4. PEMBAHASAN NO 1
• Pada prinsipnya untuk dapat memidana seseorang seluruh
unsur delik harus terpenuhi. Namun terdapat ketentuan yang
mengecualikan prinsip diatas, yaitu ketentuan mengenai
percobaan tindak pidana. Berdasarkan ketentuan tersebut,
untuk dapat memidana seseorang tidak perlu terpenuhi
semua unsur dalam delik, apabila sebagian rumusan delik
dan syarat-syarat percobaan sudah terpenuhi, seseorang
sudah dapat dipidana.
• Ketentuan mengenai percobaan tidak berlaku dalam tindak
pidana pelanggaran (Pasal 54 KUHP), dan tindak pidana-
tindak pidana tertentu, seperti : Percobaan duel / perkelahian
tanding (pasal 184 ayat 5); Percobaan penganiayaan ringan
terhadap hewan (pasal 302 ayat 4); Percobaan
penganiayaan biasa (pasal 351 ayat 5); Percobaan
penganiayaan ringan (pasal 352 ayat 2);
www.rudipradisetia.com 4
5. PEMBAHASAN NO 2
• Pasal 53 (1) KUHP yang menyatakan :
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat
untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri”.
• Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini,
terdapat beberapa teori :
1. Teori Subyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan
terletak pada sikap batin atau watak yang
berbahaya dari si pembuat. Termasuk penganut teori
ini ialah Van Hamel
www.rudipradisetia.com 5
6. LANJUTAN
2. Teori Obyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan
terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang
dilakukan oleh si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu :
• Teori obyektif-formil. Yang menitik beratkan sifat
berbahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum.
• Teori obyektif-materiil. Yang menitik beratkan sifat
berbahayanya perbuatan itu terhadap kepentingan /
benda hukum. Penganut teori ini antara lain Simons.
3. Teori Campuran.
Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari
dua segi, yaitu : sikap batin pembuat yang berbahaya
(segi subyektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan
(segi obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah pendapat
Langemeyer dan Jonkers.
www.rudipradisetia.com 6
7. PEMBAHASAN NO 3
• Berdasarkan pasal 53 KUHP unsur-unsur percobaan
adalah sebagai berikut :
1. Niat
2. Permulaan pelaksanaan
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata
karena kehendak pelaku sendiri.’
www.rudipradisetia.com 7
8. PEMBAHSAN NO 4
• Menurut Prof. Moelyatno :
• Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara
potensiil dapat berubah menjadi kesengajaan apabila sudah
ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju; dalam hal semua
perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan,
tetapi akibat yang dilarang tidak timbul (percobaan
selesai/voltooidc poging), disitu niat 100% menjadi kesengajaan,
sama kalau mengahadapi delik selesai.
• Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka
niat masih ada dan merupakan sikap batin yang membari arah
kepada perbuatan, yaitu subjectieve onrechtselement.
• Oleh karena itu niat tidak sama dan tidak bisa disamakan
dengan kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari
isinya kesengajaan apabila kejahatan timbul; untuk ini diperlukan
pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi sudah ada
sejak niat belum ditunakan jadi perbuatan.
www.rudipradisetia.com 8
9. PEMBAHASAN NO 5
• Dengan adanya penjelasan MvT (memorie van toelichting),
maka ada pendapat bahwa unsur ketiga dari percobaan ini
merupakan :
1. Alasan penghapusan pidana yang diformulir sebagai
unsur (Pompe)
2. Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji)
3. Alasan penghapusan penuntutan (Vos, Moeljatno)
• Prof. Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang
menyatakan unsur ke-3 ini sebagai alasan pemaaf (fait d’ex-
cuse) maupun sebagai alasan pengahpus pidana, sebab
perbuatannya tetap tidak baik (yang baik adalah tidak
mencoba sama sekali) sehingga tidak ada alasan untuk
memaafkan ataupun membenarkan.
www.rudipradisetia.com 9
10. PEMBAHASAN NO 6
• Permulaan pelaksanaan, bertolak dari pandangan atau
teori percobaan yang subyektif, VAN HAMEL
berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan
pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah
dilakukan telah ternyata adanya kepastian niat untuk
melakukan kejahatan.
• Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran
oleh VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap batin
yang jahat dan berbahaya dari si pembuat. Ukuran
demikian menurut VAN HAMEL sesuai dengan ajaran
hukum pidana yang lebih baru yang bertujuan
memberantas kejahatan sampai ke akar-akarnya.
www.rudipradisetia.com 10
11. LANJUTAN
• Bertolak dari pandangan atau teori percobaan
yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat sbb :
1. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada
apabila telah dimulai perbuatan yang disebut
dalam rumusan delik;
2. Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada
pabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang
menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan
akibat yang dilarang oleh undang-undang tanpa
mensyaratkan adanya perbuatan lain.
www.rudipradisetia.com 11
12. LANJUTAN
• Contoh : A bermaksud melakukan pencurian dirumah B untuk
melaksanakan aksinya, A telah mempersipkan segala sesuatu
peralatan untuk mencuri, kemudian pada malam hari ia
mendatangi rumah B. Sesampainya di rumah B, ia mematikan
lampu teras, melepas kaca jendela dan baru saja A masuk
rumah lewat jendela itu ia tertangkap.
