1. Kajian Zonasi Daerah Potensi Batubara Untuk Tambang
Dalam, Provinsi Kalimantan Timur Bagian Utara
KAJIAN ZONASI DAERAH POTENSI BATUBARA UNTUK TAMBANG DALAM
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BAGIAN UTARA
Oleh
Fatimah, Soleh Basuki, dan Robert L. Tobing
Subdit Batubara, DIM
S A R I
Kajian zonasi daerah potensi batubara untuk tambang dalam dilakukan pada bagian selatan
Provinsi Kalimantan Timur, yang dibatasi oleh koordinat 0°30’00” LS - 1°30’00” LU, batas
Provinsi Kalimantan Timur di bagian barat, serta garis pantai Pulau Kalimantan di bagian timur
wilayah kajian. Secara administratif wilayah kerja termasuk dalam Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kabupaten Kutai Barat, serta Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
Parameter yang digunakan untuk penyusunan zonasi daerah potensial bagi tambang
batubara bawah tanah ini antara lain: kemiringan lapisan batubara (dip), ketebalan lapisan
batubara, serta nilai kalori batubara. Sumber data yang digunakan berupa data sekunder
yang berasal dari laporan penyelidikan batubara yang dilakukan oleh instansi pemerintah
maupun laporan dari perusahaan-perusahaan batubara (PKP2B dan KP).
Kegiatan ini berhasil menyusun zonasi daerah potensial bagi tambang dalam batubara di
daerah Long Lees, Long Nah, Marangkayu, Muara Haloq, Bontang dan Santan dengan
kedalaman maksimum zona sampai dengan 500 m di bawah permukaan.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Batubara di Indonesia merupakan salah satu andalan sumber energi alternatif di luar minyak
dan gas bumi. Prospek penambangan batubara dengan metode konvensional seperti masih
dilakukan saat ini, untuk masa yang akan datang semakin sulit. Hal ini disebabkan oleh letak
lapisan batubara tersebut yang sudah semakin dalam dari permukaan bumi sehingga
“waste/coal ratio” (nilai perbandingan batubara dibanding perolehan batubara sebagai
komoditas utama) akan semakin tinggi. Disamping hal tersebut, masalah slope stability
(kestabilan lereng bukaan tambang) batubara serta air tanah juga menjadi suatu hal yang
semakin berat ditanggulangi dan harus diperhatikan.
Wilayah bagian utara Provinsi Kalimantan Timur mengandung banyak sumberdaya batubara
dengan ketebalan yang cukup bervariasi, terletak sampai kedalaman lebih dari 100 m, serta
memiliki kemiringan yang tidak homogen. Kondisi ini memperlihatkan gambaran keuntungan
untuk ditambang dengan metode tambang bawah tanah. Pada beberapa tempat lapisan
batubara ini berada di bawah wilayah kawasan lindung, yang tertutup bagi kemungkinan
diusahakan dengan metode tambang terbuka. Hal ini sesuai dengan Undang Undang
Kehutanan No. 41 Tahun 1999 yang intinya melarang adanya kegiatan
penggalian/penambangan terbuka di wilayah hutan lindung.
Alasan lainnya antara lain seperti prinsip kegiatan yang berwawasan keselamatan lingkungan
serta konservasi sumberdaya batubara (sekali melakukan penambangan harus diambil
sebanyak-banyaknya) tanpa mengabaikan faktor keselamatan dan faktor lingkungan seperti
tersebut di atas.
2. Pemerintah yang diwakili oleh instansi terkait, dalam hal ini Direktorat Inventarisasi Sumber Daya
Mineral - Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral, mengusulkan untuk melakukan
pengkajian potensi batubara pada kedalaman 100 meter hingga 500 meter. Pada tahun 2005
kegiatan pengkajian daerah potensi batubara untuk tambang dalam ini diusulkan dilakukan
pada bagian utara dari Provinsi Kalimantan Timur, sebagai kelanjutan kegiatan yang sama
yang telah dilakukan tahun 2004. Kegiatan ini didukung oleh pembiayaan dari Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun 2005.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari pembuatan zona daerah potensial bagi tambang dalam batubara ini adalah
untuk mengantisipasi kehawatiran akan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh tambang
batubara terbuka (open pit mining).
