bus kecil (mikrolet dan AWK/KWK
               dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah memasuki usia pakai
               sedikitnya 12 tahun.

            d. Sebanyak 93% dari total populasi kajen IV (bajaj, kancil, toyoko, dan
               APB/bemo) telah dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah
               memasuki usia pakai sedikitnya 12 tahun. Bahkan khusus untuk bajaj dan
               toyoko, 100% kendaraannya tercatat telah beroperasi sedikitnya 15
               tahun yang lalu.

            e. Dan, sebanyak 61% dari total populasi angkutan lain-lain (taksi, mobil
               barang, bus pariwisata, dan bus AKAP) yang dibuat sebelum atau pada
               tahun 1993 atau telah memasuki usia pakai sedikitnya 12 tahun.

          1.4. Dalam konteks usia pakai dimaksud maka kondisi ini merupakan sebuah
               peluang bagi produsen kendaraan untuk memproduksi kendaraan
               berbahan bakar gas sehingga peremajaan yang akan dilakukan tidak lagi
               menggunakan kendaraan non-gas. Tentu saja, hal ini membutuhkan
               kebijakan yang konsisten dari Pemerintah.

29
     Disarikan berdasarkan pemaparan Bp. Helmukti Latif pada Workshop : “IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA
     2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI SKEMA EKONOMI,” dilaksanakan oleh Mitra Emisi
     Bersih pada tanggal 31 Agustus 2006 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.
30
     Diolah dari Buku Laporan Kegiatan Tahunan DINAS PERHUBUNGAN Propinsi DKI Jakarta Selang Januari s/d
     Desember 2005
                                                                                             Halaman-18
Policy Paper :
                               IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                   MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


2. Skala Prioritas Target Jenis Angkutan/Kendaraan

   Subyek    : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah)
   Instrumen : Kebijakan (Policy)
   Variabel : Komitmen, Konsekuen, Konsistensi dan Kejelasan.

   Deskripsi   :

   2.1. Program Pemerintah yang menyangkut kepentingan publik jangka panjang
        membutuhkan persiapan dan pengkondisian yang cukup. Perda 2/2005
        khususnya tentang kewajiban penggunaan BBG untuk transportasi (angkutan
        umum dan kendaraan operasional Pemda) adalah sebuah langkah maju yang
        diharapkan akan terjaga konsistensinya sehingga pihak-pihak terkait bisa
        secara aman, adanya jaminan kepastian, terutama menyangkut hitung-
        hitungan investasi.

   Dari kelompok angkutan umum sebagaimana Pasal 20 Perda PPU, harus
        ditetapkan skala prioritas yang didasarkan pada ketersediaan sumber daya,
        misalnya persoalan keterbatasan SPBG.

        a. Kelompok angkutan umum darat terdiri dari bis besar, bus sedang (metro
           mini, kopaja, dan sejenisnya), bus kecil (mikrolet dan APK/KWK), kajen
           IV (bajaj, kancil, toyoko dan APB/bemo), dan angkutan lain-lain (taksi,
           mobil barang, bus pariwisata, dan bus AKAP). Dari 5 sub-kelompok
           tersebut, bus besar, bus sedang, dan bus kecil beroperasi berdasarkan
           trayek/rute tetap atau point-to-point system, sedangkan jenis kajen IV
           (kecuali bemo) dan jenis lain-lain adalah sub-kelompok yang beroperasi
           tanpa rute atau trayek tetap.

        b. Dalam konteks keterbatasan SPBG, pendekatan point-to-point system
           dapat dipandang sebagai solusi awal dimana sub-kelompok berbasis
           sistem ini (di tahun 2005) adalah mencapai angka 26% dari total populasi
           kendaraan angkutan umum di Jakarta yang terdiri atas 4.438 unit bus
           besar, 4.937 unit bus sedang 12.984 unit mikrolet. Berdasarkan kondisi
           sekarang, ± 40% bus TransJakarta (dikelompokkan sebagai bus besar) dan
           sejumlah kecil mikrolet telah menggunakan bahan bakar gas. Apabila
           kedua jenis angkutan ini yang dianggap paling reliable maka Pemerintah
           harus menetapkannya sebagai urutan teratas Skala Prioritas sehingga
           kebijakan ini dapat ditindaklanjuti pihak-pihak terkait secara jelas,
           tegas dan terukur.

   Salah satu fenomena terkini di DKI Jakarta adalah kebijakan Bajaj berbahan
        bakar gas. Kebijakan ini tentu saja harus diintegrasikan dengan kebijakan
        lainnya sehingga tidak tumpang tindih dan memberi kesan ketidakjelasan
        atau inkonsitensi Pemerintah.

        a. Bajaj tidak dikategorikan angkutan umum, baik dalam UU No. 14/1992
           tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maupun turunan hukumnya di
           tingkat Perda DKI Jakarta No. 12/2003.


                                                                                  Halaman-19
Policy Paper :
                                         IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                             MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


            b. Apabila tidak dikategorikan angkutan umum maka kewajiban penggunaan
               gas sesuai Perda 2/2005 tidak meliputi jenis angkutan Bajaj.


3. Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis Angkutan/Kendaraan

      Subyek    : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) dan Produsen BBG/Kendaraan
      Instrumen : Kebijakan (Policy) dan Spesifikasi Teknis
      Variabel : Konsekuen, Konsistensi, Kejelasan dan Ketersediaan Material.

      Deskripsi     :

      3.1. Jenis bahan bakar gas meliputi CNG (Compressed Natural Gas) dan LPG
           (Liquid Petroleum Gas / Elpiji) dimana Pertamina – sebagai produsen awal
           dan terbesar saat ini - sedang mengembangkan LGV31 (Liquid Gas for
           Vehicle) atau LPG yang khusus dirancang untuk kendaraan bermotor.

      3.2. LGV berbahan dasar LPG yang disesuaikan secara khusus untuk kendaraan
           dengan komposisi 59% propan dan 41% butana dengan nilai oktan yang
           tinggi. Adapun sejumlah perbedaan spesifik antara CNG dan LGV dapat
           diuraikan, sebagai berikut :

            a. Untuk ukuran tabung yang relatif sama seperti yang sekarang
               dipergunakan menampung 15-17 LSP CNG, dapat memuat 40 LSP LGV.

            b. Waktu pengisian tabung dimaksud butir a adalah ± 5 menit untuk 17 LSP
               CNG, dan untuk LGV hanya membutuhkan waktu ± 2 menit untuk 40 LSP
               LGV.

            c. Investasi SPBG (untuk CNG) saat ini membutuhkan dana sebesar ± Rp. 6
               milyar sementara untuk SPBE (untuk LGV) hanya sebesar ± Rp. 500 juta
               dimana biaya pengoperasiannya sendiri, untuk SPBE mencapai angka 90%
               lebih murah dibanding dengan SPBG.

            d. Luas lahan yang dibutuhkan untuk sebuah SPBE adalah sebesar 30% dari
               areal yang diperlukan untuk sebuah SPBG.

            e. Margin keuntungan SPBE adalah setara dengan 7% dari harga jual LGV
               dengan harga ekonomis saat ini Rp. 3.800 per LSP. Bila dibandingkan
               dengan CNG yang sekarang dijual dengan harga Rp. 2.562 maka harga
               LGV lebih mahal. Namun apabila memperhatikan faktor-faktor
               sebagaimana disebutkan pada butir a sampai d, maka harga ini masih
               dikategorikan kompetitif.

      3.3. Dalam pandangan Pertamina, penggunaan CNG akan lebih cocok untuk unit-
           unit kendaraan yang berkapasitas tangki besar, atau juga sedang, sehingga
           tidak perlu kehilangan waktu dalam melakukan pengisian berulang-ulang,

31
     Informasi dari wakil Pertamina dalam Acara Workshop : “IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA /2005 PROPINSI
     DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI SKEMA EKONOMI,” dilaksanakan oleh Mitra Emisi Bersih pada tanggal
     31 Agustus 2006 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.
                                                                                               Halaman-20
Policy Paper :
                               IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                   MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


        misalnya yang sekarang berlaku untuk unit-unit Busway TransJakarta.
        Sedangkan untuk unit-unit kendaraan kecil sebaiknya menggunakan LGV
        dengan pertimbangan kapasitas isi tangki yang lebih banyak.

   3.4. Dengan asumsi-asumsi butir 3.3 di atas, mengacu pada data tahun 2005, ada
        9.375 unit kendaraan bus besar dan bus sedang yang beroperasi di Jakarta
        dimana hanya tercatat 56 unit yang saat ini menggunakan CNG yaitu Busway
        TransJakarta. Selanjutnya, (data yang sama) ada 77.426 unit bus kecil,
        kajen IV dan angkutan jenis lain yang dapat diarahkan untuk menggunakan
        LGV.

   3.5. Dalam hal Pemerintah melihat bahwa kondisi butir 3.3 di atas adalah situasi
        yang paling reliable maka instrumen kebijakan (dengan suatu daya paksa
        tertentu) akan efektif untuk dikombinasikan dengan sejumlah insentif
        ekonomi dalam program gasifikasi kendaraan angkutan umum.

   3.6. Kebijakan dimaksud butir 3.7 dapat dipergunakan Pihak Swasta untuk
        melakukan perhitungan nilai keekonomian dan investasi dalam koridor
        kepastian kebijakan Pemerintah dimana kondisi ini diharapkan akan
        menstimulasi pergerakan potensi publik dalam mendukung Program
        Gasifikasi dimaksud.

        Sebuah contoh sederhana adalah inisiasi awal moda angkutan Busway
        TransJakarta dimana program ini diawali dengan intervensi kebijakan
        Pemerintah DKI Jakarta dan dukungan DPRD, yang sekaligus menyertakan
        dana operasional, sebagaimana yang terjadi pada Koridor I. Setelah
        beberapa bulan pengoperasian Koridor I ini dianggap memiliki nilai ekonomi
        maka pihak Swasta terstimulasi untuk mengambil peran dan pihak
        Pemerintah Daerah DKI Jakarta lebih bertindak sebagai regulator dan
        fasilitator, sebagaimana yang terjadi pada Koridor II dan III, serta
        berikutnya untuk koridor-koridor selanjutnya.

   3.7. Apa yang terjadi dengan cerita awal Busway TransJakarta dapat menjadi
        pelajaran berharga bagi pengembangan dan percepatan pemanfaatan bahan
        bakar gas, khususnya untuk kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta
        berdasarkan Perda 2/2005.


4. Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola Insentif

   Subyek    : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) dan Pihak Swasta
   Instrumen : Kebijakan (Policy) dan Pola Modal
   Variabel : Konsistensi dan Peluang Bisnis.

   Deskripsi   :

   4.1. Pemerintah dapat melakukannya melalui fasilitas kebijakan maupun insentif
        tunai, serta memfasilitasi pihak Swasta dalam melakukan pendampingan
        penyediaan insentif.


                                                                                  Halaman-21
Policy Paper :
                              IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                  MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


   4.2. Pihak Swasta, dengan menggunakan suatu kebijakan tertentu dari
        Pemerintah ataupun berdasarkan jaminan kepastian akan konsistensi dan
        kejelasan arah kebijakan Pemerintah.


5. Insentif bagi Pelaku/Pemain di Lapangan

   Subyek    : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) dan Pihak Swasta
   Instrumen : Kebijakan (Policy) dan Pola Modal
   Variabel : Konsistensi dan Pemberian Fasilitas.

   Deskripsi   :

   5.1. Kelompok Pelaku/Pemain di lapangan dapat dikelompokkan sebagai Pemilik
        Angkutan Umum, Pengusaha/Investasi SPBG, Sopir/Pengemudi Angkutan
        Umum, dan Masyarakat Pengguna.

   5.2. Bagi Pemilik Kendaraan Angkutan Umum, fasilitas atau insentif yang dapat
        diberikan, antara lain :

        a. Pembebasan bea masuk impor barang untuk konverter kit.
           Akan berakibat pada turunnya harga kebutuhan pemilik angkutan.

        b. Skema Subsidi berbasis Dana Bergulir, yang melibatkan Pemerintah
           sebagai Sumber Dana Awal dan Penjamin, dan Pihak Ketiga sebagai Mitra
           Pelaksana.
           Pemerintah dapat menyediakan sejumlah dana tertentu, misalnya
           katakanlah sebesar Rp. 105 milyar (dengan asumsi sederhana 1 (satu)
           unit konverter kit senilai Rp. 10 juta untuk kendaraan kecil dan Rp. 15
           juta untuk bus sedang dan besar, perbandingan antara bus besar dan
           sedang dengan kendaraan kecil di Propinsi DKI Jakarta di tahun 2005
           adalah 9.375 unit berbanding 77.426 atau lebih kurang 1:9 ; berarti
           dana yang tersedia akan cukup untuk mengkonversi total 10.000 unit
           kendaraan, terdiri atas 9.000 kendaraan kecil dan 1.000 bus besar dan
           sedang) yang kemudian menyerahkannya kepada Pihak Ketiga (Pihak
           Perbankan dan/atau Lembaga Pembiayaan) yang akan bertindak sebagai
           Pengelola. Para pemilik kendaraan harus diberi akses sebesar-besarnya
           kepada Pengelola Dana dimana selama masa cicilan, Tim Kecil Pengelola
           akan stand-by, buka loket/counter di SPBG/E yang ditunjuk dimana
           untuk Unit Kendaraan dalam masa cicilan, pada saat mengisi bahan
           bakar akan dikenakan harga BBM. Lalu, selisih harga BBM dan BBG (CNG
           atau LGV) akan langsung dipotong di loket/counter Pengelola Dana.
           Untuk penggunaan CNG (mengacu pada asumsi pemanfaatan oleh bus
           besar atau sedang, nilai konverter kit diasumsikan Rp. 15 juta), untuk
           kendaraan yang awalnya menggunakan bensin, selisih harga adalah Rp.
           4.500 dikurangi Rp. 2.562, sama dengan Rp. 1.938 per LSP, apabila
           penggunaan/pemakaian rata-rata per hari diasumsikan 45 liter atau LSP
           ; berarti tiap unit kendaraan akan memiliki nilai margin Rp. 87.210 per
           hari, maka akan berlaku hitungan sebagai berikut :


                                                                                 Halaman-22
Policy Paper :
                   IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                       MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


