SlideShare a Scribd company logo
1 of 35
BAB I 
PENDAHULUAN
BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA 
2.1. Nyeri Kepala 
Nyeri pada kepala dan wajah diakibatkan oleh iritasi pada struktur – struktur sensitif 
yang berada di daerah tersebut, diantaranya pembuluh darah, bagian basal dari 
duramater dan piamater; sinus venosus; komponen sensorik nervus kranial; dan 
struktur ekstrakranial. Otak sendiri tidak memiliki kepekaan terhadap stimulus nyeri. 
Berikut adalah pendekatan yang dilakukan terhadap pasien dengan keluhan nyeri 
kepala. 
Tabel 2.1. Anamnesis Nyeri 
Kepala1
Dari etiologinya, nyeri kepala dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Headache 
Classification Committee of the International Headache Society): 
Tabel 2.2. Klasifikasi Nyeri 
Kepala1
2.1.1. Nyeri Kepala Sekunder 
Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang disebabkan oleh suatu etiologi 
(disease entity) dengan nyeri kepala sebagai manifestasinya. Nyeri kepala sekunder 
yang paling sering ditemui adalah: (1) Nyeri kepala karena penyakit vaskular organik; 
(2) Nyeri kepala karena massa intrakranial; (3) Nyeri kepala karena gangguan 
sirkulasi CSF; (4) Nyeri kepala spondilogenik; (5) Psikogenik; (6) Nyeri kepala non-neurologis; 
dan (7) Neuralgia wajah serta nyeri wajah atipikal. 
2.1.1.1.Nyeri Kepala pada Penyakit Vaskular Organik 
2.1.1.1.1. Oklusi Arteri Kranial. Etiologi ini jarang menyebabkan nyeri kepala, 
namun nyeri kepala yang terjadi biasanya cukup hebat. Oklusi carotid 
biasanya menyebabkan nyeri kepala orbital, sedangkan oklusi basilar akan 
menyebabkan nyeri difus nyang melingkari kepala. Diseksi spontan dari 
arteri karotis interna dapat membuat nyeri yang luar biasa hebat pada satu 
sisi wajah. Sedangkan diseksi pada arteri vertebral dapat membuat nyeri 
pada satu sisi leher dan bagian oksipital kepala. 
2.1.1.1.2. Perdarahan Subarakhnoid. Sembilan puluh persen pasien dengan SAH 
datang dengan keluhan nyeri kepala hebat; sebagian besar diantaranya 
mengeluhkan “nyeri kepala ekstrem yang paling menyakitkan dan belum 
pernah dialami sebelumnya” (thunderclap headache) yang persisten. Pada 
setengah dari kasus, nyeri kepala dimulai dari bagian oksipital dan dengna 
cepat menyebar secara holosefalik. Pada kejadian ini, sering terjadi 
penurunan kognitif. 
2.1.1.1.3. Hipertensi. Pada orang dengan hipertensi kronik atau hipertensi kritis, 
nyeri kepala yang biasa mereka alami biasanya menyerupai TTH. Nyeri 
ini biasanya muncul di pagi hari dan persisten selama seharian penuh
dengan intensitas sedang secara difus. Dengan hipertensi dan papilledema, 
diagnosis banding dari gangguan ini adalah peningkatan TIK. Bedanya, 
pasien yang mengalami peningkatan TIK biasanya juga datang dengan 
defisit neurologis defisit. 
2.1.1.1.4. Arteritis. Kondisi ini sering disebut juga sebagai Sindroma Horton, 
Giant-Cel Arteritis, atau Arteritis Kranial. Mekanisme autoimun pada 
penderitanya menyerang tunika media dan lapisan elastis dari arteri, 
iasanya dialami pasien dengan usia >50 tahun. Keluhan utama nyeri 
kepala sangat hebat; biasanya bilateral, pada pelipis atau dahi, dengan 
klaudikasio intermiten pada rahang saat mengunyah. Kualitasnya adalah 
berdenyut dan nyeri terus-menerus, dengan arteri temporal yang menebal. 
Gejala lainnya adalah kelelahan, anoreksia, kehilangan berat badan, 
keringat malam, demam subfebris, dan polimialgia rematika. 
2.1.1.2.Nyeri Spondilogenik dan Migrain Servikal 
Perubahan patologis pada medulla spinalis servikal dapat menyebabkan nyeri yang 
menjalar ke kepala. Perubahan degenerative atau post traumatic pada segmen servikal 
ketiga teratas dapat menyebabkan nyeri oksipital. Nyeri kepala spondilogenik hanya 
boleh didiagnosis apabila tanda radikuler atau vegetatif nyeri sudah jelas, terdapat 
gangguan atau trauma servikal, serta nyeri khas spondilogenik (unilateral leher, 
radiasi ke oksipital hingga regio frontal). 
2.1.1.3.Nyeri Kepala Karena Peningkatan Tekanan Intrakranial 
Nyeri kepala dapat menjadi gejala yang muncul di awal atau pertengahan onset. 
Nyeri biasanya awalnya ringan sehingga tidak terlalu dikeluhkan, namun pada banyak 
kasus dapat bertambah berat, dengan kualitas berdenyut, diiringi dengan muntah 
proyektil, defisit neurologis, serta gangguan kesadaran. Lokasi paling sering adalah di 
oksipital.
Nyeri terjadi secara hebat saat berbaring (nyeri postural), pada pagi hari atau saat 
pasien baru bangun dari tidur, karena tidur membuat penurunan laju respirasi yang 
berakibat pada kenaikan kadar CO2, menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah 
termasuk pembuluh darah otak – yang meningkatkan tekanan intrakranial. Fenomena 
ini jugalah yang membuat pasien seringkali mengeluhkan terbangun tengah malam 
karena nyeri. Nyeri juga bertambah saat maneuver mengejan, batuk, atau bersin 
(Valsava). Diagnosis dari gangguan ini terletak pada deteksi adanya gejala fokal, 
defisit neurologis seperti gangguan kesadaran, papilledema, dan SOL yang menjadi 
agen kausatif (tumor, hematoma, abses, dll). Pada presentasi gejala seperti ini, 
scanning otak secara radiologis sangatlah direkomendasikan. 
Nyeri kepala tak hanya diakibatkan oleh peningkatan TIK, tapi juga penurunan. 
Gejala yang terjadi adalah kebalikannya; pasien merasa lega saat berbaring, namun 
nyeri kembali saat posisi tubuh ditegakkan. Penyebabnya bisa karena pasca pungsi 
lumbal (kebocoran CSF pada teka terjadi secara persisten), atau terjadi secara 
spontan, karena kebocoran pada selubung nervus torakal setelah batuk. Nyeri juga 
mereda dengan istirahat dan kafein. 
2.1.1.4.Nyeri Kepala Karena Obstruksi Aliran Serebrospinal 
Mirip dengan nyeri kepala TIK namun terjadi secara lebih episodic (dengan attack 
atau serangan hebat yang berlangsung tiba-tiba memberat). Penyebab paling sering 
adalah kista koloid atau tumor lainnya pada ventrikel ketiga. 
2.1.1.5.Nyeri Kepala Karena Penyebab Non-neurologis 
Dapat disebabkan oleh penyakit okular (nyeri periorbital yang semakin menurun 
seiring dengan berjalannya hari), seperti glaukoma. Pada glaukoma akut, dapat terjadi 
nyeri kepala frontal mendadak dengan muntah, bradikardia, dan gangguan visus. 
Penyebab lainnya adalah sistem telinga, hidung, dan tenggorokan; yaitu sinusitis, 
otitis kronik, serta massa di THT.
2.1.1.6.Nyeri Kepala Psikogenik 
Faktor psikologis dikatakan berperan beesar dalam munculnya tension headache 
(tidak sama dengan TTH). Keluhan yang dilaporkan baisanya nyeri seperti kontraksi 
spasmodil pada regio oksipital, yang memberat saat terdapatnya stressor mental. 
Gejala ini sulit dibedakan dengan neuralgia oksipital. 
2.1.1.7.Drug-Induced Headache 
Penggunaan analgesia yang rutin dan kronik dapat menimbulkan nyeri kepala yang 
difus dan persisten. Kejadian ini meningkat apabila analgesik yang digunakan dalam 
satu hari lebih dari 1 macam, atau penggunaan lebih dari 6 bulan, serta 
penggunaannya pada nyeri kepala terdahulu dan bukan pada pasien dengan nyeri di 
tempat lain tanpa ada nyeri kepala. 
2.1.1.8.Neuralgia 
2.1.1.8.1. Neuralgia Trigeminal (Tic Douloreux) 
Kondisi ini diakibatkan oleh adanya konduksi aberan dari impuls saraf somatosensori 
ke nosiseptif pada nervus trigeminal pada lokasi di mana terjadi kerusakan lokal di 
selubung myelin. Lesi myelin ini sendiri berkontribusi terhadap stress mekanik 
neuralgia, walaupun mekanismenya masih belum diketahui dengan jelas.Neuralgia ini 
juga dapat disebabkan oleh sklerosis multipel, iskemia pontin, serta lesi massa pada 
nervus trigeminal. 
Rasa nyeri biasanya menjalar pada regio yang dipersarafi oleh nervus trigeminus 
pertama dan kedua (maksila dan mandibula). Oleh karena itu, yang khas pada 
penyakit ini adalah biasanya pasien mengunjungi dokter gigi terlebih dahulu. Rasa 
sakitnya selalu unilateral, dan selalu di tempat yang sama. Nyeri yang terasa adalah 
lightning-like atau lancinating dengan durasi beberapa detik, dengan intensitas sangat 
hebat. Serangan ini dapat diprovokasi dengan gerakan mengunyah atau menekan titik 
tertentu di wajah atau mulutnya (berbeda-beda tiap individu).
2.1.1.8.2. Neuralgia Aurikulotemporal 
Rasa nyeri pada depan telinga dan pelipis, akrena penyakit yang melibatkan kelenjar 
parotid, dan merusak bagian intraparotid dari nervus tersebut. Mengunyah dan stimuli 
gustatory, seperti makanan yang panas atau pedas, akan menimbulkan nyeri yang 
membakar serta berkeringat pada sepanjang inervasi (depan telinga). 
2.1.1.8.3. Neuralgia Nasosiliar 
Kondisi ini jarang terjadi. Penyebabnya adalah gangguan fungsional dari ganglion 
silier. Ciri-cirinya adalah nyeri yang bersifat episodic atau terus-menerus pada regio 
hidung dan canthus dalam, serta eritema dahi, pembengkakan mukosa hidung, hingga 
injeksi konjungtiva dan lakrimasi. 
Singkatnya, diagnosis dari nyeri kepala dan wajah dapat dilihat pada tabel di bawah 
ini.
2.2. Meningoensefalitis TB 
Tabel 2.3. Diagnosis Banding Nyeri Kepala1 
Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang 
disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB). Penderita dengan 
meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis. 
2.2.1. Epidemiologi 
Sebelum era antibiotik, penyakit susunan saraf pusat (SSP) karena TB sering 
ditemukan terutama pada anak-anak. Ditemukan 1000 anak dengan TB aktif di kota 
New York diantara tahun 1930 sampai tahun 1940. Hampir 15% diantaranya 
menderita meningitis TB dan meninggal. Setelah perang dunia kedua, terutama pada 
negara berkembang, terdapat prevalensi yang luas infeksi TB. Pada awal tahun 2003, 
WHO memperkirakan terdapat sekitar 1/3 penduduk dunia menderita TB aktif dan 
70.000 diantaranya meningitis TB.
2.2.2. Etiologi dan Patogenesis 
Infeksi TB pada SSP disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis, bakteri obligat 
aerob yang secara alamiah reservoirnya manusia. Organisme ini tumbuh perlahan, 
membutuhkan waktu sekitar 15 sampai 20 jam untuk berkembang biak dan 
menyebar. Seperti semua jenis infeksi TB, infeksi SSP dimulai dari inhalasi partikel 
infektif. Tiap droplet mengandung beberapa organisme yang dapat mencapai alveoli 
dan bereplikasi dalam makrofag yang ada dalam ruang alveolar dan makrofag dari 
sirkulasi. Pada 2 – 4 minggu pertama tak ada respons imun untuk menghambat 
replikasi mikobakteri, maka basil akan menyebar ke seluruh tubuh menembus paru, 
hepar, lien, sumsum tulang. Sekitar 2 sampai 4 minggu kemudian akan dibentuk 
respons imun diperantarai sel yang akan menghancurkan makrofag yang mengandung 
basil TB dengan bantuan limfokin. Kumpulan organisme yang telah dibunuh, 
limfosit, dan sel sel yang mengelilingnya membentuk suatu fokus perkejuan. Fokus 
ini akan diresorpsi oleh makrofag disekitarnya dan meninggalkan bekas infeksi. Bila 
fokus terlalu besar maka akan dibentuk kapsul fibrosa yang akan mengelilingi fokus 
tersebut, namun mikorobakteria yang masih hidup didalamnya dapat mengalami 
reaktivasi kembali. Jika pertahanan tubuh rendah maka fokus tersebut akan semakin 
membesar dan encer karena terjadi proliferasi mikrobakterium. Pada penderita 
dengan daya tahan tubuh lemah, fokus infeksi primer tersebut akan mudah ruptur dan 
menyebabkan TB ekstra paru yang dapat menjadi TB milier dan dapat menyerang 
meningen. 
2.2.3. Patofisiologi 
Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi 
otak. Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi eksudat 
gelatinous. Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. 
Secara mikroskopik, eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear 
(PMN), leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit diantara benang benang fibrin. 
Selain itu peradangan juga mengenai pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah
ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi 
fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang 
berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark serebral 
karena iskemia. Gangguan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS) mengakibatkan 
hidrosefalus obstruktif (karena eksudat yang menyumbat akuaduktus spinalis atau 
foramen luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada parenkim otak yang 
akan semakin menyumbat. Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus merupakan 
karakteristik dari menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB. Efek yang ditimbulkan 
dari kemoterapi meningoensefalitis memiliki peran yang sangat penting karena akan 
menekan angka kematian dan kecacatan. Setelah 2 tahun, eksudat akan berubah 
menjadi jaringan ikat hialin dan lapisan intima akan mengalami fibrosis. 
2.2.4. Manifestasi Klinis 
Stadium meningitis TB telah diperkenalkan sejak tahun 1947 dan sejak itu banyak 
kalangan yang menerapkannya untuk penanganan awal sekaligus menentukan 
prognosis. Penderita dengan stadium pertama hanya memiliki manifestasi klinis yang 
tidak khas karena tanpa disertai dengan gejala dan tanda neurologis. Sedangkan 
penderita dengan stadium kedua (intermediet) telah menunjukkan gejala iritasi 
meningeal disertai dengan kelumpuhan saraf kranial namun tak ada defek kerusakan 
lain serta tidak ada penurunan kesadaran. Pada stadium tiga, penderita mengalami 
kerusakan neurologis yang besar, stupor, dan koma. Penyakit ini lebih samar pada 
penderita dewasa, anamnesis tentang riwayat pernah mengalami penyakit TB 
biasanya jarang. Lamanya gejala biasanya tidak berhubungan dengan derajat klinis. 