Tujuan dari pengkajian zonasi daerah potensi batubara bagi tambang dalam adalah untuk
mengetahui seberapa besar potensi batubara Indonesia pada daerah pengandung batubara
di kedalaman lebih besar dari 100 meter baik sumberdaya maupun kualitasnya. Hal ini sangat
berguna untuk perencanaan dalam pemilihan daerah yang akan dikembangkan eksplorasinya
dikemudian hari.
Lebih lanjut, kegiatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada calon investor
mengenai daerah yang dapat dilakukan penambangan bawah tanah (dimulai dari yang
paling dangkal / over burden paling tipis, ke arah yang lebih dalam) serta dimana dia harus
mendirikan bangunan (seperti kantor, stock pile, jalan tambang, dsb)
1.3. Sasaran pekerjaan
Target pekerjaan ini adalah membuat pengalokasian zona-zona yang berpotensi untuk
dilakukan penambangan batubara bawah tanah, di wilayah Provinsi Kalimantan Timur bagian
utara. Wilayah ini dibatasi oleh 0°30?00” LS -1°30’00 Lintang Utara, batas provinsi
Kalimantan Timur di bagian Barat serta garis pantai Pulau Kalimantan di bagian Timur. Secara
administratif wilayah ini termasuk ke dalam Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai
Barat, serta Kabupaten Kutai Timur.
Berdasarkan indeks peta geologi regional berskala 1:250.000 yang diterbitkan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, wilayah kerja termasuk ke dalam lembar
peta Longnawan, Longpahai, Muarateweh, Muarawahau, Muaraancalong, Tenggarong,
Muaralasan, Sangatta, Samarinda, serta sebagian dari Lembar Talok.
Gambar 1. memperlihatkan lokasi wilayah kerja berdasarkan peta indeks geologi regional.
1.4. Waktu Pekerjaan
Kegiatan ini dilakukan sejak bulan September 2005 sampai dengan bulan Desember 2005.
1.5. Pelaksana Pekerjaan
Kegiatan ini dilaksanakan oleh satu tim dari Direktorat Inventarisasi dan Sumberdaya Mineral
dengan dukungan pembiayaan dari proyek Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun
2005. Tim kerja ini beranggotakan ahli geologi, nara sumber, pengarah, serta tenaga
administratif.:
1.6. Sumber data
Data yang digunakan untuk pekerjaan ini berupa data sekunder, yang diambil dari laporan-
laporan eksplorasi batubara, baik itu laporan instansi pemerintah maupun laporan-laporan
PKP2B. Selain itu data dari daerah - dalam hal ini data yang berada pada kantor Dinas
Pertambangan Kabupaten di wilayah kerja - juga turut diambil sebagai salah satu sumber data
untuk pekerjaan ini.
3. Gambar 1. Wilayah kajian
2. TAMBANG DALAM BATUBARA
2.1. Batasan dan Peristilahan
Istilah yang digunakan untuk mendefinisikan suatu obyek penyelidikan dapat berbeda antara
penulis yang satu dengan yang lainnya, tergantung kepada sudut pandang yang digunakan
maupun aspek yang menjadi fokus kajian.
Berikut ini akan dipaparkan batasan dari istilah-istilah yang digunakan dalam kegiatan
pengkajian zonasi potensi batubara untuk tambang dalam.
Batubara adalah suatu endapan yang tersusun dari bahan organik dan bahan anorganik.
Bahan organik tersusun dari sisa-sisa tumbuhan yang mengalami pembusukan (decomposition)
serta perubahan sifat fisika dan kimianya, baik sebelum ataupun sesudah tertutup endapan
lainnya. Bahan anorganik terdiri dari beberapa mineral, misalnya mineral lempung, karbonat,
sulfida, silikat, dan sebagainya.
Zonasi adalah suatu pengelompokan atau pengkelasan wilayah berdasarkan parameter
tertentu. Zonasi potensi batubara untuk tambang dalam adalah pengelompokan wilayah yang
berpotensi untuk dilakukan penambangan batubara dengan teknik penambangan bawah
tanah. Pengelompokkan ini bisa berdasarkan kedalaman batubara, ketebalan lapisan
batubara maupun berdasarkan kualitas batubaranya.
