SlideShare a Scribd company logo
1 of 70
Download to read offline
R U D I P R A D I S E T I A S U D I R D J A , S H
PEMBAHASAN SOAL UAS
HUKUM PIDANA
www.rudipradisetia.com
1
Bandung, 28 Mei 2014
SOAL UAS HUKUM PIDANA FH UNPAS
www.rudipradisetia.com 2
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 3
PEMBAHASAN NO 1
• Pada prinsipnya untuk dapat memidana seseorang seluruh
unsur delik harus terpenuhi. Namun terdapat ketentuan yang
mengecualikan prinsip diatas, yaitu ketentuan mengenai
percobaan tindak pidana. Berdasarkan ketentuan tersebut,
untuk dapat memidana seseorang tidak perlu terpenuhi
semua unsur dalam delik, apabila sebagian rumusan delik
dan syarat-syarat percobaan sudah terpenuhi, seseorang
sudah dapat dipidana.
• Ketentuan mengenai percobaan tidak berlaku dalam tindak
pidana pelanggaran (Pasal 54 KUHP), dan tindak pidana-
tindak pidana tertentu, seperti : Percobaan duel / perkelahian
tanding (pasal 184 ayat 5); Percobaan penganiayaan ringan
terhadap hewan (pasal 302 ayat 4); Percobaan
penganiayaan biasa (pasal 351 ayat 5); Percobaan
penganiayaan ringan (pasal 352 ayat 2);
www.rudipradisetia.com 4
PEMBAHASAN NO 2
• Pasal 53 (1) KUHP yang menyatakan :
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat
untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri”.
• Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini,
terdapat beberapa teori :
1. Teori Subyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan
terletak pada sikap batin atau watak yang
berbahaya dari si pembuat. Termasuk penganut teori
ini ialah Van Hamel
www.rudipradisetia.com 5
LANJUTAN
2. Teori Obyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan
terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang
dilakukan oleh si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu :
• Teori obyektif-formil. Yang menitik beratkan sifat
berbahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum.
• Teori obyektif-materiil. Yang menitik beratkan sifat
berbahayanya perbuatan itu terhadap kepentingan /
benda hukum. Penganut teori ini antara lain Simons.
3. Teori Campuran.
Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari
dua segi, yaitu : sikap batin pembuat yang berbahaya
(segi subyektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan
(segi obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah pendapat
Langemeyer dan Jonkers.
www.rudipradisetia.com 6
PEMBAHASAN NO 3
• Berdasarkan pasal 53 KUHP unsur-unsur percobaan
adalah sebagai berikut :
1. Niat
2. Permulaan pelaksanaan
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata
karena kehendak pelaku sendiri.’
www.rudipradisetia.com 7
PEMBAHSAN NO 4
• Menurut Prof. Moelyatno :
• Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara
potensiil dapat berubah menjadi kesengajaan apabila sudah
ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju; dalam hal semua
perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan,
tetapi akibat yang dilarang tidak timbul (percobaan
selesai/voltooidc poging), disitu niat 100% menjadi kesengajaan,
sama kalau mengahadapi delik selesai.
• Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka
niat masih ada dan merupakan sikap batin yang membari arah
kepada perbuatan, yaitu subjectieve onrechtselement.
• Oleh karena itu niat tidak sama dan tidak bisa disamakan
dengan kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari
isinya kesengajaan apabila kejahatan timbul; untuk ini diperlukan
pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi sudah ada
sejak niat belum ditunakan jadi perbuatan.
www.rudipradisetia.com 8
PEMBAHASAN NO 5
• Dengan adanya penjelasan MvT (memorie van toelichting),
maka ada pendapat bahwa unsur ketiga dari percobaan ini
merupakan :
1. Alasan penghapusan pidana yang diformulir sebagai
unsur (Pompe)
2. Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji)
3. Alasan penghapusan penuntutan (Vos, Moeljatno)
• Prof. Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang
menyatakan unsur ke-3 ini sebagai alasan pemaaf (fait d’ex-
cuse) maupun sebagai alasan pengahpus pidana, sebab
perbuatannya tetap tidak baik (yang baik adalah tidak
mencoba sama sekali) sehingga tidak ada alasan untuk
memaafkan ataupun membenarkan.
www.rudipradisetia.com 9
PEMBAHASAN NO 6
• Permulaan pelaksanaan, bertolak dari pandangan atau
teori percobaan yang subyektif, VAN HAMEL
berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan
pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah
dilakukan telah ternyata adanya kepastian niat untuk
melakukan kejahatan.
• Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran
oleh VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap batin
yang jahat dan berbahaya dari si pembuat. Ukuran
demikian menurut VAN HAMEL sesuai dengan ajaran
hukum pidana yang lebih baru yang bertujuan
memberantas kejahatan sampai ke akar-akarnya.
www.rudipradisetia.com 10
LANJUTAN
• Bertolak dari pandangan atau teori percobaan
yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat sbb :
1. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada
apabila telah dimulai perbuatan yang disebut
dalam rumusan delik;
2. Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada
pabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang
menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan
akibat yang dilarang oleh undang-undang tanpa
mensyaratkan adanya perbuatan lain.
www.rudipradisetia.com 11
LANJUTAN
• Contoh : A bermaksud melakukan pencurian dirumah B untuk
melaksanakan aksinya, A telah mempersipkan segala sesuatu
peralatan untuk mencuri, kemudian pada malam hari ia
mendatangi rumah B. Sesampainya di rumah B, ia mematikan
lampu teras, melepas kaca jendela dan baru saja A masuk
rumah lewat jendela itu ia tertangkap.
• Apabila digunakan ukuran Van Hamel, maka dalam hal ini
dikatakan sudah ada perbuatan pelaksanaan, tetapi
menurut ukuran Simons baru merupakan perbuatan
persiapan, karena belum mulai melakukan perbuatan seperti
yang disebut dalam rumusan delik (pencurian : pasal 362
KUHP) yaitu “ mengambil barang “. Apabila A sudah
mengambil barang dan pada saat itu ketahuan dan
tertangkap, barulah dikatakan pada saat itu A telah
melakukan perbuatan pelaksanaan yang oleh karenanya
dapat dituntut telah melakukan percobaan pencurian.
www.rudipradisetia.com 12
LANJUTAN
• Menurut Prof Moelyatno perbuatan pelaksanaan harus
memenuhi 3 syarat yaitu :
1. Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa
harus mendekatkan kepada delik/kejahatan yang
dituju atau dengan kata lain, harus mengandung
potensi untuk mewujudkan delik tersebut;
2. Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat, harus
tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan
oleh terdakwa itu ditujukan atau diarahkan pada
delik/kejahatan yang tertentu tadi;
3. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu
merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
www.rudipradisetia.com 13
PEMBAHASAN NO 7
• Percobaan yang alatnya tidak sempurna secara absolut, tidak
mungkin menimbulkan delik selesai, sehingga tidak mungkin juga
menimbulkan delik percobaan, oleh karenanya tidak dapat
dipidana. Namun dalam alat yang tidak sempurna secara realtif
memungkinkan timbul delik sesuai dengan keadaannya. Sebagai
contoh :
1. Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri, maka gula adalah alat
yang tidak mampu digunakan untuk membunuh, sedangkan
warangan (arsenicum) adalah mampu;
2. Apabila dilihat dari keadaan konkritnya, maka alat yang pada
umumnya mampu untuk membunuh (misal warangan) dapat
menjadi alat yang tidak mampu apabila jumlahnya tidak
memenuhi dosis yang cukup mematikan (untuk arsenicum 5
mg). Begitupun sebaliknya, gula tidak berbahaya pada orang
pada umumnya namun berbahaya dan dapat mematikan
untuk penderita diabetes.
www.rudipradisetia.com 14
PEMBAHASAN NO 8
• Telah dikemukakan di muka bahwa menurut system KUHP, yang dapat
dipidana hanyalah percobaan terhadap kejahatan, sedangkan
terhadap pelanggaran tidak dipidana. Dalam hal percobaan terhadap
kejahatan, maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum pidana yang
dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk kejahatan (pasal) yang
bersangkutan dikurangi sepertiga.
• Jadi misalnya untuk percobaan pembunuhan (pasal 53 jo pasal 338
KUHP), maksimumnya ialah 10 tahun penjara. Bagaimanakah apabila
kejahatan yang bersangkutan diancam pidana mati atau penjara
seumur hidup, seperti halnya dalam pasal 340 KUHP (pembunuhan
berencana). Menurut pasal 53 (3), maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan hanya 15 tahun penjara.
• Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHP, maksimum
pidana pokok untuk percobaan adalah lebih rendah daripada apabila
kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana
tambahannya, menurut pasal 53 (4) adalah sama dengan kejahatan
selesai.
www.rudipradisetia.com 15
PEMBAHASAN NO 9
• Pembagian penyertaan menurut KUHP Indonesia
adalah :
• Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri dari :
1. Pelaku (pleger)
2. yang menyuruh lakukan (doenpleger)
3. yang turut serta (medepleger)
4. penganjur (uitlokker)
• Pembantu / mendeplichtige (pasal 56) yang terdiri dari :
1. pembantu pada saat kejahatan dilakukan
2. pembantu pada saat kejahatan belum
dilakukan.
www.rudipradisetia.com 16
PEMBAHASAN NO 10
• Syarat-syarat dalam masing-masing bentuk
penyertaan :
1. Pleger (pelaku)
Pelaku (pleger) ialah orang yang melakukan
sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.
2. Doenpleger (yang menyuruh lakukan)
Doenpleger ialah orang yang melakukan
perbuatan dengan perantaraan orang lain,
sedang perantara ini hanya diumpamakan
sebagai alat. Dengan demikian terdapat :
• Pelaku langsung
• pelaku tidak langsung
www.rudipradisetia.com 17
LANJUTAN
• Pada Doenpleger terdapat unsur-unsur sbb :
1. Alat yang dipakai adalah manusia;
2. Alat yang dipakai itu “berbuat” (bukan alat yang mati)
3. Alat yang dipakai itu “tidak dapat
dipertanggungjawabkan pidana” unsur ketiga inilah yang
merupakan tanda ciri dari doenpleger .
3. Medepleger (orang yang turut serta)
Undang-undang tidak memberikan definisi
tentang medepleger Menurut M.v.T : Orang
yang turut serta melakukan (medepleger) ialah
orang yang dengan sengaja turut berbuat atau
turut mengerjakan terjadinya sesuatu.
www.rudipradisetia.com 18
LANJUTAN
• Syarat adanya medepleger :
1. Ada kerjasama secara sadar (bewuste samenwerking).
Adanya kesadaran bersama tidak berarti ada
permufakatan lebih dulu, cukup apabila ada pengertian
antara peserta pada saat perbuatan dilakukan dengan
tujuan mencpai hasil yang sama. Yang penting aialah
harus ada kesenjangan secara sadar. Tidak ada turut
serta, bila orang yang satu hanya menghendaki untuk
menganiaya, sedang kawannya menghendaki matinya
si korban. Penentuan kehendak atau kesenjangan
masing-masing peserta itu dilakukan secara normatif.
2. Ada pelaksanaan bersama secara fisik (gezamenlijke
ultvoering/physieke samenwerking).
www.rudipradisetia.com 19
LANJUTAN
4. Uitlokker (penganjur atau pembujuk)
Pembujuk ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana
yang ditentukan oleh undang-undang untuk melakukan kejahatan.
• Syarat pembujukan yang dapat dipidana :
a. Ada kesenjangan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang
terlarang.
b. Menggerakkannya dengan menggunakan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti
tersebut dalam undang-undang (bersifat limitatif).
c. Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal-hal tersebut
pada a dan b (jadi ada psychise causaliteit).
d. Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau
percobaan melakukan tindak pidana.
e. Pembuat materiil tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana
• Dari lima syarat yang disebutkan diatas, jelas bahwa syarat 1 dan 2
merupakan syarat yang harus ada pada si pembujuk, sedangkan syarat
3, 4 dan 5 merupakan syarat yang melekat pada orang yang dibujuk
(pembuat materiil).
www.rudipradisetia.com 20
LANJUTAN
5. Pembantuan (medeplichtige)
Dilihat dari perbuatannya. Pembantuan ini bersifat accessoir
artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang
melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu).
Tetapi dilihat dari pertanggungjawaban tidak accessoir.
Artinya dipidananya pembantu tidak tergantung pada
dapat tidaknya si pelaku dituntut pidana.
• Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu :
a. Jenis pertama :
Waktunya : Pada saat kejadian dilakukan;
Caranya : Tidak ditentukan secara limitatif dalam undang-
undang
b. Jenis kedua :
Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan;
Caranya : Ditentukan secara limitatif dalam undang-undang (yaitu
dengan cara : memberi kesempatan, sarana atau keterangan).
www.rudipradisetia.com 21
PEMBAHASAN NO 11
• Istilah asing untuk pelaku langsung dan pelaku tidak
langsung
1. Pelaku langsung (onmiddelijke dader, auctor
physicus, manus ministra)
2. Pelaku tidak langsung (middelijke dader,
doenpleger, auctor intellectuals, manus domina)
www.rudipradisetia.com 22
PEMBAHASAN NO 12
• Pelaku tidak langsung tidak dipidana ketika pelaku
langsung tidak melaksanakan perintah atau
kehendak dari pelaku tidak langsung tersebut,
Sehingga tidak terjadi tindak pidana.
• Namun, menurut saya dalam hal terjadi
penyuruhan yang gagal, pelaku masih
dimungkinkan untuk dipidana dengan tuduhan
percobaan menyuruh melakukan tindak pidana.
Walaupun demikian, tentunya perlu dilihat
permasalahan tersebut secara kasuistis. Apakah
unsur percobaan sudah terpenuhi atau belum.
www.rudipradisetia.com 23
PEMBAHASAN NO 13
• Terdapat dua pendapat untuk menjawab pertanyaan ini, apakah
kualifikasi orang yang menyuruh harus sama dengan orang yang disuruh
:
1. Pendapat pertama : “harus”. Alasannya, karena tidak mungkin
seorang A menyuruh orang lain B melakukan sesuatu yang A sendiri
tidak dapat melakukannya. Misalnya : A bukan pegawai negeri, maka
ia tidak dapat melakukan “delik jabatan”, jadi A tidak bisa menjadi
pembuat langsung (onmiddelijke dader) oleh karena itu ia juga tidak
bisa menjadi pembuat tidak langsung, maka A tidak bisa menjadi
doenpleger. Jadi walaupun B (yang disuruh) adalah “ pegawai negeri,
tetap dikatakan tidak ada doenpleger.
2. Pendapat kedua : “tidak harus”. “Menyuruh-lakukan sesuatu delik
jabatan tidak hanya terdapat apabila pembuat materiilnya adalah
seorang pejabat, akan tetapi juga sebaliknya, ialah apabila
pelaksanaanya bukan, sedang yang menyuruh-lakukan itu adalah