• Apabila digunakan ukuran Van Hamel, maka dalam hal ini
dikatakan sudah ada perbuatan pelaksanaan, tetapi
menurut ukuran Simons baru merupakan perbuatan
persiapan, karena belum mulai melakukan perbuatan seperti
yang disebut dalam rumusan delik (pencurian : pasal 362
KUHP) yaitu “ mengambil barang “. Apabila A sudah
mengambil barang dan pada saat itu ketahuan dan
tertangkap, barulah dikatakan pada saat itu A telah
melakukan perbuatan pelaksanaan yang oleh karenanya
dapat dituntut telah melakukan percobaan pencurian.
www.rudipradisetia.com 12
13. LANJUTAN
• Menurut Prof Moelyatno perbuatan pelaksanaan harus
memenuhi 3 syarat yaitu :
1. Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa
harus mendekatkan kepada delik/kejahatan yang
dituju atau dengan kata lain, harus mengandung
potensi untuk mewujudkan delik tersebut;
2. Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat, harus
tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan
oleh terdakwa itu ditujukan atau diarahkan pada
delik/kejahatan yang tertentu tadi;
3. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu
merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
www.rudipradisetia.com 13
14. PEMBAHASAN NO 7
• Percobaan yang alatnya tidak sempurna secara absolut, tidak
mungkin menimbulkan delik selesai, sehingga tidak mungkin juga
menimbulkan delik percobaan, oleh karenanya tidak dapat
dipidana. Namun dalam alat yang tidak sempurna secara realtif
memungkinkan timbul delik sesuai dengan keadaannya. Sebagai
contoh :
1. Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri, maka gula adalah alat
yang tidak mampu digunakan untuk membunuh, sedangkan
warangan (arsenicum) adalah mampu;
2. Apabila dilihat dari keadaan konkritnya, maka alat yang pada
umumnya mampu untuk membunuh (misal warangan) dapat
menjadi alat yang tidak mampu apabila jumlahnya tidak
memenuhi dosis yang cukup mematikan (untuk arsenicum 5
mg). Begitupun sebaliknya, gula tidak berbahaya pada orang
pada umumnya namun berbahaya dan dapat mematikan
untuk penderita diabetes.
www.rudipradisetia.com 14
15. PEMBAHASAN NO 8
• Telah dikemukakan di muka bahwa menurut system KUHP, yang dapat
dipidana hanyalah percobaan terhadap kejahatan, sedangkan
terhadap pelanggaran tidak dipidana. Dalam hal percobaan terhadap
kejahatan, maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum pidana yang
dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk kejahatan (pasal) yang
bersangkutan dikurangi sepertiga.
• Jadi misalnya untuk percobaan pembunuhan (pasal 53 jo pasal 338
KUHP), maksimumnya ialah 10 tahun penjara. Bagaimanakah apabila
kejahatan yang bersangkutan diancam pidana mati atau penjara
seumur hidup, seperti halnya dalam pasal 340 KUHP (pembunuhan
berencana). Menurut pasal 53 (3), maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan hanya 15 tahun penjara.
• Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHP, maksimum
pidana pokok untuk percobaan adalah lebih rendah daripada apabila
kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana
tambahannya, menurut pasal 53 (4) adalah sama dengan kejahatan
selesai.
www.rudipradisetia.com 15
16. PEMBAHASAN NO 9
• Pembagian penyertaan menurut KUHP Indonesia
adalah :
• Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri dari :
1. Pelaku (pleger)
2. yang menyuruh lakukan (doenpleger)
3. yang turut serta (medepleger)
4. penganjur (uitlokker)
• Pembantu / mendeplichtige (pasal 56) yang terdiri dari :
1. pembantu pada saat kejahatan dilakukan
2. pembantu pada saat kejahatan belum
dilakukan.
www.rudipradisetia.com 16
17. PEMBAHASAN NO 10
• Syarat-syarat dalam masing-masing bentuk
penyertaan :
1. Pleger (pelaku)
Pelaku (pleger) ialah orang yang melakukan
sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.
2. Doenpleger (yang menyuruh lakukan)
Doenpleger ialah orang yang melakukan
perbuatan dengan perantaraan orang lain,
sedang perantara ini hanya diumpamakan
sebagai alat. Dengan demikian terdapat :
• Pelaku langsung
• pelaku tidak langsung
www.rudipradisetia.com 17
18. LANJUTAN
• Pada Doenpleger terdapat unsur-unsur sbb :
1. Alat yang dipakai adalah manusia;
2. Alat yang dipakai itu “berbuat” (bukan alat yang mati)
3. Alat yang dipakai itu “tidak dapat
dipertanggungjawabkan pidana” unsur ketiga inilah yang
merupakan tanda ciri dari doenpleger .
3. Medepleger (orang yang turut serta)
Undang-undang tidak memberikan definisi
tentang medepleger Menurut M.v.T : Orang
yang turut serta melakukan (medepleger) ialah
orang yang dengan sengaja turut berbuat atau
turut mengerjakan terjadinya sesuatu.
www.rudipradisetia.com 18
19. LANJUTAN
• Syarat adanya medepleger :
1. Ada kerjasama secara sadar (bewuste samenwerking).
Adanya kesadaran bersama tidak berarti ada
permufakatan lebih dulu, cukup apabila ada pengertian
antara peserta pada saat perbuatan dilakukan dengan
tujuan mencpai hasil yang sama. Yang penting aialah
harus ada kesenjangan secara sadar. Tidak ada turut
serta, bila orang yang satu hanya menghendaki untuk
menganiaya, sedang kawannya menghendaki matinya
si korban. Penentuan kehendak atau kesenjangan
masing-masing peserta itu dilakukan secara normatif.
2. Ada pelaksanaan bersama secara fisik (gezamenlijke
ultvoering/physieke samenwerking).
www.rudipradisetia.com 19
20. LANJUTAN
4. Uitlokker (penganjur atau pembujuk)
Pembujuk ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana
yang ditentukan oleh undang-undang untuk melakukan kejahatan.
• Syarat pembujukan yang dapat dipidana :
a. Ada kesenjangan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang
terlarang.
b. Menggerakkannya dengan menggunakan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti
tersebut dalam undang-undang (bersifat limitatif).
c. Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal-hal tersebut
pada a dan b (jadi ada psychise causaliteit).
d. Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau
percobaan melakukan tindak pidana.
e. Pembuat materiil tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana
• Dari lima syarat yang disebutkan diatas, jelas bahwa syarat 1 dan 2
merupakan syarat yang harus ada pada si pembujuk, sedangkan syarat
3, 4 dan 5 merupakan syarat yang melekat pada orang yang dibujuk
(pembuat materiil).
www.rudipradisetia.com 20
21. LANJUTAN
5. Pembantuan (medeplichtige)
Dilihat dari perbuatannya. Pembantuan ini bersifat accessoir
artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang
melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu).
Tetapi dilihat dari pertanggungjawaban tidak accessoir.
Artinya dipidananya pembantu tidak tergantung pada
dapat tidaknya si pelaku dituntut pidana.
• Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu :
a. Jenis pertama :
Waktunya : Pada saat kejadian dilakukan;
Caranya : Tidak ditentukan secara limitatif dalam undang-
undang
b. Jenis kedua :
Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan;
Caranya : Ditentukan secara limitatif dalam undang-undang (yaitu
dengan cara : memberi kesempatan, sarana atau keterangan).
www.rudipradisetia.com 21
22. PEMBAHASAN NO 11
• Istilah asing untuk pelaku langsung dan pelaku tidak
langsung
1. Pelaku langsung (onmiddelijke dader, auctor
physicus, manus ministra)
2. Pelaku tidak langsung (middelijke dader,
doenpleger, auctor intellectuals, manus domina)
www.rudipradisetia.com 22
23. PEMBAHASAN NO 12
• Pelaku tidak langsung tidak dipidana ketika pelaku
langsung tidak melaksanakan perintah atau
kehendak dari pelaku tidak langsung tersebut,
Sehingga tidak terjadi tindak pidana.
• Namun, menurut saya dalam hal terjadi
penyuruhan yang gagal, pelaku masih
dimungkinkan untuk dipidana dengan tuduhan
percobaan menyuruh melakukan tindak pidana.
Walaupun demikian, tentunya perlu dilihat
permasalahan tersebut secara kasuistis. Apakah
unsur percobaan sudah terpenuhi atau belum.
www.rudipradisetia.com 23
24. PEMBAHASAN NO 13
• Terdapat dua pendapat untuk menjawab pertanyaan ini, apakah
kualifikasi orang yang menyuruh harus sama dengan orang yang disuruh
:
1. Pendapat pertama : “harus”. Alasannya, karena tidak mungkin
seorang A menyuruh orang lain B melakukan sesuatu yang A sendiri
tidak dapat melakukannya. Misalnya : A bukan pegawai negeri, maka
ia tidak dapat melakukan “delik jabatan”, jadi A tidak bisa menjadi
pembuat langsung (onmiddelijke dader) oleh karena itu ia juga tidak
bisa menjadi pembuat tidak langsung, maka A tidak bisa menjadi
doenpleger. Jadi walaupun B (yang disuruh) adalah “ pegawai negeri,
tetap dikatakan tidak ada doenpleger.
2. Pendapat kedua : “tidak harus”. “Menyuruh-lakukan sesuatu delik
jabatan tidak hanya terdapat apabila pembuat materiilnya adalah
seorang pejabat, akan tetapi juga sebaliknya, ialah apabila
pelaksanaanya bukan, sedang yang menyuruh-lakukan itu adalah
pejabat”.
www.rudipradisetia.com 24
25. PEMBAHASAN NO 14
• Perbedaan bentuk penyertaan menyuruh dan
membujuk :
www.rudipradisetia.com 25
Membujuk Menyuruh
Menggerakannya dengan sarana-
sarana tertentu (limitatif) (lihat pasal
55 ayat 1 ke 2 KUHP)
Sarana menggerakannya tidak
ditentukan (tidak limitatif)
Pembuat materiil dapat
dipertanggungjawabkan pidana
(tidak merupakan manus ministra)
Pembuat materiil tidak dapat
dipertanggungjawabkan pidana
(merupakan manus ministra)
26. PEMBAHASAN NO 15
• Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya
sesuatu tindak pidana itu ada tiga kemungkinan :
1. Mereka masing-masing memenuhi semua unsur
dalam rumusan delik.
2. Salah seorang memenuhi semua unsur delik,
sendang yang lain tidak.