Tambang dalam batubara (underground mining) - disebut juga tambang bawah tanah -
adalah pekerjaan menggali dan mengambil batubara dari lapisan batubara di bawah tanah
melalui sumuran tegak atau sumuran miring dan lorong bawah tanah. Terdapat 2 (dua) sistem
penambangan tambang batubara dalam, yaitu metode room and pillar dan metode longwall.
Metode room and pillar merupakan sejenis metode ekstraksi batubara tanpa penyangga, yang
pada awalnya menyisakan pilar dengan tidak mengekstraksi sebagian batubara, dan dengan
demikian melakukan ekstraksi primer melalui penyanggaan atap oleh pilar tersebut. Baru
kemudian pilar tersebut diekstraksi. Untuk ekstraksi di tempat dalam, luas penampang pilar harus
diambil besar. Metode ini populer di tambang batubara di Amerika dan Australia yang
mempunyai kedalaman lapisan batubara yang relatif dangkal dan lapisan atapnya stabil.
Metode longwall adalah metode ekstraksi batubara dengan permukaan kerja panjang yang
mentargetkan lapisan batubara dengan ketebalan terbatas dan berkemiringan landai, yaitu
berkat dikembangkannya tiang besi penyangga dan kappe (roof bar), serta belt conveyor tipe
datar. Panjang permukaan kerja kadang bisa mencapai 100m~300m. Metode ini banyak
digunakan di Jepang dan Eropa yang mempunyai lapisan batubara di daerah dalam.
Dimungkinkan ekstraksi mekanisasi penuh, dengan mengkombinasikan drum cutter (shearer),
face conveyor dan shield type self advancing support. Akhir-akhir ini di Amerika dan Australia
juga banyak digunakan.
Nilai kalori (Calorific value) adalah nilai panas yang ditimbulkan oleh batubara. Nilai kalori
menentukan peringkat (rank) batubara. Batubara berperingkat tinggi mempunyai nilai kalori
yang tinggi begitu pula sebaliknya. Nilai kalori ini turut menentukan keekonomisan batubara,
namun hal tersebut dapat berubah sesuai kondisi yang terjadi. Sebagai contoh beberapa
tahun yang lalu batubara berperingkat lignit kurang bernilai ekonomis, namun seiring dengan
4. meningkatnya permintaan pasokan batubara saat ini, nilai keekonomisan lignit meningkat dan
sekarang lignit pun termasuk salah satu komoditi yang banyak diburu.
Lapisan penutup (Over burden) adalah lapisan batuan di atas lapisan batubara. Pada
beberapa kasus tambang batubara terbuka, over burden umumnya berupa tanah penutup
(soil). Sifat lapisan penutup (terutama sifat keteknikannya) turut menentukan rancangan
konstruksi tambang bawah tanah.
Lapisan antara (inter burden) adalah lapisan batuan yang berada di antara dua (atau lebih)
lapisan batubara. Inter burden harus ikut diperhitungkan dalam penghitungan perolehan
batubara yang akan ditambang.
2.2. Perbandingan antara tambang terbuka dengan tambang bawah tanah
Perbandingan antara tambang terbuka dengan tambang bawah tanah secara umum adalah
sebagai berikut :
(1) Produktifitas (Productivity)
Produktifitas berbeda-beda tergantung skala produksi tambang. Namun secara umum bisa
diharapkan bahwa produktifitas tambang terbuka lebih tinggi dari pada produktifitas tambang
bawah tanah. Hal ini disebabkan, pada tambang bawah tanah, ruang kerjanya sempit,
sehingga kapasitas mesin yang dapat digunakan terbatas. Sedangkan pada tambang terbuka,
dapat digunakan mesin-mesin berkapasitas besar dengan mudah.
(2) Biaya Penambangan (Mining Cost)
Biaya penambangan terbuka sangat murah dibandingkan dengan biaya penambangan
bawah tanah. Peralatan yang digunakan untuk penambangan bawah tanah relatif lebih
mahal dibandingkan dengan peralatan untuk tambang terbuka. Faktor keamanan pada
tambang bawah tanah juga perlu mendapat perhatian khusus yang berdampak pada
tingginya biaya untuk keamanan guna meminimalkan kecelakaan tambang.