pejabat”.
www.rudipradisetia.com 24
PEMBAHASAN NO 14
• Perbedaan bentuk penyertaan menyuruh dan
membujuk :
www.rudipradisetia.com 25
Membujuk Menyuruh
Menggerakannya dengan sarana-
sarana tertentu (limitatif) (lihat pasal
55 ayat 1 ke 2 KUHP)
Sarana menggerakannya tidak
ditentukan (tidak limitatif)
Pembuat materiil dapat
dipertanggungjawabkan pidana
(tidak merupakan manus ministra)
Pembuat materiil tidak dapat
dipertanggungjawabkan pidana
(merupakan manus ministra)
PEMBAHASAN NO 15
• Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya
sesuatu tindak pidana itu ada tiga kemungkinan :
1. Mereka masing-masing memenuhi semua unsur
dalam rumusan delik.
2. Salah seorang memenuhi semua unsur delik,
sendang yang lain tidak.
3. Tidak seorangpun memenuhi rumusan delik
seluruhnya, tetapi mereka bersama-sama
mewujudkan delik itu.
www.rudipradisetia.com 26
PEMBAHASAN NO 16
• Perbedaan bentuk penyertaan Turut Serta dan Membantu :
www.rudipradisetia.com 27
Pembantuan Turut Serta
Menurut ajaran penyertaan obyektif :
perbuatannya hanya membantu /
menunjang
Menurut ajaran obyektif : perbuatan
merupakan perbuatan pelaksanaan
Menurut ajaran subyektif :
a. Kesenjangan merupakan animus
socii (hanya untuk memberi bantuan
saja pada orang lain);
b. Tidak harus ada kerja sama yang
disadari (beweste samenwerking)
c. Tidak mempunyai kepentingan /
tujuan sendiri.
Menurut ajaran subyektif :
a. Kesenjangan merupakan animus
coauctores (diarahkan untuk
terwujudnya delik);
b. Harus ada kerja sama yang
disadari (bewuste samenworking)
c. Mempunyai kepentingan / tujuan
sendiri.
Terhadap pelanggaran tidak dipidana
(pasal 60 KUHP).
Terhadap kejahatan maupun
pelanggaran dapat dipidana.
Maksimum pidananya dikurangi
sepertiga (pasal 57-1).
Maksimum pidananya sam dengan
si pembuat.
PEMBAHASAN NO 17
• Pembujukan yang gagal ini dapat terjadi dalam
hal seseorang telah dengan sengaja
menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu
tindak pidana dengan menggunakan salah satu
sarana dalam pasal 55 (1) ke-2, akan tetapi orang
lain itu tidak mau melakukan atau mau melakukan
akan tetapi tidak sampai dapat melaksanakan
perbuatan yang dapat dipidana.
• Apakah pembujuk seperti ini dapat dipidana ?
• Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat
dari dua pandangan ;
www.rudipradisetia.com 28
LANJUTAN
1. Pendapat pertama : Pembujukan dipandang sebagai bentuk
penyertaan yang bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri =
onzelfstandig). Menurut pandangan ini, pembujukan itu ada apabila
ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat materiil. Si pembujuk
dapat dipidana apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan
yang dapat dipidana. Karena dalam “percobaan untuk pembujukan”
ini, tindak pidana itu tidak terjadi maka si pembujuk juga tidak dapat
dipidana. Penganutnya : Hazewinkel-Suring, Simons, van Heml, vos.
2. Pendapat kedua : Pembujukan dipandang sebagai bentuk
penyertaan yang tidak accessoir (berdiri sendiri = zelfstanding, tidak
bergantung pada yang lain). Menurut pendapat ini, ada / tidaknya
pembujukan tidak tergantung pada ada tidaknya atau terjadi /
tidaknya tindak pidana. Si pembujuk tetap dapat dipidana walaupun
tindak pidana yang dibujukan kepada si pelaku tidak terjadi. Jadi
menurut pandangan kedua ini, “percobaan untuk pembujukan” tetap
dapat dipidana. Penganutnya : Blok. Jomkers, Pompe, van Hattum.
www.rudipradisetia.com 29
PEMBAHASAN NO 18
• Pasal 55 (1) ke 2 junto Pasal 338 KUHP
www.rudipradisetia.com 30
PEMBAHASAN NO 19
• Pertanggungjawaban pidana terhadap “ orang yang menyuruh
melakukan, turut serta melakukan, membujuk melakukan dan
membantu melakukan “
1. Orang yang menyuruh melakukan, Pelaku tidak langsung dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, sedangkan pelaku langsung
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
2. Orang yang membujuk atau yang dibujuk, Pelaku langsung dan tidak
langsung sama sama dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Dalam pasal 55 ayat (2) dinyatakan bahwa pembujuk
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang sengaja
dianjurkannya beserta akibatnya.
3. Orang turut serta melakukan, Orang-orang yang turut serta
melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana.
4. Orang yang membantu melakukan, Pada prinsipnya KUHP menganut
system bahwa pidana pokok untuk pembantu lebih ringan dari
pembuat. Prinsip ini terlihat didalam pasal 57 (1) dan (2) yaitu :
www.rudipradisetia.com 31
LANJUTAN
1. Maksimum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi sepertiga (ayat
1);
2. Apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup,
maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun penjara (ayat
2).
3. Pengecualian terhadap prinsip ini terlihat dalam :
Pasal 333 (4) : Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat,
(lihat juga pasal 415 dan 417).
Pasal 231 (3) : Pembantu dipidana lebih berat dari si pembuat, (lihat
juga pasal 349).
4. Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan ancaman terhadap
kejahatannya itu sendiri, jadi sama dengan si pembuat (pasal 57 : 3).
5. Dalam pertanggungjawaban seorang pembantu, KUHP mengamut
system bahwa pertanggungjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat
accessoir), artinya tidak digantungkan pada pertanggungjawaban si
pembuat. Misal pasal 57 (4) dan 58 KUHP.
www.rudipradisetia.com 32
PEMBAHASAN NO 20
• Penyertaan dalam kealpaan :
• Contoh ;
1. A memberi gunting kepada B yang katanya untuk
menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh B
untuk mencuri atau untuk membunuh.
2. B akan memasuki rumah C dengan maksud mencuri,
ia berkelakuan seolah-olah (pura-pura) kehilangan
kunci rumah, A yang pada waktu itu lewat dan sama
sekali tidak tahu bahwa B berdiri dimuka rumah orang
lain dan telah merencanakan untuk mencuri,
menolong B membuka kaca jendela sehingga B
dapat masuk ke rumah C.
www.rudipradisetia.com 33
LANJUTAN
• Dalam contoh-contoh diatas, menurut Vos, A tidak
dapat dipidana karena adanya unsur “membujuk” atau
“membantu” menurut hukum pidana positif harus ada
unsur sengaja. Unsur ini harus juga dipenuhi untuk :
1. Doenplegen / menyuruh lakukan (dianalogikan
dengan “membujuk”)
2. Medeplegen / turut serta (dianalogikan dengan
“membantu”).
• Terhadap kasus serupa itu, Karni juga berpendapat A
tidak dapat dipidana karena adanya unsur “sengaja”
didalam pasal 56 merupakan anasir subyektif dari
pembantuan, artinya kesengajaan si pembantu harus
diarahkan pada kejahatan yang bersangkutan.
www.rudipradisetia.com 34
PEMBAHASAN NO 21
• Penyertaan yang tidak dapat dihindari :
• Contoh :
1. Pasal 149 : Menyuap (membujuk) seseorang untuk
tidak menjalankan haknya untuk memilih;
2. Pasal 238 : membujuk orang untuk masuk dinas
militer Negara asing;
3. pasal 297 : bigamy
4. pasal 284 : perzinahan;
5. pasal 287 : melakukan hubungan kelamin dengan
anak perempuan di bawah umur 15 tahun;
6. Pasal 345 : menolong orang lain untuk bunuh diri.
www.rudipradisetia.com 35
LANJUTAN
• Dalam contoh-contoh diatas, delik baru terjadi kalau
ada orang lain (kawan berbuat), apabila kawan
berbuat itu tidak ada maka delik itu tidak dapat
dilakukan. Inilah yang dimaksud dengan penyertaan
yang tidak dapat dihindarkan atau penyertaan yang
harus dilakukan.
• Mr. Karni menyebutnya dengan “istilah” bekerja
bersama-sama yang diharuskan oleh penegasan delik .
Jadi istilah beliau dimasukkan dalam pengertian
“noodzakelijke medeplegen” (turut serta yang
diharuskan), karena yang dimaksud dengan istilah
“bekerja / berbuat bersama-sama” oleh beliau adalah
sama dengan istilah “turut serta” (medeplegen).
www.rudipradisetia.com 36
PEMBAHASAN NO 22
• Penyertaan pada penyertaan, terjadi dalam hal “
seseorang membujuk orang lain untuk melakukan tindak
pidana, kemudian orang itu membujuk atau menyuruh
orang lain lagi untuk melakukan tindak pidana
sebagaimana yang diperintahkan oleh pembujuk
pertama.
• Contoh :
• A membujuk B untuk membunuh C, Namun B tidak
melakukanya secara langsung, melainkan dengan cara
membujuk D untuk melakukan hal tersebut. Sehingga
yang menjadi pelaku langsung adalah D.
• Z membujuk Y untuk membunuh X, kemudian Y tidak
melakukannya secara langsung melainkan dengan
cara menyuruh Q, untuk melaksanakan perintah Z
tersebut.
www.rudipradisetia.com 37
PEMBAHASAN NO 23
• Concursus terjadi dalam hal seseorang melakukan
lebih dari satu tindak pidana, di mana untuk tindak
pidana itu belum ada putusan hakim diantaranya
dan terhadap perkara-perkara pidana itu akan
diperiksa serta diputus sekaligus.
• Concursus atau perbarengan di dalam KUHP diatur
didalam pasal 63 s/d 71.
www.rudipradisetia.com 38
PEMBAHASAN NO 24
• Concursus dibagi menjadi tiga bentuk yaitu :
1. Perbarengan peraturan (concursus Idealis) pasal 63.
2. Perbuatan berlanjut (Delictum Continuatum
/Voortgezettehandeling) pasal 64.
3. Perbarengan perbuatan (Concursus Realis) pasal 65 s/d 71.
• Perbedaan antara ketiganya yaitu :
• Dalam concursus realis pelaku hanya melakukan satu
perbuatan dalam satu waktu namun perbuatan itu
melanggar beberapa ketentuan pasal / UU. Misalkan A
melakukan penembakan kepada B yang berada dalam
mobil, sehingga mengakibatkan B meninggal dunia.
Dalam kasus ini A melanggar ketentuan tentang
pembunuhan, penyalahgunaan senjata api dan
perusakan terhadap barang.
www.rudipradisetia.com 39
LANJUTAN
• Dalam Concursus idealis, pelaku melakukan
beberapa perbuatan, dan masing-masing
perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak
pidana. Misalkan ; A melakukan pemerkosaan,
pencurian dan pembunuhan.
• Sedangkan dalam perbuatan berlanjut, pelaku
melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau
pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada
hubungan sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
www.rudipradisetia.com 40
LANJUTAN
• Sehingga perbedaanya adalah dalam concursus idealis
pelaku hanya melakukan satu perbuatan, namun
perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan pasal,
sedangkan dalam conrsus realis dan perbuatan
berlanjut, pelaku melakukan beberapa perbuatan
pidana yang perbuatan itu berdiri sendiri sendiri,
sehingga secara otomatis melanggar beberapa
ketentuan pasal juga.
• Perbedaan antara concursus realis dan perbuatan
berlanjut, dalam perbuatan berlanjut diprasyaratkan
adanya hubungan sedemikian rupa antara perbuatan
yang satu dengan yang lainnya, sedangkan dalam
conrusus realis tidak diprasyaratkan hal tersebut.
www.rudipradisetia.com 41
PEMBAHASAN NO 25
• Menurut Hazewinkel Suringa, Ada concursus Idealis apabila suatu
perbuatan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, mau tidak
mau (eoipso) masuk pula dalam peraturan pidana lain. Misal :
perkosaan dijalan umum, disamping masuk 281 (melanggar
kesusilaan di muka umum).
• Menurut Pompe, Ada concursus Idealis, apabila orang melakukan
sesuatu perbuatan konkrit yang diarahkan kepada satu tujuan
merupakan benda / obyek aturan hukum. Misalnya bersetubuh
dengan anak sendiri yang belum berusia 15 tahun, perbuatan ini
masuk pasal 294 (perbuatan cabul dengan anak sendiri yang belum
cukup umur) dan pasal 287 (bersetubuh dengan wanita yang belum
berusia 15 tahun diluar perkawinan).
• Menurut Van bemmelen, Ada Concursus Idealis, apabila dengan
melanggar satu kepentingan hukum, dengan sendirinya melakukan
perbuatan (feit) yang lain pula. Contoh Perkosaan dijalan umum
(melanggar pasal 285 & 281 KUHP).
www.rudipradisetia.com 42
PEMBAHASAN NO 26
• Concursus Idealis (pasal 63).
a. Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu
pidana pokok yang terberat. Misal : perkosaan dijalan umum, melanggar
pasal 285 (12 tahun penjara) dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara).
Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun.
b. Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana pokok sejenis yang
maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok
dengan tambahan yang paling berat.
c. Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak
sejenis, maka penetuan pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan
jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10 (lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal
10), jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan dan
denda 5 juta rupiah, maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara.
d. Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari
prinsip umum dalam ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium “lex specialis
derogate legi generali” Contoh : seorang ibu membunuh anaknya sendiri
pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam pasal
338 (15 tahun penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum pidana
penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam pasal 341 (lex
specialis) yaitu 7 tahun penjara.
www.rudipradisetia.com 43
LANJUTAN
• Perbuatan berlanjut (pasal 64).
a. Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu
hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan
satu aturan pidana yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
b. Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan
perusakan mata uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244
dengan ancaman pidana penjara 15 tahun) kemudian menggunakan /
mengedarkan mata uang yang palsu itu (pasal 245 dengan ancaman
pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang
sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan
berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15
tahun penjara
c. Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-
kejahatn ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373
(penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan
barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
d. Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang
dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka
menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk
kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian), 372
(penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang).
www.rudipradisetia.com 44
LANJUTAN
• Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).
a. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang
diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu
hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan
bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih
dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
