1. 1
Menyoal Nikah Sirri
Oleh: Muhsin Hariyanto
Mas, Kenapa sekarang ini orang ribut soal nikah sirri, padahal, apa
yang dikerjakan Nabi kita (Muhammad saw) dan para sahabatnya sama
dengan apa yang tengah ‘diributkan’ orang? Itulah pertanyaan para
tetangga saya, ketika mencermati kehebohan berita pernikahan ‘sirri’
mengenai seorang pejabat publik di negeri kita tercinta baru-baru ini.
Saya, yang kebetulan juga sedang mencermati kasus-kasus serupa,
menjawab spontan: “tak ada yang salah dalam nikah sirri, selain ruh (spirit)-
nya yang perlu diselaraskan”. Kalau nikah sirri sekadar dimaknai sebagai
pernikahan yang tak tercatat, atau sekadar belum tercatat secara
administratif di KUA (Kantor Urusan Agama), Nabi saw dan para
sahabatnya pun tak pernah memiliki bukti catatan administratif pernikahan
mereka, karena – pada saat itu – belum ada lembaga yang berkepentingan
dan dianggap penting untuk diadakan, karena pertimbangan ‘mashlahat’-
nya yang belum memerlukan. Tetapi, pada saat ini, karena pertimbangan
mashlahat ‘ke-kini-an dan ke-di sini-an’ (waktu dan ruang) yang berbeda,
pencatatan itu bisa jadi sangat diperlukan, bahkan pada waktu dan ruang
tertentu menjadi sesuatu yang tidak bisa tidak ‘harus ada’, sehingga tingkat
kemashlahatannya menjadi bersifat ‘dharûri’ (primer), bukan lagi hajji
(sekunder), apalagi (sekadar) tahsîni (tersier). Sehingga dapat diberlakukan
kaedah fikih: “mâ lâ yatimul wâjibu illâ bihi fa huwa wâjib” (maksudnya:
sesuatu yang menjadi prasyarat-mutlak untuk terwujudnya sebuah
kewajiban, maka prasyarat itu pun harus diadakan, dan hukumnya menjadi
wajib sebagaimana status hukum kewajiban yang tak mungkin terwujud
tanpa prasyarat itu).
Pernikahan itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah sendiri
dalam firmanNya dalam QS an-Nisâ, 4: 21, merupakan: “mîtsâqan ghalîdhan”
(perjanjian yang sangat kokoh).
2. 2
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-
isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Bagaimana mungkin sebuah perjanjian yang sangat kokoh hanya
sekadar dibuat dengan upacara ritual seadanya, dengan menghilangkan
nilai sakralitas ‘upacara pernikahan’ yang ditandai dengan ucapan ‘ijâb-
qabûl’ antara kedua mempelai yang disaksikan oleh sejumlah saksi formal,
maupun non-formal? Lalu, dengan seenaknya sendiri ‘Sang Suami’
menceraikan isterinya yang dinikahinya dengan upacara suci itu dengan
‘pesan singkat’ melalu telepon seluler? Atau, sebaliknya ‘Si Isteri’ meminta
kepada suaminya untuk diceraikan melalui ‘telepon rumah’? Apakah
tindakan yang demikian itu selaras dengan ruh (spirit) pernikahan yang
disebut oleh Allah dengan (sebutan) mîtsâqan ghalîdhan? Sehingga Nabi saw
pun meminta kepada umatnya untuk mempermaklumkannya dengan
kalimat “Aulim walau bi syâtin”, yang kurang lebih bermakna: “meskipun
hanya sekadar dengan menyembelih seekor kambing, pemberitahuan atas
pernikahan muslim-muslimah menjadi sebuah kepentingan yang harus
diperhatikan oleh siapa pun yang telah mengaku sebagai pengikut
Rasulullah saw”
“Selenggarakanlah walimah (upacara pemakluman pernikahan kepada komunitas
yang diperrlukan dan memerlukan), meskipun hanya sekadar dengan (menyembelih)
seekor kambing.”(Hadis Riwayat al-Bukhari dari Anas bin Malik).
Kalau pun di kemudian hari ada persoalan yang dihampiri oleh
kedua mempelai, solusinya tidak harus ‘thalaq’. Karena masih banyak
alternatif yang bisa dipilih oleh mereka, demi kepentingan yang lebih
utama, yang nilainya lebih baik daripada “thalaq’.
