SlideShare a Scribd company logo
1 of 169
REVITALISASI
PENDIDIKAN
IPS
Oleh
Abu Su`ud
1
PENGANTAR
Dalam semua dokumen resmi tercatat tempat dan tanggal lahir saya : Tegal, 27
Juli 1938. Status PNS saya sebagai dosen IKIP Semarang cabang Tegal tercantum sejak 1
Juli 1966. Akhirnya Presiden SBY memberhentikan saya dengan hormat dengan status
pensiun sejak 1 Juli 2008, setelah menjalankan tugas selama 42 tahun lebih satu bulan.
Jadi ya sejak 1 Agustus saya memasuki masa pensiun dalam usia 70 tahun, dalam status
sebagai Guru Besar Emiritus di Universitas Negeri Semarang. Satu tahun kemudian saya
diajak teman-teman pimpinan IKIP PGRI Semarang untuk bergabung dengan mereka,
terutama untuk memperkuat tenaga akademik Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial (FPIPS). Dan sebagai salah satu tugas saya adalah menulis nuku-buku mengenai
pendidikan IPS.
Ada dua buah buku yang saya siapkan untuk keperluan itu. Satu berjudul
Fotmulasi Pendidikan Karakter di Sekolah, yang menekankan perlunya secara tegas
menformulasikan generasi muda dengan karakter macam mana yang hendak dicapai
dengan pendidikan karakter. Yang kedua buku yang sedang pembaca hadapi ini,
Revitalisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (UPS), yang dimaksudkan untuk
menghidupkan kembali potensi pendidikan IPS yang telah terpuruk. Itu sebabnya judul
awal buku ini adalah Pendidikan IPS yang terpuruk. Isinya sebuah pikiran mengenai
upaya untuk melakukan revitalisasi pendidikan IPS, alasan dan beebagai potensi yang
bisa dikembangkan.
Pengalaman selama ini menjadi pengajar Ilmu Sejarah dan Pendidikan Ilmu
Sosial di Unnes, sejak bernama IKIP Semarang merupakan pengalaman awal dan
penerapan untuk terbitnya buku-buku tersebut.
Sampai terbitnya buku ini merupakan ujud pengertian baik dari pimpinan IKIP
PGRI Semarang karena telah memfasilitasi terbitnya nuku ini. Buku ini merupakan
terbitan kedua dengan revisi, sementara terbitan pertama telah difasilitasi oleh Fakultas
Ilmu Sosial Unnes bersamaan dengan saat saya memasuki masa pensiun sebagai Guru
Besar di Unnes pada tahun 2008.
2
Dengan mengikuti perjalanan tugas selama ini yang saya mencermati, saya
menyadari bahwa pandangan saya tentang konsep dan pelaksanaan pendidikan IPS
masih perlu mengalami sejumlah penyesuaain, yaitu bahwa pendidikan IPS dimaksudkan
untuk menyiapkan generasi muda menjadi warga negara ataupun warga masyarakat
yang baik. Untuk itu pada semua jenjang dan sektor, formal, informal maupun
monformal, pendidikan IPS harus menyiapkan peserta didik melakukan penyesuaian
dengan tata nilai ideal, supaya mereka dapat menyesuaikan dengan harapan-harapan
sosial. Selama ini pendidikan IPS banyak dikeluhkan, karena dianggap banyak
mengalami kegagalan dalan melaksanakan fungsinya. Oleh karena itu saya bermaksud
menyampaikan buah pikiran untuk melakukan revitalisasi pendidikan IPS.
Kritik dan saran saya harapkan dari para guru terkait maupun pembaca kedua
buku ini. Terima kasih.
Semarang, 27 Juli 2011.
Penulis
3
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. KONSEP-KONSEP DALAM IPS
1. Konsep Hidup Bik
2. Pendidikan dan Tujuan yang hendak dicapai
3. Masyarakat
4. Sosialisasi dan Fungsinya
5. Integrasi Sosial
6. Konformitas
7. Sosialisasi sebagai Peoses Pendidikan
8. Sosialisasi sebagai Role Learning
9. Pendapat Mengenai Masalah Sosial
10. Relevansi Sosial Budaya
B. KEGAGALAN PENDIDIKAN IPS
1. Erosi Nilai
2. Disintegrasi Sosial
3. Kenakalan Remaja
4. Jarak Sosial
5. Bencana Alam
6. Tsunami
C. POTENSI-POTENSI IPS
1. IPS untuk Pendidikan
2. IPS untuk Pengembangan Kebudayaan
3. IPS untuk Pendidikan Nilai
4. IPS untuk Pendidikan IPS
5. IPS untuk Mubaligh
6. IPS untuk Pembangunan Kesehatan
7. IPS untuk Politisi
8. IPS untuk Memahami Kaum Remaja
9. IPS dan Nilai-Nilai Jawa
D. PEMBERDAYAAN IPS
1. Media Massa dan IPS
2. Museum dan IPS
3. Pariwisata dan IPS
4. Perpustakaan dan IPS
5. Arsip Negara dan IPS
6. Lembaga-Lembaga Publik dan IPS
E. TANTANGAN DAN DUKUNGAN IPS
1. Tantangan Bagi IPS
2. Dukunan Bagi IPS
4
LAMPIRAN
1. Bila Isu Kontroversial Masuk Kelas Sejarah (Pidato Pengukuhan Guru Besar)
2. IPS di Era Reformasi (Artikel pada Harian SUARA MERDEKA)
PENDAHULUAN
Sampai tahun 1950 an nyaris tidak pernah terdengar keluh kesah dari kalangan
guru IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) maupun para siswa jurusan IPS di SMA (Sekolah
Menengah Atas) mengenai betapa tersudutnya posisi mereka dalam dunia pengajaran.
Sebaliknya para guru IPS cukup leluasa melakukan pengajaran IPS di Sekolah-sekolah
Dasar dalam kedudukan sebagai guru kelas. Pada waktu itu betul-betul IPS diajarkan di
SR (Sekolah Rakyat) atau SD (Sekolah Dasar) secara integratif. Guru kelas
memperkenalkan pengetahuan sejarah, ilmu buni maupun etnologi dalam rangkaian
pelajaran yang disebut Pengetahuan Umum. Hebatnya guru yang sama juga mengajar
kami mata pelajaran Berhitung, Bahasa maupun Budi Pekerti.
Selanjutnya di SMP (Sekolah Menengah Pertama) ilmu-ilmu bidang studi
Sejarah, Ilmu Bumi maupun Ekonomi dibberikan kepada semua siswa SMP sampai
dengan kelas II, seimbang dengan bidang studi Ilmu Hayat, Ilmu Alam, Ilmu Ukur,
Aljabar, maupun Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Masing-masing diampu oleh guru
bidang studi. Dan para siswa kelas III SMP sudah merasa mantap memilih bagian A
kalau menyenangi pelajaran ilmu-ilmu sosial dan budaya. Demikian juga yang
menyenangi ilmu-ilmu pasti telah memilih jurusan ilmu pasti alam. Selanjutnya pada
jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) tersedia SMA bagian A bagi mereka yang ingin
mendalami ilmu-ilmu sosial dan budaya yang telah dipilih sejak dari SMP. Sementara itu
tersedia pula SMA bagian B bagi mereka yang menyenangi ilmu-ilmu pasti alam.
Tersedia pula SMA bagian C bagi mereka yang menyenangi ilmu-ilmu hukum. Tidak ada
perasaan rendah diri kalau menjadi siswa bagian A maupun C. dan perasaan tinggi hati
menjadi siswa bagian B. Masing-masing merasa bangga telah memilih jurusan yang
terbaik bagi masing-masing. Maing-masing sekolah dengan jurusan yang khas itu
menempati sekolah yang terpisah.
Sejak tahun 1970 an ketika setiap SMA atau SMU (Sekolah Menengah Umum)
harus memiliki semua jurusan yang ada, yaitu Bahasa, IPS, Biologi dan IPA, muncul
perasaan rendah diri, pada mereka yang “terpaksa” menjadi siswa jurusan Bahasa
5
maupun IPS. Hampir-hampir tidak ada perasaan bangga menjadi siswa jurusan Bahasa
maupun IPS, kalau melihat kenyataan bahwa siswa dari jurusan Biologi maupun IPA
bisa meneruskan belajar di perguruan tinggi pada fakultas manapun, sementara siswa
Bahasa maupun IPS tidak bisa meneruskan belajar pada fakultas-fakultas teknik maupun
kedokteran yang berbasis ilmu-ilmu pasti alam.
Perasaan rendah diri maupun frustrasi nampaknya menghinggapi pula para guru
IPS. Mereka merasakan betapa rendahnya minat siswa untuk belajar IPS. Kebanyakan
para siswa beranggapan belajar IPS hanya penuh dengan hapalan, dan nyaris tidak ada
daya pikat untuk belajar. Belum lagi kalau dilihat bidang studi IPS terdiri dari banyak
komponen, yang meliputi sejarah, geografi, dan ekonomi. Para guru IPS juga mengeluh
karena tidak mungkin ada siswa yang berhasrat untuk mengikuti belajar tambahan berupa
les IPS. Ini berarrti tertutup kemungkinan guru IPS untuk mendapatkan tambahan
penghasilan, meskipun pada saat-saat menghadapi masa ujian akhir, lebih-lebih ketika
menghadapi masa ujian masuk Perguruan Tinggi.
Berbagai upaya untuk mengubah kurikulum IPS untuk membuat mata pelajaran
IPS menjadi menarik dan berhasil guna, namun selalu saja IPS diajarkan dengan cara
yang tidak menarik. Konsep baru dalam pengembangan pelajaran IPS dalam konsep baru
yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah disusun dengan maksud
untuk membuat IPS lebih menarik dan berdaya guna, namun di lapangan justru KBK itu
telah menimbulkan keluhan sementara guru yang menilai KBK telah memnbuat
pelaksanaannya menjadi amat rumit dan memerlukan proses administrasi yang tidak
sederhana.
Buku ini ditulis untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang sama, yaitu
mengapa pelajaran IPS selalu terpuruk. Perlu kiranya dilakukan pemahaman ulang atas
hakekat pelajaran IPS, potensi-potensi apa yang tersembunyi di dalamnya, serta
bagaimana kiat-kiat yang bisa dilakukan untruk membuat IPS menjadi lebih menarik
untuk para siswa dsb. Buku ini bukan buku pelajaran maupun buku pinter mengenai
pengajaran IPS, sehingga tidak disusun dengan sistematika yang runtut, sejak dari
pengertian, teori-teori yang lazim digunakan, serta metode dan model yang ditawarkan
unruk para guru. Sebaliknya buku ini berisi sekumpulan tulisan lepas sesuai dengan tema
dan topik tertentu sesuai dengan keperluan atau kepentingan dengan maksud untuk
6
melakukan revitalisasi IPS, atas dasar asumsi bahwa IPS pada dasarnya memiliki
berbagai kekuatan untuk kepentingan umum dalam kehidupan masyarakat.
Tulisan-tulisan tersebut meliputi topik-topik yang dibagi ke dalam bagian-bagian
tertentu. Bagian pertama diberi judul Konsep-Konsep dalam IPS, yang meliputi konsep-
konsep falsafi, sosiologi, psikologi sosial maupun antropologi untuk pendidikan IPS.
Bagian kedua berjudul Bencana- Kegagalan IPS, yang meliputi topik-topik tentang
berbagai kondisi sosial yang bisa dimasukkan ke dalam kasus kegagalan IPS. Bagian
ketiga berjudul Potensi IPS, yang meliputi topik-topik di sekitar potensi yang terkandung
dalam pendidikan IPS. Bagian keempat berjudul Pemberdayaan IPS, yang meliputi
topik-topik yang berkaitan dengan yang bisa dilakukan dalam pengembangan pendidikan
IPS. Dan Bagian kelima berjudul Tantangan dan Dukungan bagi IPS, yang meliputi
kondisi-kondisi yang berpotensi menjadi tantangan bagi pendidikan IPS, dan kondisi-
kondisi yang berpotensi sebagai dukungan bagi pendidikan IPS.
Perlu kembali disadari bahwa IPS tidak lain adalah langkah tindakan
memanfaatkan IIS (Ilmu-Ilmu Sosial) untuk kepentingan pendidikan. Sementara itu IPS
dapat dipahami sebagai Studi Sosial. Oleh karenanya setiap pengajar IPS harus lebih
dahulu atau selalu memahami konsep-konsep IIS ketika mengampu mata pelajaran IPS.
Ini berarti bahwa Pendidikan IPS tidak lain adalah segala kegiatan dalam pengembangan
kurikulum IPS, baik dalam lembaga pendidikan formal , informal maupun nonformal.
Dengan memhami lebih baik konsep=konsep IPS maupun keasadaran yang benar
tentang pendidikan IPS, maka tidak ada lagi perasaan rendah diri maupun keceewa
dengan pendidikan IPS. Pada saat itulah kita semua sudaj siap untuk merevitalisasi IPS
secara proporsional.
@@@
7
A. KONSEP-KONSEP DALAM IPS
PENGANTAR
Pada bagian ini uraian akan ditekankan pada tinjauan teoritik yang berkaitan
dengan pengertian pendidikan IPS. Uraian itu dimaksudkan untuk memberi batasan
secara teori dasar dari pendidikan IPS, yaitu sosilogi dan psikologi sosial, karena dua
ilmu itu merupakan ilmu yang berkaitan langsung dengan kegiatan manusia, ketika
mereka berinteraksi sebagai sesama mahluk sosial. Hal itu dpandang perlu untuk disadari
benar, karena pendidikan IPS pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan pengertian
kepada peserta didik mengenai pola-pola dan kecenderungan yang terjadi dalam
masyrakat, ketika mereka melakukan interaksi sosial.
Dimaksudkan pula uraian berikut ini untuk memberikan acuan teoritik bagi
kajian-kajian, atau paling tidak melakukan peembahasan sederhana untuk kalangan
siswa peserta didik, tentang hakekat masyarakat, pola hubungan yang terjadi, mekanisme
yang berkembang maupun kecenderungan yang terjadi selama berlangsung interaksi
sosial itu. Dengan demikian kita bisa memberikan penjelasan atas semuanya yang
mencakup kepentingan kelompok, latar belakang perilaku sosial, bentuk perilaku,
maupun tujuan interaksi dilakukan. Di samping itu oleh karena aspek kegiatan manusia
juga memiliki segi falsafi, nilai kemanusiaan maupun pola perilaku manusia sebagai
mahluk berbudaya, akan juga disajikan tinjauan falsafi maupun antropologis. Sekali lagi
untuk membantu kita masing-masing warga sosial memberi penjelasan atas semua gejala
yang terjadi maupun meramalkan apa yang bakal terjadi.
Barangkali uraian dalam bab berikut ini memang lebih bersifat akademis,
sehingga terpaksa harus menggunakan berbagai istilah teknis dan baku sebagaimana
digunakan dalam tinjauan teoritis yang sesuai dengan teori yang digunakan. Namun
diharapkan uraian tersebut bisa diikuti oleh pengguna buku ini dengan memadai. Sebagai
keterangan maupun definisi masih ditulis dalam bahasa asing, dengan maksud masih
otentik, sehingga bisa dimengerti lebih lanjut dengan melakukan diskusi dengan teman
8
sejawat guru ppendidikan IPS. Dengan cara seperti itu diharapkan kita bisa memahami
istilah teknis untuk mengartikan peristiwa maupun pengertian dan tidak rancu oleh
terjemahan yang tidak tepat.
Dengan memahami berbagai istilah maupun pengertian secara teoritis yang
tertera dalam uraian-ueaian pada setiap sub bab, kita akan mudah mengerti uraian-uraian
yang disajikan dalam bab-bab berikut yang menyajikan bdrbagai gejala maupun
mekanisme yang terjadi dalam masyarakat dalam kaitan dengan proses pembelajaran IPS
maupun dengan kasus-kasus yang terjadi di sekitar kita. Semoga bisa berguna.
1. KONSEP HIDUP BAIK
Sebagaimana kita ketahui tujuan akhir dari proses sosialisasi yang merupakan
langkah-langkah dalam komunikasi atau interaksi sosial adalah terjadinya integrasi
sosial. Dengan integrasi sosial dimaksudkan sebagai proses yang datang dari dalam
(immanent) pada setiap masyarakat, agar masyarakat itu dapat tetap survive, agar tidak
terjadi centang perentang, khaos, kacau ataupun desintegrasi. Namun demikian, konsep
integrasi sosial itu sama sekali tidak mengandung arti suatu peleburan, yang tidak
memperkenankan keberadaan sub-sub sosial atau perbedaan, melainkan yang penting
adalah adanya keseimbangan di antara keanekaragaman yang membentuk suatu harnoni.
Sebuah ungkapan lama yang barangkali tepat untuk memberikan pengertian
yang tepat mnengenai hal itu ialah ‘Bhineka Tunggal Ika’, yang berarti ‘berbeda ragam,
namun tetap satu jua adanya’. Di sini diakui adanya keunikan sub-sub sistem, meski
harus tetap membentuk suatu harmoni dalam suatu sistem. Hal tersebut merupakan
gambaran ideal dari cita-cita masyarakat Indonesia mengenai hidup dalam kebersamaan,
yang telah didambakan sejak lama. Kondisi ideal itu dapat dilengkapi dengan gambaran
masyarakat ideal, yang menurut Ignas Kleden, tercermin pada ungkapan ‘Gemah ripah
loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku, tata tentrem kerta
raharja’ dan sebagainya, yang merupakan ungkapan mengenai hidup yang sejahtera, baik
sosial, politik, maupun ekonomi.
Semua ungkapan tersebut di muka itu memberi gambaran mengenai hidup
baik atau ‘good life’, yang merupakan ungkapan falsafi mengenai keadaan hidup yang
9
paling menjadi idaman setiap manusia. Keadaan itu diibaratkan sebagai sesuatu yang
dikejar namun selalu tak terjangkau, dan tetap menjadi kegiatan manuaia dari waktu ke
waktu. Sehingga demikian dianggap sebagai “the most holistic of man`s attribute”’. Yang
dimaksud adalah suatu upaya pencarian hakekat yang hanya sayup-sayup dimengerti,
namun selalu saja lenyap tanpa punya rasa belas kasihan. Itulah yang dikenal sebagai
hidup baik. Ini berarti bahwa hidup baik merupakan semacam fatamorgana, sesuatu
yang tak pasti, sehingga secara plastis Rogers menyamakannya dengan semacam “‘a
journey, not a destination”. Apapun yang bakal terjadi sulit dapat diramalkan, sebab
manusia hanya merupakan berbagai kemungkinan, namun sangat diperlukan keberanian
untuk mencapai kondisi hidup baik tersebut, menurut Rogers (G. Marian Kinget, 1975, h.
236 1937).
Pengertian kedua, yang dapat ditangkap dari uraian di atas ialah, bahwa soal
‘good life’ adalah soal subyektif, yaitu sesuatu yang sangat tergantung pada siapa yang
memandang. Ini berarti, behwa hakekat hidup baik itu amat bervariasi, tergantung pada
pandangan hidup orang yang mencarinya, apakah termasuk mereka yang menganut
paham yang materialistik, idealistik, fasistik, demokratik, ataukah barangkali
humanistik-personalistik. Sebagai contoh dapat dilihat perbedaan yang terjadi di antara
pandangan Rogers, yang humanistik, dan Skinner yang behavioristik mengenai
hakekat manusia.
Mewakili kawan-kawannya dan pandangan yang humanistik, Rogers beranggapan
bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan sesuai dengan
pandangannya mengenai lingkungan. Sebaliknya, bagi Skinner, kebebasan itu hanyalah
ilusi, sobab segala keputusan pada dasarnya ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Oleh
karenanya, bagi Skinner tingkah laku manusia itu dibentuk oleh lingkungannya. Mereka
banyak tergantung di mana mereka tinggal, perkotaan ataukah poedesaan, dalam
lingkungan industri ataukah dalam lingkungan agraris dsb.
Dengan sendirinya konsep mereka mengenai hidup baik itupun berbeda juga
(G.Marian Kinget, 1975, hal. 230).
Meskipun demikian dalam satu hal pandangan-pandangan itu tidak dapat
dibedakan, yaitu, bahwa hidup baik itu berkaitan dengan kepuasan. Dan ini jelas
berkaitan dengan tingkat terpenuhinya kebutuhan, yang ternyata mempunyai banyak
10
macamnya. Ada yang termasuk kebutuhan fisik-badani, psikik-ruhani, ada pula yang
bersifat sosial-kebersamaan.
Menurut ukuran yang ideal, maka hidup disebut baik kalau seluruh spektrum
kebutuhan hidup dapat terpenuhi, dan seluruh potensialitas diri dapat dinyatakan masih
termasuk ideal pula, kalau mengukur hidup baik dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan
vital hidupnya. Akhirnya manusiapun sadar, bahva kondisi semacam itu hampir tak
mungkin terjadi, hingga harus disadari bahwa dalam kenyataan, hidup baik itu terjadi
manakala terdapat kepuasan yang berimbang (balanced satisfaction) di antara seluruh
kebutuhan hidup. Ini berarti, ada sebagian kebutuhan hidup manusia yang betul-betul
dapat terpenuhi, ada sebagiam lagi yang secara memadai dapat terpenuhi, dan sebagian
kebutuhan lagi yang barangkali tak pernah terpenuhi. Demikian pula da1am hal
potensialitas manusia, tidak selalu dapat dipastikan, sehigga kadar keterwujudannyapun
menjadi relatif. Namun harus diakui, bahwa seluruh kemungkinan yang ada pada
manusia dapat selalu dikembangkan selama hidupnya, dan bahwa dapat terjadi saling
menggeser di antara berbagai kemungkinan itu.
Abrahan Maslow, seorang psikolog mengemukakan konsep jenjang
kebutuhan, yang menjelaskan tentang adanya jenjang-ienjang kebutuhan manusia.
Kebutuhan pada setiap manusia itu tidak sama dan bisa digambarkan sebagai lima
jenjang dalam sebuah segi tiga. tingkat paling bawah disebut basic physical need atau
yang terdiri dari kebutuhan dasar manusia, sebagai yang dimiliki hewan lainnya, yaitu
makan, minum dan seks. Dalam hal ini manusia dipandang sebagai bagian dari dunia
hewan. Tingkat kedua disebut safety need, di mana orang mulai merasakan kebutuhan
akan rasa aman. Kebutuhan mereka bukan ssekadar kepuasan jasadi, karena sudah
gampang mereka peroleh.
11
Gambar 1
Jenjang kebutuhan menurut Abraham Maslow
Need
Berikutnya kalau orang sudah bisa mendapatkan rasa aman dalam memenuhi
kebutuhan dasar yang didambakan, muncul kebutuhan pada jenjang berikutnya, yaitu
beloved need atau mendapat pengakuan atau rasa dicintai oleh orang lain. Bila semua
kebutuhan di muka ssudah mudah diperoleh orang mulai mendambakan kepuasan akan
harga diri atau esteen need. Untuk mendapatkan kepuasan pada jenjang di atas memang
diperlukan upaya maupun resiko lebih besar. Dan akhirnya di atas segalanya masih
terdapat kebutuhan tertinggi, yaitu need of self actualization. Yang dimaksud adalah
kebutuhan unruk sebuah pengembangan diri. Biaya untuk mendapatkan kepuasan hatu
untuk memenuhi kebutuhan itu barangkali tak bisa dinilai secara materiil.
Barangkali bahkan tak memerlukan biaya, namun kepuasan itu sendiri tak
bisa dinilai dari luar. Ketika Sakyamuni memutuskan untuk keluar dari istama dan
mengembara sebagai Buda Gautama, dia merasakan kepuasan tertinggi sebagai bentuk
12
Need of Self
Actualization
Esteem Need
Beloved Need
Safety Need
Basic Physical Need
aktualisasi diri. Dia hanya dengan jubah kuning, tongkat dan tempurung kelapa untuk
memeinta-minta sedekah. Dia kemudian mendapatkan penerangan atau bodhi ketika
berada di bawah naungan pohon pepala. Hal semacam dialami pula oleh Muhammad
SAW sejak mendapatkan wahyu di gua Hira. Untuk itu dia menafikan semua tawaran
hidup enak yang ditaewarkan oleh para pemimpin Quraisy, asal Muhammad
meninggalkan dakwah Islamnya. Demikiamn juga hal serupa diperoleh oleh seorang
ilmuan amupun guru melakukan pengabdian kepada kemanusiaan. Dengan demikian
yakinlah kita bahwa ukuran hidup baik atau good life amat bervariasi.
2. PENDIDIKAN IPS DAN TUJUAN YANG HENDAK DICAPAI
Salah satu pengertian yang harus dipahami dalam mengembangan ilmu
sosial adalah bahwa kebenaran ilmu sosial merupakan kebenaran yang relatif dan
tentatif. Begitu nenurut Sullivan (1953). Tak dapat dilupakan pula kenyataan, bahwa
manusia kecuali sebagai obyek juga sebagai subyek penelitian. Di sini sangat diperlukan
peningkatan rasa tanggung jawab mengenai kesejahteraan manusia itu sendiri, sejalan
dengan pikiran Max Weber bahwa tujuan akhir dari ilmu sosial adalah peningkatan
seseorang dalam tanggung jawab. Dalam bahasa aslinya dikatakan “… the ultimate aim
of the science of social men was the enhancement of one's responsibility” (John S.
Nimpoeno, 1980, h. 1).
Hasil kajian yang bersifat subyektif dan tentatif itu juga terjadi kalau
dilakukan dengan pendekatan spesialistis atau hanya dari satu disiplin. Dan untuk
mendapatkan hasil kajian yang lebih mempunyai arti (meaningful), akan digunakan
pendekatan interdisiplin, yaitu dengan menggunakan lebih dari satu disiplin yang relevan.
Itulah yang menjadi dasar yang diharapkan oleh pendidikan I1mu Pengetahuan Sosial
dalam artian Studi Sosial (Achmad Sanusi, l972, h.4-5).
Dengan cara pendekatan interdisiplin ini dimaksudkan dalam waktu bersamaan
digunakan konsep-konsep dalam ilnu-ilmu sosial yang relevan, dalam upaya memberikan
penjelasan sesuatu masalah kemasyarakatan yang sedang dihadapi, agar tercapai tujuan
yang dikehendaki. Meskipun demikian sifat hasil kajian yang bersifat subyektif dan
13
GAMBR 2
Skema Tujuan Program Pendidikan IPS dalam Artian Studi Sosial
MASYARAKAT ORANG DEWASA
I n t e r a k s I S o s i al
KEBUDAYAAN
ASING
R E M A J A YOUTH CULTURE
PENGEMBANGAN
SIKAP
PERTUMBUHAN
PENGETAHUAN
&
SALING PENGERTIAN
PENGEMBANGAN
KETRAMPILAN
&
KEMAMPUAN
1. Bersikap
positif thd
masyarakat
2. Menjadi
warga masyarakat yg
baik
3. Penyesuaian
diri dengan
masyarakat
4. Penuh saling
pengertian dengan
sesama masyarakat
5. Peduli thd
lingkungan
1. Belajar
mengenali hak dan
kewajiban sebagai
warga masyarakt
2.Memahami status
dan fungsi sbg
warga masyarakat
3. Melatih saling
pengertian di
antara sesama
warga
a. Latihan
mengidentifikasi
masalah
2. Latihan
menganalisa
masalah
3. Latihan
mengambil
keputusan
INTELEGENT SOCIAL ACTOR
S O C I A L A D J U S M E N T
INTELEGENT SOCIAL ACTOR
14
tentatif masih dimungkinkan terjadi.
Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa pendidikaan Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) dalam artian Studi Sosial yang dimaksud, mempunyai tanggung jawab utama
untuk membantu anak menjadi dewasa dalam artian mampu mengambil keputusan-
keputusan penting yang berkaitan dengan pergaulannya dengan orang lain dalam
masyarakat, dan berani mengambil tanggung jawab atas apa yang dilakukan. Selain itu
Studi Sosial diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak untuk mengmbil
keputusan secara rasional dalam menghadapi berbagai masalah dalam hidup, dan
mengambil sesuatu tindakan secara cerdik. Dengan perkataan lain program Studi Sosial
diharapkan dapat membuat anak menjadi aktor sosial yang cerdik (intelligent social
actor).
Dan kemampuan untuk mengambil keputusan itu dapat dicapai, antara lain dengan
jalan melatih anak menghadapi masalah-masalah sosial yang ada di sekitar mereka (J.A.
Banks, 1977, h. 10-12). Dari sana sebetulnya dapat terlihat adanya tiga tujuan
pendidikan IPS dalam artian Studi Sosial, yaitu : (1) pengembangan sikap, (2)
pertumbuhan pengetahuan serta saling pengertian, dan (3) pengembangan
ketrampilan serta kemampuan.
Warga masyarakat disebut warga yang efektif, kalau menunjukkan sejumlah
sikap positif dalam menghadapi masyarakat. Sikap-sikap tersebut didasarkan moral, etika
serta nilai spiritual yang serasi dengan masyarakat demokratis, menurut Jarolimeck
(1961). Selain itu harus pula terjadi proses penyesuaian kepribadian anak, sebab perilaku
sosial yang tidak serasi merupakan gejala ketidak mampuan anak dalam penyesuaian
diri. Di pundak generasi tua beban bimbingan itu diletakkan (Noel D. Pryde, 1975, h. 10).
Yang dapat kita tangkap dari harapan yang dibebankan pada Studi Sosial atau IPS
tadi, ialah tumbuhnya rasa tanggung jawab sosial dan penyesuaian diri dengan tata nilai
lingkungan sosial. Ini dkenal sebagai kedewasaan sosial, jadi tidak sekadar kedewasaan
fisik maupun mental, dianggap memiliki tanggung jawab sosial yang baik.
Tiujuan lain program Studi Sosial yang perlu dicapai ialah pertumbuhan pengetahuan