(3) Keamanan (Accident Risks)
Jumlah kecelakaan yang terjadi pada tambang terbuka lebih sedikit dibandingkan tambang
bawah tanah. Jumlah pekerja tambang terbuka lebih sedikit dibandingkan tambang bawah
tanah, sehingga jumlah kecelakaan yang terjadi per 1 juta ton produksi sangat rendah. Selain
perbedaan jumlah pekerja, resiko kecelakaan pada tambang bawah tanah juga lebih besar
yang bisa diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya ledakan gas metana pada lubang
tambang ataupun kurangnya supply oksigen.
(4) Konsumsi Energi (Energy Demand)
Secara umum dapat dikatakan bahwa konsumsi energi tambang terbuka adalah 1/4~1/5
tambang bawah tanah. Lubang tambang pada tambang bawah tanah harus mendapat
pencahayaan yang cukup, sehinga energi yang diperlukan juga cukup banyak.
(5) Masalah Lingkungan (Environment)
Kondisi kerja tambang terbuka lebih baik dari pada tambang bawah tanah, karena pekerjaan
berlangsung di permukaan. Selain itu, tidak memerlukan penyangga, pengisian, ventilasi dan
penerangan buatan. Akan tetapi, karena seluruh pekerjaan dilakukan di permukaan,
operasinya dipengaruhi oleh cuaca. Kemudian, perlu penanganan batuan lapisan penutup
(over burden) yang banyak, dan diperlukan tempat yang luas untuk membuang tanah
kupasan. Ditambah lagi, karena permukaannya menjadi rusak setelah penambangan,
reklamasi dan reboisasi menjadi suatu keharusan.
(6) Perolehan Ekstraksi
Perolehan tambang terbuka lebih tinggi dibandingkan tambang bawah tanah. Pada tambang
terbuka dimungkinkan 90~95%. Perolehan tambang bawah tanah berbeda menurut metode
ekstraksinya, di mana perolehan cut and fill method sangat tinggi hingga mendekati perolehan
5. tambang terbuka, namun perolehan tambang pada room and pillar method hanya sekitar
60%.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tambang terbuka mempunyai
keuntungan yang cukup banyak dibandingkan tambang bawah tanah. Namun perlu diingat
bahwa saat ini tambang terbuka telah dilakukan cukup intensif di berbagai wilayah di
Indonesia sehingga dikhawatirkan lahan untuk penambangan batubara secara terbuka telah
habis, terutama di wilayah Pantai Timur Kalimantan dan di Sumatera Barat. Selain itu juga
terdapat benturan keinginan dari dunia tambang dengan kepentingan konservasi wilayah
apabila lokasi tambang terletak di wilayah yang dilindungi. Kegiatan penambangan bawah
tambang dirasakan lebih menguntungkan apabila ditinjau dari berbagai masalah lingkungan
yang ditimbulkannya. Untuk itulah kiranya kajian mengenai tambang bawah tanah ini perlu
dilakukan.
2.3. Persyaratan tambang dalam batubara
Untuk melakukan kegiatan penambangan batubara bawah tanah, terdapat beberapa
persyaratan yang harus diperhatikan, antara lain:
a. Sifat keteknikan seluruh lapisan penutup (overburden / roof)
b. Lapisan batubara itu sendiri
c. Lapisan batuan antara (interburden) jika terdapat lebih dari satu lapisan batubara
d. Lapisan batuan alas (floor)
e. Kemiringan lapisan batuan dan batubara
f. Ketebalan lapisan batubara
g. Sistem penambangan yang akan digunakan
h. Sistem pengangkutan
i. Kondisi air tanah dan air permukaan yang akan mempengaruhi tambang
j. dll.