3. Tidak seorangpun memenuhi rumusan delik
seluruhnya, tetapi mereka bersama-sama
mewujudkan delik itu.
www.rudipradisetia.com 26
27. PEMBAHASAN NO 16
• Perbedaan bentuk penyertaan Turut Serta dan Membantu :
www.rudipradisetia.com 27
Pembantuan Turut Serta
Menurut ajaran penyertaan obyektif :
perbuatannya hanya membantu /
menunjang
Menurut ajaran obyektif : perbuatan
merupakan perbuatan pelaksanaan
Menurut ajaran subyektif :
a. Kesenjangan merupakan animus
socii (hanya untuk memberi bantuan
saja pada orang lain);
b. Tidak harus ada kerja sama yang
disadari (beweste samenwerking)
c. Tidak mempunyai kepentingan /
tujuan sendiri.
Menurut ajaran subyektif :
a. Kesenjangan merupakan animus
coauctores (diarahkan untuk
terwujudnya delik);
b. Harus ada kerja sama yang
disadari (bewuste samenworking)
c. Mempunyai kepentingan / tujuan
sendiri.
Terhadap pelanggaran tidak dipidana
(pasal 60 KUHP).
Terhadap kejahatan maupun
pelanggaran dapat dipidana.
Maksimum pidananya dikurangi
sepertiga (pasal 57-1).
Maksimum pidananya sam dengan
si pembuat.
28. PEMBAHASAN NO 17
• Pembujukan yang gagal ini dapat terjadi dalam
hal seseorang telah dengan sengaja
menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu
tindak pidana dengan menggunakan salah satu
sarana dalam pasal 55 (1) ke-2, akan tetapi orang
lain itu tidak mau melakukan atau mau melakukan
akan tetapi tidak sampai dapat melaksanakan
perbuatan yang dapat dipidana.
• Apakah pembujuk seperti ini dapat dipidana ?
• Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat
dari dua pandangan ;
www.rudipradisetia.com 28
29. LANJUTAN
1. Pendapat pertama : Pembujukan dipandang sebagai bentuk
penyertaan yang bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri =
onzelfstandig). Menurut pandangan ini, pembujukan itu ada apabila
ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat materiil. Si pembujuk
dapat dipidana apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan
yang dapat dipidana. Karena dalam “percobaan untuk pembujukan”
ini, tindak pidana itu tidak terjadi maka si pembujuk juga tidak dapat
dipidana. Penganutnya : Hazewinkel-Suring, Simons, van Heml, vos.
2. Pendapat kedua : Pembujukan dipandang sebagai bentuk
penyertaan yang tidak accessoir (berdiri sendiri = zelfstanding, tidak
bergantung pada yang lain). Menurut pendapat ini, ada / tidaknya
pembujukan tidak tergantung pada ada tidaknya atau terjadi /
tidaknya tindak pidana. Si pembujuk tetap dapat dipidana walaupun
tindak pidana yang dibujukan kepada si pelaku tidak terjadi. Jadi
menurut pandangan kedua ini, “percobaan untuk pembujukan” tetap
dapat dipidana. Penganutnya : Blok. Jomkers, Pompe, van Hattum.
www.rudipradisetia.com 29
30. PEMBAHASAN NO 18
• Pasal 55 (1) ke 2 junto Pasal 338 KUHP
www.rudipradisetia.com 30
31. PEMBAHASAN NO 19
• Pertanggungjawaban pidana terhadap “ orang yang menyuruh
melakukan, turut serta melakukan, membujuk melakukan dan
membantu melakukan “
1. Orang yang menyuruh melakukan, Pelaku tidak langsung dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, sedangkan pelaku langsung
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
2. Orang yang membujuk atau yang dibujuk, Pelaku langsung dan tidak
langsung sama sama dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Dalam pasal 55 ayat (2) dinyatakan bahwa pembujuk
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang sengaja
dianjurkannya beserta akibatnya.
3. Orang turut serta melakukan, Orang-orang yang turut serta
melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana.
4. Orang yang membantu melakukan, Pada prinsipnya KUHP menganut
system bahwa pidana pokok untuk pembantu lebih ringan dari
pembuat. Prinsip ini terlihat didalam pasal 57 (1) dan (2) yaitu :
www.rudipradisetia.com 31
32. LANJUTAN
1. Maksimum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi sepertiga (ayat
1);
2. Apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup,
maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun penjara (ayat
2).
3. Pengecualian terhadap prinsip ini terlihat dalam :
Pasal 333 (4) : Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat,
(lihat juga pasal 415 dan 417).
Pasal 231 (3) : Pembantu dipidana lebih berat dari si pembuat, (lihat
juga pasal 349).
4. Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan ancaman terhadap
kejahatannya itu sendiri, jadi sama dengan si pembuat (pasal 57 : 3).
5. Dalam pertanggungjawaban seorang pembantu, KUHP mengamut
system bahwa pertanggungjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat
accessoir), artinya tidak digantungkan pada pertanggungjawaban si
pembuat. Misal pasal 57 (4) dan 58 KUHP.
www.rudipradisetia.com 32
33. PEMBAHASAN NO 20
• Penyertaan dalam kealpaan :
• Contoh ;
1. A memberi gunting kepada B yang katanya untuk
menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh B
untuk mencuri atau untuk membunuh.