Sakit kepala biasanya menonjol pada penderita dewasa, perubahan tingkah laku 
seperti apatis, bingung sering ditemukan. Kejang biasanya tak terjadi pada tahap awal 
penyakit, hanya pada 10% sampai 15% pasien.
2.2.5. Diagnosis 
Dari gejala klinis biasanya penderita mengalami panas tinggi dan sakit kepala yang 
hebat yang diikuti dengan mual dan muntah. Gejala ensefalitis adalah demam, sakit 
kepala, muntah, penglihatan sensitif terhadap cahaya, kaku kuduk dan punggung, 
pusing, cara berjalan tak stabil, iritabilitas kehilangan kesadaran, kurang berespons, 
kejang, kelemahan otot, demensia berat mendadak dan kehilangan memori juga dapat 
ditemukan. Jika gejala dan tanda (kaku kuduk, tanda kernig dan tanda laseque) 
ditemukan maka dianjurkan untuk pemeriksaan Computer Tomography beserta 
pungsi lumbal (bila tidak ada tanda edema otak). Kemungkinan ensefalitis harus 
dipikirkan pada penderita dengan panas dan disertai dengan perubahan status mental, 
gejala neurologis fokal dan pola kebiasaan yang tiba tiba menjadi abnormal. Dilihat 
dari patologinya, inflamasi akut pada pia arahnoid menyebabkan pelebaran ruangan 
subarakhnoid karena eksudat yang dihasilkan dari inflamasi tersebut. Selanjutnya saat 
korteks subpia dan jaringan ependim yang menyelimuti ventrikel juga ikut meradang 
maka akan menyebabkan terjadinya serebritis dan atau ventrikulitis. Pembuluh darah 
yang terpapar dengan dengan eksudat inflamasi subarakhnoid mengalami spasme dan 
atau trombosis yang selanjutnya akan menyebabkan iskemia dan akhirnya infark. 
Pada CT scan kepala penderita dengan meningitis kronik yang berat akan ditemukan 
gambaran hiperdensitas ruangan subarakhnoid yang lebih terlihat pada fisura 
hemisfer serebri. Selanjutnya gambaran CT tanpa kontras akan menunjukkan 
peningkatan densitas pada sisterna basalis dan fisura hemisfer serebri, serta 
menghilangnya kecembungan sulkus. Pada pemeriksaan foto roentgen dada, jarang 
ditemukan pembesaran hilus, adenopati dan bayangan inflitrat. Gambaran radiologi 
dapat berkisar dari bayangan samar pada apeks sampai adanya kalsifikasi. Tes 
tuberkulin tidak bermanfaat pada penderita dewasa karena jarang menunjukkan hasil 
yang positif, sekitar 35% sampai 60% penderita meningitis TB tidak bereaksi pada 
tes tuberkulin, faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah karena adanya 
malnutrisi, imunosupresi, debilitasi, dan imunosupresi umum karena penyakit 
sistemik.
Telah diketahui bahwa pemeriksaan CSS memiliki peran yang sangat penting dalam 
menegakkan diagnosis meningoensefalitis. Pungsi lumbal tidak perlu dilakukan bila 
penderita dengan meningitis bakterialis beresons baik terhadap pengobatan. Pungsi 
lumbal dilakukan dengan cara menusukkan jarum ke dalam kanalis spinalis. 
Dinamakan pungsi lumbal karena jarum memasuki daerah lumbal (tulang punggung 
bagian bawah). Dalam pemeriksaan serebrospinal. Dalam pemeriksaan biokimia dan 
sitologi maka CSS pada penderita dengan meningoensefalitis akan ditemukan cairan 
yang jernih dan agak pekat, jaringan protein akan terlihat setelah proses pengendapan. 
CSS hemoragik dapat ditemukan pada meningitis TB yang mengalami vaskulitis. 
Adanya gambaran yang khas yang disebut dengan “pelikel” , yakni hasil dari 
tingginya konsentrasi fibrinogen dalam cairan disertai dengan sel sel proinflamatori. 
Tekanan pembuka pada waktu memasukkan jarum spinal meningkat sampai 50%, 
pada meningitis TB kadar glukosa dalam CSS rendah namun mengandung protein 
yang tinggi nilai glukosa mendekati 40 mg/dl., protein dapat berkisar antara 150-200 
mg/dl. 
2.2.6. Tata Laksana 
Prinsip penanganan meningitis TB mirip dengan penanganan TB lain dengan syarat 
obat harus dapat mencapai sawar darah otak dengan konsentrasi yang cukup untuk 
mengeliminasi basil intraselular maupun ekstraselular. Untuk dapat menembus cairan 
serebrospinal maka tergantung pada tingkat kelarutannya dalam lemak, ukuran 
molekul, kemampuan berikatan dengan protein, dan keadaan meningitisnya. 
Keterlambatan dalam pemberian terapi pada penderita dengan meningitis bakterial 
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Selain itu perlu dilakukan pengawasan 
terhadap toksisitas obat selama terapi (pengawasan terhadap hitung jenis darah dan 
fungsi hati dan ginjal). Penderita yang dicurigai meningitis pada gambaran CT scan 
kepala sebelum dilakukan pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pemeriksan kultur CSS 
dan pemberian terapi antibiotik dan kortikosteroid. Panduat obat antituberkulosis
dapat diberikan selama 9 – 12 bulan, panduan tersebut adalah 2RHZE / 7-10 RH. 
Pemberian kortikosteroid dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 3 – 6 minggu untuk 
menurunkan gejala sisa neurologis. 
2.2.7. Komplikasi 
Komplikasi meningoensefalitis terdiri dari komplikasi akut, intermediet dan kronis. 
Komplikasi akut meliputi edema otak, hipertensi intrakranial, SIADH (syndrome of 
Inappropriate Antidiuretic Hormone Release), Kejang, ventrikulitis. meningkatnya 
tekanan intrakrania (TIK). Patofisiologi dari TIK rumit dan melibatkan banyak peran 
molekul proinflamatorik. Edema intersisial merupakan akibat sekunder dari obstruksi 
aliran serebrospinal seperti pada hidrosefalus, edema sitotoksik (pembengkakan 
elemen selular otak) disebabkan oleh pelepasan toksin bakteri dan neutrofil, dan 
edema vasogenik (peningkatan permeabilitas sawar darah otak). 4 Komplikasi 
intermediet terdiri atas efusi subdural, demam, abses otak, hidrosefalus. Sedangkan 
komplikasi kronik adalah memburuknya fungsi kognitif, ketulian, kecacatan motorik. 
2.3. Spondilitis Tuberkulosis 
Spondilitis tuberkulosis merupakan peradangan granulomatosa yang bersifak kronik 
destruktif yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit 
ini disebut juga Penyakit Pott (bila disertai paraplegia atau defisit neurologis). 
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada 
vertebra C1-2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, jarang 
arkus vertebra. 
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. 
Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah 
usia 20 tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang 
lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun 
biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1.
Spondilitis korpus vertebra dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu bentuk sentral, paradiskus, 
dan anterior. Pada bentuk sentral, destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra. 
Bentuk paradiskus terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan 
diskus intervertebral. Pada bentuk anterior, lokus awal terletak di bagian anterior 
korpus vertebra dan merupakan penjalaran per kontinuatum dari vertebra di atasnya. 
2.3.1. Patogenesis 
Infeksi tuberkulosis merupakan infeksi granulomatosa yang spesifik, dengan 
karakteristik destruksi tulang progresif lambat (osteolisis lokal) pada bagian anterior 
korpus vertebra yang disertai dengan osteoporosis setempat. 
Penyebaran tuberkulosis biasanya terjadi karena kelenjar hilus yang mengalami 
perkijuan memecah dan basil tuberkulosis masuk kedalam pembuluh darah. Infeksi 
bermula pada korpus vertebra dengan terbentukya ruangan yang berisi bahan 
perkijuan, dikelilingi jaringan fibrosis dan tulang yang atrofi. Proses infeksi kadang 
disertai pembentukan banyak cairan yang nantinya mengalami nekrosis. Nekrosis ini 
bisa menghasilkan massa seperti keju (limfadenitis kaseosa) yang mencegah 
pembentukan tulang dan membuat tulang menjadi avaskuler sehingga timbul 
tuberculous sequstra. Jaringan granulasi tuberkulosis masuk ke dalam korteks korpus 
vertebra membentuk abses paravertebra yang meluas hingga ke beberapa vertebra, ke 
atas, ke bawah, ligamen longitudinal anterior dan posterior. 
Pada vertebra, kerusakan terjadi pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan 
vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus akan menyebabkan 
kompresi vertebra sehingga terjadi kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Pada bentuk 
sentral akan terjadi osteoporosis dan destruksi hingga dapat terjadi kompresi vertebra. 
Bentuk paradiskal yang disertai destruksi korpus vertebra yang bersebelahan dengan 
diskus akan mengakibatkan iskemia sehingga terjadi nekrosis diskus, yang pada foto 
Rontgen akan tampak gambaran penyempitan diskus intervertebra. Bila proses terus
berlanjut, akan terjadi osteoporosis dan penyebaran ke seluruh korpus vertebra 
sehingga timbul kompresi vertebra. Proses ini bisa menyerang lebih dari satu korpus 
vertebra. Jaringan granulasi tuberkulosis dapat pula menembus korteks korpus 
vertebra, yang akan membentuk abses paravertebra yang dapat menyebar dari satu 
vertebra ke vertebra lainnya. Diskus intervertebra yang avaskular relatif resisten 
terhadap infeksi tuberkulosis, namun diskus yang berdekatan dengan tempat infeksi 
dapat menyempit karena dehidrasi atau yang lebih sering karena dirusak oleh jaringan 
granulasi. 
Selain merusak vertebra, abses dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke 
berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Di vertebra lumbal, abses akan 
turun ke bawah melalui sela aponeurosis otot psoas dan nanahnya akan dikeluarkan 
melalui fasia otot psoas sehingga terbentuk abses psoas. Abses dapat turun ke regio 
inguinal dan teraba sebagai benjolan. Abses dingin di daerah torakal dapat menembus 
rongga pleura sampai terjadi abses pleura, atau ke paru bila parunya melengket pada 
pleura. Di daerah servikal, abses dapat menembus dan berkumpul di antara vertebra 
dan faring. 
Abses dapat pula berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan 
medula spinalis dan mengakibatkan paraplegia Pott yang disebut paraplegia awal. 
Paraplegia awal selain karena tekanan abses dapat juga disebabkan oleh kerusakan 
medula spinalis akibat gangguan vaskuler. Namun keadaan ini sangat jarang 
ditemukan pada tuberkulosis karena merupakan proses kronik sehingga telah 
membentuk pembuluh darah kolateral. Paraplegia dapat juga disebabkan oleh 
tuberkulosis pada medula spinalis.
2.3.2. Manifestasi Klinis 
Secara klinik gejala spondilitis tuberkulosis hampir sama dengan gejala tuberkulosis 
pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan 
menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari. Pasien 
biasanya anak-anak, dengan keluhan utama berupa nyeri punggung atau nyeri 
pinggang bawah. Pada umumnya nyeri meningkat pada malam hari, makin lama 
makin berat, terutama pada pergerakan. Pada pemeriksaan fisik tulang belakang dapat 
ditemukan kifosis (gibbus), abses retroperitoneal atau abses inguinal. Selain itu, dapat 
ditemukan gangguan medula spinalis berupa paresis dan gangguan sensibilitas. 
Gejala awal paraplegia pada tuberkulosis tulang belakang dimulai dengan keluhan 
kaki terasa kaku atau lemah, atau penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai 
dengan penurunan daya kontraksi otot tungkai dan peningkatan tonusnya. Kemudian 
terjadi spasme otot fleksor dan akhirnya kontraktur. Pada permulaan, paraplegi terjadi 
karena udem sekitar abses paraspinal, tetapi akhirnya karena kompresi. Karena 
tekanan timbul terutama dari depan, gangguan pada paraplegia ini umumnya terbatas 
pada traktus motorik. Paraplegia kebanyakan ditemukan di daerah torakal dan bukan 
lumbal, karena kanalis lumbalis agak longgar dan kauda ekuina tidak mudah tertekan. 
Berdasarkan defisit neurologisnya, Frankel mengklasifikasikan spondilitis 
tuberkulosis menjadi beberapa tipe, yaitu: 
Frankel A (complete paraplegia) 
Frankel B (preserved sensation) 
Frankel C (useless motor) 
Frankel D (useful motor) 
Frankel E (normal)
2.3.3. Diagnosis 
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan laju endap darah meningkat, sedangkan 
kadar hemoglobin rendah. Pemeriksaan imunologi dengan uji tuberkulin dapat 
membantu menegakkan diagnosis. Untuk melakukan pemeriksaan bakteriologis, 
dapat dilakukan pungsi abses atau dari debris yang didapat melalui pembedahan. 
Diagnsosis dapat dipastikan dengan aspirasi pus paravertebra, yaitu dengan 
melakukan pemeriksaan mikroskopik untuk menemukan basil tuberkulosis serta 
ditanam di media agar (guinea pig). Sensitivitas basil tuberkulosis terhadap obat-obat 
antituberkulosis harus diperiksa. Jaringan yang diperoleh baik melalui biopsi tertutup 
atau biopsi terbuka saat pembedahan dapat menunjukkan gambaran histologi infeksi 
tuberkulosis yang khas, termasuk histiosit dan giant cells. 
Pada pemeriksaan rontgen stadium awal ditemukan lesi osteolitik pada pars anterior 
korpus vertebra, osteoporosis regional dan penyempitan diskus intervertebralis. 
Sementara pada stadium lanjut ditemukan destruksi pars anterior korpus vertebra 
yang menyebar ke vertebra dan gambaran bayangan otot psoas yang melebar karena 
adanya abses psoas ataupun bayangan paravertebra karena terbentuknya abses 
paravertebra. 
Pada CT Scan dan MRI, gambaran di atas akan tampak lebih jelas. CT scan dapat 
memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, sklerosis, kolaps 
diskus dan gangguan sirkumferensi tulang. CT Scan juga dapat mendeteksi lebih awal 
serta lebih efektif untuk menegaskan bentuk dan kalsifikasi dari abses jaringan lunak. 
MRI baik untuk mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang 
belakang, menunjukkan adanya penekanan saraf, serta membedakan spondilitis 