Thalaq (atau yang sering disederhanakan maknanya dengan
perceraian), yang saat ini menjadi ‘trend’ para selebritis, yang pada saatnya
juga bisa menjadi ‘virus’ yang menular kepada siapa pun, memang sesuatu
yang bisa disebut halâl. Tetapi, bukankah Rasulullah saw sendiri telah
menyebutnya sebagai ‘abghadhul halâl ‘ilallâh’ (sesuatu yang halal, tetapi
paling dibenci oleh Allah) dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw?
3. 3
“Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak (perceraian)” (Hadis
Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar).
Dan, oleh karena itu ‘thalaq atau yang kemudian disebut talak’,
disebut oleh para ulama sebagai solusi atas persoalan pernikahan yang
paling tidak ‘ideal’, atau dalam ungkapan para budayawan dikatakan
sebagai ‘pilihan terpahit’ di antara pilihan-pilihan pahit lainnya. Sehingga,
‘kita’ – sebagai pengikut Rasulullah saw – harus berupaya seoptimal
mungkin untuk menghindarinya.
Nah, ‘nikah sirri’ yang dilakukan oleh para pelaku pernikahan saat
ini, ternyata rentan berakhir pada talak atau ‘perceraian’ itu, karena tak
kokohnya ‘janji pernikahan‘ yang diucapkan (disebabkan oleh tidak atau
belum tercatatkannya atau terpublikasikannya upacara pernikahan itu), dan
– dalam banyak hal – sering atau tidak jarang berakhir pada sejumlah
‘kemadharatan’ bagi banyak pihak, utamanya bagi kaum perempuan dan
anak-anaknya. Sementara itu, bagi kaum lelaki, memang tidak begitu
dirasakan. Apalagi, ketika pernikahan itu dilakukan dengan niat yang tak
selaras dengan tujuan pernikahan itu sendiri (membangun keluarga
sakinah), maka pernikahan yang dilakukan oleh siapa pun akan menjadi
sebuah bangunan yang sangat rapuh.
Oleh karena itu, kesaksian dari para saksi formal maupun non-formal
menjadi sesuatu yang ditandai dengan upacara publikasi pernikahan
(walîmah al-‘ursy) sangat diperlukan, termasuk di dalamnya ‘kesaksian
tertulis’ dari lembaga formal yang berwenang untuk memberikan
penguatan atas ‘janji-pernikahan’ yang ditandai derngan ucapan ijâb-qabûl
kedua mempelai, tentu saja akan semakin memperkokoh ikatan pernikahan
keduanya, termasuk dalam rangka mengantisipasi dampak negatif yang
bisa muncul di kemudian hari.
Walau pun di masa Nabi saw belum ada ‘lembaga pencatat nikah’,
bukan berarti keberadaan lembaga pencatat nikah pada masa sekarang dan
juga di masa yang akan datang harus dipersoalkan keberadaannya. Bahkan,
dengan pertimbangan mashlahat yang lebih besar, keberadaannya bisa
dianggap sebagai sebuah kepentingan yang tak mungkin diabaikan.
4. 4
Pertaynyaan penting berkaitan dengannya adalah: “Apa susahnya
memublikasikan dan mencatatkan ‘pernikahan’, yang pada akhirnya
‘insyâallâh’ bisa memberi kepastian yang lebih kokoh atas ‘pernikahan’ yang
kita lalukan, dibandingkan dengan tindakan ‘menyembunyikan’ peristiwa
sakral (pernikahan) yang telah kita lakukan dengan penuh kesungguhan,
yang pada akhirnya bisa berdampak negatif bagi siapa pun yang memahami
esensi pernikahan sebagai mîtsâqan ghalîdhan?
Mari, tanpa mengurangi ‘rasa hormat’ pada siapa pun yang berniat
baik dalam tindakan nikah sirri, dalam rangka memeroleh kemashlatan dan
menghindari kemadharatan, kita akhiri segala bentuk pernikahan yang
berpotensi (untuk) berdampak negatif di kemudian hari, dengan melakukan
pernikahan yang ‘terbuka’ dan ‘tercatat’, demi kemashalahatan kita
bersama!
Penulis adalah Dosen Tetap FAI UM Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap
STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta