1. 1
Taqiyyah: “Topeng Kemunafikan Kaum Syi’ah?”
Abstrak
Ada kiriman tulisan teman saya yang tadi malam saya diskusikan
bersama para sahabat saya. Simpulan pentingnya adalah: “Itulah
manhaj yang perlu kita apresiasi dengan cara yang lebih proporsional”.
Hentikan budaya ‘saling-menghujat’, dan ciptakan dialog yang jujur dan
terbuka. Kita boleh saja berbeda pendapat, sementara itu kita pun harus
menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapat kita.
Kita boleh saja bersikap dengan keyakinan kit sendiri, dan orang lain
pun boleh bersikap dengan keyakinannya. Jangan pernah kita
paksanakan pendapat kita pada pada orang orang lain, karena kita pun
tidak pernah ingin dipaksa oleh orang lain untuk berpendapat sama
denganm mereka. Semoga Allah meridhai semua upaya kita untuk
menggapai hidayahNya. Amien.
Prolog:
“Taqiyyah, Rukun Firqah Syi’ah”
Aqidah Taqiyyah termasuk Aqidah Syi’ah, oleh kaum sunni
diasumsikan menyelisihi Islam. Tetapi, bagi kaum Syi’ah, aqidah ini
menempati kedudukan yang tinggi dalam keberagamaan mereka.
Menurut mereka, para nabi dan rasul pun diperintahkan untuk
melakukannya.
Ulama Syi’ah – menurut pelacakan kami -- telah menjelaskan definisi
Taqiyyah ini. Al-Mufîd dalam Tash-hîhul I’tiqâd berkata: “Taqiyyah
adalah merahasiakan al-haq (keyakinan Syi’ah, red) dan menutupi diri
dalam meyakininya, berkamuflase di hadapan para penentang (orang-
orang yang berseberangan dalam keyakinan) dan tidak mengusik mereka
dengan apa saja yang akan menyebabkan bahaya bagi agama dan dunia
(orang-orang Syi’ah).
Yusuf al-Bahrâni (tokoh Syi’ah abad 12 H) berkata, “Maksudnya
menampakkan kesamaan sikap dengan para penentang dalam apa yang
mereka yakini karena takut kepada mereka.”
Al-Khumaini berkata: “Taqiyyah artinya seseorang mengatakan sesuatu
yang bertentangan dengan realita atau melakukan sesuatu yang
2. 2
berseberangan dengan aturan syariah guna menyelamatkan nyawa,
kehormatan atau kekayaannya.”1
Melalui tiga definisi Taqiyyah dari tiga Ulama besar Syi’ah dapat
disimpulkan bahwa:
1. Makna Taqiyyah adalah seseorang menampakkan sesuatu yang
berbeda dengan hatinya di hadapan orang lain
2. Dipraktikkan di hadapan para penentang mereka sehingga
seluruh kaum Muslimin masuk dalam kategori ini (para
penentang mereka).
3. Taqiyyah dilakukan dalam urusan yang berkaitan dengan praktik
agama orang-orang yang berseberangan dengan mereka.
4. Taqiyyah dilakukan karena rasa takut, ingin memelihara agama,
jiwa dan harta.2
Pelacakan:
“Beberapa Riwayat Tentang Kedudukan Taqiyyah”
Terdapat banyak riwayat versi Syi’ah dalam kitabkitab induk mereka
yang menunjukkan tingginya kedudukan Aqidah Taqiyyah ini.
Al-Kulaîni (seorang Ulama Syi’ah) meriwayatkan perkataan Ja’far ash-
Shâdiq yang berbunyi:
Taqiyyah adalah agamaku dan agama moyangku. Tidak ada keimanan bagi orang
yang tidak melakukan Taqiyyah
Abu ‘Abdillâh berkata: “Sesungguhnya Sembilan persepuluh dari agama
terdapat dalam Taqiyyah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak
berTaqiyyah” [al-Khishâl, Ibnu Bâbuyah al-Qummi, 1/25].
Al-Bâqir berkata: “Akhlak terbaik para imam dan orang-orang
terkemuka Syi’ah adalah berTaqiyyah.” [al-Ushûl al-Ashîlah, hal. 324].
1
Atas dasar itu, adu argumentasi atau debat dengan mereka sulit
akan membuahkan hasil. Karena mereka akan menyangkal segala yang
dialamatkan kepada mereka.
2
Badzlul Majhûd, 2/638
3. 3
Dalam al-Mahâsin, (sebuah rujukan Syi’ah) diriwayatkan dari Habîb bin
Basyîr dari Abu ‘Abdillâh, ia berkata: “Demi Allah Azza wa Jalla, tidak
ada di muka bumi ini yang lebih aku cintai daripada Taqiyyah. Habîb,
orang yang melakukan Taqiyyah, akan diangkat derajatnya oleh Allah
Azza wa Jalla. dan orang yang tidak melakukan Taqiyyah, Allah ‘Azza
wa Jalla akan menghinakannya.” [al-Mahâsin: 259].
Secara nyata, mereka memberlakukan Aqidah Taqiyyah di seluruh
kondisi. Dalam ibadah umpamanya; tidaklah mereka mengerjakan shalat
dengan kaum Muslimin kecuali dalam rangka menjalankan Aqidah
Taqiyyah, yang dalam bahasa lain adalah untuk memperdayai dan
menipu kaum Muslimin agar perbedaan tajam yang ada pada keyakinan
Syi’ah tidak tampak.3
Dalam masalah bersumpah, Ulama mereka memperbolehkan
mengeluarkan sumpah-sumpah dusta, tanpa perlu membatalkan atau
membayar kafarahnya.
Analisis:
“Kebatilan Prinsip (Aqidah)Taqiyyah”
Pernyataan-pernyataan di atas sudah bukan barang aneh lagi bagi Ahli
Sunnah. Pasalnya, landasan agama Syi’ah memang adalah dusta dan
tipu-daya. Semua yang mereka yakini tidak berasaskan dalil-dalil syar’i.
Pijakan mereka hanyalah kemunafikan dan kebohongan.
Syaikh Dr. Ibrâhim ar-Ruhaili Hafizhahullâh mengomentari riwayat-
riwayat di atas dengan berkata: “Riwayat-riwayat itu menunjukkan
bagaimana kedudukan Taqiyyah dalam pandangan mereka dan
derajatnya yang agung dalam agama mereka. Sebab Taqiyyah menurut
Syi’ah termasuk prinsip agama yang terpenting. Tidak ada keimanan
sempurna bagi orang yang tidak berTaqiyyah. Orang yang meninggalkan
Taqiyyah, laksana meninggalkan shalat. Bahkan Taqiyyah itu melebihi
seluruh rukun Islam. Taqiyyah mewakili sembilan persepuluh agama
3
Syaikh Ibrâhim ar-Ruhaili berkata: “Sebenarnya kami tidak
mengetahui apakah perbedaan antara mereka dan kaum Munafiqin.
Sebab, dahulu kaum Munafiqin mengerjakan shalat dan menampakkan
diri di hadapan kaum Muslimin dengan amal shaleh.” (Badzlul Majhûd,
2/246).
4. 4
mereka. Sementara rukun-rukun Islam dan kewajiban-kewajiban lain
hanya terletak pada sepersepuluh bagian yang tersisa saja.”4
Syaikhul Islam rahimahullah memaparkan: “Sebagaimana (telah
dimaklumi), mereka orang yang paling buta terhadap ayat-ayat al-
Qur`ân, hadits-hadits dan atsar dan paling tidak tahu bagaimana cara
memilah-milah antara dalil yang shahîh dan yang lemah. Pijakan mereka
dalam dalildalil naqli adalah sejarah yang terputus sanadnya. Bahkan
kebanyakan riwayat itu berasal dari orang-orang yang telah dikenal akan
kedustaan dan bahkan juga kekufurannya. Ulama mereka berpegangan
pada riwayat seperti Abu Mikhnaf, Luth bin Yahya, Hisyâm bin
Muhammad bin Sâib dan orang-orang lainnya yang kedustaannya sudah
tidak asing lagi di kalangan Ulama (Islam). Anehnya, orangorang seperti
mereka itu merupakan orang-orang itu penting bagi Syi’ah dalam urusan
riwayat…”
Menampakkan diri dengan sesuatu yang tidak diyakini dan dikerjakan
oleh seseorang bukanlah sifat kaum mukminin. Tetapi, bagian dari
karakter kaum Munafiqin. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka
mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada setan-setan
mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu.
