1. 1
Riyâdhah
Ibnu Qayyim al-Jauziyah – dalam kitabnya Madârijus Sâlikîn –
menyatakan bahwa salah satu di antara persinggahan iyyâka na'budu wa iyyâka
nasta'în ialah: “riyâdhah, yang artinya melatih jiwa pada kebenaran dan
keikhlasan. Sementara itu al-Harawi – dalam kitabya Manâzilus Sâirîn –
berpendapat bahwa "riyâdhah artinya melatih jiwa untuk menerima kebenaran."
Riyâdhah – dalam hal ini -- bisa mengandung dua pengertian:
Pertama, melatihnya untuk menerima kebenaran, jika kebenaran ini
disodorkan kepadanya, yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan maupun
kehendaknya. Apabila kebenaran ini ditawarkan kepadanya, maka dia pun
langsung menerimanya.
Kedua, menerima kebenaran dari orang yang menawarkan kepadanya.
Dalam hal ini Allah berfirman,
ۙ
"Dan, orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka
itulah orang-orang yang bertakwa." (QS az-Zumar/39: 33).
Kebenaranmu saja tidak cukup, tapi harus ada kebenaranmu dan
pembenaranmu terhadap orang-orang yang benar. Sebab sebenarnya banyak
orang yang benar, tetapi mereka tidak mau membenarkan karena takabur,
dengki atau sebab lainnya.
Riyâdhah terdiri dari tiga level (tingkatan):
1. Riyâdhah orang awam, yaitu mendidik akhlak dengan ilmu,
membersihkan amal dengan keikhlasan dan memperbanyak hak dalam
mu'amalah.
Mendidik akhlak dengan ilmu artinya menata dan membersihkan akhlak
sesuai dengan pranata ilmu, sehingga seorang hamba tidak bererak, lahir
maupun batinnya kecuali dengan pranata ilmu, sehingga semua
gerakannya itu selalu ditimbang dengan timbangan syariat.
Membersihkan amal dengan keikhlasan artinya membebaskan semua
amal dari pendorong untuk kepentingan selain Allah yang mengotori-
nya. Ini merupakan istilah lain dari menyatukan kehendak.
Memperbanyak hak dalam mu'amalah artinya memberikan hak Allah
dan hak hamba secara sempurna seperti yang diperintahkan. Jika tiga
perkara ini dirasakan berat, maka pelaksanaannya merupakan riyâdhah.
Apabila sudah terbiasa, maka ia akan menjadi akhlak dan perilaku.
2. Riyâdhah orang-orang khusus, yaitu dengan mencegah perpisahan, tidak
menoleh ke tahapan yang telah dilewatinya dan membiarkan ilmu
mengalir terus.
2. 2
Mencegah perpisahan artinya memotong sesuatu yang memisahkan
hatimu dari Allah secara keseluruhan, menghadap kepada-Nya secara
utuh, hadir bersama-Nya dengan segenap hati dan tidak menoleh kepada
selain-Nya.
Tidak menoleh ke tahapan yang telah dilewati artinya tidak menganggap
ilmu yang dimiliki sudah cukup dan baik, tetap mencari tambahan,
merasa khawatir andaikata kedudukan dirinya justru menjadi
penghambat untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Yang sudah ada
harus dijaga, dan seluruh kekuatannya harus digunakan untuk mencapai
tingkatan dan tahapan yang lebih tinggi lagi. Siapa yang tidak
mempunyai tekad untuk maju terus, berarti dia sedang mundur tanpa
disadarinya. Sebab tabiatnya tidak mengenal istilah berhenti di tempat.
Yang ada adalah maju ke depan ataukah mundur ke belakang. Orang
yang benar-benar melaku-kan perjalanan tidak akan menoleh ke
belakang dan tidak ingin mendengar panggilan kecuali yang dating dari
arah depan dan bukan dari arah belakang.