-. Apabila potongan yang disepakati adalah 100% maka tiap hari cicilan
    yang akan diserahkan kepada Lembaga Pengelola Dana adalah
    sebesar Rp. 87.210 atau setara dengan Rp. 31.831.650 (apabila
    beroperasi 365 hari) atau Rp. 26.163.000 (apabila beroperasi 300
    hari) atau Rp. 15.261.750 (untuk kendaraan yang beroperasi 175
    hari).
-. Apabila menggunakan asumsi tersebut maka sebuah unit kendaraan
    bus besar atau sedang dapat menyelesaikan masa cicilan dalam
    waktu 175 hari kerja dalam skema 100% setoran harian dari
    margin/selisih harga per LSP.
-. Apabila skema cicilan yang disepakati adalah 50% maka angsuran
    akan dapat diselesaikan dalam waktu 350 hari kerja.
Untuk penggunaan LGV (mengacu pada asumsi pemanfaatan oleh
kendaraan kecil, nilai konverter kit diasumsikan Rp. 10 juta), untuk
kendaraan yang awalnya menggunakan bensin, selisih harga adalah Rp.
4.500 dikurangi Rp. 3.800, sama dengan Rp. 700 per LSP, apabila
penggunaan/pemakaian rata-rata per hari diasumsikan 37,5 liter atau
LSP ; berarti tiap unit kendaraan akan memiliki nilai margin Rp. 26.250
per hari, maka akan berlaku hitungan sebagai berikut :
-. Apabila potongan yang disepakati adalah 100% maka tiap hari cicilan
    yang akan diserahkan kepada Lembaga Pengelola Dana adalah
    sebesar Rp. 26.250 atau setara dengan Rp. 9.581.250 (apabila
    beroperasi 365 hari) atau Rp. 10.106.250 (apabila beroperasi 385
    hari) atau Rp. 10.500.000 (untuk kendaraan yang beroperasi 400
    hari).
-. Apabila menggunakan asumsi tersebut maka sebuah unit kendaraan
    bus besar atau sedang dapat menyelesaikan masa cicilan dalam
    waktu 175 hari kerja dalam skema 100% setoran harian dari
    margin/selisih harga per LSP.
-. Apabila skema cicilan yang disepakati adalah 50% maka angsuran
    akan dapat diselesaikan dalam waktu 765 hari kerja (total cicilan =
    Rp. 10.040.625).
-. Apabila dibandingkan dengan penggunaan CNG maka pola margin
    lebih kecil dinikmati oleh kendaraan berbasis LGV. Untuk itu,
    intervensi subsidi terhadap harga LGV harus dilakukan baik oleh
    subsidi Pemerintah maupun oleh mekanisme pasar dimana Pertamina
    sebagai produsen harus menurunkan harga dalam konteks
    penggunaan yang lebih besar berasal dari kalangan pengguna LGV,
    yaitu 1:9 jumlah populasinya. Kondisi ini seharusnya menjadi
    pertimbangan khusus bagi Pertamina sehingga penggunaan LGV oleh
    kendaraan kecil dapat dimaksimalkan yang akhirnya akan kembali
    juga kepada margin keuntungan Pertamina.
Dalam hal subsidi harga LGV dapat mencapai harga Rp. 3.000 per LSP di
tingkat konsumen maka margin keuntungan per unit kendaraan dapat
dilipatgandakan dan masa cicilan dapat ditekan sampai 1 (satu) tahun
pada basis skema setoran 50%.
Apabila menggunakan asumsi-asumsi di atas maka pada tahun kedua,
dana di tahun kedua untuk kategori bus besar dan sedang, sudah dapat
digulirkan kepada target berikutnya. Asumsi setahun juga dapat dicapai
oleh kelompok kendaraan kecil, dimana dana tahun pertama dapat
                                                                      Halaman-23
Policy Paper :
                       IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                           MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


   digulirkan kepada kelompok penerima berikutnya pada tahun kedua,
   apabila harga LGV dapat ditekan di tingkat Rp. 3.000 per LSP.
   Dalam 5 (lima) tahun dana Pemerintah sebesar Rp. 105 milyar – belum
   memperhitungkan inflasi dan trend harga-harga – akan dapat
   mengkonversi sedikitnya 50.000 unit kendaraan angkutan umum di DKI
   Jakarta atau setara dengan 57,6% dari total populasinya di tahun 2005.
   Sebuah angka yang fantastis dan spektakuler apabila dapat
   diimplementasikan.
   Insentif bagi pihak ketiga yang akan memerankan fungsi Pengelola Dana
   harus disiapkan terpisah oleh Pemerintah sehingga – apabila mungkin –
   pemilik kendaraan akan menikmati dana bergulir tanpa bunga. Kalaupun
   ada maka besaran bunga adalah maksimal 5% per tahun, tanpa uang
   muka, dan nilai bunga itulah yang dimanfaatkan untuk pengoperasikan
   sistem dan monitoring.

c. Subsidi harga bahan bakar gas, baik untuk CNG maupun LGV sehingga
   nilai beli konsumen lebih murah.
   Di hampir semua negara yang memiliki kebijakan penggunaan gas untuk
   sektor transportasi, diberlakukan skenario subsidi Pemerintah untuk
   harga gas rata-rata 50-60%. Selanjutnya, insentif lainnya juga diberikan
   misalnya di Australia ada insentif 500 dollar Australia untuk pembelian
   1 (satu) unit kendaraan LGV serta subsidi Pemerintah sebesar 3,000
   dollar Australia untuk pembelian sebuah unit kendaraan LGV.

d. Subsidi Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah DKI Jakarta) minimal 10%
   dari harga peralatan konversi (converter kit).
   Harus dianggap sebagai insentif untuk menstimulasi gerakan awal
   Pemilik Kendaraan sehingga beban awal terhindarkan dan selisih harga
   bensin dan bahan bakar gas akan langsung terasa pada periode bulan
   pertama. Diharapkan secara psikologis hal ini akan menjadi stimulasi
   yang baik dan sekaligus mengumpulkan modal untuk cicilan kedua
   (cicilan pertama dari Pemilik Kendaraan). Dengan asumsi sementara 1
   unit alat konversi dan pemasangannya membutuhkan dana Rp. 10 juta
   maka apabila target yang mau dicapai sebanyak 10.000 unit kendaraan
   dalam 1 tahun ke depan, Pemerintah harus menyiapkan dana sebesar
   Rp. 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah). Angka ini akan terlihat
   sedikit apabila dibandingkan dengan berjalannya proses diversifikasi
   energi dari sektor transportasi dan penurunan tingkat polusi udara.

e. Kredit lunak untuk Pengadaan Peralatan Konversi dengan bunga 3%, atau
   maksimal 5% per tahun tanpa uang muka.
   Jika digabungkan dengan butir d maka subsidi 10% dapat dianggap
   sebagai cicilan pertama dan sekaligus bernilai untuk menutup bunga
   dengan asumsi masa cicilan maksimal 2 (dua) tahun. Pemilik angkutan
   akan diuntungkan dari sisi pengadaan tanpa modal di bulan pertama
   sekaligus total pembayaran tanpa bunga. Mekanisme kredit sekaligus
   dapat dijamin oleh Pemerintah sehingga lembaga keuangan yang akan
   terlibat merasakan adanya jaminan keamanan dan kepastian
   pengembalian kredit.


                                                                          Halaman-24
Policy Paper :
                      IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                          MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


f. Kepastian harga bahan bakar gas (misalnya CNG) per LSP tetap terjaga
   konsistensinya pada angka Rp. 2.562 setidaknya selama 2 (dua) tahun
   atau bahkan 5 (lima) tahun ke depan.
   Perhitungan waktu ini adalah periode dimana maksimal 2 (dua) tahun
   peralatan konversi dalam tahap cicilan dan pemilik kendaraan, akan
   berimplikasi juga pada Pengusaha SPBG, Bengkel dan Toko Spare Part,
   memiliki kepastian penghitungan. Dalam konteks 2 tahun pertama
   situasi berjalan dengan baik maka mekanisme harga akan mengacu pada
   nilai-nilai ekonomi, walau demikian dengan memperhitungkan masa
   transisi dimaksud butir 1.1 sampai 1.4 di atas dan butir 5.2.b sampai
   5.2.c di atas maka periode 5 (lima) tahun adalah angka ideal.

g. Pengurangan Pajak Kendaraan pada kisaran angka 30% pada tahun
   pertama kendaraan bersangkutan dialihkan berbahan bakar gas, dan
   secara gradual menurun 25% untuk tahun kedua, 20% untuk tahun ketiga,
   15% untuk tahun keempat, dan akhirnya 10% pada tahun kelima dan
   seterusnya.
   Dengan asumsi masa pakai alat konversi pada kisaran 5 (lima) tahun
   maka penurunan secara gradual tersebut akan menyentuh titil 10% pada
   tahun kelima dan sekaligus mengingatkan bahwa alat konversi harus
   ditinjau ulang. Dalam hal, pengadaan alat konversi baru maka pola
   pengurangan pajak kembali dihitung sebagai tahun pertama.

h. Pembebasan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebesar 10%.
   Merupakan insentif bagi pengguna bahan bakar gas dalam konteks
   diversifikasi dan penghematan energi nasional.

i. Dalam hal umur kendaraan telah mencapai angka kadaluarsa maka
   Angkutan Umum berbasis bahan bakar gas mendapat prioritas
   peremajaan sesuai dengan Ijin Trayek yang ada.
   Insentif tambahan yang berimplikasi pada kepastian peremajaan
   angkutan.

j. Uji Berkala Kendaraan Bermotor (Angkutan Umum) gratis untuk 1 (satu)
   tahun pertama.
   Sebuah instrumen insentif yang mengarahkan Pemilik Kendaraan untuk
   memeriksakan secara berkala kendaraannya dimana proses ini sangat
   terkait dengan aspek kelaikan jalan dan keselamatan yang menjadi
   salah satu permasalahan utama implementasi BBG selang 10 tahun
   terakhir. Dengan asumsi bahwa di tahun pertama (2007) akan ada
   10.000 unit kendaraan umum yang berbahan bakar gas dan biaya Uji
   Berkala adalah sebesar Rp. 200.000,- maka unsur pendapatan daerah
   yang akan “hilang” adalah sebesar Rp. 2.000.000.000 (dua milyar
   rupiah). Kehilangan angka ini dapat menjadi bagian subsidi Pemerintah
   Daerah DKI Jakarta yang tentu saja akan dikonversikan dengan turunnya
   biaya kesehatan dan lingkungan oleh karena penggunaan BBG.

   Bagi Pengusaha/Investasi SPBG, fasilitas atau insentif yang dapat
   diberikan, antara lain berupa :


                                                                         Halaman-25
Policy Paper :
                    IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                        MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


a. Jaminan kepastian akan arah dan kebijakan Pemerintah yang akan
   berimplikasi pada tumbuhnya populasi kendaraan berbahan bakar
   gas, dan akhirnya meningkatkan kebutuhan gas, yang ditempuh
   melalui intervensi kebijakan.

b. Pembebasan bea masuk barang impor untuk peralatan SPBG berupa
   dispenser, booster dan lain sebagainya.

c. Subsidi atas biaya listrik yang digunakan di SPBG sampai dengan
   tercapainya angka ideal kebutuhan gas.

Bagi Masyarakat Pengguna, fasilitas atau insentif yang dapat diberikan,
antara lain :

a. Jaminan keselamatan penggunaan kendaraan berbahan bakar gas,
   yang harus ditempuh dengan Kebijakan/Regulasi, intervensi teknologi
   dan investasi, serta pengawalan yang ketat atas implementasi di
   lapangan, mulai dari jaminan tabung, peralatan konversi, sampai
   pada SPBG dengan menggunakan standarisasi yang diakui.

b. Sosialisasi seluas-luasnya kepada masyarakat tentang hal-hal yang
   terkait dengan penggunaan bahan bakar gas sebagai kebijakan yang
   telah ditempuh Pemerintah, termasuk rencana kerja dan hasil-hasil
   yang telah dicapai.

c. Insentif tarif khusus untuk angkutan umum yang menggunakan bahan
   bakar gas yang relatif lebih murah dari kendaraan berbahan bakar
   non-gas sehingga masyarakat pengguna akan diarahkan untuk memilih
   karena alasan ekonomi. Kondisi ini pada akhirnya akan memberi
   keuntungan bagi angkutan umum dimaksud terkait dengan tingginya
   animo masyakarat dalam menjatuhkan pilihan, dan meningkatnya
   pendapatan. Dari sisi angkutan umum non-gas, situasi ini akan
   menstimulus mereka untuk beralih ke gas sehingga seiring dengan
   perkembangan waktu, peningkatan kebutuhan, konsistensi kebijakan
   Pemerintah dan semakin akrabnya masyarakat maka populasi total
   angkutan umum yang berbahan bakar gas dapat terwujud setahap
   demi setahap.

Bagi Sopir/Pengemudi, fasilitas atau insentif yang dapat diberikan,
antara lain :

a. Penurunan besaran setoran yang ditetapkan oleh pemilik angkutan
   sehingga margin bagi sopir dapat lebih besar. Kondisi ini, dianalogkan
   dengan situasi digambarkan oleh butir 5.4.c di atas akan
   menstimulasi sopir angkutan umum non-gas untuk beralih ke gas.

b. Jaminan waktu pengisian bahan bakar di SPBG harus relatif singkat
   sehingga tidak memaksa terjadinya antrian yang akhirnya
   berimplikasi pada kehilangan waktu. Hal ini membutuhkan intervensi
   teknologi dan investasi dari pihak SPBG.
                                                                       Halaman-26
Policy Paper :
                             IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                                 MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI


          c. Hal-hal yang terkait dengan jaminan kelancaran operasi di lapangan
             yang merupakan kombinasi dari butir-butir di atas akan merupakan
             insentif maksimal bagi para sopir.

      Rumusan Skema Ekonomi yang merujuk 5 (lima) aspek dengan masing-masing
memiliki kelompok subyek maupun obyek tersebut adalah sejumlah pilihan yang
tentu saja dapat dianggap sebagai sebuah paket ataupun dipilah berdasarkan
kemampuan yang tersedia dan opsi-opsi yang paling realible untuk dilaksanakan.
Sebuah harga mati yang tidak dapat ditawar sesungguhnya adalah kepastian
(komitmen, konsekuen dan konsistensi) Kebijakan Pemerintah dimana variabel ini
adalah landasan bagi pihak-pihak terkait lainnya yaitu sektor swasta dan unsur
masyarakat untuk menindaklanjutinya di tingkat implementasi.




                                                                                Halaman-27
Policy Paper :
                        IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA,
                                            MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI



Lampiran Referensi :

1. KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi &
   Sumber Daya Mineral, 2003.
2. Laporan Kegiatan, Pelaksanaan Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor
   230/2003 tentang Program Aksi Pemeriksaan Peralatan Konversi Bahan
   Bakar Gas pada Kendaraan Bermotor di wilayah Propinsi DKI Jakarta,
   BPLHD DKI Jakarta, 2004.
3. Dokumen Rencana Strategis PEMANFAATAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK
   TRANSPORTASI DI PROPINSI DKI JAKARTA, Badan Pengelolaan Lingkungan
   Hidup (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta, 2004.
4. Dokumen Action Plan PEMANFAATAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK
   TRANSPORTASI DI PROPINSI DKI JAKARTA, Badan Pengelolaan Lingkungan
   Hidup (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta, 2005.
5. Buku Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 12/2003 tentang Lalu
   Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau serta
   Penyeberangan di Propinsi DKI Jakarta.
6. Buku Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2/2005 tentang
   Pengendalian Pencemaran Udara.
7. Dokumen Draft Final Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang
   Penggunaan Bahan Bakar Gas untuk Angkutan Umum dan Kendaraan
   Operasional Pemerintah Daerah, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
   (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta, 2006.
8. STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (SLHI) 2005, Kementerian
   Lingkungan Hidup, 2006.
9. Berbagai informasi dan data yang dihimpun dari media massa.




                                                                           Halaman-28

More Related Content

What's hot

Dirjen keuda kemendagri dak bappenas 2021
Dirjen keuda kemendagri dak bappenas 2021Dirjen keuda kemendagri dak bappenas 2021
Dirjen keuda kemendagri dak bappenas 2021BappedaLampungUtara
 
sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022
sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022
sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022BappedaLampungUtara
 
Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Bad...
Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah  dengan Bad...Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah  dengan Bad...
Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Bad...infosanitasi
 
Penjelasan atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010
Penjelasan atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010Penjelasan atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010
Penjelasan atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010Joy Irman
 
Kelembagaan Birokrasi yang Efisien dan Efektif
Kelembagaan Birokrasi yang Efisien dan Efektif Kelembagaan Birokrasi yang Efisien dan Efektif
Kelembagaan Birokrasi yang Efisien dan Efektif Dadang Solihin
 
Permen no.19 th_2016 ttg pedoman pengelolaan barang milik daerah
Permen no.19 th_2016 ttg pedoman pengelolaan barang milik daerahPermen no.19 th_2016 ttg pedoman pengelolaan barang milik daerah
Permen no.19 th_2016 ttg pedoman pengelolaan barang milik daerahUlfah Hanum
 
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaanPedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaanPenataan Ruang
 
Bab iv konsultasi publik larap tol
Bab iv konsultasi publik larap tolBab iv konsultasi publik larap tol
Bab iv konsultasi publik larap tolKotjo Negoro
 
Laporan dan Rekomendasi Temu Nasional Pengelola Pengadaan Tahun 2015
Laporan dan Rekomendasi Temu Nasional Pengelola Pengadaan Tahun 2015Laporan dan Rekomendasi Temu Nasional Pengelola Pengadaan Tahun 2015
Laporan dan Rekomendasi Temu Nasional Pengelola Pengadaan Tahun 2015Khalid Mustafa
 
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pengelolaan Barang Milik Negara/DaerahPengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pengelolaan Barang Milik Negara/DaerahOswar Mungkasa
 
Paparan ibu yola sosialisasi permen pencatatan sdmpk
Paparan ibu yola   sosialisasi permen pencatatan sdmpkPaparan ibu yola   sosialisasi permen pencatatan sdmpk
Paparan ibu yola sosialisasi permen pencatatan sdmpkgatot sudjito
 
Study LARAP Tol KATARAJA - KAMAL MUARA-RAJEG
Study LARAP Tol KATARAJA - KAMAL MUARA-RAJEGStudy LARAP Tol KATARAJA - KAMAL MUARA-RAJEG
Study LARAP Tol KATARAJA - KAMAL MUARA-RAJEGKotjo Negoro
 
Bab vii jadwal dan pembiayaan larap tol_ok
Bab vii jadwal dan pembiayaan larap tol_okBab vii jadwal dan pembiayaan larap tol_ok
Bab vii jadwal dan pembiayaan larap tol_okKotjo Negoro
 
Konsolidasi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dan 12 Tahun 2021 tentang ...
Konsolidasi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dan 12 Tahun 2021 tentang ...Konsolidasi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dan 12 Tahun 2021 tentang ...
Konsolidasi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dan 12 Tahun 2021 tentang ...Nurul Angreliany
 
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presi...
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presi...Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presi...
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presi...infosanitasi
 
Bab iii rencana larap tol_rev
Bab iii rencana  larap tol_revBab iii rencana  larap tol_rev
Bab iii rencana larap tol_revKotjo Negoro
 
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik DaerahPeraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerahinfosanitasi
 
Contoh Perjanjian Kerjasama Konsorsium Riset Terbaru (Beli Perjanjian, Hub: 0...
Contoh Perjanjian Kerjasama Konsorsium Riset Terbaru (Beli Perjanjian, Hub: 0...Contoh Perjanjian Kerjasama Konsorsium Riset Terbaru (Beli Perjanjian, Hub: 0...
Contoh Perjanjian Kerjasama Konsorsium Riset Terbaru (Beli Perjanjian, Hub: 0...GLC
 

What's hot (18)

Dirjen keuda kemendagri dak bappenas 2021
Dirjen keuda kemendagri dak bappenas 2021Dirjen keuda kemendagri dak bappenas 2021
Dirjen keuda kemendagri dak bappenas 2021
 
sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022
sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022
sambutan menteri ppn sosialisasi dak 2022
 
Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Bad...
Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah  dengan Bad...Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah  dengan Bad...
Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Bad...
 