tuberkulosis dari spondilitis piogenik dari gambaran absesnya. 
2.3.4. Tata Laksana 
Tujuan penatalaksanaan tuberkulosis pada vertebra ini adalah untuk menghilangkan 
kuman penyebab dan mencegah deformitas dan komplikasi paraplegi. Terapi 
konservatif berupa istirahat serta diet tinggi kalori dan protein. Tuberkulostatik
diberikan untuk mengatasi sumber infeksinya. Pemberian tuberkulostatik dilakukan 
sebelum, sewaktu, dan sesudah pembedahan untuk mencegah kekambuhan. Selain 
itu, perlu dilakukan upaya pencegahan untuk menghindari dekubitus serta kesulitan 
miksi dan defekasi. 
Tindakan pembedahan dilakukan setelah 3 minggu pemberian tuberkulostatik. Terapi 
bedah dilakukan untuk menghilangkan pus dan sequestra, serta untuk 
menggabungkan segmen-segmen vertebra yang terkena, terutama bagian anterior 
dengan menggunakan autogenous bone grafts. Biasanya dilakukan bedah 
kostotransversektomi, berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang 
rusak dengan tulang spongiosa atau kortikospongiosa. Tulang ini sekaligus berfungsi 
menjembatani vertebra yang sehat, yaitu di atas dan di bawah yang terkena 
tuberkulosis. Pada paraplegia, terapi ini dilakukan untuk dekompresi medula spinalis. 
Disamping itu, akhir-akhir ini dilakukan tindakan stabilisasi posterior tulang belakang 
untuk koreksi deformitas. 
Di negara dimana fasilitas pembedahan masih kurang, dapat dilakukan terapi 
alternatif dengan kemoterapi antituberkulosis jangka panjang dikombinasikan dengan 
spinal brace atau cast. 
2.3.5. Komplikasi 
Komplikasi yang paling serius dari spondilitis tuberkulosis adalah paraplegia 
(paraplegia Pott), yang dapat terjadi di awal atau akhir perjalanan penyakit. 
Paraplegia of active disease muncul lebih cepat, terjadi karena penekanan ekstradural 
(pus, sequestra, sequestrated intervertebral disc) atau keterlibatan langsung medulla 
spinalis oleh jaringan granulasi. Paraplegia of healed disease selalu muncul lebih 
lambat, terjadi karena perluasan tulang yang mempengaruhi kanalis spinalis atau 
fibrosis jaringan granulasi. Mielografi atau MRI dapat membantu membedakan 
paraplegia tipe tekanan (dapat diatasi dengan pembedahan) dengan paraplegia karena 
invasi ke dura dan medulla spinalis.
Paraplegia yang terjadi karena penekanan selama perjalanan penyakit tuberkulosis 
sendiri relatif merupakan suatu kegawatan yang harus diatasi dengan pembedahan 
dekompresi medula spinalis dan akar-akar saraf. 
Komplikasi yang lebih jarang adalah ruptur abses paravertebra torakal kedalam 
pleura yang menyebabkan empiema tuberkulosis. Di regio lumbal, abses dapat masuk 
ke otot iliopsoas dan menyebar sebagai abses psoas, yang merupakan salah satu 
contoh abses dingin.
BAB III 
ILUSTRASI KASUS 
Anamnesis dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2014 
Identitas 
Nama : Nn. N 
TTL : 13 Agustus 1985 
Usia : 27 tahun 
Pekerjaan : Karyawan pabrik 
Status : Belum menikah 
Agama : Islam 
Suku : Batak 
Keluhan Utama 
Sakit kepala yang memberat sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit 
Riwayat Penyakit Sekarang 
Pasien mengeluh sakit kepala yang semakin memberat sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri 
kepala dirasakan hilang timbul. Sakit kepala awalnya tidak terlalu berat (VAS = 2), 
dengan durasi 1 kali sehari selama 2 jam. Semakin lama sakit kepala semakin berat 
dan semakin sering. Sampai sekitar satu bulan smrs, sakit kepala sangat berat (VAS = 
9), terjadi 3 kali sehari, dengan durasi 2 jam dan sangat mengganggu aktivitas. Lokasi 
sakit kepala di sebelah kiri, yang kadang berpindah ke bagian depan. Nyeri kepala 
seperti ditekan dan ditusuk-tusuk. Nyeri kepala timbul tidak dipengaruhi oleh 
aktivitas. Nyeri kepala tidak lebih berat bila di tempat silau atau keadaan bising. Mual 
muntah disangkal.
Enam minggu smrs, pasien mengeluh demam yang naik turun namun tidak terlalu 
tinggi. Pasien juga mengeluhkan batuk, dahak jarang, keringat malam positif, batuk 
darah disangkal, mual muntah disangkal, lemas positif, penurunan berat badan 
sebesar 12 kg dalam 2 bulan terakhir. Orang tua pasien juga mengatakan pasien 
sering bingung dan melamun. 
Empat minggu smrs, pasien mengalami kejang ketika mau ke WC. Kejang kaku, 
langsung pada seluruh tubuh, tidak mencong ke salah satu sisi, tidak sadar, dan terjadi 
dengan durasi sekitar 3 menit. Pasien baru sadar sekitar 1 jam kemudian. Setelah 
kejang, pasien tidak dapat BAK dan BAB, dan kaki lemas tidak dapat berdiri. Pasien 
merasakan kelemahan pada kedua kaki, dan tangan kanan. Pasien juga merasakan 
baal dan dan kesemutan pada keempat ekstremitas. Pasien juga mengalami bicara 
pelo. Pasien juga mengeluh nyeri pada pinggang. Pandangan ganda disangkal, 
gangguan pendengaran disangkal, berdenging disangkal, gangguan penciuman 
disangkal, kesulitan menelan disangkal. 
Kemudian pasien dirawat di RSUD BK sekitar 4 minggu. Dipasang selang kateter, 
pasien dapat BAK. Selama perawatan pasien tidak lagi mengalami kejang. Saat 
perawatan, pasien mengalami kesulitan mengutarakan sesuatu namun sebenarnya 
mengerti apa yang dikatakan orang lain. Pasien diberikan obat untuk paru yang 
membuat kencing berwarna merah. Dokter mengatakan bahwa pasien mengalami 
bisul di otak dan akan dilakukan MRI. Kemudian pasien dirujuk di RSBK. 
Saat datang ke RSBK, pasien masih mengeluhkan lemah pada kedua kaki. 
Kesemutan pada keempat ekstremitas.
Riwayat Penyakit Dahulu 
Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Pasien belum pernah 
menggunakan Obat Anti Tuberkulosis sebelumnya. Hipertensi disangkal, DM 
disangkal, Stroke disangkal. 
Riwayat Penyakit Keluarga 
Keluarga pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat sakit 
TB pada keluarga disangkal, hipertensi disangkal, DM disangkal, stroke disangkal. 
Riwayat Sosial 
Pasien bekerja sebagai karyawan pabrik di daerah dekat dengan rumah pasien. 
Pemeriksaan Fisik 
Status Generalis 
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang 
Kesadaran : Kompos mentis 
Tekanan Darah : Kanan : 124/76 mmHg Kiri: 128/78 mmHg 
Frekuensi Nadi : 99x/menit, isi cukup, teratur 
Napas : 18x/menit, abdominotorakal, dalam, teratur 
Suhu : 36,40C 
Kulit : Coklat, tidak tampak ada bekas luka 
Mata : Normal 
Kepala : Normocephal, tampak benjolan difus leher depan dan 
belakang sebelah kiri, serta benjolan seukuran koin di dahi 
sebelah kanan 
Rambut : Rambut hitam, kuat, persebaran merata 
Wajah : Simetris 
Mulut : oral hygiene baik 
Leher : terdapat benjolan di sebelah leher kiri, KGB tidak membesar
Jantung : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, gallop negatif, murmur negatif 
Paru : Bunyi nafas vesikuler, rhonki negatif/negatif, wheezing 
negatif/negatif 
Abdomen : Datar, lemas, nyeri tekan negatif, bising usus + normal, nyeri 
ketok CVA negatif/negatif 
Punggung : deformitas negatif 
Ekstremitas : Akral hangat, edema negatif/negatif 
Status Neurologis 
Skala Koma Glasgow : E4 M6 V5 
Pupil 
Ukuran : 3 mm/3 mm 
Bentuk : Bulat/Bulat 
Refleks Cahaya Langsung : +/+ 
Refleks Cahaya Konsensual : +/+ 
Konvergensi : +/+ 
Isokorik : Ya 
Tanda Rangsang Meningeal 
Kaku Kuduk : negatif 
Bruzinsky I : negatif 
Bruzinsky II : negatif 
Laseque : > 70o / > 70o, Nyeri negatif/negatif 
Kernique : > 135o / > 135o, Nyeri negatif/negatif 
Saraf Kranialis 
I. N. I : Anosmia bilateral 
II. N. II : 
Visus : > 6/60 / >6/60
Lapang Pandang : Sama dengan pemeriksa 
Warna : Baik / Baik 
III. N. III, IV, dan VI : 
Kelopak Mata : Normal 
Kedudukan Bola Mata : Normal 
Gerak Bola Mata : 
N. III : normal/normal 
N. IV : normal/normal 
N. VI : normal/normal 
IV. N. V 
Sensoris : Normal 
Motorik : Normal 
Refleks Kornea : Normal 
V. N. VII 
Motorik otot wajah : Normal 
Kelenjar air mata : Normal 
Kelenjar liur : Normal 
Pengecapan lidah : Normal 
Sensorik retro auricular : Normal 
VI. N. VIII 
Cochlearis 
Tes berbisik/gesekan : +/+, Kanan = Kiri 
Rhinne : Konduksi tulang dan udara normal 
Webber : Tidak ada lateralisasi 
Schwabach : Sama dengan pemeriksa 
Tinnitus : Tidak ada 
Vestibularis 
Romberg Test : Normal
Romberg Test dipertajam : Normal 
Nistagmus : Normal 
Fukuda Test : Normal 
Tandem Gait Test : Normal 
VII. N. IX, X 
Arkus faring : Normal 
Uvula : Normal 
Tes Menelan : Normal 
Refleks Muntah : Normal 
Disfonia : Normal (riwayat disfonia sebelumnya) 
VIII. N. XI 
M. Trapezius : Normal 
M. Sternocleidomastoideus : Normal 
XI. N. XII 
Saat lidah istirahat : Normal 
Saat lidah dijulurkan : Normal 
Kekuatan otot lidah : Normal 
Disarthria : Tidak ada 
Motorik 
Ekstremitas atas : 
Tonus : eutoni/eutoni 
Trofi : atrofi negatif/atrofi negatif 
Kekuatan : 
-Lengan atas : +5/+5 
-Lengan bawah : +5/+5 
-Pergelangan tangan : +5/+5 
-Jari tangan : +5/+5
Ekstremitas bawah : 
Tonus : eutoni/eutoni 
Trofi : atrofi negatif/atrofi negatif 
Kekuatan : 
-Tungkai atas : +4/+4 
-Tungkai bawah : +4/+4 
-Pergelangan kaki : +4/+4 
-Jari kaki : +4/+4 
Refleks Fisiologis : 
Biceps : +2/+2 
Triceps : +2/+2 
Patella : +2/+2 
Achilles : +2/+2 
Refleks Patologis 
Hoffman-tromer : negatif/negatif 
Babinsky : negatif/negatif 
Chaddock : negatif/negatif 
Schaeffer : negatif/negatif 
Oppenheim : negatif/negatif 
Gordon : negatif/negatif 
Mendel Bechterew : negatif/negatif 
Rosollimo : negatif/negatif 
Patrick : negatif/negatif 
Kontra Patrick : negatif/positif (ada pengapuran) 
Sensorik : 
Eksteroseptif
Raba : normal 
Nyeri : normal 
Suhu : normal 
Propioseptif 
Sikap : normal 
Getar/Vibrasi : normal 
Posisi : normal 
Koordinasi 
Disdiadokinesis : normal 
Pass-pointing test : normal 
Knee-to-heel test : normal 
Fungsi Luhur: 
Berbicara : baik 
Orientasi waktu : baik 
Orientasi orang : baik 
Orientasi tempat : baik 
Nilai MMSE = 30
CT Scan
Diagnosis 
1. Meningoensefalitis susp TB 
2. Spondilitis TB
Rencana Terapi 
1. Pemeriksaan CSS 
2. Rifampisin 1 x 450 mg 
3. INH 1 x 450 mg 
4. Pirazinamid 1 x 1000 mg 
5. Etambutol 1 x 1000 mg 
6. B6 3 x 10 mg p.o. 
7. Tramadol 3 x 450 mg p.o. k/p
BAB IV 
PEMBAHASAN KASUS 
Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala. Onset nyeri kepala 3 bulan yang lalu dan 
bertambah berat.selain itu, frekuensi nyeri kepala pasien juga bertambah sering. 
Dapat dikatakan bahwa nyeri kepala pasien bersifat kronik, progresif. Hal ini berbeda 
dengan karakteristik nyeri kepala primer yang cenderung memiliki intensitas dan 
frekuensi yang menetap. Selain itu, keluhan juga disertai dengan defisit neurologik 
berupa: 
1. Kejang 
2. Kelemahan ekstremitas 
3. Rasa baal dan kesemutan 
4. Kesulitan BAK dan BAB 
Hal ini memperkuat bukti untuk nyeri kepala sekunder. 
Nyeri kepala yang bersifat kronik progresif, dapat diduga merupakan suatu kelainan 
infeksi atau neoplasma. Keluhan lain berupa demam dan riwayat batuk, serta riwayat 
pengobatan OAT sebelumnya mengarahkan diagnosis pasien kearah infeksi. Apabila 
pasien dicurigai mengalami infeksi intrakranial, maka pasien dilakukan pemeriksaan 
HIV. Pada pasien, test HIV adalah nonreaktif. Dan pada hasil CT scan menujukan 
lesi nonfokal. Sehingga diagnosis mengarah kepada penyakit meningoensefalitis TB, 
meningobakterial, ensefalitis HSV. 
Infeksi TB yang dialami pasien mengarahkan pasien mengalami meningoensefalitis 
dengan suspect TB. Pada stadium awal penyakit, manifestasi iritasi meningeal 
biasanya tidak ditemukan. Gejala yang paling menonjol biasanya sakit kepala, 
perubahan tingkah laku seperti bungung dan apatis, dan beberapa pasien mengalami 
kejang. Gejala lain pada pasien yang mendukung kearah ensefalitis adalah demam,
cara berjalan yang tidak stabil, kejang, kelemahan otot. Pasien memiliki riwayat 
kelemahan sisi kanan. Sehingga kemungkinan terdapat lesi pada hemisfer kiri. 
Saat ini kaki kanan dan kiri mengalami kelemahan yang didugaterjadi pada medula 
spinalis. Pada pasien dengan riwayat TB, diduga lesi pada vertebra disebabkan oleh 
spondilitis TB. Hasil CT scan vertebra menunjukan lesi di T12 – L3. Hal ini sesuai 
dengan predileksi spondilitis, yaitu sering ditemukan pada vertebra T8-L3. 
Spondilitis TB sering mengenai korpus vertebra. 
Diagnosis Klinis : nyeri kepala, meningoensefalitis suspek TB, Spodilitis TB 
Diagnosis Topis : Hemisfer kiri, vertebra torakalis 12 – lumbal 3 
Diagnosis Patologis : Lesi perkijuan 
Diagnosis Etiologis : infeksi TB
BAB V 
DAFTAR PUSTAKA 
1. Mumenthaler M, Mattle H, editor. Neurology. 4th Ed. Philadelphia: Thiemer Publishing; 
2004. (841-62) 
2. Wilkinson, Lennox G. Essential Neurology. 4th Ed. New York: Blackwell Publishing; 2007. 
(213-20) 
3. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s Principles of Neurology. 8th Ed. San Fransisco: 
McGraw-Hill Companies; 2008. 
4. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. 
Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. h.11 
5. Tunkel, A. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis. Clinical 
Infectious Disease. Infectious Disease Society of America. Phyladelpia. 2004. 
6. Ravighone M, O’Brien R. Tuberculosis. Dalam : Harrison’s Principles of Internal Medicine 
Edisi 16. New York: McGraw-Hill. 1998. h. 1004 – 1014. 
7. Linssen WHJP, Gabreels FJM, Wevers RA. Infective acute transverse myelopathy. Report of 
two cases. Neuropediatrics 1991;22:107-9. 
8. Kalita J, Misra U.K: Neurophysiological studies in acute transverse myelitis. J-Neurol. 2000 
Dec; 247(12): 943-8. 
9. Altrocchi P.H. Acute transverse myelopathy. Arch Neurol.1963:9;111-9.