2.4. Tambang dalam batubara di Indonesia
Endapan batubara telah mulai ditambang di Indonesia sejak tahun 1849 di Pengaron,
Kalimantan Timur oleh sebuah perusahaan swasta Belanda. Pada saat itu teknik penambangan
yang dilakukan berupa tambang terbuka. Sedangkan tambang batubara bawah tanah baru
dilakukan di daerah batubara Ombilin (Sumatera Barat) sejak tahun1892 oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Cara-cara tambang yang dilakukan pada masa itu berupa pengisian dengan
pasir bercampur air (hydraulic sandfill). Walaupun teknik tambang bawah tanah ini telah lama
ditinggalkan sejak berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda, namun penambangan batubara
di Ombilin yang masih dilakukan hingga saat ini hanya tinggal penambangan bawah tanah.
Selain di Ombilin, tambang dalam juga pernah dilakukan di lapangan Suban/Pinang - Bukit
Asam (Sumatera Selatan) serta di Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Akan tetapi dengan karakter
batubara yang terdapat tidak jauh dari permukaan, pengusahaan batubara di Indonesia
umumnya cenderung dilakukan secara tambang terbuka, mengingat kecilnya faktor resiko
dengan keuntungan yang tinggi, walaupun harus mengabaikan dampak lingkungan yang
diakibatkannya.
2.5. Potensi tambang dalam batubara Indonesia
Endapan batubara tersebar cukup luas di wilayah Indonesia. Wilayah-wilayah yang dianggap
mempunyai potensi batubara yang sangat besar antara lain Kalimantan Timur, Kalimantan
Selatan dan Sumatera Selatan. Saat ini banyak sekali perusahaan-perusahaan batubara yang
melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah-wilayah ini, bahkan ada beberapa diantaranya telah
melakukan kegiatan produksi. Umumnya metode penambangan yang digunakan berupa
tambang batubara terbuka, mengingat kedalaman dari endapan batubara yang sangat
6. mudah ditambang dengan metode ini. Namun apabila dilihat dari data-data pemboran,
ternyata di beberapa wiayah di Indonesia, endapan batubara terdapat sampai kedalaman di
atas 100 meter, seperti yang terdapat di daerah Parambahan, Sumatera Barat (Cekungan
Ombilin). Kondisi seperti ini juga diperkirakan terjadi juga di daerah Kalimantan Timur. Beberapa
eksplorasi di Kawasan Hutan Wisata Bukit Suharto menunjukkan bahwa wilayah ini memiliki
endapan batubara yang cukup tebal, terdiri dari beberapa seam (multi seam), yang terdapat
di bawah permukaan.
Pada beberapa tambang batubara di luar negeri, banyak terdapat kasus di mana pada
lapisan batubara yang mempunyai kemiringan, pertama dilakukan penambangan terbuka
sampai mencapai batas tersebut, dan setelah itu beralih ke penambangan bawah tanah. Hal
seperti ini bukan tidak mungkin diterapkan pada tambang batubara di Indonesia, sehingga
lahan bekas tambang yang sudah ditinggalkan dapat diusahakan kembali untuk tambang
bawah tanah.
3. KONDISI KALIMANTAN TIMUR
Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan zonasi potensi batubara untuk
penambangan bawah tanah, baik faktor teknis maupun non teknis, seperti faktor ekonomi dan
lingkungan. Beberapa diantaranya akan diuraikan berikut di bawah ini.
3.1. Iklim dan Curah Hujan
Iklim dan curah hujan merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
pengembangan tambang batubara bawah tanah. Hal ini berkaitan dengan faktor
geohidrologi yang merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam kegiatan
penambangan batubara bawah tanah. Kawasan Utara Provinsi Kalimantan Timur umumnya
beriklim tropis basah yang dicirikan oleh curah hujan pertahun yang relatif tinggi yaitu antara
1846 – 2063 mm. Curah hujan tertinggi biasanya terjadi sekitar bulan April sampai Juni,
sedangkan curah hujan terendah terjadi sekitar bulan Agustus untuk seluruh daerah. Suhu udara
sepanjang tahun bervariasi dari 27° C sampai 30° C. Kelembaban rata-rata relatif tinggi,
yaitu sekitar 80%.
3.2. Geologi Regional
Wilayah bagian utara Provinsi Kalimantan Timur secara regional termasuk dalam Cekungan
Kutai (Gambar 2.). Stratigrafi Cekungan Kutai secara ringkas disajikan dalam Tabel 1.