Misal : A melakukan 3 jenis kejahatan yang masing-
masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9 tahun.
Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 tahun +
(1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jadi disini berlaku
system absorbsi yang dipertajam.
www.rudipradisetia.com 45
LANJUTAN
b. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam
pidana pokok tidak sejenis berlaku pasal 66 yaitu
semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan
dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi
maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga,
system ini disebut system Kumulasi yang diperlunak.
Misal : A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-
masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan dua
tahun penjara. Dalam hal ini semua jenis pidana
(penjara dan kurungan) harus dijatuhkan. Adapun
maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2)
tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33 bulan. Dengan
demikian pidana yang dijatuhkan misalnya terdiri dari 2
tahun penjara dan 8 bulan kurungan.
www.rudipradisetia.com 46
LANJUTAN
c. Untuk Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku
pasal 70 yang menggunakan system kumulasi. Misal
A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing
diancam piadan kurungan 6 bulan dan 9 bulan,
maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan.
Namun menurut pasal 70 ayat 2, system kumulasi itu
dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan
kurungan. Jadi misal A melakukan dua pelanggaran
yang masing-masing diancam pidana kurungan 9
bulan, maka maksimum pidana kurungan yang
dapat dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan,
tetapi maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau
hanya 16 bulan.
www.rudipradisetia.com 47
LANJUTAN
d. Untuk Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus
untuk pasal 302 (1), 352, 364, 373, 379 dan 482 berlaku
pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi
dengan pembatan maksimum untuk penjara 8 bulan.
Misal :
• A melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan
penggelapan ringan (pasal 373) yang masing-
masing diancam pidana 3 bulan penjara.
Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6
bulan penjara (system kumulasi).
• Tetapi apabila A misalnya melakukan 3 kejahatan
ringan yang masing-masing diancam pidana
penjara 3 bulan, maka maksimumnya bukan 9
bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan penjara.
www.rudipradisetia.com 48
LANJUTAN
e. Untuk Concursus Realis, baik kejahatan maupun
pelanggaran untuk diadili pada saat berlainan,
berlaku pasal 71 yang berbunyi sbb: “Jika
seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian
dinyatakan salah lagi karena melakukan
kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada
putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu
diperhitungkan pada pidana yang akan
dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan
dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara
diadili pada saat yang sama”.
www.rudipradisetia.com 49
PEMBAHASAN NO 27
• Syarat dari concursus yaitu belum ada putusan hakim
diantara perbuatan pidana satu dengan yang lain,
dengan demikian terhadap perkara-perkara pidana itu
akan diperiksa serta diputus sekaligus.
• Concursus dibagi menjadi tiga bentuk yaitu :
1. Perbarengan peraturan (concursus Idealis) pasal 63.
2. Perbuatan berlanjut (Delictum Continuatum
/Voortgezettehandeling) pasal 64.
3. Perbarengan perbuatan (Concursus Realis) pasal 65
s/d 71
www.rudipradisetia.com 50
PEMBAHASAN NO 28
• Pembahasan terhadap soal ini dapat dilihat dalam
pembahasan no 26.
www.rudipradisetia.com 51
PEMBAHASAN NO 29
Alasan penghapusan kewenangan menuntut pidana :
• Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan
(Pasal 72-75 KUHP)
• Ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
• Matinya terdakwa (Pasal 77 KUHP)
• Daluarsa (Pasal 78 KUHP)
• Telah ada pembayaran denda maksimum kepada
pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya
diancam dengan denda saja (Pasal 82 KUHP)
• Ada abolisi atau amnesti (diluar KUHP, diatur dalam
pasal 14 UUD 1945 )
www.rudipradisetia.com 52
LANJUTAN
Alasan penghapusan kewenangan menjalankan
pidana :
• Yang terdapat didalam KUHP :
a. Matinya terpidana (Pasal 83)
b. Daluarsa (pasal 84 dan 85)
• Yang terdapat diluar KUHP :
a. Pemberian amnesti ( Pasal 14 UUD 1945)
b. Pemberian grasi ( UU No 22 tahun 2002 Tentang
Grasi)
www.rudipradisetia.com 53
PEMBAHASAN NO 30
• Pengertian asas nebis in idem adalah seseorang
tidak dapat dituntut lantaran perbuatan (peristiwa)
yang baginya telah diputuskan oleh hakim (vide
ps.76 (1) Kitab Undang-udang Hukum Pidana).
• Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah :
a. Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak
memerosotkan kewibawaan Negara);
b. Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah
mendapat keputusan.
www.rudipradisetia.com 54
LANJUTAN
• Ne bis in idem diatur dalam pasal 76 KUHP yang
merumuskan : “Kecuali dalam hal putusan hakim
masih mungkin diulangi (herzeining), orang tidak
boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang
oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili
dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap”.
• Syarat-syarat penuntutan dikategorikan ne bis in
idem :
a. Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;
b. Orang dalam putusannya adalah sama;
c. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah
sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
www.rudipradisetia.com 55
PEMBAHASAN NO 31
• Menurut saya pengajuan peninjauan kembali tidak
melanggar prinsip ne bis in idem. Hal ini
berdasarkan pada ketentuan pasal 76 KUHP yang
menjelaskan bahwa peninjauan kembali
merupakan pengecualian dari prinsip ne bis in
idem. Sehingga pengajuan peninjauan kembali
tidak melanggar prinsip ne bis in idem.
www.rudipradisetia.com 56
PEMBAHASAN 32
• Berdasarkan pada pasal 77 KUHP, bahwa bagi
terdakwa yang meninggal dunia sebelum dijatuhi
vonis, maka terdakwa tersebut tidak dapat
dipidana.
• Pasal 77 KUHP : “ Kewenangan menuntut pidana
hapus jika terdakwa meninggal dunia”
www.rudipradisetia.com 57
PEMBAHASAN 33
• Contoh ne bis in idem, A melakukan pembunuhan
terhadap B di Kota Bandung pada tanggal 6 Juni 2000 ,
kemudian A dijatuhi hukuman oleh Hakim Pengadilan
Negeri Bandung 10 tahun penjara. Pada tahun 2011
setelah A selesai menjalani hukuman, Polisi Surabaya
kembali menangkap A, karena A dianggap telah
melakukan pembunuhan kepada B pada tahun 2000.
• Dalam kasus ini kewenangan menuntut pidana menjadi
gugur, karena berdasarkan putusan pengadilan negeri
bandung yang sudah berkekuatan hukum tetap bahwa
A sudah pernah diadili di pengadilan tersebut dan telah
menjalani hukuman yang dijatuhkan, oleh karenanya A
tidak dapat diadili lagi di pengadilan manapun atas
kasus tersebut.
www.rudipradisetia.com 58
LANJUTAN
• Contoh daluwarsa ;
• Pada tanggal 4 Juni 1990 di kota Bandung, A melakukan
pembunuhan terhadap B, kemudian A melarikan diri keluar negeri.
• Pada tanggal 4 Juni 2014, A kembali ke kota Bandung dan pada saat
yang bersamaan A ditangkap oleh polisi dengan tuduhan
pembunuhan terhadap B pada tahun 1990.
• Dalam hal terjadi kasus seperti ini, maka berlaku ketentuan
daluwarsa. Ancaman hukuman dalam pasal 338 KUHP
adalah paling lama limabelas tahun. Dalam pasal 78 (1) ke 3
dikatakan bahwa mengenai kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, maka
daluarsanya adalah sesudah dua belas tahun.
• Dalam kasus ini jarak antara terjadinya tindak pidana dengan
tertangkapnya pelaku adalah duapuluh empat tahun. Oleh
karenanya berlaku ketentuan daluarsa, pelaku tidak dapat
dituntut secara pidana.
www.rudipradisetia.com 59
PEMBAHASAN 34
• Amnesti (dari bahasa Yunani, amnestia) adalah
sebuah tindakan hukum yang mengembalikan
status tak bersalah kepada orang yang sudah
dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya.
• Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi
negara semisal badan eksekutif tertinggi,
badan legislatif atau badan yudikatif.
• Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu
hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat
penerapan sistem pembagian kekuasaan.
• Diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 jo UU No.
11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi
www.rudipradisetia.com 60
LANJUTAN
• Abolisi Merupakan suatu keputusan untuk
menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu
perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan
keputusan terhadap perkara tersebut.
• Seorang presiden memberikan abolisi dengan
pertimbangan demi alasan umum mengingat
perkara yang menyangkut para tersangka tersebut
terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa
dikorbankan oleh keputusan pengadilan.
• Diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 jo UU No.
11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi
www.rudipradisetia.com 61
LANJUTAN
• Grasi adalah salah satu dari lima hak Presiden Indonesia
di bidang yudikatif. Grasi adalah Hak untuk memberikan
pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan
pembebasan hukuman sama sekali.
• Menurut pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi, grasi adalah pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
oleh Presiden.
• Sebagai contoh yaitu mereka yang pernah mendapat
hukuman mati dikurangi menjadi hukuman penjara
seumur hidup.
• Diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 jo UU No 22
Tahun 2002 tentang Grasi,
www.rudipradisetia.com 62
PEMBAHASAN 35
• Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang
yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi
pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap atau “in kracht van gewijsde”,
kemudian melakukan tindak pidana lagi.
• Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada
Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa
pemidanaan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
sedangkan pada Concursus Realis terdakwa
melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara
perbuatan sang satu dengan yang lain belum ada
putusan Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum
tetap
www.rudipradisetia.com 63
PEMBAHASAN NO 36
• Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang
akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua
sistem residive ini, yaitu :
1. Sistim Residive Umum
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis
tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan
saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang
akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana
dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.
2. Sistem Residive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan
merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan
hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan
terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan
dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
www.rudipradisetia.com 64
PEMBAHASAN NO 37
• Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak
diatur secara umum tetapi diatur secara khusus
untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa
kejahatan maupun pelanggaran.
• Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan
syarat tenggang waktu pengulangan yang
tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke
dalam sistem Residive Khusus. artinya pemberatan
pidana hanya dikenakan pada pengulangan-
pengulangan jenis-jenis tindak pidana
(kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang
dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
www.rudipradisetia.com 65
PEMBAHSAN NO 38
• Sesuai dengan definisi yang telah dikemukakan
pada pembahasan no 35, bahwa syarat dari
residive haruslah antara perbuatan yang satu
dengan perbuatan yang lain, harus sudah terdapat
putusanya telah memiliki kekuatan hukum tetap.
• Dengan berdasarkan kepada persyaratan diatas,
saya berpendapat bahwa apabila antara
perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat
putusan namun belum memiliki kekuatan hukum
tetap maka tidak dapat dikategorikan sebagai
recidive.
www.rudipradisetia.com 66
PEMBAHASAN NO 39
• Residive Kejahatan.
Residive terhadap kejahatan dalam pasal : 137(2), 144(2), 155(2), 161(2),
163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi
alasan pemberat. Perlu diingat bahwa mengenai tenggang waktu
dalam residive tersebut tidak sama, misalnya :
• Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua
tahun
• Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.
• Sedangkan untuk residive yang diatur dalam Pasal 486, 477 dan 488
KUHP mensyaratkan bahwa tindak pidana yang diulangi termasuk
dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut.
• Residive Pelanggaran
Residive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu :
• Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545,
549 KUHP.
Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing
pasal yang bersangkutan.
www.rudipradisetia.com 67
PEMBAHASAN NO 40
• Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam berbagai
peraturan perunang undangan. Salah satu contohnya
adalah UU Tindak Pidana Korupsi.
• Pasal 2 ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 merumuskan dalam hal
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.
• Dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU ini dijelaskan bahwa ”
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan
ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak
pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan
pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana
alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,
atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan
moneter.
www.rudipradisetia.com 68
REFERENSI
• Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta, 2008
• Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,
2008
• Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1997
• Blog Kitab Pidana, Materi ; Percobaan, Penyertaan,
Gabungan Tindak Pidana, Residive,
http://kitabpidana.blogspot.com
• Zriemaroni, http://zriefmaronie.blogspot.com/2011/06/alasan-
hapusnya-kewenangan-menuntut.html
• Rahmat Sahrudin,
http://rahmatsahrudin96.blogspot.com/2012/12/pengertian-
amnesti-banding-kasasi-grasi.html
www.rudipradisetia.com 69
70www.rudipradisetia.com