Penjelasan atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010
Penjelasan atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010Penjelasan atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010
Penjelasan atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010
 
Kelembagaan Birokrasi yang Efisien dan Efektif
Kelembagaan Birokrasi yang Efisien dan Efektif Kelembagaan Birokrasi yang Efisien dan Efektif
Kelembagaan Birokrasi yang Efisien dan Efektif
 
Permen no.19 th_2016 ttg pedoman pengelolaan barang milik daerah
Permen no.19 th_2016 ttg pedoman pengelolaan barang milik daerahPermen no.19 th_2016 ttg pedoman pengelolaan barang milik daerah
Permen no.19 th_2016 ttg pedoman pengelolaan barang milik daerah
 
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaanPedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
 
Bab iv konsultasi publik larap tol
Bab iv konsultasi publik larap tolBab iv konsultasi publik larap tol
Bab iv konsultasi publik larap tol
 
Laporan dan Rekomendasi Temu Nasional Pengelola Pengadaan Tahun 2015
Laporan dan Rekomendasi Temu Nasional Pengelola Pengadaan Tahun 2015Laporan dan Rekomendasi Temu Nasional Pengelola Pengadaan Tahun 2015
Laporan dan Rekomendasi Temu Nasional Pengelola Pengadaan Tahun 2015
 
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pengelolaan Barang Milik Negara/DaerahPengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
 
Paparan ibu yola sosialisasi permen pencatatan sdmpk
Paparan ibu yola   sosialisasi permen pencatatan sdmpkPaparan ibu yola   sosialisasi permen pencatatan sdmpk
Paparan ibu yola sosialisasi permen pencatatan sdmpk
 
Study LARAP Tol KATARAJA - KAMAL MUARA-RAJEG
Study LARAP Tol KATARAJA - KAMAL MUARA-RAJEGStudy LARAP Tol KATARAJA - KAMAL MUARA-RAJEG
Study LARAP Tol KATARAJA - KAMAL MUARA-RAJEG
 
Bab vii jadwal dan pembiayaan larap tol_ok
Bab vii jadwal dan pembiayaan larap tol_okBab vii jadwal dan pembiayaan larap tol_ok
Bab vii jadwal dan pembiayaan larap tol_ok
 
Konsolidasi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dan 12 Tahun 2021 tentang ...
Konsolidasi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dan 12 Tahun 2021 tentang ...Konsolidasi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dan 12 Tahun 2021 tentang ...
Konsolidasi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dan 12 Tahun 2021 tentang ...
 
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presi...
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presi...Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presi...
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presi...
 
Bab iii rencana larap tol_rev
Bab iii rencana  larap tol_revBab iii rencana  larap tol_rev
Bab iii rencana larap tol_rev
 
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik DaerahPeraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah
 
Contoh Perjanjian Kerjasama Konsorsium Riset Terbaru (Beli Perjanjian, Hub: 0...
Contoh Perjanjian Kerjasama Konsorsium Riset Terbaru (Beli Perjanjian, Hub: 0...Contoh Perjanjian Kerjasama Konsorsium Riset Terbaru (Beli Perjanjian, Hub: 0...
Contoh Perjanjian Kerjasama Konsorsium Riset Terbaru (Beli Perjanjian, Hub: 0...
 

Viewers also liked

07 ministry of esdm, evita legowo
07   ministry of esdm, evita legowo07   ministry of esdm, evita legowo
07 ministry of esdm, evita legowobocah666
 
05 toyota manufacturing, eko rudianto
05   toyota manufacturing, eko rudianto05   toyota manufacturing, eko rudianto
05 toyota manufacturing, eko rudiantobocah666
 
08 ministry of esdm, evita legowo
08   ministry of esdm, evita legowo08   ministry of esdm, evita legowo
08 ministry of esdm, evita legowobocah666
 
07 meb, ibnu s andika
07   meb, ibnu s andika07   meb, ibnu s andika
07 meb, ibnu s andikabocah666
 
05 pertamina, yuttie nurianti
05   pertamina, yuttie nurianti05   pertamina, yuttie nurianti
05 pertamina, yuttie nuriantibocah666
 
09 lubrizol, jason chong
09   lubrizol, jason chong09   lubrizol, jason chong
09 lubrizol, jason chongbocah666
 
06 toyota manufacturing, eko rudianto
06   toyota manufacturing, eko rudianto06   toyota manufacturing, eko rudianto
06 toyota manufacturing, eko rudiantobocah666
 

Viewers also liked (9)

07 ministry of esdm, evita legowo
07   ministry of esdm, evita legowo07   ministry of esdm, evita legowo
07 ministry of esdm, evita legowo
 
05 toyota manufacturing, eko rudianto
05   toyota manufacturing, eko rudianto05   toyota manufacturing, eko rudianto
05 toyota manufacturing, eko rudianto
 
08 ministry of esdm, evita legowo
08   ministry of esdm, evita legowo08   ministry of esdm, evita legowo
08 ministry of esdm, evita legowo
 
07 meb, ibnu s andika
07   meb, ibnu s andika07   meb, ibnu s andika
07 meb, ibnu s andika
 
Api eolcs
Api eolcsApi eolcs
Api eolcs
 
05 pertamina, yuttie nurianti
05   pertamina, yuttie nurianti05   pertamina, yuttie nurianti
05 pertamina, yuttie nurianti
 
09 lubrizol, jason chong
09   lubrizol, jason chong09   lubrizol, jason chong
09 lubrizol, jason chong
 
06 toyota manufacturing, eko rudianto
06   toyota manufacturing, eko rudianto06   toyota manufacturing, eko rudianto
06 toyota manufacturing, eko rudianto
 
Api eolcs
Api eolcsApi eolcs
Api eolcs
 

Similar to 07 meb, ibnu s andika

PPT- Heri - MENKEU- -OECD Stakeholder Dialogue on Mobilising Clean Energy Fin...
PPT- Heri - MENKEU- -OECD Stakeholder Dialogue on Mobilising Clean Energy Fin...PPT- Heri - MENKEU- -OECD Stakeholder Dialogue on Mobilising Clean Energy Fin...
PPT- Heri - MENKEU- -OECD Stakeholder Dialogue on Mobilising Clean Energy Fin...OECD Environment
 
P-DJPPR_menkeu-instrumen-pendanaan-dan-fasilitas-fiskal-untuk-pengembangan-en...
P-DJPPR_menkeu-instrumen-pendanaan-dan-fasilitas-fiskal-untuk-pengembangan-en...P-DJPPR_menkeu-instrumen-pendanaan-dan-fasilitas-fiskal-untuk-pengembangan-en...
P-DJPPR_menkeu-instrumen-pendanaan-dan-fasilitas-fiskal-untuk-pengembangan-en...AdrianSyaifullah2
 
Kebijakan_Perubahan_Iklim_di_Indonesia_dan_Peran_Pemerintah_Daerah_dalam_Penc...
Kebijakan_Perubahan_Iklim_di_Indonesia_dan_Peran_Pemerintah_Daerah_dalam_Penc...Kebijakan_Perubahan_Iklim_di_Indonesia_dan_Peran_Pemerintah_Daerah_dalam_Penc...
Kebijakan_Perubahan_Iklim_di_Indonesia_dan_Peran_Pemerintah_Daerah_dalam_Penc...SubhanRiski
 
Pedoman Proyek Karbon v1
Pedoman Proyek Karbon v1Pedoman Proyek Karbon v1
Pedoman Proyek Karbon v1Rini Sucahyo
 
Carbon Pricing dan kesiapan penerapannya di Indonesia
Carbon Pricing dan kesiapan penerapannya di IndonesiaCarbon Pricing dan kesiapan penerapannya di Indonesia
Carbon Pricing dan kesiapan penerapannya di IndonesiaAndi Samyanugraha
 
Presentasi project exit strategy palangkaraya
Presentasi project exit strategy palangkarayaPresentasi project exit strategy palangkaraya
Presentasi project exit strategy palangkarayaMellianae Merkusi
 
Paparan Launching CBT dan RCBT (1).pdf
Paparan Launching CBT dan RCBT (1).pdfPaparan Launching CBT dan RCBT (1).pdf
Paparan Launching CBT dan RCBT (1).pdfIcha925318
 
Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/...
Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/...Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/...
Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/...Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
 
Commuter rail study indonesian 0
Commuter rail study   indonesian 0Commuter rail study   indonesian 0
Commuter rail study indonesian 0tedy2629
 
Paparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptx
Paparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptxPaparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptx
Paparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptxHartantyUtami1
 
Contoh MoU Penetapan dan Penegasan Batas Desa Kab. Merangin-Provinsi Jambi
Contoh MoU Penetapan dan Penegasan Batas Desa Kab. Merangin-Provinsi JambiContoh MoU Penetapan dan Penegasan Batas Desa Kab. Merangin-Provinsi Jambi
Contoh MoU Penetapan dan Penegasan Batas Desa Kab. Merangin-Provinsi JambiPanembahan Senopati Sudarmanto
 
03 Bahan Diklat DJPK.pdf
03 Bahan Diklat DJPK.pdf03 Bahan Diklat DJPK.pdf
03 Bahan Diklat DJPK.pdfdinkes4
 
Plastik ramah lingkungan semestinya bebas cukai
Plastik ramah lingkungan semestinya bebas cukaiPlastik ramah lingkungan semestinya bebas cukai
Plastik ramah lingkungan semestinya bebas cukaiBiotani & Bahari Indonesia
 
INPRES NO 2 TH 2022.pptx
INPRES NO 2 TH 2022.pptxINPRES NO 2 TH 2022.pptx
INPRES NO 2 TH 2022.pptxssuserbf9df1
 
20200713165436_PETUNJUK_TEKNIS_PENYUSUNAN_RKAKL_TA_2021_TK_PERTAMA_DAN_TK_BAN...
20200713165436_PETUNJUK_TEKNIS_PENYUSUNAN_RKAKL_TA_2021_TK_PERTAMA_DAN_TK_BAN...20200713165436_PETUNJUK_TEKNIS_PENYUSUNAN_RKAKL_TA_2021_TK_PERTAMA_DAN_TK_BAN...
20200713165436_PETUNJUK_TEKNIS_PENYUSUNAN_RKAKL_TA_2021_TK_PERTAMA_DAN_TK_BAN...pparocan
 
01. Bahan Pembekalan UUCK_v14.pdf
01. Bahan Pembekalan UUCK_v14.pdf01. Bahan Pembekalan UUCK_v14.pdf
01. Bahan Pembekalan UUCK_v14.pdfssuser1681ec
 
Konsultasi Publik ENDC_rev.pdf
Konsultasi Publik ENDC_rev.pdfKonsultasi Publik ENDC_rev.pdf
Konsultasi Publik ENDC_rev.pdfNatuurScaffeee
 
PAPARAN SDS TEMATIK 80 (1).pdf
PAPARAN SDS TEMATIK 80 (1).pdfPAPARAN SDS TEMATIK 80 (1).pdf
PAPARAN SDS TEMATIK 80 (1).pdfberti6
 

Similar to 07 meb, ibnu s andika (20)

PPT- Heri - MENKEU- -OECD Stakeholder Dialogue on Mobilising Clean Energy Fin...
PPT- Heri - MENKEU- -OECD Stakeholder Dialogue on Mobilising Clean Energy Fin...PPT- Heri - MENKEU- -OECD Stakeholder Dialogue on Mobilising Clean Energy Fin...
PPT- Heri - MENKEU- -OECD Stakeholder Dialogue on Mobilising Clean Energy Fin...
 
P-DJPPR_menkeu-instrumen-pendanaan-dan-fasilitas-fiskal-untuk-pengembangan-en...
P-DJPPR_menkeu-instrumen-pendanaan-dan-fasilitas-fiskal-untuk-pengembangan-en...P-DJPPR_menkeu-instrumen-pendanaan-dan-fasilitas-fiskal-untuk-pengembangan-en...
P-DJPPR_menkeu-instrumen-pendanaan-dan-fasilitas-fiskal-untuk-pengembangan-en...
 
Msf 4 printed version
Msf 4 printed versionMsf 4 printed version
Msf 4 printed version
 
Kebijakan_Perubahan_Iklim_di_Indonesia_dan_Peran_Pemerintah_Daerah_dalam_Penc...
Kebijakan_Perubahan_Iklim_di_Indonesia_dan_Peran_Pemerintah_Daerah_dalam_Penc...Kebijakan_Perubahan_Iklim_di_Indonesia_dan_Peran_Pemerintah_Daerah_dalam_Penc...
Kebijakan_Perubahan_Iklim_di_Indonesia_dan_Peran_Pemerintah_Daerah_dalam_Penc...
 
Pedoman Proyek Karbon v1
Pedoman Proyek Karbon v1Pedoman Proyek Karbon v1
Pedoman Proyek Karbon v1
 
Carbon Pricing dan kesiapan penerapannya di Indonesia
Carbon Pricing dan kesiapan penerapannya di IndonesiaCarbon Pricing dan kesiapan penerapannya di Indonesia
Carbon Pricing dan kesiapan penerapannya di Indonesia
 
Presentasi project exit strategy palangkaraya
Presentasi project exit strategy palangkarayaPresentasi project exit strategy palangkaraya
Presentasi project exit strategy palangkaraya
 
Paparan Launching CBT dan RCBT (1).pdf
Paparan Launching CBT dan RCBT (1).pdfPaparan Launching CBT dan RCBT (1).pdf
Paparan Launching CBT dan RCBT (1).pdf
 
Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/...
Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/...Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/...
Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/...
 
Commuter rail study indonesian 0
Commuter rail study   indonesian 0Commuter rail study   indonesian 0
Commuter rail study indonesian 0
 
Paparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptx
Paparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptxPaparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptx
Paparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptx
 
Contoh MoU Penetapan dan Penegasan Batas Desa Kab. Merangin-Provinsi Jambi
Contoh MoU Penetapan dan Penegasan Batas Desa Kab. Merangin-Provinsi JambiContoh MoU Penetapan dan Penegasan Batas Desa Kab. Merangin-Provinsi Jambi
Contoh MoU Penetapan dan Penegasan Batas Desa Kab. Merangin-Provinsi Jambi
 
03 Bahan Diklat DJPK.pdf
03 Bahan Diklat DJPK.pdf03 Bahan Diklat DJPK.pdf
03 Bahan Diklat DJPK.pdf
 
Iptek pada pertambangan
Iptek pada pertambanganIptek pada pertambangan
Iptek pada pertambangan
 
Plastik ramah lingkungan semestinya bebas cukai
Plastik ramah lingkungan semestinya bebas cukaiPlastik ramah lingkungan semestinya bebas cukai
Plastik ramah lingkungan semestinya bebas cukai
 
INPRES NO 2 TH 2022.pptx
INPRES NO 2 TH 2022.pptxINPRES NO 2 TH 2022.pptx
INPRES NO 2 TH 2022.pptx
 
20200713165436_PETUNJUK_TEKNIS_PENYUSUNAN_RKAKL_TA_2021_TK_PERTAMA_DAN_TK_BAN...
20200713165436_PETUNJUK_TEKNIS_PENYUSUNAN_RKAKL_TA_2021_TK_PERTAMA_DAN_TK_BAN...20200713165436_PETUNJUK_TEKNIS_PENYUSUNAN_RKAKL_TA_2021_TK_PERTAMA_DAN_TK_BAN...
20200713165436_PETUNJUK_TEKNIS_PENYUSUNAN_RKAKL_TA_2021_TK_PERTAMA_DAN_TK_BAN...
 
01. Bahan Pembekalan UUCK_v14.pdf
01. Bahan Pembekalan UUCK_v14.pdf01. Bahan Pembekalan UUCK_v14.pdf
01. Bahan Pembekalan UUCK_v14.pdf
 
Konsultasi Publik ENDC_rev.pdf
Konsultasi Publik ENDC_rev.pdfKonsultasi Publik ENDC_rev.pdf
Konsultasi Publik ENDC_rev.pdf
 
PAPARAN SDS TEMATIK 80 (1).pdf
PAPARAN SDS TEMATIK 80 (1).pdfPAPARAN SDS TEMATIK 80 (1).pdf
PAPARAN SDS TEMATIK 80 (1).pdf
 

More from bocah666

06 meb, ibnu s andika
06   meb, ibnu s andika06   meb, ibnu s andika
06 meb, ibnu s andikabocah666
 
04 sk energy, j. rock lee
04   sk energy, j. rock lee04   sk energy, j. rock lee
04 sk energy, j. rock leebocah666
 
02 h.e. purnomo yusgiantoro
02   h.e. purnomo yusgiantoro02   h.e. purnomo yusgiantoro
02 h.e. purnomo yusgiantorobocah666
 
03 vice chairman of maspi, nugraha kartasasmita
03   vice chairman of maspi, nugraha kartasasmita03   vice chairman of maspi, nugraha kartasasmita
03 vice chairman of maspi, nugraha kartasasmitabocah666
 
01 welcoming remarks, sanusi wiradimaja
01   welcoming remarks, sanusi wiradimaja01   welcoming remarks, sanusi wiradimaja
01 welcoming remarks, sanusi wiradimajabocah666
 
3 gaikindo
3 gaikindo3 gaikindo
3 gaikindobocah666
 
2 itb tatang
2 itb tatang2 itb tatang
2 itb tatangbocah666
 
1 lubrizol
1 lubrizol1 lubrizol
1 lubrizolbocah666
 
0 keynote pertamina
0 keynote pertamina0 keynote pertamina
0 keynote pertaminabocah666
 
Basic ghs workshop maspi final shorten 16 feb 2010
Basic ghs workshop maspi final shorten   16 feb 2010Basic ghs workshop maspi final shorten   16 feb 2010
Basic ghs workshop maspi final shorten 16 feb 2010bocah666
 
Varnish in turbine lube
Varnish in turbine lubeVarnish in turbine lube
Varnish in turbine lubebocah666
 
Disk. ilm.maspi 1 des 09
Disk. ilm.maspi   1 des 09Disk. ilm.maspi   1 des 09
Disk. ilm.maspi 1 des 09bocah666
 
Materi pak tri yus
Materi pak tri yusMateri pak tri yus
Materi pak tri yusbocah666
 

More from bocah666 (20)

06 meb, ibnu s andika
06   meb, ibnu s andika06   meb, ibnu s andika
06 meb, ibnu s andika
 
04 sk energy, j. rock lee
04   sk energy, j. rock lee04   sk energy, j. rock lee
04 sk energy, j. rock lee
 
02 h.e. purnomo yusgiantoro
02   h.e. purnomo yusgiantoro02   h.e. purnomo yusgiantoro
02 h.e. purnomo yusgiantoro
 
03 vice chairman of maspi, nugraha kartasasmita
03   vice chairman of maspi, nugraha kartasasmita03   vice chairman of maspi, nugraha kartasasmita
03 vice chairman of maspi, nugraha kartasasmita
 
01 welcoming remarks, sanusi wiradimaja
01   welcoming remarks, sanusi wiradimaja01   welcoming remarks, sanusi wiradimaja
01 welcoming remarks, sanusi wiradimaja
 
7 lemigas
7 lemigas7 lemigas
7 lemigas
 
6 corelab
6 corelab6 corelab
6 corelab
 
5 pln
5 pln5 pln
5 pln
 
4 ciba
4 ciba4 ciba
4 ciba
 
3 gaikindo
3 gaikindo3 gaikindo
3 gaikindo
 
2 itb tatang
2 itb tatang2 itb tatang
2 itb tatang
 
1 shell
1 shell1 shell
1 shell
 
3 itb
3 itb3 itb
3 itb
 
2 roh max
2 roh max2 roh max
2 roh max
 
1 lubrizol
1 lubrizol1 lubrizol
1 lubrizol
 
0 keynote pertamina
0 keynote pertamina0 keynote pertamina
0 keynote pertamina
 
Basic ghs workshop maspi final shorten 16 feb 2010
Basic ghs workshop maspi final shorten   16 feb 2010Basic ghs workshop maspi final shorten   16 feb 2010
Basic ghs workshop maspi final shorten 16 feb 2010
 
Varnish in turbine lube
Varnish in turbine lubeVarnish in turbine lube
Varnish in turbine lube
 
Disk. ilm.maspi 1 des 09
Disk. ilm.maspi   1 des 09Disk. ilm.maspi   1 des 09
Disk. ilm.maspi 1 des 09
 