More Related Content

What's hot (17)

Makalah trauma kapitis
Makalah  trauma kapitisMakalah  trauma kapitis
Makalah trauma kapitis
 
Proposal bell's palsy
Proposal bell's palsyProposal bell's palsy
Proposal bell's palsy
 
Trauma kapitis indry
Trauma kapitis indryTrauma kapitis indry
Trauma kapitis indry
 
4 Trauma Kepala & Spinal
4 Trauma Kepala & Spinal4 Trauma Kepala & Spinal
4 Trauma Kepala & Spinal
 
241124484 209414970-case-vertigo
241124484 209414970-case-vertigo241124484 209414970-case-vertigo
241124484 209414970-case-vertigo
 
infeksi sistem saraf pusat
infeksi sistem saraf pusatinfeksi sistem saraf pusat
infeksi sistem saraf pusat
 
Bell's palsy
Bell's palsyBell's palsy
Bell's palsy
 
Stroke
StrokeStroke
Stroke
 
Leaflet epilepsi
Leaflet epilepsiLeaflet epilepsi
Leaflet epilepsi
 
Meningitis pwr poin AKPER PEMDA MUNA
Meningitis pwr poin AKPER PEMDA MUNA Meningitis pwr poin AKPER PEMDA MUNA
Meningitis pwr poin AKPER PEMDA MUNA
 
Konsep dasar penyakit
Konsep dasar penyakitKonsep dasar penyakit
Konsep dasar penyakit
 
Askep stroke non hemoragik
Askep stroke  non hemoragikAskep stroke  non hemoragik
Askep stroke non hemoragik
 
KELAINAN & PENYAKIT PADA SISTEM KOORDINASI (SARAF, ENDOKRIN, INDRA)
KELAINAN & PENYAKIT PADA SISTEM KOORDINASI (SARAF, ENDOKRIN, INDRA)KELAINAN & PENYAKIT PADA SISTEM KOORDINASI (SARAF, ENDOKRIN, INDRA)
KELAINAN & PENYAKIT PADA SISTEM KOORDINASI (SARAF, ENDOKRIN, INDRA)
 
Makalah meningitis anti
Makalah meningitis antiMakalah meningitis anti
Makalah meningitis anti
 
Lp ckr
Lp ckrLp ckr
Lp ckr
 
REHABILITASI MEDIK BELL'S PALSY
REHABILITASI MEDIK BELL'S PALSYREHABILITASI MEDIK BELL'S PALSY
REHABILITASI MEDIK BELL'S PALSY
 
Smbungan tth AKPER PEMKAB MUNA
Smbungan tth AKPER PEMKAB MUNA Smbungan tth AKPER PEMKAB MUNA
Smbungan tth AKPER PEMKAB MUNA
 

Similar to NYERI KEPALA

Skenario Sakit Kepala_10B_FK UKI_2023.pptx
Skenario Sakit Kepala_10B_FK UKI_2023.pptxSkenario Sakit Kepala_10B_FK UKI_2023.pptx
Skenario Sakit Kepala_10B_FK UKI_2023.pptxabunchofweirdos
 
Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)ami223
 
Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)ami223
 
Cluster Headache dr. HM tugas.pptx
Cluster Headache dr. HM tugas.pptxCluster Headache dr. HM tugas.pptx
Cluster Headache dr. HM tugas.pptxDavidChristian479774
 
Power point askep meningitis AKPER PEMKAB MUNA
Power point askep meningitis AKPER PEMKAB MUNAPower point askep meningitis AKPER PEMKAB MUNA
Power point askep meningitis AKPER PEMKAB MUNAOperator Warnet Vast Raha
 
Asuhan keperawatan pada anak kejang demam AKPER PEMKAB MUNA
Asuhan keperawatan pada anak kejang demam AKPER PEMKAB MUNA Asuhan keperawatan pada anak kejang demam AKPER PEMKAB MUNA
Asuhan keperawatan pada anak kejang demam AKPER PEMKAB MUNA Operator Warnet Vast Raha
 
Askep cidera kepala n cidera tulang belakang
Askep cidera kepala n cidera tulang belakangAskep cidera kepala n cidera tulang belakang
Askep cidera kepala n cidera tulang belakangAlvian P Windiramadhan
 
Askep cedera kepala
Askep cedera kepalaAskep cedera kepala
Askep cedera kepalafienndhut
 
Kegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala & cedera
Kegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala & cederaKegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala & cedera
Kegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala & cederaFerrayulinda
 

Similar to NYERI KEPALA (20)

Diagnosa gangguan kesadaran
Diagnosa gangguan kesadaranDiagnosa gangguan kesadaran
Diagnosa gangguan kesadaran
 
Marny askep tth AKPER PEMKAB MUNA
Marny askep tth AKPER PEMKAB MUNA Marny askep tth AKPER PEMKAB MUNA
Marny askep tth AKPER PEMKAB MUNA
 
Demam pada anak
Demam pada anakDemam pada anak
Demam pada anak
 
Marny askep tth
Marny askep tthMarny askep tth
Marny askep tth
 
Demam pada anak
Demam pada anakDemam pada anak
Demam pada anak
 
Demam pada anak AKPER PEMKAB MUNA
Demam pada anak AKPER PEMKAB MUNA Demam pada anak AKPER PEMKAB MUNA
Demam pada anak AKPER PEMKAB MUNA
 
Askep tumor otak
Askep tumor otakAskep tumor otak
Askep tumor otak
 
Skenario Sakit Kepala_10B_FK UKI_2023.pptx
Skenario Sakit Kepala_10B_FK UKI_2023.pptxSkenario Sakit Kepala_10B_FK UKI_2023.pptx
Skenario Sakit Kepala_10B_FK UKI_2023.pptx
 
Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)
 
Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)Ways the brain is injured (autosaved)
Ways the brain is injured (autosaved)
 
Cluster Headache dr. HM tugas.pptx
Cluster Headache dr. HM tugas.pptxCluster Headache dr. HM tugas.pptx
Cluster Headache dr. HM tugas.pptx
 
Makalah meningitis anti
Makalah meningitis antiMakalah meningitis anti
Makalah meningitis anti
 
Power point askep meningitis AKPER PEMKAB MUNA
Power point askep meningitis AKPER PEMKAB MUNAPower point askep meningitis AKPER PEMKAB MUNA
Power point askep meningitis AKPER PEMKAB MUNA
 
Asuhan keperawatan pada anak kejang demam
Asuhan keperawatan pada anak kejang demamAsuhan keperawatan pada anak kejang demam
Asuhan keperawatan pada anak kejang demam
 
Asuhan keperawatan pada anak kejang demam AKPER PEMKAB MUNA
Asuhan keperawatan pada anak kejang demam AKPER PEMKAB MUNA Asuhan keperawatan pada anak kejang demam AKPER PEMKAB MUNA
Asuhan keperawatan pada anak kejang demam AKPER PEMKAB MUNA
 
Kuliah NYERI KEPALA
Kuliah NYERI KEPALAKuliah NYERI KEPALA
Kuliah NYERI KEPALA
 
Askep cidera kepala n cidera tulang belakang
Askep cidera kepala n cidera tulang belakangAskep cidera kepala n cidera tulang belakang
Askep cidera kepala n cidera tulang belakang
 
ppt-meningitis
ppt-meningitisppt-meningitis
ppt-meningitis
 
Askep cedera kepala
Askep cedera kepalaAskep cedera kepala
Askep cedera kepala
 
Kegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala & cedera
Kegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala & cederaKegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala & cedera
Kegawatdaruratan pada sistem persyarafan trauma kepala & cedera
 

More from Nova Ci Necis

Isu kesehatan lingkungan
Isu kesehatan lingkunganIsu kesehatan lingkungan
Isu kesehatan lingkunganNova Ci Necis
 
meningkatkan kinerja bidan
meningkatkan kinerja bidanmeningkatkan kinerja bidan
meningkatkan kinerja bidanNova Ci Necis
 
Standar pelayanan kebidanan
Standar pelayanan kebidananStandar pelayanan kebidanan
Standar pelayanan kebidananNova Ci Necis
 
Kista sarkoma philodes
Kista sarkoma philodesKista sarkoma philodes
Kista sarkoma philodesNova Ci Necis
 
Kerusakan jalan lahir
Kerusakan jalan lahirKerusakan jalan lahir
Kerusakan jalan lahirNova Ci Necis
 
Syok dalam kebidanan
Syok dalam kebidananSyok dalam kebidanan
Syok dalam kebidananNova Ci Necis
 
Komplikasi yg mempengaruhi dan dipengaruhi kehamilan
Komplikasi yg mempengaruhi dan dipengaruhi kehamilanKomplikasi yg mempengaruhi dan dipengaruhi kehamilan
Komplikasi yg mempengaruhi dan dipengaruhi kehamilanNova Ci Necis
 
Kehamilan kembar (gemelli) (5)
Kehamilan kembar (gemelli) (5)Kehamilan kembar (gemelli) (5)
Kehamilan kembar (gemelli) (5)Nova Ci Necis
 
Penyakit serta kelainan plasenta
Penyakit serta kelainan plasentaPenyakit serta kelainan plasenta
Penyakit serta kelainan plasentaNova Ci Necis
 
Distosia karena kelainan his
Distosia karena kelainan his Distosia karena kelainan his
Distosia karena kelainan his Nova Ci Necis
 
Pesrsistent oksipito posterior
Pesrsistent oksipito posteriorPesrsistent oksipito posterior
Pesrsistent oksipito posteriorNova Ci Necis
 

More from Nova Ci Necis (20)

kanker payudara
kanker payudarakanker payudara
kanker payudara
 
Isu kesehatan lingkungan
Isu kesehatan lingkunganIsu kesehatan lingkungan
Isu kesehatan lingkungan
 
Kespro infertilitas
Kespro infertilitasKespro infertilitas
Kespro infertilitas
 
meningkatkan kinerja bidan
meningkatkan kinerja bidanmeningkatkan kinerja bidan
meningkatkan kinerja bidan
 
Standar pelayanan kebidanan
Standar pelayanan kebidananStandar pelayanan kebidanan
Standar pelayanan kebidanan
 
Kista sarkoma philodes
Kista sarkoma philodesKista sarkoma philodes
Kista sarkoma philodes
 
Tromboflebitis
TromboflebitisTromboflebitis
Tromboflebitis
 
Kerusakan jalan lahir
Kerusakan jalan lahirKerusakan jalan lahir
Kerusakan jalan lahir
 
Distosia (terbaru)
Distosia (terbaru)Distosia (terbaru)
Distosia (terbaru)
 
Syok dalam kebidanan
Syok dalam kebidananSyok dalam kebidanan
Syok dalam kebidanan
 
Ket
Ket Ket
Ket
 
Ketuban pecah dini
Ketuban pecah diniKetuban pecah dini
Ketuban pecah dini
 
Komplikasi yg mempengaruhi dan dipengaruhi kehamilan
Komplikasi yg mempengaruhi dan dipengaruhi kehamilanKomplikasi yg mempengaruhi dan dipengaruhi kehamilan
Komplikasi yg mempengaruhi dan dipengaruhi kehamilan
 
Kehamilan kembar (gemelli) (5)
Kehamilan kembar (gemelli) (5)Kehamilan kembar (gemelli) (5)
Kehamilan kembar (gemelli) (5)
 
Penyakit serta kelainan plasenta
Penyakit serta kelainan plasentaPenyakit serta kelainan plasenta
Penyakit serta kelainan plasenta
 
Distosia karena kelainan his
Distosia karena kelainan his Distosia karena kelainan his
Distosia karena kelainan his
 
Presentasi muka
Presentasi mukaPresentasi muka
Presentasi muka
 
Pelayanan kb
Pelayanan kbPelayanan kb
Pelayanan kb
 
Pesrsistent oksipito posterior
Pesrsistent oksipito posteriorPesrsistent oksipito posterior
Pesrsistent oksipito posterior
 