2. B akan memasuki rumah C dengan maksud mencuri,
ia berkelakuan seolah-olah (pura-pura) kehilangan
kunci rumah, A yang pada waktu itu lewat dan sama
sekali tidak tahu bahwa B berdiri dimuka rumah orang
lain dan telah merencanakan untuk mencuri,
menolong B membuka kaca jendela sehingga B
dapat masuk ke rumah C.
www.rudipradisetia.com 33
34. LANJUTAN
• Dalam contoh-contoh diatas, menurut Vos, A tidak
dapat dipidana karena adanya unsur “membujuk” atau
“membantu” menurut hukum pidana positif harus ada
unsur sengaja. Unsur ini harus juga dipenuhi untuk :
1. Doenplegen / menyuruh lakukan (dianalogikan
dengan “membujuk”)
2. Medeplegen / turut serta (dianalogikan dengan
“membantu”).
• Terhadap kasus serupa itu, Karni juga berpendapat A
tidak dapat dipidana karena adanya unsur “sengaja”
didalam pasal 56 merupakan anasir subyektif dari
pembantuan, artinya kesengajaan si pembantu harus
diarahkan pada kejahatan yang bersangkutan.
www.rudipradisetia.com 34
35. PEMBAHASAN NO 21
• Penyertaan yang tidak dapat dihindari :
• Contoh :
1. Pasal 149 : Menyuap (membujuk) seseorang untuk
tidak menjalankan haknya untuk memilih;
2. Pasal 238 : membujuk orang untuk masuk dinas
militer Negara asing;
3. pasal 297 : bigamy
4. pasal 284 : perzinahan;
5. pasal 287 : melakukan hubungan kelamin dengan
anak perempuan di bawah umur 15 tahun;
6. Pasal 345 : menolong orang lain untuk bunuh diri.
www.rudipradisetia.com 35
36. LANJUTAN
• Dalam contoh-contoh diatas, delik baru terjadi kalau
ada orang lain (kawan berbuat), apabila kawan
berbuat itu tidak ada maka delik itu tidak dapat
dilakukan. Inilah yang dimaksud dengan penyertaan
yang tidak dapat dihindarkan atau penyertaan yang
harus dilakukan.
• Mr. Karni menyebutnya dengan “istilah” bekerja
bersama-sama yang diharuskan oleh penegasan delik .
Jadi istilah beliau dimasukkan dalam pengertian
“noodzakelijke medeplegen” (turut serta yang
diharuskan), karena yang dimaksud dengan istilah
“bekerja / berbuat bersama-sama” oleh beliau adalah
sama dengan istilah “turut serta” (medeplegen).
www.rudipradisetia.com 36
37. PEMBAHASAN NO 22
• Penyertaan pada penyertaan, terjadi dalam hal “
seseorang membujuk orang lain untuk melakukan tindak
pidana, kemudian orang itu membujuk atau menyuruh
orang lain lagi untuk melakukan tindak pidana
sebagaimana yang diperintahkan oleh pembujuk
pertama.
• Contoh :
• A membujuk B untuk membunuh C, Namun B tidak
melakukanya secara langsung, melainkan dengan cara
membujuk D untuk melakukan hal tersebut. Sehingga
yang menjadi pelaku langsung adalah D.
• Z membujuk Y untuk membunuh X, kemudian Y tidak
melakukannya secara langsung melainkan dengan
cara menyuruh Q, untuk melaksanakan perintah Z
tersebut.
www.rudipradisetia.com 37
38. PEMBAHASAN NO 23
• Concursus terjadi dalam hal seseorang melakukan
lebih dari satu tindak pidana, di mana untuk tindak
pidana itu belum ada putusan hakim diantaranya
dan terhadap perkara-perkara pidana itu akan
diperiksa serta diputus sekaligus.
• Concursus atau perbarengan di dalam KUHP diatur
didalam pasal 63 s/d 71.
www.rudipradisetia.com 38
39. PEMBAHASAN NO 24
• Concursus dibagi menjadi tiga bentuk yaitu :
1. Perbarengan peraturan (concursus Idealis) pasal 63.
2. Perbuatan berlanjut (Delictum Continuatum
/Voortgezettehandeling) pasal 64.
3. Perbarengan perbuatan (Concursus Realis) pasal 65 s/d 71.
• Perbedaan antara ketiganya yaitu :
• Dalam concursus realis pelaku hanya melakukan satu
perbuatan dalam satu waktu namun perbuatan itu
melanggar beberapa ketentuan pasal / UU. Misalkan A
melakukan penembakan kepada B yang berada dalam
mobil, sehingga mengakibatkan B meninggal dunia.
Dalam kasus ini A melanggar ketentuan tentang
pembunuhan, penyalahgunaan senjata api dan
perusakan terhadap barang.
www.rudipradisetia.com 39
40. LANJUTAN
• Dalam Concursus idealis, pelaku melakukan
beberapa perbuatan, dan masing-masing
perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak
pidana. Misalkan ; A melakukan pemerkosaan,
pencurian dan pembunuhan.