More Related Content

What's hot

Aliran aliran hukum pidana
 Aliran aliran hukum pidana  Aliran aliran hukum pidana
Aliran aliran hukum pidana hanggardatu
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusussesukakita
 
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum PidanaResume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum PidanaIca Diennissa
 
Bab 6 pertanggungjawaban pidana
Bab 6   pertanggungjawaban pidanaBab 6   pertanggungjawaban pidana
Bab 6 pertanggungjawaban pidanaNuelimmanuel22
 
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANAPPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANADian Oktavia
 
Asas Legalitas dan Retroaktif dalam HPI
Asas Legalitas dan Retroaktif dalam HPIAsas Legalitas dan Retroaktif dalam HPI
Asas Legalitas dan Retroaktif dalam HPIswirawan
 
Pertemuan 7 unsur unsur tindak pidana
Pertemuan 7 unsur unsur tindak pidanaPertemuan 7 unsur unsur tindak pidana
Pertemuan 7 unsur unsur tindak pidanayudikrismen1
 
Hukum pidana khusus - Hukum formil tindak pidana terorisme dan mengenal BNPT ...
Hukum pidana khusus - Hukum formil tindak pidana terorisme dan mengenal BNPT ...Hukum pidana khusus - Hukum formil tindak pidana terorisme dan mengenal BNPT ...
Hukum pidana khusus - Hukum formil tindak pidana terorisme dan mengenal BNPT ...Idik Saeful Bahri
 
Hukum perdata internasional 1
Hukum perdata internasional 1Hukum perdata internasional 1
Hukum perdata internasional 1villa kuta indah
 
Sumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negaraSumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negaraNakano
 
Soal dan Jawaban Hukum lingkungan
Soal dan Jawaban Hukum lingkungan Soal dan Jawaban Hukum lingkungan
Soal dan Jawaban Hukum lingkungan rupaka
 
Perbarengan Tindak Pidana
Perbarengan Tindak PidanaPerbarengan Tindak Pidana
Perbarengan Tindak Pidanaalsalcunsoed
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanayudikrismen1
 
materi Hukum dan ham
materi Hukum dan ham materi Hukum dan ham
materi Hukum dan ham Bang Ucok
 

What's hot (20)

Aliran aliran hukum pidana
 Aliran aliran hukum pidana  Aliran aliran hukum pidana
Aliran aliran hukum pidana
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusus
 
UPAYA PAKSA
UPAYA PAKSAUPAYA PAKSA
UPAYA PAKSA
 
Resume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum PidanaResume Materi Hukum Pidana
Resume Materi Hukum Pidana
 
Bab 6 pertanggungjawaban pidana
Bab 6   pertanggungjawaban pidanaBab 6   pertanggungjawaban pidana
Bab 6 pertanggungjawaban pidana
 
Hukum humaniter
Hukum humaniterHukum humaniter
Hukum humaniter
 
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANAPPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
PPT MATERI KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
 
hukum Adat
hukum Adathukum Adat
hukum Adat
 
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARAHUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
 
Asas Legalitas dan Retroaktif dalam HPI
Asas Legalitas dan Retroaktif dalam HPIAsas Legalitas dan Retroaktif dalam HPI
Asas Legalitas dan Retroaktif dalam HPI
 
Pertemuan 7 unsur unsur tindak pidana
Pertemuan 7 unsur unsur tindak pidanaPertemuan 7 unsur unsur tindak pidana
Pertemuan 7 unsur unsur tindak pidana
 
Hukum pidana khusus - Hukum formil tindak pidana terorisme dan mengenal BNPT ...
Hukum pidana khusus - Hukum formil tindak pidana terorisme dan mengenal BNPT ...Hukum pidana khusus - Hukum formil tindak pidana terorisme dan mengenal BNPT ...
Hukum pidana khusus - Hukum formil tindak pidana terorisme dan mengenal BNPT ...
 