Tromboflebitis
TromboflebitisTromboflebitis
Tromboflebitis
 

NYERI KEPALA

  • 2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nyeri Kepala Nyeri pada kepala dan wajah diakibatkan oleh iritasi pada struktur – struktur sensitif yang berada di daerah tersebut, diantaranya pembuluh darah, bagian basal dari duramater dan piamater; sinus venosus; komponen sensorik nervus kranial; dan struktur ekstrakranial. Otak sendiri tidak memiliki kepekaan terhadap stimulus nyeri. Berikut adalah pendekatan yang dilakukan terhadap pasien dengan keluhan nyeri kepala. Tabel 2.1. Anamnesis Nyeri Kepala1
  • 3. Dari etiologinya, nyeri kepala dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Headache Classification Committee of the International Headache Society): Tabel 2.2. Klasifikasi Nyeri Kepala1
  • 4. 2.1.1. Nyeri Kepala Sekunder Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang disebabkan oleh suatu etiologi (disease entity) dengan nyeri kepala sebagai manifestasinya. Nyeri kepala sekunder yang paling sering ditemui adalah: (1) Nyeri kepala karena penyakit vaskular organik; (2) Nyeri kepala karena massa intrakranial; (3) Nyeri kepala karena gangguan sirkulasi CSF; (4) Nyeri kepala spondilogenik; (5) Psikogenik; (6) Nyeri kepala non-neurologis; dan (7) Neuralgia wajah serta nyeri wajah atipikal. 2.1.1.1.Nyeri Kepala pada Penyakit Vaskular Organik 2.1.1.1.1. Oklusi Arteri Kranial. Etiologi ini jarang menyebabkan nyeri kepala, namun nyeri kepala yang terjadi biasanya cukup hebat. Oklusi carotid biasanya menyebabkan nyeri kepala orbital, sedangkan oklusi basilar akan menyebabkan nyeri difus nyang melingkari kepala. Diseksi spontan dari arteri karotis interna dapat membuat nyeri yang luar biasa hebat pada satu sisi wajah. Sedangkan diseksi pada arteri vertebral dapat membuat nyeri pada satu sisi leher dan bagian oksipital kepala. 2.1.1.1.2. Perdarahan Subarakhnoid. Sembilan puluh persen pasien dengan SAH datang dengan keluhan nyeri kepala hebat; sebagian besar diantaranya mengeluhkan “nyeri kepala ekstrem yang paling menyakitkan dan belum pernah dialami sebelumnya” (thunderclap headache) yang persisten. Pada setengah dari kasus, nyeri kepala dimulai dari bagian oksipital dan dengna cepat menyebar secara holosefalik. Pada kejadian ini, sering terjadi penurunan kognitif. 2.1.1.1.3. Hipertensi. Pada orang dengan hipertensi kronik atau hipertensi kritis, nyeri kepala yang biasa mereka alami biasanya menyerupai TTH. Nyeri ini biasanya muncul di pagi hari dan persisten selama seharian penuh
  • 5. dengan intensitas sedang secara difus. Dengan hipertensi dan papilledema, diagnosis banding dari gangguan ini adalah peningkatan TIK. Bedanya, pasien yang mengalami peningkatan TIK biasanya juga datang dengan defisit neurologis defisit. 2.1.1.1.4. Arteritis. Kondisi ini sering disebut juga sebagai Sindroma Horton, Giant-Cel Arteritis, atau Arteritis Kranial. Mekanisme autoimun pada penderitanya menyerang tunika media dan lapisan elastis dari arteri, iasanya dialami pasien dengan usia >50 tahun. Keluhan utama nyeri kepala sangat hebat; biasanya bilateral, pada pelipis atau dahi, dengan klaudikasio intermiten pada rahang saat mengunyah. Kualitasnya adalah berdenyut dan nyeri terus-menerus, dengan arteri temporal yang menebal. Gejala lainnya adalah kelelahan, anoreksia, kehilangan berat badan, keringat malam, demam subfebris, dan polimialgia rematika. 2.1.1.2.Nyeri Spondilogenik dan Migrain Servikal Perubahan patologis pada medulla spinalis servikal dapat menyebabkan nyeri yang menjalar ke kepala. Perubahan degenerative atau post traumatic pada segmen servikal ketiga teratas dapat menyebabkan nyeri oksipital. Nyeri kepala spondilogenik hanya boleh didiagnosis apabila tanda radikuler atau vegetatif nyeri sudah jelas, terdapat gangguan atau trauma servikal, serta nyeri khas spondilogenik (unilateral leher, radiasi ke oksipital hingga regio frontal). 2.1.1.3.Nyeri Kepala Karena Peningkatan Tekanan Intrakranial Nyeri kepala dapat menjadi gejala yang muncul di awal atau pertengahan onset. Nyeri biasanya awalnya ringan sehingga tidak terlalu dikeluhkan, namun pada banyak kasus dapat bertambah berat, dengan kualitas berdenyut, diiringi dengan muntah proyektil, defisit neurologis, serta gangguan kesadaran. Lokasi paling sering adalah di oksipital.
  • 6. Nyeri terjadi secara hebat saat berbaring (nyeri postural), pada pagi hari atau saat pasien baru bangun dari tidur, karena tidur membuat penurunan laju respirasi yang berakibat pada kenaikan kadar CO2, menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah termasuk pembuluh darah otak – yang meningkatkan tekanan intrakranial. Fenomena ini jugalah yang membuat pasien seringkali mengeluhkan terbangun tengah malam karena nyeri. Nyeri juga bertambah saat maneuver mengejan, batuk, atau bersin (Valsava). Diagnosis dari gangguan ini terletak pada deteksi adanya gejala fokal, defisit neurologis seperti gangguan kesadaran, papilledema, dan SOL yang menjadi agen kausatif (tumor, hematoma, abses, dll). Pada presentasi gejala seperti ini, scanning otak secara radiologis sangatlah direkomendasikan. Nyeri kepala tak hanya diakibatkan oleh peningkatan TIK, tapi juga penurunan. Gejala yang terjadi adalah kebalikannya; pasien merasa lega saat berbaring, namun nyeri kembali saat posisi tubuh ditegakkan. Penyebabnya bisa karena pasca pungsi lumbal (kebocoran CSF pada teka terjadi secara persisten), atau terjadi secara spontan, karena kebocoran pada selubung nervus torakal setelah batuk. Nyeri juga mereda dengan istirahat dan kafein. 2.1.1.4.Nyeri Kepala Karena Obstruksi Aliran Serebrospinal Mirip dengan nyeri kepala TIK namun terjadi secara lebih episodic (dengan attack atau serangan hebat yang berlangsung tiba-tiba memberat). Penyebab paling sering adalah kista koloid atau tumor lainnya pada ventrikel ketiga. 2.1.1.5.Nyeri Kepala Karena Penyebab Non-neurologis Dapat disebabkan oleh penyakit okular (nyeri periorbital yang semakin menurun seiring dengan berjalannya hari), seperti glaukoma. Pada glaukoma akut, dapat terjadi nyeri kepala frontal mendadak dengan muntah, bradikardia, dan gangguan visus. Penyebab lainnya adalah sistem telinga, hidung, dan tenggorokan; yaitu sinusitis, otitis kronik, serta massa di THT.
  • 7. 2.1.1.6.Nyeri Kepala Psikogenik Faktor psikologis dikatakan berperan beesar dalam munculnya tension headache (tidak sama dengan TTH). Keluhan yang dilaporkan baisanya nyeri seperti kontraksi spasmodil pada regio oksipital, yang memberat saat terdapatnya stressor mental. Gejala ini sulit dibedakan dengan neuralgia oksipital. 2.1.1.7.Drug-Induced Headache Penggunaan analgesia yang rutin dan kronik dapat menimbulkan nyeri kepala yang difus dan persisten. Kejadian ini meningkat apabila analgesik yang digunakan dalam satu hari lebih dari 1 macam, atau penggunaan lebih dari 6 bulan, serta penggunaannya pada nyeri kepala terdahulu dan bukan pada pasien dengan nyeri di tempat lain tanpa ada nyeri kepala. 2.1.1.8.Neuralgia 2.1.1.8.1. Neuralgia Trigeminal (Tic Douloreux) Kondisi ini diakibatkan oleh adanya konduksi aberan dari impuls saraf somatosensori ke nosiseptif pada nervus trigeminal pada lokasi di mana terjadi kerusakan lokal di selubung myelin. Lesi myelin ini sendiri berkontribusi terhadap stress mekanik neuralgia, walaupun mekanismenya masih belum diketahui dengan jelas.Neuralgia ini juga dapat disebabkan oleh sklerosis multipel, iskemia pontin, serta lesi massa pada nervus trigeminal. Rasa nyeri biasanya menjalar pada regio yang dipersarafi oleh nervus trigeminus pertama dan kedua (maksila dan mandibula). Oleh karena itu, yang khas pada penyakit ini adalah biasanya pasien mengunjungi dokter gigi terlebih dahulu. Rasa sakitnya selalu unilateral, dan selalu di tempat yang sama. Nyeri yang terasa adalah lightning-like atau lancinating dengan durasi beberapa detik, dengan intensitas sangat hebat. Serangan ini dapat diprovokasi dengan gerakan mengunyah atau menekan titik tertentu di wajah atau mulutnya (berbeda-beda tiap individu).
  • 8. 2.1.1.8.2. Neuralgia Aurikulotemporal Rasa nyeri pada depan telinga dan pelipis, akrena penyakit yang melibatkan kelenjar parotid, dan merusak bagian intraparotid dari nervus tersebut. Mengunyah dan stimuli gustatory, seperti makanan yang panas atau pedas, akan menimbulkan nyeri yang membakar serta berkeringat pada sepanjang inervasi (depan telinga). 2.1.1.8.3. Neuralgia Nasosiliar Kondisi ini jarang terjadi. Penyebabnya adalah gangguan fungsional dari ganglion silier. Ciri-cirinya adalah nyeri yang bersifat episodic atau terus-menerus pada regio hidung dan canthus dalam, serta eritema dahi, pembengkakan mukosa hidung, hingga injeksi konjungtiva dan lakrimasi. Singkatnya, diagnosis dari nyeri kepala dan wajah dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
  • 9.
  • 10. 2.2. Meningoensefalitis TB Tabel 2.3. Diagnosis Banding Nyeri Kepala1 Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB). Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis. 2.2.1. Epidemiologi Sebelum era antibiotik, penyakit susunan saraf pusat (SSP) karena TB sering ditemukan terutama pada anak-anak. Ditemukan 1000 anak dengan TB aktif di kota New York diantara tahun 1930 sampai tahun 1940. Hampir 15% diantaranya menderita meningitis TB dan meninggal. Setelah perang dunia kedua, terutama pada negara berkembang, terdapat prevalensi yang luas infeksi TB. Pada awal tahun 2003, WHO memperkirakan terdapat sekitar 1/3 penduduk dunia menderita TB aktif dan 70.000 diantaranya meningitis TB.
  • 11. 2.2.2. Etiologi dan Patogenesis Infeksi TB pada SSP disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis, bakteri obligat aerob yang secara alamiah reservoirnya manusia. Organisme ini tumbuh perlahan, membutuhkan waktu sekitar 15 sampai 20 jam untuk berkembang biak dan menyebar. Seperti semua jenis infeksi TB, infeksi SSP dimulai dari inhalasi partikel infektif. Tiap droplet mengandung beberapa organisme yang dapat mencapai alveoli dan bereplikasi dalam makrofag yang ada dalam ruang alveolar dan makrofag dari sirkulasi. Pada 2 – 4 minggu pertama tak ada respons imun untuk menghambat replikasi mikobakteri, maka basil akan menyebar ke seluruh tubuh menembus paru, hepar, lien, sumsum tulang. Sekitar 2 sampai 4 minggu kemudian akan dibentuk respons imun diperantarai sel yang akan menghancurkan makrofag yang mengandung basil TB dengan bantuan limfokin. Kumpulan organisme yang telah dibunuh, limfosit, dan sel sel yang mengelilingnya membentuk suatu fokus perkejuan. Fokus ini akan diresorpsi oleh makrofag disekitarnya dan meninggalkan bekas infeksi. Bila fokus terlalu besar maka akan dibentuk kapsul fibrosa yang akan mengelilingi fokus tersebut, namun mikorobakteria yang masih hidup didalamnya dapat mengalami reaktivasi kembali. Jika pertahanan tubuh rendah maka fokus tersebut akan semakin membesar dan encer karena terjadi proliferasi mikrobakterium. Pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah, fokus infeksi primer tersebut akan mudah ruptur dan menyebabkan TB ekstra paru yang dapat menjadi TB milier dan dapat menyerang meningen. 2.2.3. Patofisiologi Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi otak. Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi eksudat gelatinous. Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara mikroskopik, eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear (PMN), leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit diantara benang benang fibrin. Selain itu peradangan juga mengenai pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah
  • 12. ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark serebral karena iskemia. Gangguan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS) mengakibatkan hidrosefalus obstruktif (karena eksudat yang menyumbat akuaduktus spinalis atau foramen luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada parenkim otak yang akan semakin menyumbat. Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus merupakan karakteristik dari menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB. Efek yang ditimbulkan dari kemoterapi meningoensefalitis memiliki peran yang sangat penting karena akan menekan angka kematian dan kecacatan. Setelah 2 tahun, eksudat akan berubah menjadi jaringan ikat hialin dan lapisan intima akan mengalami fibrosis. 2.2.4. Manifestasi Klinis Stadium meningitis TB telah diperkenalkan sejak tahun 1947 dan sejak itu banyak kalangan yang menerapkannya untuk penanganan awal sekaligus menentukan prognosis. Penderita dengan stadium pertama hanya memiliki manifestasi klinis yang tidak khas karena tanpa disertai dengan gejala dan tanda neurologis. Sedangkan penderita dengan stadium kedua (intermediet) telah menunjukkan gejala iritasi meningeal disertai dengan kelumpuhan saraf kranial namun tak ada defek kerusakan lain serta tidak ada penurunan kesadaran. Pada stadium tiga, penderita mengalami kerusakan neurologis yang besar, stupor, dan koma. Penyakit ini lebih samar pada penderita dewasa, anamnesis tentang riwayat pernah mengalami penyakit TB biasanya jarang. Lamanya gejala biasanya tidak berhubungan dengan derajat klinis. Sakit kepala biasanya menonjol pada penderita dewasa, perubahan tingkah laku seperti apatis, bingung sering ditemukan. Kejang biasanya tak terjadi pada tahap awal penyakit, hanya pada 10% sampai 15% pasien.
