call for application erasmus mundus action 2 gate project scholarship
SEMINAR SAAPI
1. 1Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia
Yogyakarta, 26 Juni 2014
Pengembangan Persilangan Sapi Potong dan Dampaknya
pada Struktur Genetika Molekuler
Oleh: Tety Hartatik, S.Pt., Ph.D.
Tim Center of Excellence Pengembangan Persilangan Sapi Potong
Fakultas Peternakan UGM
Latar Belakang
Sapi potong sebagai salah satu penyedia kebutuhan daging nasional saat ini
potensinya masih jauh dari yang diharapkan disebabkan karena produktifitasnya yang masih
rendah. Dengan jumlah penduduk Indonesia 238,5 juta jiwa pada tahun 2010 (BPS, 2014).
Populasi sapi potong dalam empat tahun terakhir terjadi peningkatan sebesar 5 % per tahun
atau 12.759.838 ekor pada tahun 2009 menjadi 15.980.696 ekor pada tahun 2012 (Ditjennak,
2013). Kebutuhan daging secara nasional tahun 2012 untuk konsumsi dan industry sebanyak
484 ribu ton. Jumlah penduduk diproyeksikan pada tahun 2020 akan mencapai 271 juta
(BPS, 2014), sehingga kebutuhan daging diperkirakan akan naik. Oleh karena itu untuk
meningkatkan ketersediaan daging sapi, mengurangi impor daging dan ternak hidup maka
peningkatan produksi daging nasional perlu diupayakan.
Peningkatan produksi dapat dicapai dengan peningkatan jumlah populasi dan
peningkatan produktifitas. Upaya peningkatan produktifitas sudah dilakukan yaitu lewat
perbaikan genetik dengan menerapkan sistem crossbreeding pada sapi lokal. Salah satu
bangsa sapi lokal yang banyak dijumpai adalah sapi Peranakan Ongole (PO). Crossbreeding
untuk menghasilkan F1 dan juga silang balik telah banyak dilakukan oleh peternak di
pedesaan dan dari pengalaman mereka hasil yang didapat menunjukkan performan produksi
yang cukup baik. Peningkatan produktifitas memerlukan dukungan lingkungan berupa
peningkatan kualitas dan kuantitas pakan, manajemen pemeliharaan, dan juga kesehatan.
Persilangan yang dilakukan saat ini baik dengan bangsa impor Simmental (S) maupun
Limousine (L) belum didasarkan pada program breeding yang mengarah pada target yang
ingin dicapai dengan dukungan lingkungan dan manejemen yang standar. Meskipun
persilangan sudah cukup lama dilakukan dan dihasilkan keturunan F1, maupun hasil
backcross dengan pejantan impor tetapi data kuantitatif sifat-sifat produksi dan reproduksi
sulit didapat karena tidak adanya recording.
2. 2Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia
Yogyakarta, 26 Juni 2014
Akan tetapi hal penting yang kurang diperhatikan adalah bahwa crossbreeding
antara dua bangsa memerlukan tersedianya bangsa murni dari keduanya dalam jumlah yang
cukup, sehingga dengan demikian impor bangsa murni baik berupa ternak atau semen beku
akan terus dilakukan. Hal ini akan memboroskan devisa Negara. Berdasar hasil evaluasi
yang sudah terjadi di lapangan dibutuhkan suatu program breeding yang sesuai.
Oleh karena itu perlu adanya suatu program jangka pendek dan jangka panjang untuk
dapat menentukan program breeding yang cocok berdasarkan evaluasi hasil persilangan PO
dengan Simmental (S) atau Limousine (L) yaitu ternak F1, F2 serta backcross. Disamping
itu hal yang belum pernah diusahakan adalah menerapkan program breeding untuk
menghasilkan bangsa komposit (composite breed) sebagai alternatif crossbreeding. Sekali
bangsa komposit terbentuk maka untuk selanjutnya breeding dan seleksi akan dikerjakan
seperti pada bangsa murni dan tidak diperlukan lagi persilangan. Pembentukan ternak
komposit yang merupakan ternak komersial merupakan tujuan jangka panjang yang akan
dilakukan oleh Center of excellence Pengembangan Sapi Potong.
Crossbreeding (Persilangan)
Crossbreeding adalah perkawinan antara individu-individu dari bangsa yang berbeda,
dipergunakan dengan tujuan meningkatkan performans, produktifitas, serta efisiensi untuk
mengurangi biaya produksi (production cost). Keuntungan yang diharapkan dari
crossbreeding adalah: 1) Heterosis 2) Breed complementarity.