• Sedangkan dalam perbuatan berlanjut, pelaku
melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau
pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada
hubungan sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
www.rudipradisetia.com 40
41. LANJUTAN
• Sehingga perbedaanya adalah dalam concursus idealis
pelaku hanya melakukan satu perbuatan, namun
perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan pasal,
sedangkan dalam conrsus realis dan perbuatan
berlanjut, pelaku melakukan beberapa perbuatan
pidana yang perbuatan itu berdiri sendiri sendiri,
sehingga secara otomatis melanggar beberapa
ketentuan pasal juga.
• Perbedaan antara concursus realis dan perbuatan
berlanjut, dalam perbuatan berlanjut diprasyaratkan
adanya hubungan sedemikian rupa antara perbuatan
yang satu dengan yang lainnya, sedangkan dalam
conrusus realis tidak diprasyaratkan hal tersebut.
www.rudipradisetia.com 41
42. PEMBAHASAN NO 25
• Menurut Hazewinkel Suringa, Ada concursus Idealis apabila suatu
perbuatan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, mau tidak
mau (eoipso) masuk pula dalam peraturan pidana lain. Misal :
perkosaan dijalan umum, disamping masuk 281 (melanggar
kesusilaan di muka umum).
• Menurut Pompe, Ada concursus Idealis, apabila orang melakukan
sesuatu perbuatan konkrit yang diarahkan kepada satu tujuan
merupakan benda / obyek aturan hukum. Misalnya bersetubuh
dengan anak sendiri yang belum berusia 15 tahun, perbuatan ini
masuk pasal 294 (perbuatan cabul dengan anak sendiri yang belum
cukup umur) dan pasal 287 (bersetubuh dengan wanita yang belum
berusia 15 tahun diluar perkawinan).
• Menurut Van bemmelen, Ada Concursus Idealis, apabila dengan
melanggar satu kepentingan hukum, dengan sendirinya melakukan
perbuatan (feit) yang lain pula. Contoh Perkosaan dijalan umum
(melanggar pasal 285 & 281 KUHP).
www.rudipradisetia.com 42
43. PEMBAHASAN NO 26
• Concursus Idealis (pasal 63).
a. Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu
pidana pokok yang terberat. Misal : perkosaan dijalan umum, melanggar
pasal 285 (12 tahun penjara) dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara).
Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun.
b. Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana pokok sejenis yang
maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok
dengan tambahan yang paling berat.
c. Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak
sejenis, maka penetuan pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan
jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10 (lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal
10), jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan dan
denda 5 juta rupiah, maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara.
d. Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari
prinsip umum dalam ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium “lex specialis
derogate legi generali” Contoh : seorang ibu membunuh anaknya sendiri
pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam pasal
338 (15 tahun penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum pidana
penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam pasal 341 (lex
specialis) yaitu 7 tahun penjara.
www.rudipradisetia.com 43
44. LANJUTAN
• Perbuatan berlanjut (pasal 64).
a. Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu
hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan
satu aturan pidana yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
b. Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan
perusakan mata uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244
dengan ancaman pidana penjara 15 tahun) kemudian menggunakan /
mengedarkan mata uang yang palsu itu (pasal 245 dengan ancaman
pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang
sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan
berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15
tahun penjara
c. Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-
kejahatn ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373
(penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan
barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
d. Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang
dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka
menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk
kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian), 372
(penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang).
www.rudipradisetia.com 44
45. LANJUTAN
• Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).
a. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang
diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu
hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan
bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih
dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
Misal : A melakukan 3 jenis kejahatan yang masing-
masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9 tahun.
Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 tahun +
(1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jadi disini berlaku
system absorbsi yang dipertajam.
www.rudipradisetia.com 45
46. LANJUTAN
b. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam
pidana pokok tidak sejenis berlaku pasal 66 yaitu
semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan
dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi
maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga,
system ini disebut system Kumulasi yang diperlunak.
Misal : A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-
masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan dua
tahun penjara. Dalam hal ini semua jenis pidana
(penjara dan kurungan) harus dijatuhkan. Adapun
maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2)
tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33 bulan. Dengan
demikian pidana yang dijatuhkan misalnya terdiri dari 2
tahun penjara dan 8 bulan kurungan.
www.rudipradisetia.com 46
47. LANJUTAN
c. Untuk Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku
pasal 70 yang menggunakan system kumulasi. Misal
A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing
diancam piadan kurungan 6 bulan dan 9 bulan,
maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan.
Namun menurut pasal 70 ayat 2, system kumulasi itu
dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan
kurungan. Jadi misal A melakukan dua pelanggaran
yang masing-masing diancam pidana kurungan 9
bulan, maka maksimum pidana kurungan yang
dapat dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan,
tetapi maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau
hanya 16 bulan.
www.rudipradisetia.com 47
48. LANJUTAN
d. Untuk Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus
untuk pasal 302 (1), 352, 364, 373, 379 dan 482 berlaku
pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi
dengan pembatan maksimum untuk penjara 8 bulan.
Misal :
• A melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan
penggelapan ringan (pasal 373) yang masing-
masing diancam pidana 3 bulan penjara.
Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6
bulan penjara (system kumulasi).