Materi pak tri yus
Materi pak tri yusMateri pak tri yus
Materi pak tri yus
 

07 meb, ibnu s andika

  • 1. Policy Paper “Implementasi BBG Berbasis Perda 2/2005 Propinsi DKI Jakarta, Mencari Solusi Melalui Insentif Ekonomi” Disusun oleh : Pelaksana Program : John Livingstone Wuisan Sekretaris Jenderal DPP Mitra Emisi Bersih Program Advokasi Pemanfaatan BBG Sektor Transportasi Di Propinsi DKI Jakarta Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2/2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara Pelaksanaan Program Advokasi Didukung Oleh : Clean Air Project (CAP) Swisscontact MITRA EMISI BERSIH © September 2006
  • 2. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI RINGKASAN EKSEKUTIF Dokumen Policy Paper berjudul IMPLEMENTASI BAHAN BAKAR GAS BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI ini disusun sebagai salah satu program dan kontribusi Mitra Emisi Bersih – sebagai institusi nasional multistakeholder yang peduli pada peningkatan kualitas udara, dimana pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi berpotensi menurunkan tingkat pencemaran udara, khususnya di daerah urban – dalam mewujudkan cita-cita udara bersih bagi semua orang. Pemanfaatan gas sebagai bahan bakar untuk sektor transportasi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1986. Selang 20 tahun terakhir ini, penggunaan gas ini terombang-ambing oleh ketidakjelasan arah yang meliputi keterbatasan sumber- sumber daya, baik persoalan ketersediaan gas, pipanisasi, biaya dan investasi, sosialisasi, dan lain sebagainya yang juga terkombinasi dengan inkonsistensi atau ketidakstabilan kebijakan Pemerintah. Kewajiban penggunaan gas untuk kendaraan angkutan umum dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah di wilayah Propinsi DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Peraturan Daerah 2 Tahun 2005 Propinsi DKI Jakarta merupakan sebuah terobosan dan perkembangan yang cukup menggembirakan. Artinya bahwa telah ada sebuah kebijakan publik di tingkat Peraturan Daerah yang secara spesifik mengatur yang harus dilihat sebagai peluang daya dorong bagi percepatan implementasi gasifikasi kendaraan, sebagaimana telah menjadi harapan banyak orang setelah melewati masa pasang surut selama 20 tahun. Di tingkat teknis implementasi, sebuah Draft Peraturan Gubernur tentang kewajiban penggunaan gas ini telah disusun pada awal sampai pertengahan tahun 2006 (informasi terakhir sedang dalam proses verbal di Kantor Gubernur DKI Jakarta). Dalam perjalanan penyusunan Draft Peraturan Gubernur ini, menurut catatan yang ada, persoalan insentif ekonomi masih menjadi bahan/substansi yang harus dipertajam lebih jauh. Hal inilah yang kemudian mendorong Mitra Emisi Bersih untuk mengambil bagian untuk secara khusus menyusun bahan advokasi, yang kemudian berbentuk sebuah Policy Paper, dimana pada awalnya diarahkan bagi pemilik kendaraan semata-mata, kemudian berkembang membahas hal-hal yang lebih luas terkait insentif ekonomi. Cakupan insentif ekonomi dalam dokumen ini secara spesifik menguraikan 5 (lima) aspek utama, yaitu Terminologi Masa Transisi, Skala Prioritas Target Jenis Angkutan/Kendaraan, Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis Angkutan/Kendaraan, Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola Insentif, dan Para Pelaku lapangan sebagai Penerima Insentif. Berbagai rumusan yang ada dalam dokumen ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak terkait, baik Pemerintah, unsur Swasta, maupun masyarakat luas untuk dapat mengambil peran masing-masing dalam mengimplementasikan program atau gerakan gasifikasi kendaraan menuju pada udara yang lebih bersih. Halaman-1
  • 3. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI DAFTAR ISI Halaman Ringkasan Eksekutif ........................................ 1 Daftar Isi .............................. 2 Daftar Tabel .............................. 3 Bab I PENDAHULUAN .............................. 4 Bab II DATA HISTORIS DAN SITUASI TERKINI ........................ 6 Bab III GAMBARAN UMUM PROBLEMATIKA ........................ 13 III.A. Masalah Yang Dihadapi Pemakai / Calon Pemakai (hal. 13) III.B. Masalah Yang Dihadapi Sistem Penunjang Kendaraan (hal. 14) III.C. Masalah Yang Dihadapi Produsen (Pertamina) (hal. 15) III.D. Faktor Keselamatan Pemakaian Gas (hal. 16) Bab IV SKEMA EKONOMI, TINJAUAN SITUASI DAN REKOMENDASI ..... 17 IV.1. Terminologi Masa Transisi (hal. 17) IV.2. Skala Prioritas Target Jenis Angkutan/Kendaraan (hal. 19) IV.3. Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis Angkutan/Kendaraan (hal. 20) IV.4. Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola Insentif (hal. 21) IV.5. Para Pelaku lapangan sebagai Penerima Insentif (hal. 22) Lampiran Daftar Referensi ........................... 28 Halaman-2
  • 4. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI DAFTAR GRAFIK DAN TABEL A. Daftar Grafik Grafik 1 : Perkiraan Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA Metro Jaya, Th. 1990-2015 (hal. 4) Grafik 2 : Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA Metro Jaya, Th. 2005 (hal. 5) Grafik 3 : Perkembangan Harga Bahan Bakar Gas Per LSP Di Indonesia, Th. 1986-2006 (hal. 7) Grafik 4 : Perkembangan Kendaraan Bahan Bakar Gas Di DKI Jakarta, Th. 1987-2004 (hal. 7) B. Daftar Tabel Tabel 1 : Perkembangan Penggunaan Bahan Bakar Gas Di Beberapa Negara (hal. 6) Tabel 2 : Besaran Penjualan Bahan Bakar Gas Sektor Transportasi (CNG dan LPG) Di Indonesia, Th. 1997-2001 (hal. 8) Tabel 3 : Besaran Penjualan Gas Bumi Di Indonesia Menurut Sektor, Th. 1999-2003 (hal. 8) Tabel 4 : Daftar Regulasi terkait Penggunaan Gas untuk Sektor Transportasi Di Indonesia (hal. 9-10) Halaman-3
  • 5. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Bab I PENDAHULUAN Pertumbuhan kendaraan bermotor yang dikaitkan dengan dampak yang ditimbulkan terhadap kualitas udara di Indonesia sudah menjadi perhatian dalam beberapa tahun belakangan. Dalam beberapa hal, persepsi masyarakat tentang dampak emisi kendaraan terhadap lingkungan hidup, serta apa yang harus dilakukan dalam mengatasi persoalan tersebut, juga muncul dari pengetahuan terhadap apa yang telah dilakukan di negara-negara lain. Upaya untuk mengendalikan emisi kendaraan bermotor memang sudah berlangsung sejak 30 tahun lalu di beberapa negara, namun kualitas udara di wilayah perkotaan masih merupakan masalah besar di banyak negara di dunia. Tingkat ekonomi yang bertumbuh sebagai bagian dari hasil Pembangunan Nasional merupakan total hitungan dari berbagai aspek aktivitas, di antaranya adalah kegiatan industri dan transportasi. Kedua aspek ini jugalah yang sangat signifikan kontribusinya pada penurunan kualitas udara ambien dan atmosfir. Penurunan ambien ini terjadi karena emisi yang berasal dari sektor industri, transportasi, domestik ataupun kebakaran hutan, yang telah melampaui daya dukung lingkungan sehingga tidak dapat dinetralkan secara alamiah. Dalam konteks ini, intervensi perubahan sikap dan gaya hidup, teknologi, dan kebijakan menjadi alternatif utama untuk menjaga udara tetap layak untuk dihirup. Dari berbagai aktivitas yang berkontribusi pada tingginya polusi udara di wilayah perkotaan, sektor transportasi darat yang merupakan kombinasi dari kendaraan angkutan orang dan barang, mempengaruhi sedikitnya 70%1 dari total sumber yang ada. Sisi lain, istilah ini lebih tepat dipakai daripada menggunakan terminologi : sisi negatif, dari pertumbuhan populasi kendaraan sama artinya dengan peningkatan jumlah unit kendaraan yang memuntahkan polutan-polutan ke udara setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik. Perkiraan populasi kendaraan bermotor dalam wilayah hukum Kepolisian Daerah Metro Jaya dapat digambarkan melalui Grafik2 di bawah ini. Grafik 1. Perkiraan Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA Metro Jaya, Th. 1990-2015 1 Studi JICA dan SARPEDAL, 1996. 2 Draft atas revisi pertama (Juli 2002) Asian Development Bank, RETA: 5937 Reducing Vehicles Emissions, Integrated Vehicles Emission Reduction Strategy for Greater Jakarta, hal. 14 Halaman-4
  • 6. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Data resmi yang Sepeda Motor, dikeluarkan instansi3 5,343,211 Unit, 24% terkait mencatat Sub-Total Total (Termasuk populasi kendaraan Non Sepeda Motor, Sepeda Motor), 4,004,640 Unit, 9,347,851 Unit, bermotor di DKI 18% 41% Jakarta pada tahun 2005 sebagaimana Grafik berikut ini, Bus, Total Populasi yang menggambarkan 787,230 Unit, 3% Mobil Beban, Di Indonesia, Populasi Kendaraan besaran prosentase 1,187,621 Unit, Mobil Penumpang, 2,029,789 Unit, 19.61% Di Propinsi DKI Jakarta 5% populasi DKI Jakarta 9% Tahun 2005 terhadap populasi nasional. Grafik 2. Populasi Kendaraan Bermotor di wilayah POLDA Metro Jaya, Th. 2005 Pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi adalah salah satu solusi bagi upaya penurunan polusi udara. Terobosan hukum yang dilakukan melalui Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang mewajibkan penggunaan bahan bakar gas untuk angkutan umum dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah di wilayah DKI Jakarta merupakan harapan baru bagi percepatan implementasi BBG Sektor Transportasi yang telah dicanangkan selama 20 tahun terakhir. Kepedulian dan partipasi pemilik kendaraan yang diwajibkan menggunakan bahan bakar gas sesuai Perda 2/2005 tersebut harus dirangsang sedemikian rupa dengan berbagai pola atau skema ekonomi sehingga tersedia fasilitas bagi mereka mendukung Program dimaksud. Kesuksesan penerapan bahan bakar gas untuk angkutan umum, dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah ini, dapat menjadi acuan utama dan pelajaran berharga bagi program masa datang untuk penerapan bahan bakar gas bagi kendaraan pribadi. Draft Dokumen Kebijakan ini mengangkat alasan-alasan dalam mengajukan rekomendasi kebijakan dan strategi. Bahan yang disiapkan oleh Mitra Emisi Bersih ini berisi usulan kebijakan pengurangan emisi kendaraan bermotor berbasis Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, secara khusus penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan dengan pendekatan ketersediaan insentif ekonomi bagi pemilik kendaraan. 3 Direktorat Lalu Lintas, POLRI, 2006 (InfoLantas). Halaman-5
  • 7. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Bab II DATA HISTORIS DAN SITUASI TERKINI Sejarah pemakaian bahan bakar gas untuk kendaraan bermotor telah berlangsung cukup lama. Sebagai contoh, di Italia telah digunakan sejak tahun 1920- an. Selain di Italia, telah digunakan di beberapa negara lain. Data jumlah kendaraan berbahan bakar gas di beberapa negara lain berikut jumlah SPBG dan rationya di beberapa negara menurut data4 European Natural Gas Vehicle Association dan International Association for Natural Gas Vehicle (IANGV) adalah sebagai berikut : Nama Jumlah Jumlah Ratio Negara Kendaraan BBG SPBG Argentina 668.480 923 724 Italia 370.000 355 1.042 Federasi Rusia 30.000 202 149 Canada 20.505 222 92 USA 102.430 1.250 82 Brazil 80.000 131 611 Venezuela 33.586 150 224 Mesir 24.115 45 536 Selandia Baru 12.000 100 120 China 36.000 70 514 Jepang 8.053 138 58 Jerman 10.000 146 68 Pakistan 200.000 200 1.000 Malaysia 3.700 18 206 Indonesia 3.000 12 250 Tabel 1. Perkembangan Penggunaan Bahan Bakar Gas di Beberapa Negara Meskipun sejarah penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan bermotor sudah berlangsung cukup lama, tetapi pertumbuhan jumlah kendaraan yang berbahan- bakar gas tidak secepat pertumbuhan jumlah kendaraan yang berbahan bakar minyak. Sampai saat ini5 jumlah kendaraan yang berbahan bakar gas di dunia diperkirakan baru mencapai 1,7 juta unit. Jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan jumlah kendaraan berbahan bakar bensin dan solar yang diperkirakan mencapai 99% dari total populasi kendaraan di dunia. Di Indonesia, bahan bakar gas ditetapkan oleh pemerintah untuk digunakan pada sektor transportasi pada bulan Juni 1986, dalam rangka mendukung program diversifikasi energi serta program lingkungan hidup yang dikenal sebagai Program Langit Biru. Pada bulan April 1989, gas sebagai bahan bakar kendaraan mulai dipasarkan secara komersial di Jakarta dengan harga Rp. 190 per Isp (liter setara premium). Harga ini kemudian naik mencapai Rp. 450 per Isp pada tahun 1998 yang bertahan hingga November 2004. Secara garis besar, perkembangan harga bahan bakar gas per lsp sampai saat ini digambarkan pada Grafik6 3. 4 Laporan Akhir, KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral, 2003, hal. 14, telah diolah kembali. 5 Ibid. 6 Diolah MEB dari berbagai sumber. Halaman-6
  • 8. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Perkembangan Harga BBG Per LSP Di Indonesia Tahun 1986 s/d 2006 3,500 3,000 3,000 R .P L P 2,562 p er S 2,500 2,000 1,550 1,500 700 1,000 190 450 500 0 April 1986 1998 Agustus November Februari Agustus 2003 2004 2006 2006 Waktu Grafik 3. Perkembangan Harga Bahan Bakar Gas Per LSP Di Indonesia, Th. 1986-2006 Perkembangan pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi di DKI Jakarta tidak terlepas dari posisi DKI Jakarta sebagai lokasi pilot project nasional. Pemanfaatan gas untuk transportasi dimulai dengan pelaksanaan konversi 300 taksi di tahun 1987. Jumlah ini meningkat perlahan menjadi ± 4.500 kendaraan dalam waktu 10 tahun kemudian ditambah dengan sekitar 40 bus besar. Puncaknya pada tahun 2000, pada saat jumlah kendaraan pengguna gas mencapai angka ± 6.600 unit. Setelah itu, jumlahnya turun drastis, dan hanya tersisa ± 2.500 di tahun 2002, bahkan menjadi hanya 534 unit pada tahun 2004. Sementara itu, berkaitan dengan permasalahan teknis yang dialami PPD dalam mengoperasikan bus berbahan bakar gas, jumlah bus dimaksud pada tahun 2002 hanya tersisa 5 unit, dan habis sama sekali di tahun 2004. Grafik7 di bawah ini menggambarkan kondisi tersebut. Jumlah Kendaraan yang Menggunakan BBG 7000 6633 6000 4881 4944 5000 4660 4503 4000 3889 3000 3000 2565 2500 2000 2000 1479 1 7 01 1000 500 551 534 300 300 40 40 40 25 18 5 0 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1 8 99 199 9 2000 2 001 20 02 20 04 Grafik 4. Perkembangan Kendaraan Bahan Bakar Gas Di DKI Jakarta, Th. 1987-2004 Di tahun 1998 di Jakarta diperkirakan kendaraan berbahan bakar gas meliputi 3.000 unit taksi dan 110 unit bus milik Perum PPD DKI. Di samping taksi dan bus kota tersebut, juga telah dioperasikan sekitar 40 unit mikrolet berbahan bakar gas. 7 Dokumen Rencana Strategis PEMANFAATAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI DI PROPINSI DKI JAKARTA, BPLHD DKI Jakarta, 2004 Halaman-7
  • 9. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Sampai dengan tahun 2003 telah dibangun 28 unit SPBG, terdiri dari 21 unit milik Pertamina dan 7 unit milik swasta. Dari 21 unit SPBG milik Pertamina, yang beroperasi saat ini hanya 11 unit, sementara dari 7 unit SPBG milik swasta, beroperasi 6 unit. Total kapasitas dari 28 unit SPBG tersebut sebesar 403.020 Isp per hari dengan tingkat pemanfaatan baru mencapai 18% dari total kapasitas. Selain CNG, sejak tahun 1995 LPG juga telah dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk kendaraan bermotor di Indonesia. Hingga saat ini telah dibangun 18 unit SPB LPG (SPBE) oleh pihak swasta dimana yang beroperasi hanya 8 unit di Jabotabek. Seiring dengan perkembangan situasi, di tahun 2003 Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Instruksi8 untuk melakukan pemeriksaan peralatan konversi bahan bakar gas di wilayah DKI Jakarta. Laporan Program Aksi yang diterbitkan pada pertengahan 2004 ini menyebutkan bahwa tersisa 534 unit kendaraan yang masih menggunakan bahan bakar gas dimana 58,24% dari angka tersebut dinilai memiliki instalasi peralatan konversi yang tak laik jalan. Di samping itu, dari 14 SPBG dan 12 SPBE yang telah ada di Jakarta, ditemukan hanya 7 SPBG9 yang masih beroperasi. Perkembangan penggunaan bahan bakar gas untuk transportasi dapat pula dibaca melalui indikator besaran penjualan10 CNG dan LPG untuk transportasi selang tahun 1997 sampai 2001, sebagai berikut : Tahun BBG (LSP) LPG (LSP) 1997 20.233.637 1.148.210 1998 27.501.348 2.335.454 1999 28.839.000 1.033.989 2000 27.184.000 1.068.226 2001 21.766.805 1.506.394 Tabel 2. Besaran Penjualan Bahan Bakar Gas Sektor Transportasi (CNG dan LPG) di Indonesia, Th. 1997-2001 Lebih jauh, besaran pemanfaatan Gas Bumi menurut sektor peruntukkannya dapat digambarkan pada Tabel11 berikut ini. Penjualan Gas Bumi Menurut Sektor (juta m3) Industri & Tahun Rumah Tangga Transportasi Jumlah Komersialisasi 1999 12 1.612 23,1 1.647 2000 13 1.908 21,8 1.942 2001 14 2.117 17,5 2.148 2002 15 2.440 15,6 2.471 2003 16 2.682 15,6 2.714 Tabel 3. Besaran Penjualan Gas Bumi Menurut Sektor di Indonesia, Th. 1999-2003 8 Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi Pemeriksaan Peralatan Konversi Bahan Bakar Gas Di Wilayah Propinsi DKI Jakarta. 9 Terdiri dari SPBG di Jl. Tendean-Mampang, Jl. Raya Pasar Minggu, Jl. Raya Pluit, Jl. Pemuda, Jl. Tebet Timur, Jl. Boulevard Kelapa Gading, dan Jl. Sumenep. 10 Laporan Akhir, KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral, 2003, Bab III. 11 Sumber : Ditjen MIGAS, Departemen ESDM, dikutip dari Buku Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2005, hal. 165. Halaman-8