Heterosis merupakan keunggulan keturunan crossbred yang disebut sebagai “Hybrid vigor”,
ditunjukkan dengan keunggulan rata-rata keturunan crossbred terhadap rata-rata kedua
tetuanya (Morris et al.,1994). Hybrid vigor menyebabkan peningkatan performans dan
produktivitas. Hybrid vigor merupakan hasil kerja dari efek gen-gen non-aditif (dominan,
lewat-dominan, dan epistasis). Breed complementarity merupakan keuntungan yang didapat
dari penggunaan kombinasi optimum bangsa yang dipergunakan dalam crossbreeding dan
merupakan hasil kerja dari efek gen-gen aditif. Level heterosis berkebalikan dengan level
heritabilitas. Sifat-sifat reproduksi menunjukkan level heterosis tinggi, sifat-sifat
pertumbuhan menunjukkan level heterosis yang sedang, dan sifat–sifat karkas level
heterosisnya rendah (Lasley, 1978; Warwick et al., 1983; Morris et al., 1994).
Heterosis dapat ditunjukkan oleh 1) Individual heterosis yaitu keunggulan individu
crossbred relatif terhadap rata-rata individu purebred, 2) Maternal heterosis yaitu keunggulan
dari induk crossbred terhadap rata-rata induk-induk purebred , dan 3) Paternal heterosis yaitu
keunggulan jantan crosbred terhadap rata-rata jantan purebred.
3. 3Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia
Yogyakarta, 26 Juni 2014
Sistem crossbreeding pada produksi ternak komersial secara umum dibedakan menjadi
tiga yaitu:
1)Terminal crossing dimana betina dari bangsa “A” misalnya dikawinkan dengan jantan dari
bangsa “B” membentuk terminal cross dua bangsa (AB) yang hanya memanfaatkan
individual heterosis. Pada sistem ini dilakukan Re-creation F1 pada setiap generasi. Terminal
cross juga dapat dibentuk dari tiga bangsa atau lebih. Pada sistem ini selain pemanfaatan
individual heterosis juga memanfaatkan maternal heterosis. Terminal cross tiga bangsa
(Three-way crossing) misalnya jantan bangsa “C” yang disebut pula Terminal sire
disilangkan dengan betina Bangsa “AB”
2)Rotational crossing (Crisscrossing) dimana pada setiap generasi perkawinan dipergunakan
bangsa pejantan yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Anak betina dari setiap generasi
perkawinan akan dipelihara sebagai replacement. Sebagai contoh rotational dua bangsa
adalah: Pada generasi pertama Pejantan bangsa “A” kawin dengan betina bangsa “B”
dihasilkan “AB” crossbred, generasi kedua jantan bangsa “B” dikawinkan dengan betina
crossbred “AB” diperoleh keturunan “ B x (AB)”, generasi ketiga jantan bangsa “A”
dikawinkan dengan betina crossbred “B x AB” dihasilkan keturunan “ A x (B(AB)). Dan
pada generasi keempat jantan bangsa “B” akan dikawinkan dengan betina crossbred “A x
(B(AB)). Individual heterosis yang didapat berturut-turut dari generasi pertama sampai
keempat adalah 100%, 50%, 75%, 62,5%, dan sesudah beberapa generasi berikutnya akan
stabil menjadi 67%. Maternal heterosis berturut-turut dari generasi pertama adalah 0%,
100%, 50%, 75%, dan selanjutnya 67%. Persen individual heterosis maupun maternal
heterosis akan bertambah dengan bertambahnya bangsa yang dipergunakan pada rotational
sistem, pada tiga dan empat bangsa berturut-turut adalah 86% dan 93%.
3)Rota-terminal cross yang merupakan kombinasi dari rotational crossing dan terminal
crossing. Pada sistem ini maka keturunan betina crossbred “AB” dikawinkan dengan pejantan
bangsa “C” dan semua keturunan yang dihasilkan adalah terminal.
Hal yang penting dalam sistem persilangan adalah tersedianya cukup purebred yang
diperlukan dalam pembentukan bangsa silangan. Terminal sistem yang hanya melibatkan
dua bangsa merupakan metode persilangan yang paling mudah dan menghasilkan efek
heterosis yang maksimal.