Hukum perdata internasional 1
Hukum perdata internasional 1Hukum perdata internasional 1
Hukum perdata internasional 1
 
Kriminologi
KriminologiKriminologi
Kriminologi
 
Sumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negaraSumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negara
 
Hukum internasional
Hukum internasionalHukum internasional
Hukum internasional
 
Soal dan Jawaban Hukum lingkungan
Soal dan Jawaban Hukum lingkungan Soal dan Jawaban Hukum lingkungan
Soal dan Jawaban Hukum lingkungan
 
Perbarengan Tindak Pidana
Perbarengan Tindak PidanaPerbarengan Tindak Pidana
Perbarengan Tindak Pidana
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidana
 
materi Hukum dan ham
materi Hukum dan ham materi Hukum dan ham
materi Hukum dan ham
 

Viewers also liked

Viewers also liked (6)

Pembahasan soal uas hukum acara pidana fh unpas 2014
Pembahasan soal uas hukum acara pidana fh unpas 2014Pembahasan soal uas hukum acara pidana fh unpas 2014
Pembahasan soal uas hukum acara pidana fh unpas 2014
 
Kumpulan soal hukum
Kumpulan soal hukumKumpulan soal hukum
Kumpulan soal hukum
 
Peran mahasiswa dalam mencegah korupsi
Peran mahasiswa dalam mencegah korupsiPeran mahasiswa dalam mencegah korupsi
Peran mahasiswa dalam mencegah korupsi
 
Tugas makalah wawasan nusantara
Tugas makalah wawasan nusantaraTugas makalah wawasan nusantara
Tugas makalah wawasan nusantara
 
BMP MKDU4111
BMP MKDU4111BMP MKDU4111
BMP MKDU4111
 
Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata
Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata
Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata
 

Similar to UAS HUKUM PIDANA

Bahan kuliah asas asas hukum pidana perkembangan
Bahan kuliah asas asas hukum pidana perkembanganBahan kuliah asas asas hukum pidana perkembangan
Bahan kuliah asas asas hukum pidana perkembanganmamat rahmat
 
Hukum Pidana Pemidanaan 2
Hukum Pidana Pemidanaan 2Hukum Pidana Pemidanaan 2
Hukum Pidana Pemidanaan 2alsalcunsoed
 
Criminal Law 1 TANGGUNGAN KERAS (updated).pdf
Criminal Law 1 TANGGUNGAN KERAS (updated).pdfCriminal Law 1 TANGGUNGAN KERAS (updated).pdf
Criminal Law 1 TANGGUNGAN KERAS (updated).pdfAINANURBALQISHMARZUK
 
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptxPPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptxPuputDachi
 
Materi kuliah Hukum Acara Pidana PPT
Materi kuliah Hukum Acara Pidana PPTMateri kuliah Hukum Acara Pidana PPT
Materi kuliah Hukum Acara Pidana PPTAndhika Pratama
 
Contoh_Nota_Pembelaan_atau_pledoi kardo.docx
Contoh_Nota_Pembelaan_atau_pledoi kardo.docxContoh_Nota_Pembelaan_atau_pledoi kardo.docx
Contoh_Nota_Pembelaan_atau_pledoi kardo.docxssuserc73b281
 
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptxahmadrievzqy
 
main hakim sendiri. tugas filsafat hukum
main hakim sendiri. tugas filsafat hukummain hakim sendiri. tugas filsafat hukum
main hakim sendiri. tugas filsafat hukumnidaulhasanah9
 
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdfAsas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdfAchmad98
 
Rangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdataRangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdataMakmurZakaria
 
Delik-delik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.ppt
Delik-delik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.pptDelik-delik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.ppt
Delik-delik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.pptFajarSaputra20091254
 
Asas Hukum Pidana
Asas Hukum PidanaAsas Hukum Pidana
Asas Hukum PidanaNakano
 
Rekomendasi pertanyaan dpr ri
Rekomendasi pertanyaan dpr riRekomendasi pertanyaan dpr ri
Rekomendasi pertanyaan dpr rippibelanda
 
Pengertian Dan Asas-asas.ppt
Pengertian Dan Asas-asas.pptPengertian Dan Asas-asas.ppt
Pengertian Dan Asas-asas.pptThariqFebriansyah
 
Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)Andrie Irawan
 
Ppt kwn
Ppt kwnPpt kwn
Ppt kwndyvan2
 

Similar to UAS HUKUM PIDANA (20)

Materi ke 11
Materi ke 11Materi ke 11
Materi ke 11
 
Bahan kuliah asas asas hukum pidana perkembangan
Bahan kuliah asas asas hukum pidana perkembanganBahan kuliah asas asas hukum pidana perkembangan
Bahan kuliah asas asas hukum pidana perkembangan
 
Hukum Pidana Pemidanaan 2
Hukum Pidana Pemidanaan 2Hukum Pidana Pemidanaan 2
Hukum Pidana Pemidanaan 2
 
Criminal Law 1 TANGGUNGAN KERAS (updated).pdf
Criminal Law 1 TANGGUNGAN KERAS (updated).pdfCriminal Law 1 TANGGUNGAN KERAS (updated).pdf
Criminal Law 1 TANGGUNGAN KERAS (updated).pdf
 
Edi yuhermansyah
Edi yuhermansyah Edi yuhermansyah
Edi yuhermansyah
 
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptxPPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
PPT-HUKUM-PIDANA-1 (3).pptx
 
Materi kuliah Hukum Acara Pidana PPT
Materi kuliah Hukum Acara Pidana PPTMateri kuliah Hukum Acara Pidana PPT
Materi kuliah Hukum Acara Pidana PPT
 
Contoh_Nota_Pembelaan_atau_pledoi kardo.docx
Contoh_Nota_Pembelaan_atau_pledoi kardo.docxContoh_Nota_Pembelaan_atau_pledoi kardo.docx
Contoh_Nota_Pembelaan_atau_pledoi kardo.docx
 
Acara pidana
Acara pidanaAcara pidana
Acara pidana
 
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
20230812 - DSLA - Perbandingan KUHP Lama dan Baru.pptx
 
main hakim sendiri. tugas filsafat hukum
main hakim sendiri. tugas filsafat hukummain hakim sendiri. tugas filsafat hukum
main hakim sendiri. tugas filsafat hukum
 
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdfAsas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
Asas_asas_Hukum_Pidana_EBook.pdf
 
Rangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdataRangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdata
 
Delik-delik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.ppt
Delik-delik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.pptDelik-delik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.ppt
Delik-delik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.ppt
 
Asas Hukum Pidana
Asas Hukum PidanaAsas Hukum Pidana
Asas Hukum Pidana
 
Rekomendasi pertanyaan dpr ri
Rekomendasi pertanyaan dpr riRekomendasi pertanyaan dpr ri
Rekomendasi pertanyaan dpr ri
 
Pengertian Dan Asas-asas.ppt
Pengertian Dan Asas-asas.pptPengertian Dan Asas-asas.ppt
Pengertian Dan Asas-asas.ppt
 
Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)
 