Cekungan Kutai secara historis merupakan suatu cekungan sedimentasi yang besar di Pulau
Kalimantan. Pengisiannya berlangsung sejak Eosen hingga Miosen Tengah. Pengangkatan
Pegunungan Meratus mengakibatkan Cekungan Kutai terpisah menjadi tiga bagian yang
dinamakan Cekungan Barito di sebelah Barat dan Cekungan Pasir di sebelah Timur
Pegunungan Meratus, serta Cekungan Kutai di sebelah Utaranya.
Proses sedimentasi dalam Cekungan Kutai berlangsung secara kontinu selama Tersier hingga
sekarang. Fase pertama merupakan siklus transgresi dan fase kedua atau akhir pengisian
adalah fase regresi. Secara litologi hampir semua pengisi Cekungan Kutai mengandung klastika
halus yang terdiri dari batupasir kuarsa, batulempung dan batulanau serta sisipan batugamping
dan batubara yang diendapkan pada lingkungan paralik hingga neritik atau litoral, delta
sampai laut terbuka.
Seri sedimen pengisi Cekungan Kutai dibagi menjadi beberapa formasi mulai dari tua ke muda
sebagai berikut : Formasi Tanjung, Formasi Pamaluan, Formasi Pulubalang, Formasi Balikpapan
dan Formasi Kampungbaru. Kelima formasi ini bertindak sebagai pengandung batubara,
terutama Formasi Tanjung dan Formasi Balikpapan.
3.3. Wilayah Potensil Batubara
7. Formasi pembawa batubara tersebar cukup luas di bagian selatan Provinsi Kalimantan Timur
dengan umur formasi mulai dari Eosen (Formasi Tanjung) sampai dengan Plistosen (Formasi
Kampungbaru). Penyebaran dari Formasi Pembawa Batubara sebagian besar terkonsentrasi di
bagian timur wilayah kerja, atau sepanjang pantai timur Pulau Kalimantan, memanjang utara-
selatan.
4. HASIL KAJIAN
4.1. Sistematika Pekerjaan
Sistematika pekerjaan dibagi menjadi beberapa tahap seperti berikut di bawah :
a. Pengumpulan data sekunder
b. Evaluasi data sekunder
c. Pengelompokan lapisan batubara target
d. Pembuatan penampang geologi yang dilalui oleh sebaran lapisan batubara target
e. Penentuan zonasi daerah potensi batubara tambang dalam pada peta geologi.
f. Penyusunan laporan
4.2. Parameter yang digunakan
Parameter yang digunakan untuk membatasi pembuatan zonasi daerah potensi batubara
untuk tambang dalam di kawasan selatan Provinsi Kalimantan Timur terdiri dari 3 (tiga) faktor,
yaitu:
1. Ketebalan
2. Kemiringan lapisan
3. Nilai kalori (kualitas)
Ketebalan lapisan batubara yang layak ditambang dengan teknik penambangan bawah
tanah berkisar antara 2 meter dan 4 meter. Batubara dengan ketebalan kurang dari 2 meter
tidak layak untuk dikembangkan ditinjau dari segi ekonomisnya, sedangkan untuk lapisan
batubara yang mempunyai ketebalan lebih dari 4 meter masih sulit dilakukan penambangan
dengan metode bawah tanah. Kesulitan tersebut umumnya disebabkan oleh sifat fisik batubara
yang memperlihatkan banyak kekar, mudah patah / hancur, yang memungkinkan sewaktu-
waktu dapat runtuh pada saat digali. Sehingga walaupun selama ini digunakan sistem
penyanggaan, tetap saja ada kekhawatiran terjadi runtuhan pada saat penambangan.
Dengan pertimbangan tersebut sistem penyanggaan yang digunakan saat ini hanya
diperuntukkan pada lapisan batubara dengan ketebalan 2 – 4 m. Namun untuk kepentingan
kajian zonasi tambang dalam ini, ketebalan lapisan batubara tidak dibatasi, dengan asumsi
bahwa mungkin saja di masa datang tercipta suatu sistem yang memungkinkan untuk
menambang lapisan batubara berketebalan kurang dari 2 m atau lebih dari 4 m dengan teknik
penambangan bawah tanah.