  • 13. 2.2.5. Diagnosis Dari gejala klinis biasanya penderita mengalami panas tinggi dan sakit kepala yang hebat yang diikuti dengan mual dan muntah. Gejala ensefalitis adalah demam, sakit kepala, muntah, penglihatan sensitif terhadap cahaya, kaku kuduk dan punggung, pusing, cara berjalan tak stabil, iritabilitas kehilangan kesadaran, kurang berespons, kejang, kelemahan otot, demensia berat mendadak dan kehilangan memori juga dapat ditemukan. Jika gejala dan tanda (kaku kuduk, tanda kernig dan tanda laseque) ditemukan maka dianjurkan untuk pemeriksaan Computer Tomography beserta pungsi lumbal (bila tidak ada tanda edema otak). Kemungkinan ensefalitis harus dipikirkan pada penderita dengan panas dan disertai dengan perubahan status mental, gejala neurologis fokal dan pola kebiasaan yang tiba tiba menjadi abnormal. Dilihat dari patologinya, inflamasi akut pada pia arahnoid menyebabkan pelebaran ruangan subarakhnoid karena eksudat yang dihasilkan dari inflamasi tersebut. Selanjutnya saat korteks subpia dan jaringan ependim yang menyelimuti ventrikel juga ikut meradang maka akan menyebabkan terjadinya serebritis dan atau ventrikulitis. Pembuluh darah yang terpapar dengan dengan eksudat inflamasi subarakhnoid mengalami spasme dan atau trombosis yang selanjutnya akan menyebabkan iskemia dan akhirnya infark. Pada CT scan kepala penderita dengan meningitis kronik yang berat akan ditemukan gambaran hiperdensitas ruangan subarakhnoid yang lebih terlihat pada fisura hemisfer serebri. Selanjutnya gambaran CT tanpa kontras akan menunjukkan peningkatan densitas pada sisterna basalis dan fisura hemisfer serebri, serta menghilangnya kecembungan sulkus. Pada pemeriksaan foto roentgen dada, jarang ditemukan pembesaran hilus, adenopati dan bayangan inflitrat. Gambaran radiologi dapat berkisar dari bayangan samar pada apeks sampai adanya kalsifikasi. Tes tuberkulin tidak bermanfaat pada penderita dewasa karena jarang menunjukkan hasil yang positif, sekitar 35% sampai 60% penderita meningitis TB tidak bereaksi pada tes tuberkulin, faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah karena adanya malnutrisi, imunosupresi, debilitasi, dan imunosupresi umum karena penyakit sistemik.
  • 14. Telah diketahui bahwa pemeriksaan CSS memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis meningoensefalitis. Pungsi lumbal tidak perlu dilakukan bila penderita dengan meningitis bakterialis beresons baik terhadap pengobatan. Pungsi lumbal dilakukan dengan cara menusukkan jarum ke dalam kanalis spinalis. Dinamakan pungsi lumbal karena jarum memasuki daerah lumbal (tulang punggung bagian bawah). Dalam pemeriksaan serebrospinal. Dalam pemeriksaan biokimia dan sitologi maka CSS pada penderita dengan meningoensefalitis akan ditemukan cairan yang jernih dan agak pekat, jaringan protein akan terlihat setelah proses pengendapan. CSS hemoragik dapat ditemukan pada meningitis TB yang mengalami vaskulitis. Adanya gambaran yang khas yang disebut dengan “pelikel” , yakni hasil dari tingginya konsentrasi fibrinogen dalam cairan disertai dengan sel sel proinflamatori. Tekanan pembuka pada waktu memasukkan jarum spinal meningkat sampai 50%, pada meningitis TB kadar glukosa dalam CSS rendah namun mengandung protein yang tinggi nilai glukosa mendekati 40 mg/dl., protein dapat berkisar antara 150-200 mg/dl. 2.2.6. Tata Laksana Prinsip penanganan meningitis TB mirip dengan penanganan TB lain dengan syarat obat harus dapat mencapai sawar darah otak dengan konsentrasi yang cukup untuk mengeliminasi basil intraselular maupun ekstraselular. Untuk dapat menembus cairan serebrospinal maka tergantung pada tingkat kelarutannya dalam lemak, ukuran molekul, kemampuan berikatan dengan protein, dan keadaan meningitisnya. Keterlambatan dalam pemberian terapi pada penderita dengan meningitis bakterial dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Selain itu perlu dilakukan pengawasan terhadap toksisitas obat selama terapi (pengawasan terhadap hitung jenis darah dan fungsi hati dan ginjal). Penderita yang dicurigai meningitis pada gambaran CT scan kepala sebelum dilakukan pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pemeriksan kultur CSS dan pemberian terapi antibiotik dan kortikosteroid. Panduat obat antituberkulosis
  • 15. dapat diberikan selama 9 – 12 bulan, panduan tersebut adalah 2RHZE / 7-10 RH. Pemberian kortikosteroid dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 3 – 6 minggu untuk menurunkan gejala sisa neurologis. 2.2.7. Komplikasi Komplikasi meningoensefalitis terdiri dari komplikasi akut, intermediet dan kronis. Komplikasi akut meliputi edema otak, hipertensi intrakranial, SIADH (syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Release), Kejang, ventrikulitis. meningkatnya tekanan intrakrania (TIK). Patofisiologi dari TIK rumit dan melibatkan banyak peran molekul proinflamatorik. Edema intersisial merupakan akibat sekunder dari obstruksi aliran serebrospinal seperti pada hidrosefalus, edema sitotoksik (pembengkakan elemen selular otak) disebabkan oleh pelepasan toksin bakteri dan neutrofil, dan edema vasogenik (peningkatan permeabilitas sawar darah otak). 4 Komplikasi intermediet terdiri atas efusi subdural, demam, abses otak, hidrosefalus. Sedangkan komplikasi kronik adalah memburuknya fungsi kognitif, ketulian, kecacatan motorik. 2.3. Spondilitis Tuberkulosis Spondilitis tuberkulosis merupakan peradangan granulomatosa yang bersifak kronik destruktif yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini disebut juga Penyakit Pott (bila disertai paraplegia atau defisit neurologis). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, jarang arkus vertebra. Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20 tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1.
  • 16. Spondilitis korpus vertebra dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu bentuk sentral, paradiskus, dan anterior. Pada bentuk sentral, destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra. Bentuk paradiskus terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebral. Pada bentuk anterior, lokus awal terletak di bagian anterior korpus vertebra dan merupakan penjalaran per kontinuatum dari vertebra di atasnya. 2.3.1. Patogenesis Infeksi tuberkulosis merupakan infeksi granulomatosa yang spesifik, dengan karakteristik destruksi tulang progresif lambat (osteolisis lokal) pada bagian anterior korpus vertebra yang disertai dengan osteoporosis setempat. Penyebaran tuberkulosis biasanya terjadi karena kelenjar hilus yang mengalami perkijuan memecah dan basil tuberkulosis masuk kedalam pembuluh darah. Infeksi bermula pada korpus vertebra dengan terbentukya ruangan yang berisi bahan perkijuan, dikelilingi jaringan fibrosis dan tulang yang atrofi. Proses infeksi kadang disertai pembentukan banyak cairan yang nantinya mengalami nekrosis. Nekrosis ini bisa menghasilkan massa seperti keju (limfadenitis kaseosa) yang mencegah pembentukan tulang dan membuat tulang menjadi avaskuler sehingga timbul tuberculous sequstra. Jaringan granulasi tuberkulosis masuk ke dalam korteks korpus vertebra membentuk abses paravertebra yang meluas hingga ke beberapa vertebra, ke atas, ke bawah, ligamen longitudinal anterior dan posterior. Pada vertebra, kerusakan terjadi pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus akan menyebabkan kompresi vertebra sehingga terjadi kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Pada bentuk sentral akan terjadi osteoporosis dan destruksi hingga dapat terjadi kompresi vertebra. Bentuk paradiskal yang disertai destruksi korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus akan mengakibatkan iskemia sehingga terjadi nekrosis diskus, yang pada foto Rontgen akan tampak gambaran penyempitan diskus intervertebra. Bila proses terus
  • 17. berlanjut, akan terjadi osteoporosis dan penyebaran ke seluruh korpus vertebra sehingga timbul kompresi vertebra. Proses ini bisa menyerang lebih dari satu korpus vertebra. Jaringan granulasi tuberkulosis dapat pula menembus korteks korpus vertebra, yang akan membentuk abses paravertebra yang dapat menyebar dari satu vertebra ke vertebra lainnya. Diskus intervertebra yang avaskular relatif resisten terhadap infeksi tuberkulosis, namun diskus yang berdekatan dengan tempat infeksi dapat menyempit karena dehidrasi atau yang lebih sering karena dirusak oleh jaringan granulasi. Selain merusak vertebra, abses dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Di vertebra lumbal, abses akan turun ke bawah melalui sela aponeurosis otot psoas dan nanahnya akan dikeluarkan melalui fasia otot psoas sehingga terbentuk abses psoas. Abses dapat turun ke regio inguinal dan teraba sebagai benjolan. Abses dingin di daerah torakal dapat menembus rongga pleura sampai terjadi abses pleura, atau ke paru bila parunya melengket pada pleura. Di daerah servikal, abses dapat menembus dan berkumpul di antara vertebra dan faring. Abses dapat pula berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan medula spinalis dan mengakibatkan paraplegia Pott yang disebut paraplegia awal. Paraplegia awal selain karena tekanan abses dapat juga disebabkan oleh kerusakan medula spinalis akibat gangguan vaskuler. Namun keadaan ini sangat jarang ditemukan pada tuberkulosis karena merupakan proses kronik sehingga telah membentuk pembuluh darah kolateral. Paraplegia dapat juga disebabkan oleh tuberkulosis pada medula spinalis.
  • 18. 2.3.2. Manifestasi Klinis Secara klinik gejala spondilitis tuberkulosis hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari. Pasien biasanya anak-anak, dengan keluhan utama berupa nyeri punggung atau nyeri pinggang bawah. Pada umumnya nyeri meningkat pada malam hari, makin lama makin berat, terutama pada pergerakan. Pada pemeriksaan fisik tulang belakang dapat ditemukan kifosis (gibbus), abses retroperitoneal atau abses inguinal. Selain itu, dapat ditemukan gangguan medula spinalis berupa paresis dan gangguan sensibilitas. Gejala awal paraplegia pada tuberkulosis tulang belakang dimulai dengan keluhan kaki terasa kaku atau lemah, atau penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai dengan penurunan daya kontraksi otot tungkai dan peningkatan tonusnya. Kemudian terjadi spasme otot fleksor dan akhirnya kontraktur. Pada permulaan, paraplegi terjadi karena udem sekitar abses paraspinal, tetapi akhirnya karena kompresi. Karena tekanan timbul terutama dari depan, gangguan pada paraplegia ini umumnya terbatas pada traktus motorik. Paraplegia kebanyakan ditemukan di daerah torakal dan bukan lumbal, karena kanalis lumbalis agak longgar dan kauda ekuina tidak mudah tertekan. Berdasarkan defisit neurologisnya, Frankel mengklasifikasikan spondilitis tuberkulosis menjadi beberapa tipe, yaitu: Frankel A (complete paraplegia) Frankel B (preserved sensation) Frankel C (useless motor) Frankel D (useful motor) Frankel E (normal)
  • 19. 2.3.3. Diagnosis Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan laju endap darah meningkat, sedangkan kadar hemoglobin rendah. Pemeriksaan imunologi dengan uji tuberkulin dapat membantu menegakkan diagnosis. Untuk melakukan pemeriksaan bakteriologis, dapat dilakukan pungsi abses atau dari debris yang didapat melalui pembedahan. Diagnsosis dapat dipastikan dengan aspirasi pus paravertebra, yaitu dengan melakukan pemeriksaan mikroskopik untuk menemukan basil tuberkulosis serta ditanam di media agar (guinea pig). Sensitivitas basil tuberkulosis terhadap obat-obat antituberkulosis harus diperiksa. Jaringan yang diperoleh baik melalui biopsi tertutup atau biopsi terbuka saat pembedahan dapat menunjukkan gambaran histologi infeksi tuberkulosis yang khas, termasuk histiosit dan giant cells. Pada pemeriksaan rontgen stadium awal ditemukan lesi osteolitik pada pars anterior korpus vertebra, osteoporosis regional dan penyempitan diskus intervertebralis. Sementara pada stadium lanjut ditemukan destruksi pars anterior korpus vertebra yang menyebar ke vertebra dan gambaran bayangan otot psoas yang melebar karena adanya abses psoas ataupun bayangan paravertebra karena terbentuknya abses paravertebra. Pada CT Scan dan MRI, gambaran di atas akan tampak lebih jelas. CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, sklerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang. CT Scan juga dapat mendeteksi lebih awal serta lebih efektif untuk menegaskan bentuk dan kalsifikasi dari abses jaringan lunak. MRI baik untuk mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang belakang, menunjukkan adanya penekanan saraf, serta membedakan spondilitis tuberkulosis dari spondilitis piogenik dari gambaran absesnya. 2.3.4. Tata Laksana Tujuan penatalaksanaan tuberkulosis pada vertebra ini adalah untuk menghilangkan kuman penyebab dan mencegah deformitas dan komplikasi paraplegi. Terapi konservatif berupa istirahat serta diet tinggi kalori dan protein. Tuberkulostatik