  • 10. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Data yang ada menunjukkan penurunan yang cukup tajam dimana besaran penjualan gas alam untuk transportasi mencapai angka 23,1 juta m3 di tahun 1999 (saat jumlah kendaraan berbahan bakar gas mencapai angka 5.000 unit) dan turun menjadi hanya 15,6 juta m3 pada tahun 2003. MENCERMATI PENGGUNAAN BBG DI PROPINSI DKI JAKARTA Bersamaan dengan pencabutan subsidi atas bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan selang akhir tahun 2005 dan awal 2006, serta dikombinasikan dengan tingginya harga minyak internasional telah mendorong Pemerintah untuk kembali menseriusi Bahan Bakar Gas untuk sektor transportasi. Di tanggal 20 Mei 2006, Presiden RI melakukan Pencanangan Kembali bahan bakar gas ini di sebuah SPBG yang khusus diperuntukkan untuk pengisian Bus TransJakarta di Jl. Perintis Kemerdekaan, Jakarta Timur yang sekaligus meresmikan sebuah unit SPBG baru yang berbasiskan investasi swasta. Terobosan Regulasi Terkait dengan pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan, sebagaimana Tabel berikut ini. No. No. Substansi Substansi Pokok Nama Regulasi Urut Urut Yang Diatur/Diwajibkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor Semua perusahaan taksi 28 Tahun 1990 tentang Penggunaan Bahan harus memiliki sedikitnya Bakar Gas dan Elpiji untuk Angkutan 20% dari total armada Umum dan Taksi. menggunakan BBG/Elpiji. A.1. Ditindaklanjuti dgn Pengumuman Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nomor 1648/18.11.3219 tertanggal 26 Februari 1990 tentang Kewajiban Penggunaan BBG/Elpiji untuk Taksi. Keputusan Menteri Keuangan Nomor Bea Masuk sebesar 5%. A.2. 1249/KMK.01/1989 ttg Penentuan Tarif Bea Masuk dari Peralatan Konversi. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 64/1993 tentang Persyaratan Teknik A.3. KENDARAAN untuk Penggunaan BBG pada Kendaraan A. & Bermotor. PERALATAN KONVERSI Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi A.4. Pemeriksaan Peralatan Konversi Bahan Pada Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor SK.852/AJ.302/DRJD/2004 A.5. tentang Aspek Keselamatan Dan Laik Jalan Penggunaan Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi. Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Kewajiban menggunakan Nomor 2/2005 tentang Pengendalian bahan bakar gas bagi A.6. Pencemaran Udara (PPU), Pasal 20. Angkutan Umum & Kendaraan Operasional Pemda di DKI Jakarta. Halaman-9
  • 11. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor Pembangunan SPBU baru 2508/-1.824.132/1993 tertanggal 3 Agt diharap juga membangun B.1. 1993 tentang Kesediaan untuk Dispender untuk BBG. Membangun/Memasang Dispenser BBG di SPBU. Surat Gubernur DKI Jakarta Nomor 2605/- Perintah Gubernur agar 1.824.133/1994 tertanggal 16 Agt 1994. tiap pembangunan SPBU B.2. harus memprioritaskan fasilitas dispenser untuk BAHAN BAKAR GAS BBG. & B. Keputusan Menteri Keuangan Nomor Bea Masuk diturunkan FASILITAS PENGISIAN 801/KMK.00/1992 tertanggal 23 Juli 1992 menjadi 0% dari angka BAHAN BAKAR GAS B.3. ttg Penentuan Tarif Bea Masuk Kompresor sebelumnya 5%. BBG dan Elpiji. Surat Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Nomor 10K/DJM/1993 tentang B.4. Spesifikasi BBG untuk Kendaraan Bermotor. Surat Keputusan Direktur Pertamina B.5. Nomor 10K/DJM/1993 tentang Spesifikasi BBG untuk Kendaraan Bermotor. Tabel 4. Daftar Regulasi terkait Penggunaan Gas untuk Sektor Transportasi di Indonesia Kehadiran Perda 2/2005 Propinsi DKI Jakarta yang mewajibkan penggunaan bahan bakar gas bagi Angkutan Umum & Kendaraan Operasional Pemerintah Daerah di wilayah DKI Jakarta adalah regulasi terbaru sekaligus sebuah terobosan bagi percepatan implementasi bahan bakar gas sektor transportasi, setelah selang 20 tahun digulirkan tidak berkembang sebagaimana diharapkan. Dibandingkan dengan sebuah Keputusan Gubernur12 yang hanya mewajibkan 20% dari total armada taksi harus menggunakan bahan bakar gas, serta sebuah Instruksi Gubernur13 tentang Program Aksi Pemeriksaan, maka posisi Peraturan Daerah memiliki kekuatan hukum dan konsekuensi kebijakan yang lebih optimal. Sebuah terobosan hukum yang tentu saja membutuhkan persiapan baik di tingkat regulasi lanjutan, teknis dan aplikasi lapangan. Keberanian untuk mewajibkan semua angkutan umum serta kendaraan operasional Pemerintah Daerah harus diimbangi dengan keseriusan dan konsistensi. Salah satu hal yang menjadi indikator dari berjalannya Peraturan Daerah ini dapat dilihat pada operasi Bus TransJakarta. Dari total 146 Unit Busway yang dioperasikan di 3 koridor, terdapat 56 unit14 kendaraan bus yang menggunakan bahan bakar gas, yaitu yang melayani rute Koridor Pulo Gadung – Harmoni sebanyak 26 bus dan Koridor Kali Deres – Harmoni sebanyak 30 bus. 90 bus sisanya yaitu yang melayani Koridor Blok M – Kota masih menggunakan bahan bakar solar. Fenomena baru muncul berbasis Peraturan Daerah ini yaitu pada angkutan jenis Bajaj. Dalam kategori Angkutan Umum berdasarkan UU15 dan Peraturan Daerah16 12 Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 28 Tahun 1990 tentang Penggunaan Bahan Bakar Gas dan Elpiji untuk Angkutan Umum dan Taksi. 13 Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi Pemeriksaan Peralatan Konversi Bahan Pada Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta. 14 Artikel Kompas, edisi 20 Mei 2006, hal. 26. 15 Undang-Undang Nomor 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Halaman-10
  • 12. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI terkait memang Bajaj yang berbasis roda tiga dan kebanyakan bermesin dua-tak, tidak disebutkan. Fakta lapanganlah yang memberi predikat kepada kendaraan jenis ini sebagai angkutan yang umum dipakai sehari-hari oleh masyarakat dengan imbalan nominal uang tertentu, sehingga dari sisi ini dapat disebut angkutan umum. Bajaj telah menjadi salah satu moda angkutan di Jakarta sejak tahun 1975. Sampai dengan tahun 1980, impor Bajaj telah mencapai angka 13.335 unit. Dalam catatan17 Dinas Perhubungan DKI Jakarta, populasi Bajaj saat ini di DKI Jakarta adalah sebanyak 14.600 unit, belum termasuk ± 6.000 unit bajaj ilegal hasil kreativitas karoseri atau bengkel jalanan. Terkait dengan upaya mendukung Program Langit Biru18 dan implementasi Perda 2/2005 maka Pemerintah DKI Jakarta telah melaunch Program Bajaj berbahan bakar gas yang secara simbolis telah dilakukan Gubernur Sutiyoso pada tanggal 9 Agustus 2006 di Jakarta dengan 7 unit dari total rencana awal 250 unit bajaj. Menurut informasi19 yang ada, Gubernur Sutiyoso juga telah menerbitkan ijin pengoperasian bagi 5.000 unit bajaj dimana dalam setiap bulan terhitung November 2006 akan diproduksi 500 unit. Menariknya lagi, selain menggunakan bahan bakar gas yang sudah jelas berkategori ramah lingkungan, mesin yang digunakan berbasis mesin empat-langkah sehingga emisi yang dihasilkan akan lebih baik. Implikasi Ekonomi Keberanian Pemerintah Daerah DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah ini sesungguhnya memiliki implikasi lanjutan yang berbasis ekonomi, dengan catatan bahwa sebuah langkah kecil akan diikuti oleh langkah berikutnya secara konsisten, sebagai berikut : 1. Apabila semua kendaraan penumpang umum (bis kota, mirobis, taksi dan mikrolet) yang berjumlah mendekati 100.000 unit dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah di wilayah DKI Jakarta mengganti bahan bakarnya (bensin dan solar) dengan bahan bakar gas, maka potensi kebutuhan gas akan meningkat signifikan. 2. Kebutuhan tersebut akan menumbuhkan minat pengusaha SPBG untuk melakukan investasi. Dalam konteks awal, Program Revitalisasi20 17 SPBG di wilayah DKI Jakarta sebagaimana menjadi komitmen Pertamina menjadi program utama. Dengan semakin meningkatnya jumlah kendaraan dan kebutuhan bahan bakar gas maka secara otomatis akan menumbuhkan jumlah SPBG seiring dengan naiknya tingkat kebutuhan tersebut. 16 Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 12/2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau serta Penyeberangan di Propinsi DKI Jakarta. 17 Dikumpulkan MEB dari berbagai sumber artikel media cetak seperti Kompas, Seputar Indonesia, Berita Kota dan Media Indonesia selang Agustus 2006, Ketua DPD Organda DKI Jakarta, Djauhari Peranginangin, populasi Bajaj di DKI Jakarta sebanyak 15.300 unit. 18 UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor MenLH-35/1996 tertanggal 26 April 1996 tentang Program Langit Biru. 19 Artikel pada Harian Berita Kota, edisi 10 Agustus 2006, hal. 11. 20 Telah menjadi Program Pemerintah di bawah koordinasi Menko Perekonomian untuk akhir Tahun 2006 dimana anggaran diturunkan Pemerintah melalui Ditjen MIGAS Dep. ESDM, kerjasama implementasi dengan Pertamina. Halaman-11
  • 13. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI 3. Jumlah kendaraan yang akan beralih ke bahan bakar gas adalah jumlah unit yang membutuhkan alat konversi (converter kit) dan jasa pemasangan. 4. Jumlah kendaraan berbahan bakar gas yang signifikan akan memicu tumbuhnya bengkel-bengkel untuk jenis kendaraan tersebut yang berarti peluang bisnis baru. 5. Pada tingkat harga saat ini dimana premium Rp. 4.500,-/liter dan harga bahan bakar gas (CNG) pada level Rp. 2.562 per lsp, dimana perhitungan sementara sebuah unit kendaraan (angkutan umum) membutuhkan rata-rata 30 liter per hari maka ada selisih harga ± Rp. 2.000 per liter bahan bakar atau ± Rp. 60.000 per hari. Margin ini adalah keuntungan bagi Pemilik Kendaraan dan juga Sopir Angkutan. 6. Dengan biaya modifikasi kendaraan bensin menjadi kendaraan gas saat ini sebesar ± Rp. 10.000.000,- sampai Rp. 12.500.000,- dan asumsi masa pakai peralatan konversi 5 (lima) tahun, waktu balik modal yang diharapkan pemilik kendaraan adalah 2 (dua) tahun maka jenis kendaraan yang secara ekonomis berpotensi memanfaatkan gas adalah kendaraan jenis bensin yang mempunyai jarak tempuh harian sektar 115 km. Kendaraan bensin yang mempunyai jarak tempuh rata-rata sekitar 300 km/hari, seperti armada taksi di DKI, sangat berpotensi memanfaatkan gas. Investasi untuk modifikasi akan kembali dalam waktu sekitar 8 (delapan) bulan atau maksimal 18 (delapan belas) bulan. 7. Karena biaya modifikasi kendaraan diesel menjadi kendaraan gas masih relatif tinggi (di tahun 2003, Rp. 25.000.000,- untuk kendaraan 200 HP), kendaraan jenis diesel belum berpotensi memanfaatkan gas. Kendaraan jenis ini, terutama yang berukuran besar (200 HP) dan mempunyai jarak tempuh rata-rata 250 km/hari, akan berpotensi memanfaatkan gas. Halaman-12
  • 14. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Bab III GAMBARAN UMUM PROBLEMATIKA Secara garis besar, berbagai kendala pengembangan pemanfaatan gas untuk sektor transportasi dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Penyebaran SPBG terbatas karena keterbatasan jaringan distribusi pipa gas. 2. Investasi peralatan kompresor dirasa mahal. 3. Biaya operasi SPBG tinggi terutama biaya untuk listrik. 4. Partisipasi swasta dalam investasi SPBG kurang. 5. Conversion Kit masih diimpor, dengan nilai tukar yang terjadi akhir-akhir ini tidak menarik bagi konsumen. Untuk memperjelas kondisi permasalahan yang dihadapi, penjabaran dilakukan berdasarkan pada Pihak Yang Terlibat secara langsung, sebagai berikut : A. Masalah Yang Dihadapi Pemakai / Calon Pemakai : A.1. Terbatasnya Informasi / Sosialisasi Informasi/sosialisasi tentang keselamatan dan keekonomian pemakai BBG, bagaimana mendapatkan Conversion Kit, serta dimana-mana tempat penjualan gas (SPBG) masih terbatas. Hasil survey menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat yang telah mendapatkan informasi tentang bahan bakar gas. A.2. Kesulitan mendapatkan SPBG Jumlah SPBG di DKI Jakarta yang pernah mencapai angka 17 unit, saat ini praktis hanya berfungsi sebanyak-banyaknya 7 SPBG. A.3. Harga Conversion Kit yang relatif mahal Harga Conversion Kit saat ini berkisar antara Rp. 10 juta sampai Rp. 12,5 juta termasuk pemasangannya. Bagi golongan kelas menengah yang tertarik pada penghematan yang diperoleh dari pemakaian gas akan menganggap investasi tersebut terlalu tinggi, sedangkan bagi yang mampu penghematan yang diperoleh dengan menggunakan gas tidak begitu menarik. A.4. Belum tersebarnya Bengkel dan Toko Suku Cadang Pemilik kendaraan gas masih sulit mendapatkan bengkel-bengkel dan toko- toko suku cadang untuk menunjang operasi kendaraannya apabila mengalami kerusakan. A.5. Meningkatnya frekwensi pengisian bahan bakar Tabung premium bisa berisi 30 – 50 liter, sedangkan tabung gas sebesar 40 liter dapat memuat CNG setara dengan 17 liter premium. Berarti frekwensi pengisian bahan bakar akan naik 2 sampai 3 kali dibanding jika menggunakan premium. Halaman-13
  • 15. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI A.6. Menurunnya daya akselerasi kendaraan Penggunaan gas akan menurunkan daya akselerasi, hal yang dirasakan mengganggu bagi pengemudi taksi yang memerlukan akselerasi tinggi di sela-sela kemacetan lalu lintas kota walaupun asumsi ini tidak perlu dipikirkan terkait dengan situasi kemacetan yang memang tidak terhindarkan di Jakarta. B. Masalah Yang Dihadapi Sistem Penunjang Kendaraan : Dalam hal ini yang termasuk sistem penunjang kendaraan adalah SPBG, Bengkel Kendaraan, dan Toko Suku Cadang Peralatan, konsep ini membahas mengenai SPBG yang berkaitan langsung dengan konsumen. Hambatan pihak pengusaha/pengelola SPBG dalam melayani konsumen antara lain adalah : B.1. Biaya Investasi pembangunan SPBG yang sangat mahal Komponen biaya investasi yang besar adalah harga tanah dan sistem pemipaan pada lokasi yang jauh dari jalur distribusi pipa gas, di samping harga kompresor saat ini berkisar mencapai Rp. 4 – Rp. 5 Milyar, perijinan untuk membangun SPBG (CNG) juga mahal dan lama. B.2. Langkanya teknisi yang terlatih Operator SPBG yang mampu menangani kerusakan minor pada alat-alat SPBG masih sedikit. B.3. Langkanya Suku Cadang SPBG Sampai dengan tahun 2004, kesulitan terbesar adalah perawatan kompresor, suku cadang untuk kompresor tidak tersedia di pasaran dalam negeri dan harus diimpor, sementara sistem penyetokan suku cadang tidak diijinkan oleh Departemen Perdagangan. Apabila SPBG mengalami kerusakan memerlukan 2–3 bulan untuk beroperasi kembali. C. Masalah Yang Dihadapi Produsen (Pertamina) : Setelah sekian lama (+/- 14 sampai 20 tahun) gas diperkenalkan sebagai usaha Pemerintah untuk mengurangi kenaikan pemakaian bbm sektor transportasi, pemakaian gas tidak menunjukkan kemajuan yang berarti sehingga produsen (Pertamina) mengalami kerugian, yang disebabkan antara lain : C.1. Harga ekonomis bahan bakar gas Kendala utama pengembangan usaha gas adalah harga jual yang lebih rendah dari harga ekonomisnya di sekitar tahun 2003-2004. Harga ekonomis pengadaan gas sampai di SPBG (konsumen) adalah sebesar US$ 24,6 per barel setara premium (bsp) atau sekitar Rp. 1.550,- per lsp pada Kurs 1 US$ = Rp. 10.000,- Selang Agustus 2003 sampai November 2004, harga jual gas pada konsumen tercatat sebesar Rp. 450,- per lsp atau setara US$ 7,16 per bsp. Dengan demikian terdapat selisih harga dan biaya gas yang cukup signifikan yaitu Rp. 1.550 dikurangi Rp. 450 = Rp. 1.100 per lsp atau US$ 17,44 per bsp, dimana selisih harga tersebut sementara ditanggung oleh Pertamina. Halaman-14
