Peta partisipatif merupakan data primer yang diproduksi oleh masyarakat namun belum difasilitasi oleh pemerintah. Untuk diakui dalam kebijakan satu peta, peta partisipatif perlu standarisasi, landasan hukum, dan penentuan lembaga penanggungjawab. Upaya dilakukan dengan berdialog dengan kementerian terkait untuk mengintegrasikan peta partisipatif dalam perencanaan partisipatif di tingkat daerah.
2. K A B A R J K P P 1 9
" KABAR JKPP 192
REDAKSI KABAR JKPP
Pemimpin Umum: Deny Rahadian Pemimpin Redaksi: Dewi Puspitasari
Soetedjo, Redaktur: Ade Ikhzan Redaktur Pracetak: Amier Hamzah Siregar
Reporter & Kontributor: Imam Hanafi, Diarman, Aku Sulu Samuel
Sausabu, Hajaruddin, Kisran, Nia Ramdhaniaty, Dyantoro Sirkulasi &
Distribusi: Diana Sefiani, Yowanda
Alamat Redaksi :
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
Jl. Cimanuk Blok B7 No 6, Komp. Bogor Baru, Bogor 16152 INDONESIA
Telp. 62 – 251 8379143 Fax. 62 – 251 8314210
Email: kabar@jkpp.org Website : www.jkpp.org
KABAR REDAKSI
Salam kedaulatan rakyat atas ruang,
Para pembaca yang budiman, kali ini KABAR
JKPP kembali hadir di tangan para pembaca.
KABAR JKPP 19 ini menyajikan tulisan utama
tentang “Mencari Posisi Peta Partisipatif Dalam
JIGN di Daerah”, Imam Hanafi menyorot tentang
Kebijakan Satu Peta yang sudah diluncurkan
sejak pemerintahan SBY hingga saat ini
implementasinya masih setengah hati. Salah satu
upaya advokasi yang dilakukan adalah
mengintegrasikan Peta Partisipatif ke dalam
Kebijakan Satu Peta tersebut melalui dorongan
dari tingkat daerah. Perpres no 27 tahun 2014
telah mengatur tentang Jaringan Informasi
Geospasial Nasional (JIGN), dimana Pemda
sebagai salah satu Simpul JIGN.
Selain itu kami juga menyajikan beberapa
pengalaman belajar kawan-kawan Simpul
Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) dalam
penggunaan peta partisipatif sebagai alat
perencanaan, dasar bagi pengakuan wilayah adat
dan upaya integrasi peta partisipatif dalam
kebijakan RTRW di daerah. Juga beberapa
informasi terkini tentang SLPP.
Akhirnya, kami selalu membuka kritik, saran
dan terutama tulisan baik ide, analisis maupun
pengalaman belajar dari para pembaca untuk
memperkaya media ini. Selamat Membaca!
Redaktur
Yang Dapat Kami KABARI
Mencari Posisi Peta Partisipatif Dalam JIGN Di
Daerah - Imam Hanafi
Menggali Inspirasi, Meminang Permaisuri -
Aku Sulu Samuel Sau Sabu
Peran Pemetaan Partisipatif dalam Menjaga
Wewengkon - Nia Ramdhaniaty
Model SLUP Kecamatan Rampi, Menuju
Pembangunan Yang Partisipatif Untuk
Kesejahteraan Masyarakat dan Resolusi Konflik
- Hajaruddin Anshar
Krisis Ekologi dan Sosial di Sulawesi Tenggara
- Kisran Fadhil
Dari Pemetaan Partisipatif Menuju Inisiasi Tata
Ruang Kawasan Perdesaan - S. Diyantoro
Terbit atas dukungan :
3. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "3
Kebijakan satu peta (onemap policy) Indonesia
mulai dimunculkan pada akhir tahun 2010 pada
masa pemerintahan SBY. Tujuannya adalah untuk
mewujudkan informasi geospasial Indonesia
yang akurat, terpadu, sistematik dan
berkelanjutan.
Produk kebijakan satu peta ini diharapkan bisa
menjadi referensi informasi geospasial
terintegrasi yang
diacu banyak
pihak sebagai
landasan dalam
pengaturan dan
pengambilan
keputusan
penguasaan,
pengelolaan dan
pemanfaatan ruang.
Landasan pelaksanaan dan keterlaksanaan
kebijakan satu peta, termuat dalam Undang-
undang No.4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial (IG). Undang-undang IG ini
menetapkan Badan Informasi Geospasial (BIG)
sebagai pelaksana penyelenggaraan Infomasi
Geospasial Dasar (IGD) serta instansi pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau setiap orang,
sebagai pelaksana Informasi Geospasial Thematik
(IGT). Secara kelembagaan, BIG ditetapkan
berdasarkan Perpres Nomor 94 Tahun 2011
tentang Badan Informasi Geospasial, sebagai
pengganti Badan Koordinasi Survey dan
Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dengan tugas
yang lebih luas.
Mencari Posisi Peta Partisipatif
Dalam JIGN di Daerah
Amanat UU NO 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial termuat dalam
tujuan IG yaitu 1). Menjamin ketersediaan dan akses IG yang dapat
dipertanggung jawabkan 2). Mewujudkan kebergunaan dan
keberhasilgunaan IG melalui kerjasama, koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi 3).mendorong penggunaan IG dalam pemerintahan dan
kehidupan masyarakat 4). Referensi tunggal dalam padunya IG di Indonesia
Imam Hanafi
Kepala Divisi Advokasi
Sekretariat Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
4. S E Q U O I A C L U B
" Nullam arcu leo, facilisis ut4
BIG sebagai pelaksana dan penangungjawab IG
sekaligus merupakan penanggung jawab
pelaksanaan kebijakan satu peta, telah
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional
Informasi Geospasial pada 28 Februari 2012 serta
Rakornas Infrastruktur Informasi Geospasial
(IIG) pada desember 2012 di Jakarta yang
melahirkan roadmap pembangunan infrastruktur
Informasi Geospasial (2013-2017).
Penyelenggaraan IIG disandarkan pada pilar-
pilar utama IIG yang terdiri dari kebijakan
(perundang-undangan), kelembagaan
(governance, institutional arrangement), data
utama dan metadata, ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta sumberdaya manusia). Dalam
roadmap IIG ini juga memasukkan pemetaan
partisipatif sebagai salah satu metodologi dan
produk peta yang diakomodir dalam roadmap
IIG sebagai bagian dalam kebijakan satu peta.
Mekanisme yang dikembangkan dalam konteks
onemap adalah berbagi pakai data. Data-data
diserap dari semua kementerian dan lembaga;
dihimpun, diverifikasi dan dipadukan sesuai
standard BIG, disimpan dalam satu data base
yang selanjutnya akan menjadi satu referensi
bagi semua pihak yang ditampilkan melalui
geoportal BIG untuk diserap dan dipakai oleh
semua pihak.
Standarisasi, legalitas dan formalisasi PP
Kendati dalam UU IG no 4 tahun 2011
menyebutkan beberapa pihak yang boleh
membuat peta (Informasi Geospasial), namun
konsep satu data dan penyatuan data resmi
geospasial harus melalui kementerian dan
lembaga pemerintah, yang selanjutnya bertindak
sebagai wali data. Sementara sampai saat ini,
peta partisipatif yang dibuat oleh masyarakat
dan CSO pendukungnya masih menjadi data
“indikatif” yang mungkin bisa diadopsi oleh
pemerintah jika memenuhi kualifikasi tematik,
teknis dan metodologis.
Untuk bisa masuk kedalam kebijakan satu peta,
metodologi pemetaan partisipatif memerlukan
beberapa syarat yang harus dipenuhi,
diantaranya standarisasi metode pemetaan
partisipatif, adanya kebijakan payung sebagai
landasan legal metode pemetaan partisipatif,
serta adanya kejelasan wali data bagi data
pemetaan partisipatif.
Peta partisipatif merupakan data primer yang
diproduksi oleh masyarakat menggunakan
metode pemetaan partisipatif yang selama ini
belum difasilitasi atau dibuat oleh instansi
pemerintah maupun pemerintah daerah. Sampai
saat ini metode ini hanya berkembang dan
banyak digunakan oleh masyarakat dan CSO
pendukungnya.
Peta partisipatif merupakan data primer yang diproduksi oleh masyarakat
menggunakan metode pemetaan partisipatif yang selama ini belum difasilitasi atau
dibuat oleh instansi pemerintah maupun pemerintah daerah.
5. S E Q U O I A C L U B
Nullam arcu leo, facilisis ut "5
Dalam beberapa hal, penggunaan metode
pemetaan partisipatif dalam penyediaan data,
pemuktahiran data dan data perencanaan desa/
wilayah adat, telah dikomunikasikan dan
dikerjasamakan dengan pemerintah daerah.
Di beberapa tempat, metode pemetaan
partisipatif telah digunakan dalam pengajuan
akses kelola masyarakat di dalam kawasan
hutan, seperti penentuan ajuan wilayah Hutan
Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD)
serta penyediaan data peta sebagai alat bukti
pendukung dalam proses pengadilan sengketa
pertanahan.