Fikih jinayah
Fikih jinayahFikih jinayah
Fikih jinayah
 
Ppt kwn
Ppt kwnPpt kwn
Ppt kwn
 

UAS HUKUM PIDANA

  • 1. R U D I P R A D I S E T I A S U D I R D J A , S H PEMBAHASAN SOAL UAS HUKUM PIDANA www.rudipradisetia.com 1 Bandung, 28 Mei 2014
  • 2. SOAL UAS HUKUM PIDANA FH UNPAS www.rudipradisetia.com 2
  • 4. PEMBAHASAN NO 1 • Pada prinsipnya untuk dapat memidana seseorang seluruh unsur delik harus terpenuhi. Namun terdapat ketentuan yang mengecualikan prinsip diatas, yaitu ketentuan mengenai percobaan tindak pidana. Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk dapat memidana seseorang tidak perlu terpenuhi semua unsur dalam delik, apabila sebagian rumusan delik dan syarat-syarat percobaan sudah terpenuhi, seseorang sudah dapat dipidana. • Ketentuan mengenai percobaan tidak berlaku dalam tindak pidana pelanggaran (Pasal 54 KUHP), dan tindak pidana- tindak pidana tertentu, seperti : Percobaan duel / perkelahian tanding (pasal 184 ayat 5); Percobaan penganiayaan ringan terhadap hewan (pasal 302 ayat 4); Percobaan penganiayaan biasa (pasal 351 ayat 5); Percobaan penganiayaan ringan (pasal 352 ayat 2); www.rudipradisetia.com 4
  • 5. PEMBAHASAN NO 2 • Pasal 53 (1) KUHP yang menyatakan : “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. • Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini, terdapat beberapa teori : 1. Teori Subyektif Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau watak yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk penganut teori ini ialah Van Hamel www.rudipradisetia.com 5
  • 6. LANJUTAN 2. Teori Obyektif Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu : • Teori obyektif-formil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum. • Teori obyektif-materiil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap kepentingan / benda hukum. Penganut teori ini antara lain Simons. 3. Teori Campuran. Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari dua segi, yaitu : sikap batin pembuat yang berbahaya (segi subyektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan (segi obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah pendapat Langemeyer dan Jonkers. www.rudipradisetia.com 6
  • 7. PEMBAHASAN NO 3 • Berdasarkan pasal 53 KUHP unsur-unsur percobaan adalah sebagai berikut : 1. Niat 2. Permulaan pelaksanaan 3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak pelaku sendiri.’ www.rudipradisetia.com 7
  • 8. PEMBAHSAN NO 4 • Menurut Prof. Moelyatno : • Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara potensiil dapat berubah menjadi kesengajaan apabila sudah ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju; dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak timbul (percobaan selesai/voltooidc poging), disitu niat 100% menjadi kesengajaan, sama kalau mengahadapi delik selesai. • Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sikap batin yang membari arah kepada perbuatan, yaitu subjectieve onrechtselement. • Oleh karena itu niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya kesengajaan apabila kejahatan timbul; untuk ini diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi sudah ada sejak niat belum ditunakan jadi perbuatan. www.rudipradisetia.com 8
  • 9. PEMBAHASAN NO 5 • Dengan adanya penjelasan MvT (memorie van toelichting), maka ada pendapat bahwa unsur ketiga dari percobaan ini merupakan : 1. Alasan penghapusan pidana yang diformulir sebagai unsur (Pompe) 2. Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji) 3. Alasan penghapusan penuntutan (Vos, Moeljatno) • Prof. Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan unsur ke-3 ini sebagai alasan pemaaf (fait d’ex- cuse) maupun sebagai alasan pengahpus pidana, sebab perbuatannya tetap tidak baik (yang baik adalah tidak mencoba sama sekali) sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan ataupun membenarkan. www.rudipradisetia.com 9
  • 10. PEMBAHASAN NO 6 • Permulaan pelaksanaan, bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang subyektif, VAN HAMEL berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan telah ternyata adanya kepastian niat untuk melakukan kejahatan. • Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari si pembuat. Ukuran demikian menurut VAN HAMEL sesuai dengan ajaran hukum pidana yang lebih baru yang bertujuan memberantas kejahatan sampai ke akar-akarnya. www.rudipradisetia.com 10
  • 11. LANJUTAN • Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat sbb : 1. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik; 2. Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada pabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang tanpa mensyaratkan adanya perbuatan lain. www.rudipradisetia.com 11
  • 12. LANJUTAN • Contoh : A bermaksud melakukan pencurian dirumah B untuk melaksanakan aksinya, A telah mempersipkan segala sesuatu peralatan untuk mencuri, kemudian pada malam hari ia mendatangi rumah B. Sesampainya di rumah B, ia mematikan lampu teras, melepas kaca jendela dan baru saja A masuk rumah lewat jendela itu ia tertangkap. • Apabila digunakan ukuran Van Hamel, maka dalam hal ini dikatakan sudah ada perbuatan pelaksanaan, tetapi menurut ukuran Simons baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum mulai melakukan perbuatan seperti yang disebut dalam rumusan delik (pencurian : pasal 362 KUHP) yaitu “ mengambil barang “. Apabila A sudah mengambil barang dan pada saat itu ketahuan dan tertangkap, barulah dikatakan pada saat itu A telah melakukan perbuatan pelaksanaan yang oleh karenanya dapat dituntut telah melakukan percobaan pencurian. www.rudipradisetia.com 12
  • 13. LANJUTAN • Menurut Prof Moelyatno perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3 syarat yaitu : 1. Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik/kejahatan yang dituju atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut; 2. Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan atau diarahkan pada delik/kejahatan yang tertentu tadi; 3. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. www.rudipradisetia.com 13
  • 14. PEMBAHASAN NO 7 • Percobaan yang alatnya tidak sempurna secara absolut, tidak mungkin menimbulkan delik selesai, sehingga tidak mungkin juga menimbulkan delik percobaan, oleh karenanya tidak dapat dipidana. Namun dalam alat yang tidak sempurna secara realtif memungkinkan timbul delik sesuai dengan keadaannya. Sebagai contoh : 1. Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri, maka gula adalah alat yang tidak mampu digunakan untuk membunuh, sedangkan warangan (arsenicum) adalah mampu; 2. Apabila dilihat dari keadaan konkritnya, maka alat yang pada umumnya mampu untuk membunuh (misal warangan) dapat menjadi alat yang tidak mampu apabila jumlahnya tidak memenuhi dosis yang cukup mematikan (untuk arsenicum 5 mg). Begitupun sebaliknya, gula tidak berbahaya pada orang pada umumnya namun berbahaya dan dapat mematikan untuk penderita diabetes. www.rudipradisetia.com 14
  • 15. PEMBAHASAN NO 8 • Telah dikemukakan di muka bahwa menurut system KUHP, yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap kejahatan, sedangkan terhadap pelanggaran tidak dipidana. Dalam hal percobaan terhadap kejahatan, maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk kejahatan (pasal) yang bersangkutan dikurangi sepertiga. • Jadi misalnya untuk percobaan pembunuhan (pasal 53 jo pasal 338 KUHP), maksimumnya ialah 10 tahun penjara. Bagaimanakah apabila kejahatan yang bersangkutan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, seperti halnya dalam pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana). Menurut pasal 53 (3), maksimum pidana yang dapat dijatuhkan hanya 15 tahun penjara. • Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHP, maksimum pidana pokok untuk percobaan adalah lebih rendah daripada apabila kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana tambahannya, menurut pasal 53 (4) adalah sama dengan kejahatan selesai. www.rudipradisetia.com 15
  • 16. PEMBAHASAN NO 9 • Pembagian penyertaan menurut KUHP Indonesia adalah : • Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri dari : 1. Pelaku (pleger) 2. yang menyuruh lakukan (doenpleger) 3. yang turut serta (medepleger) 4. penganjur (uitlokker) • Pembantu / mendeplichtige (pasal 56) yang terdiri dari : 1. pembantu pada saat kejahatan dilakukan 2. pembantu pada saat kejahatan belum dilakukan. www.rudipradisetia.com 16
  • 17. PEMBAHASAN NO 10 • Syarat-syarat dalam masing-masing bentuk penyertaan : 1. Pleger (pelaku) Pelaku (pleger) ialah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik. 2. Doenpleger (yang menyuruh lakukan) Doenpleger ialah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat. Dengan demikian terdapat : • Pelaku langsung • pelaku tidak langsung www.rudipradisetia.com 17
  • 18. LANJUTAN • Pada Doenpleger terdapat unsur-unsur sbb : 1. Alat yang dipakai adalah manusia; 2. Alat yang dipakai itu “berbuat” (bukan alat yang mati) 3. Alat yang dipakai itu “tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana” unsur ketiga inilah yang merupakan tanda ciri dari doenpleger . 3. Medepleger (orang yang turut serta) Undang-undang tidak memberikan definisi tentang medepleger Menurut M.v.T : Orang yang turut serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. www.rudipradisetia.com 18
  • 19. LANJUTAN • Syarat adanya medepleger : 1. Ada kerjasama secara sadar (bewuste samenwerking). Adanya kesadaran bersama tidak berarti ada permufakatan lebih dulu, cukup apabila ada pengertian antara peserta pada saat perbuatan dilakukan dengan tujuan mencpai hasil yang sama. Yang penting aialah harus ada kesenjangan secara sadar. Tidak ada turut serta, bila orang yang satu hanya menghendaki untuk menganiaya, sedang kawannya menghendaki matinya si korban. Penentuan kehendak atau kesenjangan masing-masing peserta itu dilakukan secara normatif. 2. Ada pelaksanaan bersama secara fisik (gezamenlijke ultvoering/physieke samenwerking). www.rudipradisetia.com 19
  • 20. LANJUTAN 4. Uitlokker (penganjur atau pembujuk) Pembujuk ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang untuk melakukan kejahatan. • Syarat pembujukan yang dapat dipidana : a. Ada kesenjangan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang. b. Menggerakkannya dengan menggunakan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti tersebut dalam undang-undang (bersifat limitatif). c. Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal-hal tersebut pada a dan b (jadi ada psychise causaliteit). d. Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau percobaan melakukan tindak pidana. e. Pembuat materiil tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana • Dari lima syarat yang disebutkan diatas, jelas bahwa syarat 1 dan 2 merupakan syarat yang harus ada pada si pembujuk, sedangkan syarat 3, 4 dan 5 merupakan syarat yang melekat pada orang yang dibujuk (pembuat materiil). www.rudipradisetia.com 20
  • 21. LANJUTAN 5. Pembantuan (medeplichtige) Dilihat dari perbuatannya. Pembantuan ini bersifat accessoir artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu). Tetapi dilihat dari pertanggungjawaban tidak accessoir. Artinya dipidananya pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut pidana. • Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu : a. Jenis pertama : Waktunya : Pada saat kejadian dilakukan; Caranya : Tidak ditentukan secara limitatif dalam undang- undang b. Jenis kedua : Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan; Caranya : Ditentukan secara limitatif dalam undang-undang (yaitu dengan cara : memberi kesempatan, sarana atau keterangan). www.rudipradisetia.com 21
  • 22. PEMBAHASAN NO 11 • Istilah asing untuk pelaku langsung dan pelaku tidak langsung 1. Pelaku langsung (onmiddelijke dader, auctor physicus, manus ministra) 2. Pelaku tidak langsung (middelijke dader, doenpleger, auctor intellectuals, manus domina) www.rudipradisetia.com 22
  • 23. PEMBAHASAN NO 12 • Pelaku tidak langsung tidak dipidana ketika pelaku langsung tidak melaksanakan perintah atau kehendak dari pelaku tidak langsung tersebut, Sehingga tidak terjadi tindak pidana. • Namun, menurut saya dalam hal terjadi penyuruhan yang gagal, pelaku masih dimungkinkan untuk dipidana dengan tuduhan percobaan menyuruh melakukan tindak pidana. Walaupun demikian, tentunya perlu dilihat permasalahan tersebut secara kasuistis. Apakah unsur percobaan sudah terpenuhi atau belum. www.rudipradisetia.com 23