Kemiringan lapisan (dip) batubara merupakan faktor yang sangat penting, terutama ditinjau
dari segi keamanan tambang. Kemiringan lapisan ideal yang disarankan untuk teknik
penambangan batubara bawah tanah adalah antara 12° sampai 20°. Hal ini dikaitkan
dengan kemampuan penggunaan alat angkut yang digunakan untuk mengangkut hasil
penggalian batubara dari lubang tambang (titik produksi) keluar lubang tambang untuk
diangkut ke stock pile. Selain itu, kemiringan lapisan pun turut dipertimbangkan dalam faktor
keamanan tambang. Apabila terjadi hal yang membahayakan pekerja pada saat kegiatan
penambangan kemiringan yang tinggi dapat menghambat upaya para pekerja untuk
melarikan diri keluar dari lubang tambang.
Nilai Kalori batubara berperan penting dalam keekonomisan tambang. Batubara berkalori
rendah mempunyai nilai jual yang tidak begitu tinggi sehingga dikhawatirkan tidak cukup
8. memberikan keuntungan bagi pengusahaan tambang. Berdasarkan pertimbangan tersebut
maka batubara yang layak ditambang dengan menggunakan teknik penambangan bawah
tanah untuk saat ini yaitu batubara yang mempunyai nilai kalori minimum 6100 cal/gr (adb).
Namun pembuatan zonasi wilayah potensil untuk tambang dalam batubara ini juga dilakukan
untuk batubara yang meiliki kalori di bawah 6100 cal/gr (adb). Hal ini dilakukan dengan
mempertimbangkan bahwa mungkin saja pada beberapa waktu ke depan harga batubara
akan naik, sehingga dengan menggunakan teknik penambangan bawah tanah pun masih
dinilai ekonomis.
4.3. Hasil penyusunan zonasi
Berdasarkan parameter-parameter yang telah dikemukakan, pembuatan zonasi difokuskan
kepada daerah-daerah yang telah diselidiki oleh tim inventarisasi batubara dari Direktorat
Inventarisasi Sumberdaya Mineral. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kemudahan akses
data. Pada beberapa daerah yang terdapat perusahaan batubara (PKP2B maupun KP),
pembuatan zonasi ini juga didukung data dari laporan-laporan tersebut. Penyusunan zonasi
wilayah potensi batubara ini apabila memungkinkan dilakukan sampai kedalaman 500 m.
Namun pada beberapa daerah tidak mencapai kedalaman tersebut dikarenakan
keterbatasan data ataupun karena pengaruh struktur geologi (misalnya lipatan).
Pembuatan zonasi daerah potensi batubara untuk tambang dalam dilakukan pada daerah
Long Lees, Long Nah, Muara Haloq, Marangkayu, Bontang, serta daerah Santan. Untuk
memudahkan pembacaan pada peta, wilayah yang berpotensi dibagi ke dalam beberapa
blok sesuai dengan Formasi Pembawa Batubaranya. Selain itu untuk beberapa seam yang
berbeda pada satu Formasi yang sama juga dibuat zonasi yang berbeda pula. Salah satu hasil
penyusunan zonasi daerah potensi batubara untuk tambang dalam dapat terlihat pada
Gambar 3.
5. KESIMPULAN & SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Kawasan utara Provinsi Kalimantan Timur memiliki potensi batubara yang cukup besar untuk
diusahakan dengan teknik penambangan batubara bawah tanah, terutama di daerah
Bontang-Santan
2. Pengusahaan batubara dengan teknik penambangan bawah tanah dapat memperkecil
resiko kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan.
3. Pengkajian zonasi daerah potensi batubara untuk tambang dalam perlu dilakukan untuk
pada beberapa tambang terbuka untuk tercapainya optimalisasi penambangan.