Namun demikian, dalam konteks penegasan hak
dan pemantapan status kawasan, penggunaan
metodologi pemetaan partisipatif masih banyak
keraguan dan pertanyaan terkait keabsahan,
kualitas, standar dan pengakuan terhadap data
hasil pemetaan partisipatif khususnya oleh
pemerintah. Sehingga terkadang ada keraguan
dari pemerintah daerah untuk menggunakan dan
mengadopsi data hasil pemetaan partisipatif ini.
Untuk menjawab hal tersebut, metode pemetaan
partisipatif membutuhkan jaminan keabsahan
terhadap hasil dan metode, agar bisa digunakan
oleh semua pihak tanpa keraguan. Beberapa
kendala yang menjadi batu sandungan bagi
keabsahan dan legalitas metode pemetaan
partisipatif bisa dilihat dari sisi kendala
metodologi, kendala teknis penyelenggaraan dan
kendala birokratis.
Tantangan lain diluar ketiga kendala diatas bagi
peta partisipatif adalah, belum jelasnya
kebijakan, mekanisme dan institusi yang
bertanggung jawab untuk mengintegrasikan data
dan peta dalam kebijakan satu peta. Mengingat,
proses integrasi data dan peta bukan hanya
sebatas menghimpun dan mengumpulkan
banyak gambar peta dari banyak institusi dan
diakses melalui satu lembaga. Melainkan lebih
penting lagi adalah adanya proses identifikasi,
klarifikasi dan verifikasi antar satu data peta
dengan data peta yang lain yang saling tumpang
tindih.
Tantangan lain diluar ketiga kendala diatas
bagi peta partisipatif adalah, belum jelasnya
kebijakan, mekanisme dan institusi yang
bertanggung jawab untuk mengintegrasikan
data dan peta dalam kebijakan satu peta.
6. S E Q U O I A C L U B
" Nullam arcu leo, facilisis ut6
Khususnya soal menempatkan data
masyarakat sebagai salah satu landasan
utama, mengingat konflik ruang yang terjadi
dibanyak sektor hampir semuanya melibatkan
masyarakat.
Landasan legal dan wali data bagi metode
pemetaan partisipatif
Perpres no 27 tahun 2014 telah mengatur
tentang Jaringan Informasi Geospasial
Nasional (JIGN) yang menggantikan peraturan
presiden no 85 tahun 2007 tentang Jaringan
Data Spasial Nasional (JDSN). JIGN ada suatu
sistem penyelenggaraan dan pengelolaan
Informasi Geospasial (IG) secara bersama,
tertib, terukur, terintegrasi dan
berkesinambungan serta berdayaguna. Hal ini
untuk menghindari adanya kekeliruan,
kesalahan dan tumpang tindih informasi yang
berakibat pada ketidakpastian hukum,
inefisiensi anggaran pembangunan, dan
inefektivitas informasi sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan mutu data spasial
nasional.
Sejauh ini, upaya membangun kesepahaman
dan pengakuan terhadap peta dan metodologi
pemetaan partisipatif telah dilakukan melalui
Inisiatif membangun ruang dialogis terhadap
pihak Kementerian Lingkugan Hidup dan
Kehutanan, Kementerian Agraria Tata Ruang
& Kepala BPN, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan
Informasi Geospasial, serta Badan
Perencanaan Nasional.
Output data dan penggunaan peta partisipatif
dalam upaya resolusi konflik, memperjelas
batas desa, wilayah kelola masyarakat dan
perencanaan tata ruang masyarakat, mulai
mendapat respon positif. Meskipun butuh
waktu panjang dan diskusi intensif dan lebih
mendalam untuk menemukan konteks dan
strategi adopsi serta proses integrasinya.
Harapannya, upaya bersinergi dengan
pemerintah ini, tidak terjebak pada persoalan
formalitas birokrasi yang cenderung
menghambat, baik teknis maupun substansi.
Kedepan, terkait partisipasi masyarakat dalam
penyediaan data Informasi Geospasial serta
peran serta masyarakat dalam perencanaan
tata ruang, diharapkan pemerintah dapat lebih
”legowo” untuk membuka ruang seluas-
luasnya dan lebih fleksibel dalam mendorong
partisipasi masyarakat dalam penegasan hak
sampai ke tingkat daerah. Hal ini
dimungkinkan jika pemerintah, dengan
kebijakannya bisa lebih mendorong dan
mengakomodir peran serta masyarakat
sebagai subyek prioritas dalam arah
pembangunan kedepan. (IH)
Harapannya, upaya bersinergi dengan
pemerintah ini, tidak terjebak pada persoalan
formalitas birokrasi yang cenderung
menghambat, baik teknis maupun substansi.
7. K A B A R U T A M A
Nullam arcu leo, facilisis ut "7
Pengalaman Mendorong HKm Sebagai Salah Satu Solusi Konflik dan Menjamin
Keberlanjutan Sumber Daya Hutan di Egon Ilin Medo dan Wukuh Leworo
Aku Sulu Samuel Sau Sabu
Koordinator Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) NTT
Kebanyakan suku-suku di Indonesia
menganut sistem perkawinan patrilineal,
dimana untuk dapat melangsungkan suatu
perkawianan, pihak mempelai laki-laki wajib
memenuhi syarat-syarat perkawinan berupa
mas kawin atau di komunitas Nusa Tenggara
Timur pada umumnya dan Kabupaten Sikka
pada khususnya mengenalnya dengan nama
Belis. Ketentuan belis sebagai syarat sebuah
perkawinan berbeda-beda antara suatu
komunitas dengan komunitas lainnya. Ada
yang dianggap berat ada yang dianggap
ringan. Berat dan ringan tergantung nilai belis,
di Kabupaten Sikka misalnya pokok belis
terdiri dari sejumlah uang, emas, gading, dan
kuda. Akumulasi seluruhnya bisa ditaksirkan
dengan uang maka jumlahnya bisa sampai
ratusan juta. Setidaknya kami menggunakan
terminologi yang sama dengan Belis dalam
upaya meminang pemerintah agar bisa
mengakses hutan dalam kerangka HKm.
Walaupun banyak perdebatan soal terkait hal
ini, sama halnya dengan kenyataan mengapa
harus mengontrak ditanah milik sendiri.
Tetapi lagi – lagi, Simpul NTT membaca ini
sebagai strategi yang sedang dimainkan pihak
laki-laki agar bisa mendapatkan seorang anak
perempuan sebagai calon mepelai yang bakal
menjadi permaisuri bagi anak laki-laki dan ibu
bagi generasi atau anak-anak yang akan
dilahirkan. Inilah yang dimaksudkan dengan
sebuah perjuangan dengan menggunakan
berbagai strategi untuk mencapai
kemenangan.
Menggali Inspirasi
Meminang Permaisuri
“Tana Amin Moret Amin – Tanah kami hidup kami, Tanah
adalah Ibu bagi kami, Ibu yang mengandung, melahirkan,
membesarkan serta memberikan kehidupan”.
8. S E Q U O I A C L U B
" Nullam arcu leo, facilisis ut8
Pada tahun 1990, Pemerintah Daerah
Kabupaten Sikka menetapkan tata batas
kawasan hutan lindung Egon Ilin Medo RTK
107 seluas 19.456,80 Ha dengan sepihak tanpa
ada surat keputusan penetapan secara formal.
Hanya kawasan Wukoh Lewoloro RTK 126
dengan luas 3.200 Ha yang memiliki SK
penetapan yaitu SK. 124/Kpts-II/1990 tanggal
23 Maret 1990. Akibat klaim kawasan hutan
lindung ini, sebagian besar wilayah kelola
masyarakat masuk
dalam kawasan hutan
lindung.
Paska penunjukan
sepihak dari
pemerintah daerah,
masyarakat tidak lagi
bisa mengakses secara leluasa sumber daya
hutan seperti sebelumnya. Akibatnya, agar
dapat bertahan hidup masyarakat memilih
menjadi penambang galian C disekitar daerah
aliran sungai, menebang dan menjual hasil
hutan berupa kayu bangunan dan menjadi
buruh bangunan di daerah lain. Daerah aliran
sungai pun mengalami kerusakan karena
penambangan, erosi dan longsor tak terelakan.
Efek lain, beberapa masyarakat yang merasa
kecewa dengan pemerintah daerah tetap
melakukan kegiatan dalam kawasan hutan
dengan terus memperluas wilayah tanpa batas
dan kontrol, beberapa menyebabkan
kerusakan hutan.
Beberapa upaya
telah dilakukan
dalam mengatasi
masalah ini,
diantaranya
program studi
banding dan
lokakarya yang
dilakukan oleh
pemerintah
daerah, tetapi
tetap tidak
menemukan
solusi yang
terbaik.