dan pengertian akan hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat. Dengan cara lain
dapat dikatakan, bahwa orang dewasa harus mampu memainkan peran sosial dengan
baik, untuk membantu anak memahami warisan sosial budaya serta belajar menghadapi
15
masalah-masalah yang bakal dihadapi kelak, menurut R.C. Preston (1960). Yang
penting nampaknya pendidikan IPS bertujuan supaya warga masyarakat memahami
warga masyarakat yang lain, serta lingkungan di mana orang itu hidup. Dengan cara itu
akan dapat dicapai saling pengertian di antara warga masyarakat sendiri (Noel D. Pryde,
1975, h. 15).
Tujuan program Studi Sosial tersebut tidak mungkin tercapai tanpa dicapai lebih
dulu sejumlah ketrampilan yang diperlukan, yaitu melakukan adaptasi diri dalam tata
nilai masyarakat. Dari seorang aktor memang dituntut banyak sekali, apalagi kalau harus
memainkan peran-peran sosial yang sering sekali ganda, dan harus pula menghadapi
peran-peran lain yang banyak sekali, dan sering sekali tidak serasi dengan ‘role
expectation’ yang tidak tertulis dan tidak jelas. Di sinilah nampak sekali perlunya proses
sosialisasi, untuk mengkomunikasikan harapan-harapan sosial, sehingga setiap warga
mengetahui ‘role expectetion’ yang dituntut dari warga masyarakat tersebut.
3. MASYARAKAT
a. Paradigma Masyarakat
Selanjutnya perlu disepakati lebih dahulu apa yang dImaksud dengan
masyarakat agar selalu terdapat kesamaan arti dalam penggunaan konsep masyarakat
yang kita pergunakan. Kita bakal mengetahui konsep masyarakat yang tidak tunggal arti,
tergantung dari paradigma mana yang kita ikuti. Kepastian dalam memandang
masyarakat ini akan memberikan kemudahan bagi kita dalam memberikan jalan
terhadap berbagai gejala yang bakal muncul dalam pemahaman pada IPS. Di samping itu
juga persepsi mengenai masyarakat tersebut, akan memberikan kemufakatan atau kesatu
bahasaan dalam menggunakan konsep-konsep sosial dalam menganalisis berbagai
kcenderungan yang muncul dalam pembahasan. Di sinilah perlunya kita menyetujui
suatu paradigma mengenai masyarakat. Mula-mula, masyarakat harus dipandang
sebagai sistem yang hubungan antara warganya diikat oleh suatu saling ikatan yang tak
terpisahkan, dalam suatu keseimbangan. Masyarakat bukan sekedar sebagai ‘a set of
interrelated elements’ atau ‘a set of interdependent variables’, melainkan suatu
16
‘homeostatic interrelated system’. Ini berarti, bahwa mula-mula masyarakat adalah
sekelompok manusia, yang diabstraksikan dari kenyataan-kenyataan fenomenologik, dan
yang terdiri dari ‘a set of interdependent (social) variables’. Sebagai suatu sistem
maka masyarakat terdiri dari sub-sub sistem, yang memiliki status, posisi, kepentingan
serta peranan tertentu, namun baru mempunyai makna dalam ikatan keseluruhan yang
padu. Interaksi yang terdapat dalam sistem tersebut, bukan hanya berlangsung di antara
individu dengan individu, namun juga di antara individu dengan kelompok dan di antara
kelompok dengan kelompok. Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa masing- masing sub
sistem atau komponen dalam masyarakat merasakan kebutuhan untuk tetap dalam
kesatuan, karena masing-masing sub sistem hanya mempunyai arti kalau dalam ikatan
kebersamaan. Hal tersebut terjadi karena sebagai sistem, masyarakat mempunyai tujuan
yang dirasakan bersama, sehingga untuk mencapai tujuan bersama tersebut terbentuklah
pola hubungan saliing membutuhkan (social pattern of mutual helpfulness). Dengan
cara itu masing-masing rnerasakan kepuasan bersama (mutual satisfactory), namun
mereka masih tetap merasa saling bergantung satu sama lain (interdependency)’.
Selama interaksi berlangsung, oleh karena masing-masing warga masyarakat
memiliki karakteristik yang berbeda-beda, maka yang terjadi adalah rangkaian konflik,
kompetisi, kerja sama dan akomodasi, dan disusul kembali dengan konflik, kompetisi,
kerja sama dan akomodasi. Sehingga terjadilah apa yang dikenal sebagai rangkaian
adaptasi sosial, karena akomodasi sendiri merupakan ‘... the adjustment of hostile
individuals or groups’. Itulah sebabnya masyarakat sebagai suatu totalitas merupakan
suatu ‘stable inner equilibrium’, suatu keseimbangan yang datang dari dalam yang
telah mantap.
Yang ke dua, masyarakat harus dipandang sebagai cara-cara untuk terjadinya
konformitas, dan sementara itu merupakan sistem nilai, atau dengan kata lain dapat
dikatakan, bahwa masyarakat merupakan suatu ‘modes of conformity, and normative
system of values’. Sejak awal sudah diuraikan mengenai proses sosia1isasi yang
dimulai sejak dari lingkungan keluarga, ketika anak-anak harus melakukan adaptasi dan
penerimaan terhadap tata nilai serta norma yang berlaku dalam keluarga. Itu berarti,
bahwa anak-anak sebagai warga baru kelompok atau masyarakat diharapkan dapat
konform dengan tata nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
17
Sebagai suatu sistem nilai yang normatif, maka masyarakat juga mengenal
adanya sanksi, seperti dikemukakan di depan. Cara tersebut berguna agar supaya setiap
warga masyarakat bisa bertingkah laku dan tampil sesuai dengan harapan-harapan sosial
yang telah dikomunikasikan selama masa sosialisasi. Yang dimaksud dengan nilai, ialah
bagian dari kebudayaan yang berupa keyakinan yang mengikat warga masyarakat
mengenai baik dan buruk, benar dan tidak benar. Nilai tersebut dimanifestasikan dalam
bentuk norma, kebiasaan, sanksi dan sebagainya dalam kehidupan (James A. 1972 h.
240-250).
Paradigma ke tiga, ialah bahwa masyarakat merupakan pola-pola bagi integrasi
sosial maupun sosialisasi, yang dalam sosiologi dikenal dengan istilah ‘patterns of
association and socialization’. Kecenderungan proses sosial yang bersifat asosiatif atau
integratif dapat kita lihat pada Gambar 2 mengenai Basic Social Processes tersebut di
atas...
b. Individu dalam Masyarakat
Mempelajari kecenderungan remaja dalam rangka proses interaksi sosial, tidak lain
dari pada mempelajari manusia dengan perilakunya dalam antarhubungan manusia itu
sendiri. Dan ini jelas menunjukkan bahwa kawasan pembahasannya berada di dalam
kawasan psikologi sosial, yang secara gampang sering disebut sebagai “the science of
interpersonal behavior events" (Krech et al, 1962, h. 5). Dengan demikian maka kita
berangkat dari tinjauan psikologi sosial sebagai pijakan utama. Namun demikian untuk
mendapatkan penjelasan lebih lengkap mengenai manusia dan lingkungan sosial
budayanya, digunakan juga konsep konsep sosiologi.
Manusia dapat dikatakan sebgai mahluk Tuhan yang mempunyai tiga aspek dalam
suatu keutuhan, yaitu aspek organik-jasmaniah, aspek psikik-ruh, dan aspek
sosial-kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling berkaitan, saling mempengaruhi,
sehingga perubahan pada satu aspek akan berpengaruh terhadap aspek yang lain. Oleh
karenanya manusia disebut individu selagi tingkah lakunya hampir identik dengan
tingkah laku masyarakat di mana individu tersebut tinggal. Dan selama itu pula individu
tersebut dibebani berbagai peranan. Dan peranan-peranan itu terutama berasal dari
18
kondisi kebersamaan hidup dengan sesamanya (John S. Nimpoeno, 1980, h. 4).
Dengan memandang setiap individu sebagai suatu ‘self’ yang berdiri
sendiri, William James (1890) memandang bahwa pada diri setiap individu terdapat tiga
tipe ‘self’, yang terdiri dari social self, spiritual self, dan material self ( Lindzey and
Aronson I, H. 522). Dengan perkataan lain dapat dikatakan, bahwa manusia mempunyai
tiga dimensi, yaitu dimensi badani, dimensi ruhani, dan dimensi sosial-kebersamaan. Dan
ini berarti bahwa setiap nanusia, di satu pihak merupakan individu yang unik, yang
mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan orang lain. Namun di lain pihak,
merupakan warga atau bagian dari lingkungan sosialnya. Oleh karenanya setiap
individu harus berperilaku sesuai dengan pola-pola perilaku kolektif, namun tidak lepas
dari keunikan dirinya.
Dalam perjumpaan antara keunikan individual dengan tekanan pola-pola
sosial budaya, dapat terjadi berbagai kemungkinan. Kemungkinan pertama, seorang
individu akan ‘kehilangan individualitasnya’, karena terbawa oleh tekanan pola-pola
sosial budayanya. Dalam hal ini orang tersebut akan berperilaku tidak menyimpang dari
perilaku yang pada umumnya diperbuat oleh kebanyakan orang dalam lingkungan
sosialnya. Orang tersebut menunjukkan ketundukan yang tinggi terhadap tata nilai
yang berlaku dalam masyarakat.
Gejala ketundukan warga masyarakat terhadap tata nilai masyarakat, sehingga
mereka berperilaku serasi dengan harapan-harapan sosial sesuai dengan peranan yang
disandang oleh masing-masing warga, disebut konformitas. Dalam hal ini tidak berarti
warga masyarakat menunjukkan perilaku yang sama dan seragam dengan warga yang
lain, melainkan warga masyarakat menunjukkan perilaku yang serasi dengan posisi,
status dan peran mereka dalam masyarakat, seperti yang diharapkan oleh masyarakat.
Kemungkinan kedua yang terjadi dalam perjumpaan antara keunikan individual
dengan pola-pola sosial-budaya, ialah ‘menyimpang dari norma kolektif’(John S.
Nimpoeno, 1980, h. 5). Keadaan yang demikia itu terjadi manakala tingkah laku warga
masyarakat yang unik tidak serasi dengan tingkah laku kolektif, sehingga yang terjadi
ialah nonkonformitas. Akan tetapi dalam kenyataan hidup, setiap warga masyarakat
akan cenderung menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan situasi aktual yang
dihayatinya. Dan keberhasilan untuk mencapai titik optimum antara dua pola tingkah
19
laku tersebut di atas dalam situasi-situasi yang senantiasa berubah, dianggap sebagai
tanda ‘kematangan’ atau ‘kedewasaan’ dalam pengertian sosial. Meskipun demikian
individu dan masyarakat dalam permasalahan ini, tidak pernah disejajarkan hingga
menjadi individu dan masyarakat, atau bahkan dipertentangkan menjadi individu atau
masyarakat. Sebaliknya, lebih pantas kalau tetap disebutkan dengan cara individu
dalam masyarakat (Krech et al., 1962, h. 529).
Ini berarti bahwa kecenderungan apapun yang terjadi, ‘menyimpang dari norma
kolektif’ ataupun ‘kehilangan individualitasnya’, ‘berperilaku konform’ ataupun ‘bebas’,
tampil sesuai dengan ‘kepribadiannya’ atapun ‘mcndapat tekanan dari
masyarakatnya’, mau tidak mau merupakan pencerminan baik dan keunikan maupun
kebersamaan. Agak berbeda dengan kebersamaan dalam kehidupan hewani yang
mengikuti kaidah-kaidah eko1ogis dan bersifat naluriah, maka hidup kebersamaan
manusia didasarkan pada pertimbangan nalar dan saling ketergantungan.
Menurut Durkheim, gejala kolektivitas hewani itu disebut sebagai
‘mekanistik’, sementara dalam dunia manusia dikenal sebagai ‘organik’, yaitu atas
dasar saling mengatur dan saling membutuhkan. Ini berarti, bahwa pola perilaku yang
terjadi dalam kehidupan manusia, merupakan sesuatu yang dipelajari, merupakan sesuatu
yang tumbuh. Dan karena perilaku manusia itu berkaitan dengan posisi dan status
peranan masing-masing warga dalam sesuatu masyarakat, maka orangpun menyebutnya
sebagai suatu struktur. Di sana masing-masing bagian atau warga masyarakat meru-
pakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan, sebagai sebuah sistem.
c. Interaksi Sosial
Masyarakat pada dasarnya merupakan struktur sosial yang dinamis, dalam
artian di dalamnya terjadi saling hubungan di antara sesamanya (personal interrelations).
Dan para warganya dengan demikian merupakan orang-orang yang saling berhubungan
(interrelating persons). Pengertian itu timbul kalau kita bertolak dari anggapan bahwa
masyarakat merupakan suatu sistem.
Yang dimaksud dengan sistem di sini ialah seperangkat unsur-unsur yang saling
berhubungan, dalam artian masing-masing unsur saling bergantung sesamanya. Secara
20
singkat daoat dikatakan, bahwa sistem merupakan ‘a set of interrelated elements’. Ini
berarti bahwa, keseluruhan sistem tersebut selalu mempunyai makna lain dari pada
sekedar kumpulan unsur-unsur belaka. Dan sebagai sistem, maka masyarakat yang
merupakan sekelompok manusia dapat digambarkan berdasarkan penuturan Loomis
(1960), Parsons (1951) dan Merton (1949), sebagai berikut.
1) Sistem Sosial terdiri dari bagian-bagian yang utuh, tetapi saling
berkaitan secara bermakna. Jadi sistem itu mempunyai struktur.
2) Setiap bagian dari sistem sosial mempunyai fungsinya tersendiri,
tetapi tetap dalam rangka keseluruhan sistem. Yaitu tidak lain karena
keseluruhan sistem sosial itu juga mempunyai fungsi yang pasti.
3) Tergantung dari konsep yang dipakai, maka bagian-bagian sistem
dapat berwujud pelaku, fungsi atau peranan, yang dapat
mengkonversikan masukan (input) menjadi keluaran (output). Adanya
masukan dan keluaran pada masing-masing bagian itu disebabkan oleh
adanya masukan dan keluaran pada sistem sosial sebagai suatu keutuhan.
4) Sebagai sistem sosial, sistem ini mempunyai tujuan, dan karena
mempunyai tujuan, sistem tersebut juga paling sedikit terikat pada nilai-
nilai tertentu (system values) yang kemudian diendapkan menjadi tolok
ukur-tolok uikur (system parameters).
5) Sistem Sosial tidak kaku (antara lain karena memiliki sifat sebagai
‘sistem terbuka’), sehingga senantiasa marnpu menyesuaikan diri dengan
kondisi lingkungannya dan saat yang satu ke saat yang lain. Perubahan-
perubahan sistem yang ditimbulkan mempunyai corak evolusioner
6) Perubahan revolusioner akan membuat punah sistem yang lama,
karena diganti oleh sistem yang lain. Sebagai contoh: revolusi industri
adalah sebuah perubahan yang cepat dan mendalam, yang merangsang
munculnya sistem masyarakat baru di abad lampau.
(John S, Nimpoeno, 1980, h. 17-18)
Dengan perkataan lain dapat dinyatakan bahwa sebagai suatu sistem, maka
para warga masyarakat merupakan jalinan ynng padu, yang ditandai oleh adanya
21
hubungan antara warga. Dan dalam kehidupan yang asosiatif itu, nampaknya interaksi
merupakan kunci segalanya, menurut Kimball Young (1942). Interaksi itu sendiri
dapat didefinisikan sebagai hubungan timbal-balik antara dua orang atau lebih, dimana
setiap orang terjalin erat dalam tindakan dan dengan maksud tertentu. Dan dalam
hubungan timbal-balik itu terlihat tiga bentuk hubungan, sebagai berikut
:
1) interaksi orang seorang, di mana seorang bocah untuk pertama kalinya
belajar menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tuanya, atau
dimana seorang perjaka mencari pasangan hidupnya.
2) interaksi antara orang seorang dengan kelompok, atau sebaliknya,
dimana seseorang individu mendapati dirinya bertentangan dengan
norma kelompok, atau di mana sesuatu kelompok memaksakan
kehendak agar anggotanya dapat konform dengan nilai kelompok.
3) interaksi antara dua kelompok, di mana dua partai bekerja sama
untuk mengalahkan partai ke tiga, misalnya, atau manakala dua
negara sedang berperang.
(Selo Soemardjan dkk., 1964, h. 184).
Dapatlah kemudian dipahami kalau dalam interaksi sosial semacam itu, yang
terjadi ialah rangkaian kooperasi, konflik atau kompetisi, dan akhirnya akomodasi.
Konflik dan kompetisi sebetulnya merupakan wujud dari bentuk interaksi yang bernama
oposisi. Dengan koperasi (kerja sama) dimaksudkan sebagai bentuk interaksi yang
bertolak dari kebutuhan bersama, yang dikaitkan dengan upaya untuk mendapatkan
tujuan atau hasil yang sama. Dengan azas ini sebetulnya seluruh interaksi sosial terjadi.
Kerja sama (koperasi) menurut pandangan psikologi, dilatar belakangi oleh
ketergantungan, kasih sayang, simpati maupun identifikasi. Berbeda dengan kooperasi,
maka oposisi bertolak dari perbedaan dalam kepentingan, kebutuhan, tujuan dan
sebagainya, di antara warga masyarakat, dan seringkali diidentikkan dengan
‘pertarungan’ (struggle).
Kimball Young (1942) membedakan oposisi menjadi kompetisi dengan
22
konflik. Kompetisi merupakan bentuk oposisi yang ‘lebih lunak’, yang lebih
menekankan pada tujuan untuk mendapatkan ‘hadiah’ dan bukan pesaing itu sendiri.
Sebaliknya, konflik lebih menekankan pada perjuangan mengalahkan pesaing itu sendiri
(Selo Soemardjan cikk., 1964, h. 185-208).
Sedangkan akomodasi dan asimilasi merupakan proses yang terjadi dalam
masyarakat, yang dimaksudkan sebagai ‘jalan keluar’ atau ‘pilihan’, sebagai akibat
terjadinya oposisi dalam masyarakat. Dengan cara ini maka interaksi sosial menjadi
lebih penuh toleransi dan lebih mnghemat energi. Sebaliknya akomodasi juga
merupakan kondisi berupa persetujuan secara institutional, dimana warga masyarakat
dan masyarakat setuju untuk mengambil sikap tertentu terhadap sesuatu aturan. Kimball
Young (1942) menyebut kondisi itu sebagai pencerminan dari keseimbangan
(equilibrium) antara individu dengan kelompok maupun dengan tatanan yang telah
disetujui bersama.
Perlu dikemukakan bahwa bentuk-bentuk interaksi tersebut di atas merupakan
rangkaian (kontinum) yang silih berganti, dan merupakan wujud dari proses penyesuaian
hidup bermasyarakat (social and life adjustment), yang berlaku bagi setiap warga
masyarat. Rangkaian proses itu sendiri berlangsung sejak dari lingkungan kehidupan
keluarga, kelembagaan, komunitas, masyarakat, hingga lingkungan bangsa. Selama itu
pula warga masyarakat yang lebih mapan (=generasi tua) menggunakan kesempatan
tersebut untuk mengkomunikasikan harapan-harapan sosial kepada generasi muda.
Proses tersebut dikenal sebagai sosialisasi atau enkulturasi. Dalam proses sosialisasi
atau enkulturasi itu, generasi tua menyampaikan norma-norma, mores , folkway dan
nilai (value).
Menurut Sumner (1906), selama itu proses sosial yang sesungguhnya terjadi,
di mana umat manusia bukan didesak untuk tunduk pada sesuatu filosofi atau etika besar
yang datang dari luar, melainkan didorong untuk dapat hidup sesuai dengan kondisi
nyata yang hidup.
Dari menit ke menit setiap warga masyarakat dibiasakan dan didorong untuk
melakukan tindakan yang merupakan ‘satu bahasa’. Dan kebiasaan hidup seperti
dipaksakan dalam kehidupan sehari-hari, dan orang dipaksakan untuk hidup serasi
dengan orang lain. Dengan cara itu orang mencoba untuk hidup benar dan betul.
23
Dengan agak lengkap Sumner (1906) mengatakan:
‘The real (social) process in great bodies of men is not one of deduction
from any great principle of phylosophy or ethics. It is one of minute efforts to
live wel1under existing conditions, which efforts are repeated undefinitely by
great numbers, getting strength from habit and the fellowship of united action.
The resultant folkways become coercive. All are forced to conform, and the
folkways dominate the social life. Then they seem true and right, and arise in
mores as the norm of welfare.
(Lindzey and Aronson, I, 1954, h. 511).
Dalam proses interaksi itu warga baru belajar dari masyarakat ketrampilan,
fakta serta nilai, yang amat berguna bagi kehidupannya kelak dalam masyarakat,
sehingga disebut juga ‘social learning’. Namun sebenarnya dalam proses ‘social learning’
terjadi dua kegiatan yang serempak, yaitu ‘personal-social Learning’ dan ‘cultural
conditioning’ (Kimball Young,58, h. 113-119).
Cultural conditioning’ merupakan proses yang terjadi dalam masyarakat dan
dimulai dari lingkungan keluarga, berupa kelakuan-kelakuan yang harus dilakukan
anak, agar dapat diterima dalam pola budaya suatu masyarakat. Sementara itu setiap
warga masyarakat saling berhubungan dengan mengikuti cara-cara, hak dan kewajiban
dan sebagainya, yang berlaku dalam masyarakat. Itulah yang disebut sebagai ‘personal-
social learning’.
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa seluruh proses disebut sebagai
‘personal-social and cultural learning’, yang prosesnya dapat divisualisasikan, seperti
terlihat pada Gambar 3 berikut ini.
24
Pada gambar terlihat adanya satu faktor lagi yang harus diperhitungkan dalam
proses sosial tersebut, yaitu perbedaan (differentiation), yang dapat dianggap sebagai
karakteristik yang dirniliki oleh setiap individu sebagai warga masyarakat.
Karakteristik individual itu bermula dari perbedaan status biologis, seperti
perbedaan jenis kelamin, umur dan sebagainya, yang termasuk dalam dimensi badani.
25
Ketika karakteristik personal itu berhadapan dengan kenyataan hidup dalam masyarakat,
berubahlah menjadi karakteristik atau perbedaan status-status sosial, yang membawa
akibat pula pada perbedaan peranan. Yang dimaksudkan ialah perbedaan berupa
lapisan-lapisan masyarakat atau stratifikasi sosial dan spesialisasi dalam tugas.
alam maasyarakat yang mengenal kelas, stratifikasi sosial itu dapat berupa
jenis-jenis kasta, kelas pekerja, kelas majikan, kelas menengah dan sebagainya.
Sedangkan spesialisasi dalam tugas dapat berupa jenis-jenis tenaga kerja ataupun jenis
tugas pekerjaan, seperti kaum terpelajar, buruh, majikan, petani dsb.
4. SOSIALISASI DAN FUNGSINYA
a. Sosietalisme kontra Developmentalisme
Masyarakat memiliki mekanisme berupa proses sosial, yang dimaksudkan agar
masyarakat dapat melanjutkan hidupnya (survive). Ini berarti bahwa terhadap generasi
baru perlu dilancarkan berbagai upaya oleh generasi tua - baik dengan cara-cara langsung
maupun simbolik - agar bisa tampil dalam masyarakat sesuai dengan tata nilai dalam
masyarakat. Bisa dilakukan dengan memberikan aturan main secara fotmal, pesan moral
lewat cerita rakyat, mitologi, legenda maupun dengan ceramah maupun pendidikan
formal.
Edward Zigler maupun Irvin L. Child dalam tulisannya berjudul ‘Sosialization’
menekankan bahwa sosialisasi merupakan masalah praktis yang sudah kuno, dan sudah
meresap dalam kehidupan umat menusia, yaitu bagaimana mengasuh anak-anak agar
mereka menjadi warga masyarakat yang benar dalam masyarakatnya sendiri.
Lengkapnya Zigler mengatakan sebagai berikut.
“Sosia1ization refers to a practical problem which is old and pervasive in human
life the problem of how to rear children so that they will become adequate adult
members of the society to which they belong.” (Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 450)
Di sini yang ditekankan adalah pentingnya peranan pengasuhan anak, agar anak dapat
menyesuaikan diri dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi orang
26
dewasa yang benar. Jadi konformitas merupakan tujuan akhir dari proses sosialisasi.
Baik Kluckhohn maupun Murray beranggapan bahwa proses sosialisasi itu
sudah berjalan semenjak masa pengemongan atau pengasuhan (nursery). Dan manakala
si anak mulai bertindak sesuai dengan perilaku yang diharapkan orang tua, ini berarti
sosialisasi telah membuahkan hasil (Skinner, ed., 1959, h. 291).
Pendapat semacam itu mewakili aliran sosietalisme, yang amat menekankan
pada pentingnya faktor lingkungan sosial budaya, karena mereka mendsarkan
pandangan pada anggapan bahwa proses sosialisasi tidak lain adalah proses transmisi
kebudayaan (cultural transmission). Ternyata definisi Child tersebut menimbulkan
kritik dari golongan developmentalisme, yang diwakili oleh pandangan-pandangan
Maslow (1954), Yahuda (1955), Allport (1955) maupun Rogers (1951). Mereka yang
terakhir ini sangat menekankan perlunya aktualisasi diri (self-actualization), karena
berkeyakinan bahwa sosialisasi pada dasarnya merupakan proses untuk aktualisasi diri
(Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 472). Dengan demikian, sosialisasi dianggap berhasil
kalau telah terjadi aktualisasi diri pada anak. Pada saat itu seorang anggota baru
masyarakat masih tetap dapat mempertahankan sifat otonominya dalam badai tekanan
pengaruh transaksional (transactional relationship), dimana seseorang individu masih
mampu tampil dengan seluruh potensionalitasnya dalam rangka wadah lingkungan sosial
budayanya.
b. Aliran Kponvergensi
Disinilah perlunya kita menganut aliran konvergensi, yang nampaknya
dapat memberikan penjelasan mantap terhadap berbagai kecenderungan dalam proses
sosial. Aliran ini antara lain diwakili oleh pemikir-pemikir Robert Brown (1965) dan
Kohlberg (1966), yang beranggapan bahwa proses sosialisasi tak dapat dipandang
sebagai proses yang sederhana, tidak sekedar pengendalian atas dorongan alami (the
control of impuls), atau perolehan nilai-nilai yang serasi dengan kaidah-kaidah (the
acquisition of values conforming to norms) maupun internalisasi superego yang timbul
dari orang tua (the internalization of parental superego). Sebaliknya kita tidak boleh
memandang rendah peranan si anak sebagai warga baru masyarakat, karena mereka
27
memiliki berbagai karakteristik intelektual dan persepsi, yang mampu berinteraksi
dengan berbagai faktor eksternal (Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 465-474)
GAMBAR 4
KONSEP SOSIALISASI ,MENURUT PARADIGMA
PANDANGAN KAUM
SOSIETALIS
• Walter
• Bandura
PANDANGAN KAUM
DEVELOPMENTALIS
• Maslow
• Yahuda
• Allport
SOSIALISASI : SOSIALISASI :
• Traaaansmission of the
culture
• Impossing conformity
• Process of becoming human
• Facilitating self-
actualization
PANDANGAN KONVERGENSI
* Robert Wrong
SOSIALISASI :
• Transmission of the cultur.
• Imposing contormity
seka1igus
• Process of becoming human
• Facilitating self-actualization
28
Aliran atau cara berpikir inilah yang akan melandasi pangertian dan
pengembangan IPS dalam buku ini. Oleh karenanya marilah kita terima
batasan yang menganggap sosialisasi sebagai suatu istilah yang luas, yang
mencakup keseluruhan proses seseorang individu mengembangkan pola-
pola spesifik perilaku maupun pengalaman yang serasi dengan masyarakatnya,
lewat transaksi dengan warga masyarakatnya. Menurut Zigler, batasan