  • 24. PEMBAHASAN NO 13 • Terdapat dua pendapat untuk menjawab pertanyaan ini, apakah kualifikasi orang yang menyuruh harus sama dengan orang yang disuruh : 1. Pendapat pertama : “harus”. Alasannya, karena tidak mungkin seorang A menyuruh orang lain B melakukan sesuatu yang A sendiri tidak dapat melakukannya. Misalnya : A bukan pegawai negeri, maka ia tidak dapat melakukan “delik jabatan”, jadi A tidak bisa menjadi pembuat langsung (onmiddelijke dader) oleh karena itu ia juga tidak bisa menjadi pembuat tidak langsung, maka A tidak bisa menjadi doenpleger. Jadi walaupun B (yang disuruh) adalah “ pegawai negeri, tetap dikatakan tidak ada doenpleger. 2. Pendapat kedua : “tidak harus”. “Menyuruh-lakukan sesuatu delik jabatan tidak hanya terdapat apabila pembuat materiilnya adalah seorang pejabat, akan tetapi juga sebaliknya, ialah apabila pelaksanaanya bukan, sedang yang menyuruh-lakukan itu adalah pejabat”. www.rudipradisetia.com 24
  • 25. PEMBAHASAN NO 14 • Perbedaan bentuk penyertaan menyuruh dan membujuk : www.rudipradisetia.com 25 Membujuk Menyuruh Menggerakannya dengan sarana- sarana tertentu (limitatif) (lihat pasal 55 ayat 1 ke 2 KUHP) Sarana menggerakannya tidak ditentukan (tidak limitatif) Pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan pidana (tidak merupakan manus ministra) Pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana (merupakan manus ministra)
  • 26. PEMBAHASAN NO 15 • Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana itu ada tiga kemungkinan : 1. Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik. 2. Salah seorang memenuhi semua unsur delik, sendang yang lain tidak. 3. Tidak seorangpun memenuhi rumusan delik seluruhnya, tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu. www.rudipradisetia.com 26
  • 27. PEMBAHASAN NO 16 • Perbedaan bentuk penyertaan Turut Serta dan Membantu : www.rudipradisetia.com 27 Pembantuan Turut Serta Menurut ajaran penyertaan obyektif : perbuatannya hanya membantu / menunjang Menurut ajaran obyektif : perbuatan merupakan perbuatan pelaksanaan Menurut ajaran subyektif : a. Kesenjangan merupakan animus socii (hanya untuk memberi bantuan saja pada orang lain); b. Tidak harus ada kerja sama yang disadari (beweste samenwerking) c. Tidak mempunyai kepentingan / tujuan sendiri. Menurut ajaran subyektif : a. Kesenjangan merupakan animus coauctores (diarahkan untuk terwujudnya delik); b. Harus ada kerja sama yang disadari (bewuste samenworking) c. Mempunyai kepentingan / tujuan sendiri. Terhadap pelanggaran tidak dipidana (pasal 60 KUHP). Terhadap kejahatan maupun pelanggaran dapat dipidana. Maksimum pidananya dikurangi sepertiga (pasal 57-1). Maksimum pidananya sam dengan si pembuat.
  • 28. PEMBAHASAN NO 17 • Pembujukan yang gagal ini dapat terjadi dalam hal seseorang telah dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu tindak pidana dengan menggunakan salah satu sarana dalam pasal 55 (1) ke-2, akan tetapi orang lain itu tidak mau melakukan atau mau melakukan akan tetapi tidak sampai dapat melaksanakan perbuatan yang dapat dipidana. • Apakah pembujuk seperti ini dapat dipidana ? • Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat dari dua pandangan ; www.rudipradisetia.com 28
  • 29. LANJUTAN 1. Pendapat pertama : Pembujukan dipandang sebagai bentuk penyertaan yang bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri = onzelfstandig). Menurut pandangan ini, pembujukan itu ada apabila ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat materiil. Si pembujuk dapat dipidana apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana. Karena dalam “percobaan untuk pembujukan” ini, tindak pidana itu tidak terjadi maka si pembujuk juga tidak dapat dipidana. Penganutnya : Hazewinkel-Suring, Simons, van Heml, vos. 2. Pendapat kedua : Pembujukan dipandang sebagai bentuk penyertaan yang tidak accessoir (berdiri sendiri = zelfstanding, tidak bergantung pada yang lain). Menurut pendapat ini, ada / tidaknya pembujukan tidak tergantung pada ada tidaknya atau terjadi / tidaknya tindak pidana. Si pembujuk tetap dapat dipidana walaupun tindak pidana yang dibujukan kepada si pelaku tidak terjadi. Jadi menurut pandangan kedua ini, “percobaan untuk pembujukan” tetap dapat dipidana. Penganutnya : Blok. Jomkers, Pompe, van Hattum. www.rudipradisetia.com 29
  • 30. PEMBAHASAN NO 18 • Pasal 55 (1) ke 2 junto Pasal 338 KUHP www.rudipradisetia.com 30
  • 31. PEMBAHASAN NO 19 • Pertanggungjawaban pidana terhadap “ orang yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, membujuk melakukan dan membantu melakukan “ 1. Orang yang menyuruh melakukan, Pelaku tidak langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, sedangkan pelaku langsung tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. 2. Orang yang membujuk atau yang dibujuk, Pelaku langsung dan tidak langsung sama sama dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam pasal 55 ayat (2) dinyatakan bahwa pembujuk dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang sengaja dianjurkannya beserta akibatnya. 3. Orang turut serta melakukan, Orang-orang yang turut serta melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. 4. Orang yang membantu melakukan, Pada prinsipnya KUHP menganut system bahwa pidana pokok untuk pembantu lebih ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat didalam pasal 57 (1) dan (2) yaitu : www.rudipradisetia.com 31
  • 32. LANJUTAN 1. Maksimum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi sepertiga (ayat 1); 2. Apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun penjara (ayat 2). 3. Pengecualian terhadap prinsip ini terlihat dalam : Pasal 333 (4) : Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, (lihat juga pasal 415 dan 417). Pasal 231 (3) : Pembantu dipidana lebih berat dari si pembuat, (lihat juga pasal 349). 4. Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan ancaman terhadap kejahatannya itu sendiri, jadi sama dengan si pembuat (pasal 57 : 3). 5. Dalam pertanggungjawaban seorang pembantu, KUHP mengamut system bahwa pertanggungjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat accessoir), artinya tidak digantungkan pada pertanggungjawaban si pembuat. Misal pasal 57 (4) dan 58 KUHP. www.rudipradisetia.com 32
  • 33. PEMBAHASAN NO 20 • Penyertaan dalam kealpaan : • Contoh ; 1. A memberi gunting kepada B yang katanya untuk menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh B untuk mencuri atau untuk membunuh. 2. B akan memasuki rumah C dengan maksud mencuri, ia berkelakuan seolah-olah (pura-pura) kehilangan kunci rumah, A yang pada waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu bahwa B berdiri dimuka rumah orang lain dan telah merencanakan untuk mencuri, menolong B membuka kaca jendela sehingga B dapat masuk ke rumah C. www.rudipradisetia.com 33
  • 34. LANJUTAN • Dalam contoh-contoh diatas, menurut Vos, A tidak dapat dipidana karena adanya unsur “membujuk” atau “membantu” menurut hukum pidana positif harus ada unsur sengaja. Unsur ini harus juga dipenuhi untuk : 1. Doenplegen / menyuruh lakukan (dianalogikan dengan “membujuk”) 2. Medeplegen / turut serta (dianalogikan dengan “membantu”). • Terhadap kasus serupa itu, Karni juga berpendapat A tidak dapat dipidana karena adanya unsur “sengaja” didalam pasal 56 merupakan anasir subyektif dari pembantuan, artinya kesengajaan si pembantu harus diarahkan pada kejahatan yang bersangkutan. www.rudipradisetia.com 34
  • 35. PEMBAHASAN NO 21 • Penyertaan yang tidak dapat dihindari : • Contoh : 1. Pasal 149 : Menyuap (membujuk) seseorang untuk tidak menjalankan haknya untuk memilih; 2. Pasal 238 : membujuk orang untuk masuk dinas militer Negara asing; 3. pasal 297 : bigamy 4. pasal 284 : perzinahan; 5. pasal 287 : melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan di bawah umur 15 tahun; 6. Pasal 345 : menolong orang lain untuk bunuh diri. www.rudipradisetia.com 35
  • 36. LANJUTAN • Dalam contoh-contoh diatas, delik baru terjadi kalau ada orang lain (kawan berbuat), apabila kawan berbuat itu tidak ada maka delik itu tidak dapat dilakukan. Inilah yang dimaksud dengan penyertaan yang tidak dapat dihindarkan atau penyertaan yang harus dilakukan. • Mr. Karni menyebutnya dengan “istilah” bekerja bersama-sama yang diharuskan oleh penegasan delik . Jadi istilah beliau dimasukkan dalam pengertian “noodzakelijke medeplegen” (turut serta yang diharuskan), karena yang dimaksud dengan istilah “bekerja / berbuat bersama-sama” oleh beliau adalah sama dengan istilah “turut serta” (medeplegen). www.rudipradisetia.com 36
  • 37. PEMBAHASAN NO 22 • Penyertaan pada penyertaan, terjadi dalam hal “ seseorang membujuk orang lain untuk melakukan tindak pidana, kemudian orang itu membujuk atau menyuruh orang lain lagi untuk melakukan tindak pidana sebagaimana yang diperintahkan oleh pembujuk pertama. • Contoh : • A membujuk B untuk membunuh C, Namun B tidak melakukanya secara langsung, melainkan dengan cara membujuk D untuk melakukan hal tersebut. Sehingga yang menjadi pelaku langsung adalah D. • Z membujuk Y untuk membunuh X, kemudian Y tidak melakukannya secara langsung melainkan dengan cara menyuruh Q, untuk melaksanakan perintah Z tersebut. www.rudipradisetia.com 37
  • 38. PEMBAHASAN NO 23 • Concursus terjadi dalam hal seseorang melakukan lebih dari satu tindak pidana, di mana untuk tindak pidana itu belum ada putusan hakim diantaranya dan terhadap perkara-perkara pidana itu akan diperiksa serta diputus sekaligus. • Concursus atau perbarengan di dalam KUHP diatur didalam pasal 63 s/d 71. www.rudipradisetia.com 38
  • 39. PEMBAHASAN NO 24 • Concursus dibagi menjadi tiga bentuk yaitu : 1. Perbarengan peraturan (concursus Idealis) pasal 63. 2. Perbuatan berlanjut (Delictum Continuatum /Voortgezettehandeling) pasal 64. 3. Perbarengan perbuatan (Concursus Realis) pasal 65 s/d 71. • Perbedaan antara ketiganya yaitu : • Dalam concursus realis pelaku hanya melakukan satu perbuatan dalam satu waktu namun perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan pasal / UU. Misalkan A melakukan penembakan kepada B yang berada dalam mobil, sehingga mengakibatkan B meninggal dunia. Dalam kasus ini A melanggar ketentuan tentang pembunuhan, penyalahgunaan senjata api dan perusakan terhadap barang. www.rudipradisetia.com 39
  • 40. LANJUTAN • Dalam Concursus idealis, pelaku melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana. Misalkan ; A melakukan pemerkosaan, pencurian dan pembunuhan. • Sedangkan dalam perbuatan berlanjut, pelaku melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. www.rudipradisetia.com 40
  • 41. LANJUTAN • Sehingga perbedaanya adalah dalam concursus idealis pelaku hanya melakukan satu perbuatan, namun perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan pasal, sedangkan dalam conrsus realis dan perbuatan berlanjut, pelaku melakukan beberapa perbuatan pidana yang perbuatan itu berdiri sendiri sendiri, sehingga secara otomatis melanggar beberapa ketentuan pasal juga. • Perbedaan antara concursus realis dan perbuatan berlanjut, dalam perbuatan berlanjut diprasyaratkan adanya hubungan sedemikian rupa antara perbuatan yang satu dengan yang lainnya, sedangkan dalam conrusus realis tidak diprasyaratkan hal tersebut. www.rudipradisetia.com 41
  • 42. PEMBAHASAN NO 25 • Menurut Hazewinkel Suringa, Ada concursus Idealis apabila suatu perbuatan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, mau tidak mau (eoipso) masuk pula dalam peraturan pidana lain. Misal : perkosaan dijalan umum, disamping masuk 281 (melanggar kesusilaan di muka umum). • Menurut Pompe, Ada concursus Idealis, apabila orang melakukan sesuatu perbuatan konkrit yang diarahkan kepada satu tujuan merupakan benda / obyek aturan hukum. Misalnya bersetubuh dengan anak sendiri yang belum berusia 15 tahun, perbuatan ini masuk pasal 294 (perbuatan cabul dengan anak sendiri yang belum cukup umur) dan pasal 287 (bersetubuh dengan wanita yang belum berusia 15 tahun diluar perkawinan). • Menurut Van bemmelen, Ada Concursus Idealis, apabila dengan melanggar satu kepentingan hukum, dengan sendirinya melakukan perbuatan (feit) yang lain pula. Contoh Perkosaan dijalan umum (melanggar pasal 285 & 281 KUHP). www.rudipradisetia.com 42
  • 43. PEMBAHASAN NO 26 • Concursus Idealis (pasal 63). a. Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat. Misal : perkosaan dijalan umum, melanggar pasal 285 (12 tahun penjara) dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara). Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun. b. Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana pokok sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok dengan tambahan yang paling berat. c. Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penetuan pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10 (lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal 10), jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5 juta rupiah, maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara. d. Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium “lex specialis derogate legi generali” Contoh : seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam pasal 338 (15 tahun penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara. www.rudipradisetia.com 43