Masyarakat
menjalani perjuangannya sendiri – sendiri
sesuai dengan kemampuanya, hingga pada
tahun 2000 masyarakat mulai mengorganisir
perjuangannya. Namun perjuangan panjang
yang ditempuh belum juga membuahkan
hasil. Hingga pada akhirnya SLPP masuk pada
bulan Desember 2006 dan menemani
perjuangan masyarakat melalui pemetaan
partisipatif dan perencanaan ruang untuk
pengelolaan sumber daya alam hutan
berdasarkan
konsep hutan
kemasyarakatan
(HKm). Konsep
yang ditawarkan
merupakan
strategi
penyelesaian konflik keruangan antara
pemerintah dan masyarakat. Hal ini sebagai
sebuah tawaran dari melihat sejarah konflik
yang cukup panjang.
Melalui pemetaan partisipatif semua potensi
sumber daya alam dapat teridentifikasi dari
aspek keselamatan maupun ancamannya.
Pemetaan partisipatif dapat memberikan
informasi detil tentang situasi dan kondisi
sumber daya alam sebenarnya kepada
masyarakat yang berada di dalam dan sekitar
kawasan hutan dan pihak lain yang
berkepentingan dengan pengelolaan sumber
daya alam.
Pada tahun 1990, Pemerintah Daerah Kabupaten
Sikka menetapkan tata batas kawasan hutan
lindung Egon Ilin Medo RTK 107 seluas
19.456,80 Ha dengan sepihak tanpa ada surat
keputusan penetapan secara formal.
9. S E Q U O I A C L U B
Nullam arcu leo, facilisis ut "9
Pemetaan partisipatif telah memberikan
gambaran nyata bagi masyarakat untuk melihat
betapa menurunnya kualitas sumber daya alam
hutan.
Pemetaan partisipatif di kawasan hutan Egon Ilin
Medo dan Wuko Lewoloro dilakukan melalui
beberapa tahap yaitu; dari sosialisasi ide dan
gagasan pemetaan partisipatif itu sendiri,
menginisiasi pelatihan pemetaan partisipatif
bersama masyarakat, survei indentifikasi potensi
sumber daya alam oleh masyarakat,
penggambaran peta, perencanaan kampung
berbasis peta.
Hasil pemetaan partisipatif kemudian
dipakai sebagai alat perencanaan tata
ruang wilayah atau pengelolaan ruang
serta alat perencanaan pembangunan
pada umumnya.
Proses yang terpenting kemudian adalah
negosiasi dengan pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Sikka. Negosiasi dengan
pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Sikka.
Peta hasil perencanaan kampung
khususnya tentang pengelolaan kawasan
disampaikan melalui tatap muka dengan DPRD
Kabupaten Sikka untuk mendapat perhatian dan
dukungan kepada masyarakat agar merancang
kebijakan daerah yang memberikan
perlindungan dan kenyamanan kelola
masyarakat dalam kawasan hutan lindung.
Selanjutnya peta-peta perencanaan pengelolaan
dari masing-masing wilayah dipresentasikan di
depan Dinas Kehutanan Kabupaten Sikka dan
menyerahkannya sebagai dokumen bersama
untuk menjadi acuan pengelolaan kawasan
hutan. Dialog dengan dinas kehutanan tersebut
merupakan momentum rekonsiliasi masyarakat
dengan Dinas Kehutanan selaku pihak yang
paling bertanggung jawab atas kebijakan
kehutanan. SLPP NTT bersama kelompok
masyarakat juga telah menyerahkan dokumen
Usulan IUPHKm Kepada Bupati melalui Kepala
Dinas Kehutanan Kabupaten Sikka.
Melalui kebijakan HKm, Dinas Kehutanan
Kabupaten Sikka dan masyarakat yang tinggal di
dalam dan di sekitar hutan menyepakati untuk
membuka akses pengelolaan hutan lindung
melalui pola pengembangan HKm dengan
mensinergikan kearifan lokal masyarakat.
Adapun pengembangan hutan kemasyarakat
bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat
pemegang ijin usaha pengelolaan hutan
kemasyarakatan serta kelestarian hutan itu
sendiri. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor
: P. 37/Menhut-II/2007.
Pemetaan partisipatif telah memberikan
gambaran nyata bagi masyarakat untuk melihat
betapa menurunnya kualitas sumber daya alam
hutan.
10. S E Q U O I A C L U B
" Nullam arcu leo, facilisis ut10
Peta-peta yang dihasilkan melalui pemetaan
partisipatif telah dipakai sebagai acuan
penetapan wilayah-wilayah sasaran
penyelenggaraan hutan kemasyarakatan (HKm).
Selanjutnya peta partisipatif yang difasilitasi
melalui kerja sama SLPP-NTT telah disepakati
untuk dipakai sebagai salah satu syarat
dokumen usulan ke Bupati Sikka untuk
mendapatkan Ijin Usaha Pengelolaan Hutan
Kemasyarakatan (IUPHKm).
Selain itu, peta perencanaan ruang menjadi
media dalam menata ulang sistem tenurial
masyarakat. Karena melalui pemetaan
partisipatif dapat diketahui bahwa kesepakatan-
kesepakatan adat berhubungan dengan
pengelolaan sumber daya alam hutan sering kali
terlupa bahkan tidak lagi ditegakkan.
Dalam proses pemetaan seorang tokoh adat di
Desa Kloangpopot menyatakan bahwa
“kami masuk garap dalam kawasan hutan karena
kami tidak tahu resikonya, hari ini melalui pemetaan
partisipatif baru kami tahu bahwa kami telah
melakukan kesalahan dan kami merasa berdosa
terhadap alam dan leluhur kami” (Tokoh Adat Desa
Kloangpopot).
Dan ada juga Tokoh masyarakat Egon yang
menyatakan :
“Mulai saat ini kami harus menanam hutan di mata
air kalau perlu buat dengan sumpah adat agar yang
tidak tanam hutan dapat sangsi dari leluhur berupa
sakit, penyakit dan kematian” (Tokoh masyarakat
Egon)
Hingga sampai dengan tulisan ini dibuat sudah
ada 18 desa dari 30 desa yang telah
mendapatkan IUPHKm Bupati Sikka.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil
pemetaan partisipatif telah menjadi media
penyelesaian konflik penetapan tata batas hutan
lindung serta menjadi alat perencanaan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan
menggunakan pola HKm. Selain itu, peta
partisipatif menjadi bagian kesepakatan dalam
negosiasi belis antara pemerintah daerah dan
masyarakat. Salam Berdaulat atas Ruang. (SSS)
11. S E Q U O I A C L U B
Nullam arcu leo, facilisis ut "11
Istilah wewengkon dikenal komunitas
Kasepuhan Banten Kidul sebagai bentuk
penegasan batas wilayah adat yang
menunjukkan ruang kelola dan ruang hidup
masyarakat Kasepuhan, baik dalam fungsi
sosial, ekonomi, maupun ekologi.
Penegasan itu diwujudkan dalam bentuk
tata ruang wewengkon, yakni Leuweung
Leuwueng Kolot/Tutupan, Leuweung
Titipan, dan Leuweung Bukaan/Sampalan
yang dilengkapi dengan aturan adat serta
kelembagaan adat yang mengaturnya.
Namun wewengkon sebagai titipan nenek
moyang yang dikelola secara turun temurun
itu pun diakui sebagai kawasan hutan
negara dengan fungsi produksi sejak tahun
1978 (Perum Perhutani) dan fungsi
konservasi sejak tahun 1992 serta perluasan
wilayah konservasi di tahun 2003. Terjadi
klaim antar para pihak, yang kemudian
membawa dampak pada sengketa batas
antara masyarakat Kasepuhan dan
Kementrian Kehutanan. RMI (2014)
mencatat terdapat 34 konflik, dan 90% nya
berkonflik dengan kawasan hutan negara
dibawah pengelolaan Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan
Perum Perhutani.
Sengketa batas serta ketidakpastian hak
atas tanah dan sumberdaya alam ini lah
yang menghantarkan masyarakat
Kasepuhan berinsiasi untuk melakukan
pemetaan partisipatif dalam upaya
mempertegas batas wewengkon adat
Kasepuhan serta memperjuangkan hak-hak
sebagai masyarakat hukum adat.
Peran Pemetaan Partisipatif
Dalam Menjaga Wewengkon
Menuju Lahirnya PERDA Kasepuhan di Kabupaten Lebak, Banten
Nia Ramdhaniaty
Direktur Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
12. S E Q U O I A C L U B
" Nullam arcu leo, facilisis ut12
Peta sebagai “amunisi” penegasan HAK atas
Wilayah
Ketidakjelasan batas menjadi sumber konflik
tenurial di Indonesia dan bahkan di negara
lainnya. Peta memberikan bukti data konkrit
yang dituangkan secara visual terkait HAK atas
teritori masyarakat adat. Seperti yang dijelaskan
di dalam UU No. 41/1999 serta Permenag
5/1999, bahwa wilayah adat menjadi salah satu
syarat pembuktian sebagai masyarakat hukum
adat yang kemudian diakui keberadaannya
melalui Peraturan Daerah (PERDA). Namun
bagi masyarakat Kasepuhan, penegasan batas
ini bukan sekedar coretan batas wilayah adat,
namun terkait juga unsur penegasan dalam
konteks jaminan keamanan dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk
keberlangsung penghidupan incu putu
(pengikut/warga Kasepuhan) nya kelak.