• Tetapi apabila A misalnya melakukan 3 kejahatan
ringan yang masing-masing diancam pidana
penjara 3 bulan, maka maksimumnya bukan 9
bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan penjara.
www.rudipradisetia.com 48
49. LANJUTAN
e. Untuk Concursus Realis, baik kejahatan maupun
pelanggaran untuk diadili pada saat berlainan,
berlaku pasal 71 yang berbunyi sbb: “Jika
seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian
dinyatakan salah lagi karena melakukan
kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada
putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu
diperhitungkan pada pidana yang akan
dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan
dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara
diadili pada saat yang sama”.
www.rudipradisetia.com 49
50. PEMBAHASAN NO 27
• Syarat dari concursus yaitu belum ada putusan hakim
diantara perbuatan pidana satu dengan yang lain,
dengan demikian terhadap perkara-perkara pidana itu
akan diperiksa serta diputus sekaligus.
• Concursus dibagi menjadi tiga bentuk yaitu :
1. Perbarengan peraturan (concursus Idealis) pasal 63.
2. Perbuatan berlanjut (Delictum Continuatum
/Voortgezettehandeling) pasal 64.
3. Perbarengan perbuatan (Concursus Realis) pasal 65
s/d 71
www.rudipradisetia.com 50
51. PEMBAHASAN NO 28
• Pembahasan terhadap soal ini dapat dilihat dalam
pembahasan no 26.
www.rudipradisetia.com 51
52. PEMBAHASAN NO 29
Alasan penghapusan kewenangan menuntut pidana :
• Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan
(Pasal 72-75 KUHP)
• Ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
• Matinya terdakwa (Pasal 77 KUHP)
• Daluarsa (Pasal 78 KUHP)
• Telah ada pembayaran denda maksimum kepada
pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya
diancam dengan denda saja (Pasal 82 KUHP)
• Ada abolisi atau amnesti (diluar KUHP, diatur dalam
pasal 14 UUD 1945 )
www.rudipradisetia.com 52
53. LANJUTAN
Alasan penghapusan kewenangan menjalankan
pidana :
• Yang terdapat didalam KUHP :
a. Matinya terpidana (Pasal 83)
b. Daluarsa (pasal 84 dan 85)
• Yang terdapat diluar KUHP :
a. Pemberian amnesti ( Pasal 14 UUD 1945)
b. Pemberian grasi ( UU No 22 tahun 2002 Tentang
Grasi)
www.rudipradisetia.com 53
54. PEMBAHASAN NO 30
• Pengertian asas nebis in idem adalah seseorang
tidak dapat dituntut lantaran perbuatan (peristiwa)
yang baginya telah diputuskan oleh hakim (vide
ps.76 (1) Kitab Undang-udang Hukum Pidana).
• Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah :
a. Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak
memerosotkan kewibawaan Negara);
b. Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah
mendapat keputusan.
www.rudipradisetia.com 54
55. LANJUTAN
• Ne bis in idem diatur dalam pasal 76 KUHP yang
merumuskan : “Kecuali dalam hal putusan hakim
masih mungkin diulangi (herzeining), orang tidak
boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang
oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili
dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap”.
• Syarat-syarat penuntutan dikategorikan ne bis in
idem :
a. Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;
b. Orang dalam putusannya adalah sama;
c. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah
sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
www.rudipradisetia.com 55
56. PEMBAHASAN NO 31
• Menurut saya pengajuan peninjauan kembali tidak
melanggar prinsip ne bis in idem. Hal ini
berdasarkan pada ketentuan pasal 76 KUHP yang
menjelaskan bahwa peninjauan kembali
merupakan pengecualian dari prinsip ne bis in
idem. Sehingga pengajuan peninjauan kembali
tidak melanggar prinsip ne bis in idem.
www.rudipradisetia.com 56
57. PEMBAHASAN 32
• Berdasarkan pada pasal 77 KUHP, bahwa bagi
terdakwa yang meninggal dunia sebelum dijatuhi
vonis, maka terdakwa tersebut tidak dapat
dipidana.
• Pasal 77 KUHP : “ Kewenangan menuntut pidana
hapus jika terdakwa meninggal dunia”
www.rudipradisetia.com 57
58. PEMBAHASAN 33
• Contoh ne bis in idem, A melakukan pembunuhan
terhadap B di Kota Bandung pada tanggal 6 Juni 2000 ,
kemudian A dijatuhi hukuman oleh Hakim Pengadilan
Negeri Bandung 10 tahun penjara. Pada tahun 2011
setelah A selesai menjalani hukuman, Polisi Surabaya
kembali menangkap A, karena A dianggap telah
melakukan pembunuhan kepada B pada tahun 2000.
• Dalam kasus ini kewenangan menuntut pidana menjadi
gugur, karena berdasarkan putusan pengadilan negeri
bandung yang sudah berkekuatan hukum tetap bahwa
A sudah pernah diadili di pengadilan tersebut dan telah
menjalani hukuman yang dijatuhkan, oleh karenanya A
tidak dapat diadili lagi di pengadilan manapun atas
kasus tersebut.
www.rudipradisetia.com 58
59. LANJUTAN
• Contoh daluwarsa ;
• Pada tanggal 4 Juni 1990 di kota Bandung, A melakukan
pembunuhan terhadap B, kemudian A melarikan diri keluar negeri.
• Pada tanggal 4 Juni 2014, A kembali ke kota Bandung dan pada saat
yang bersamaan A ditangkap oleh polisi dengan tuduhan
pembunuhan terhadap B pada tahun 1990.