  • 44. LANJUTAN • Perbuatan berlanjut (pasal 64). a. Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan satu aturan pidana yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat. b. Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun) kemudian menggunakan / mengedarkan mata uang yang palsu itu (pasal 245 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15 tahun penjara c. Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan- kejahatn ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. d. Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian), 372 (penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang). www.rudipradisetia.com 44
  • 45. LANJUTAN • Concursus Realis (pasal 65 s/d 71). a. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Misal : A melakukan 3 jenis kejahatan yang masing- masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jadi disini berlaku system absorbsi yang dipertajam. www.rudipradisetia.com 45
  • 46. LANJUTAN b. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku pasal 66 yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga, system ini disebut system Kumulasi yang diperlunak. Misal : A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing- masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan dua tahun penjara. Dalam hal ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan) harus dijatuhkan. Adapun maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2) tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33 bulan. Dengan demikian pidana yang dijatuhkan misalnya terdiri dari 2 tahun penjara dan 8 bulan kurungan. www.rudipradisetia.com 46
  • 47. LANJUTAN c. Untuk Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku pasal 70 yang menggunakan system kumulasi. Misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam piadan kurungan 6 bulan dan 9 bulan, maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan. Namun menurut pasal 70 ayat 2, system kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan. Jadi misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam pidana kurungan 9 bulan, maka maksimum pidana kurungan yang dapat dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan, tetapi maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau hanya 16 bulan. www.rudipradisetia.com 47
  • 48. LANJUTAN d. Untuk Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364, 373, 379 dan 482 berlaku pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi dengan pembatan maksimum untuk penjara 8 bulan. Misal : • A melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan penggelapan ringan (pasal 373) yang masing- masing diancam pidana 3 bulan penjara. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6 bulan penjara (system kumulasi). • Tetapi apabila A misalnya melakukan 3 kejahatan ringan yang masing-masing diancam pidana penjara 3 bulan, maka maksimumnya bukan 9 bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan penjara. www.rudipradisetia.com 48
  • 49. LANJUTAN e. Untuk Concursus Realis, baik kejahatan maupun pelanggaran untuk diadili pada saat berlainan, berlaku pasal 71 yang berbunyi sbb: “Jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan salah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama”. www.rudipradisetia.com 49
  • 50. PEMBAHASAN NO 27 • Syarat dari concursus yaitu belum ada putusan hakim diantara perbuatan pidana satu dengan yang lain, dengan demikian terhadap perkara-perkara pidana itu akan diperiksa serta diputus sekaligus. • Concursus dibagi menjadi tiga bentuk yaitu : 1. Perbarengan peraturan (concursus Idealis) pasal 63. 2. Perbuatan berlanjut (Delictum Continuatum /Voortgezettehandeling) pasal 64. 3. Perbarengan perbuatan (Concursus Realis) pasal 65 s/d 71 www.rudipradisetia.com 50
  • 51. PEMBAHASAN NO 28 • Pembahasan terhadap soal ini dapat dilihat dalam pembahasan no 26. www.rudipradisetia.com 51
  • 52. PEMBAHASAN NO 29 Alasan penghapusan kewenangan menuntut pidana : • Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan (Pasal 72-75 KUHP) • Ne bis in idem (pasal 76 KUHP) • Matinya terdakwa (Pasal 77 KUHP) • Daluarsa (Pasal 78 KUHP) • Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (Pasal 82 KUHP) • Ada abolisi atau amnesti (diluar KUHP, diatur dalam pasal 14 UUD 1945 ) www.rudipradisetia.com 52
  • 53. LANJUTAN Alasan penghapusan kewenangan menjalankan pidana : • Yang terdapat didalam KUHP : a. Matinya terpidana (Pasal 83) b. Daluarsa (pasal 84 dan 85) • Yang terdapat diluar KUHP : a. Pemberian amnesti ( Pasal 14 UUD 1945) b. Pemberian grasi ( UU No 22 tahun 2002 Tentang Grasi) www.rudipradisetia.com 53
  • 54. PEMBAHASAN NO 30 • Pengertian asas nebis in idem adalah seseorang tidak dapat dituntut lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim (vide ps.76 (1) Kitab Undang-udang Hukum Pidana). • Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah : a. Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara); b. Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan. www.rudipradisetia.com 54
  • 55. LANJUTAN • Ne bis in idem diatur dalam pasal 76 KUHP yang merumuskan : “Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi (herzeining), orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap”. • Syarat-syarat penuntutan dikategorikan ne bis in idem : a. Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap; b. Orang dalam putusannya adalah sama; c. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu. www.rudipradisetia.com 55
  • 56. PEMBAHASAN NO 31 • Menurut saya pengajuan peninjauan kembali tidak melanggar prinsip ne bis in idem. Hal ini berdasarkan pada ketentuan pasal 76 KUHP yang menjelaskan bahwa peninjauan kembali merupakan pengecualian dari prinsip ne bis in idem. Sehingga pengajuan peninjauan kembali tidak melanggar prinsip ne bis in idem. www.rudipradisetia.com 56
  • 57. PEMBAHASAN 32 • Berdasarkan pada pasal 77 KUHP, bahwa bagi terdakwa yang meninggal dunia sebelum dijatuhi vonis, maka terdakwa tersebut tidak dapat dipidana. • Pasal 77 KUHP : “ Kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia” www.rudipradisetia.com 57
  • 58. PEMBAHASAN 33 • Contoh ne bis in idem, A melakukan pembunuhan terhadap B di Kota Bandung pada tanggal 6 Juni 2000 , kemudian A dijatuhi hukuman oleh Hakim Pengadilan Negeri Bandung 10 tahun penjara. Pada tahun 2011 setelah A selesai menjalani hukuman, Polisi Surabaya kembali menangkap A, karena A dianggap telah melakukan pembunuhan kepada B pada tahun 2000. • Dalam kasus ini kewenangan menuntut pidana menjadi gugur, karena berdasarkan putusan pengadilan negeri bandung yang sudah berkekuatan hukum tetap bahwa A sudah pernah diadili di pengadilan tersebut dan telah menjalani hukuman yang dijatuhkan, oleh karenanya A tidak dapat diadili lagi di pengadilan manapun atas kasus tersebut. www.rudipradisetia.com 58
  • 59. LANJUTAN • Contoh daluwarsa ; • Pada tanggal 4 Juni 1990 di kota Bandung, A melakukan pembunuhan terhadap B, kemudian A melarikan diri keluar negeri. • Pada tanggal 4 Juni 2014, A kembali ke kota Bandung dan pada saat yang bersamaan A ditangkap oleh polisi dengan tuduhan pembunuhan terhadap B pada tahun 1990. • Dalam hal terjadi kasus seperti ini, maka berlaku ketentuan daluwarsa. Ancaman hukuman dalam pasal 338 KUHP adalah paling lama limabelas tahun. Dalam pasal 78 (1) ke 3 dikatakan bahwa mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, maka daluarsanya adalah sesudah dua belas tahun. • Dalam kasus ini jarak antara terjadinya tindak pidana dengan tertangkapnya pelaku adalah duapuluh empat tahun. Oleh karenanya berlaku ketentuan daluarsa, pelaku tidak dapat dituntut secara pidana. www.rudipradisetia.com 59
  • 60. PEMBAHASAN 34 • Amnesti (dari bahasa Yunani, amnestia) adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. • Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi negara semisal badan eksekutif tertinggi, badan legislatif atau badan yudikatif. • Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan. • Diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 jo UU No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi www.rudipradisetia.com 60
  • 61. LANJUTAN • Abolisi Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. • Seorang presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan. • Diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 jo UU No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi www.rudipradisetia.com 61
  • 62. LANJUTAN • Grasi adalah salah satu dari lima hak Presiden Indonesia di bidang yudikatif. Grasi adalah Hak untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan pembebasan hukuman sama sekali. • Menurut pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. • Sebagai contoh yaitu mereka yang pernah mendapat hukuman mati dikurangi menjadi hukuman penjara seumur hidup. • Diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 jo UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi, www.rudipradisetia.com 62
  • 63. PEMBAHASAN 35 • Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “in kracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi. • Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa pemidanaan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan sang satu dengan yang lain belum ada putusan Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap www.rudipradisetia.com 63
  • 64. PEMBAHASAN NO 36 • Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu : 1. Sistim Residive Umum Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya. 2. Sistem Residive Khusus Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula. www.rudipradisetia.com 64
  • 65. PEMBAHASAN NO 37 • Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun pelanggaran. • Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus. artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan- pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu. www.rudipradisetia.com 65
  • 66. PEMBAHSAN NO 38 • Sesuai dengan definisi yang telah dikemukakan pada pembahasan no 35, bahwa syarat dari residive haruslah antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain, harus sudah terdapat putusanya telah memiliki kekuatan hukum tetap. • Dengan berdasarkan kepada persyaratan diatas, saya berpendapat bahwa apabila antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat putusan namun belum memiliki kekuatan hukum tetap maka tidak dapat dikategorikan sebagai recidive. www.rudipradisetia.com 66
  • 67. PEMBAHASAN NO 39 • Residive Kejahatan. Residive terhadap kejahatan dalam pasal : 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2). Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemberat. Perlu diingat bahwa mengenai tenggang waktu dalam residive tersebut tidak sama, misalnya : • Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua tahun • Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun. • Sedangkan untuk residive yang diatur dalam Pasal 486, 477 dan 488 KUHP mensyaratkan bahwa tindak pidana yang diulangi termasuk dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut. • Residive Pelanggaran Residive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu : • Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP. Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan. www.rudipradisetia.com 67
  • 68. PEMBAHASAN NO 40 • Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam berbagai peraturan perunang undangan. Salah satu contohnya adalah UU Tindak Pidana Korupsi. • Pasal 2 ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 merumuskan dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. • Dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU ini dijelaskan bahwa ” Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. www.rudipradisetia.com 68
  • 69. REFERENSI • Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 • Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 • Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997 • Blog Kitab Pidana, Materi ; Percobaan, Penyertaan, Gabungan Tindak Pidana, Residive, http://kitabpidana.blogspot.com • Zriemaroni, http://zriefmaronie.blogspot.com/2011/06/alasan- hapusnya-kewenangan-menuntut.html • Rahmat Sahrudin, http://rahmatsahrudin96.blogspot.com/2012/12/pengertian- amnesti-banding-kasasi-grasi.html www.rudipradisetia.com 69