Seperti yang terjadi di Kasepuhan Karang
yang secara administratif masuk kedalam Desa
Jagaraksa. Dengan adanya peta partisipatif
yang dimiliki saat ini, secara perlahan mampu
mengembalikan “kebanggaan” warga Karang
yang terekslusi atas pengelolaan sumberdaya
alamnya maupun atas kepercayaan mereka.
Rasa bangga ini pernah pudar akibat wilayah
adat mereka dinyatakan masuk ke dalam
kawasan TNGHS TAHUN 2003 dan
mendapatkan serangan Ormas Front Pembela
Islam (FPI) di tahun 2009 yang menganggap
Kasepuhan Karang memiliki aliran
kepercayaannya sendiri dan
menyalahi ajaran Islam. Warga
kasepuhan kemudian mengambil
langkah untuk memetakan wilayah
adat dan desa administrasi nya pada
tahun 2014-2015 sebagai bentuk
penegasan batas dan hak atas
wewengkonnya.
Hingga tahun 2014, seluas 18.055,263
Ha wewengkon Kasepuhan sudah
terpetakan di Kabupaten Lebak,
diantaranya di Kasepuhan Citorek,
Cibedug, Karang, Cirompang, dan
Cisitu yang menjadi korban atas
ketidakpastian hak atas tanah dan sumberdaya
alamnya.
Hal serupa juga dialami oleh Kasepuhan Pasir
Eurih, Sindang Agung, Cibarani, Ciptagelar,
Cisungsang, dan kasepuhan lainnya yang saat
ini tengah berproses memetakan wilayah
adatnya.
“Proses pemetaan ini adalah awal dari
perjuangan menuju pengakuan hak kami
selaku masyarakat adat” (Jaro Wahid,
Kasepuhan Karang, 2014)
13. S E Q U O I A C L U B
Nullam arcu leo, facilisis ut "13
Peta sebagai alat perencanaan tata ruang adat/
desa
Konsep tata ruang adat bagi Kasepuhan
bukanlah hal yang baru. Secara ekologis,
Kasepuhan meyakini Leuweung Tutupan/Kolot/
Paniisan/Geledegan merupakan areal yang
difungsikan untuk menjaga keberlangsung mata
air. Sedangkan Leuweung Titipan merupakan
areal yang menjadi kawasan yang menjadi titipan
karuhun, seperti situs, tugu, makam, mata air
serta ada beberapa meyakini bahwa titipan
karuhun ini atas “ijin karuhun” suatu saat bisa
dibuka untuk dimanfaatkan oleh incu putu nya
kelak. Sedangkan areal yang difungsikan untuk
kebutuhan produksi masy.arakat disebut dengan
Leuweung Bukaan/Sampalan.
Konsep ini lah yang kemudian dituangkan ke
dalam peta untuk menjadi bahan perencanaan
bersama atas pembangunan yang terjadi di
wilayah adat. Sepanjang pengakuan keberadaan
masyarakat Kasepuhan belum diakui oleh
pemerintah, maka menjadi tantangan besar bagi
Lembaga adat Kasepuhan untuk mensinkronkan
konsep pembangunan wilayah adat dengan
konsep pembangunan desa administratif sebagai
unit pemerintahan terkecil negara. Namun,
mengingat staf yang duduk di pemeritahan desa
merupakan incu putu dari Kasepuhan, maka
setiap proses pembangunan yang akan berjalan
di wilayah adat harus mendapatkan “restu” dari
Kelembagaan Kasepuhan.
Alhasil peta wewengkon pun
seringkali menjadi acuan
dalam proses perencanaan
pembangunan desa.
Peta sebagai alat negosiasi
pencapaian pengakuan dan
perlindungan Kasepuhan
Mengacu pada Gambar 1,
terlihat bahwa posisi
wewengkon di lima
Kasepuhan tersebut hampir
seluruhnya tumpang tindih
dengan kawasan penunjukkan
TNGHS yang keberadaannya
dilegitimasi melalui SK Menhut No. 175/Kpts-II/
2003 seluas 113.357 Ha. Tanah yang dikelola sejak
lama oleh warga Kasepuhan secara turun
temurun ini harus dihadapkan pada status yang
lain, yaitu hutan negara di atas tanah negara! Ini
menunjukkan bahwa masyarakat Kasepuhan
belum berdaya di atas wewengkon (wilayah
adat) nya sendiri.
Peraturan Daerah (PERDA) yang seharusnya
mengakui keberadaan Kasepuhan sebagai
masyarakat hukum adat belum tersedia, baik di
Kabupaten Lebak, Sukabumi maupun Bogor.
Sebagai informasi bahwa Kabupaten Lebak
menjadi pelopor dalam pengakuan Ulayat
Masyarakat Baduy dalam bentuk Peraturan
Daerah, No. 32 tahun 2001. Oleh karena nya
bukan hal yang mustahil jika pengakuan
Kasepuhan pun disahkan dalam bentuk PERDA
di Kabupaten Lebak.
14. S E Q U O I A C L U B
" Nullam arcu leo, facilisis ut14
Perjuangan Kasepuhan adalah perjuangan
membuktikan bahwa Kasepuhan merupakan
masyarakat hukum adat yang juga harus
memiliki pengakuan dan perlindungan atas
wilayah adat, keberadaan masyarakat beserta
sumber penghidupan lainnya.
Pengakuan keberadaan Kasepuhan saat ini
tertuang di dalam SK Bupati Lebak No. 430/
Kep.298/Disdikbud-/2013 tentang Pengakuan
Keberdaan Masyarakat Adat di Wilayah
Kesatuan Adat Banten Kidul. Namun, karena
mandat peraturan perundang-undangan
adalah PERDA, maka awal tahun 2015 warga
Kasepuhan mendapatkan jawaban dari
Pemerintah Kabupaten Lebak, bahwa PERDA
Kasepuhan masuk menjadi Program Legislasi
Daerah tahun 2015.
Secara prinsip PERDA yang dihasilkan harus
memberikan kemakmuran dan kesejahteraan
bagi warga Kasepuhan yang pola penyebaran
berdasarkan geneologis. Oleh karena itu salah
satu substansi pokok dari PERDA tersebut
yang perlu diperhatikan diantaranya adalah :
a) pengakuan seluruh masyarakat kasepuhan
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat; b)
mengakui hak tradisional dan hak lainnya dari
Masyarakat Kasepuhan sebagai warga negara;
c) pengaturan pelaksanaan pemetaan wilayah
adat yang kemudian peta wilayah adat
ditetapkan dengan SK Bupati; d) pembentukan
tim pemetaan wilayah adat; e) menjadikan
masyarakat Kasepuhan sebagai unit dalam
pembangunan daerah; dan lain-lain. Baca
lebih lanjut Policy Brief Vol. 01/2014 yang
diterbitkan oleh Epistema, RMI, JKPP dan
HuMa.
Peta partisipatif yang saat ini sudah ada
maupun yang sedang dalam tahap proses
penatabatasan menjadi seharusnya dokumen
penting bagi terwujudkannya prinsip PERDA
pengakuan masyarakat hukum adat, yaitu
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
Kasepuhan.
Namun faktanya peta partisipatif yang
dihasilkan pun belum sanggup meyakinkan
para pengambil kebijakan di daerah untuk
diakui, karena belum ada legitimasi hukum
positif yang mengakui itu. Peta partisipatif
Kasepuhan harus diakui secara
sah, jika negara akan mengakui
keberadaan Kasepuhan dan
masyarakat hukum adat
lainnya! (NR)
Sumber Bacaan:
Hanafi, I., Nia Ramdhaniaty dan Budi
Nurjaman. Nyoreang Alam Ka Tukang,
Nyawang Anu Bakal Datang.
Penelurusan Pergulatan di Kawasan
Halimun, Jabar-Banten. 2004. Publikasi
RMI
Polycy Brief Vol. 01/2014. Menantikan
Hadirnya Peraturan Daerah tentang
Masyarakat Kasepuhan. Epistema,
RMI, HuMa dan JKPP. 2014.
Policy Brief Bol. 02/2014. Perda
Masyarakat Kasepuhan: Solusi Konflik
Tenurial Kehutanan di Lebak.
Epistema dan RMI. 2014.
Peta partisipatif Kasepuhan harus diakui secara sah, jika
negara akan mengakui keberadaan Kasepuhan dan masyarakat
hukum adat lainnya!
15. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "15
Model SLUP Kecamatan Rampi
Menuju Pembangunan yang Partisipatif untuk Kesejahteraan Masyarakat dan
Resolusi Konflik
Hajaruddin Anshar
Pengurus Perkumpulan Wallacea Palopo
Idealnya masyarakat bukan hanya sebagai
obyek dari perencaanaan pembanguan,
semestinya masyarakat memiliki ruang yang
cukup luas untuk terlibat dalam
pembangunan. Selama ini, model
perencanaan pembangunan yang teknokratis
memandang masyarakat sebagai objek
semata, menghilangkan ruang partisipasi
masyarakat yang pada akhirnya
menyebabkan konflik dan menghambat
pembangunan itu sendiri.