sosialisasi menjadi “… socialization is a broad term for the whole process by
which an individual develops, through transaction with other people, his
specific patterns of socially relevant behavior and experience (Lindzey and
Aronson III, 1975, h. 474).
Dengan perkataan lain dapat dikatakan, bahwa sosialisasi sekaligus merupakan
suatu proses untuk ‘imposing conformity’ dan ‘facilitating self actualization’. Di satu
pihak, sosialisasi bersifat negatif, di lain sisi bersifat juga positif. Maksudnya adalah
bahwa kepribadian anak telah dibentuk oleh
lingkungan (ekologi), sekali gus juga diberi kesempatan untuk
mengembangkan diri. Dan sementara itu perlu dipahami, bahwa sosialisasi
berarti menekan dorongan-dorongan naluriah atau mengendalikannya, juga
berarti menciptakan sesuatu yang baru, seperti saling pengertian di antara
sesama warga. Sejalan dengan adanya pengertian ‘personal-social and
cultural learning’, dapat dibedakan pula pengertian-pengertian sosia1isasi
dan enkulturasi.
Sosialisas dianggap berbeda dengan enkulturasi oleh Bandura dan Walter (1963),
karena sosialisasi merupakan proses bagaimana anak harus tampil sejak dalam keluarga,
agar kelak dapat tampil sesuai dengan harapan masyarakat, sebagaimana telah
disosialisasika. Sebaliknya dalam enkulturasi seorang dewasa harus menunjukkan
bahwa seseorang tahu norma-norma yang berlaku dalam masyarakat budayanya
(Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 547).
Selanjutnya bahkan Sarbin (1954) menekankan, bahwa sosialisasi hanya
berkaitan dengan penguasaan atas peran dan posisi yang dibawa sejak lahir (ascribed
role and position), sementara enkulturasi berkaitan dengan penguasaan atas peran dan
29
posisi yang diperoleh (achieved role and position). Ini tentu saja berkaitan dengan
bagaimana seorang anak laki-laki misalnya, atau anak raja, seharusnya bertingkah laku
dalam masyarakat, karena anak laki-laki ataupun anak raja merupakan posisi yang
dibawa sejak lahir. Sementara itu kedudukan sebagai tukang semir sepatu atau sebagai
dekan sesuatu fakultas, berkaitan dengan enkulturasi, sebab kedudukan tersebut diperoleh
dalam masyarakat (achieved).
Rasanya lebih tepat kalau kita tidak memberikan pembedaan atas kedua
proses sosial itu, sebab pengertian itu tak dapat dipisahkan. Seluruh nilai, norma,
keyakinan dan sebagainya yang diakui oleh masyarakat, tidak lain merupakan sebagian
wujud kebudayaan. Dan sebaliknya sesuatu kebudayaan tak dapat dilepaskan dari
masyarakat pendukung kebudayaan itu. Itulah sebabnya menurut Sutan Takdir
Alisahbana (STA), proses sosialisasi tidak hanya melibatkan nilai maupun norma hidup
sesuatu masyarakat, melainkan juga seluruh kompleks hasil budaya manusia yang
dihimpun oleh masyarakat dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya sosialisasi dianggap
juga enkulturasi (Sutan Takdir Alisjahbana, 1974, h. 132).
Anggapan yang demikian itu bukan Sutan Takdir yang pertama kali
menyatakan, karena yang pertama kali beranggapan demikian adalah Herskovits (1948).
Menurut dia, istilah enkulturasi lebih dapat mencakup pengertian yang selama ini disebut
sosialisasi (Selo Soemardjan, 1964, h 192).
Yang lebih penting dalam kaitan ini adalah mengenai fungsi yang terkandung
dalam pengertian tersebut. Yang dimaksud, ialah fungsi penyesuaaian sosial (social adj-
ustment) dan integrasi sosial (socia1 integration), yang akan dijelaskan
selanjutnya.
5. INTEGRASI SOSIAL
Integrasi sosial merupakan konsep sosiologis, yang hendak menangkap semua
karakteristik masing-masing warga masyarakat. Kita harus membedakan konsep
integrasi sosial ini dengan konsep ‘kesatuan nasional’ atau ‘integrasi politik’, yang
merupakan konsep ilmu politik, untuk mengatasi akibat negatif dari masyarakat, baik
dalam artian ideologi, budaya, etnis, kawasan dan sebagainya .
30
Sementara itu kita juga mengenal konsep ‘kepribadian nasional’, yang tak lain
merupakan konsep politik juga, yang menggunakan tema-tema kebudayaan. Lebih-lebih
konsep itu digunakan untuk menjawab perbenturan arus kebudayaan asing, yang secara
politik diartikan sebagai selalu berseberangan dengan kepentingan nasional. Semua itu
dilancarkan dalam rangka proses ‘bation and character building’. Sebaliknya dengan
integrasi sosial dimaksudkan sebagai proses yang datang dari dalam (immanent) pada
setiap masyarakat, agar tetap survive, agar tidak terjadi centang perentang dalam tatanan
masyarakat, atau agar tidak terjadi desintegrasi. Namun harus dipahami, bahwa konsep
integrasi sosial tidak mengandung arti suatu peleburan budaya, melainkan yang penting
adalah adanya keseimbangan (ekuilibrium). Ini rarti masih dibenarkan adanya keaneka
ragaman, meski dalam suatu harmoni (serasi, selaras dan seimbang) mengandung arti,
dimungkinkan adanya atau munculnya pembaharuan-pembaharuan. Jadi, misalnya, dalam
masyarakat yang terintegrasi masih dimungkinkan muncul manusia-manusia semacam
Budha Gautama, Sokrates, Muhammad maupun Sukarno, dan tidak dianggap sebagai
‘pemberontak-pemberontak’, melainkan sebagai pembawa konsep pembaharuan, yang
berguna bagi kelangsungan hidup (survive).
Mekanisme yang disebut integrasi sosial tersebut dapat dijelaskan dengan
menggunakan dua pendekatan.
Pertama, konsep integrasi sosial tersebut dapat dijelaskan dengan psikologi
Gestalt, seperti dikemukakan oleh Wertheimer, Kohler dan Koffka. Mereka memberi
batasan psikologi Gestalt, sebagai sebuah keseluruhan yang karakternya tidak ditentukan
oleh sifat komponen-komponennya, melainkan oleh karakter hakikat keseluruhan itu.
Bagian-bagian dari keseluruhan itu tidak mempunyai arti tanpa kaitan dalam
keseluruhan, dan ditandai pula dengan berlangsungnya saling bergantung. Bukan saja
antara komponen dengan keseluruhan terjadi interaksi, melainkan juga di antara
komponen itu sendiri. Akibatnya kita tidak dapat memahami sesuatu bagian, yang
dilepaskan dari keseluruhan hakikat integrasi (Sutan Takdir Alisjahbana, 1974, h. 16-
17).
Kedua, mekanisme integrasi sosial itu dapat pula dijelaskan dengan pengertian
masyarakat sebagai sistem seperti dikemukakan pada pembahasan interaksi sosial di
depan, yaitu bahwa masyarakat merupakan jalinan yang padu. Setiap bagian atau sub
31
sistem sosial, mempunyai posisi serta status tertentu dalam keseluruhan, sehingga
masing-masing juga mempunyai peranan dan penampilan yang telah dipolakan, sesuai
dengan harapan-harapan sosial. Dan karena setiap masyarakat mempunyai tujuan, warga
masyarakat juga terikat oleh tujuan yang sama pula, dan terikat pula pada nilai yang
sama. Meskipun demikian masyarakat juga merupakan sistem yang terbuka, maka selalu
terbuka bagi proses penyesuaian dengan kondisi lingkungan.
Terakhir kali, mekanisme yang integratif itu dapat dijelaskan dengan konsep
sosiologi. Para ahli sosiologi beranggapan, bahwa orang tidak dilahirkan sebagai manusia
(human), melainkan harus melewati lebih dahulu proses interaksi dengan orang lain
maupun lingkungan. Proses itulah yang disebut sosialisasi (James A. Banks, 1977, h.
240-250). Lebih jelas dikatakan bahwa "People are not born human, but are made
human by
interacting with the persons in their invironment" . Artinya, bahwa orang tidak dilahirkan
menjadi manusia, sebaliknya menjadi menusia lewat interaksinya dalam masyarakat.
Lewat sosialisasi itu terjdi1ah mekanisme menuju interdependensi (saling
ketergantungan) di antara sesama warga masyarakat. Karena mereka merasa saling
membutuhkan, merekapun perlu saling membantu dan bekerja sama, sampai
merekapun merasa puas. Mekanisme yang terjadi itu dapat digambarkan secara skematik
seperti pada Gambar 5 berikut ini (James A. Banks, 1977, h. 250).
GAMBAR 5
KONSEP SOSIOLOGI MENGENAI SOSIALISASI
NILAI
SOSIALISASI NORMA P E R A N A N
SANKSI
32
i.
LEMBAGA
KOMUNITAS
MASYARAKAT
Skema tersebut di atas dapat dijelaskan dengan cara berikut. Lewat sosialisasi, warga
baru masyarakat memperoleh nilai serta norma, yang diyakini dan dipergunakan bagi
kehidupan dalam masyarakat, agar mereka dapat memainkan peranan masing-masing
sesuai dengan harapan-harapan sosial. Selama masa sosialisasi itu berlangsung,
masyarakat memberlakukan sistem ganjaran ataupun siksa yang dikenal dengan nama
sanksi, dan diberikan kepada warga masyarakat. Pemberian sanksi tersebut terjadi pada
segala lapisan maupun sub masyarakat. Mekanisme itu dikenal sebagai kontrol sosial,
yang dimaksud untuk mendisiplinkan masyarakat, agar dapat hidup sesuai dengan
kelakuan kolektif. Dengan kata lain, diharapkan dengan begitu setiap individu dapat
hidup dengan bertanggung jawab sebagai warga masyarakat.
Dengan cara-cara tersebut di atas, warga masyarakat dapat memainkan peran
sosial meeeka sesuai dengan harapan-harapan sosial.
Peran yang harus dimainkan itu berbeda-beda sesuai dengan status dan posisi dalam
pelembagaan tertentu, seperti lembaga ekonomi, politik, pendidikn, kepemudaan dan
sebagainya, yang terdapat dalam sesuatu komunitas. Sebetulnya interaksi yang
dirasakan nyata ada, justru terletak pada tingkat lembaga itu. Sedangkan pada tingkat-
tingkat yang lebih tinggi seperti komunitas maupun masyarakat, interaksi itu lebih
bersifat abstrak.
Masyarakat merupakan kesatuan sosial yang berstruktur, menempati sesuatu
kawasan tertentu, dan di antara para warganya dihubungkan dengan sejumlah peranan,
sehingga membentuk suatu keteraturan. Keteraturan-keteraturan itu terjadi karena seluruh
unit dalam sistem itu tunduk pada norma dan nilai tertentu.
33
Apa yang dapat ditangkap dari seluruh mekanisme yang bernama sosialisasi itu,
ialah kesimpulan bahwa seluruh sistem sosia1 itti terjalin dalam suatu keterikatan yang
bernama saling ketergantungan atau interdependensi. Dan hal itu merupakan bukti
adanya proses penyesuaian diri yang terus-menerus dari warga masyarakat, sehingga
integrasi ssosial diharapkan akan terjadi.
6. KONFORMITAS
Dari pembicaraan rnengenai proses-proses sosial di depan, sudah disebut-sebut
mengenai kecenderungan ketundukan warga masyarakat terhadap polapola kelakuan
kolektif atau kesesuaian kelakuan dengan posisi sosial. Dengan kata yang lebih padu
dapat dinyatakan, bahwa itulah yang disebut sebagai konformitas. Kecenderungan itu
timbul karena adanya tekanan dari kelompok terhadap warga sesuatu kelompok, dan
warga kelompok itu conderung untuk ‘takut salah’ atau ‘being out of step’ dengan
kelompok.
Jadi, manakala seseorang individu dituntut untuk menyatakan pendapat mengenai sesuatu
isu, sedang ia merasa berkepentingan terhadap masalah atau isu tersebut, maka yang
timbul ialah situasi konflik.
Dalam menghadapi situasi konflik semacam itu, hanya ada dua pilihan : atau dia harus
menyatakan pendapat atau pertimbangannyang secara menyimpang dari pola-pola
kolektif, atau dia harus menyatakannya serasi dengan prrtimbangan umum. Kalau
kemungkinan yang pertama yang terjadi, orang tersebut disebut mandiri atau otonom
dari lingkungan konsensus umum. Sebaliknya, kalau dia memilih kemungkinan yang
kedua, orang tersebut disebut konform dengan harapan-harapan sosial (Krech et al., 962,
h. 206).
Dengan kata lain dapat dinyatakan, bahwa konformitas merupakan gejala
kepasrahan diri warga masyarakat terhadap tekanan sesuatu kelompok, yang terlihat
pada pertimbangan (judgment) atau tindakan (action). Konformitas itu terlihat dari
perbedaan dalam pertimbangan mengenai sesuatu isu dari diri orang tersebut dengan
yang datang dari kelompok. Makin besar perbedaan dalam pertimbangan atau penilaian
yang ada, makin sulit konformitas itu terjadi. Itu berarti, bahwa tingkat kemandirian
34
(otonomi) tersebut makin beaar. Sebaliknya manakala seseorang kurang memiliki
kemandirian dalam menentukan sikap dapat atau mudah menjurus pada terjadinya
konformitas dalam masyarakat, dengan acuan nilai tertentu.
Kecenderungan timbulnya konformitas itu telah dimulai sejak dalam lingkungan
kehidupan keluarga. Menurut Margareth Mead misalnya, anak-anak sebagai generasi
baru, tumbuh tanpa adanya sesuatu model, hingga segala pengalaman orang tua maupun
kakak-kakak mereka, dianggap sebagai model dan pedoman. Seolah-olah tanpa adanya
alternatif lain, anak-anak “tunduk pasrah” (konform) dalam tata nilai yang berlaku dalam
keluarga (Hilda Taba, 1960, h. 55)
Dalam masyarakat urban, akibat terjadinya mobilitas sosial, terjadilah perubahan
peranan keluarga dalam proses sosialisasi maupun pendidikan. Gejala yang nampak,
ialah merosotnya peranan keluarga, dan untuk sebagian digantikan oleh lembaga sekolah
maupun kelembagaan lain di luar keluarga. Sementara itu tidak dapat dipungkiri bahwa
lembaga sekolah merupakan hasil kelas sosial yang dominan. Dan tidak pula boleh
dilupakan, bahwa sekolah merupakan hasil dari generasi tua, sehingga pada tahapan
inipun untuk kesekian kalinya, anak-anak harus konform dengan lembaga-lembaga itu.
Dan ketika anak-anak kemudian harus berinteraksisi dengan masyarakat yang
lebih luas, mereka berhadapan pula dengan tata nilai maupun norma yang lebih mapan.
Seka1i lagi mereka harus menunjukkan konformisnya, lebih-lebih kalau mereka harus
memasuki masyarakat yang bersifat paternalistik, seperti masyarakat Indonesia. Gejala
semacam itu dapat dijelaskan dengan memakai hasil berbagai studi mengenai
konformitas. Misalnya, bagaimana peranan keluarga terhadap kecenderungan afiliasi
politik, telah dilakukan oleh Lazarsfeld, Bereson dan Gandet di Ohio (1944). Hasilnya
ternyata menunjukkan konformitas yang tinggi (Krech et al,1962. h. 195). Studi Asch
(1955) menemukan banyak hal di sekitar kecenderungan konformitas. Antara lain
menemukan bahwa (1) anak gadis cenderung lebih konform dari pada anak laki-laki;
(2) makin tinggi kecerdasan anak, makin cenderung tidak konform; (3) makin rendah
self-esteem dimiiliki seseorang, makin cenderung untuk konform dengan lingkungan.
Selanjutnya diketahui pula sejumlah kemungkinan alasan yang melatar
belakangi terjadinya konformitas itu. Pertama, agar dapat menyenangkan mayoritas orang
dan menghindari antagonisme dengan orang banyak. Itu yang pertama. Yang kedua,
35
sebab kelakuan itu dapat dicari pada masuk akal atau tidaknya kelakuan itu, Misalnya,
berkendaraan di sisi kanan pada jalanan di Amerika Serikat, untuk menghindari
kecelakaan lalu lintas. Sebab ketiga yang memungkinkan orang cenderung konform
dengan kelakuan umum, ialah ketundukan pada kerangka acuan tertentu. Misalnya,
sejumlah wisatawan akan mengikuti kelakuan ahli antropologi yang menundukkan
kepala pada pribumi yang mengenakan pakaian tertentu (Mark R. Rosenzweig, 1975, h.
66).
Dengan berbagai kecenderungan tersebut dapatlah kemudian dikemukakan
sebuah batasan yang relevan mengenai konformitas tersebut, yang berbunyi :
“Conformity is a change in a person's opinions or behavior as a result of real or imagined
pressure from another person or a group”, menurut Rosenzweig.
Sementara itu dari kaca mata psikologi dapat dibedakan adanya dua jenis
konformitas, yaitu yang satu konformitas ‘pura-pura’, dan yang lain konformitas
‘sesungguhnya’. Dalam bahasa aslinya disebut ‘expedient’ conforming dan ‘true’
conforming.
Disebut konformitas ‘pura-pura’, kalau konformitas itu hanya lahiriah saja,
sedangkan hatinnya tetap tidak sejalan dengan kelompok. Sedang konformitas
‘sesungguhnya’ digunakan untuk konformitas yang baik lahir maupun batin (Krech et al.,
1962, h. 506).
Masih rnenggnnakan kaca mata psikologi dapat kita ikuti studi Kelman (1961)
mengenai latar belakang yang mendasari kecenderungan terjadinya konformitas. Menurut
Kelman ada tiga jenis kenformitas berdasarkan latar belakang yang mendasarinya, yaitu
compliance, identification dan internalization. ‘Complianc’ merupakan istilah lain
untuk kata ‘expedient’. Yang dimaksudkan ialah penampilan seseorang, baik
berupa kelakuan maupun pernyataan yang hanya dilandasi oleh kehendak
memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Orang tersebut kemudian
menunjukkan ketundukan dan kepatuhan terhadap kemauan umum. Namun manakala
harapan akan ganjaran tidak lagi ada, dan ancaman hukuman itupun tidak ada, maka
orang itu kembali menunjukkan ketidak patuhannya. Dengan perkataan lain penampilan
mi merupakan kepatuhan yang ‘pura-pura’, yang berbeda antara yang lahir dan yang
batin.
36
Sedangkan '’dentification’ merupakan penampilan seseorang yang menurut
Kelman “ … refers to a level of social influence based upon the individual's desire to be
like the influencer”. Di sini penampilan tersebut sama sekali tidak dilatarbelaangi
kehendak mendapatkan ganjaran dan menghindari hukuman, melainkan semata-mata
karena ingin menjadi seperti model yang dikehendakinya. Sekali lagi, ini mrupakan
gejala ketundukan pada kerangka acuan yang relevan (a frame or reference).
Jenis konformitas, terjadi sebagai identifikasi yang merupakan tingkatan
pengaruh yang paling permanen yang datang dari masyarakat. Akibatnya, nilai dan
sikap tertanam dan mempribadi dalam diri setiap individu, karena dianggap benar oleh
individu tersebut. Penampilan semacam itu mempermudah terjadinya integrasi dalam tata
nilai mapan ( Mark R. Rosenzweig, 1975, h. 68-69).
Terlepas dari pandangan yang menitik beratkan pada faktor internal
kejiwaan tadi, seperti dikemukakan pada awal uraian mengenai proses interaksi sosial,
konformitas merupakan gejala sosial yang terjadi sebagai akibat hubungan antar manusia
(interpersonal). Dikatakan di muka, bahwa dalam interaksi tersebut, warga baru akan
melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan sosial (social adjustment), sesuai dengan
harapan-harapan sosial yang telah dikomunikasikan. Itu berarti, bahwa kelompok
memaksakan kehendak agar warga baru mau hidup serasi (konform) dengan tata nilai
yang berlaku. Dan kalau proses penyesuaian itu tidak mernbuahkan konformitas,
masyarakat atau kelompok akan memberikan sanksi, untuk menghindari terjadinya
masalah-masalah sosial, yang ditandai oleh kelakuan-kelakuan sosial yang menyimpang
dan tata nilai yang berlaku.
Menurut Robert K. Merton (1949), ada lima jenis kemungkinan sifat
penampilan warga masyarakat dalam kaitannya dengan integrasi sosial, yaitu 1).
konformitas, 2). inovasi, 3). ritualisme, 4). retritisme, dan 5). rebeli. Pada
konformitas, anggota masyarakat tunduk pada tata nilai dan budayanya dan
menerimananyat sebagai tata nilai dan budaya sendiri, lengkap dengan seluruh
kelembagaanya. Pada inovasi, anggota msyarakat menerima tata nilai dan budaya
masyarakat, namun menolak kelembagaan yang ada. Sedangkan dengan ritualisme,
dimaksudkan suatu gejala di mana anggota masyarakat hanya menerima tata cara
kelembagaan yang ada, namun sebenarnya menolak hakekat nilai serta budaya yang
37
berlaku dalam masyarakat. Dan manakala warga masyarakat menolak kedua-duanya,
baik tata nilai, budaya, maupun kelembagaannya, disebut retritisme. Dalam praktek,
retritisme bisa muncul dalam bentuk kemunafikan maupun apatisme, yaitu manakala
warga masyarakat berpura-pura menerima tata nilai dan budaya, ataupun barangkali sama
sekali masa bodon akan ada atau tidaknya tata nilal tersebut. Akhirnya, warga
masyarakat mungkin menunjukkan penampilan yang tak serasi dengan tata nilai serta
budaya yang berlaku dalam masyarakat, dengan sikap maupun kelakuan yang melawan
tata nilai dan budaya tersebut, dan tidak sekedar melarikan diri dari kenyataan hidup
(retritisme). Kemungkian yang teraldiir ini dikenali dengan sebutan rebeli
(pemberontakan) (S.T.Alisjahbana, 1974, h. 145)
Mungkin terlamapau jauh Alisjahbana mengartikan pengertian kepasrahan
diri terhadap tata ni1ai mapan itu sebagai kepasrahan Budha Gautama kepada Dewa.
Mungkin benar pendapat tersebut, kalau hal yang dimaksud adalah kepasrahan Sang
Budha Gautama kepada kepentingan umum, meski harus mengorbankan kepentingan diri
pribadi. Gejala tersebut harus dilihat sebagai keikutsertaan warga masyarakat yang
mempunyai tanggung jawab bagi kepentingan umum, yaitu integrasi sosial.
7. SOSIALISASI SEBAGAI PROSES PENDIDIKAN
Sosialisasi tak dapat dipisahkan dari proses pendidikan, karena pendidikan merupakan
bentuk interaksi sosial yang menyandang fungsi sosialisasi. Oleh karenanya dipandang
perlu untuk memberikan uraian tersendiri mengenai fungsi-fungsi pendidikan. Ada tiga
fungsi pendidikan yang dikenal o1eh umat manusia bagi kepentingan umat manusia itu
sendiri, seperti yang diyakini oleh ketiga aliran pendikan yang ada. Berturut-turut
ketiganya akan disajikan di bawah ini
.
a. Pendidikan Sebagai Proses Pewarisan Budaya
Para pendukung teori yang menyatakan bahwa pendidikan berfungsi sebagai
proses pewarisan budaya, menyatakan bahwa sesuatu kebudayaan memiliki akar pada
kehidupan masa lampau. Oleh karenanya kelangsungan sesuatu kebudayaan hanya dapat
38
terjadi kalau pendidikan mengambil peranan sebagai penyampai seluruh nilai maupun
keyakinan yang telah mapan kepada generasi baru. Dalam masyarakat Barat sekali pun,
yang dinilai sudah meninggalkan alam tradisionalisme, masih berkembang anggapan
semacam itu (Hilda Taba, 1962, h. 19). ‘The Harvard Report on General Education’
merupakan salah satu bukti betapa perlunya perlindungan terhadap tradisi dan
menjaganya dari akar masa lampau.
Para pendukung aliran rasionalis humanis dan klasik humanis dalam
pendidikan, seperti Hutchins (1936), Adler serta Mayer (1958), beranggapan bahwa
fungsi pendidikan harus dilihat dalam kaitannya dengan konsep tentang hakekat manusia,
yang berciri rasionalisme. Menurut mereka, dunia ini hanya dapat dipahami oleh rasio
manusia, sehingga deugan demikian pendidikan harus berfungsi menanamkan ke-
cerdasan, menurut Hutchins tersebut.
Dengan sendirinya dapat dipahami kalau program program pendidikan harus pula
berinti pada ‘liberal arts’ dan ‘humanities’, menurut Brubacher (l95O). Dengan
perkataan lain, pendidikan harus berfungsi sebagai ‘liberalizing education’, dan
diperuntukkan bagi siapa saja, tanpa kecuali. Dan selanjutnya setiap orang harus
menerima konsep, bahwa kebenaran harus diwariskan kepada generasi berikutnya, karena
kebenaran bersifat universal.
b. Pendidikan Sebagai Perangkat Transformasi
Kebudayaan
Ada pandangan lain yang sungguh bertentangan dengan pandangan yang
terdahulu, dalam memahami peranan pendidikan bagi umat menusia. Pandangan yang
kedua ini beranggapan bahwa pendidikan sesungguhnya memiliki fungsi yang lebih
kreatif dalam menentukan dan pembentukan kebudayaan. Berdasarkan pengalaman yang
ada di Amerika Serikat, Horace Mann berkesimpulan, bahwa pendidikan harus dipandang
sebagai sarana untuk menghadapi berbagai masalah yang dihadapi sesuatu masyarakat.
Dengan perkataan lain, pendidikan harus dipandang sebagai sarana bagi rekonstruksi
sosial yang dikehendaki nasyarakat itu. Lalu muncullah John Dewey (1929) yang
beranggapan bahwa dalam proses tersebut terjadilah terus-menerus proses penyusunan
39
kekuatan pada masing-masing individu, dengan membulatkan kesadaran, pembentukan
kebiasaan hidup, mewujudkan gagasan yang dimiliki, memupuk perasaan dan emosi, dan
seterusnya (Hilda Taba, 1962, h. 23).
Nyatalah di sini, bahwa pendidikan mempunyai peranan penting dalam
proses perubahan sosial, baik dengan perombakan bertahap lewat pembentukan penger-
tian pada generasi muda, maupun dengan rekonstruksi yang terencana. Di sini terlihat
adanya tiga hal penting, yaitu bahwa :
1) Di samping kemampuan intelektual, maka pendidikan harus
mampu membangkitkan tanggung jawab untuk melatih diri
dalam tata nilai maupun loyalitas budaya
2) pendidikan harus mengambil peranan dalam proses perubahan
sosial dan mengikuti gerak perubahan
3) pendidikan itu bersangkut- paut dengan moral atau
pertimbangan nilai
(Hilda Taba, 1962, h. 25).
c. Pendidikan Untuk Pengembangan Orang Seorang
John Deweylah, menurut Taba (1962) yang antara lain menegaskan betapa
pendidikan berfungsi pula sebagai sarana untuk mengembangkan kreativitas orang-
seorang (mdividual). Ini berarti bahwa pendidikan dianggap memberi kesempatan bagi
pemenuhan kebutuhan pribadi maupun memberikan peluang bagi upaya mengembangan
diri (se1f realization), baik dalam bidang intelektual maupun emosi. Secara lebih
ekstrim, pendidikan dengan demikian diartikan sebagai suatu proses untuk membentuk
seluruh anak untuk tumbuh menjadi anak yang unik. Nyata sekali aliran yang ke tiga ini
sangat sesuai bagi sistem sosial yang liberal dan individualis, karena generasi muda
diberikan kebebasan untuk mengembangkan kemandirian orang seorang.
Dalam kenyataan, ketiga fungsi pendidikan itu tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya, karena ketiganya seperti berjalan secara simultan dalam konsep
40
pendidikan yang dimaksudkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS)
1983 di Indonesia di masa Orde Baru, yang merupakan Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) Republik Indonesia. Ini merupakan contoh bahwa konsep peremcanaan
pendidikan telah dirancang secara mendasar dalam masa Orde Baru. Di sana tercantum
rumusan tujuan pendidikan yang mencakup ketiga fungsi tersebut, yaitu tidak saja
sebagai sarana bagi proses pelestarian budaya dan proses transformasi , melainkan
juga sebagai sarana pengembangan potensi orang-seorang, yang bermanfaat bagi
pembangunan diri sendiri dan bangsanya.
Dengan singkat dapat dinyatakan, bahwa tujuan pendidikan Indonesia di
masa itu yang berdasarkan TAP MPR 1983 itu mencakup enam sasaran, yaitu
1) meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2) meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan,
3) mempertinggi budi pekerti,
4) memperkuat kepribadian,
5) mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, dan
6) menumbuhkan manusia-manusia pembangun, yang dapat membangun
dirinya dan bangsanya
Sayang sekali peosedur semacam inin tidak diteruskan selama masa-masa
reformasi, padahal mwmiliki makna straregis yang amat nyata.
a. Hubungan Pendidikan Dengan Sosialisasi
Dengan memandang pada konsep-konsep pendidikan yang dikemukakan di
muka, konsep pendidikan yang digunakan sebagai landasan pendidikan di Indonesia,
maupun konsep-konsep mengenai sosialisasi yang dikemukakan di depan, dapatlah
diambil kesimpulan mengenai hubungan antara pendidikan dengan sosialisasi
memandang sesuatu gejala secara sefihak nampaknya tidak bakal memberikan
kepuasan secara tuntas dalam memberikan makna terhadap gejala tersebut. Demikian
pula dalam mencari tahu mengenai konsep pendidikan maupun sosialisasi.
41
Sementara itu pengalaman mengajarkan kepada kita betapa pendekatan
konvergensi terhadap berbagai pendapat mengenai kecenderungan atau gejala sosial,
memberikan kejelasan secara lebih baik mengenai konsep-konsep tersebut. Dan sikap
semacam itu dianggap paling cocok untuk melandasi setiap langkah pendidikan. Dalam
kenyataan pengertian mengenai pendidikan maupun sosialisasi tidak dapat dijelaskan
secara simplistik dengan hanya memberikan penafsiran yang hitam-putih atau dikhotomis
saja. Kalau kita perhatikan akan kita lihat, bahwa rumusan mengenai pendidikan seperti
dimaksud dalam GBHN yang merupakan pengalaman Indonesia di masa Orde Baru
menunjukan sifat yang konvergen pula.
Di sana terdapat fungsi penguasaan atas sejumlah fakta (mastery of certain facts).
Hal tersebut sesuai dengan pandangan yang menyebutkan bahwa pendidikan berfungsi
melestarikan dan mewariskan kebudayaan atau ‘reserver and transmitter of the cultural
heritage’. Dalam GBHN 1983 misalnya terdapat :
“…pendidikan berdasarkan Pancasila …”
“… meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan …”
“… meningkatkan kecerdasan...”
“…memperkuat kepribadian dan mempertebal Bemangat kebangsaan dan cinta
tanah air …”
(GBHN IV, 1983)
Di sana juga terdapat tujuan untuk mentransformasikan kebudayaan guna
pembangunan masyarakat atau ‘instrument for transforming culture’, seperti yang tertera
pada GBHN IV berikut mi
“…,,... menumbuhkan manusia-manusia pembangunan …”
“…memperkuat kepribadian
“... dapat membangun dirinya …”
“… bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan ...”
(GBHN IV, 1983)
42
Juga di sana terdapat ungkapan-ungkapan mengenai fungsi pengembangan
kemampuan orang-seorang guna menyatakan diri atau ‘instrument for individual
development’, seperti yang tertera pada contoh berikut ini pada GBHN IV.
“... meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan..”
“… memperkuat kepribadian...”
“… dapat membangun dirinya ...”
GBHN iv,1983)
Kembali kita lihat betapa di masa Orde Baru perangkat GBHN sangat stratgis
untuk perencanaan atau pelaksanaan operasional pendidikan. Oleh karenanya masih
relevan untuk kita jadikan sebagai rambu perencanaan pendidikan unruk generasi muda,
Waktu itu biasa digunakan pendidikan politik. Ternyata sebagian fungsi pendidikan yang
tertnaktub tersebut adalah menjalankan fungsi sosialisasi, yaitu mempersiapkan warga
masyarakat (terutama yang baru datang) untuk dapat melakeanakan peran-peran sosial
mereka sesuai dengan harapan-harapan sosial yang ada. Harus kita ketahui, bahwa dan
proses pendi dikan, baik secara formal maupun tidak formal, manusia memperoleh
berbagai manfaat, yaitu : penguasaan atas sejumlah fakta dan pengetahuan (mastery or
certain facts), kaidah-kaidah ke1ompok (mores of the group), dan cara-cara penyesuaiau
sosial (social technique or adjustment), menurut Olsen (1945) dalam ‘School and
Community’ (Skinner, 1974, h. 508). Yang dimaksud dengan penguasaan sejumlah fakta
di sini, tentu saja meliputi seluruh warisan budaya umat manusia, yang mencakup ilmu
pengetahuan, teknologi, maupun tata nilai. Ini merupakan bagian yang bersifat kognitif
dari kekayaan budaya manusia, maupun berupa ketrampilan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup.
Selanjutnya, anak-anak juga mendapatkan dari pendidikan sejumlah pengalaman
dan keyakinan mengenai mana-mana yang dianggap baik, dan mana-mana yang dianggap
tidak balk, mana-mana yang boleh dilakukan, dan mana-mana yang tidak boleh
dilakukan. Seluruh pengalaman itu diperoleh dari kebiasaan maupun peraturan yang
dibuat oleh masyarakat. Dengan demikian anak- anak diharapkan menjadi sadar akan
segala perilaku yang dilakukan, serta dapat memainkan peran sosial mereka dengan baik,
43
dan menghindari tindakan tercela karena mengetahui berbagai sanksi yang dikenakan
bagi para pelanggar aturan soaial.
Dan pendidikan anak-anak tidak hanya mendapat pengetahuan maupun
kebiasaan, yang berlaku dalam masyarakat, melainkan juga cara-cara bagaimana
menyesuaikan dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya.Cara-cara penyesuaian diri
itu tidak hanya menyangkut pergaulan antara individu dengan individu, melainkan juga
dalam pergaulan dengan kelompok, di dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih rumit.
Yang dimakaud di sini tentu saja segala pengalaman warga masyarakat terdahulu yang
mampu dan sukses dalam pergaulan masyarakat.
Dari uraian di depan jelas sudah bahwa fungsi sosialisasi merupakan bagian dari fungsi
pendidikan. Ini berarti bahwa dengan melaksanakan proses pendidikan di sekolah,
misalnya, fungsi sosialisasi telah berlangsung
8. SOSIIALISASI SEBAGAI ROLE LEARNING
Menurut Shakespeare : “All the world's a stage, and all the man and women
merely players ...” Ini berarti, bahwa seseorang hanya rnempunyai arti dalam kaitannya
dengan drama masyarakat, yang ikut memainkannya dengan jalan mengambil bagian
sebagai pemain. Dengan kata lain, dia ikut memainkan peran dalam drama kehidupan
itu. Untuk dapat memainkan peran sebagai aktor yang baik, tentu saja setiap pamain
harus membawakan perannya sesuai dengan posisi yang diduduki dalam drama tersebut.
Dan agar penampilannya dapat tepat dan sesuai dengan skenario yang dikehendaki oleh
drama itu sendiri, pemain tersebut harus pula melakukan latihan serta upaya
penyesuaian dengan tata aturan permainan serta skenario yang dikehendaki oleh drama
itu. Seluruh peribaratan dalam dunia drama tersebut dimaksudkan untuk mempermudah
memberikan penjelasan mengenai teori peran (role theory), dalam upaya memberi dasar
teoritik studi ini. Cara semacampun biasa dilakukan oleh Theodore R. Sarbin (1952)
dalam mengemukakan Role Theory-nya.
Dalam kaitan dengan Studi Sosial atau IPS, anak-anak dilatih untuk
menghadapi masalah-masalah sosial, sebelum menghadapinya kelak dan melakukan
tindakan yang tepat dan jitu berbagai masalah sosial tersebut, dan kemudian melakukan
44
sesuatu keputusan setelah melakukan berbagai pertimbangan. Kualitas dan kemampuan
semacam itu, dikenal sebagai ‘intelligent social actor’ Dalam Studi Sosial dengan begitu
kemampuan yang diharapkan dari latihan-latihan program Studi Sosial ialah agar anak
dapat tampil secara cerdas atau ‘can act intellegently’ (James A. Banks, 1977, h. 12)
Secara tidak resmi (informal), program latihan bagi anak sebagai warga baru
sesuatu kelompok manusia, telah dimulai sejak dalam keluarga, dengan nama sosialisasi
atau ‘social learning’, tergantung dari sudut mana kegiatan itu ditinjau. Dengan proses
sosialisasi tersebut, seperti berkali-kali dinyatakan di depan, warga baru belajar untuk
dapat tampil sesuai dengan harapan-harapan sosial, sesuai dengan kedudukan mereka
dalam masyarakat. Pada bagian ini akan dikemukakan konsep-konsep sosiologi maupun
psikologi sosial mengenai status, posisi, maupun peran, untuk memberikan landasan
teoritik bagi studi ini.
a. Peranan Pola-pola Masyarakat
Sudah dikemukakan di depan, betapa kehidupan masyarakat tergantung pada
ada tidaknya pola tingkah laku sosial, yang terbentuk dari hubungan timbal balik antar
personal ataupun antar kelompok. Posisi-posisi yang terjadi karena hubungan timbal
balik itu disebut sebagai status.
Dapat difahami kalau dikatakan, bahwa dengan begitu setiap individu dapat
mempunyai lebih dari satu status, karena setiap individu dapat berperan serta dalam
berbagai pola kehidupan yang terjadi dalarn masyarakat. Status-status yang dimiliki oleh
seseorang dalam keseluruhan masyarakat tergantung pada posisi-posisi yang
ditempatinya. Dengan begitu misalnya ,Mr. Jones memiliki sejumlah status dalam
kaitannya dengan suatu komunitas tertentu, di mana dia menjadi warganya. Dia dapat
dipandang sebagai seorang jaksa, namun sekali gus dia juga seorang dari keluarga
Mason, seorang penganut aliran Methodist, suami nyonya Jones dan sebagainya.
Demikianlah misalnya penuturan Ralph Linton (1938) dalam bukunya ‘The Study of
Man’ maupun Lewis A. Coser and Bernard Rosenberg dalam ‘Sosiological Theory, A
Book of Readings’ (Selo Soemardjan, 1964, h. 261-263).
Kehidupan sosial tersebut terus berjalan sepanjang masa, meskipun para
45
warga masyarakat yang menduduki status-status tersebut telah pindah dari lingkungan
komunitas tersebut atau meninggal dunia. Hal tersebut dapat terjadi karena yang
meninggal dunia atau pindah ialah orangnya, sedangkan status ataupun peranan yang
tersandang di dalamnya tidaklah hilang, namun tetap membentuk struktur dalam
masyarakat, menurut A.R. Radcliffe- Brown dalam ‘Structure and Function in Primitive
Society’ (S.T. Alisjahbana (1974. h. 70).
Dengan sederhana dapat dinyatakan, bahwa status mengandung pengertian
adanya hak dan kewajiban. Dan manakala seseorang menggunakan hak dan kewajib-
annya dalam menyatakan sesuatu pendapat atau sikap dalam kaitan dengan statusnya
dalam masyarakat, maka berarti dia sedang memainkan perannya. Di sini nampak sekali
hubungan antara status dengan peran, sebab tak ada peran tanpa adanya status, demikian
pula tak ada status kalau tak dinyatakan dengan peran.
Dalam kenyataan, status dan peran tak dapat dilepaskan dari pola-pola
masyarakat maupun perorangan yang bersangkutan. Misalnya, meskipun status maupun
peran tersebut bermula dari pola-pola masyarakat yang ada, namun pada tingkat tertentu
tergantung pada perorangan itu sendiri. Ketika seseorang individu memainkan perannya
atas dasar status yang didudukinya dalam masyarakat, sebenarnya orang tersebut telah
mengambil pilihan sikap ataupun tingkah laku tertentu sesuai dengan pertimbangannya.
Meskipun demikian tak dapat dipungkiri peranan pola-pola masyarakat, yang memberi
batasan terhadap status maupun peran tersebut. Kembali di sini nampak perlunya
penyesuaian terhadap pola-pola masyarakat pada setiap penampilan seseorang dalam
memainkan peran sesuai dengan status yang sesuai.
Jadi jelas, manakala tidak ada faktor dari luar yang menyela, maka makin
sempurna seseorang warga dalam melakukan penyesuaian dengan status dan peran
mereka dalam masyarakat, makin lancar kehidupan masyarakat berjalan. Namun proses
penyesuaian itu tidak mudah terjadi, karena setiap individu memiliki berbagai kebiasaan
yang telah tertanam sejak masa kanak-kanak, karakteristik individual, baik yang di-
peroleh karena kelahiran maupun yang diperoleh karena usaha. Faktor yang
menguntungkan ialah sifat manusia yang bisa diubah (mutable), yang memungkinkan
seseorang yang normal dapat dilatih untuk dapat secara tepat menampilkan peran apapun
yang diserahkan kepadanya. (Selo Soemardjan, 1961+, h. 261-267).
46
Pengertian-pengertian tersebut di atas memungkinkan kita dapat memahami
berbagai kecenderungan pendapat para remaja dalam menghadapi berbagai masalah
sosial, seperti yang dikehendaki oleh studi ini. Namun kita akan mendapat wawasan yang
lebih luas kalau kita mengikuti konsep-konsep psikologi sosial berikut ini, mengenai
masalah yang sama.
b. Role Enactment
Istilah 'role' atau peran dipinjam dari dunia drama atau teater, yang berarti ikut
ambil bagian atau posisi tertentu dalam sesuatu lakon. Dan orang yang ikut memainkan
peran tertentu atau ‘playing a role’ dalam lakon tersebut disebut pemain, pelakon atau
aktor, menurut Sarbin (1954). Dalam kehidupan sesungguhnya dalam masyarakat setiap
warga masyarakat tidak lain merupakan pemain dalam drama masyarakat, karena
masing-masing harus memainkan perannya sesuai dengan statusnya. Layaknya sebuah
drama, maka setiap pemain akan tampil dengan mengikuti skenario tertentu. Theodore
R. Sarbin menyajikan teorinya mengenai peran tersebut, yang dianggap dapat
menjembatani antara individu dengan kelompok, dan dikenal sebagai ‘Role Theory’.
Masalah utama yang dihadapi oleh setiap warga masyarakat, menurut teori peran
tersebut, ialah bagaimana seharusnya setiap warga masyarakat memainkan perannya.
Pertanyaan tersebut mencakup tiga macam pertanyaan, yaitu masalah-masalah
‘appropriateness’, ‘propriety’ dan ‘convincing’ (Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 490-
491).
Dengan ‘appropriateness’, dimaksudkan apakah perilaku yang diperbuat oleh
seseorang sesuai dengan posisi atau status yang didudukinya? Dengan perkataan lain,
apakah penampilannya tepat?
Dengan ‘propriety’, dimaksudkan apakah penampilan yang dilakukan itu patut.
dilihat dari penilaian orang lain? Artinya, apakah penampilan itu menurut penilaian baik
atau buruk? Sedangkan ‘convencing’ mengandung makna, apakah penampilan itu
meyakinkan atau tidak? Pertanyaan tersebut bertolak dari keraguan akan keabsahan
posisi yang diduduki seseorang individu.
Ketiga pertanyaan disekitar penampilan (role enactment) tersebut di atas,
47
sebenarnya timbul karema adanya kesenjangan di antara struktur sosial dengan perilaku
sebagai seseorang dalam memainkan peran sosialnya. Kesenjangan itu terjadi kalau
setiap warga masyarakat mengetahui dengan pasti harapan-harapan sosial mengenai
apa-apa yang ‘boleh’ dan yang ‘tidak boleh’ dilakukan, serta ‘bagaimana seharusnya’
melakukannya. Dengan mengetahui harapan-harapan sosial tersebut, setiap warga
masyarakat akan mengetahui peran apa yang ‘paling sesuai’ dengan psosisinya dalam
masyarakat, ‘agaimana sepatutnya’ harus tampil, serta ‘bagaimana cara’ tampil agar
dapat meyakinkan. Harapan-harapan sosial tersebut dalam kaitan dengan teori peran,
disebut ‘role expectations’. Selanjutnya perlu kita ketahui, bahwa ‘role expectations’
merupakan kumpulan kognisi, yang terdiri dari keyakinan-keyakinan tentang hak dan
kewajiban, serta kemungkinan-kemungkinan yang subyektif mengenai bagaimana
seharusnya dilakukan, berkenaan dengan status atau peran yang disandangnya (Lindzey
anld Aronson, I, 1968, h. 498).
Dalam hal status ataupun posisi yang sifatnya formal, seperti jabatan maupun jenis
pekerjaan tertentu, tidak terlalu sukar untuk mengetahui harapan-harapan sosial yang
mengenai peran (role expectations’, sebab hampir setiap orang dapat membaca uraian
tugas (job description) yang dimaksud. Namun dalam hal-hal yang bersifat informal,
kesulitan itu mulai-nampak. Misalnya, dalam hubungan persahabatan. Dalam hal mi amat
terbatas warga masyarakat yang mengetahui uraian mengenai tugas dan kewajiban
sesuatu peran, karena biasanya tidak tertulis, sehingga hanya di kalangan tertentu saja
harapan-harapan sosial itu berlaku. Misalnya, terhadap jabatan ‘guru’ dituntut ‘role
expectations’ yang sudah pasti, namun sementara itu orang tersebut juga ‘badut’,
sehingga ‘role expectations’ terhadapnya menjadi bersifat khusus pula.
Proses sosialisasi dalam kaitan dengan teori ini, ialah suatu proses sosial di mana anak
belajar dari kehidupan masyarakat untuk dapat menghayati tata nilai masyarakat,
sehingga dapat memainkan peran sosial mereka dengan tepat, pantas, serta meyakinkan
sesuai dengan ‘role expectations’. Jadi sosialisasi tidak lain adalah suatu ‘role learning’,
yang merupakan hakekat dari ‘social and cultural learning’.
Peran atau ‘role’ diartikan sebagai organized set or behaviors that belongs to an ident-
ifieble position, and this behaviors are activated when the position is occupied' (Lindzey
and Aronson, I, 1968, hal. 545). Jelas di sini bahwa peran itu merupakan peri1aku sosial,
48
dan perilaku itu berkaitan dengan posisi dalam masyarakat. Selanjutnya dijelaskan,
bahwa peran itu harus diperoleh melalui proses belajar dalam kaitannya dengan pola
kognisi yang teratur dari keseluruhan peran warga masyarakat lainnya sebagai suatu
keutuhan. Oleh karenanya peran baru dapat dimengerti dan berrungsi kalau sudah terlibat
dengan interaksi sosial. Di sini pula selanjutnya dapat dimengerti mengapa peran
disangkut pautkan dengan hak dan kewajiban dalam kaitan dengan posisi seseorang
sebagai warga masyarakat.
Sebelum rnunculnya teori peran, sosialisasi hanya dikaitkan dengan proses pengasuhan
masa kanak- kaak, yang tertuju pada gejala idendifikasi, agresi, serta dependensi anak.
Untuk itu pembahasan banyak bertumpu pada teori-teori Freud mengenai psikoanalisis
yang berkaitan dengan urusan perkembangan kepribadian, sehingga orang lebih banyak
berbicara dengan menggunakan studi motivasi. Selain itu orang banyak menggunakan
teori tingkah laku (behavioral theory), yang mendasarkan pada prinsip S-R (Stimuli and
respons). Teori tentang ‘learning’ yang mendasarkan pada pendekatan tingkah laku itu
dipelopori oleh Waston, yang mengartikan unit S-R itu sebagai suatu refleks, sementara
Hill mengartikannya dalam artian kebiasaan (habit), dan Skinner mengartikan sebagai
suatu dominasi lingkungan atas respons.
Pendekatan- pendakatan psikologis semacam itu ternyata bersifat sempit, sebab
hanya menganggap gejala atau kecenderungan kepribadian manusia itu semata-mata
sebagai aktivitas psikis (internal), dan memandang manusia sebagai mesin yang dapat
dikontrol dengan rangsangan tertentu. Saupai akhirnya Bandura dan Walter (1963)
mengemukakan pandangannya mengenai peranan lingkuugan sosial dalam proses
‘learning ( L.A. Parvin, 1975, h. 363 - 390).
Menurut Bandura dan Walter, dalam sosialisasi anak-anak secara bertahap
belajar dari orang dewasa bagaimana seharusnya berperilaku dalam situasi dan kondisi
tertentu. Dengan perkataan lain, mereka belajar bagaimana harus berperan dalam kondisi,
dan situasi tertuntu. Dengan jelas mereka nengatakan bahwa ‘The learning is shaped in
large part by reinforcement from parents and by imitation of the behavior of others'.
Sementara itu yang terjadi di kalangan orang-orang dewasa, ialah mereka bertanya dan
akhirnya mengetahui bagaimana seharusnya mereka bertingkah laku.
49
Pencarian itu dilakukan sebelum orang-orang tersebut menduduki sesuatu
posisi. Dikatakan oleh Merton, misalnya, bahwa “… individual can acquire role expect-
ations by learning, long before he is ready to occupy the social position, through the
process of anticipatory socialzation” (Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 547).
Nampaknya dari sudut teori belajar ini dapat dipetik sebuah pengertian, bahwa
sosialisasi dipisahkan dengan enkulturasi, meski dua-duanya berkaitan dengan peran
juga. Sosialisasi diartikan sebagai suatu proses untuk penguasaan atas peran (role) dari
posisi yang diturunkan (ascribed position), seperti jenis kelamin, usia dan sebagainya,
sedang enkulturasi diartikan sebagai proses penguasaan atas peran (role) dan posisi
seseorang yang diperoleh sebagai hasil belajar (achieved posision). Kecuali itu,
terkanduug juga pengertian, bahwa proses sosialisasi berlangsung dalam lingkungam
keluarga, sedangkan enkulturasi berlangsuug manakala anak sudah hidup di dalam
pergaulan dalam masyarakat yang lebih luas.
c. Konformitas dalam Berperan
Tinjauan proses sosialisasi, baik dalam tingkat hubungan dalam keluarga maupun
dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas, adalah terjadi keserasian di antara
penampilan seseorang dalam memainkan peran sosial (role enactment) dengan harapan-
harapan sosial mengenai bagaimana seharusnya seseorang tampil memainkan peran
sosial (role expectations). Kondisi semacam itu dikenal sebagai konformitas. Kegagalan
dalam memenuhi kondisi semacam akan menimbulkan adanya celaan, bahkan tindakan
pengucilan yang datang dari kelompok terhadap orang atau wargaa masyarakat yang
bersangkutan. Dengan begitu, misalnya, seorang ayah akan tampil sesuai dengan
kedudukannya sebagai ayah. Kalau keseraaian itu tidak terjadi, maka ayah tersebut akan
mendapat celaan mengenai ketepatan, kelayakan dan tingkat meyakinkan dalam
nemainkan peranan sebagai ayah.
Contoh lain lagi berupa kekalahan PSSI pada hampir seluruh pertandingam
internasional, akan dianggap sebagai tidak adanya konformitas di antara ‘role enactment’
dengan ‘role expectations’ yang berkenaan dengan PSSI tersebut. Lalu masyarakat
pecinta persepakbolaan di Indonesia menjadi teramat kecewa, sehingga tercetuslah
50
berbagai bentuk keluhan maupun celaan terhadap PSSI tersebut. Kesalahfahaman sering
terjadi di dalam masyarakat, karena masyarakat sering salah memperkirakan keadaan,
terutama yang berkaitan dengan keadaan warga masyarakat yang lainnya. Salah satu
akibatnya, ialah warga masyarakat adakalanya menuntut terlampau banyak dalam
penampilan warga masyarakat, sehingga akan sering terjadi jarak yang terlampau besar.
Untuk itu dirasakan perlunya kejelasan dalam ‘role expectations’ agar terjadi perilaku
yang jelas pula.
Paling tidak ada tiga hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan masalah
tersebut di atas, yaitu : 1). kejelasan informasi, 2). kesamaan pengertian, dan 3).
kesamaan tafsir. (Lindzey and Aronson, I, 1968,h.503).
Menurut Bateson (1956), salah satu hambatan bagi terjadinya konformitas dalam
penampilan warga masyarakat, ialah tidak jelasnya informasi mengenai harapan-
harapan sosial berkenaan dengan peran-peran warga masyarakat tersebut dalam
masyarakat. Kemungkinan yang terjadi sebagai akibatnya ialah terjadinya hambatan
bagi terjadinya komunikasi. Ini sama dengan kesalahfahaman yang dapat menjauhkan
dari terjadinya saling pengertian. Bagi sipelaku sendiri, keadaan tersebut menimbulkan
keragu-raguan dalam melaksanakan peran selanjutnya.
Kemungkinan lain yang dapat terjadi, ialah bahwa pada sub kelompok yang satu
informasi itu diterima secara jelas, sementara pada sub kelompok yang lain informasi
tidak diterima secara jelas. Ini berarti , bahwa di antara warga masyarakat tidak terdapat
konsensus atau kesamaan pengertian terhadap informasi yang seharusnya sama.
Bilamana ‘role dissensus’ tersebut terjadi di antara dua generasi atau dua kelompok
warga masyarakat, ataupun warga masyarakat yang telah mapan dengan yang baru
datang, maka salah faham dapat saja terjadi. Dan konformitas menjadi sesuatu yang tipis
sekali kemungkinan terjadinya.
Studi Corner, Greene, dan Walter (1958), menemukan, bahwa makin kecil unit
interaksi, makin besar kemungkinan konsensus dapat terjadi. Misalnya, pada pasangan
suami istri lebih besar kemungkinan terjadi konsensus, dibanding dalam unit interaksi
antara ayah dengan anak. Demikian pula kemungkinan terjadi konsensus lebih banyak
terjadi pada unit interaksi ibu dan anak, bila dibanding dengan yang terjadi dalam
unit interaksi antara ayah dan anak.
51
Selanjutnya, peranan perseepsi atau penafsiran terhadap informasi yang datang, yang
berisi harapanharapan sosial mengenai peran sosial yang seharusnya, juga besar dalam
memahami seauatu peran. Terutama yang dimaksud oleh Slater (1960), ialah perbedaan
tafsir yang terjadi di antara sesama warga dengan karakteristik yang berbeda. Sehingga
misalnya, sama-sama remaja akan mempunyai kecenderungan penampilan yang berbeda,
karena pemahaman mengenai hak dan kewajiban berkenaan dengan status dan posisi
mereka dalam masyarakat berbeda. Sebaliknya, konformitas dapat terjadi karena motivasi
yang berbeda-beda pula, dan bahkan barangkaii tidak ada hubungannya dengan sesuatu
peranan yang dimainkan, namun terjadi karena adanya sensitivitas seseorang dengan
kemungkinan reaksi yang timbul dari orang lain. Jadi dalam hal ini, konformitas terjadi
sebagai akibat adanya pengamatan dari fihak lain, menurut hasil studi Stouffer dan Toby
pada 1951 (Lindzey and Aronson, I ,1968, h. 502-503)
Kemungkinan yang lain, konformitas juga dapat terjadi, karena orang merasa
berkewajiban untuk dapat menyelesaikan tugas sebaik-baiknya, atau karena merasa
terikat dengan posisi serta statusnya dalam masyarakat. Dalam hal ini konformitas terjadi
karena ada kesejajaran antara tugas dengan pelaksanaannya. Dalam sektor informal, yaitu
pada unit interaksi sosial di luar lembaga persekolahan, hambatan untuk terjadinya
konformitas itu lebih besar, karena tingkat kejelasan pada informasi mengetahui ‘role
enactment’ dengan ‘role expectations’ sangat rendah. Oleh karenanya diperlukan kehati-
hatian dalam memberikan analisis ataupun penjelasan terhadap gejala yang timbul di
sekitar konformitas kaum remaja.
9. PENDAPAT MENGENAI MASALAH SOSIAL
Pada bagian ini akan dikemukakan pembicaraan di sekitar pendapat,
remaja, dan masalah sosial, yang merupakan pengejawantahan dan keterlibatan
remaja sebagai bagian dari warga masyarakat
.
a. Pendapat sebagai Ekspresi Kebersamaan
52
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk
Pendidikan IPS  yang Terpuruk

