Dokumen tersebut membandingkan konsep nation state dan Khilafah secara normatif dan historis. Secara normatif, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, bukan milik kelompok tertentu. Sementara itu, nation state merupakan konsep asing yang disebarkan oleh penjajah ke Dunia Islam sejak abad ke-17 untuk memecah belah Khilafah. Secara historis, kaum muslimin tidak pernah mengenal nation state selama 10 abad keberadaan Khilaf
Muktamar Khilafah dan Peta Politik Sikap Umat Terhadap Khilafah
NATION STATE VS KHILAFAH
1. NATION STATE DAN KHILAFAH*
Contributed by Redaksi
Saturday, 02 September 2006
Last Updated Saturday, 02 September 2006
NATION STATE DAN KHILAFAH*
Oleh : KH M Shiddiq al-Jawi**
Menolak Pendekatan Empiris
Menghadap-hadapkan nation state dengan Khilafah dalam kajian empiris tidaklah fair. Sebab di satu sisi, nation state
adalah realitas empirik kontemporer. Sedang di sisi lainnya, Khilafah tidak ada lagi dalam realitas masa kini. Khilafah
yang hancur tahun 1924 adalah sejarah masa lalu dan baru sebatas cita-cita masa kini, bukan realitas empirik.
Karena itu, secara empirik nation state dan Khilafah tidak dapat diperbandingkan. Jika dipaksakan, yang terjadi adalah
ketidakadilan. Mengapa? Karena nation state yang telah menjadi kenyataan cenderung akan dijadikan hakim untuk
memvonis Khilafah, yang baru sebatas cita-cita. Yang terjadi adalah semacam pengadilan in absentia oleh pihak
berkuasa atas terdakwa yang tidak hadir dan tidak mampu membela dirinya. Apakah ini adil? Padahal Allah SWT telah
berfirman :
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS Al-Maaidah [5] : 8)
Jika nation state dibandingkan secara paksa dengan Khilafah dalam kajian empiris, pasti tidak akan adil. Itu sama saja
dengan membandingkan Uni Soviet (yang runtuh 1991) dengan Amerika Serikat (yang masih eksis saat ini). Jelas orang
akan condong membenarkan dan mendukung Amerika Serikat (AS), karena AS adalah realitas, bahkan realitas
hegemonik. Jadi, dalam kajian antar ideologi/paham, konsep harus dibandingkan dengan konsep, realitas harus
dibandingkan dengan realitas. Tidak adil membandingkan atau mengadili konsep dengan realitas.
Karena itu, supaya adil, pendekatan yang dipakai haruslah di luar pendekatan empirik, yaitu pendekatan normatif dan
historis. Pendekatan normatif (pemikiran) dilakukan untuk membandingkan antara nation state sebagai konsep dengan
khilafah sebagai konsep. Pendekatan historis juga dapat dilakukan, untuk melihat sejauh mana sejarah nation state dan
Khilafah dan interaksi antara keduanya.
Tulisan ini akan membandingkan nation state dan Khilafah dalam dua pendekatan tersebut, yaitu pendekatan normatif
dan historis.
Normatif : Khilafah Milik Umat Islam
Walaupun Khilafah kini identik dengan Hizbut Tahrir (HT), namun sebenarnya secara normatif Khilafah bukan
merupakan milik khusus HT, apalagi ajaran bikinan HT. Khilafah sesungguhnya adalah bagian dari ajaran Islam, seperti
halnya ajaran Islam lainnya semisal sholat, zakat, haji, dan sebagainya. Siapakah pemilik ajaran sholat, zakat, dan haji?
Tentu bukan milik satu golongan saja, melainkan milik seluruh kaum muslimin.
Kajian normatif yang objektif akan membuktikan, bahwa Khilafah adalah benar-benar bagian dari ajaran Islam. Hanya
minoritas umat Islam yang menolak Khilafah secara normatif. Khilafah bukan sesuatu ajaran asing atau konsep kafir
yang disusupkan ke dalam Islam atau dipaksakan atas kaum muslimin.
Dalam kitab al-Fiqh ’ala al-Mazhahib al-Arba’ah, karya Syaikh Abdurrahman al-Jaziry, Juz V hal. 362 (Beirut : Darul Fikr,
1996) disebutkan :
"Para imam-imam [Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad] –rahimahumullah— telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] adala
fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam [Khalifah] yang akan menegakkan
syiar-syiar agama serta menyelamatkan orang-orang terzalimi dari orang-orang zalim. [Imam-imam juga sepakat] bahwa
tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam [Khalifah], baik keduanya
bersepakat maupun bertentangan..."
Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa Imamah (atau Khilafah) adalah wajib hukumnya menurut Imam Abu Hanifah,
Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Kalau ada orang muslim Indonesia (yang mayoritas bermazhab Imam Syafi'i) mengatakan
Khilafah tidak wajib, lalu imam siapa yang diikutinya? Tidak jelas. Selain itu, mereka berempat juga menyepakati
kesatuan Imamah [wihdatul Imamah]. Tidak boleh ada dua imam pada waktu yang sama untuk seluruh kaum muslimin di
dunia.
Mereka yang sepakat tadi adalah empat imam dari kalangan Ahlus Sunnah. Bagaimana dengan kalangan non Ahlus
Sunnah? Sama saja, merekapun juga mewajibkan Khilafah. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fashlu fi al-Milal wa al-
Ahwa` wa an-Nihal Juz IV hal. 78 menyatakan :
"Telah sepakat semua ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syia’ah, dan semua Khawarij mengenai wajibnya Imamah
[Khilafah], dan bahwa umat wajib mentaati imam yang adil yang akan menegakkan hukum-hukum Allah dan di tengah-
tengah mereka dan mengatur mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah SAW..."
Dari dua kutipan di atas, jelaslah bahwa secara normatif, Khilafah sesungguhnya adalah ajaran milik semua Islam,
karena mereka semua menyepakati akan kewajibannya.
House of Khilafah
http://khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 4 May, 2013, 11:42
2. Ketentuan normatif itulah yang diamalkan secara nyata oleh umat Islam dalam sepanjang sejarah mereka, sejak
berdirinya Daulah Islamiyah tahun 622 M tatkala Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah hingga runtuhnya Khilafah di
Turki tahun 1924.
Pada masa-masa akhir Khilafah Utsmani di Turki (abad ke-17 s/d ke-19 M), secara internal terjadi kemerosotan
pemikiran di kalangan umat Islam. Secara eksternal, kaum penjajah terus melakukan upaya jahatnya untuk
menggoncang dan menggerogoti tubuh negara Khilafah. Salah satunya adalah berbagai aktivitas missionatis/zending
yang menyebarluaskan tak hanya agama Nashrani yang kafir, tapi juga paham nasionalisme yang asing. Inilah asal usul
masuknya paham nasionalisme di Dunia Islam.
Sejarah Masuknya Nasionalisme di Dunia Islam
Secara historis, kaum muslimin sesungguhnya tak pernah mengenal paham nasionalisme dalam sejarahnya yang
panjang selama 10 abad (1000 tahun), hingga adanya upaya imperialis untuk memecah-belah negara Khilafah pada
abad ke-17 M.
Mereka melancarkan serangan pemikiran melalui para missionaris dan merekayasa partai-partai politik rahasia untuk
menyebarluaskan paham nasionalisme dan patriotisme. Banyak kelompok misionaris –sebagian besarnya dari Inggris,
Perancis, dan Amerika-- didirikan sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 M untuk menjalankan misi tersebut. Namun hinga
saat itu upaya mereka belum berhasil.
Barulah pada tahun 1857, penjajah mulai memetik kesuksesan tatkala berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian Scientific
Society) yang menyerukan nasionalisme Arab. Sebuah sekolah misionaris terkemuka --dengan nama Al-Madrasah Al-
Wataniyah-- lalu didirikan di Syiria oleh Butros Al-Bustani, seorang Kristen Arab (Maronit). Nama sekolah ini
menyimbolkan esensi missi Al-Bustani, yakni paham patriotisme (cinta tanah air, hubb al-wathan).
Langkah serupa terjadi di Mesir, ketika Rifa'ah Badawi Rafi' At Tahtawi (w. 1873 M) mempropagandakan patriotisme dan
sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa partai politik yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki
Muda (Turkiya Al Fata) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk mengarahkan gerak para nasionalis Turki. Kaum misionaris
kemudian memiliki kekuatan riil di belakang partai-partai politik ini dan menjadikannya sebagai sarana untuk
menghancurkan Khilafah (Syaikh Afif Az-Zain, Awamil Dha’f al-Muslimin, 1993).
Sepanjang masa kemerosotan Khilafah Utsmaniyah, kaum kafir berhimpun bersama, pertama kali dengan perjanjian
Sykes-Picot tahun 1916 ketika Inggris dan Perancis merencanakan untuk membagi-bagi wilayah negara Khilafah.
Kemudian pada 1923, dalam Perjanjian Versailles dan Lausanne, rencana itu mulai diimplementasikan.
Dari sinilah lahir negara-negara dengan konsep nation-state yaitu Irak, Syria, Palestina, Lebanon, dan Transjordan.
Semuanya ada di bawah mandat Inggris, kecuali Syria dan Lebanon yang ada di bawah Perancis. Hal ini kemudian
diikuti dengan upaya Inggris untuk merekayasa lahirnya Pakistan. Jadi, semua negara-bangsa (nation state) ini tiada lain
adalah buatan kekuatan-kekuatan Barat yang ada di bawah mandat mereka (Taqiyuddin An-Nabhani, ad-Daulah al-
Islamiyah, 1994; Ali Muhammad Jarisyah & Muhammad Syarifaz –Zaibak, Asalib al-Ghazw al-Fikri li al-‘Alam al-Islami,
1992)
Lahirnya Indonesia sebagai nation-state juga tak lepas dari rekayasa penjajah menyebarkan nasionalisme di Dunia
Islam. Hal itu dapat dirunut sejak berdirinya negara-negara bangsa di Eropa pada abad ke-19. Perubahan di Eropa ini,
dan juga adanya persaingan yang hebat antara kekuatan-kekuatan Eropa di Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-
19, menimbulkan dampak politis terhadap negara-negara jajahan Eropa, termasuk Hinda Belanda.
Dampak monumentalnya adalah dicanangkannya Politik Etis pada tahun 1901. Kebijakan ini pada gilirannya membuka
kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan Barat. Melalui pendidikan Barat inilah paham nasionalisme dan
patriotisme menginfiltrasi ke tubuh umat Islam di Hindia Belanda, yang selanjutnya mengilhami dan menjiwai lahirnya
berbagai pergerakan nasional di Indonesia, Boedi Utomo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Jong
Celebes, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan sejenisnya (Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global, LKiS :
Yogyakarta, 2000).
Penutup
Dari kajian normatif dan historis di atas, dapat disimpulkan bahwa Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam itu sendiri,
bukan ajaran asing atau bikinan sekelompok orang. Sepanjang sejarah umat Islam, mereka menjalankan kehidupan
bernegara dan bermasyarakat hanya dengan Khilafah, tidak menggunakan sistem lainnya hingga hancurnya Khilafah di
Turki tahun 1924.
Sebaliknya nasionalisme, bukanlah berasal dari ajaran Islam, melainkan dari kaum kafir penjajah. Secara normatif,
nasionalisme tidak dikenal dalam Islam.
Dapat disimpulkan pula, bahwa selama 10 abad kaum muslimin tidak pernah mengenal paham nasionalisme. Mereka
bersatu menjadi satu kesatuan sebagai satu umat, bukan sebagai satu bangsa. Barulah pada adab ke-17 M, kaum
muslimin mulai mengenal nasionalisme, sebagai paham asing yang dibawa oleh kaum misionaris sebagai bagian
kegiatan imperialisme di Dunia Islam.
House of Khilafah
http://khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 4 May, 2013, 11:42
3. Sudah seharusnya, kaum muslimin kembali lagi kepada ajaran Islam yang asli dan murni, serta menjauhkan diri dari
segala macam paham atau ajaran asing yang menyusup ke tubuh umat Islam [ ]
*Makalah disampaikan dalam Debat Terbuka bertema nation state Versus Negara Khilafah, diselenggarakan oleh
Komunitas Tabayyun dan Harian Bangsa, di Aula Wisma Bahagia IAIN Sunan Ampel Surabaya, Rabu 30 Agustus 2006.
**Dosen STEI Hamfara Yogyakarta, Ketua Lajnah Tsaqofiyah DPD I Hizbut Tahrir Indonesia DIY, Pengasuh Ma’had
Taqiyuddin an-Nabhani, Yogyakarta, Pengelola Situs Dakwah www.khilafah1924.org
House of Khilafah
http://khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 4 May, 2013, 11:42