Dalam upaya menjembatani berjalannya
proses pembangunan serta mendorong
keterlibatan masyarakat yang aktif dalam
perencanaan, metode Sustainable Land Use
Planning (SLUP) atau perencanaan
penggunaan lahan berkelanjutan menjadi
salah satu pilihan. SLUP mengedepankan
peran penting masyarakat sebagai subyek
dan sekaligus obyek pembangunan. SLUP
menegaskan perencanaan wilayah
berdasarkan sistem kelola komunitas yang
ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat
dan keberlanjutan fungsi layanan alam.
Khusus di Kabupaten Luwu Utara Sulawesi
Selatan, sejak 2014 sampai 2015 Pemerintah
Kabupaten Luwu Utara bersama Jaringan
Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Simpul
Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP)
Tokalekaju, dan Perkumpulan Wallacea
menginisiasi Sustainable Land Use Planning
(SLUP) atau Perencanaan Penggunaan Lahan
Berkelanjutan yang bertujuan untuk
mewujudkan penyusunan perencanaan
pembangunan partisipatif, khususnya bagi
penyusunan tata ruang secara partisipatif di
Luwu Utara.
16. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1916
Belajar dari pengalaman
Kecamatan Rampi merupakan salah satu
kecamatan di Kabupaten Luwu Utara,
Sulawesi Selatan. Daerah ini memilki
topografi berbukit-bukit dan berada pada
1.600 mdp.
Secara adminstrasi, Kecamatan Rampi terdiri
dari 6 desa yaitu (1) Sulaku, (2) Leboni, (3)
Onondowa, (4) Dodolo, (5) Rampi, (6)
Tedeboe. Rampi berada di Pegunungan
Tokalekaju, pegunungan hutan purba yang
masih tersisa di Sulawesi, berjarak sekitar 84
km dari Ibu Kota Luwu Utara.
Wilayah ini juga dikenal sebagai jantung
Sulawesi. Rampi merupakan salah satu
kecamatan yang dapat dikatakan wilayah
terpencil dan masih terisiolir. Perjalanan
menuju Rampi dapat ditempuh dengan
pesawat kecil atau perjalanan darat dengan
medan sulit selama 2 hari.
Sementara Rampi dalam arahan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Utara
Kecamatan Rampi masuk dalam klaim
kawasan hutan lindung dan kawasan
budidaya. Dalam peta RTRW kawasan
strategis Kabupaten Luwu Utara tahun 2009 –
2029, Kecamatan Rampi masuk dalam potensi
pertambangan bersama dengan Kecamatan
Seko dan Limbong.
Sementara itu, Kecamatan Rampi juga masuk
dalam wilayah yang rawan bencana,
khususnya masuk dalam kategori rawan
banjir, erosi dan sedimentasi. Didalam perda
RTRW tertulis rencana perluasan kebun sawit
hingga 23.388,13 Ha, dimana Rampi masuk
didalamnya.
Analisis SLUP menghasilkan ketidaksesuaian
perencanaan yang dibuat oleh masyarakat
dengan RTRWK. Kesesuaian kawasan
budidaya dalam perencanaan masyarakat
dengan RTRWK Luwu Utara sebesar 20 %
atau sekitar 4.598,6 Ha. Kategori sesuai
dengan izin pemerintah sebanyak 35.5 %,
wilayah ini mencakup area hutan produksi,
sementara ketidaksesuaian kawasan
budidaya masyarakat sebanyak 45.42 % yaitu
wilayah budidaya yang masuk dalam hutan
lindung dan kawasan potensi pertambangan
dalam RTRWK.
Sebaliknya wilayah lindung dalam peta
perencanaan masyarakat Rampi yang
dialokasikan sebagai kawasan budidaya
dalam RTRWK seluas 52.62 % atau 61.409 Ha,
sementara kawasan lindung masyarakat
Rampi yang sesuai dengan lindung dalam
RTWRK hanya sebanyak 47.38 % yaitu seluas
55,289.54 Ha.
Sinergitas komunitas dan Pemerintah
SLUP mensyaratkan kerja sinergi dengan
pemerintah, karena dokumen yang dihasilkan
oleh masyarakat diharapkan menjadi
dokumen rujukan dalam RTRWK.
Perjalanan menuju Rampi dapat ditempuh dengan pesawat kecil atau
perjalanan darat dengan medan sulit selama 2 hari.
17. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "17
Memastikan bagaimana pemerintah
mengakomodir perencanaan penggunaan
lahan berkelanjutan komunitas dikerjakan
dengan pelibatan pemerintah (Pemerintah
Desa, Kecamatan hingga pemerintah
Kabupaten) bersama dengan masyarakat.
Inisiasi SLUP dengan berpegang peta
perencanaan dilakukan tahap demi tahapan
secara partisipatif seperti alur berikut ini.
Perencanaan penggunaan lahan
berkelanjutan di Kecamatan Rampi
menjadikan masyarakat memahami apa saja
kebutuhan mereka.
Masyarakat menuangkan perencanaan
partisipatif dalam peta dengan
mendiskusikan tidak saja soal kebutuhan saat
ini melainkan kebutuhan masyarakat dimasa
depan. Kesadaran masyarakat dalam
mengenal wilayah kelolanya sendiri
diharapkan mampu menumbuhkan rasa
pemilikan serta memahami bagaimana
merespon kemungkinan perkembangan
kehidupan pada masa yang akan datang,
misalnya dalam melihat perkembangan
penduduk sehingga dibutuhkan perencaana
soal perluasan tempat pemukiman, lahan
pertanian, perkebunan dan kebutuhan
lainnya. Peta ini yang didorong menjadi
rujukan bagi pemerintah dalam membuat
kebijakan pembangunan.
Pengetahuan lokal mengenai penggunaan
lahan yang tertuang dalam perencanaan
berangkat dari pengalaman mereka yang
telah lama berinteraksi dengan alam.
Pengetahuan ini menjadi bagian penting
dalam menentukan lokasi sawah, kebun,
pemukiman dan lain-lain.
Proses SLUP mendokumentasikan
pengetahuan masyarakat sebagai
modal utama dalam perencanaan
penggunaan lahan yang paritsipatif.
Seperti contohnya penentuan lokasi
persawahan diketahui dengan jenis
dari ciri tanah yang berwarna
kehitaman, dataran serta memilih
lahan dekat dengan sumber
pengairan.
Perkebunan dlihat dari jenis tanah
yang berwarna kehitaman dan berada
pada bukit juga dataran. Kolam
ditentukan dari jenis tanah yang
berlumpur dan berpasir, sementara
pemukiman ditentukan karena posisi
pemukiman yang datar, termasuk
pertimbangan lembah yang luas dan jauh
dari ancaman longsor.
Masyarakat menuangkan perencanaan
partisipatif dalam peta dengan
mendiskusikan tidak saja soal kebutuhan
saat ini melainkan kebutuhan masyarakat
dimasa depan.
18. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1918
Kesesuaian Perencanaan Lahan Berdasarkan Pengetahuan Lokal yang ada di Masyarakat
Rampi, seperti yang diperlihatkan dalam tabel dibawah ini :
NO Penggunaan Lahan Kesesuaian Lahan Keterangan
Cocok Tidak Cocok
1 Pertanian/
pesawahan
tanah berwarna hitam
atau kehitaman
tanah padat
tanah yang ditumbuhi
alang-alang masih bisa
dipakai untuk pesawahan
jenis tanah dengan
lumpur yang agak putih
atau kekuningan
tanaman padi hanya
bertahan selama 3 kali panen
atau selama 3 tahun
lembab dan berlumpur letak sawah sebaiknya
berada di daerah yang lebih
rendah dari air
2 Perkebunan tanah berwarna hitam
atau kehitaman
tanah berpasir lokasinya di perbukitan/
dataran tinggi
kadang ditemukan juga di
wilayah dataran/tanah rata
tanah merah tanah berwarna merah tidak
begitu baik tetapi jenis tanah
ini masih cocok untuk
tanaman cengkeh. Hanya
saja tidak ada tanaman
cengkeh di Rampi
Kolam kolam ikan yang bagus
dengan tanah berpasir
tanah yang mengandung
unsur besi
kadang di pesawahan
ciri lumpur merah jika lahan tersebut
difungsikan sebagai kolam
ikan maka ikan di kolam
tersebut akan susah untuk
tumbuh besar
Pemukiman penempatan pemukiman
mengikuti pemukiman
sebelumnya
daerah yang memang
tidak pernah dijadikan
pemukiman sejak dulu
wilayah lembah yang luas
dan tidak rawan longsor
rawan longsor
Sumber : Diolah dari hasil wawancara masyarakat
Rampi
Pengetahuan lokal mengenai penggunaan
lahan yang tertuang dalam perencanaan
berangkat dari pengalaman mereka yang
telah lama berinteraksi dengan alam.