  • 16. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Terhadap persoalan ini, titik temu telah diperoleh dengan kenaikan harga per 1 lsp sebesar Rp. 3.000 terhitung tanggal 1 Februari 2006. Bahkan, dalam upaya melakukan percepatan bagi implementasi massal, Pertamina setuju untuk menerima turunnya harga mencapai Rp. 2.562 per lsp sejak 1 Agustus 2006 yang sekaligus dapat dibaca sebagai keseriusan dan komitmen Pertamina21 dan Pemerintah terhadap program gasifikasi kendaraan ini. C.2. Tingginya Biaya Operasi SPBG Biaya terbesar dalam mengoperasikan SPBG adalah biaya listrik, terutama untuk menjalankan kompresor. Sampai tahun 2003, tarip listrik yang diberlakukan untuk SPBG dikategorikan sebagai “Tarip Bisnis Besar” (B2/B3) yaitu Rp. 130,- s/d Rp. 160,- per lsp atau 73% dari total biaya operasional pengelolaan SPBG. Sebagai contoh : kerugian per bulan akibat adanya kenaikan tarip listrik yang dilakukan secara bertahap oleh PT. PLN yang dialami oleh pengelola SPBG Pertamina di Jakarta sebagai berikut : - Jl. Pemuda, kerugian mencapai Rp. 4.598.305,- - Jl. Sumenep, kerugian mencapai Rp. 4.196.596,- - Jl. Warung Buncit, kerugian mencapai Rp. 4.105.442,- Sejumlah kasus di akhir tahun 2003, beberapa Pengelola SPBG di Jakarta yang keberatan untuk melanjutkan pengelolaannya, karena mengalami kerugian akibat tingginya biaya operasional khusunya dengan kenaikan Tarip Dasar Listrik (TDL). Akibat adanya kenaikan Kurs US$ maka harga spare parts material untuk perbaikan kompresor SPBG dan biaya perawatan cukup tinggi yaitu mencapai Rp. 178,- per lsp atau 40% dari harga gas di tingkat Rp. 450,- per lsp. D. Faktor Keselamatan Pemakaian Gas Sisi standarisasi keselamatan pengguna bahan bakar gas sangat terkait dengan penggunaan tabung. Meskipun telah diatur sepenuhnya dalam keputusan Menteri Perhubungan No. KM 64/1993, namun belum jelas instansi mana yang berhak mengadakan pengetesan atau mensertifikasi peralatan kendaraan berbahan bakar gas. Berbagai peristiwa ledakan pada kendaraan berbahan bakar gas, menurut catatan22 yang ada, sedikitnya 17 kali ledakan telah terjadi selang 10 tahun terakhir, membuat masyarakat merasa enggan untuk mendukung Program ini. Hal ini diperparah dengan tidak cukupnya penjelasan yang diberikan Pemerintah atau instansi terkait sehingga banyak opini dan asumsi berkembang di masyarakat yang pada akhirnya dapat membangun resistensi publik. Sebuah survey23 pendapat masyarakat menunjukkan bahwa sedikitnya 75% anggota masyarakat ibukota mengaku masih trauma dengan penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan. 21 Artikel pada harian Kompas, edisi 8 Juli 2006, hal. 18. 22 Hasil investigasi pribadi Steve Sugita, seorang korban hidup ledakan kendaraan berbahan bakar gas pada Januari 1999, diangkat menjadi data dan referensi utama pada Metro Realitas dengan tajuk “Plus Minus BBG,” Metro TV, edisi Januari 2006. 23 Artikel harian IndoPos, edisi 25 Juli 2006, hal. 17. Halaman-15
  • 17. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Berbagai permasalahan seputar penggunaan bahan bakar gas untuk sektor transportasi ini memang saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipilah-pilah secara parsial. Berbagai kajian yang komprehensif telah dilakukan, baik di tingkat nasional misalnya melalui sebuah Tim Gas Nasional yang menyelesaikan hasilnya24 pada tahun 2003, maupun di tingkat Propinsi DKI Jakarta melalui sebuah Kelompok Kerja yang dikoordinasikan melalui BPLHD Propinsi DKI Jakarta dengan melibatkan unsur stakeholder dari Pemerintah Pusat dan DKI Jakarta, LSM, jaringan dan dukungan partner internasional serta sektor swasta yang telah merumuskan berbagai dokumen25 kerja. Diaturnya kewajiban penggunaan bahan bakar gas untuk angkutan umum dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah di dalam Pasal 20 Peraturan Daerah 2/2005 adalah salah satu hasil utama proses percepatan implementasi gasifikasi kendaraan. Mengacu pada konteks tersebut maka Mitra Emisi Bersih berpendapat bahwa pintu masuk bagi percepatan penggunaan gas untuk sektor transportasi dapat diawali dengan cakupan yang diatur melalui Perda dimaksud yaitu angkutan umum dan kendaraan operasional Pemerintah Daerah. Dengan tidak mengesampingkan berbagai problem makro dari penggunaan BBG, misalnya masalah ketersediaan gas, jaringan pipanisasi, dan lain-lain, pendekatan dapat dilakukan dengan secara langsung fokus pada upaya memfasilitasi kedua kelompok target dimaksud, khususnya dalam pengadaan Alat Konversi dan aspek-aspek yang terkait secara langsung. Untuk target Kendaraan Operasional, persoalan fasilitas dapat dikatakan tidak bermasalah karena pada prinsipnya unit-unit kendaraan dimaksud dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Intervensi langsung dapat dilakukan oleh Gubernur/Walikota atau Pimpinan Instansi dengan memanfaatkan kebijakan dan anggaran dinas. Untuk target Angkutan Umum, persoalan fasilitas atau insentif ekonomi adalah salah satu hal utama. Beberapa masukan telah menjadi substansi utama yang dibahas oleh Kelompok Kerja Penyusun Draft Peraturan Gubernur Propinsi DKI Jakarta tentang Penggunaan Bahan Bakar Gas Untuk Angkutan Umum dan Kendaraan Operasional Pemerintah Daerah yang merupakan salah satu Petunjuk Teknis Operasional bagi Perda 2/2005. 24 KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral, 2003. 25 Laporan Pelaksanaan Instruksi Gubernur Nomor 230 Tahun 2003 tentang Program Aksi Pemeriksanaan Peralatan Konversi Bahan Bakar Gas Pada Kendaraan Bermotor di Wilayah Propinsi DKI Jakarta (BPLHD, 2004), Dokumen Rencana Strategis (RENSTRA) Pemanfaatan Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Di Propinsi DKI Jakarta (BPLHD, 2004), Dokumen Action Plan Pemanfaatan Bahan Bakar Gas Untuk Transportasi Di Propinsi DKI Jakarta (BPLHD, 2005), Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2/2005 dan Draft Final Peraturan Gubernur Propinsi DKI Jakarta tentang Penggunaan Bahan Bakar Gas Untuk Angkutan Umum dan Kendaraan Operasional Pemerintah Daerah (BPLHD, 2006). Halaman-16
  • 18. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Bab IV SKEMA EKONOMI, TINJAUAN SITUASI DAN REKOMENDASI Insentif ekonomi bagi pemilik kendaraan yang dikategorikan angkutan umum adalah substansi yang telah diangkat oleh berbagai dokumen terkait penggunaan bahan bakar gas untuk transportasi. Persoalan insentif ini juga telah coba diterobosi oleh Departemen Perhubungan dengan rencana pengalokasian anggaran pengadaan conversion kit. Untuk tahap awal26 telah dialokasikan anggaran Rp. 40 milyar untuk pengadaan 3.900-4.000 unit konverter. Di tingkat Menteri Koordinator, pernyataan sejenis27 juga disampaikan Menko Perekonomian Budiono bahwa penggunaan bahan bakar gas untuk transportasi akan dicarikan solusi yang bisa berbentuk subsidi tidak penuh sampai dengan berbagai instrumen insentif. Menteri Perhubungan menginformasikan bahwa skema28 yang akan diterapkan dalam distribusi ± 4.000 konverter kit tersebut akan disubsidi Pemerintah sebesar 25%. Mitra Emisi Bersih berpendapat pada kondisi sekarang, dalam konteks menstimulasi percepatan penggunaan bahan bakar gas berbasis Perda 2/2005 DKI Jakarta maka skema atau pola insentif harus mencakup beberapa aspek yang saling terkait satu sama lain yaitu : 1. Terminologi Masa Transisi, 2. Skala Prioritas Target Jenis Angkutan/Kendaraan, 3. Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis Angkutan/Kendaraan, 4. Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola Insentif, dan 5. Para Pelaku lapangan sebagai Penerima Insentif. Tinjauan (sekaligus rekomendasi) Skema Ekonomi akan dijabarkan berdasarkan 5 (lima) kelompok dimaksud, sebagai berikut : 1. Terminologi Masa Transisi Subyek : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) dan Produsen Kendaraan Instrumen : Kebijakan (Policy) dan Spesifikasi Teknis Variabel : Komitmen, Konsekuen, Konsistensi dan Kejelasan. Deskripsi : 1.1. Pemanfaatan bahan bakar gas yang sedang dilakukan tidak boleh dipisahkan dari kebijakan teknis produsen kendaraan bermotor. Apabila telah tercapai suatu kondisi permintaan akan kendaraan berbahan bakar gas maka hal ini akan dilihat sebagai peluang bisnis bagi pihak produsen yang akan memproduksi kendaraan berbahan bakar gas. 26 Pernyataan Anton Tampubolon, Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Dep. Perhubungan, sebagaimana dikutip dari artikel di harian Kompas, edisi 25 April 2006, hal. 18. 27 Artikel di harian Kompas, edisi 3 Juni 2006, hal. 3. 28 Informasi yang diperoleh dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Rapat Terbatas Stakeholder tentang isu terkait Program Advokasi BBG pada tanggal 24 Agustus 2006, terkonfirmasi melalui berita media pada Liputan 6 Malam SCTV tanggal 29 Agustus 2006. Halaman-17
  • 19. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Artinya bahwa persoalan skema untuk memfasilitasi pengadaan konverter kit tidak lagi menjadi persoalan pada saat kondisi tersebut terjadi. 1.2. Persoalan skema ekonomi – dengan segala aspek yang terkait - bagi kendaraan berbahan bakar non-gas harus terimplementasi simultan dengan proses pertumbuhan demand (kebutuhan) akan produksi kendaraan baru yang langsung berspesifikasi berbahan bakar gas bensin dari produsen. Proses inilah yang dikategorikan sebagai masa transisi29 yang harusnya dibatasi pada kurun waktu ± 5 (lima) tahun. Hal ini dikaitkan dengan masa pakai kendaraan angkutan umum yang dibatasi masa penggunaannya 7 tahun atau apabila diperpanjang mencapai 10-12 tahun. 1.3. Dari total populasi kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta30 di tahun 2005 sebanyak 86.801 unit, 67,7% di antaranya dibuat sebelum atau pada tahun 1993, artinya telah memasuki usia sedikitnya 12 tahun. Secara spesifik, data kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta berdasarkan analisa tahun pembuatan adalah sebagai berikut : a. Sebanyak 74% dari total populasi bus besar, dioperasikan oleh 17 perusahaan, dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah memasuki usia pakai sedikitnya 12 tahun. b. Sebanyak 96% dari total populasi bus sedang, dioperasikan oleh 5 perusahaan, dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah memasuki usia pakai sedikitnya 12 tahun. c. Sebanyak 72% dari total populasi bus kecil (mikrolet dan AWK/KWK dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah memasuki usia pakai sedikitnya 12 tahun. d. Sebanyak 93% dari total populasi kajen IV (bajaj, kancil, toyoko, dan APB/bemo) telah dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah memasuki usia pakai sedikitnya 12 tahun. Bahkan khusus untuk bajaj dan toyoko, 100% kendaraannya tercatat telah beroperasi sedikitnya 15 tahun yang lalu. e. Dan, sebanyak 61% dari total populasi angkutan lain-lain (taksi, mobil barang, bus pariwisata, dan bus AKAP) yang dibuat sebelum atau pada tahun 1993 atau telah memasuki usia pakai sedikitnya 12 tahun. 1.4. Dalam konteks usia pakai dimaksud maka kondisi ini merupakan sebuah peluang bagi produsen kendaraan untuk memproduksi kendaraan berbahan bakar gas sehingga peremajaan yang akan dilakukan tidak lagi menggunakan kendaraan non-gas. Tentu saja, hal ini membutuhkan kebijakan yang konsisten dari Pemerintah. 29 Disarikan berdasarkan pemaparan Bp. Helmukti Latif pada Workshop : “IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI SKEMA EKONOMI,” dilaksanakan oleh Mitra Emisi Bersih pada tanggal 31 Agustus 2006 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. 30 Diolah dari Buku Laporan Kegiatan Tahunan DINAS PERHUBUNGAN Propinsi DKI Jakarta Selang Januari s/d Desember 2005 Halaman-18
  • 20. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI 2. Skala Prioritas Target Jenis Angkutan/Kendaraan Subyek : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) Instrumen : Kebijakan (Policy) Variabel : Komitmen, Konsekuen, Konsistensi dan Kejelasan. Deskripsi : 2.1. Program Pemerintah yang menyangkut kepentingan publik jangka panjang membutuhkan persiapan dan pengkondisian yang cukup. Perda 2/2005 khususnya tentang kewajiban penggunaan BBG untuk transportasi (angkutan umum dan kendaraan operasional Pemda) adalah sebuah langkah maju yang diharapkan akan terjaga konsistensinya sehingga pihak-pihak terkait bisa secara aman, adanya jaminan kepastian, terutama menyangkut hitung- hitungan investasi. Dari kelompok angkutan umum sebagaimana Pasal 20 Perda PPU, harus ditetapkan skala prioritas yang didasarkan pada ketersediaan sumber daya, misalnya persoalan keterbatasan SPBG. a. Kelompok angkutan umum darat terdiri dari bis besar, bus sedang (metro mini, kopaja, dan sejenisnya), bus kecil (mikrolet dan APK/KWK), kajen IV (bajaj, kancil, toyoko dan APB/bemo), dan angkutan lain-lain (taksi, mobil barang, bus pariwisata, dan bus AKAP). Dari 5 sub-kelompok tersebut, bus besar, bus sedang, dan bus kecil beroperasi berdasarkan trayek/rute tetap atau point-to-point system, sedangkan jenis kajen IV (kecuali bemo) dan jenis lain-lain adalah sub-kelompok yang beroperasi tanpa rute atau trayek tetap. b. Dalam konteks keterbatasan SPBG, pendekatan point-to-point system dapat dipandang sebagai solusi awal dimana sub-kelompok berbasis sistem ini (di tahun 2005) adalah mencapai angka 26% dari total populasi kendaraan angkutan umum di Jakarta yang terdiri atas 4.438 unit bus besar, 4.937 unit bus sedang 12.984 unit mikrolet. Berdasarkan kondisi sekarang, ± 40% bus TransJakarta (dikelompokkan sebagai bus besar) dan sejumlah kecil mikrolet telah menggunakan bahan bakar gas. Apabila kedua jenis angkutan ini yang dianggap paling reliable maka Pemerintah harus menetapkannya sebagai urutan teratas Skala Prioritas sehingga kebijakan ini dapat ditindaklanjuti pihak-pihak terkait secara jelas, tegas dan terukur. Salah satu fenomena terkini di DKI Jakarta adalah kebijakan Bajaj berbahan bakar gas. Kebijakan ini tentu saja harus diintegrasikan dengan kebijakan lainnya sehingga tidak tumpang tindih dan memberi kesan ketidakjelasan atau inkonsitensi Pemerintah. a. Bajaj tidak dikategorikan angkutan umum, baik dalam UU No. 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maupun turunan hukumnya di tingkat Perda DKI Jakarta No. 12/2003. Halaman-19
  • 21. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI b. Apabila tidak dikategorikan angkutan umum maka kewajiban penggunaan gas sesuai Perda 2/2005 tidak meliputi jenis angkutan Bajaj. 3. Klasifikasi Jenis Bahan Bakar Gas terhadap Jenis Angkutan/Kendaraan Subyek : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) dan Produsen BBG/Kendaraan Instrumen : Kebijakan (Policy) dan Spesifikasi Teknis Variabel : Konsekuen, Konsistensi, Kejelasan dan Ketersediaan Material. Deskripsi : 3.1. Jenis bahan bakar gas meliputi CNG (Compressed Natural Gas) dan LPG (Liquid Petroleum Gas / Elpiji) dimana Pertamina – sebagai produsen awal dan terbesar saat ini - sedang mengembangkan LGV31 (Liquid Gas for Vehicle) atau LPG yang khusus dirancang untuk kendaraan bermotor. 3.2. LGV berbahan dasar LPG yang disesuaikan secara khusus untuk kendaraan dengan komposisi 59% propan dan 41% butana dengan nilai oktan yang tinggi. Adapun sejumlah perbedaan spesifik antara CNG dan LGV dapat diuraikan, sebagai berikut : a. Untuk ukuran tabung yang relatif sama seperti yang sekarang dipergunakan menampung 15-17 LSP CNG, dapat memuat 40 LSP LGV. b. Waktu pengisian tabung dimaksud butir a adalah ± 5 menit untuk 17 LSP CNG, dan untuk LGV hanya membutuhkan waktu ± 2 menit untuk 40 LSP LGV. c. Investasi SPBG (untuk CNG) saat ini membutuhkan dana sebesar ± Rp. 6 milyar sementara untuk SPBE (untuk LGV) hanya sebesar ± Rp. 500 juta dimana biaya pengoperasiannya sendiri, untuk SPBE mencapai angka 90% lebih murah dibanding dengan SPBG. d. Luas lahan yang dibutuhkan untuk sebuah SPBE adalah sebesar 30% dari areal yang diperlukan untuk sebuah SPBG. e. Margin keuntungan SPBE adalah setara dengan 7% dari harga jual LGV dengan harga ekonomis saat ini Rp. 3.800 per LSP. Bila dibandingkan dengan CNG yang sekarang dijual dengan harga Rp. 2.562 maka harga LGV lebih mahal. Namun apabila memperhatikan faktor-faktor sebagaimana disebutkan pada butir a sampai d, maka harga ini masih dikategorikan kompetitif. 3.3. Dalam pandangan Pertamina, penggunaan CNG akan lebih cocok untuk unit- unit kendaraan yang berkapasitas tangki besar, atau juga sedang, sehingga tidak perlu kehilangan waktu dalam melakukan pengisian berulang-ulang, 31 Informasi dari wakil Pertamina dalam Acara Workshop : “IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA /2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI SKEMA EKONOMI,” dilaksanakan oleh Mitra Emisi Bersih pada tanggal 31 Agustus 2006 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Halaman-20
  • 22. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI misalnya yang sekarang berlaku untuk unit-unit Busway TransJakarta. Sedangkan untuk unit-unit kendaraan kecil sebaiknya menggunakan LGV dengan pertimbangan kapasitas isi tangki yang lebih banyak. 3.4. Dengan asumsi-asumsi butir 3.3 di atas, mengacu pada data tahun 2005, ada 9.375 unit kendaraan bus besar dan bus sedang yang beroperasi di Jakarta dimana hanya tercatat 56 unit yang saat ini menggunakan CNG yaitu Busway TransJakarta. Selanjutnya, (data yang sama) ada 77.426 unit bus kecil, kajen IV dan angkutan jenis lain yang dapat diarahkan untuk menggunakan LGV. 3.5. Dalam hal Pemerintah melihat bahwa kondisi butir 3.3 di atas adalah situasi yang paling reliable maka instrumen kebijakan (dengan suatu daya paksa tertentu) akan efektif untuk dikombinasikan dengan sejumlah insentif ekonomi dalam program gasifikasi kendaraan angkutan umum. 3.6. Kebijakan dimaksud butir 3.7 dapat dipergunakan Pihak Swasta untuk melakukan perhitungan nilai keekonomian dan investasi dalam koridor kepastian kebijakan Pemerintah dimana kondisi ini diharapkan akan menstimulasi pergerakan potensi publik dalam mendukung Program Gasifikasi dimaksud. Sebuah contoh sederhana adalah inisiasi awal moda angkutan Busway TransJakarta dimana program ini diawali dengan intervensi kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dan dukungan DPRD, yang sekaligus menyertakan dana operasional, sebagaimana yang terjadi pada Koridor I. Setelah beberapa bulan pengoperasian Koridor I ini dianggap memiliki nilai ekonomi maka pihak Swasta terstimulasi untuk mengambil peran dan pihak Pemerintah Daerah DKI Jakarta lebih bertindak sebagai regulator dan fasilitator, sebagaimana yang terjadi pada Koridor II dan III, serta berikutnya untuk koridor-koridor selanjutnya. 3.7. Apa yang terjadi dengan cerita awal Busway TransJakarta dapat menjadi pelajaran berharga bagi pengembangan dan percepatan pemanfaatan bahan bakar gas, khususnya untuk kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta berdasarkan Perda 2/2005. 4. Pihak-Pihak Fasilitator dan/atau Sumber/Pengelola Insentif Subyek : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) dan Pihak Swasta Instrumen : Kebijakan (Policy) dan Pola Modal Variabel : Konsistensi dan Peluang Bisnis. Deskripsi : 4.1. Pemerintah dapat melakukannya melalui fasilitas kebijakan maupun insentif tunai, serta memfasilitasi pihak Swasta dalam melakukan pendampingan penyediaan insentif. Halaman-21