More Related Content

What's hot

256847023 power-point-tematik-sd
256847023 power-point-tematik-sd256847023 power-point-tematik-sd
256847023 power-point-tematik-sdurifatulmina
 
Powerpointtematiksd 141108185529-conversion-gate02 (1)
Powerpointtematiksd 141108185529-conversion-gate02 (1)Powerpointtematiksd 141108185529-conversion-gate02 (1)
Powerpointtematiksd 141108185529-conversion-gate02 (1)himatul azka
 
Sejarah perkembangan kurikulum sejak indonesia merdeka
Sejarah perkembangan kurikulum sejak indonesia merdekaSejarah perkembangan kurikulum sejak indonesia merdeka
Sejarah perkembangan kurikulum sejak indonesia merdekaKurosaki_akira
 
Ipa smp 7 guru
Ipa smp 7 guruIpa smp 7 guru
Ipa smp 7 guruBudhi Emha
 
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_siswa
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_siswaKelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_siswa
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_siswapentcr
 
Kelas 02 sd_tematik_1_hidup_rukun_siswa
Kelas 02 sd_tematik_1_hidup_rukun_siswaKelas 02 sd_tematik_1_hidup_rukun_siswa
Kelas 02 sd_tematik_1_hidup_rukun_siswapentcr
 
Pembelajaran IPS Terpadu SMP
Pembelajaran IPS Terpadu SMPPembelajaran IPS Terpadu SMP
Pembelajaran IPS Terpadu SMPsmpbudiagung
 
7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guru7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guruNuni Nur
 
Kelas 02 sd_tematik_3_tugasku_sehari-hari_siswa
Kelas 02 sd_tematik_3_tugasku_sehari-hari_siswaKelas 02 sd_tematik_3_tugasku_sehari-hari_siswa
Kelas 02 sd_tematik_3_tugasku_sehari-hari_siswapentcr
 
1. silabus tematik terpadu kelas 1 semester 1 & 2
1. silabus tematik terpadu kelas 1 semester 1 & 21. silabus tematik terpadu kelas 1 semester 1 & 2
1. silabus tematik terpadu kelas 1 semester 1 & 2IAIN Pekalongan
 
Silabus Geografi Versi 12022016
Silabus Geografi Versi 12022016Silabus Geografi Versi 12022016
Silabus Geografi Versi 12022016Cahya Panduputra
 
Perkembangbiakan Hewan dan Tumbuhan Kelas 3 tema1 Buku Siswa
Perkembangbiakan Hewan dan Tumbuhan Kelas 3 tema1 Buku SiswaPerkembangbiakan Hewan dan Tumbuhan Kelas 3 tema1 Buku Siswa
Perkembangbiakan Hewan dan Tumbuhan Kelas 3 tema1 Buku SiswaSisilia Herjanti
 
Permainan Tradisional Buku Guru Kelas 3 tema 5
Permainan Tradisional Buku Guru Kelas 3 tema 5Permainan Tradisional Buku Guru Kelas 3 tema 5
Permainan Tradisional Buku Guru Kelas 3 tema 5Sisilia Herjanti
 

What's hot (16)

Tugas pend.ips sd
Tugas pend.ips sdTugas pend.ips sd
Tugas pend.ips sd
 
256847023 power-point-tematik-sd
256847023 power-point-tematik-sd256847023 power-point-tematik-sd
256847023 power-point-tematik-sd
 
Powerpointtematiksd 141108185529-conversion-gate02 (1)
Powerpointtematiksd 141108185529-conversion-gate02 (1)Powerpointtematiksd 141108185529-conversion-gate02 (1)
Powerpointtematiksd 141108185529-conversion-gate02 (1)
 
Buku IPA SMP Kelas 7 (Guru)
Buku IPA SMP Kelas 7 (Guru)Buku IPA SMP Kelas 7 (Guru)
Buku IPA SMP Kelas 7 (Guru)
 
Sejarah perkembangan kurikulum sejak indonesia merdeka
Sejarah perkembangan kurikulum sejak indonesia merdekaSejarah perkembangan kurikulum sejak indonesia merdeka
Sejarah perkembangan kurikulum sejak indonesia merdeka
 
Ipa smp 7 guru
Ipa smp 7 guruIpa smp 7 guru
Ipa smp 7 guru
 
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_siswa
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_siswaKelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_siswa
Kelas 02 sd_tematik_4_aku_dan_sekolahku_siswa
 
Kelas 02 sd_tematik_1_hidup_rukun_siswa
Kelas 02 sd_tematik_1_hidup_rukun_siswaKelas 02 sd_tematik_1_hidup_rukun_siswa
Kelas 02 sd_tematik_1_hidup_rukun_siswa
 
Pembelajaran IPS Terpadu SMP
Pembelajaran IPS Terpadu SMPPembelajaran IPS Terpadu SMP
Pembelajaran IPS Terpadu SMP
 
Tema 1, diriku (kelas 1)
Tema 1, diriku (kelas 1)Tema 1, diriku (kelas 1)
Tema 1, diriku (kelas 1)
 
7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guru7 ipa buku_guru
7 ipa buku_guru
 
Kelas 02 sd_tematik_3_tugasku_sehari-hari_siswa
Kelas 02 sd_tematik_3_tugasku_sehari-hari_siswaKelas 02 sd_tematik_3_tugasku_sehari-hari_siswa
Kelas 02 sd_tematik_3_tugasku_sehari-hari_siswa
 
1. silabus tematik terpadu kelas 1 semester 1 & 2
1. silabus tematik terpadu kelas 1 semester 1 & 21. silabus tematik terpadu kelas 1 semester 1 & 2
1. silabus tematik terpadu kelas 1 semester 1 & 2
 
Silabus Geografi Versi 12022016
Silabus Geografi Versi 12022016Silabus Geografi Versi 12022016
Silabus Geografi Versi 12022016
 
Perkembangbiakan Hewan dan Tumbuhan Kelas 3 tema1 Buku Siswa
Perkembangbiakan Hewan dan Tumbuhan Kelas 3 tema1 Buku SiswaPerkembangbiakan Hewan dan Tumbuhan Kelas 3 tema1 Buku Siswa
Perkembangbiakan Hewan dan Tumbuhan Kelas 3 tema1 Buku Siswa
 
Permainan Tradisional Buku Guru Kelas 3 tema 5
Permainan Tradisional Buku Guru Kelas 3 tema 5Permainan Tradisional Buku Guru Kelas 3 tema 5
Permainan Tradisional Buku Guru Kelas 3 tema 5
 

Similar to Pendidikan IPS yang Terpuruk

6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf
6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf
6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdfDestiYustini
 
6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf
6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf
6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdfDestiYustini
 
PERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA 2018.pptx
PERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA 2018.pptxPERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA 2018.pptx
PERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA 2018.pptxPeriHeriyanto1
 
PPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptx
PPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptxPPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptx
PPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptxNawazzZz
 
Sejarah perkembangan ips
Sejarah perkembangan ipsSejarah perkembangan ips
Sejarah perkembangan ipsEnmoiya
 
Kajian IPS di SD PGSD FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak
Kajian IPS di SD PGSD FKIP Universitas Tanjungpura PontianakKajian IPS di SD PGSD FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak
Kajian IPS di SD PGSD FKIP Universitas Tanjungpura PontianakLili Puspita Sari
 
PPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptx
PPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptxPPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptx
PPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptxNawazzZz
 
Bahan Ajar MATA KULIAH PENDIDIKAN ILMU SOSIAL.pptx
Bahan Ajar MATA KULIAH PENDIDIKAN ILMU SOSIAL.pptxBahan Ajar MATA KULIAH PENDIDIKAN ILMU SOSIAL.pptx
Bahan Ajar MATA KULIAH PENDIDIKAN ILMU SOSIAL.pptxMeTube4
 
06 silabus ips smp 20012017_ok
06 silabus ips smp 20012017_ok06 silabus ips smp 20012017_ok
06 silabus ips smp 20012017_okEko Sulistianto
 
06 silabus ips smp 20012017_ok
06 silabus ips smp 20012017_ok06 silabus ips smp 20012017_ok
06 silabus ips smp 20012017_okparulian
 
Pendidikan ips di sd
Pendidikan ips di sdPendidikan ips di sd
Pendidikan ips di sdarif08
 
ilmupengetahuansosialsebagaihakekatpendidikan-131202053141-phpapp02.pdf
ilmupengetahuansosialsebagaihakekatpendidikan-131202053141-phpapp02.pdfilmupengetahuansosialsebagaihakekatpendidikan-131202053141-phpapp02.pdf
ilmupengetahuansosialsebagaihakekatpendidikan-131202053141-phpapp02.pdfSyahidKhusnulKhotima
 
Buku Paket IPS Kelas 9 bab 4
Buku Paket IPS Kelas 9 bab 4Buku Paket IPS Kelas 9 bab 4
Buku Paket IPS Kelas 9 bab 4vanmook2
 
083911004_bab2.pdf
083911004_bab2.pdf083911004_bab2.pdf
083911004_bab2.pdferlyn22
 
Silabus Sejarah SMA Peminatan Versi - 12022016
Silabus Sejarah SMA Peminatan Versi - 12022016Silabus Sejarah SMA Peminatan Versi - 12022016
Silabus Sejarah SMA Peminatan Versi - 12022016Cahya Panduputra
 
49 silabus-sejarah-sma-peminatan versi-120216
49 silabus-sejarah-sma-peminatan versi-12021649 silabus-sejarah-sma-peminatan versi-120216
49 silabus-sejarah-sma-peminatan versi-120216eli priyatna laidan
 

Similar to Pendidikan IPS yang Terpuruk (20)

Kajian ips 1_fix
Kajian ips 1_fixKajian ips 1_fix
Kajian ips 1_fix
 
6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf
6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf
6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf
 
6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf
6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf
6.PENGEMBANGAN+5.MEDIA+DAN+STRATEGI+PEMBELAJARAN.pdf
 
PERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA 2018.pptx
PERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA 2018.pptxPERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA 2018.pptx
PERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA 2018.pptx
 
PPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptx
PPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptxPPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptx
PPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptx
 
Sejarah perkembangan ips
Sejarah perkembangan ipsSejarah perkembangan ips
Sejarah perkembangan ips
 
Kajian IPS di SD PGSD FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak
Kajian IPS di SD PGSD FKIP Universitas Tanjungpura PontianakKajian IPS di SD PGSD FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak
Kajian IPS di SD PGSD FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak
 
PPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptx
PPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptxPPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptx
PPT RESUME HMK KONSEP DASAR IPS (FIX).pptx
 
Bahan Ajar MATA KULIAH PENDIDIKAN ILMU SOSIAL.pptx
Bahan Ajar MATA KULIAH PENDIDIKAN ILMU SOSIAL.pptxBahan Ajar MATA KULIAH PENDIDIKAN ILMU SOSIAL.pptx
Bahan Ajar MATA KULIAH PENDIDIKAN ILMU SOSIAL.pptx
 
KONSEP PEMBELAJARAN IPS.pptx
KONSEP PEMBELAJARAN IPS.pptxKONSEP PEMBELAJARAN IPS.pptx
KONSEP PEMBELAJARAN IPS.pptx
 
06 silabus ips smp 20012017_ok
06 silabus ips smp 20012017_ok06 silabus ips smp 20012017_ok
06 silabus ips smp 20012017_ok
 
06 silabus ips smp 20012017_ok
06 silabus ips smp 20012017_ok06 silabus ips smp 20012017_ok
06 silabus ips smp 20012017_ok
 
Pendidikan ips di sd
Pendidikan ips di sdPendidikan ips di sd
Pendidikan ips di sd
 
ilmupengetahuansosialsebagaihakekatpendidikan-131202053141-phpapp02.pdf
ilmupengetahuansosialsebagaihakekatpendidikan-131202053141-phpapp02.pdfilmupengetahuansosialsebagaihakekatpendidikan-131202053141-phpapp02.pdf
ilmupengetahuansosialsebagaihakekatpendidikan-131202053141-phpapp02.pdf
 
ips SD.word
ips SD.wordips SD.word
ips SD.word
 
Buku Paket IPS Kelas 9 bab 4
Buku Paket IPS Kelas 9 bab 4Buku Paket IPS Kelas 9 bab 4
Buku Paket IPS Kelas 9 bab 4
 
083911004_bab2.pdf
083911004_bab2.pdf083911004_bab2.pdf
083911004_bab2.pdf
 
Silabus Sejarah SMA Peminatan.docx
Silabus Sejarah SMA Peminatan.docxSilabus Sejarah SMA Peminatan.docx
Silabus Sejarah SMA Peminatan.docx
 
Silabus Sejarah SMA Peminatan Versi - 12022016
Silabus Sejarah SMA Peminatan Versi - 12022016Silabus Sejarah SMA Peminatan Versi - 12022016
Silabus Sejarah SMA Peminatan Versi - 12022016
 
49 silabus-sejarah-sma-peminatan versi-120216
49 silabus-sejarah-sma-peminatan versi-12021649 silabus-sejarah-sma-peminatan versi-120216
49 silabus-sejarah-sma-peminatan versi-120216
 

More from Luluk Wulandari Hariyanto

Pandangan pluralisme sumartono hadinoto (khoe liong hauw
Pandangan pluralisme sumartono hadinoto (khoe liong hauwPandangan pluralisme sumartono hadinoto (khoe liong hauw
Pandangan pluralisme sumartono hadinoto (khoe liong hauwLuluk Wulandari Hariyanto
 
Tiga keranjang (Tripitaka Sejarah) By Profesor Abu Su'ud
Tiga keranjang (Tripitaka Sejarah) By Profesor Abu Su'udTiga keranjang (Tripitaka Sejarah) By Profesor Abu Su'ud
Tiga keranjang (Tripitaka Sejarah) By Profesor Abu Su'udLuluk Wulandari Hariyanto
 

More from Luluk Wulandari Hariyanto (20)

Buku 4 pedoman pkb dan angka kreditnya
Buku 4 pedoman pkb dan angka kreditnyaBuku 4 pedoman pkb dan angka kreditnya
Buku 4 pedoman pkb dan angka kreditnya
 
Seminar tesis Pluralisme
Seminar tesis PluralismeSeminar tesis Pluralisme
Seminar tesis Pluralisme
 
Ketidakadilan gender
Ketidakadilan genderKetidakadilan gender
Ketidakadilan gender
 
Bias gender dlm pendidikan ppt
Bias gender dlm pendidikan pptBias gender dlm pendidikan ppt
Bias gender dlm pendidikan ppt
 
Bab 1 perubahan sosial
Bab 1 perubahan sosialBab 1 perubahan sosial
Bab 1 perubahan sosial
 
Interaksi etnis Jawa dan Golongan Tionghoa
Interaksi etnis Jawa dan Golongan TionghoaInteraksi etnis Jawa dan Golongan Tionghoa
Interaksi etnis Jawa dan Golongan Tionghoa
 
Pandangan pluralisme sumartono hadinoto (khoe liong hauw
Pandangan pluralisme sumartono hadinoto (khoe liong hauwPandangan pluralisme sumartono hadinoto (khoe liong hauw
Pandangan pluralisme sumartono hadinoto (khoe liong hauw
 
Tiga keranjang (Tripitaka Sejarah) By Profesor Abu Su'ud
Tiga keranjang (Tripitaka Sejarah) By Profesor Abu Su'udTiga keranjang (Tripitaka Sejarah) By Profesor Abu Su'ud
Tiga keranjang (Tripitaka Sejarah) By Profesor Abu Su'ud
 
Metode Penelitian Kependidikan
Metode Penelitian KependidikanMetode Penelitian Kependidikan
Metode Penelitian Kependidikan
 
Rpp IPS Terpadu SMP 2013
Rpp IPS Terpadu SMP 2013Rpp IPS Terpadu SMP 2013
Rpp IPS Terpadu SMP 2013
 
Model desain pembelajaran ADDIE
Model desain pembelajaran ADDIEModel desain pembelajaran ADDIE
Model desain pembelajaran ADDIE
 
Pengembangan penilaian
Pengembangan penilaianPengembangan penilaian
Pengembangan penilaian
 
Pengembangan model pembelajaran 2013
Pengembangan model pembelajaran 2013Pengembangan model pembelajaran 2013
Pengembangan model pembelajaran 2013
 
Penilaian pembelajaran ips
Penilaian pembelajaran ipsPenilaian pembelajaran ips
Penilaian pembelajaran ips
 
Media dan sumber belajar
Media dan sumber belajarMedia dan sumber belajar
Media dan sumber belajar
 
Tinjauan pustaka teori Kerangka Berpikir
Tinjauan pustaka teori Kerangka BerpikirTinjauan pustaka teori Kerangka Berpikir
Tinjauan pustaka teori Kerangka Berpikir
 
Transkrip&coding
Transkrip&codingTranskrip&coding
Transkrip&coding
 
Teknik dan Langkah FGD
Teknik dan Langkah FGDTeknik dan Langkah FGD
Teknik dan Langkah FGD
 
Latar belakang dan masalah penelitian
Latar belakang dan masalah penelitianLatar belakang dan masalah penelitian
Latar belakang dan masalah penelitian
 
Penelitian Kualitatif by Prof Heni
Penelitian Kualitatif by Prof HeniPenelitian Kualitatif by Prof Heni
Penelitian Kualitatif by Prof Heni
 

Recently uploaded

Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaEzraCalva
 
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfrpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfGugunGunawan93
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxarnisariningsih98
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuHANHAN164733
 
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxMTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxssuser0239c1
 
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxMATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxrofikpriyanto2
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSyudi_alfian
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxg66527130
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanNiKomangRaiVerawati
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxsyafnasir
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxsudianaade137
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdfvebronialite32
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasAZakariaAmien1
 
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasMembuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasHardaminOde2
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxRioNahak1
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...MarwanAnugrah
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2noviamaiyanti
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...Kanaidi ken
 
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdfPPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdfNatasyaA11
 

Recently uploaded (20)

Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
 
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdfrpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
rpp bangun-ruang-sisi-datar kelas 8 smp.pdf
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
 
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxMTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
 
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxMATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
 
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikanTPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
TPPK_panduan pembentukan tim TPPK di satuan pendidikan
 
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptxTopik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
Topik 1 - Pengenalan Penghayatan Etika dan Peradaban Acuan Malaysia.pptx
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
 
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasMembuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
 
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN...
 
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdfPPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
 