• Dalam hal terjadi kasus seperti ini, maka berlaku ketentuan
daluwarsa. Ancaman hukuman dalam pasal 338 KUHP
adalah paling lama limabelas tahun. Dalam pasal 78 (1) ke 3
dikatakan bahwa mengenai kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, maka
daluarsanya adalah sesudah dua belas tahun.
• Dalam kasus ini jarak antara terjadinya tindak pidana dengan
tertangkapnya pelaku adalah duapuluh empat tahun. Oleh
karenanya berlaku ketentuan daluarsa, pelaku tidak dapat
dituntut secara pidana.
www.rudipradisetia.com 59
60. PEMBAHASAN 34
• Amnesti (dari bahasa Yunani, amnestia) adalah
sebuah tindakan hukum yang mengembalikan
status tak bersalah kepada orang yang sudah
dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya.
• Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi
negara semisal badan eksekutif tertinggi,
badan legislatif atau badan yudikatif.
• Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu
hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat
penerapan sistem pembagian kekuasaan.
• Diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 jo UU No.
11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi
www.rudipradisetia.com 60
61. LANJUTAN
• Abolisi Merupakan suatu keputusan untuk
menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu
perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan
keputusan terhadap perkara tersebut.
• Seorang presiden memberikan abolisi dengan
pertimbangan demi alasan umum mengingat
perkara yang menyangkut para tersangka tersebut
terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa
dikorbankan oleh keputusan pengadilan.
• Diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 jo UU No.
11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi
www.rudipradisetia.com 61
62. LANJUTAN
• Grasi adalah salah satu dari lima hak Presiden Indonesia
di bidang yudikatif. Grasi adalah Hak untuk memberikan
pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan
pembebasan hukuman sama sekali.
• Menurut pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi, grasi adalah pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
oleh Presiden.
• Sebagai contoh yaitu mereka yang pernah mendapat
hukuman mati dikurangi menjadi hukuman penjara
seumur hidup.
• Diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 jo UU No 22
Tahun 2002 tentang Grasi,
www.rudipradisetia.com 62
63. PEMBAHASAN 35
• Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang
yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi
pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap atau “in kracht van gewijsde”,
kemudian melakukan tindak pidana lagi.
• Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada
Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa
pemidanaan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
sedangkan pada Concursus Realis terdakwa
melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara
perbuatan sang satu dengan yang lain belum ada
putusan Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum
tetap
www.rudipradisetia.com 63
64. PEMBAHASAN NO 36
• Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang
akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua
sistem residive ini, yaitu :
1. Sistim Residive Umum
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis
tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan
saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang
akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana
dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.
2. Sistem Residive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan
merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan
hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan
terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan
dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
www.rudipradisetia.com 64
65. PEMBAHASAN NO 37
• Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak
diatur secara umum tetapi diatur secara khusus
untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa
kejahatan maupun pelanggaran.
• Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan
syarat tenggang waktu pengulangan yang
tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke
dalam sistem Residive Khusus. artinya pemberatan
pidana hanya dikenakan pada pengulangan-
pengulangan jenis-jenis tindak pidana
(kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang
dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
www.rudipradisetia.com 65
66. PEMBAHSAN NO 38
• Sesuai dengan definisi yang telah dikemukakan
pada pembahasan no 35, bahwa syarat dari
residive haruslah antara perbuatan yang satu
dengan perbuatan yang lain, harus sudah terdapat
putusanya telah memiliki kekuatan hukum tetap.
• Dengan berdasarkan kepada persyaratan diatas,
saya berpendapat bahwa apabila antara
perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat
putusan namun belum memiliki kekuatan hukum
tetap maka tidak dapat dikategorikan sebagai
recidive.
www.rudipradisetia.com 66
67. PEMBAHASAN NO 39
• Residive Kejahatan.
Residive terhadap kejahatan dalam pasal : 137(2), 144(2), 155(2), 161(2),
163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi
alasan pemberat. Perlu diingat bahwa mengenai tenggang waktu
dalam residive tersebut tidak sama, misalnya :
• Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua
tahun
• Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.
• Sedangkan untuk residive yang diatur dalam Pasal 486, 477 dan 488
KUHP mensyaratkan bahwa tindak pidana yang diulangi termasuk
dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut.
• Residive Pelanggaran
Residive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu :
• Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545,
549 KUHP.
Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing
pasal yang bersangkutan.
www.rudipradisetia.com 67
68. PEMBAHASAN NO 40
• Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam berbagai
peraturan perunang undangan. Salah satu contohnya
adalah UU Tindak Pidana Korupsi.
• Pasal 2 ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 merumuskan dalam hal
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.
• Dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU ini dijelaskan bahwa ”
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan
ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak
pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan
pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana
alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,
atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan
moneter.
www.rudipradisetia.com 68
69. REFERENSI
• Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta, 2008
• Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,
2008
• Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1997
• Blog Kitab Pidana, Materi ; Percobaan, Penyertaan,
Gabungan Tindak Pidana, Residive,
http://kitabpidana.blogspot.com
• Zriemaroni, http://zriefmaronie.blogspot.com/2011/06/alasan-
hapusnya-kewenangan-menuntut.html
• Rahmat Sahrudin,
http://rahmatsahrudin96.blogspot.com/2012/12/pengertian-
amnesti-banding-kasasi-grasi.html
www.rudipradisetia.com 69