Tulisan ini membahas tentang semangat berkompetisi secara positif dengan mengutip ayat Al-Quran yang memerintahkan umat Islam untuk saling memajukan kebaikan. Nabi Muhammad dijadikan contoh karena mampu bersaing dengan integritas tinggi tanpa mengusik orang lain. Umat Islam disarankan untuk terus meneladani sifat-sifat positif Nabi dalam menghadapi tantangan, bukan dengan sikap anarkis atau anti-toler
1. Meneladani Dengan Spirit
“Fastabiqû al-Khairât”
Oleh: Muhsin Hariyanto
Setiap orang pasti memiliki keinginan umum yang sama: “menjadi yang
terbaik”, tetapi (setiap orang) tidak diberi instrumen yang (seluruhnya) sama untuk
menjadikan dirinya menjadi yang terbaik. Kesamaan dalam perbedaan inilah bagian
yang memicu hukum kompetisi.
Kompetisi (Competition) – menurut para pakar bahasa -- adalah kata kerja
intransitive, yang berarti tidak membutuhkan objek (sebagai korban) kecuali
ditambah dengan pasangan kata lain seperti against (melawan), over (atas), atau
with (dengan). Tambahan itu merupakan pilihan hidup dan bisa disesuaikan dengan
kepentingan kita. Hasil dari kompetisi adalah kemenangan (winning). Menjadi
pemenang berkat perjuangan (doing the best). Dari sini terlihat, baik kompetisi dan
kemenangan tidak kita temukan indikasi adanya ajaran yang menjadikan orang lain
sebagai objek/kurban.
Perintah Allah dalam al-Quran (QS al-Baqarah, 2: 148 dan QS al-Mâidah,
5: 48) untuk berkompetisi (fastabiqû al-khairât) menunjukkan bahwa, meskipun
berbeda kadar dan jenis keunggulan-kelemahan tetapi semua manusia mempunyai
(baca: diberi) potensi dan kesempatan yang sama oleh Allah, dan selanjutnya diberi
peluang untuk mengembangkan potensi dan memanfaatkan kesempatannya dalam
seluruh perjalanan hidupnya.
Tetapi dengan sikap ‘kufur’ (nikmat)-nya, ada sejumlah manusia yang
terpuruk dalam ketidak-berdayaan, sementara hanya sedikit – dengan sikap
‘syukur’nya -- yang berhasil menggapai keberhasilan.
Bercermin pada diri Nabi, Nabi kita (Muhammad s.a.w.) adalah seorang
yang mampu mensyukuri nikmat Allah. Beliau adalah seorang yang berjiwa besar,
termasuk di dalam upayanya untuk meraih kesuksesan. Dengan seluruh potensi dan
kesempatan yang dimilikinya, Dia selalu ‘bisa’ berjuang untuk menjadi yang terbaik
tanpa mengusik kehadiran orang lain, bahkan Muhammad Husain Haikal
menyebutnya sebagai seorang inspirator bagi (kesuksesan) orang lain. Dia berhasil
menjadi Insân Kâmil (manusia paripurna). Manusia “multi-dimensi”, yang berhasil
mencapai puncak prestasi tertinggi tanpa harus mezalimi orang lain. Beliau bisa
bermitra dengan siapa pun, dan memandang para kompetitornya sebagai mitra untuk
meraih prestasi. Tidak harus bersikap seperti “Pengurus PSSI” – penyelenggara LSI
-- yang hingga kini (secara terus-menerus) merasa terusik – dan bahkan terkesan
‘berang’ -- dengan kehadiran LPI yang hadir berseberangan dengan keinginannya.
1
2. Semangat untuk berkompetisi dengan siapa pun – dalam seluruh aspek
kehidupannya -- dihadirkan oleh Nabi s.a.w. dengan amal shâlih (karya nyata yang
serba-positif). Dia selalau ’bisa’ hadir sebagai pribadi yang memiliki integritas
dalam kompetisi multi-dimensi, yang oleh karena integritas (kepribadian)-nya, Ia
pun disebut oleh Allah dengan predikat ”uswah hasanah” (QS al-Ahzab, 33: 21).
Manusia paripurna (multi-dimensi) yang bisa menjadi teladan untuk siapa pun, di
mana pun dan kapan pun dalam konteks apa pun.
Ibn Katsir, ketika menafsirkan QS al-Ahzab, 33: 21 (Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu [yaitu] bagi orang
yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah), menyatakan bahwa ayat ini merupakan pedoman dasar dalam
penetapan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai suri teladan bagi semua orang dalam
konteks apa pun. Meskipun turun dalam konteks perang (Khandaq), ayat ini
memiliki pengertian (yang) universal, dalam arti mengharuskan kaum Muslim
meneladani Beliau, tidak terbatas (hanya) dalam masalah perang, tetapi dalam segala
hal.
Dalam khazanah Tafsir al-Quran, para pakar tafsir menjelaskan bahwa
makna meneladani Nabi Muhamad s.a.w. bisa dipahami dengan beberapa
pengertian: (1) wujûb al-iqtidâ', yang bermakna bahwa setiap muslim seharusnya
selalu mengikuti dan menjadikannya sebagai tokoh ‘identifikasi diri’ dalam segala
hal, baik perkataan, sikap, maupun perilaku; (2) mulâzamâh al-thâ`ah, yang
bermakna bahwa setiap muslim seharusnya selalu patuh dan taat kepadanya; (3)
’adam al-takhalluf `anh, yang bermakna bahwa setiap muslim tidak boleh menjauh
dan berpaling darinya.
Sebagai muttabi’ (pengikut setia [yang] kritis) Beliau, tidak seharusnya kita
terjebak pada konsep ’ittiba’ parsial dan simbolik, yang sebenaranya tidak layak
untuk dilakukan oleh setiap muslim yang cerdas. Patut disayangkan, misalnya, di
saat seorang muslim berjuang menuju keberjayaannya untuk menjadi yang terbaik,
di saat itu pula ia harus ’bersahabat’ dengan sikap anti-tasâmuhnya, menyikapi
setiap perbedaan dengan tindakan ’kekerasan’. Padahal, ketika kita harus bertarung
dengan seperangkat sistem dan budaya yang (lebih banyak) menghambat proses
perjalanan menuju ketakwaan sekali pun, seharusnya kita tetap bersabar untuk
meladeninya dengan sikap ’empati’ dan penuh kehati-hatian. Karena sejumlah
tantangan eksternal di seputar kita, terkadang bisa menjebak diri kita menjadi
manusia-manusia ’bodoh’, yang karenanya, 'kita' – atas nama jihad, misalnya --
dengan bangga bertindak anarkis. Bahkan ketika berhadapan dengan seperangkat
sistem yang begitu berkuasa dan (juga) seperangkat budaya yang begitu dominan
terlalu sering menjadikan diri kita menjadi tidak berdaya pun, kita selayaknya bisa
2
3. melawan dengan kekuatan ’al-akhlâq al-karîmah’ kita, yang tak pernah mungkin
mendorong diri kita untuk berbuat zalim terhadap orang lain.
Kita pun – di negeri kita tercinta -- harus sadar bahwa hanya ’mereka’ yang
bersabar – menjadi para muttabi’ -- yang selalu bisa “survive” untuk meneladani
Nabi s.a.w. dengan spirit fastabiqû al-khairât, melawan realitas yang tidak
bersahabat, hegemoni sistem dan budaya korup yang terus menghantui diri kita,
untuk menjadi “yang terbaik”, meskipun – untuk sementara – harus menjadi
“ghurabâ’” (umat manusia yang – dalam pandangan mayoritas manusia -
teralienasi) di tengah umat manusia yang sedang menikmati hidupnya menjadi
kelompok “mufsidîn” (orang-orang pragmatis yang tengah bersahabat dengan sistem
dan budaya korup).
Penulis adalah: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'Aisyiyah
Yogyakarta.
3