Pendidikan IPS yang Terpuruk

  • 2. PENGANTAR Dalam semua dokumen resmi tercatat tempat dan tanggal lahir saya : Tegal, 27 Juli 1938. Status PNS saya sebagai dosen IKIP Semarang cabang Tegal tercantum sejak 1 Juli 1966. Akhirnya Presiden SBY memberhentikan saya dengan hormat dengan status pensiun sejak 1 Juli 2008, setelah menjalankan tugas selama 42 tahun lebih satu bulan. Jadi ya sejak 1 Agustus saya memasuki masa pensiun dalam usia 70 tahun, dalam status sebagai Guru Besar Emiritus di Universitas Negeri Semarang. Satu tahun kemudian saya diajak teman-teman pimpinan IKIP PGRI Semarang untuk bergabung dengan mereka, terutama untuk memperkuat tenaga akademik Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS). Dan sebagai salah satu tugas saya adalah menulis nuku-buku mengenai pendidikan IPS. Ada dua buah buku yang saya siapkan untuk keperluan itu. Satu berjudul Fotmulasi Pendidikan Karakter di Sekolah, yang menekankan perlunya secara tegas menformulasikan generasi muda dengan karakter macam mana yang hendak dicapai dengan pendidikan karakter. Yang kedua buku yang sedang pembaca hadapi ini, Revitalisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (UPS), yang dimaksudkan untuk menghidupkan kembali potensi pendidikan IPS yang telah terpuruk. Itu sebabnya judul awal buku ini adalah Pendidikan IPS yang terpuruk. Isinya sebuah pikiran mengenai upaya untuk melakukan revitalisasi pendidikan IPS, alasan dan beebagai potensi yang bisa dikembangkan. Pengalaman selama ini menjadi pengajar Ilmu Sejarah dan Pendidikan Ilmu Sosial di Unnes, sejak bernama IKIP Semarang merupakan pengalaman awal dan penerapan untuk terbitnya buku-buku tersebut. Sampai terbitnya buku ini merupakan ujud pengertian baik dari pimpinan IKIP PGRI Semarang karena telah memfasilitasi terbitnya nuku ini. Buku ini merupakan terbitan kedua dengan revisi, sementara terbitan pertama telah difasilitasi oleh Fakultas Ilmu Sosial Unnes bersamaan dengan saat saya memasuki masa pensiun sebagai Guru Besar di Unnes pada tahun 2008. 2
  • 3. Dengan mengikuti perjalanan tugas selama ini yang saya mencermati, saya menyadari bahwa pandangan saya tentang konsep dan pelaksanaan pendidikan IPS masih perlu mengalami sejumlah penyesuaain, yaitu bahwa pendidikan IPS dimaksudkan untuk menyiapkan generasi muda menjadi warga negara ataupun warga masyarakat yang baik. Untuk itu pada semua jenjang dan sektor, formal, informal maupun monformal, pendidikan IPS harus menyiapkan peserta didik melakukan penyesuaian dengan tata nilai ideal, supaya mereka dapat menyesuaikan dengan harapan-harapan sosial. Selama ini pendidikan IPS banyak dikeluhkan, karena dianggap banyak mengalami kegagalan dalan melaksanakan fungsinya. Oleh karena itu saya bermaksud menyampaikan buah pikiran untuk melakukan revitalisasi pendidikan IPS. Kritik dan saran saya harapkan dari para guru terkait maupun pembaca kedua buku ini. Terima kasih. Semarang, 27 Juli 2011. Penulis 3
  • 4. DAFTAR ISI PENDAHULUAN A. KONSEP-KONSEP DALAM IPS 1. Konsep Hidup Bik 2. Pendidikan dan Tujuan yang hendak dicapai 3. Masyarakat 4. Sosialisasi dan Fungsinya 5. Integrasi Sosial 6. Konformitas 7. Sosialisasi sebagai Peoses Pendidikan 8. Sosialisasi sebagai Role Learning 9. Pendapat Mengenai Masalah Sosial 10. Relevansi Sosial Budaya B. KEGAGALAN PENDIDIKAN IPS 1. Erosi Nilai 2. Disintegrasi Sosial 3. Kenakalan Remaja 4. Jarak Sosial 5. Bencana Alam 6. Tsunami C. POTENSI-POTENSI IPS 1. IPS untuk Pendidikan 2. IPS untuk Pengembangan Kebudayaan 3. IPS untuk Pendidikan Nilai 4. IPS untuk Pendidikan IPS 5. IPS untuk Mubaligh 6. IPS untuk Pembangunan Kesehatan 7. IPS untuk Politisi 8. IPS untuk Memahami Kaum Remaja 9. IPS dan Nilai-Nilai Jawa D. PEMBERDAYAAN IPS 1. Media Massa dan IPS 2. Museum dan IPS 3. Pariwisata dan IPS 4. Perpustakaan dan IPS 5. Arsip Negara dan IPS 6. Lembaga-Lembaga Publik dan IPS E. TANTANGAN DAN DUKUNGAN IPS 1. Tantangan Bagi IPS 2. Dukunan Bagi IPS 4
  • 5. LAMPIRAN 1. Bila Isu Kontroversial Masuk Kelas Sejarah (Pidato Pengukuhan Guru Besar) 2. IPS di Era Reformasi (Artikel pada Harian SUARA MERDEKA) PENDAHULUAN Sampai tahun 1950 an nyaris tidak pernah terdengar keluh kesah dari kalangan guru IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) maupun para siswa jurusan IPS di SMA (Sekolah Menengah Atas) mengenai betapa tersudutnya posisi mereka dalam dunia pengajaran. Sebaliknya para guru IPS cukup leluasa melakukan pengajaran IPS di Sekolah-sekolah Dasar dalam kedudukan sebagai guru kelas. Pada waktu itu betul-betul IPS diajarkan di SR (Sekolah Rakyat) atau SD (Sekolah Dasar) secara integratif. Guru kelas memperkenalkan pengetahuan sejarah, ilmu buni maupun etnologi dalam rangkaian pelajaran yang disebut Pengetahuan Umum. Hebatnya guru yang sama juga mengajar kami mata pelajaran Berhitung, Bahasa maupun Budi Pekerti. Selanjutnya di SMP (Sekolah Menengah Pertama) ilmu-ilmu bidang studi Sejarah, Ilmu Bumi maupun Ekonomi dibberikan kepada semua siswa SMP sampai dengan kelas II, seimbang dengan bidang studi Ilmu Hayat, Ilmu Alam, Ilmu Ukur, Aljabar, maupun Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Masing-masing diampu oleh guru bidang studi. Dan para siswa kelas III SMP sudah merasa mantap memilih bagian A kalau menyenangi pelajaran ilmu-ilmu sosial dan budaya. Demikian juga yang menyenangi ilmu-ilmu pasti telah memilih jurusan ilmu pasti alam. Selanjutnya pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) tersedia SMA bagian A bagi mereka yang ingin mendalami ilmu-ilmu sosial dan budaya yang telah dipilih sejak dari SMP. Sementara itu tersedia pula SMA bagian B bagi mereka yang menyenangi ilmu-ilmu pasti alam. Tersedia pula SMA bagian C bagi mereka yang menyenangi ilmu-ilmu hukum. Tidak ada perasaan rendah diri kalau menjadi siswa bagian A maupun C. dan perasaan tinggi hati menjadi siswa bagian B. Masing-masing merasa bangga telah memilih jurusan yang terbaik bagi masing-masing. Maing-masing sekolah dengan jurusan yang khas itu menempati sekolah yang terpisah. Sejak tahun 1970 an ketika setiap SMA atau SMU (Sekolah Menengah Umum) harus memiliki semua jurusan yang ada, yaitu Bahasa, IPS, Biologi dan IPA, muncul perasaan rendah diri, pada mereka yang “terpaksa” menjadi siswa jurusan Bahasa 5
  • 6. maupun IPS. Hampir-hampir tidak ada perasaan bangga menjadi siswa jurusan Bahasa maupun IPS, kalau melihat kenyataan bahwa siswa dari jurusan Biologi maupun IPA bisa meneruskan belajar di perguruan tinggi pada fakultas manapun, sementara siswa Bahasa maupun IPS tidak bisa meneruskan belajar pada fakultas-fakultas teknik maupun kedokteran yang berbasis ilmu-ilmu pasti alam. Perasaan rendah diri maupun frustrasi nampaknya menghinggapi pula para guru IPS. Mereka merasakan betapa rendahnya minat siswa untuk belajar IPS. Kebanyakan para siswa beranggapan belajar IPS hanya penuh dengan hapalan, dan nyaris tidak ada daya pikat untuk belajar. Belum lagi kalau dilihat bidang studi IPS terdiri dari banyak komponen, yang meliputi sejarah, geografi, dan ekonomi. Para guru IPS juga mengeluh karena tidak mungkin ada siswa yang berhasrat untuk mengikuti belajar tambahan berupa les IPS. Ini berarrti tertutup kemungkinan guru IPS untuk mendapatkan tambahan penghasilan, meskipun pada saat-saat menghadapi masa ujian akhir, lebih-lebih ketika menghadapi masa ujian masuk Perguruan Tinggi. Berbagai upaya untuk mengubah kurikulum IPS untuk membuat mata pelajaran IPS menjadi menarik dan berhasil guna, namun selalu saja IPS diajarkan dengan cara yang tidak menarik. Konsep baru dalam pengembangan pelajaran IPS dalam konsep baru yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah disusun dengan maksud untuk membuat IPS lebih menarik dan berdaya guna, namun di lapangan justru KBK itu telah menimbulkan keluhan sementara guru yang menilai KBK telah memnbuat pelaksanaannya menjadi amat rumit dan memerlukan proses administrasi yang tidak sederhana. Buku ini ditulis untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang sama, yaitu mengapa pelajaran IPS selalu terpuruk. Perlu kiranya dilakukan pemahaman ulang atas hakekat pelajaran IPS, potensi-potensi apa yang tersembunyi di dalamnya, serta bagaimana kiat-kiat yang bisa dilakukan untruk membuat IPS menjadi lebih menarik untuk para siswa dsb. Buku ini bukan buku pelajaran maupun buku pinter mengenai pengajaran IPS, sehingga tidak disusun dengan sistematika yang runtut, sejak dari pengertian, teori-teori yang lazim digunakan, serta metode dan model yang ditawarkan unruk para guru. Sebaliknya buku ini berisi sekumpulan tulisan lepas sesuai dengan tema dan topik tertentu sesuai dengan keperluan atau kepentingan dengan maksud untuk 6
  • 7. melakukan revitalisasi IPS, atas dasar asumsi bahwa IPS pada dasarnya memiliki berbagai kekuatan untuk kepentingan umum dalam kehidupan masyarakat. Tulisan-tulisan tersebut meliputi topik-topik yang dibagi ke dalam bagian-bagian tertentu. Bagian pertama diberi judul Konsep-Konsep dalam IPS, yang meliputi konsep- konsep falsafi, sosiologi, psikologi sosial maupun antropologi untuk pendidikan IPS. Bagian kedua berjudul Bencana- Kegagalan IPS, yang meliputi topik-topik tentang berbagai kondisi sosial yang bisa dimasukkan ke dalam kasus kegagalan IPS. Bagian ketiga berjudul Potensi IPS, yang meliputi topik-topik di sekitar potensi yang terkandung dalam pendidikan IPS. Bagian keempat berjudul Pemberdayaan IPS, yang meliputi topik-topik yang berkaitan dengan yang bisa dilakukan dalam pengembangan pendidikan IPS. Dan Bagian kelima berjudul Tantangan dan Dukungan bagi IPS, yang meliputi kondisi-kondisi yang berpotensi menjadi tantangan bagi pendidikan IPS, dan kondisi- kondisi yang berpotensi sebagai dukungan bagi pendidikan IPS. Perlu kembali disadari bahwa IPS tidak lain adalah langkah tindakan memanfaatkan IIS (Ilmu-Ilmu Sosial) untuk kepentingan pendidikan. Sementara itu IPS dapat dipahami sebagai Studi Sosial. Oleh karenanya setiap pengajar IPS harus lebih dahulu atau selalu memahami konsep-konsep IIS ketika mengampu mata pelajaran IPS. Ini berarti bahwa Pendidikan IPS tidak lain adalah segala kegiatan dalam pengembangan kurikulum IPS, baik dalam lembaga pendidikan formal , informal maupun nonformal. Dengan memhami lebih baik konsep=konsep IPS maupun keasadaran yang benar tentang pendidikan IPS, maka tidak ada lagi perasaan rendah diri maupun keceewa dengan pendidikan IPS. Pada saat itulah kita semua sudaj siap untuk merevitalisasi IPS secara proporsional. @@@ 7
  • 8. A. KONSEP-KONSEP DALAM IPS PENGANTAR Pada bagian ini uraian akan ditekankan pada tinjauan teoritik yang berkaitan dengan pengertian pendidikan IPS. Uraian itu dimaksudkan untuk memberi batasan secara teori dasar dari pendidikan IPS, yaitu sosilogi dan psikologi sosial, karena dua ilmu itu merupakan ilmu yang berkaitan langsung dengan kegiatan manusia, ketika mereka berinteraksi sebagai sesama mahluk sosial. Hal itu dpandang perlu untuk disadari benar, karena pendidikan IPS pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan pengertian kepada peserta didik mengenai pola-pola dan kecenderungan yang terjadi dalam masyrakat, ketika mereka melakukan interaksi sosial. Dimaksudkan pula uraian berikut ini untuk memberikan acuan teoritik bagi kajian-kajian, atau paling tidak melakukan peembahasan sederhana untuk kalangan siswa peserta didik, tentang hakekat masyarakat, pola hubungan yang terjadi, mekanisme yang berkembang maupun kecenderungan yang terjadi selama berlangsung interaksi sosial itu. Dengan demikian kita bisa memberikan penjelasan atas semuanya yang mencakup kepentingan kelompok, latar belakang perilaku sosial, bentuk perilaku, maupun tujuan interaksi dilakukan. Di samping itu oleh karena aspek kegiatan manusia juga memiliki segi falsafi, nilai kemanusiaan maupun pola perilaku manusia sebagai mahluk berbudaya, akan juga disajikan tinjauan falsafi maupun antropologis. Sekali lagi untuk membantu kita masing-masing warga sosial memberi penjelasan atas semua gejala yang terjadi maupun meramalkan apa yang bakal terjadi. Barangkali uraian dalam bab berikut ini memang lebih bersifat akademis, sehingga terpaksa harus menggunakan berbagai istilah teknis dan baku sebagaimana digunakan dalam tinjauan teoritis yang sesuai dengan teori yang digunakan. Namun diharapkan uraian tersebut bisa diikuti oleh pengguna buku ini dengan memadai. Sebagai keterangan maupun definisi masih ditulis dalam bahasa asing, dengan maksud masih otentik, sehingga bisa dimengerti lebih lanjut dengan melakukan diskusi dengan teman 8
  • 9. sejawat guru ppendidikan IPS. Dengan cara seperti itu diharapkan kita bisa memahami istilah teknis untuk mengartikan peristiwa maupun pengertian dan tidak rancu oleh terjemahan yang tidak tepat. Dengan memahami berbagai istilah maupun pengertian secara teoritis yang tertera dalam uraian-ueaian pada setiap sub bab, kita akan mudah mengerti uraian-uraian yang disajikan dalam bab-bab berikut yang menyajikan bdrbagai gejala maupun mekanisme yang terjadi dalam masyarakat dalam kaitan dengan proses pembelajaran IPS maupun dengan kasus-kasus yang terjadi di sekitar kita. Semoga bisa berguna. 1. KONSEP HIDUP BAIK Sebagaimana kita ketahui tujuan akhir dari proses sosialisasi yang merupakan langkah-langkah dalam komunikasi atau interaksi sosial adalah terjadinya integrasi sosial. Dengan integrasi sosial dimaksudkan sebagai proses yang datang dari dalam (immanent) pada setiap masyarakat, agar masyarakat itu dapat tetap survive, agar tidak terjadi centang perentang, khaos, kacau ataupun desintegrasi. Namun demikian, konsep integrasi sosial itu sama sekali tidak mengandung arti suatu peleburan, yang tidak memperkenankan keberadaan sub-sub sosial atau perbedaan, melainkan yang penting adalah adanya keseimbangan di antara keanekaragaman yang membentuk suatu harnoni. Sebuah ungkapan lama yang barangkali tepat untuk memberikan pengertian yang tepat mnengenai hal itu ialah ‘Bhineka Tunggal Ika’, yang berarti ‘berbeda ragam, namun tetap satu jua adanya’. Di sini diakui adanya keunikan sub-sub sistem, meski harus tetap membentuk suatu harmoni dalam suatu sistem. Hal tersebut merupakan gambaran ideal dari cita-cita masyarakat Indonesia mengenai hidup dalam kebersamaan, yang telah didambakan sejak lama. Kondisi ideal itu dapat dilengkapi dengan gambaran masyarakat ideal, yang menurut Ignas Kleden, tercermin pada ungkapan ‘Gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku, tata tentrem kerta raharja’ dan sebagainya, yang merupakan ungkapan mengenai hidup yang sejahtera, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Semua ungkapan tersebut di muka itu memberi gambaran mengenai hidup baik atau ‘good life’, yang merupakan ungkapan falsafi mengenai keadaan hidup yang 9
  • 10. paling menjadi idaman setiap manusia. Keadaan itu diibaratkan sebagai sesuatu yang dikejar namun selalu tak terjangkau, dan tetap menjadi kegiatan manuaia dari waktu ke waktu. Sehingga demikian dianggap sebagai “the most holistic of man`s attribute”’. Yang dimaksud adalah suatu upaya pencarian hakekat yang hanya sayup-sayup dimengerti, namun selalu saja lenyap tanpa punya rasa belas kasihan. Itulah yang dikenal sebagai hidup baik. Ini berarti bahwa hidup baik merupakan semacam fatamorgana, sesuatu yang tak pasti, sehingga secara plastis Rogers menyamakannya dengan semacam “‘a journey, not a destination”. Apapun yang bakal terjadi sulit dapat diramalkan, sebab manusia hanya merupakan berbagai kemungkinan, namun sangat diperlukan keberanian untuk mencapai kondisi hidup baik tersebut, menurut Rogers (G. Marian Kinget, 1975, h. 236 1937). Pengertian kedua, yang dapat ditangkap dari uraian di atas ialah, bahwa soal ‘good life’ adalah soal subyektif, yaitu sesuatu yang sangat tergantung pada siapa yang memandang. Ini berarti, behwa hakekat hidup baik itu amat bervariasi, tergantung pada pandangan hidup orang yang mencarinya, apakah termasuk mereka yang menganut paham yang materialistik, idealistik, fasistik, demokratik, ataukah barangkali humanistik-personalistik. Sebagai contoh dapat dilihat perbedaan yang terjadi di antara pandangan Rogers, yang humanistik, dan Skinner yang behavioristik mengenai hakekat manusia. Mewakili kawan-kawannya dan pandangan yang humanistik, Rogers beranggapan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan sesuai dengan pandangannya mengenai lingkungan. Sebaliknya, bagi Skinner, kebebasan itu hanyalah ilusi, sobab segala keputusan pada dasarnya ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Oleh karenanya, bagi Skinner tingkah laku manusia itu dibentuk oleh lingkungannya. Mereka banyak tergantung di mana mereka tinggal, perkotaan ataukah poedesaan, dalam lingkungan industri ataukah dalam lingkungan agraris dsb. Dengan sendirinya konsep mereka mengenai hidup baik itupun berbeda juga (G.Marian Kinget, 1975, hal. 230). Meskipun demikian dalam satu hal pandangan-pandangan itu tidak dapat dibedakan, yaitu, bahwa hidup baik itu berkaitan dengan kepuasan. Dan ini jelas berkaitan dengan tingkat terpenuhinya kebutuhan, yang ternyata mempunyai banyak 10
  • 11. macamnya. Ada yang termasuk kebutuhan fisik-badani, psikik-ruhani, ada pula yang bersifat sosial-kebersamaan. Menurut ukuran yang ideal, maka hidup disebut baik kalau seluruh spektrum kebutuhan hidup dapat terpenuhi, dan seluruh potensialitas diri dapat dinyatakan masih termasuk ideal pula, kalau mengukur hidup baik dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan vital hidupnya. Akhirnya manusiapun sadar, bahva kondisi semacam itu hampir tak mungkin terjadi, hingga harus disadari bahwa dalam kenyataan, hidup baik itu terjadi manakala terdapat kepuasan yang berimbang (balanced satisfaction) di antara seluruh kebutuhan hidup. Ini berarti, ada sebagian kebutuhan hidup manusia yang betul-betul dapat terpenuhi, ada sebagiam lagi yang secara memadai dapat terpenuhi, dan sebagian kebutuhan lagi yang barangkali tak pernah terpenuhi. Demikian pula da1am hal potensialitas manusia, tidak selalu dapat dipastikan, sehigga kadar keterwujudannyapun menjadi relatif. Namun harus diakui, bahwa seluruh kemungkinan yang ada pada manusia dapat selalu dikembangkan selama hidupnya, dan bahwa dapat terjadi saling menggeser di antara berbagai kemungkinan itu. Abrahan Maslow, seorang psikolog mengemukakan konsep jenjang kebutuhan, yang menjelaskan tentang adanya jenjang-ienjang kebutuhan manusia. Kebutuhan pada setiap manusia itu tidak sama dan bisa digambarkan sebagai lima jenjang dalam sebuah segi tiga. tingkat paling bawah disebut basic physical need atau yang terdiri dari kebutuhan dasar manusia, sebagai yang dimiliki hewan lainnya, yaitu makan, minum dan seks. Dalam hal ini manusia dipandang sebagai bagian dari dunia hewan. Tingkat kedua disebut safety need, di mana orang mulai merasakan kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan mereka bukan ssekadar kepuasan jasadi, karena sudah gampang mereka peroleh. 11
  • 12. Gambar 1 Jenjang kebutuhan menurut Abraham Maslow Need Berikutnya kalau orang sudah bisa mendapatkan rasa aman dalam memenuhi kebutuhan dasar yang didambakan, muncul kebutuhan pada jenjang berikutnya, yaitu beloved need atau mendapat pengakuan atau rasa dicintai oleh orang lain. Bila semua kebutuhan di muka ssudah mudah diperoleh orang mulai mendambakan kepuasan akan harga diri atau esteen need. Untuk mendapatkan kepuasan pada jenjang di atas memang diperlukan upaya maupun resiko lebih besar. Dan akhirnya di atas segalanya masih terdapat kebutuhan tertinggi, yaitu need of self actualization. Yang dimaksud adalah kebutuhan unruk sebuah pengembangan diri. Biaya untuk mendapatkan kepuasan hatu untuk memenuhi kebutuhan itu barangkali tak bisa dinilai secara materiil. Barangkali bahkan tak memerlukan biaya, namun kepuasan itu sendiri tak bisa dinilai dari luar. Ketika Sakyamuni memutuskan untuk keluar dari istama dan mengembara sebagai Buda Gautama, dia merasakan kepuasan tertinggi sebagai bentuk 12 Need of Self Actualization Esteem Need Beloved Need Safety Need Basic Physical Need
  • 13. aktualisasi diri. Dia hanya dengan jubah kuning, tongkat dan tempurung kelapa untuk memeinta-minta sedekah. Dia kemudian mendapatkan penerangan atau bodhi ketika berada di bawah naungan pohon pepala. Hal semacam dialami pula oleh Muhammad SAW sejak mendapatkan wahyu di gua Hira. Untuk itu dia menafikan semua tawaran hidup enak yang ditaewarkan oleh para pemimpin Quraisy, asal Muhammad meninggalkan dakwah Islamnya. Demikiamn juga hal serupa diperoleh oleh seorang ilmuan amupun guru melakukan pengabdian kepada kemanusiaan. Dengan demikian yakinlah kita bahwa ukuran hidup baik atau good life amat bervariasi. 2. PENDIDIKAN IPS DAN TUJUAN YANG HENDAK DICAPAI Salah satu pengertian yang harus dipahami dalam mengembangan ilmu sosial adalah bahwa kebenaran ilmu sosial merupakan kebenaran yang relatif dan tentatif. Begitu nenurut Sullivan (1953). Tak dapat dilupakan pula kenyataan, bahwa manusia kecuali sebagai obyek juga sebagai subyek penelitian. Di sini sangat diperlukan peningkatan rasa tanggung jawab mengenai kesejahteraan manusia itu sendiri, sejalan dengan pikiran Max Weber bahwa tujuan akhir dari ilmu sosial adalah peningkatan seseorang dalam tanggung jawab. Dalam bahasa aslinya dikatakan “… the ultimate aim of the science of social men was the enhancement of one's responsibility” (John S. Nimpoeno, 1980, h. 1). Hasil kajian yang bersifat subyektif dan tentatif itu juga terjadi kalau dilakukan dengan pendekatan spesialistis atau hanya dari satu disiplin. Dan untuk mendapatkan hasil kajian yang lebih mempunyai arti (meaningful), akan digunakan pendekatan interdisiplin, yaitu dengan menggunakan lebih dari satu disiplin yang relevan. Itulah yang menjadi dasar yang diharapkan oleh pendidikan I1mu Pengetahuan Sosial dalam artian Studi Sosial (Achmad Sanusi, l972, h.4-5). Dengan cara pendekatan interdisiplin ini dimaksudkan dalam waktu bersamaan digunakan konsep-konsep dalam ilnu-ilmu sosial yang relevan, dalam upaya memberikan penjelasan sesuatu masalah kemasyarakatan yang sedang dihadapi, agar tercapai tujuan yang dikehendaki. Meskipun demikian sifat hasil kajian yang bersifat subyektif dan 13
  • 14. GAMBR 2 Skema Tujuan Program Pendidikan IPS dalam Artian Studi Sosial MASYARAKAT ORANG DEWASA I n t e r a k s I S o s i al KEBUDAYAAN ASING R E M A J A YOUTH CULTURE PENGEMBANGAN SIKAP PERTUMBUHAN PENGETAHUAN & SALING PENGERTIAN PENGEMBANGAN KETRAMPILAN & KEMAMPUAN 1. Bersikap positif thd masyarakat 2. Menjadi warga masyarakat yg baik 3. Penyesuaian diri dengan masyarakat 4. Penuh saling pengertian dengan sesama masyarakat 5. Peduli thd lingkungan 1. Belajar mengenali hak dan kewajiban sebagai warga masyarakt 2.Memahami status dan fungsi sbg warga masyarakat 3. Melatih saling pengertian di antara sesama warga a. Latihan mengidentifikasi masalah 2. Latihan menganalisa masalah 3. Latihan mengambil keputusan INTELEGENT SOCIAL ACTOR S O C I A L A D J U S M E N T INTELEGENT SOCIAL ACTOR 14
  • 15. tentatif masih dimungkinkan terjadi. Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa pendidikaan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam artian Studi Sosial yang dimaksud, mempunyai tanggung jawab utama untuk membantu anak menjadi dewasa dalam artian mampu mengambil keputusan- keputusan penting yang berkaitan dengan pergaulannya dengan orang lain dalam masyarakat, dan berani mengambil tanggung jawab atas apa yang dilakukan. Selain itu Studi Sosial diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak untuk mengmbil keputusan secara rasional dalam menghadapi berbagai masalah dalam hidup, dan mengambil sesuatu tindakan secara cerdik. Dengan perkataan lain program Studi Sosial diharapkan dapat membuat anak menjadi aktor sosial yang cerdik (intelligent social actor). Dan kemampuan untuk mengambil keputusan itu dapat dicapai, antara lain dengan jalan melatih anak menghadapi masalah-masalah sosial yang ada di sekitar mereka (J.A. Banks, 1977, h. 10-12). Dari sana sebetulnya dapat terlihat adanya tiga tujuan pendidikan IPS dalam artian Studi Sosial, yaitu : (1) pengembangan sikap, (2) pertumbuhan pengetahuan serta saling pengertian, dan (3) pengembangan ketrampilan serta kemampuan. Warga masyarakat disebut warga yang efektif, kalau menunjukkan sejumlah sikap positif dalam menghadapi masyarakat. Sikap-sikap tersebut didasarkan moral, etika serta nilai spiritual yang serasi dengan masyarakat demokratis, menurut Jarolimeck (1961). Selain itu harus pula terjadi proses penyesuaian kepribadian anak, sebab perilaku sosial yang tidak serasi merupakan gejala ketidak mampuan anak dalam penyesuaian diri. Di pundak generasi tua beban bimbingan itu diletakkan (Noel D. Pryde, 1975, h. 10). Yang dapat kita tangkap dari harapan yang dibebankan pada Studi Sosial atau IPS tadi, ialah tumbuhnya rasa tanggung jawab sosial dan penyesuaian diri dengan tata nilai lingkungan sosial. Ini dkenal sebagai kedewasaan sosial, jadi tidak sekadar kedewasaan fisik maupun mental, dianggap memiliki tanggung jawab sosial yang baik. Tiujuan lain program Studi Sosial yang perlu dicapai ialah pertumbuhan pengetahuan dan pengertian akan hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat. Dengan cara lain dapat dikatakan, bahwa orang dewasa harus mampu memainkan peran sosial dengan baik, untuk membantu anak memahami warisan sosial budaya serta belajar menghadapi 15
  • 16. masalah-masalah yang bakal dihadapi kelak, menurut R.C. Preston (1960). Yang penting nampaknya pendidikan IPS bertujuan supaya warga masyarakat memahami warga masyarakat yang lain, serta lingkungan di mana orang itu hidup. Dengan cara itu akan dapat dicapai saling pengertian di antara warga masyarakat sendiri (Noel D. Pryde, 1975, h. 15). Tujuan program Studi Sosial tersebut tidak mungkin tercapai tanpa dicapai lebih dulu sejumlah ketrampilan yang diperlukan, yaitu melakukan adaptasi diri dalam tata nilai masyarakat. Dari seorang aktor memang dituntut banyak sekali, apalagi kalau harus memainkan peran-peran sosial yang sering sekali ganda, dan harus pula menghadapi peran-peran lain yang banyak sekali, dan sering sekali tidak serasi dengan ‘role expectation’ yang tidak tertulis dan tidak jelas. Di sinilah nampak sekali perlunya proses sosialisasi, untuk mengkomunikasikan harapan-harapan sosial, sehingga setiap warga mengetahui ‘role expectetion’ yang dituntut dari warga masyarakat tersebut. 3. MASYARAKAT a. Paradigma Masyarakat Selanjutnya perlu disepakati lebih dahulu apa yang dImaksud dengan masyarakat agar selalu terdapat kesamaan arti dalam penggunaan konsep masyarakat yang kita pergunakan. Kita bakal mengetahui konsep masyarakat yang tidak tunggal arti, tergantung dari paradigma mana yang kita ikuti. Kepastian dalam memandang masyarakat ini akan memberikan kemudahan bagi kita dalam memberikan jalan terhadap berbagai gejala yang bakal muncul dalam pemahaman pada IPS. Di samping itu juga persepsi mengenai masyarakat tersebut, akan memberikan kemufakatan atau kesatu bahasaan dalam menggunakan konsep-konsep sosial dalam menganalisis berbagai kcenderungan yang muncul dalam pembahasan. Di sinilah perlunya kita menyetujui suatu paradigma mengenai masyarakat. Mula-mula, masyarakat harus dipandang sebagai sistem yang hubungan antara warganya diikat oleh suatu saling ikatan yang tak terpisahkan, dalam suatu keseimbangan. Masyarakat bukan sekedar sebagai ‘a set of interrelated elements’ atau ‘a set of interdependent variables’, melainkan suatu 16