Bangsa Komposit
Tujuan pembentukan bangsa komposit adalah untuk mempertahankan tingkat
heterosis maksimum yang memungkinkan pada generasi selanjutnya, tanpa penambahan
4. 4Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia
Yogyakarta, 26 Juni 2014
persilangan lagi. Bangsa komposit dibentuk dari kombinasi dua bangsa atau lebih dengan
persentase darah tertentu yang selanjutnya diikuti dengan perkawinan inter-se, dan dapat
dibentuk kembali dengan formula yang sama (Subandriyo, 2007). Ritchie et. al.(2002)
mendefinisikan bangsa komposit sebagai: A population made up of two or more component
breeds, designed to retain heterosis (hybrid vigor) in future generations without
crossbreeding and maintained like a pure breed. Dalam pembentukannya diperlukan money,
time and patience.
Ritchie et al. (2002) menjelaskan dalam pembentukannya tiap generasi diperlukan 25
ekor jantan dan 500- 750 induk, selanjutnya pada tahap inter-se(within herd) matings
diperlukan tiga generasi inter-se. Pada iklim yang panas direkomendasikan komposisi darah
Bos Indicus ¼ sampai 3/8. Pembentukan bangsa komposit dipilih sebagai alternatif dari
rotational crossbreeding system, karena manajemen breeding yang lebih mudah setelah
terbentuknya bangsa ini. Bangsa Bos Taurus dan Bos Indicus banyak dipergunakan dalam
pembentukannya. Komposisi darah dan berapa komponen bangsa yang dipergunakan
tergantung pada klimat, lingkungan, manajemen level, pakan, penyakit dan parasit, target
produksi. Di Afrika Selatan dibentuk bangsa sapi perah komposit dengan mempergunakan
bangsa sapi Sahiwal, dengan Ayrshire, Frisian Holstein dan Brown Swiss pada berbagai
komposisi darah. Bangsa sapi potong komposit yang dikenal antara lain adalah
Droughtmaster, Santa Gertrudis Muray Grey, Belmont Red (Hardjosubroto, 1994).
Model Breeding Untuk Pembentukan Bangsa Komposit
Di lapangan sudah banyak diterapkan persilangan sapi potong dan hasil F1 nya berupa
sapi Simpo dan Limpo dengan komposisi darah 50% Simmental ( Limousine) dan 50%PO
yang disukai masyarakat. Sumadi et al. (2003) melaporkan persilangan sapi Simmental
dengan sapi PO telah menimbulkan dampak positif dengan terjadinya kenaikan bobot badan,
yang tampak setelah sapi menginjak dewasa, meskipun belum dapat ditunjukkan efek
heterosis. Dampak negatif terhadap reproduksi belum tampak hanya kasus terjadinya
penundaan berahi setelah beranak. Kekhawatiran yang ada adalah persilangan ini yang
dimaksudkan merupakan terminal untuk membentuk sapi komersial akan tetapi di masyarakat
dilakukan lagi persilangan-persilangan sehingga kemudian tak jelas komposisi darahnya
karena tidak ada rekording. Oleh karena itu perlu dibuat konsep breeding untuk membuat
pembentukan bangsa komposit. Berikut ini adalah dua contoh model breeding untuk
pembentukan bangsa komposit dengan komposisi darah 50%/50% dan 62,5%/37,5%
5. 5Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia
Yogyakarta, 26 Juni 2014
A. Model pembentukan bangsa komposit 50% Simental (Limousin) dan 50% PO
1. Persilangan: 100% S(L) x 100% PO menghasilkan F1 50% S(L)/ 50%PO
2. F1 x F1 menghasilkan F2 50% S(L)/ 50%PO
3. Komposit F2 x F2 menghasilkan keturunan 50% S(L)/ 50%PO
4. Inter-se Mating menghasilkan keturunan 50% S(L)/ 50%PO
B. Model pembentukan bangsa komposit 62,5% S (L) dan 37,5% PO
1. Persilangan: 100% S(L) x 100% PO menghasilkan F1 50% S(L)/ 50%PO
2. F1 x BC menghasilkan BC1 75% S(L)/ 25%PO
3. Komposit BC1 x F1 menghasilkan keturunan 62,5% S(L)/ 37,5%PO
4. Inter-se Mating menghasilkan keturunan 62,5% S(L)/ 37,5%PO
Perkiraan empat tahap kegiatan berdasar model breeding yang diaplikasikan yaitu
crossing untuk menghasilkan masing-masing tahap kegiatan I, II, III, dan IV
memerlukan waktu berturut-turut 18 bulan, 30 bulan, 30 bulan dan 30 bulan, sehingga
total waktu seluruhnya 108 bulan ( 9 tahun).