  • 23. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI 4.2. Pihak Swasta, dengan menggunakan suatu kebijakan tertentu dari Pemerintah ataupun berdasarkan jaminan kepastian akan konsistensi dan kejelasan arah kebijakan Pemerintah. 5. Insentif bagi Pelaku/Pemain di Lapangan Subyek : Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah) dan Pihak Swasta Instrumen : Kebijakan (Policy) dan Pola Modal Variabel : Konsistensi dan Pemberian Fasilitas. Deskripsi : 5.1. Kelompok Pelaku/Pemain di lapangan dapat dikelompokkan sebagai Pemilik Angkutan Umum, Pengusaha/Investasi SPBG, Sopir/Pengemudi Angkutan Umum, dan Masyarakat Pengguna. 5.2. Bagi Pemilik Kendaraan Angkutan Umum, fasilitas atau insentif yang dapat diberikan, antara lain : a. Pembebasan bea masuk impor barang untuk konverter kit. Akan berakibat pada turunnya harga kebutuhan pemilik angkutan. b. Skema Subsidi berbasis Dana Bergulir, yang melibatkan Pemerintah sebagai Sumber Dana Awal dan Penjamin, dan Pihak Ketiga sebagai Mitra Pelaksana. Pemerintah dapat menyediakan sejumlah dana tertentu, misalnya katakanlah sebesar Rp. 105 milyar (dengan asumsi sederhana 1 (satu) unit konverter kit senilai Rp. 10 juta untuk kendaraan kecil dan Rp. 15 juta untuk bus sedang dan besar, perbandingan antara bus besar dan sedang dengan kendaraan kecil di Propinsi DKI Jakarta di tahun 2005 adalah 9.375 unit berbanding 77.426 atau lebih kurang 1:9 ; berarti dana yang tersedia akan cukup untuk mengkonversi total 10.000 unit kendaraan, terdiri atas 9.000 kendaraan kecil dan 1.000 bus besar dan sedang) yang kemudian menyerahkannya kepada Pihak Ketiga (Pihak Perbankan dan/atau Lembaga Pembiayaan) yang akan bertindak sebagai Pengelola. Para pemilik kendaraan harus diberi akses sebesar-besarnya kepada Pengelola Dana dimana selama masa cicilan, Tim Kecil Pengelola akan stand-by, buka loket/counter di SPBG/E yang ditunjuk dimana untuk Unit Kendaraan dalam masa cicilan, pada saat mengisi bahan bakar akan dikenakan harga BBM. Lalu, selisih harga BBM dan BBG (CNG atau LGV) akan langsung dipotong di loket/counter Pengelola Dana. Untuk penggunaan CNG (mengacu pada asumsi pemanfaatan oleh bus besar atau sedang, nilai konverter kit diasumsikan Rp. 15 juta), untuk kendaraan yang awalnya menggunakan bensin, selisih harga adalah Rp. 4.500 dikurangi Rp. 2.562, sama dengan Rp. 1.938 per LSP, apabila penggunaan/pemakaian rata-rata per hari diasumsikan 45 liter atau LSP ; berarti tiap unit kendaraan akan memiliki nilai margin Rp. 87.210 per hari, maka akan berlaku hitungan sebagai berikut : Halaman-22
  • 24. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI -. Apabila potongan yang disepakati adalah 100% maka tiap hari cicilan yang akan diserahkan kepada Lembaga Pengelola Dana adalah sebesar Rp. 87.210 atau setara dengan Rp. 31.831.650 (apabila beroperasi 365 hari) atau Rp. 26.163.000 (apabila beroperasi 300 hari) atau Rp. 15.261.750 (untuk kendaraan yang beroperasi 175 hari). -. Apabila menggunakan asumsi tersebut maka sebuah unit kendaraan bus besar atau sedang dapat menyelesaikan masa cicilan dalam waktu 175 hari kerja dalam skema 100% setoran harian dari margin/selisih harga per LSP. -. Apabila skema cicilan yang disepakati adalah 50% maka angsuran akan dapat diselesaikan dalam waktu 350 hari kerja. Untuk penggunaan LGV (mengacu pada asumsi pemanfaatan oleh kendaraan kecil, nilai konverter kit diasumsikan Rp. 10 juta), untuk kendaraan yang awalnya menggunakan bensin, selisih harga adalah Rp. 4.500 dikurangi Rp. 3.800, sama dengan Rp. 700 per LSP, apabila penggunaan/pemakaian rata-rata per hari diasumsikan 37,5 liter atau LSP ; berarti tiap unit kendaraan akan memiliki nilai margin Rp. 26.250 per hari, maka akan berlaku hitungan sebagai berikut : -. Apabila potongan yang disepakati adalah 100% maka tiap hari cicilan yang akan diserahkan kepada Lembaga Pengelola Dana adalah sebesar Rp. 26.250 atau setara dengan Rp. 9.581.250 (apabila beroperasi 365 hari) atau Rp. 10.106.250 (apabila beroperasi 385 hari) atau Rp. 10.500.000 (untuk kendaraan yang beroperasi 400 hari). -. Apabila menggunakan asumsi tersebut maka sebuah unit kendaraan bus besar atau sedang dapat menyelesaikan masa cicilan dalam waktu 175 hari kerja dalam skema 100% setoran harian dari margin/selisih harga per LSP. -. Apabila skema cicilan yang disepakati adalah 50% maka angsuran akan dapat diselesaikan dalam waktu 765 hari kerja (total cicilan = Rp. 10.040.625). -. Apabila dibandingkan dengan penggunaan CNG maka pola margin lebih kecil dinikmati oleh kendaraan berbasis LGV. Untuk itu, intervensi subsidi terhadap harga LGV harus dilakukan baik oleh subsidi Pemerintah maupun oleh mekanisme pasar dimana Pertamina sebagai produsen harus menurunkan harga dalam konteks penggunaan yang lebih besar berasal dari kalangan pengguna LGV, yaitu 1:9 jumlah populasinya. Kondisi ini seharusnya menjadi pertimbangan khusus bagi Pertamina sehingga penggunaan LGV oleh kendaraan kecil dapat dimaksimalkan yang akhirnya akan kembali juga kepada margin keuntungan Pertamina. Dalam hal subsidi harga LGV dapat mencapai harga Rp. 3.000 per LSP di tingkat konsumen maka margin keuntungan per unit kendaraan dapat dilipatgandakan dan masa cicilan dapat ditekan sampai 1 (satu) tahun pada basis skema setoran 50%. Apabila menggunakan asumsi-asumsi di atas maka pada tahun kedua, dana di tahun kedua untuk kategori bus besar dan sedang, sudah dapat digulirkan kepada target berikutnya. Asumsi setahun juga dapat dicapai oleh kelompok kendaraan kecil, dimana dana tahun pertama dapat Halaman-23
  • 25. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI digulirkan kepada kelompok penerima berikutnya pada tahun kedua, apabila harga LGV dapat ditekan di tingkat Rp. 3.000 per LSP. Dalam 5 (lima) tahun dana Pemerintah sebesar Rp. 105 milyar – belum memperhitungkan inflasi dan trend harga-harga – akan dapat mengkonversi sedikitnya 50.000 unit kendaraan angkutan umum di DKI Jakarta atau setara dengan 57,6% dari total populasinya di tahun 2005. Sebuah angka yang fantastis dan spektakuler apabila dapat diimplementasikan. Insentif bagi pihak ketiga yang akan memerankan fungsi Pengelola Dana harus disiapkan terpisah oleh Pemerintah sehingga – apabila mungkin – pemilik kendaraan akan menikmati dana bergulir tanpa bunga. Kalaupun ada maka besaran bunga adalah maksimal 5% per tahun, tanpa uang muka, dan nilai bunga itulah yang dimanfaatkan untuk pengoperasikan sistem dan monitoring. c. Subsidi harga bahan bakar gas, baik untuk CNG maupun LGV sehingga nilai beli konsumen lebih murah. Di hampir semua negara yang memiliki kebijakan penggunaan gas untuk sektor transportasi, diberlakukan skenario subsidi Pemerintah untuk harga gas rata-rata 50-60%. Selanjutnya, insentif lainnya juga diberikan misalnya di Australia ada insentif 500 dollar Australia untuk pembelian 1 (satu) unit kendaraan LGV serta subsidi Pemerintah sebesar 3,000 dollar Australia untuk pembelian sebuah unit kendaraan LGV. d. Subsidi Pemerintah (Pusat dan/atau Daerah DKI Jakarta) minimal 10% dari harga peralatan konversi (converter kit). Harus dianggap sebagai insentif untuk menstimulasi gerakan awal Pemilik Kendaraan sehingga beban awal terhindarkan dan selisih harga bensin dan bahan bakar gas akan langsung terasa pada periode bulan pertama. Diharapkan secara psikologis hal ini akan menjadi stimulasi yang baik dan sekaligus mengumpulkan modal untuk cicilan kedua (cicilan pertama dari Pemilik Kendaraan). Dengan asumsi sementara 1 unit alat konversi dan pemasangannya membutuhkan dana Rp. 10 juta maka apabila target yang mau dicapai sebanyak 10.000 unit kendaraan dalam 1 tahun ke depan, Pemerintah harus menyiapkan dana sebesar Rp. 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah). Angka ini akan terlihat sedikit apabila dibandingkan dengan berjalannya proses diversifikasi energi dari sektor transportasi dan penurunan tingkat polusi udara. e. Kredit lunak untuk Pengadaan Peralatan Konversi dengan bunga 3%, atau maksimal 5% per tahun tanpa uang muka. Jika digabungkan dengan butir d maka subsidi 10% dapat dianggap sebagai cicilan pertama dan sekaligus bernilai untuk menutup bunga dengan asumsi masa cicilan maksimal 2 (dua) tahun. Pemilik angkutan akan diuntungkan dari sisi pengadaan tanpa modal di bulan pertama sekaligus total pembayaran tanpa bunga. Mekanisme kredit sekaligus dapat dijamin oleh Pemerintah sehingga lembaga keuangan yang akan terlibat merasakan adanya jaminan keamanan dan kepastian pengembalian kredit. Halaman-24
  • 26. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI f. Kepastian harga bahan bakar gas (misalnya CNG) per LSP tetap terjaga konsistensinya pada angka Rp. 2.562 setidaknya selama 2 (dua) tahun atau bahkan 5 (lima) tahun ke depan. Perhitungan waktu ini adalah periode dimana maksimal 2 (dua) tahun peralatan konversi dalam tahap cicilan dan pemilik kendaraan, akan berimplikasi juga pada Pengusaha SPBG, Bengkel dan Toko Spare Part, memiliki kepastian penghitungan. Dalam konteks 2 tahun pertama situasi berjalan dengan baik maka mekanisme harga akan mengacu pada nilai-nilai ekonomi, walau demikian dengan memperhitungkan masa transisi dimaksud butir 1.1 sampai 1.4 di atas dan butir 5.2.b sampai 5.2.c di atas maka periode 5 (lima) tahun adalah angka ideal. g. Pengurangan Pajak Kendaraan pada kisaran angka 30% pada tahun pertama kendaraan bersangkutan dialihkan berbahan bakar gas, dan secara gradual menurun 25% untuk tahun kedua, 20% untuk tahun ketiga, 15% untuk tahun keempat, dan akhirnya 10% pada tahun kelima dan seterusnya. Dengan asumsi masa pakai alat konversi pada kisaran 5 (lima) tahun maka penurunan secara gradual tersebut akan menyentuh titil 10% pada tahun kelima dan sekaligus mengingatkan bahwa alat konversi harus ditinjau ulang. Dalam hal, pengadaan alat konversi baru maka pola pengurangan pajak kembali dihitung sebagai tahun pertama. h. Pembebasan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebesar 10%. Merupakan insentif bagi pengguna bahan bakar gas dalam konteks diversifikasi dan penghematan energi nasional. i. Dalam hal umur kendaraan telah mencapai angka kadaluarsa maka Angkutan Umum berbasis bahan bakar gas mendapat prioritas peremajaan sesuai dengan Ijin Trayek yang ada. Insentif tambahan yang berimplikasi pada kepastian peremajaan angkutan. j. Uji Berkala Kendaraan Bermotor (Angkutan Umum) gratis untuk 1 (satu) tahun pertama. Sebuah instrumen insentif yang mengarahkan Pemilik Kendaraan untuk memeriksakan secara berkala kendaraannya dimana proses ini sangat terkait dengan aspek kelaikan jalan dan keselamatan yang menjadi salah satu permasalahan utama implementasi BBG selang 10 tahun terakhir. Dengan asumsi bahwa di tahun pertama (2007) akan ada 10.000 unit kendaraan umum yang berbahan bakar gas dan biaya Uji Berkala adalah sebesar Rp. 200.000,- maka unsur pendapatan daerah yang akan “hilang” adalah sebesar Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah). Kehilangan angka ini dapat menjadi bagian subsidi Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang tentu saja akan dikonversikan dengan turunnya biaya kesehatan dan lingkungan oleh karena penggunaan BBG. Bagi Pengusaha/Investasi SPBG, fasilitas atau insentif yang dapat diberikan, antara lain berupa : Halaman-25
  • 27. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI a. Jaminan kepastian akan arah dan kebijakan Pemerintah yang akan berimplikasi pada tumbuhnya populasi kendaraan berbahan bakar gas, dan akhirnya meningkatkan kebutuhan gas, yang ditempuh melalui intervensi kebijakan. b. Pembebasan bea masuk barang impor untuk peralatan SPBG berupa dispenser, booster dan lain sebagainya. c. Subsidi atas biaya listrik yang digunakan di SPBG sampai dengan tercapainya angka ideal kebutuhan gas. Bagi Masyarakat Pengguna, fasilitas atau insentif yang dapat diberikan, antara lain : a. Jaminan keselamatan penggunaan kendaraan berbahan bakar gas, yang harus ditempuh dengan Kebijakan/Regulasi, intervensi teknologi dan investasi, serta pengawalan yang ketat atas implementasi di lapangan, mulai dari jaminan tabung, peralatan konversi, sampai pada SPBG dengan menggunakan standarisasi yang diakui. b. Sosialisasi seluas-luasnya kepada masyarakat tentang hal-hal yang terkait dengan penggunaan bahan bakar gas sebagai kebijakan yang telah ditempuh Pemerintah, termasuk rencana kerja dan hasil-hasil yang telah dicapai. c. Insentif tarif khusus untuk angkutan umum yang menggunakan bahan bakar gas yang relatif lebih murah dari kendaraan berbahan bakar non-gas sehingga masyarakat pengguna akan diarahkan untuk memilih karena alasan ekonomi. Kondisi ini pada akhirnya akan memberi keuntungan bagi angkutan umum dimaksud terkait dengan tingginya animo masyakarat dalam menjatuhkan pilihan, dan meningkatnya pendapatan. Dari sisi angkutan umum non-gas, situasi ini akan menstimulus mereka untuk beralih ke gas sehingga seiring dengan perkembangan waktu, peningkatan kebutuhan, konsistensi kebijakan Pemerintah dan semakin akrabnya masyarakat maka populasi total angkutan umum yang berbahan bakar gas dapat terwujud setahap demi setahap. Bagi Sopir/Pengemudi, fasilitas atau insentif yang dapat diberikan, antara lain : a. Penurunan besaran setoran yang ditetapkan oleh pemilik angkutan sehingga margin bagi sopir dapat lebih besar. Kondisi ini, dianalogkan dengan situasi digambarkan oleh butir 5.4.c di atas akan menstimulasi sopir angkutan umum non-gas untuk beralih ke gas. b. Jaminan waktu pengisian bahan bakar di SPBG harus relatif singkat sehingga tidak memaksa terjadinya antrian yang akhirnya berimplikasi pada kehilangan waktu. Hal ini membutuhkan intervensi teknologi dan investasi dari pihak SPBG. Halaman-26
  • 28. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI c. Hal-hal yang terkait dengan jaminan kelancaran operasi di lapangan yang merupakan kombinasi dari butir-butir di atas akan merupakan insentif maksimal bagi para sopir. Rumusan Skema Ekonomi yang merujuk 5 (lima) aspek dengan masing-masing memiliki kelompok subyek maupun obyek tersebut adalah sejumlah pilihan yang tentu saja dapat dianggap sebagai sebuah paket ataupun dipilah berdasarkan kemampuan yang tersedia dan opsi-opsi yang paling realible untuk dilaksanakan. Sebuah harga mati yang tidak dapat ditawar sesungguhnya adalah kepastian (komitmen, konsekuen dan konsistensi) Kebijakan Pemerintah dimana variabel ini adalah landasan bagi pihak-pihak terkait lainnya yaitu sektor swasta dan unsur masyarakat untuk menindaklanjutinya di tingkat implementasi. Halaman-27
  • 29. Policy Paper : IMPLEMENTASI BBG BERBASIS PERDA 2/2005 PROPINSI DKI JAKARTA, MENCARI SOLUSI MELALUI INSENTIF EKONOMI Lampiran Referensi : 1. KAJIAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral, 2003. 2. Laporan Kegiatan, Pelaksanaan Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 230/2003 tentang Program Aksi Pemeriksaan Peralatan Konversi Bahan Bakar Gas pada Kendaraan Bermotor di wilayah Propinsi DKI Jakarta, BPLHD DKI Jakarta, 2004. 3. Dokumen Rencana Strategis PEMANFAATAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI DI PROPINSI DKI JAKARTA, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta, 2004. 4. Dokumen Action Plan PEMANFAATAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK TRANSPORTASI DI PROPINSI DKI JAKARTA, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta, 2005. 5. Buku Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 12/2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau serta Penyeberangan di Propinsi DKI Jakarta. 6. Buku Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. 7. Dokumen Draft Final Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang Penggunaan Bahan Bakar Gas untuk Angkutan Umum dan Kendaraan Operasional Pemerintah Daerah, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta, 2006. 8. STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (SLHI) 2005, Kementerian Lingkungan Hidup, 2006. 9. Berbagai informasi dan data yang dihimpun dari media massa. Halaman-28