Membiarkan ilmu mengalir terus artinya pergi bersama orang yang
mengajak untuk mencari ilmu, kemana pun perginya dia ikut di
belakangnya, ke mana pun berlari, dia tetap mengikuti. Hakikatnya
adalah pasrah kepada ilmu dan tidak menentangnya, rasa maupun
keadaan.
Teruslah berjalan bersama ilmu ke mana pun ia pergi. Tapi yang wajib
dilakukan adalah mempersatukan ilmu dengan keadaan dan
membuatnya mengatur keadaan serta tidak berbenturan. Tentu saja
semua ini sulit dilakukan kecuali orang-orang yang benar-benar memiliki
tekad yang kuat dan benar, karena itulah yang demikian ini disebut
riyâdhah (latihan). Selagi jiwa dilatih terus dan dibiasakan, maka lama-
kelamaan akan berubah menjadi akhlak.
3. Riyâdhah orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus
ialah dengan membebaskan kesaksian, naik ke tingkat penyatuan,
menolak penentangan dan memutuskan segala bentuk penukaran.
Membebaskan kesaksian mengandung dua pengertian:
Membebaskannya agar tidak menoleh ke yang lain, dan
membebaskannya agar tidak perlu melihatnya. Sedangkan naik ke
tingkat penyatuan artinya meninggalkan makna-makna perpisahan lalu
beralih ke penyatuan dzat. Menolak penentangan artinya apa yang
bertentangan dengan salah satu kehendaknya atau kehendak Allah.
Memutuskan segala bentuk penukaran artinya membebaskan mu'amalah
dari kehendak untuk mendapatkan pengganti atau imbalan. Dengan kata
lain, menjadikan Allah sebagai sesembahan, sekalipun yang
menyembah-Nya tidak mendapat imbalan apa-apa, karena memang
menurut Dzat-Nya Allah layak untuk disembah dan tidak perlu
menuntut atau meminta imbalan dari-Nya.
Namun ada yang berpendapat, memperhatikan imbalan ini sangat
penting bagi orang yang beramal. Jadi yang menjadi permasalahan
adalah perhatian terhadap imbalan ini dan kejelasannya. Orang yang
3. 3
mencintai secara tulus dan tidak peduli terhadap imbalan, ternyata justru
mengharapkan imbalan yang lebih besar dan dia mengejarnya.
Imbalan yang lebih besar ini adalah kedekatan dengan Allah, melakukan
perjalanan hingga sampai di sisi-Nya, tidak menyibukkan diri dengan
hal-hal selainNya, menikmati cinta dan kerinduan untuk bersua dengan-
Nya. Ini semua merupakan imbalan yang diharapkan orang-orang yang
khusus mengharapkannya dan sekaligus merupakan tujuan mereka.
Tidak ada yang tercela dalam hal ini. Bahkan ibadah mereka yang paling
sempurna ialah jika perhatian mereka terhadap imbalan ini semakin
besar.
Memang meminta imbalan yang berkisar di kalangan makhluk, berupa
kedudukan, harta, kekuasaan, tempat tinggal dan hal-hal lain yang
serupa dengan ini merupakan sikap yang tercela. Terlebih lagi jika
memang hanya itulah tuntutannya.
Tapi jika tuntutan mereka adalah Dzat Yang Mahaagung, kedekatan
dengan-Nya, kenikmatan cinta dan kerinduan bersua dengan-Nya, maka
tidak ada yang tercela dalam ubudiyah ini dan tidak ada yang dianggap
kurang. Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
"Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus kepada-
Nya, karena Firdaus itu merupakan pertengahan surga dan surga yang paling
tinggi. Di atasnya ada 'Arsy Allah Yang Maha Pengasih, dan dari sana sungai-
sungai surga memancar." (HR ‘Amr bin Abi ‘Ashim adh-Dahhak asy-
Syaibani dari Abu Hurairah, As-Sunnah li Ibn Abî ‘Āshim, Juz I, hal. 257,
hadits no. 581)
Sebagaimana yang diketahui, surga Firdaus ini adalah tempat orang-
orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Memohon agar
termasuk golongan mereka bukanlah sesuatu yang tercela dalam
‘ubudiyah.