  • 17. ‘homeostatic interrelated system’. Ini berarti, bahwa mula-mula masyarakat adalah sekelompok manusia, yang diabstraksikan dari kenyataan-kenyataan fenomenologik, dan yang terdiri dari ‘a set of interdependent (social) variables’. Sebagai suatu sistem maka masyarakat terdiri dari sub-sub sistem, yang memiliki status, posisi, kepentingan serta peranan tertentu, namun baru mempunyai makna dalam ikatan keseluruhan yang padu. Interaksi yang terdapat dalam sistem tersebut, bukan hanya berlangsung di antara individu dengan individu, namun juga di antara individu dengan kelompok dan di antara kelompok dengan kelompok. Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa masing- masing sub sistem atau komponen dalam masyarakat merasakan kebutuhan untuk tetap dalam kesatuan, karena masing-masing sub sistem hanya mempunyai arti kalau dalam ikatan kebersamaan. Hal tersebut terjadi karena sebagai sistem, masyarakat mempunyai tujuan yang dirasakan bersama, sehingga untuk mencapai tujuan bersama tersebut terbentuklah pola hubungan saliing membutuhkan (social pattern of mutual helpfulness). Dengan cara itu masing-masing rnerasakan kepuasan bersama (mutual satisfactory), namun mereka masih tetap merasa saling bergantung satu sama lain (interdependency)’. Selama interaksi berlangsung, oleh karena masing-masing warga masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda, maka yang terjadi adalah rangkaian konflik, kompetisi, kerja sama dan akomodasi, dan disusul kembali dengan konflik, kompetisi, kerja sama dan akomodasi. Sehingga terjadilah apa yang dikenal sebagai rangkaian adaptasi sosial, karena akomodasi sendiri merupakan ‘... the adjustment of hostile individuals or groups’. Itulah sebabnya masyarakat sebagai suatu totalitas merupakan suatu ‘stable inner equilibrium’, suatu keseimbangan yang datang dari dalam yang telah mantap. Yang ke dua, masyarakat harus dipandang sebagai cara-cara untuk terjadinya konformitas, dan sementara itu merupakan sistem nilai, atau dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa masyarakat merupakan suatu ‘modes of conformity, and normative system of values’. Sejak awal sudah diuraikan mengenai proses sosia1isasi yang dimulai sejak dari lingkungan keluarga, ketika anak-anak harus melakukan adaptasi dan penerimaan terhadap tata nilai serta norma yang berlaku dalam keluarga. Itu berarti, bahwa anak-anak sebagai warga baru kelompok atau masyarakat diharapkan dapat konform dengan tata nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. 17
  • 18. Sebagai suatu sistem nilai yang normatif, maka masyarakat juga mengenal adanya sanksi, seperti dikemukakan di depan. Cara tersebut berguna agar supaya setiap warga masyarakat bisa bertingkah laku dan tampil sesuai dengan harapan-harapan sosial yang telah dikomunikasikan selama masa sosialisasi. Yang dimaksud dengan nilai, ialah bagian dari kebudayaan yang berupa keyakinan yang mengikat warga masyarakat mengenai baik dan buruk, benar dan tidak benar. Nilai tersebut dimanifestasikan dalam bentuk norma, kebiasaan, sanksi dan sebagainya dalam kehidupan (James A. 1972 h. 240-250). Paradigma ke tiga, ialah bahwa masyarakat merupakan pola-pola bagi integrasi sosial maupun sosialisasi, yang dalam sosiologi dikenal dengan istilah ‘patterns of association and socialization’. Kecenderungan proses sosial yang bersifat asosiatif atau integratif dapat kita lihat pada Gambar 2 mengenai Basic Social Processes tersebut di atas... b. Individu dalam Masyarakat Mempelajari kecenderungan remaja dalam rangka proses interaksi sosial, tidak lain dari pada mempelajari manusia dengan perilakunya dalam antarhubungan manusia itu sendiri. Dan ini jelas menunjukkan bahwa kawasan pembahasannya berada di dalam kawasan psikologi sosial, yang secara gampang sering disebut sebagai “the science of interpersonal behavior events" (Krech et al, 1962, h. 5). Dengan demikian maka kita berangkat dari tinjauan psikologi sosial sebagai pijakan utama. Namun demikian untuk mendapatkan penjelasan lebih lengkap mengenai manusia dan lingkungan sosial budayanya, digunakan juga konsep konsep sosiologi. Manusia dapat dikatakan sebgai mahluk Tuhan yang mempunyai tiga aspek dalam suatu keutuhan, yaitu aspek organik-jasmaniah, aspek psikik-ruh, dan aspek sosial-kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling berkaitan, saling mempengaruhi, sehingga perubahan pada satu aspek akan berpengaruh terhadap aspek yang lain. Oleh karenanya manusia disebut individu selagi tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku masyarakat di mana individu tersebut tinggal. Dan selama itu pula individu tersebut dibebani berbagai peranan. Dan peranan-peranan itu terutama berasal dari 18
  • 19. kondisi kebersamaan hidup dengan sesamanya (John S. Nimpoeno, 1980, h. 4). Dengan memandang setiap individu sebagai suatu ‘self’ yang berdiri sendiri, William James (1890) memandang bahwa pada diri setiap individu terdapat tiga tipe ‘self’, yang terdiri dari social self, spiritual self, dan material self ( Lindzey and Aronson I, H. 522). Dengan perkataan lain dapat dikatakan, bahwa manusia mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi badani, dimensi ruhani, dan dimensi sosial-kebersamaan. Dan ini berarti bahwa setiap nanusia, di satu pihak merupakan individu yang unik, yang mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan orang lain. Namun di lain pihak, merupakan warga atau bagian dari lingkungan sosialnya. Oleh karenanya setiap individu harus berperilaku sesuai dengan pola-pola perilaku kolektif, namun tidak lepas dari keunikan dirinya. Dalam perjumpaan antara keunikan individual dengan tekanan pola-pola sosial budaya, dapat terjadi berbagai kemungkinan. Kemungkinan pertama, seorang individu akan ‘kehilangan individualitasnya’, karena terbawa oleh tekanan pola-pola sosial budayanya. Dalam hal ini orang tersebut akan berperilaku tidak menyimpang dari perilaku yang pada umumnya diperbuat oleh kebanyakan orang dalam lingkungan sosialnya. Orang tersebut menunjukkan ketundukan yang tinggi terhadap tata nilai yang berlaku dalam masyarakat. Gejala ketundukan warga masyarakat terhadap tata nilai masyarakat, sehingga mereka berperilaku serasi dengan harapan-harapan sosial sesuai dengan peranan yang disandang oleh masing-masing warga, disebut konformitas. Dalam hal ini tidak berarti warga masyarakat menunjukkan perilaku yang sama dan seragam dengan warga yang lain, melainkan warga masyarakat menunjukkan perilaku yang serasi dengan posisi, status dan peran mereka dalam masyarakat, seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Kemungkinan kedua yang terjadi dalam perjumpaan antara keunikan individual dengan pola-pola sosial-budaya, ialah ‘menyimpang dari norma kolektif’(John S. Nimpoeno, 1980, h. 5). Keadaan yang demikia itu terjadi manakala tingkah laku warga masyarakat yang unik tidak serasi dengan tingkah laku kolektif, sehingga yang terjadi ialah nonkonformitas. Akan tetapi dalam kenyataan hidup, setiap warga masyarakat akan cenderung menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan situasi aktual yang dihayatinya. Dan keberhasilan untuk mencapai titik optimum antara dua pola tingkah 19
  • 20. laku tersebut di atas dalam situasi-situasi yang senantiasa berubah, dianggap sebagai tanda ‘kematangan’ atau ‘kedewasaan’ dalam pengertian sosial. Meskipun demikian individu dan masyarakat dalam permasalahan ini, tidak pernah disejajarkan hingga menjadi individu dan masyarakat, atau bahkan dipertentangkan menjadi individu atau masyarakat. Sebaliknya, lebih pantas kalau tetap disebutkan dengan cara individu dalam masyarakat (Krech et al., 1962, h. 529). Ini berarti bahwa kecenderungan apapun yang terjadi, ‘menyimpang dari norma kolektif’ ataupun ‘kehilangan individualitasnya’, ‘berperilaku konform’ ataupun ‘bebas’, tampil sesuai dengan ‘kepribadiannya’ atapun ‘mcndapat tekanan dari masyarakatnya’, mau tidak mau merupakan pencerminan baik dan keunikan maupun kebersamaan. Agak berbeda dengan kebersamaan dalam kehidupan hewani yang mengikuti kaidah-kaidah eko1ogis dan bersifat naluriah, maka hidup kebersamaan manusia didasarkan pada pertimbangan nalar dan saling ketergantungan. Menurut Durkheim, gejala kolektivitas hewani itu disebut sebagai ‘mekanistik’, sementara dalam dunia manusia dikenal sebagai ‘organik’, yaitu atas dasar saling mengatur dan saling membutuhkan. Ini berarti, bahwa pola perilaku yang terjadi dalam kehidupan manusia, merupakan sesuatu yang dipelajari, merupakan sesuatu yang tumbuh. Dan karena perilaku manusia itu berkaitan dengan posisi dan status peranan masing-masing warga dalam sesuatu masyarakat, maka orangpun menyebutnya sebagai suatu struktur. Di sana masing-masing bagian atau warga masyarakat meru- pakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan, sebagai sebuah sistem. c. Interaksi Sosial Masyarakat pada dasarnya merupakan struktur sosial yang dinamis, dalam artian di dalamnya terjadi saling hubungan di antara sesamanya (personal interrelations). Dan para warganya dengan demikian merupakan orang-orang yang saling berhubungan (interrelating persons). Pengertian itu timbul kalau kita bertolak dari anggapan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem. Yang dimaksud dengan sistem di sini ialah seperangkat unsur-unsur yang saling berhubungan, dalam artian masing-masing unsur saling bergantung sesamanya. Secara 20
  • 21. singkat daoat dikatakan, bahwa sistem merupakan ‘a set of interrelated elements’. Ini berarti bahwa, keseluruhan sistem tersebut selalu mempunyai makna lain dari pada sekedar kumpulan unsur-unsur belaka. Dan sebagai sistem, maka masyarakat yang merupakan sekelompok manusia dapat digambarkan berdasarkan penuturan Loomis (1960), Parsons (1951) dan Merton (1949), sebagai berikut. 1) Sistem Sosial terdiri dari bagian-bagian yang utuh, tetapi saling berkaitan secara bermakna. Jadi sistem itu mempunyai struktur. 2) Setiap bagian dari sistem sosial mempunyai fungsinya tersendiri, tetapi tetap dalam rangka keseluruhan sistem. Yaitu tidak lain karena keseluruhan sistem sosial itu juga mempunyai fungsi yang pasti. 3) Tergantung dari konsep yang dipakai, maka bagian-bagian sistem dapat berwujud pelaku, fungsi atau peranan, yang dapat mengkonversikan masukan (input) menjadi keluaran (output). Adanya masukan dan keluaran pada masing-masing bagian itu disebabkan oleh adanya masukan dan keluaran pada sistem sosial sebagai suatu keutuhan. 4) Sebagai sistem sosial, sistem ini mempunyai tujuan, dan karena mempunyai tujuan, sistem tersebut juga paling sedikit terikat pada nilai- nilai tertentu (system values) yang kemudian diendapkan menjadi tolok ukur-tolok uikur (system parameters). 5) Sistem Sosial tidak kaku (antara lain karena memiliki sifat sebagai ‘sistem terbuka’), sehingga senantiasa marnpu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya dan saat yang satu ke saat yang lain. Perubahan- perubahan sistem yang ditimbulkan mempunyai corak evolusioner 6) Perubahan revolusioner akan membuat punah sistem yang lama, karena diganti oleh sistem yang lain. Sebagai contoh: revolusi industri adalah sebuah perubahan yang cepat dan mendalam, yang merangsang munculnya sistem masyarakat baru di abad lampau. (John S, Nimpoeno, 1980, h. 17-18) Dengan perkataan lain dapat dinyatakan bahwa sebagai suatu sistem, maka para warga masyarakat merupakan jalinan ynng padu, yang ditandai oleh adanya 21
  • 22. hubungan antara warga. Dan dalam kehidupan yang asosiatif itu, nampaknya interaksi merupakan kunci segalanya, menurut Kimball Young (1942). Interaksi itu sendiri dapat didefinisikan sebagai hubungan timbal-balik antara dua orang atau lebih, dimana setiap orang terjalin erat dalam tindakan dan dengan maksud tertentu. Dan dalam hubungan timbal-balik itu terlihat tiga bentuk hubungan, sebagai berikut : 1) interaksi orang seorang, di mana seorang bocah untuk pertama kalinya belajar menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tuanya, atau dimana seorang perjaka mencari pasangan hidupnya. 2) interaksi antara orang seorang dengan kelompok, atau sebaliknya, dimana seseorang individu mendapati dirinya bertentangan dengan norma kelompok, atau di mana sesuatu kelompok memaksakan kehendak agar anggotanya dapat konform dengan nilai kelompok. 3) interaksi antara dua kelompok, di mana dua partai bekerja sama untuk mengalahkan partai ke tiga, misalnya, atau manakala dua negara sedang berperang. (Selo Soemardjan dkk., 1964, h. 184). Dapatlah kemudian dipahami kalau dalam interaksi sosial semacam itu, yang terjadi ialah rangkaian kooperasi, konflik atau kompetisi, dan akhirnya akomodasi. Konflik dan kompetisi sebetulnya merupakan wujud dari bentuk interaksi yang bernama oposisi. Dengan koperasi (kerja sama) dimaksudkan sebagai bentuk interaksi yang bertolak dari kebutuhan bersama, yang dikaitkan dengan upaya untuk mendapatkan tujuan atau hasil yang sama. Dengan azas ini sebetulnya seluruh interaksi sosial terjadi. Kerja sama (koperasi) menurut pandangan psikologi, dilatar belakangi oleh ketergantungan, kasih sayang, simpati maupun identifikasi. Berbeda dengan kooperasi, maka oposisi bertolak dari perbedaan dalam kepentingan, kebutuhan, tujuan dan sebagainya, di antara warga masyarakat, dan seringkali diidentikkan dengan ‘pertarungan’ (struggle). Kimball Young (1942) membedakan oposisi menjadi kompetisi dengan 22
  • 23. konflik. Kompetisi merupakan bentuk oposisi yang ‘lebih lunak’, yang lebih menekankan pada tujuan untuk mendapatkan ‘hadiah’ dan bukan pesaing itu sendiri. Sebaliknya, konflik lebih menekankan pada perjuangan mengalahkan pesaing itu sendiri (Selo Soemardjan cikk., 1964, h. 185-208). Sedangkan akomodasi dan asimilasi merupakan proses yang terjadi dalam masyarakat, yang dimaksudkan sebagai ‘jalan keluar’ atau ‘pilihan’, sebagai akibat terjadinya oposisi dalam masyarakat. Dengan cara ini maka interaksi sosial menjadi lebih penuh toleransi dan lebih mnghemat energi. Sebaliknya akomodasi juga merupakan kondisi berupa persetujuan secara institutional, dimana warga masyarakat dan masyarakat setuju untuk mengambil sikap tertentu terhadap sesuatu aturan. Kimball Young (1942) menyebut kondisi itu sebagai pencerminan dari keseimbangan (equilibrium) antara individu dengan kelompok maupun dengan tatanan yang telah disetujui bersama. Perlu dikemukakan bahwa bentuk-bentuk interaksi tersebut di atas merupakan rangkaian (kontinum) yang silih berganti, dan merupakan wujud dari proses penyesuaian hidup bermasyarakat (social and life adjustment), yang berlaku bagi setiap warga masyarat. Rangkaian proses itu sendiri berlangsung sejak dari lingkungan kehidupan keluarga, kelembagaan, komunitas, masyarakat, hingga lingkungan bangsa. Selama itu pula warga masyarakat yang lebih mapan (=generasi tua) menggunakan kesempatan tersebut untuk mengkomunikasikan harapan-harapan sosial kepada generasi muda. Proses tersebut dikenal sebagai sosialisasi atau enkulturasi. Dalam proses sosialisasi atau enkulturasi itu, generasi tua menyampaikan norma-norma, mores , folkway dan nilai (value). Menurut Sumner (1906), selama itu proses sosial yang sesungguhnya terjadi, di mana umat manusia bukan didesak untuk tunduk pada sesuatu filosofi atau etika besar yang datang dari luar, melainkan didorong untuk dapat hidup sesuai dengan kondisi nyata yang hidup. Dari menit ke menit setiap warga masyarakat dibiasakan dan didorong untuk melakukan tindakan yang merupakan ‘satu bahasa’. Dan kebiasaan hidup seperti dipaksakan dalam kehidupan sehari-hari, dan orang dipaksakan untuk hidup serasi dengan orang lain. Dengan cara itu orang mencoba untuk hidup benar dan betul. 23
  • 24. Dengan agak lengkap Sumner (1906) mengatakan: ‘The real (social) process in great bodies of men is not one of deduction from any great principle of phylosophy or ethics. It is one of minute efforts to live wel1under existing conditions, which efforts are repeated undefinitely by great numbers, getting strength from habit and the fellowship of united action. The resultant folkways become coercive. All are forced to conform, and the folkways dominate the social life. Then they seem true and right, and arise in mores as the norm of welfare. (Lindzey and Aronson, I, 1954, h. 511). Dalam proses interaksi itu warga baru belajar dari masyarakat ketrampilan, fakta serta nilai, yang amat berguna bagi kehidupannya kelak dalam masyarakat, sehingga disebut juga ‘social learning’. Namun sebenarnya dalam proses ‘social learning’ terjadi dua kegiatan yang serempak, yaitu ‘personal-social Learning’ dan ‘cultural conditioning’ (Kimball Young,58, h. 113-119). Cultural conditioning’ merupakan proses yang terjadi dalam masyarakat dan dimulai dari lingkungan keluarga, berupa kelakuan-kelakuan yang harus dilakukan anak, agar dapat diterima dalam pola budaya suatu masyarakat. Sementara itu setiap warga masyarakat saling berhubungan dengan mengikuti cara-cara, hak dan kewajiban dan sebagainya, yang berlaku dalam masyarakat. Itulah yang disebut sebagai ‘personal- social learning’. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa seluruh proses disebut sebagai ‘personal-social and cultural learning’, yang prosesnya dapat divisualisasikan, seperti terlihat pada Gambar 3 berikut ini. 24
  • 25. Pada gambar terlihat adanya satu faktor lagi yang harus diperhitungkan dalam proses sosial tersebut, yaitu perbedaan (differentiation), yang dapat dianggap sebagai karakteristik yang dirniliki oleh setiap individu sebagai warga masyarakat. Karakteristik individual itu bermula dari perbedaan status biologis, seperti perbedaan jenis kelamin, umur dan sebagainya, yang termasuk dalam dimensi badani. 25
  • 26. Ketika karakteristik personal itu berhadapan dengan kenyataan hidup dalam masyarakat, berubahlah menjadi karakteristik atau perbedaan status-status sosial, yang membawa akibat pula pada perbedaan peranan. Yang dimaksudkan ialah perbedaan berupa lapisan-lapisan masyarakat atau stratifikasi sosial dan spesialisasi dalam tugas. alam maasyarakat yang mengenal kelas, stratifikasi sosial itu dapat berupa jenis-jenis kasta, kelas pekerja, kelas majikan, kelas menengah dan sebagainya. Sedangkan spesialisasi dalam tugas dapat berupa jenis-jenis tenaga kerja ataupun jenis tugas pekerjaan, seperti kaum terpelajar, buruh, majikan, petani dsb. 4. SOSIALISASI DAN FUNGSINYA a. Sosietalisme kontra Developmentalisme Masyarakat memiliki mekanisme berupa proses sosial, yang dimaksudkan agar masyarakat dapat melanjutkan hidupnya (survive). Ini berarti bahwa terhadap generasi baru perlu dilancarkan berbagai upaya oleh generasi tua - baik dengan cara-cara langsung maupun simbolik - agar bisa tampil dalam masyarakat sesuai dengan tata nilai dalam masyarakat. Bisa dilakukan dengan memberikan aturan main secara fotmal, pesan moral lewat cerita rakyat, mitologi, legenda maupun dengan ceramah maupun pendidikan formal. Edward Zigler maupun Irvin L. Child dalam tulisannya berjudul ‘Sosialization’ menekankan bahwa sosialisasi merupakan masalah praktis yang sudah kuno, dan sudah meresap dalam kehidupan umat menusia, yaitu bagaimana mengasuh anak-anak agar mereka menjadi warga masyarakat yang benar dalam masyarakatnya sendiri. Lengkapnya Zigler mengatakan sebagai berikut. “Sosia1ization refers to a practical problem which is old and pervasive in human life the problem of how to rear children so that they will become adequate adult members of the society to which they belong.” (Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 450) Di sini yang ditekankan adalah pentingnya peranan pengasuhan anak, agar anak dapat menyesuaikan diri dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi orang 26
  • 27. dewasa yang benar. Jadi konformitas merupakan tujuan akhir dari proses sosialisasi. Baik Kluckhohn maupun Murray beranggapan bahwa proses sosialisasi itu sudah berjalan semenjak masa pengemongan atau pengasuhan (nursery). Dan manakala si anak mulai bertindak sesuai dengan perilaku yang diharapkan orang tua, ini berarti sosialisasi telah membuahkan hasil (Skinner, ed., 1959, h. 291). Pendapat semacam itu mewakili aliran sosietalisme, yang amat menekankan pada pentingnya faktor lingkungan sosial budaya, karena mereka mendsarkan pandangan pada anggapan bahwa proses sosialisasi tidak lain adalah proses transmisi kebudayaan (cultural transmission). Ternyata definisi Child tersebut menimbulkan kritik dari golongan developmentalisme, yang diwakili oleh pandangan-pandangan Maslow (1954), Yahuda (1955), Allport (1955) maupun Rogers (1951). Mereka yang terakhir ini sangat menekankan perlunya aktualisasi diri (self-actualization), karena berkeyakinan bahwa sosialisasi pada dasarnya merupakan proses untuk aktualisasi diri (Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 472). Dengan demikian, sosialisasi dianggap berhasil kalau telah terjadi aktualisasi diri pada anak. Pada saat itu seorang anggota baru masyarakat masih tetap dapat mempertahankan sifat otonominya dalam badai tekanan pengaruh transaksional (transactional relationship), dimana seseorang individu masih mampu tampil dengan seluruh potensionalitasnya dalam rangka wadah lingkungan sosial budayanya. b. Aliran Kponvergensi Disinilah perlunya kita menganut aliran konvergensi, yang nampaknya dapat memberikan penjelasan mantap terhadap berbagai kecenderungan dalam proses sosial. Aliran ini antara lain diwakili oleh pemikir-pemikir Robert Brown (1965) dan Kohlberg (1966), yang beranggapan bahwa proses sosialisasi tak dapat dipandang sebagai proses yang sederhana, tidak sekedar pengendalian atas dorongan alami (the control of impuls), atau perolehan nilai-nilai yang serasi dengan kaidah-kaidah (the acquisition of values conforming to norms) maupun internalisasi superego yang timbul dari orang tua (the internalization of parental superego). Sebaliknya kita tidak boleh memandang rendah peranan si anak sebagai warga baru masyarakat, karena mereka 27
  • 28. memiliki berbagai karakteristik intelektual dan persepsi, yang mampu berinteraksi dengan berbagai faktor eksternal (Lindzey and Aronson, III, 1975, h. 465-474) GAMBAR 4 KONSEP SOSIALISASI ,MENURUT PARADIGMA PANDANGAN KAUM SOSIETALIS • Walter • Bandura PANDANGAN KAUM DEVELOPMENTALIS • Maslow • Yahuda • Allport SOSIALISASI : SOSIALISASI : • Traaaansmission of the culture • Impossing conformity • Process of becoming human • Facilitating self- actualization PANDANGAN KONVERGENSI * Robert Wrong SOSIALISASI : • Transmission of the cultur. • Imposing contormity seka1igus • Process of becoming human • Facilitating self-actualization 28
  • 29. Aliran atau cara berpikir inilah yang akan melandasi pangertian dan pengembangan IPS dalam buku ini. Oleh karenanya marilah kita terima batasan yang menganggap sosialisasi sebagai suatu istilah yang luas, yang mencakup keseluruhan proses seseorang individu mengembangkan pola- pola spesifik perilaku maupun pengalaman yang serasi dengan masyarakatnya, lewat transaksi dengan warga masyarakatnya. Menurut Zigler, batasan sosialisasi menjadi “… socialization is a broad term for the whole process by which an individual develops, through transaction with other people, his specific patterns of socially relevant behavior and experience (Lindzey and Aronson III, 1975, h. 474). Dengan perkataan lain dapat dikatakan, bahwa sosialisasi sekaligus merupakan suatu proses untuk ‘imposing conformity’ dan ‘facilitating self actualization’. Di satu pihak, sosialisasi bersifat negatif, di lain sisi bersifat juga positif. Maksudnya adalah bahwa kepribadian anak telah dibentuk oleh lingkungan (ekologi), sekali gus juga diberi kesempatan untuk mengembangkan diri. Dan sementara itu perlu dipahami, bahwa sosialisasi berarti menekan dorongan-dorongan naluriah atau mengendalikannya, juga berarti menciptakan sesuatu yang baru, seperti saling pengertian di antara sesama warga. Sejalan dengan adanya pengertian ‘personal-social and cultural learning’, dapat dibedakan pula pengertian-pengertian sosia1isasi dan enkulturasi. Sosialisas dianggap berbeda dengan enkulturasi oleh Bandura dan Walter (1963), karena sosialisasi merupakan proses bagaimana anak harus tampil sejak dalam keluarga, agar kelak dapat tampil sesuai dengan harapan masyarakat, sebagaimana telah disosialisasika. Sebaliknya dalam enkulturasi seorang dewasa harus menunjukkan bahwa seseorang tahu norma-norma yang berlaku dalam masyarakat budayanya (Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 547). Selanjutnya bahkan Sarbin (1954) menekankan, bahwa sosialisasi hanya berkaitan dengan penguasaan atas peran dan posisi yang dibawa sejak lahir (ascribed role and position), sementara enkulturasi berkaitan dengan penguasaan atas peran dan 29
  • 30. posisi yang diperoleh (achieved role and position). Ini tentu saja berkaitan dengan bagaimana seorang anak laki-laki misalnya, atau anak raja, seharusnya bertingkah laku dalam masyarakat, karena anak laki-laki ataupun anak raja merupakan posisi yang dibawa sejak lahir. Sementara itu kedudukan sebagai tukang semir sepatu atau sebagai dekan sesuatu fakultas, berkaitan dengan enkulturasi, sebab kedudukan tersebut diperoleh dalam masyarakat (achieved). Rasanya lebih tepat kalau kita tidak memberikan pembedaan atas kedua proses sosial itu, sebab pengertian itu tak dapat dipisahkan. Seluruh nilai, norma, keyakinan dan sebagainya yang diakui oleh masyarakat, tidak lain merupakan sebagian wujud kebudayaan. Dan sebaliknya sesuatu kebudayaan tak dapat dilepaskan dari masyarakat pendukung kebudayaan itu. Itulah sebabnya menurut Sutan Takdir Alisahbana (STA), proses sosialisasi tidak hanya melibatkan nilai maupun norma hidup sesuatu masyarakat, melainkan juga seluruh kompleks hasil budaya manusia yang dihimpun oleh masyarakat dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya sosialisasi dianggap juga enkulturasi (Sutan Takdir Alisjahbana, 1974, h. 132). Anggapan yang demikian itu bukan Sutan Takdir yang pertama kali menyatakan, karena yang pertama kali beranggapan demikian adalah Herskovits (1948). Menurut dia, istilah enkulturasi lebih dapat mencakup pengertian yang selama ini disebut sosialisasi (Selo Soemardjan, 1964, h 192). Yang lebih penting dalam kaitan ini adalah mengenai fungsi yang terkandung dalam pengertian tersebut. Yang dimaksud, ialah fungsi penyesuaaian sosial (social adj- ustment) dan integrasi sosial (socia1 integration), yang akan dijelaskan selanjutnya. 5. INTEGRASI SOSIAL Integrasi sosial merupakan konsep sosiologis, yang hendak menangkap semua karakteristik masing-masing warga masyarakat. Kita harus membedakan konsep integrasi sosial ini dengan konsep ‘kesatuan nasional’ atau ‘integrasi politik’, yang merupakan konsep ilmu politik, untuk mengatasi akibat negatif dari masyarakat, baik dalam artian ideologi, budaya, etnis, kawasan dan sebagainya . 30
  • 31. Sementara itu kita juga mengenal konsep ‘kepribadian nasional’, yang tak lain merupakan konsep politik juga, yang menggunakan tema-tema kebudayaan. Lebih-lebih konsep itu digunakan untuk menjawab perbenturan arus kebudayaan asing, yang secara politik diartikan sebagai selalu berseberangan dengan kepentingan nasional. Semua itu dilancarkan dalam rangka proses ‘bation and character building’. Sebaliknya dengan integrasi sosial dimaksudkan sebagai proses yang datang dari dalam (immanent) pada setiap masyarakat, agar tetap survive, agar tidak terjadi centang perentang dalam tatanan masyarakat, atau agar tidak terjadi desintegrasi. Namun harus dipahami, bahwa konsep integrasi sosial tidak mengandung arti suatu peleburan budaya, melainkan yang penting adalah adanya keseimbangan (ekuilibrium). Ini rarti masih dibenarkan adanya keaneka ragaman, meski dalam suatu harmoni (serasi, selaras dan seimbang) mengandung arti, dimungkinkan adanya atau munculnya pembaharuan-pembaharuan. Jadi, misalnya, dalam masyarakat yang terintegrasi masih dimungkinkan muncul manusia-manusia semacam Budha Gautama, Sokrates, Muhammad maupun Sukarno, dan tidak dianggap sebagai ‘pemberontak-pemberontak’, melainkan sebagai pembawa konsep pembaharuan, yang berguna bagi kelangsungan hidup (survive). Mekanisme yang disebut integrasi sosial tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan. Pertama, konsep integrasi sosial tersebut dapat dijelaskan dengan psikologi Gestalt, seperti dikemukakan oleh Wertheimer, Kohler dan Koffka. Mereka memberi batasan psikologi Gestalt, sebagai sebuah keseluruhan yang karakternya tidak ditentukan oleh sifat komponen-komponennya, melainkan oleh karakter hakikat keseluruhan itu. Bagian-bagian dari keseluruhan itu tidak mempunyai arti tanpa kaitan dalam keseluruhan, dan ditandai pula dengan berlangsungnya saling bergantung. Bukan saja antara komponen dengan keseluruhan terjadi interaksi, melainkan juga di antara komponen itu sendiri. Akibatnya kita tidak dapat memahami sesuatu bagian, yang dilepaskan dari keseluruhan hakikat integrasi (Sutan Takdir Alisjahbana, 1974, h. 16- 17). Kedua, mekanisme integrasi sosial itu dapat pula dijelaskan dengan pengertian masyarakat sebagai sistem seperti dikemukakan pada pembahasan interaksi sosial di depan, yaitu bahwa masyarakat merupakan jalinan yang padu. Setiap bagian atau sub 31