Kami hanyalah berolok-olok.” [al-Baqarah/2: 14]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
4
Dan Syaikh Dr. Abdul Azîz ash-Shâ’idi, dosen Jâmiah Islamiyyah
Madinah pernah menceritakan bahwa tokoh agama Syi’ah pernah
meminta jamaahnya tetap berada di Masjidil Haram untuk mengerjakan
shalat agar tidak menimbulkan kecurigaan orang. Sebab mereka di waktu
adzan dikumandangkan justeru keluar dari masjid. Ketika menimbulkan
kegaduhan dan pandangan sekeliling mengarah kepada mereka, sang
tokoh pun melarang jamaah keluar masjid dan tetap menjalankan shalat
bersama imam (melakukan Taqiyyah).
5. 5
Mereka (orang-orang yang munafik) mengatakan dengan mulutnya apa yang
tidak terkandung dalam hatinya. [QS Âli ‘Imrân/3: 167]
Epilog:
“Menyikapi Prinsip Taqiyyah Syi’ah”
Setiap orang yang mempunyai akal akan memahami konsekuansi
Aqidah Taqiyyah. Sebab, pada hakikatnya, Taqiyyah merupakan intisari
dari kemunafikan dan kebohongan, yang dilembagakan, yang pada
saatnya memang bisa saja dimaklumi. Tetapi menjadi ‘naif’ bila
dilestarikan, bukan dengan pertimbangan darurat. Akibatnya, tidak
tampak perbedaan antara seorang mukmin dan kafir, orang shalih dan
orang jelek, orang jujur dan orang dusta, seorang rasul dan dukun.
Selanjutnya, prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya akan lenyap.
Sebab, Syi’ah mengharuskan seseorang untuk menggunakan Taqiyyah
dalam segala kondisi. Menjadi seprti seorang Yahudi saat berinteraksi
dengan orang Yahudi, menjadi seolah-olah Nashrani saat bersama orang
Nashrani dan seterusnya. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkirri
bahwa sebagian dari mereka – dengan sangat yakin -- menganggap diri
sebagai kaum mukminin dan menilai orang di luar mereka sebagai
orang-orang ‘murtad dan munafik’. Padahal – sebenarnya, dengan sikap
Taqiyyahnya-- – merekalah yang justeru lebih pantas diasumsikan
dengan sebutan itu, sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah [Minhâjus Sunnah, 1/85, 69]
Dalam al-Qur’ân, berbicara dengan lisan yang berbeda dengan isi hati
termasuk karakter kaum munafiqin, berdasarkan firman Allah Azza wa
Jalla:
ۗ
Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam
hatinya. dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui
apa yang mereka sembunyikan. [QS Âli ‘Imrân/3: 167]
Itulah tulisan yang dikirim oleh teman saya. Dan saya bersama dengan
para sahabat saya sudah menindaklanjuti dengan diskusi ‘ringan’ namun
saya pandang cukup objektif dan terbuka. Dan sikap saya “tegas”: “Lanâ
ra’yunâ, wa lakum ra’yukum”, dan tidak perlu saling-menghujat.
6. 6
Wallâhu A’lam bish-Shawâb.
Referensi:
1. Badzlul Majhûd Fî Itsbâti Musyâbahatir Râfidhah bil Yahûd, Dr.
Ibrâhîm ar-Ruhaili, Maktabah Ghurabâ‘ Th. III 1419 H.
2. Tanâquhu Ahlil Ahwâ wal Bida’ Dr. Afâf binti Hasan bin
Muhammad Mukhtâr Maktabar ar-Rusyd (1/213-215).
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Ustadz Abu Minhal, dalam majalah As-Sunnah
Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858197, yang dikutip dalam
https://abangdani.wordpress.com/2012/03/26/taqiyyah-topeng-kemunafikan-
kaum-Syi’ah/#more-8879, dalam almanhaj.or.id)