5.2. Saran
Kajian lebih lanjut perlu dilakukan, misalnya mengenai aspek geoteknik, hidrologi, dll, apabila
akan dilakukan pengusahaan batubara dengan menggunkana teknik penambangan bawah
tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Atmawinata, S., Ratman, N., dan Baharuddin, 1995. Peta Geologi lembar Muara Ancalong,
Kalimantan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sukardi, Sikumbang, N., Umar, I., dan Sunaryo, R., 1995. Peta Geologi lembar Sangatta,
Kalimantan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Supriatna, S., Sukardi, dan Rustandi, E., 1995. Peta Geologi lembar Samarinda, Kalimantan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
9. Suwarna, N. dan Apandi, T., 1994. Peta Geologi lembar Longiram, Kalimantan Timur, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Gambar 2. Cekungan sedimentasi di Pulau Kalimantan
Formasi Balikpapan (Tmbp), terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulempung dengan
sisipan batulanau, batugamping dan batubara dengan tebal 0,15 - 11,00 m.
±1200
-
2000
Dataran Delta
Tengah
Tmpb
Formasi Pulubalang (Tmpb), terdiri dari perselingan antara grewak dan batupasir kuarsa,
dengan sisipan batugamping, batulempung dan batubara dengan tebal dari 0,10 – 4,00 m.
±2750
Laut Dangkal
Awal
Tomp
Formasi Pamaluan (Tomp), terdiri dari batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, serpih,
batugamping dan batulanau.
±2000
Laut Dangkal
OLIGOSEN
Toty
Formasi Tuyu (Toty), terdiri dari napal, batulempung, sisipan batugamping.
±2000
Laut Terbuka
EOSEN
Tot
Formasi Tanjung (Tet), terdiri dari batupasir bersisipan serpih & grewak dengan lapisan tipis
batubara
10. ±1000
Litoral - rawa
Gambar 3. Zonasi daerah potensi batubara untuk tambang dalam
Di daerah Long Lees, Kalimantan Timur
Gambar 4. Zonasi daerah potensi batubara untuk tambang dalam
Di daerah Long Nah, Kalimantan Timur
12. Letak Geografis
Kota Samarinda merupakan Ibu Kota Propinsi Kalimantan Timur yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Samarinda secara astronomis terletak pada posisi
antara 116°15'36"-117°24'16" Bujur Timur dan 0°21'18" - 1°09'16" Lintang Selatan, dengan
ketinggian 10.200 cm diatas permukaan laut dan suhu udara kota antara 22 - 32° C dengan curah
hujan mencapai 2.345 mm pertahun dengan kelembaban udara rata-rata 81,4 %.
Administrasi
Adanya Sungai Mahakam yang membelah di tengah kota menjadikan kota ini bagai gerbang
menuju pedalaman Kalimantan Timur. Luas Wilayah Kota Samarinda adalah 71.800 Ha yang
terbagi menjadi 6 ( enam )Kecamatan yaitu : Kecamatan Samarinda Ulu, Kecamatan Samarinda
Ilir, Kecamatan Samarinda Seberang Kecamatan Palaran, dan Kecamatan Sungai Kunjang.
Batas Adminsitrasi Kota Samarinda
• Sebelah Utara: Kec. Muara Badak Kabupaten Kukar
• Sebelah Timur: Kecamatan Anggana dan Sanga-Sanga (Kab Kukar)
• Sebelah Selatan: Kec Loa Janan .Kab Kutai Kartenegara
• Sebelah Barat: Kec. Muara Badak Tenggarong Seberang (Kab Kukar)
Ketinggian / Topografi
Berdasarkan topografinya , maka wilayah Kota Samarinda berada di ketinggian antara 0 - 200
dpl, dan hampir 24,17 % berada di ketinggian 0 - 7 dpl, umumnya terletak di dekat Sungai
Mahakam sekitar 41,10 % berada dalam ketinggian 7 - 25 dpl, dan 32,48 % berada di ketinggian
25 - 100 dpl.
Topografi Kota Samarinda
No Kemiringan (%) Luas (KM2) Persentase (%)
1 0-2 219,61 30,61
2 3-14 198,58 27,68
3 15,40 194,06 27,05
4 > 40 105,17 14,68
Fisiografi
Fisiografi menunjukkan bentuk permukaan bumi dipandang dari faktor dan proses