Pengetahuan ini menjadi bagian penting
dalam menentukan lokasi sawah, kebun,
pemukiman dan lain-lain. Proses SLUP
mendokumentasikan pengetahuan
masyarakat sebagai modal utama dalam
perencanaan penggunaan lahan yang
paritsipatif.
Seperti contohnya penentuan lokasi
persawahan diketahui dengan jenis dari ciri
tanah yang berwarna kehitaman, dataran
serta memilih lahan dekat dengan sumber
pengairan. Perkebunan dlihat dari jenis
tanah yang berwarna kehitaman dan berada
pada bukit juga dataran. Kolam ditentukan
dari jenis tanah yang berlumpur dan berpasir,
sementara pemukiman ditentukan karena
posisi pemukiman yang datar, termasuk
pertimbanganlembah yang luas dan jauh dari
ancaman longsor.
19. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "19
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara
sedang menyiapkan pengajuan pelepasan
kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan
Lahan (APL) seluas 9.419,15 Ha. Hasil
tumpang susun pengusulan perubahan
kawasan hutan dengan SK No. 8410 dengan
peta penggunaan lahan masyarakat Rampi
ditemukan kesesuaian pengusulan seluas
5.536,61 Ha sementara ketidaksesuaian
ditemukan pada wilayah hutan primer
masyarakat atau yang disebut dengan wana
seluas 2140,69 Ha. Oleh karenanya peta SLUP
berfungsi mengkoreksi pengajuan pelepasan
hutan menjadi APL. Dokumen SLUP telah
diserahkan kepada Dinas Kehutanan Luwu
Utara sebagai rujukan dalam pelepasan
kawasan hutan oleh pemerintah sesuai
dengan kebutuhan masyarakat untuk
menghindari konflik dimasa mendatang
(HA)
Sustainable Land Use Planning (SLUP, merupakan perencanaan penggunaan lahan
dengan mengedepankan proses partisipatif, menggunakan metode pemetaan partisipatif
dan perencanaan tata guna lahan yang lebih detil. Proses SLUP menekankan lima (5)
dimensi yaitu, aspek sosial, budaya, lingkungan, ekonomi dan pemerintahan. JKPP
bersama SLPP dalam proses ini berlaku sebagai fasilitator yang mendampingi proses
perencanaan dan membangun kesepakatan, capaian serta hasil. Tahapan dalam proses
SLUP ini diawali dengan membangun kesepakatan di level desa, kecamatan hingga
kabupaten. Proses selanjutnya berupa pengumpulan dan pengolahan data serta analisa
sehingga menghasilkan dokumen SLUP. Dokumen ini yang menjadi bahan diskusi dan
acuan dalam proses integrasi dalam RTRWK
20. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1920
Krisis Ekologi dan Sosial
Di Sulawesi Tenggara
Kerusakan Lingkungan dan Penyingkiran Masyarakat di Bumi Anoa
Kisran Fadhil
Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tenggara
Banyak kasus krisis ekologi dan upaya
penyingkiran petani dari tanahnya
diakibatkan oleh regulasi pemerintah
daerah yang memberikan porsi lebih
besar untuk investasi skala besar.
Regulasi ini secara terstruktur dilakukan
melalui pengalokasian ruang yang diatur
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRWK/P).
Kemudian, masyarakat mengalami proses
- proses penyingkiran secara masif karena
kerusakan ekologis sebagai dampak dari
industri ekstraktif. Seperti tercemarnya
laut dan sungai sehingga tidak bisa lagi
menghasilkan tangkapan yang baik serta
terganggunya sawah pertanian
masyarakat karena krisis air serta bencana
banjir. Belum lagi efek penurunan
kesehatan dan kerusakan tubuh manusia
karena terinfeksi udara yang telah
tercemar oleh perusahan tambang.
Sengaja datang atau hanya kebetulan
lewat, Bumi Anoa sebagai julukan
Sulawesi Tenggara merupakanwilayah
dengan basis keanekaragaman hayati
terbesar ketiga di Indonesia dengan jenis
flora dan fauna endemik (data IUNCH,
2001). Kini kekayaan sumberdaya alam
yang mestinya dimanfaatkan secara arif
dan bijaksana di Sulawesi Tenggara
dihadapkan pada malapetaka yang mesti
ditanggung oleh generasi yang akan
datang.
Penghancuran sistematis pranata sosial-
budaya sangat nampak terjadi dibeberapa
wilayah sumberdaya alam yang padat.
Sebut saja Kolaka dan Konawe Utara,
kedua daerah ini merupakan pusaka satu-
satunya Kebudayaan Tolaki, melalui
tanah dan hamparan benda alam kini tak
satupun menjadi warisan leluhur.
21. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "21
Kondisi ini muncul karena banyaknya
persoalan yang bermula dari hulu yaitu ketika
liberalisasi perizinan pertambangan
dikeluarkan dengan semena-mena, tidak
transparan, dan mengabaikan daya dukung
lingkungan melalui sistem terstruktur dalam
kebijakan ruang. Hal ini yang melahirkan
beragam persoalan
misalnya konflik
tenurial, perambahan
hutan, konflik sosial
dan degradasi
lingkungan.
Dalam dokumen
Rencana
Pembengunan
Jangka Menengah
Daerah (RPJMD)
Sulawesi Tenggara,
pada bagian analisa
tentang isu strategis,
selalu dikatakan
bahwa permasalahan
pokok adalah
bagaimana
mengembangkan potensi sumberdaya alam
yang tersedia baik di darat maupun di laut.
Melalui upaya peningkatan nilai tambah
sumberdaya alam dengan mengembangkan
kawasan strategis sebagai pusat
pertumbuhan baru.
Dasar tersebut yang melandasi perumusan
kebijakan daerah, rencana dan program di
dalam RPJMD Sulawesi Tenggara periode 2008
– 2013 dan periode 2013 – 2018. Dengan target
pertumbuhan ekonomi pada kedua periode
tersebut berkisar antara 8% - 10% per
tahunnya.
Dalam grafik berikuth ini menunjukan bahwa
alokasi ruang bagi tambang menjadi prioritas
dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi
Sulawesi Tenggara. Yang menjadi pertanyaan
kemudian apakah pilihan tambang menjadi
jalan yang tepat bagi kesejahteraan daerah,
masyarakat serta keberlanjutan lingkungan?
Gambar Alokasi Izin di Sulawesi Tenggara
(RPJMD 2013 – 2018)
Dalam dokumen RTRWP Sultra kawasan
dengan status APL disebutkan diperuntukan
untuk pemukiman dan perkebunan. Dalam
kenyataannya sebagian besar lokasi tambang,
lokasi perkebunan skala besar dan lokasi
transmigrasi masuk dalam kawasan hutan dan
suaka alam yang telah diturunkan statusnya
menjadi APL.
Untuk periode 2013 – 2018 diprediksi akan
terjadi perubahan luasan kawasan yang lebih
besar berdasarkan perkiraan perluasan
wilayah investasi untuk pertambangan dan
perkebunan, termasuk juga penerimaan
transmigrasi.
Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah
pilihan tambang menjadi jalan yang tepat bagi
kesejahteraan daerah, masyarakat serta
keberlanjutan lingkungan?
22. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1922
Seperti yang terjadi di Kecamatan Pomalaa
Kabupaten Kolaka dan Kecamatan Molawe
Kabupaten Konawe. Tercatat perusahaan
tambang yang beroperasi di kecamatan ini
adalah produksi PT. DRI, PT. SSB, PT. Akar
Mas, PT. Wijaya Nikel, PT. Antam Tbk dan
masih terdapat sejumlah aktivitas Pemegang
IUP dan JO ikutannya. Tambang telah
merusak panen padi dan mencemari laut
mereka.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah
satu ketua kelompok nelayan Desa
Hakatutobu menceritakan bahwa tambang
telah menyebabkan pendapatan dari laut
menurun.
Sebelum ada tambang penghasilan nelayan
di desanya berkisar 2 juta sampai 10 juta/
Kepala Keluarga/bulan (untuk budidaya
teripang, rumput laut dan hasil tangkapan
ikan). Hal ini diperkuat dengan salah satu
nelayan yang menceritakan bahwa sebelum
ada banjir karena tambang, kami biasa panen
500 kg sampai 1 ton, sekarang
dengan adanya banjir, kami
tidak dapat mengambil air
aliran Kali Pesouha karena
airnya keruh kemerah-merahan,
sementara udang sangat sensitif
terhadap air yang tidak steril.
Sedangkan untuk persawahan
kami selain karena langganan
banjir juga karena akibat hama
tikus dan babi, hal ini
diakibatkan karena hutan tidak
ada lagi sehingga hama-hama
tersebut masuk di
perkampungan. Masyarakat
Pomalaa bisa memanen padi
hingga 40 – 70 sebelum ada tambang tetapi
saat ini hanya sekitar 15 karung saja, itupun
kami harus mengalami gagal panen pada
tahun 2009 dan 2010. Akibatnya banyak
petani yang tidak lagi mau menanam padi
yang pada akhirnya banyak yang jadi
pengangguran di desa.