Dampak Persilangan Pada Struktur Genetika Molekuler
Ditinjau dari analisis genetika molekuler menunjukkan adanya perubahan frekuensi
alel pada keturunan sapi hasil persilangan. Berdasarkan penelitian tentang identifikasi gen
Growth Hormone (GH) dan SRY pada beberapa sapi lokal dan hasil persilangan di Indonesia
menunjukkan adanya perubahan frekuensi alel dan mempunyai sifat polimorfik yang tinggi.
Sifat polimorfik pada kedua gen tersebut banyak dijumpai pada sapi persilangan dan tidak
ditemukan pada sapi lokal dan sapi Bali (Bos sondaicus). Perubahan tersebut disebabkan
adanya mutasi titik (point mutation) pada gen GH akibat terjadi substitusi sebuah nukleotida :
cytosine (C) dengan guanine (G). Mutasi tersebut mengakibatkan perubahan asam amino dari
leusyne (Leu): CTG menjadi valine (V): GTG pada urutan ke-127 dari rantai polipeptida GH.
Mu’in (2008) melaporkan bahwa sebanyak 242 sampel sapi Bali menunjukkan 100% genotip
LL, sedangkan pada 43 sapi PO, 44 Simpo dan 42 Limpo berturut-turut menunjukkan
genotip LL sebesar 98%, 50% dan 78%. Namun berdasarkan perhitungan keseimbangan
genetik (Hardy-Weinberg equilibrium) masih menunjukkan adanya keseimbangan pada
populasi sapi LIMPO (X2
=0,58), SIMPO (X2
=4,89). dan PO (X2
=0,03). Keseimbangan
genetik tersebut diketahui dengan nilai uji Chi-Square pada ketiga bangsa tersebut kurang
dari nilai X2
0,05;2 = 5,99. Perubahan Frekuensi genotip dan alel juga ditunjukkan pada
persilangan sapi Limosin x Madura seperti terlihat pada Tabel 1 (Hartatik et al, 2013).
6. 6Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia
Yogyakarta, 26 Juni 2014
Tabel 1. Frekuensi Alel dan Genotip pada Sapi Lokal dan Hasil Persilangan
Cattle
N
Σ
Genotipe Frekuensi Alel
X2
LL LV VV L V
Limmousine
6
Observed 4 2 0 0.83 0.17 0.23
Expected 4.13 (69.65%) 1.63 (27.49%) 0.17 (2.87%)
Madura
65
Observed 100 0 0 1.00 0.00 -
Expected - - -
Peranakan Ongole
(PO )
52
Observed 50 (96.15%) 2 (3.85%) 0 (0%) 0.98 0.02 0.19
Expected 49.94 (96.04%) 2.04 (3.92%) 0.02 (0.04%)
Limousin-Madura 81
Observed 66 (81.48%) 15 (18.52%) 0 0.91 0.09 0.89
Expected 67.1(82.81%) 13.27 (16.38%) 0.66 (0.81%)
Limousin-PO
56
Observed 44 (78.57%) 12 (21.43%) 0 (0%) 0.89 0.11 0.78
Expected 44.4 (79.23%) 10.96 (19.56%) 0.68 (1.21%)
Berkurangnya frekuensi genotip LL dan meningkatnya genotip LV pada sapi
persilangan menunjukkan adanya aliran (migrasi) alel V yang diduga berasal dari sapi
Simental dan Limousin. Akan tetapi migrasi tersebut tidak sampai mengganggu
keseimbangan genetik pada populasi tersebut. Penelitian Mu’in (2008) pada sapi SIMPO
dengan frekuensi genotip LL dan LV yang seimbang (masing-masing 50%) sehingga dipilih
untuk mengetahui efek gen polimorfik GH pada berat badan seperti terlihat pada Tabel 3.
Berat badan dan pertambahan berat bada pada kedua macam genotip tersebut tidak
menunjukkan efek yang signifikan.
Tabel 3. Efek genotip GH terhadap pertambahan berat badan pada sapi SIMPO
Sifat Pertumbuhan
Genotip
P
LL LV
BL (kg) 32,15 ± 3,97 (n = 40) 34,36 ± 4,95 (n = 22) 0,108
BB-60 (kg) 72,57 ± 10,29 (n = 37) 78,50 ± 9,05 (n = 22) 0,064
PBBH (g/hari) 670,80 ± 137,50 (n = 37) 735,60 ± 94,00 (n = 22) 0,187
BL: Berat Lahir; BB-60: Berat Badan umur 60 hari ; PPBH: Pertambahan Berat Badan Harian;
Pada analisis genetika molekuler dengan metode polymerase chain reaction-restriction
fragment length polymorphism (PCR-RFLP) terkait gen SRY juga menunjukkan adanya
perubahan pola yang berbeda pada sapi persilangan dibandingkan dengan pola PCR-RFLP
pada sapi Madura seperti terlihat pada Tabel 2 (Hartatik et al, 2014).
Table 2. Hasil PCR-RFLP pada sapi Madura dan Persilangan
Sample Type Location Number
Restriction Enzymes
Pst I BfaI
2 Band 3 Band 1 Band
Madura Cattle Pamekasan 10 10
(100%)
- 10
(100%)
Pure Madura Cattle Sapudi
Island
4 4
(100%)
- 4
(100%)
Limousin x Madura
Cattle
Pamekasan 19 19
(100%)
14
(73.68%)
5
(26.32%)
Total Sample 33 33 14 19
7. 7Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia
Yogyakarta, 26 Juni 2014
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas bahwa persilangan pada sapi memberikan
efek pada perubahan struktur genetika molekuler pada sapi. Sehingga untuk melakukan
pengembangan crossbreeding diperlukan identifikasi genetik pada sapi yang murni dengan
marker DNA yang spesifik pada masing-masing bangsa sapi.
Kesimpulan
1. Untuk mengetahui produktivitas hasil persilangan atau komposit diperlukan suatu
program breeding yang terarah dan terencana dengan didukung sarana dan prasarana yang
memadai.
2. Untuk pengembangan persilangan sapi potong dan untuk membentuk bangsa komposit
diperlukan bangsa murni, sehingga peran teknologi analisis genetika molekuler
dibutuhkan untuk mengidentifikasi kemurnian bangsa sapi yang akan dikembangkan
untuk program persilangan.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2014. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995,
2000 dan 2010. Diakses pada
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab
=1 (tanggal 25 Juni 2014).
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Republik Indonesia.
2013. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013. Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Republik Indonesia
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Grasindo, Jakarta.
Hartatik,T., Slamet Diah Volkandari, Mifta Pratiwi Rachman, and Sumadi. 2013.
Polymorphism Leu/Val of Growth Hormone Gene Identified from Limousin Cross Local
Cattle in Indonesia. Procedia Enviromental Science 17 (2013) 105-108. (ISSN: 1878-
0296).
Hartatik, T. , T.S.M.Widi, S.D.Volkandari, D. Maharani and Sumadi. 2014. Analysis of DNA
Polymorphism in SRY Gene of Madura Cattle Populations. Procedia Enviromental
Science 20 (2014) 365-369. (ISSN: 1878-0296).
Lasley, Y.E. 1978. Genetics of Livestock Improvement. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs.
New Jersey.
Mu’in, M.A. 2008. Polimorfisme Genetik Growth Hormone dan Insuline-Like Growth
Factor-I serta Efeknya Pada Pertumbuhan Sapi Potong di Indonesia. Disertasi, Fakultas
Peternakan, Universitas Gadjah Mada.
8. 8Seminar Arah dan Pengembangan Crossbreeding Sapi Potong di Indonesia
Yogyakarta, 26 Juni 2014
Morris, S.T., I.M. Brookes, W.J. Parker, and S.N.McCutcheon. 1994. Biological efficiency:
how relevant is this concept to beef cows in a mixed livestock seasonal pasture supply
context? Proceedings of the New Zealand Society of Animal Production 54: 333-336.
Ritchie, H.D., B.D. Banks, D.Buskirk, J.Cowley and D. Hawkins. 2002. Development And
Use Of Composite. Animal Science Staff Paper 440, File No. 19.113.September 2002.
Subandriyo. 2007. Pembentukan rumpun Kambing Atau Domba Baru Melalui Persilangan.
Makalah Pada Lokakarya Kambing Boerawa. Lampung 29-30 Juli 2007.
Sumadi, W.Hardjosubroto, Supiyono. 2003. Penyusunan Program Breeding Sapi Potong Di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Kerjasama Dinas Pertanian Propinsi DIY Dengan
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Warwick, E.J., J.M.Astuti, dan W.Hardjosubroto. 1983 Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.