  • 20. diberikan untuk mengatasi sumber infeksinya. Pemberian tuberkulostatik dilakukan sebelum, sewaktu, dan sesudah pembedahan untuk mencegah kekambuhan. Selain itu, perlu dilakukan upaya pencegahan untuk menghindari dekubitus serta kesulitan miksi dan defekasi. Tindakan pembedahan dilakukan setelah 3 minggu pemberian tuberkulostatik. Terapi bedah dilakukan untuk menghilangkan pus dan sequestra, serta untuk menggabungkan segmen-segmen vertebra yang terkena, terutama bagian anterior dengan menggunakan autogenous bone grafts. Biasanya dilakukan bedah kostotransversektomi, berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa atau kortikospongiosa. Tulang ini sekaligus berfungsi menjembatani vertebra yang sehat, yaitu di atas dan di bawah yang terkena tuberkulosis. Pada paraplegia, terapi ini dilakukan untuk dekompresi medula spinalis. Disamping itu, akhir-akhir ini dilakukan tindakan stabilisasi posterior tulang belakang untuk koreksi deformitas. Di negara dimana fasilitas pembedahan masih kurang, dapat dilakukan terapi alternatif dengan kemoterapi antituberkulosis jangka panjang dikombinasikan dengan spinal brace atau cast. 2.3.5. Komplikasi Komplikasi yang paling serius dari spondilitis tuberkulosis adalah paraplegia (paraplegia Pott), yang dapat terjadi di awal atau akhir perjalanan penyakit. Paraplegia of active disease muncul lebih cepat, terjadi karena penekanan ekstradural (pus, sequestra, sequestrated intervertebral disc) atau keterlibatan langsung medulla spinalis oleh jaringan granulasi. Paraplegia of healed disease selalu muncul lebih lambat, terjadi karena perluasan tulang yang mempengaruhi kanalis spinalis atau fibrosis jaringan granulasi. Mielografi atau MRI dapat membantu membedakan paraplegia tipe tekanan (dapat diatasi dengan pembedahan) dengan paraplegia karena invasi ke dura dan medulla spinalis.
  • 21. Paraplegia yang terjadi karena penekanan selama perjalanan penyakit tuberkulosis sendiri relatif merupakan suatu kegawatan yang harus diatasi dengan pembedahan dekompresi medula spinalis dan akar-akar saraf. Komplikasi yang lebih jarang adalah ruptur abses paravertebra torakal kedalam pleura yang menyebabkan empiema tuberkulosis. Di regio lumbal, abses dapat masuk ke otot iliopsoas dan menyebar sebagai abses psoas, yang merupakan salah satu contoh abses dingin.
  • 22. BAB III ILUSTRASI KASUS Anamnesis dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2014 Identitas Nama : Nn. N TTL : 13 Agustus 1985 Usia : 27 tahun Pekerjaan : Karyawan pabrik Status : Belum menikah Agama : Islam Suku : Batak Keluhan Utama Sakit kepala yang memberat sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh sakit kepala yang semakin memberat sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri kepala dirasakan hilang timbul. Sakit kepala awalnya tidak terlalu berat (VAS = 2), dengan durasi 1 kali sehari selama 2 jam. Semakin lama sakit kepala semakin berat dan semakin sering. Sampai sekitar satu bulan smrs, sakit kepala sangat berat (VAS = 9), terjadi 3 kali sehari, dengan durasi 2 jam dan sangat mengganggu aktivitas. Lokasi sakit kepala di sebelah kiri, yang kadang berpindah ke bagian depan. Nyeri kepala seperti ditekan dan ditusuk-tusuk. Nyeri kepala timbul tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Nyeri kepala tidak lebih berat bila di tempat silau atau keadaan bising. Mual muntah disangkal.
  • 23. Enam minggu smrs, pasien mengeluh demam yang naik turun namun tidak terlalu tinggi. Pasien juga mengeluhkan batuk, dahak jarang, keringat malam positif, batuk darah disangkal, mual muntah disangkal, lemas positif, penurunan berat badan sebesar 12 kg dalam 2 bulan terakhir. Orang tua pasien juga mengatakan pasien sering bingung dan melamun. Empat minggu smrs, pasien mengalami kejang ketika mau ke WC. Kejang kaku, langsung pada seluruh tubuh, tidak mencong ke salah satu sisi, tidak sadar, dan terjadi dengan durasi sekitar 3 menit. Pasien baru sadar sekitar 1 jam kemudian. Setelah kejang, pasien tidak dapat BAK dan BAB, dan kaki lemas tidak dapat berdiri. Pasien merasakan kelemahan pada kedua kaki, dan tangan kanan. Pasien juga merasakan baal dan dan kesemutan pada keempat ekstremitas. Pasien juga mengalami bicara pelo. Pasien juga mengeluh nyeri pada pinggang. Pandangan ganda disangkal, gangguan pendengaran disangkal, berdenging disangkal, gangguan penciuman disangkal, kesulitan menelan disangkal. Kemudian pasien dirawat di RSUD BK sekitar 4 minggu. Dipasang selang kateter, pasien dapat BAK. Selama perawatan pasien tidak lagi mengalami kejang. Saat perawatan, pasien mengalami kesulitan mengutarakan sesuatu namun sebenarnya mengerti apa yang dikatakan orang lain. Pasien diberikan obat untuk paru yang membuat kencing berwarna merah. Dokter mengatakan bahwa pasien mengalami bisul di otak dan akan dilakukan MRI. Kemudian pasien dirujuk di RSBK. Saat datang ke RSBK, pasien masih mengeluhkan lemah pada kedua kaki. Kesemutan pada keempat ekstremitas.
  • 24. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Pasien belum pernah menggunakan Obat Anti Tuberkulosis sebelumnya. Hipertensi disangkal, DM disangkal, Stroke disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga Keluarga pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat sakit TB pada keluarga disangkal, hipertensi disangkal, DM disangkal, stroke disangkal. Riwayat Sosial Pasien bekerja sebagai karyawan pabrik di daerah dekat dengan rumah pasien. Pemeriksaan Fisik Status Generalis Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Kompos mentis Tekanan Darah : Kanan : 124/76 mmHg Kiri: 128/78 mmHg Frekuensi Nadi : 99x/menit, isi cukup, teratur Napas : 18x/menit, abdominotorakal, dalam, teratur Suhu : 36,40C Kulit : Coklat, tidak tampak ada bekas luka Mata : Normal Kepala : Normocephal, tampak benjolan difus leher depan dan belakang sebelah kiri, serta benjolan seukuran koin di dahi sebelah kanan Rambut : Rambut hitam, kuat, persebaran merata Wajah : Simetris Mulut : oral hygiene baik Leher : terdapat benjolan di sebelah leher kiri, KGB tidak membesar
  • 25. Jantung : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, gallop negatif, murmur negatif Paru : Bunyi nafas vesikuler, rhonki negatif/negatif, wheezing negatif/negatif Abdomen : Datar, lemas, nyeri tekan negatif, bising usus + normal, nyeri ketok CVA negatif/negatif Punggung : deformitas negatif Ekstremitas : Akral hangat, edema negatif/negatif Status Neurologis Skala Koma Glasgow : E4 M6 V5 Pupil Ukuran : 3 mm/3 mm Bentuk : Bulat/Bulat Refleks Cahaya Langsung : +/+ Refleks Cahaya Konsensual : +/+ Konvergensi : +/+ Isokorik : Ya Tanda Rangsang Meningeal Kaku Kuduk : negatif Bruzinsky I : negatif Bruzinsky II : negatif Laseque : > 70o / > 70o, Nyeri negatif/negatif Kernique : > 135o / > 135o, Nyeri negatif/negatif Saraf Kranialis I. N. I : Anosmia bilateral II. N. II : Visus : > 6/60 / >6/60
  • 26. Lapang Pandang : Sama dengan pemeriksa Warna : Baik / Baik III. N. III, IV, dan VI : Kelopak Mata : Normal Kedudukan Bola Mata : Normal Gerak Bola Mata : N. III : normal/normal N. IV : normal/normal N. VI : normal/normal IV. N. V Sensoris : Normal Motorik : Normal Refleks Kornea : Normal V. N. VII Motorik otot wajah : Normal Kelenjar air mata : Normal Kelenjar liur : Normal Pengecapan lidah : Normal Sensorik retro auricular : Normal VI. N. VIII Cochlearis Tes berbisik/gesekan : +/+, Kanan = Kiri Rhinne : Konduksi tulang dan udara normal Webber : Tidak ada lateralisasi Schwabach : Sama dengan pemeriksa Tinnitus : Tidak ada Vestibularis Romberg Test : Normal
  • 27. Romberg Test dipertajam : Normal Nistagmus : Normal Fukuda Test : Normal Tandem Gait Test : Normal VII. N. IX, X Arkus faring : Normal Uvula : Normal Tes Menelan : Normal Refleks Muntah : Normal Disfonia : Normal (riwayat disfonia sebelumnya) VIII. N. XI M. Trapezius : Normal M. Sternocleidomastoideus : Normal XI. N. XII Saat lidah istirahat : Normal Saat lidah dijulurkan : Normal Kekuatan otot lidah : Normal Disarthria : Tidak ada Motorik Ekstremitas atas : Tonus : eutoni/eutoni Trofi : atrofi negatif/atrofi negatif Kekuatan : -Lengan atas : +5/+5 -Lengan bawah : +5/+5 -Pergelangan tangan : +5/+5 -Jari tangan : +5/+5
  • 28. Ekstremitas bawah : Tonus : eutoni/eutoni Trofi : atrofi negatif/atrofi negatif Kekuatan : -Tungkai atas : +4/+4 -Tungkai bawah : +4/+4 -Pergelangan kaki : +4/+4 -Jari kaki : +4/+4 Refleks Fisiologis : Biceps : +2/+2 Triceps : +2/+2 Patella : +2/+2 Achilles : +2/+2 Refleks Patologis Hoffman-tromer : negatif/negatif Babinsky : negatif/negatif Chaddock : negatif/negatif Schaeffer : negatif/negatif Oppenheim : negatif/negatif Gordon : negatif/negatif Mendel Bechterew : negatif/negatif Rosollimo : negatif/negatif Patrick : negatif/negatif Kontra Patrick : negatif/positif (ada pengapuran) Sensorik : Eksteroseptif
  • 29. Raba : normal Nyeri : normal Suhu : normal Propioseptif Sikap : normal Getar/Vibrasi : normal Posisi : normal Koordinasi Disdiadokinesis : normal Pass-pointing test : normal Knee-to-heel test : normal Fungsi Luhur: Berbicara : baik Orientasi waktu : baik Orientasi orang : baik Orientasi tempat : baik Nilai MMSE = 30
  • 31. Diagnosis 1. Meningoensefalitis susp TB 2. Spondilitis TB
  • 32. Rencana Terapi 1. Pemeriksaan CSS 2. Rifampisin 1 x 450 mg 3. INH 1 x 450 mg 4. Pirazinamid 1 x 1000 mg 5. Etambutol 1 x 1000 mg 6. B6 3 x 10 mg p.o. 7. Tramadol 3 x 450 mg p.o. k/p
  • 33. BAB IV PEMBAHASAN KASUS Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala. Onset nyeri kepala 3 bulan yang lalu dan bertambah berat.selain itu, frekuensi nyeri kepala pasien juga bertambah sering. Dapat dikatakan bahwa nyeri kepala pasien bersifat kronik, progresif. Hal ini berbeda dengan karakteristik nyeri kepala primer yang cenderung memiliki intensitas dan frekuensi yang menetap. Selain itu, keluhan juga disertai dengan defisit neurologik berupa: 1. Kejang 2. Kelemahan ekstremitas 3. Rasa baal dan kesemutan 4. Kesulitan BAK dan BAB Hal ini memperkuat bukti untuk nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala yang bersifat kronik progresif, dapat diduga merupakan suatu kelainan infeksi atau neoplasma. Keluhan lain berupa demam dan riwayat batuk, serta riwayat pengobatan OAT sebelumnya mengarahkan diagnosis pasien kearah infeksi. Apabila pasien dicurigai mengalami infeksi intrakranial, maka pasien dilakukan pemeriksaan HIV. Pada pasien, test HIV adalah nonreaktif. Dan pada hasil CT scan menujukan lesi nonfokal. Sehingga diagnosis mengarah kepada penyakit meningoensefalitis TB, meningobakterial, ensefalitis HSV. Infeksi TB yang dialami pasien mengarahkan pasien mengalami meningoensefalitis dengan suspect TB. Pada stadium awal penyakit, manifestasi iritasi meningeal biasanya tidak ditemukan. Gejala yang paling menonjol biasanya sakit kepala, perubahan tingkah laku seperti bungung dan apatis, dan beberapa pasien mengalami kejang. Gejala lain pada pasien yang mendukung kearah ensefalitis adalah demam,
  • 34. cara berjalan yang tidak stabil, kejang, kelemahan otot. Pasien memiliki riwayat kelemahan sisi kanan. Sehingga kemungkinan terdapat lesi pada hemisfer kiri. Saat ini kaki kanan dan kiri mengalami kelemahan yang didugaterjadi pada medula spinalis. Pada pasien dengan riwayat TB, diduga lesi pada vertebra disebabkan oleh spondilitis TB. Hasil CT scan vertebra menunjukan lesi di T12 – L3. Hal ini sesuai dengan predileksi spondilitis, yaitu sering ditemukan pada vertebra T8-L3. Spondilitis TB sering mengenai korpus vertebra. Diagnosis Klinis : nyeri kepala, meningoensefalitis suspek TB, Spodilitis TB Diagnosis Topis : Hemisfer kiri, vertebra torakalis 12 – lumbal 3 Diagnosis Patologis : Lesi perkijuan Diagnosis Etiologis : infeksi TB
  • 35. BAB V DAFTAR PUSTAKA 1. Mumenthaler M, Mattle H, editor. Neurology. 4th Ed. Philadelphia: Thiemer Publishing; 2004. (841-62) 2. Wilkinson, Lennox G. Essential Neurology. 4th Ed. New York: Blackwell Publishing; 2007. (213-20) 3. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s Principles of Neurology. 8th Ed. San Fransisco: McGraw-Hill Companies; 2008. 4. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. h.11 5. Tunkel, A. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis. Clinical Infectious Disease. Infectious Disease Society of America. Phyladelpia. 2004. 6. Ravighone M, O’Brien R. Tuberculosis. Dalam : Harrison’s Principles of Internal Medicine Edisi 16. New York: McGraw-Hill. 1998. h. 1004 – 1014. 7. Linssen WHJP, Gabreels FJM, Wevers RA. Infective acute transverse myelopathy. Report of two cases. Neuropediatrics 1991;22:107-9. 8. Kalita J, Misra U.K: Neurophysiological studies in acute transverse myelitis. J-Neurol. 2000 Dec; 247(12): 943-8. 9. Altrocchi P.H. Acute transverse myelopathy. Arch Neurol.1963:9;111-9.