Perusahaan tambang yang membawa banjir
ke desa kami, karena pohon sudah habis
digunduli. Hal serupa juga terjadi di Desa
Tapunggaeya daerah Konawe utara, sejak ada
aktivitas tambang, desa menjadi rawan
longsor, dan setiap kali hujan pasti banjir
karena banyak tutupan anak kali yang
tersumbat oleh materil. Air banjir langsung
menjulur ke laut, hal ini yang menyebabkan
laut berubah menjadi merah.
23. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "23
Belum lagi debu menjadi pemandangan
sehari-hari yang dirasakan warga dan yang
paling memprihatinkan adalah terganggunya
para murid (SD dan SMP) yang sedang
belajar di sekolah karena terus mendengar
bising dari lalu lalang truk perusahaan
tambang. Sempat para guru melakukan
demo di kantor DPRD Konawe Utara, namun
hasilnya hasilnya PT. Sriwijaya hanya
memberikan “ganti rugi” atas kebisingan.
Perusahaan memberikan insentif kepada
guru, bantuan gorden jendela sekolah dan
pakaian sekolah untuk siswa. Padahal
masyarakat dan guru meminta untuk
menghentikan aktivitas disekitar sekolah,
selain karena gangguan kendaraan juga ada
faktor debu. Bahkan perusahaan pernah
ingin merelokasi SD dan SMP ke tempat lain.
Berkurangnya luasan kawasan tutupan hutan
serta dampak dari perubahan iklim di
Sulawesi Tenggara pada gilirannya tentu
berakibat pada meningkatnya resiko
bencana. Dalam kurun waktu tahun 2009 -
2012 telah terjadi bencana banjir di Sulawesi
Tenggara sebanyak 87 kasus. Untuk tahun
2013 saja telah terjadi sebanyak 15 kasus
banjir, dengan rincian; 2 kali banjir di
Kendari, 8 kali banjir Kolaka Utara, 3 kali
banjir Kolaka, 1 kali banjir Muna dan 1 kali
banjir Buton. (Sumber BPS Tahun 2014).
Upaya Revisi RTRWP
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
Sulawesi Tenggara (RTRWP Sultra) telah
disahkan oleh DPRD Sultra pada Tahun 2014,
melalui Perda No. 2 Tahun 2014 tentang
RTRWP Sulawesi Tenggara. Oleh karenanya
mendorong revisi RTRWP tersebut menjadi
agenda utama. Kalangan Organisasi
Masyarakat Sipil mempersoalkan tentang
usulan revisi untuk substansi kehutanan
yang terkait dengan
penurunan status
sebagian kawasan hutan
menjadi Areal
Peruntukan Lain dalam
draft usulan revisi
dengan luasan yang
sangat besar.
Disebutkan dalam
dokumen RTRWP Sultra
kawasan dengan status
APL diperuntukan
untuk pemukiman dan
perkebunan. Dalam
kenyataannya sebagian
besar lokasi tambang,
lokasi perkebunan skala
besar dan lokasi transmigrasi masuk dalam
kawasan hutan dan suaka alam yang telah
diturunkan statusnya menjadi APL. Dalam
perjalanan proses revisi RTRWP Sultra
banyak ditentang oleh berbagai elemen
masyarakat sipil maupun kalangan
pemerintah sendiri khususnyadari balai
taman nasional.
Gerakan penolakan revisi rencana tata ruang
tersebut karena disinyalir ada kepentingan/
agenda besar dari pemerintah daerah dan
pemerintah pusat untuk memuluskan jalan
bagi masuknya investasi perkebunan skala
besar dan pertambangan di Sultra.
Namun demikian perjuangan akan terus
dilakukan agar kerusakan lingkungan dan
penyingkiran petani bisa terhenti. (KFM)
24. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1924
Dari Pemetaan Partisipatif Menuju
Inisiasi Tata Ruang Kawasan
S. Dyantoro
SLPP Wonosobo
Wonosobo terletak diantara gunung besar
yaitu Gunung Sindoro, Gunung Sumbing,
Gunung Dieng dan merupakan daerah
tangkapan air. Sumber mata air terbesar yang
mengaliri sungai di Jawa Tengah berasal dari
kawasan dataran tinggi Dieng. Pertama
adalah Sungai Serayu yang melintasi 5
kabupaten (Wonosobo, Banjarnegara,
Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap).
Sementara Sungai Bogowonto mata airnya di
lereng Gunung Sumbing yang melewati 3
kabupaten (Kabupaten Wonosobo,
Kulonprogo dan Purworejo).
Wonosobo memiliki kawasan hutan dengan
luas 39.726,3 Ha. Luas hutan tersebut terdiri
dari hutan negara seluas 20.254,3 Ha,
meliputi luas hutan produksi 13.675,2 Ha,
hutan lindung 6.537, 1 Ha, hutan wisata 34,9
Ha dan hutan suaka alam 7,1 Ha serta hutan
rakyat seluas 19.472 Ha. Sedangkan Hutan
Rakyat pada tahun 2000-2001 pernah
mendapat juara ke-2 tingkat Nasional.
Pemerintah Wonosobo merupakan salah satu
pemerintah daerah yang mendukung
hadirnya Undang – Undang Desa No 6 Tahun
2014.
Bupati Wonosobo telah menyelenggarakan
sosialisasi paska Undang-Undang Desa
disahkan mengenai pentingnya untuk segera
mewujudkan peraturan tersebut. Dalam
sosialisasi tersebut mensyaratkan adanya PR
besar yang bernama Peta Desa. Peluang ini
disambut oleh Simpul Layanan Pemetaan
Partisipatif (SLPP) Wonosobo untuk
menyiapkan peta administrasi desa dan
inisiasi tata ruang desa yang akan didorong
nantinya menjadi peraturan desa.
25. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "25
UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa membawa
paradigma baru dalam tata kelola desa dalam
peyelenggaraan pemerintahan, pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat. Desa
merupakan pemerintahan terbawah yang
berhubungan secara langsung dengan
masyarakat. Oleh karena itu desa haruslah
menjadi bagian terdepan dalam gerakan
pembangunan untuk mencapai kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat. Salah satu tema
strategis dalam konstruksi UU No. 6 Tahun
2014 Tentang Desa ini adalah perencanaan
pembangunan desa dan kawasan perdesaan.
Undang-undang desa yang telah bergulir dari
sejak tahun lalu, membutuhkan sebuah
terobosan untuk mempersiapkan prasyarat
penting di tingkat desa baik dalam
implementasi desa dinas maupun desa adat.
Salah satu prasyarat tersebut adanya peta desa
secara administratif.
Kondisinya hari ini, peta administrasi desa di
Indonesia baru ada sekitar 19 %, ini dikuatkan
dengan pernyataan Badan Informasi
Geospasial (BIG). Hal ini menjadikan peran
Pemetaan Partisipatif sangat menentukan dan
penting, beberapa kebijakan turunan dari
undang-undang desa membutuhkan dua peta
pokok yakni peta tata ruang desa dan peta
administrasi desa.
Kemandirian desa terkait dengan prakarsa
dan kewenangan desa
untuk mengambil
keputusan tentang
kepentingan masyarakat
setempat.
Pencapaian tertinggi
desa mandiri apabila
desa mampu
menyediakan sumber
kehidupan dan
penghidupan bagi
masyarakatnya,
menyediakan lapangan
pekerjaan serta pendapatan masyarakat dan
pendapatan desa.
Oleh sebab itu di masa depan, desa dapat
melakukan perubahan wajah desa dan tata
kelola penyelenggaraan pemerintahan yang
efektif, pelaksanaan pembangunan yang
berdaya guna serta pemberdayaan di
wilayahnya.
Peluang Undang – Undang Desa menjadi
bagian penting dalam upaya mendorong
Pemerintah Kabupaten Wonosobo untuk bisa
mengakomodir Pemetaan Partisipatif.
Tentunya untuk perluasan pengakuan
terhadap peta partisipatif yang telah dibuat
oleh kawan-kawan di beberapa desa sebelum
ada Undang – Undang Desa.Oleh karena itu desa haruslah menjadi bagian
terdepan dalam gerakan pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat.
26. S E Q U O I A C L U B
" KABAR JKPP 1926
Selain itu, penting dalam mengintegrasikan
peta pemetaan partisipatif dengan kebijakan
pemerintah daerah, mendorong wali data peta
partisipatif kepada pemerintah daerah
menjadi bagian advokasi pengakuan tersebut.
Beberapa kali diskusi dengan Bappeda
Wonosobo, mereka merespon baik dan siap
untuk menjadi wali data
sekaligus hasil-hasil
pemetaan partisipatif akan
didorong untuk dibuatkan
semacam SK Bupati
(terutama Peta Tata ruang
Desa dan Peta
Administrasi Desa).
Hasil komunikasi dan
advokasi selama ini
menghasilkan kesepakatan
bersama antara SLPP
Wonosobo dengan
Pemerintah Daerah
Wonosobo dalam inisiasi
pelaksanaan pemetaan partisipatif dan inisiasi
dokumen tata ruang desa.
Pemetaan partisipatif akan dilakukan di 23
desa yang meliputi 9 kecamatan yaitu
Kecamatan Wadaslintang, Sapuran,
Mojotengah, Watumalang, Kejajar, Kaliwiro,
Selomerto, Kepil dan Wonosobo. Proses
pemetaan dan penyusunan tata ruang desa
yang sedang dilakukan pada tahap awal ini
mencakup di 3 desa di Kecamatan
Wadaslintang yaitu, Lancar, Plunjaran dan 3
desa di Banyumudal, Ngadikerso, Talun
Ombo, dan Kumejing.
Pendanaan akan didukung oleh pemerintah
daerah dan SLPP Wonobo akan membantu
menjadi bagian tim sebagai sharing kontribusi.
Keterlibatan pemerintah daerah yaitu Bapeda
serta Bapermasdes hingga tingkatan teknis.
Bappeda pun telah menyatakan siap menjadi
wali data dari peta yang akan dihasilkan.
Tata ruang desa yang sedang dalam proses
saat ini akan berusaha mengakomodir seluruh
komunitas di desa dan bersama-sama
menyusun langkah-langkah strategis, dari
pembangunan fisik maupun manusianya.
Musrenbangdes akan menjadi sarana
demokratis di tingkat desa untuk
mengembangkan seluruh potensi desa menuju
desa yang mandiri. Seluruh proses
pembangunan setiap penggunaan tanah akan
menjadi rencana detail dari desa tersebut.
Sehingga hal ini akan memberikan terobosan
baru dari pembangunan dan perencanaan
desa yang berbasis pada data spasial.
Peta administratif desa saat ini di wilayah
Wonosobo belum ada, sehingga SLPP
Wonosobo juga berinisiasi untuk membuat
Peta tata batas desa yang sesuai dengan
Permendagri No 27 tahun 2006. Upaya ini juga
sebagai upaya untuk mendorong pemerintah
kabupaten untuk bisa mengakui keberadaan
dari Peta Partisipatif yang telah lama
dirumuskan oleh JKPP.
27. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 19 "27
Karena peta yang telah dibuat harus bisa
mendapat pengakuan atau legalisasi dari
pemerintah, baik dari pemerintah desa sampai
ke pemerintah pusat.
Proses penyelenggaraan Pemetaan Partisipatif
ini juga mendapat respon baik dari BIG,
dimana BIG sebagai supervisor dari
pembuatan peta ini. Hasil dari pengawasan
BIG di lapangan terkait dengan PP yang
dilakukan oleh kawan-kawan SLPP
Wonosobo yakni walaupun saat ini
masih butuh beberapa penyelarasan
tentang teknis pemetaan, secara
umum yang dilakukan oleh kawan-
kawan sudah benar hanya terkendala
oleh alat. BIG menawarkan untuk mengikuti
pelatihan tata ruang yang diselenggarakan
oleh BIG sebagai upaya penyelarasan tersebut.
SLPP Wonosobo mencoba menjalankan SOP
yang telah dibuat dan disepakati seluruh
anggota JKPP, sehingga wasit dari kegiatan ini
adalah SOP. Dua proses Peta diatas nantinya
akan dikembangkan menjadi peta-peta
tematik sesuai dengan kebutuhan dari desa,
misal : peta potensi desa, peta kemiskinan, dll.
Metodologi Pemetaan Partisipatif yang sudah
dirumuskan harus mampu menjawab
kebutuhan dari masyarakat lokal sebagai
upaya pengakuan terhadap kedaulatan atas
ruang rakyat. Kawan-kawan SLPP yang sudah
banyak berkembang diseluruh negeri harus
mampu mengembangkan inisiasi dan
terobosan baru untuk mengembangkan
Pemetaan Partisipatif.
Upaya yang dilakukan oleh kawan-kawan
SLPP Wonosobo hanya sebagian kecil sekali
perjuangan dalam mengambil peluang dari
kebijakan pemerintah. Pengembangan dari
peta adminitratif desa dan peta tata ruang
desa bisa digunakan untuk langkah awal
advokasi ditingkatan lokal. Berbagai refleksi
(kendala & kelemahan) dari proses pemetaan
partisiapatif bisa menjadi pembelajaran
berharga untuk penyempurnaan. (Dyan)
Proses penyelenggaraan Pemetaan Partisipatif ini
juga mendapat respon baik dari BIG, dimana BIG
sebagai supervisor dari pembuatan peta ini.
KABAR SIMPUL
Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif
Sulawesi Utara
Seperti halnya permasalahan di wilayah lain
di Indonesia, teman – teman aktivis Sulawesi
Utara menghadapi konflik ruang yang
melibatkan sektor perkebunan, tambang serta
kehutanan. Sementara konflik penguasaan
sumber daya alam di Sulawesi Utara tidak
saja terjadi pada wilayah daratan tetapi juga
pesisir dan laut. Sulawesi Utara terkenal
dengan lautnya yang luas dan indah.
Pemerintah Sulawesi Utara melakukan
reklamasi pantai yang berdampak pada
tersingkirnya nelayan karena tempat
pelabuhan nelayan dan mencari ikan yang
ada di sekitar pantai kini menjadi hilang.
Bahkan pemerintah telah memindahkan
rumah – rumah nelayan dengan mekanisme
tukar guling. Kondisi ini diperburuk dengan
kondisi lokasi rumah baru yang tidak
strategis seperti lokasi lama. Rumah baru ini
jauh dari lokasi penangkapan ikan, tidak
seperti dahulu yang cukup hanya disekitar
pantai. Hal ini memaksa nelayan untuk
mencari ikan di tengah lautan yang secara
operasional membutuhkan biaya yang lebih
besar.
28. K A B A R G E O S P A S I A L
" KABAR JKPP 1928
Pendapatan nelayan pun menurun drastis,
bahkan banyak diantaranya tidak berprofesi
lagi sebagai nelayan karena tidak sanggup
menanggung biaya operasional yang terlalu
tinggi.
Selama ini pemetaan partisipatif belum
menjadi bagian dari kerja – kerja advokasi
ruang khususnya bagi para penggiat aktivis
di Sulawesi Utara. Peta komunitas yang
bisa menunjukan klaim wilayah kelolanya
belum digunakan sebagai dokumen yang
kuat dalam proses negosiasi, perencanaan
wilayah dan penyelesaian konflik. Hingga
pada bulan November 2014, beberapa
aktivis yang tergabung dalam beberapa
lembaga yaitu Walhi Sulut, LP2S Manado,
AMAN Sulut, LBH Sulut, Telapak Sulut,
Swara Parangpuan Sulut, Jaringan
Kampung DAS Tondano, KSM Arakan-
Wawontulap, KPA Rajawali Tomohon,
KPPLH Wori, Yayasan ASPISIA, Yayasan
Bumi Tangguh, Yayasan Rumah Ganeca
Sulut, KPA Green Eksplorer Lahendong,
Komunitas Bambu Kota Tomohon, KEKER
Sulut, Komunitas Adat Tanjung Merah, dan
Perkumpulan Peduli Lipu Bolaang
Mongondow Utara. Mereka berdiskusi dan
bersepakat untuk membentuk Simpul
Layanan Pemetaan Partsipatif (SLPP) untuk
mendukung kerja advokasi kedepannya.
Forum juga menyepakati Walhi Sulawesi
Utara yang akan menjadi host SLPP.
Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif
Sulawesi Barat
Sulawesi Barat merupakan propinsi
pemekaran dari Sulawesi Selatan pada
tahun 2004. Hampir 10 tahun pemekaran
tersebut, tetapi nyatanya secara
administrasi proses penataan batas wilayah
belum juga selesai. Selain itu, jauh lebih
penting adalah soal belum adanya RTRWK
Propinsi Sulawesi Barat. Dokumen RTRWK
yang ada masih mengacu pada dokumen
Propinsi Sulawesi Selatan, hal ini
menimbulkan banyak gap antara rencana
yang disusun oleh pemerintah dengan
kondisi di lapang yang
bertolak belakang dengan
kebutuhan masyarakat.
Ditambah lagi soal pernyataan
pemerintah daerah yang
menyebutkan bahwa propinsi
Sulawesi Barat tidak mengakui
adanya masyarakat adat di
wilayahnya. Sementara
pemerintah daerah terus
memberikan izin konsensi
kepada perusahaan sawit.
Berdasar pada kondisi
tersebut, Walhi Sulbar,
Lembaga Perang, perwakilan mahasiswa
dan SLPP Makasar menginisiasi
pembentukan SLPP di Sulawesi Barat. Peta
pemetaan partisipatif dianggap menjadi
salah satu jalan dalam upaya menunjukan
penguasaan wilayah kelola oleh
masyarakat, membenahi permasalahan
batas wilayah serta menunjukan eksistensi
masyarakat adat di Sulawesi Barat yang
secara turun menurun sudah hidup di
wilayah tersebut.