  • 32. sistem sosial, mempunyai posisi serta status tertentu dalam keseluruhan, sehingga masing-masing juga mempunyai peranan dan penampilan yang telah dipolakan, sesuai dengan harapan-harapan sosial. Dan karena setiap masyarakat mempunyai tujuan, warga masyarakat juga terikat oleh tujuan yang sama pula, dan terikat pula pada nilai yang sama. Meskipun demikian masyarakat juga merupakan sistem yang terbuka, maka selalu terbuka bagi proses penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Terakhir kali, mekanisme yang integratif itu dapat dijelaskan dengan konsep sosiologi. Para ahli sosiologi beranggapan, bahwa orang tidak dilahirkan sebagai manusia (human), melainkan harus melewati lebih dahulu proses interaksi dengan orang lain maupun lingkungan. Proses itulah yang disebut sosialisasi (James A. Banks, 1977, h. 240-250). Lebih jelas dikatakan bahwa "People are not born human, but are made human by interacting with the persons in their invironment" . Artinya, bahwa orang tidak dilahirkan menjadi manusia, sebaliknya menjadi menusia lewat interaksinya dalam masyarakat. Lewat sosialisasi itu terjdi1ah mekanisme menuju interdependensi (saling ketergantungan) di antara sesama warga masyarakat. Karena mereka merasa saling membutuhkan, merekapun perlu saling membantu dan bekerja sama, sampai merekapun merasa puas. Mekanisme yang terjadi itu dapat digambarkan secara skematik seperti pada Gambar 5 berikut ini (James A. Banks, 1977, h. 250). GAMBAR 5 KONSEP SOSIOLOGI MENGENAI SOSIALISASI NILAI SOSIALISASI NORMA P E R A N A N SANKSI 32
  • 33. i. LEMBAGA KOMUNITAS MASYARAKAT Skema tersebut di atas dapat dijelaskan dengan cara berikut. Lewat sosialisasi, warga baru masyarakat memperoleh nilai serta norma, yang diyakini dan dipergunakan bagi kehidupan dalam masyarakat, agar mereka dapat memainkan peranan masing-masing sesuai dengan harapan-harapan sosial. Selama masa sosialisasi itu berlangsung, masyarakat memberlakukan sistem ganjaran ataupun siksa yang dikenal dengan nama sanksi, dan diberikan kepada warga masyarakat. Pemberian sanksi tersebut terjadi pada segala lapisan maupun sub masyarakat. Mekanisme itu dikenal sebagai kontrol sosial, yang dimaksud untuk mendisiplinkan masyarakat, agar dapat hidup sesuai dengan kelakuan kolektif. Dengan kata lain, diharapkan dengan begitu setiap individu dapat hidup dengan bertanggung jawab sebagai warga masyarakat. Dengan cara-cara tersebut di atas, warga masyarakat dapat memainkan peran sosial meeeka sesuai dengan harapan-harapan sosial. Peran yang harus dimainkan itu berbeda-beda sesuai dengan status dan posisi dalam pelembagaan tertentu, seperti lembaga ekonomi, politik, pendidikn, kepemudaan dan sebagainya, yang terdapat dalam sesuatu komunitas. Sebetulnya interaksi yang dirasakan nyata ada, justru terletak pada tingkat lembaga itu. Sedangkan pada tingkat- tingkat yang lebih tinggi seperti komunitas maupun masyarakat, interaksi itu lebih bersifat abstrak. Masyarakat merupakan kesatuan sosial yang berstruktur, menempati sesuatu kawasan tertentu, dan di antara para warganya dihubungkan dengan sejumlah peranan, sehingga membentuk suatu keteraturan. Keteraturan-keteraturan itu terjadi karena seluruh unit dalam sistem itu tunduk pada norma dan nilai tertentu. 33
  • 34. Apa yang dapat ditangkap dari seluruh mekanisme yang bernama sosialisasi itu, ialah kesimpulan bahwa seluruh sistem sosia1 itti terjalin dalam suatu keterikatan yang bernama saling ketergantungan atau interdependensi. Dan hal itu merupakan bukti adanya proses penyesuaian diri yang terus-menerus dari warga masyarakat, sehingga integrasi ssosial diharapkan akan terjadi. 6. KONFORMITAS Dari pembicaraan rnengenai proses-proses sosial di depan, sudah disebut-sebut mengenai kecenderungan ketundukan warga masyarakat terhadap polapola kelakuan kolektif atau kesesuaian kelakuan dengan posisi sosial. Dengan kata yang lebih padu dapat dinyatakan, bahwa itulah yang disebut sebagai konformitas. Kecenderungan itu timbul karena adanya tekanan dari kelompok terhadap warga sesuatu kelompok, dan warga kelompok itu conderung untuk ‘takut salah’ atau ‘being out of step’ dengan kelompok. Jadi, manakala seseorang individu dituntut untuk menyatakan pendapat mengenai sesuatu isu, sedang ia merasa berkepentingan terhadap masalah atau isu tersebut, maka yang timbul ialah situasi konflik. Dalam menghadapi situasi konflik semacam itu, hanya ada dua pilihan : atau dia harus menyatakan pendapat atau pertimbangannyang secara menyimpang dari pola-pola kolektif, atau dia harus menyatakannya serasi dengan prrtimbangan umum. Kalau kemungkinan yang pertama yang terjadi, orang tersebut disebut mandiri atau otonom dari lingkungan konsensus umum. Sebaliknya, kalau dia memilih kemungkinan yang kedua, orang tersebut disebut konform dengan harapan-harapan sosial (Krech et al., 962, h. 206). Dengan kata lain dapat dinyatakan, bahwa konformitas merupakan gejala kepasrahan diri warga masyarakat terhadap tekanan sesuatu kelompok, yang terlihat pada pertimbangan (judgment) atau tindakan (action). Konformitas itu terlihat dari perbedaan dalam pertimbangan mengenai sesuatu isu dari diri orang tersebut dengan yang datang dari kelompok. Makin besar perbedaan dalam pertimbangan atau penilaian yang ada, makin sulit konformitas itu terjadi. Itu berarti, bahwa tingkat kemandirian 34
  • 35. (otonomi) tersebut makin beaar. Sebaliknya manakala seseorang kurang memiliki kemandirian dalam menentukan sikap dapat atau mudah menjurus pada terjadinya konformitas dalam masyarakat, dengan acuan nilai tertentu. Kecenderungan timbulnya konformitas itu telah dimulai sejak dalam lingkungan kehidupan keluarga. Menurut Margareth Mead misalnya, anak-anak sebagai generasi baru, tumbuh tanpa adanya sesuatu model, hingga segala pengalaman orang tua maupun kakak-kakak mereka, dianggap sebagai model dan pedoman. Seolah-olah tanpa adanya alternatif lain, anak-anak “tunduk pasrah” (konform) dalam tata nilai yang berlaku dalam keluarga (Hilda Taba, 1960, h. 55) Dalam masyarakat urban, akibat terjadinya mobilitas sosial, terjadilah perubahan peranan keluarga dalam proses sosialisasi maupun pendidikan. Gejala yang nampak, ialah merosotnya peranan keluarga, dan untuk sebagian digantikan oleh lembaga sekolah maupun kelembagaan lain di luar keluarga. Sementara itu tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga sekolah merupakan hasil kelas sosial yang dominan. Dan tidak pula boleh dilupakan, bahwa sekolah merupakan hasil dari generasi tua, sehingga pada tahapan inipun untuk kesekian kalinya, anak-anak harus konform dengan lembaga-lembaga itu. Dan ketika anak-anak kemudian harus berinteraksisi dengan masyarakat yang lebih luas, mereka berhadapan pula dengan tata nilai maupun norma yang lebih mapan. Seka1i lagi mereka harus menunjukkan konformisnya, lebih-lebih kalau mereka harus memasuki masyarakat yang bersifat paternalistik, seperti masyarakat Indonesia. Gejala semacam itu dapat dijelaskan dengan memakai hasil berbagai studi mengenai konformitas. Misalnya, bagaimana peranan keluarga terhadap kecenderungan afiliasi politik, telah dilakukan oleh Lazarsfeld, Bereson dan Gandet di Ohio (1944). Hasilnya ternyata menunjukkan konformitas yang tinggi (Krech et al,1962. h. 195). Studi Asch (1955) menemukan banyak hal di sekitar kecenderungan konformitas. Antara lain menemukan bahwa (1) anak gadis cenderung lebih konform dari pada anak laki-laki; (2) makin tinggi kecerdasan anak, makin cenderung tidak konform; (3) makin rendah self-esteem dimiiliki seseorang, makin cenderung untuk konform dengan lingkungan. Selanjutnya diketahui pula sejumlah kemungkinan alasan yang melatar belakangi terjadinya konformitas itu. Pertama, agar dapat menyenangkan mayoritas orang dan menghindari antagonisme dengan orang banyak. Itu yang pertama. Yang kedua, 35
  • 36. sebab kelakuan itu dapat dicari pada masuk akal atau tidaknya kelakuan itu, Misalnya, berkendaraan di sisi kanan pada jalanan di Amerika Serikat, untuk menghindari kecelakaan lalu lintas. Sebab ketiga yang memungkinkan orang cenderung konform dengan kelakuan umum, ialah ketundukan pada kerangka acuan tertentu. Misalnya, sejumlah wisatawan akan mengikuti kelakuan ahli antropologi yang menundukkan kepala pada pribumi yang mengenakan pakaian tertentu (Mark R. Rosenzweig, 1975, h. 66). Dengan berbagai kecenderungan tersebut dapatlah kemudian dikemukakan sebuah batasan yang relevan mengenai konformitas tersebut, yang berbunyi : “Conformity is a change in a person's opinions or behavior as a result of real or imagined pressure from another person or a group”, menurut Rosenzweig. Sementara itu dari kaca mata psikologi dapat dibedakan adanya dua jenis konformitas, yaitu yang satu konformitas ‘pura-pura’, dan yang lain konformitas ‘sesungguhnya’. Dalam bahasa aslinya disebut ‘expedient’ conforming dan ‘true’ conforming. Disebut konformitas ‘pura-pura’, kalau konformitas itu hanya lahiriah saja, sedangkan hatinnya tetap tidak sejalan dengan kelompok. Sedang konformitas ‘sesungguhnya’ digunakan untuk konformitas yang baik lahir maupun batin (Krech et al., 1962, h. 506). Masih rnenggnnakan kaca mata psikologi dapat kita ikuti studi Kelman (1961) mengenai latar belakang yang mendasari kecenderungan terjadinya konformitas. Menurut Kelman ada tiga jenis kenformitas berdasarkan latar belakang yang mendasarinya, yaitu compliance, identification dan internalization. ‘Complianc’ merupakan istilah lain untuk kata ‘expedient’. Yang dimaksudkan ialah penampilan seseorang, baik berupa kelakuan maupun pernyataan yang hanya dilandasi oleh kehendak memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Orang tersebut kemudian menunjukkan ketundukan dan kepatuhan terhadap kemauan umum. Namun manakala harapan akan ganjaran tidak lagi ada, dan ancaman hukuman itupun tidak ada, maka orang itu kembali menunjukkan ketidak patuhannya. Dengan perkataan lain penampilan mi merupakan kepatuhan yang ‘pura-pura’, yang berbeda antara yang lahir dan yang batin. 36
  • 37. Sedangkan '’dentification’ merupakan penampilan seseorang yang menurut Kelman “ … refers to a level of social influence based upon the individual's desire to be like the influencer”. Di sini penampilan tersebut sama sekali tidak dilatarbelaangi kehendak mendapatkan ganjaran dan menghindari hukuman, melainkan semata-mata karena ingin menjadi seperti model yang dikehendakinya. Sekali lagi, ini mrupakan gejala ketundukan pada kerangka acuan yang relevan (a frame or reference). Jenis konformitas, terjadi sebagai identifikasi yang merupakan tingkatan pengaruh yang paling permanen yang datang dari masyarakat. Akibatnya, nilai dan sikap tertanam dan mempribadi dalam diri setiap individu, karena dianggap benar oleh individu tersebut. Penampilan semacam itu mempermudah terjadinya integrasi dalam tata nilai mapan ( Mark R. Rosenzweig, 1975, h. 68-69). Terlepas dari pandangan yang menitik beratkan pada faktor internal kejiwaan tadi, seperti dikemukakan pada awal uraian mengenai proses interaksi sosial, konformitas merupakan gejala sosial yang terjadi sebagai akibat hubungan antar manusia (interpersonal). Dikatakan di muka, bahwa dalam interaksi tersebut, warga baru akan melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan sosial (social adjustment), sesuai dengan harapan-harapan sosial yang telah dikomunikasikan. Itu berarti, bahwa kelompok memaksakan kehendak agar warga baru mau hidup serasi (konform) dengan tata nilai yang berlaku. Dan kalau proses penyesuaian itu tidak mernbuahkan konformitas, masyarakat atau kelompok akan memberikan sanksi, untuk menghindari terjadinya masalah-masalah sosial, yang ditandai oleh kelakuan-kelakuan sosial yang menyimpang dan tata nilai yang berlaku. Menurut Robert K. Merton (1949), ada lima jenis kemungkinan sifat penampilan warga masyarakat dalam kaitannya dengan integrasi sosial, yaitu 1). konformitas, 2). inovasi, 3). ritualisme, 4). retritisme, dan 5). rebeli. Pada konformitas, anggota masyarakat tunduk pada tata nilai dan budayanya dan menerimananyat sebagai tata nilai dan budaya sendiri, lengkap dengan seluruh kelembagaanya. Pada inovasi, anggota msyarakat menerima tata nilai dan budaya masyarakat, namun menolak kelembagaan yang ada. Sedangkan dengan ritualisme, dimaksudkan suatu gejala di mana anggota masyarakat hanya menerima tata cara kelembagaan yang ada, namun sebenarnya menolak hakekat nilai serta budaya yang 37
  • 38. berlaku dalam masyarakat. Dan manakala warga masyarakat menolak kedua-duanya, baik tata nilai, budaya, maupun kelembagaannya, disebut retritisme. Dalam praktek, retritisme bisa muncul dalam bentuk kemunafikan maupun apatisme, yaitu manakala warga masyarakat berpura-pura menerima tata nilai dan budaya, ataupun barangkali sama sekali masa bodon akan ada atau tidaknya tata nilal tersebut. Akhirnya, warga masyarakat mungkin menunjukkan penampilan yang tak serasi dengan tata nilai serta budaya yang berlaku dalam masyarakat, dengan sikap maupun kelakuan yang melawan tata nilai dan budaya tersebut, dan tidak sekedar melarikan diri dari kenyataan hidup (retritisme). Kemungkian yang teraldiir ini dikenali dengan sebutan rebeli (pemberontakan) (S.T.Alisjahbana, 1974, h. 145) Mungkin terlamapau jauh Alisjahbana mengartikan pengertian kepasrahan diri terhadap tata ni1ai mapan itu sebagai kepasrahan Budha Gautama kepada Dewa. Mungkin benar pendapat tersebut, kalau hal yang dimaksud adalah kepasrahan Sang Budha Gautama kepada kepentingan umum, meski harus mengorbankan kepentingan diri pribadi. Gejala tersebut harus dilihat sebagai keikutsertaan warga masyarakat yang mempunyai tanggung jawab bagi kepentingan umum, yaitu integrasi sosial. 7. SOSIALISASI SEBAGAI PROSES PENDIDIKAN Sosialisasi tak dapat dipisahkan dari proses pendidikan, karena pendidikan merupakan bentuk interaksi sosial yang menyandang fungsi sosialisasi. Oleh karenanya dipandang perlu untuk memberikan uraian tersendiri mengenai fungsi-fungsi pendidikan. Ada tiga fungsi pendidikan yang dikenal o1eh umat manusia bagi kepentingan umat manusia itu sendiri, seperti yang diyakini oleh ketiga aliran pendikan yang ada. Berturut-turut ketiganya akan disajikan di bawah ini . a. Pendidikan Sebagai Proses Pewarisan Budaya Para pendukung teori yang menyatakan bahwa pendidikan berfungsi sebagai proses pewarisan budaya, menyatakan bahwa sesuatu kebudayaan memiliki akar pada kehidupan masa lampau. Oleh karenanya kelangsungan sesuatu kebudayaan hanya dapat 38
  • 39. terjadi kalau pendidikan mengambil peranan sebagai penyampai seluruh nilai maupun keyakinan yang telah mapan kepada generasi baru. Dalam masyarakat Barat sekali pun, yang dinilai sudah meninggalkan alam tradisionalisme, masih berkembang anggapan semacam itu (Hilda Taba, 1962, h. 19). ‘The Harvard Report on General Education’ merupakan salah satu bukti betapa perlunya perlindungan terhadap tradisi dan menjaganya dari akar masa lampau. Para pendukung aliran rasionalis humanis dan klasik humanis dalam pendidikan, seperti Hutchins (1936), Adler serta Mayer (1958), beranggapan bahwa fungsi pendidikan harus dilihat dalam kaitannya dengan konsep tentang hakekat manusia, yang berciri rasionalisme. Menurut mereka, dunia ini hanya dapat dipahami oleh rasio manusia, sehingga deugan demikian pendidikan harus berfungsi menanamkan ke- cerdasan, menurut Hutchins tersebut. Dengan sendirinya dapat dipahami kalau program program pendidikan harus pula berinti pada ‘liberal arts’ dan ‘humanities’, menurut Brubacher (l95O). Dengan perkataan lain, pendidikan harus berfungsi sebagai ‘liberalizing education’, dan diperuntukkan bagi siapa saja, tanpa kecuali. Dan selanjutnya setiap orang harus menerima konsep, bahwa kebenaran harus diwariskan kepada generasi berikutnya, karena kebenaran bersifat universal. b. Pendidikan Sebagai Perangkat Transformasi Kebudayaan Ada pandangan lain yang sungguh bertentangan dengan pandangan yang terdahulu, dalam memahami peranan pendidikan bagi umat menusia. Pandangan yang kedua ini beranggapan bahwa pendidikan sesungguhnya memiliki fungsi yang lebih kreatif dalam menentukan dan pembentukan kebudayaan. Berdasarkan pengalaman yang ada di Amerika Serikat, Horace Mann berkesimpulan, bahwa pendidikan harus dipandang sebagai sarana untuk menghadapi berbagai masalah yang dihadapi sesuatu masyarakat. Dengan perkataan lain, pendidikan harus dipandang sebagai sarana bagi rekonstruksi sosial yang dikehendaki nasyarakat itu. Lalu muncullah John Dewey (1929) yang beranggapan bahwa dalam proses tersebut terjadilah terus-menerus proses penyusunan 39
  • 40. kekuatan pada masing-masing individu, dengan membulatkan kesadaran, pembentukan kebiasaan hidup, mewujudkan gagasan yang dimiliki, memupuk perasaan dan emosi, dan seterusnya (Hilda Taba, 1962, h. 23). Nyatalah di sini, bahwa pendidikan mempunyai peranan penting dalam proses perubahan sosial, baik dengan perombakan bertahap lewat pembentukan penger- tian pada generasi muda, maupun dengan rekonstruksi yang terencana. Di sini terlihat adanya tiga hal penting, yaitu bahwa : 1) Di samping kemampuan intelektual, maka pendidikan harus mampu membangkitkan tanggung jawab untuk melatih diri dalam tata nilai maupun loyalitas budaya 2) pendidikan harus mengambil peranan dalam proses perubahan sosial dan mengikuti gerak perubahan 3) pendidikan itu bersangkut- paut dengan moral atau pertimbangan nilai (Hilda Taba, 1962, h. 25). c. Pendidikan Untuk Pengembangan Orang Seorang John Deweylah, menurut Taba (1962) yang antara lain menegaskan betapa pendidikan berfungsi pula sebagai sarana untuk mengembangkan kreativitas orang- seorang (mdividual). Ini berarti bahwa pendidikan dianggap memberi kesempatan bagi pemenuhan kebutuhan pribadi maupun memberikan peluang bagi upaya mengembangan diri (se1f realization), baik dalam bidang intelektual maupun emosi. Secara lebih ekstrim, pendidikan dengan demikian diartikan sebagai suatu proses untuk membentuk seluruh anak untuk tumbuh menjadi anak yang unik. Nyata sekali aliran yang ke tiga ini sangat sesuai bagi sistem sosial yang liberal dan individualis, karena generasi muda diberikan kebebasan untuk mengembangkan kemandirian orang seorang. Dalam kenyataan, ketiga fungsi pendidikan itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena ketiganya seperti berjalan secara simultan dalam konsep 40
  • 41. pendidikan yang dimaksudkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS) 1983 di Indonesia di masa Orde Baru, yang merupakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Republik Indonesia. Ini merupakan contoh bahwa konsep peremcanaan pendidikan telah dirancang secara mendasar dalam masa Orde Baru. Di sana tercantum rumusan tujuan pendidikan yang mencakup ketiga fungsi tersebut, yaitu tidak saja sebagai sarana bagi proses pelestarian budaya dan proses transformasi , melainkan juga sebagai sarana pengembangan potensi orang-seorang, yang bermanfaat bagi pembangunan diri sendiri dan bangsanya. Dengan singkat dapat dinyatakan, bahwa tujuan pendidikan Indonesia di masa itu yang berdasarkan TAP MPR 1983 itu mencakup enam sasaran, yaitu 1) meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2) meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan, 3) mempertinggi budi pekerti, 4) memperkuat kepribadian, 5) mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, dan 6) menumbuhkan manusia-manusia pembangun, yang dapat membangun dirinya dan bangsanya Sayang sekali peosedur semacam inin tidak diteruskan selama masa-masa reformasi, padahal mwmiliki makna straregis yang amat nyata. a. Hubungan Pendidikan Dengan Sosialisasi Dengan memandang pada konsep-konsep pendidikan yang dikemukakan di muka, konsep pendidikan yang digunakan sebagai landasan pendidikan di Indonesia, maupun konsep-konsep mengenai sosialisasi yang dikemukakan di depan, dapatlah diambil kesimpulan mengenai hubungan antara pendidikan dengan sosialisasi memandang sesuatu gejala secara sefihak nampaknya tidak bakal memberikan kepuasan secara tuntas dalam memberikan makna terhadap gejala tersebut. Demikian pula dalam mencari tahu mengenai konsep pendidikan maupun sosialisasi. 41
  • 42. Sementara itu pengalaman mengajarkan kepada kita betapa pendekatan konvergensi terhadap berbagai pendapat mengenai kecenderungan atau gejala sosial, memberikan kejelasan secara lebih baik mengenai konsep-konsep tersebut. Dan sikap semacam itu dianggap paling cocok untuk melandasi setiap langkah pendidikan. Dalam kenyataan pengertian mengenai pendidikan maupun sosialisasi tidak dapat dijelaskan secara simplistik dengan hanya memberikan penafsiran yang hitam-putih atau dikhotomis saja. Kalau kita perhatikan akan kita lihat, bahwa rumusan mengenai pendidikan seperti dimaksud dalam GBHN yang merupakan pengalaman Indonesia di masa Orde Baru menunjukan sifat yang konvergen pula. Di sana terdapat fungsi penguasaan atas sejumlah fakta (mastery of certain facts). Hal tersebut sesuai dengan pandangan yang menyebutkan bahwa pendidikan berfungsi melestarikan dan mewariskan kebudayaan atau ‘reserver and transmitter of the cultural heritage’. Dalam GBHN 1983 misalnya terdapat : “…pendidikan berdasarkan Pancasila …” “… meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan …” “… meningkatkan kecerdasan...” “…memperkuat kepribadian dan mempertebal Bemangat kebangsaan dan cinta tanah air …” (GBHN IV, 1983) Di sana juga terdapat tujuan untuk mentransformasikan kebudayaan guna pembangunan masyarakat atau ‘instrument for transforming culture’, seperti yang tertera pada GBHN IV berikut mi “…,,... menumbuhkan manusia-manusia pembangunan …” “…memperkuat kepribadian “... dapat membangun dirinya …” “… bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan ...” (GBHN IV, 1983) 42
  • 43. Juga di sana terdapat ungkapan-ungkapan mengenai fungsi pengembangan kemampuan orang-seorang guna menyatakan diri atau ‘instrument for individual development’, seperti yang tertera pada contoh berikut ini pada GBHN IV. “... meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan..” “… memperkuat kepribadian...” “… dapat membangun dirinya ...” GBHN iv,1983) Kembali kita lihat betapa di masa Orde Baru perangkat GBHN sangat stratgis untuk perencanaan atau pelaksanaan operasional pendidikan. Oleh karenanya masih relevan untuk kita jadikan sebagai rambu perencanaan pendidikan unruk generasi muda, Waktu itu biasa digunakan pendidikan politik. Ternyata sebagian fungsi pendidikan yang tertnaktub tersebut adalah menjalankan fungsi sosialisasi, yaitu mempersiapkan warga masyarakat (terutama yang baru datang) untuk dapat melakeanakan peran-peran sosial mereka sesuai dengan harapan-harapan sosial yang ada. Harus kita ketahui, bahwa dan proses pendi dikan, baik secara formal maupun tidak formal, manusia memperoleh berbagai manfaat, yaitu : penguasaan atas sejumlah fakta dan pengetahuan (mastery or certain facts), kaidah-kaidah ke1ompok (mores of the group), dan cara-cara penyesuaiau sosial (social technique or adjustment), menurut Olsen (1945) dalam ‘School and Community’ (Skinner, 1974, h. 508). Yang dimaksud dengan penguasaan sejumlah fakta di sini, tentu saja meliputi seluruh warisan budaya umat manusia, yang mencakup ilmu pengetahuan, teknologi, maupun tata nilai. Ini merupakan bagian yang bersifat kognitif dari kekayaan budaya manusia, maupun berupa ketrampilan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Selanjutnya, anak-anak juga mendapatkan dari pendidikan sejumlah pengalaman dan keyakinan mengenai mana-mana yang dianggap baik, dan mana-mana yang dianggap tidak balk, mana-mana yang boleh dilakukan, dan mana-mana yang tidak boleh dilakukan. Seluruh pengalaman itu diperoleh dari kebiasaan maupun peraturan yang dibuat oleh masyarakat. Dengan demikian anak- anak diharapkan menjadi sadar akan segala perilaku yang dilakukan, serta dapat memainkan peran sosial mereka dengan baik, 43
  • 44. dan menghindari tindakan tercela karena mengetahui berbagai sanksi yang dikenakan bagi para pelanggar aturan soaial. Dan pendidikan anak-anak tidak hanya mendapat pengetahuan maupun kebiasaan, yang berlaku dalam masyarakat, melainkan juga cara-cara bagaimana menyesuaikan dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya.Cara-cara penyesuaian diri itu tidak hanya menyangkut pergaulan antara individu dengan individu, melainkan juga dalam pergaulan dengan kelompok, di dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih rumit. Yang dimakaud di sini tentu saja segala pengalaman warga masyarakat terdahulu yang mampu dan sukses dalam pergaulan masyarakat. Dari uraian di depan jelas sudah bahwa fungsi sosialisasi merupakan bagian dari fungsi pendidikan. Ini berarti bahwa dengan melaksanakan proses pendidikan di sekolah, misalnya, fungsi sosialisasi telah berlangsung 8. SOSIIALISASI SEBAGAI ROLE LEARNING Menurut Shakespeare : “All the world's a stage, and all the man and women merely players ...” Ini berarti, bahwa seseorang hanya rnempunyai arti dalam kaitannya dengan drama masyarakat, yang ikut memainkannya dengan jalan mengambil bagian sebagai pemain. Dengan kata lain, dia ikut memainkan peran dalam drama kehidupan itu. Untuk dapat memainkan peran sebagai aktor yang baik, tentu saja setiap pamain harus membawakan perannya sesuai dengan posisi yang diduduki dalam drama tersebut. Dan agar penampilannya dapat tepat dan sesuai dengan skenario yang dikehendaki oleh drama itu sendiri, pemain tersebut harus pula melakukan latihan serta upaya penyesuaian dengan tata aturan permainan serta skenario yang dikehendaki oleh drama itu. Seluruh peribaratan dalam dunia drama tersebut dimaksudkan untuk mempermudah memberikan penjelasan mengenai teori peran (role theory), dalam upaya memberi dasar teoritik studi ini. Cara semacampun biasa dilakukan oleh Theodore R. Sarbin (1952) dalam mengemukakan Role Theory-nya. Dalam kaitan dengan Studi Sosial atau IPS, anak-anak dilatih untuk menghadapi masalah-masalah sosial, sebelum menghadapinya kelak dan melakukan tindakan yang tepat dan jitu berbagai masalah sosial tersebut, dan kemudian melakukan 44
  • 45. sesuatu keputusan setelah melakukan berbagai pertimbangan. Kualitas dan kemampuan semacam itu, dikenal sebagai ‘intelligent social actor’ Dalam Studi Sosial dengan begitu kemampuan yang diharapkan dari latihan-latihan program Studi Sosial ialah agar anak dapat tampil secara cerdas atau ‘can act intellegently’ (James A. Banks, 1977, h. 12) Secara tidak resmi (informal), program latihan bagi anak sebagai warga baru sesuatu kelompok manusia, telah dimulai sejak dalam keluarga, dengan nama sosialisasi atau ‘social learning’, tergantung dari sudut mana kegiatan itu ditinjau. Dengan proses sosialisasi tersebut, seperti berkali-kali dinyatakan di depan, warga baru belajar untuk dapat tampil sesuai dengan harapan-harapan sosial, sesuai dengan kedudukan mereka dalam masyarakat. Pada bagian ini akan dikemukakan konsep-konsep sosiologi maupun psikologi sosial mengenai status, posisi, maupun peran, untuk memberikan landasan teoritik bagi studi ini. a. Peranan Pola-pola Masyarakat Sudah dikemukakan di depan, betapa kehidupan masyarakat tergantung pada ada tidaknya pola tingkah laku sosial, yang terbentuk dari hubungan timbal balik antar personal ataupun antar kelompok. Posisi-posisi yang terjadi karena hubungan timbal balik itu disebut sebagai status. Dapat difahami kalau dikatakan, bahwa dengan begitu setiap individu dapat mempunyai lebih dari satu status, karena setiap individu dapat berperan serta dalam berbagai pola kehidupan yang terjadi dalarn masyarakat. Status-status yang dimiliki oleh seseorang dalam keseluruhan masyarakat tergantung pada posisi-posisi yang ditempatinya. Dengan begitu misalnya ,Mr. Jones memiliki sejumlah status dalam kaitannya dengan suatu komunitas tertentu, di mana dia menjadi warganya. Dia dapat dipandang sebagai seorang jaksa, namun sekali gus dia juga seorang dari keluarga Mason, seorang penganut aliran Methodist, suami nyonya Jones dan sebagainya. Demikianlah misalnya penuturan Ralph Linton (1938) dalam bukunya ‘The Study of Man’ maupun Lewis A. Coser and Bernard Rosenberg dalam ‘Sosiological Theory, A Book of Readings’ (Selo Soemardjan, 1964, h. 261-263). Kehidupan sosial tersebut terus berjalan sepanjang masa, meskipun para 45
  • 46. warga masyarakat yang menduduki status-status tersebut telah pindah dari lingkungan komunitas tersebut atau meninggal dunia. Hal tersebut dapat terjadi karena yang meninggal dunia atau pindah ialah orangnya, sedangkan status ataupun peranan yang tersandang di dalamnya tidaklah hilang, namun tetap membentuk struktur dalam masyarakat, menurut A.R. Radcliffe- Brown dalam ‘Structure and Function in Primitive Society’ (S.T. Alisjahbana (1974. h. 70). Dengan sederhana dapat dinyatakan, bahwa status mengandung pengertian adanya hak dan kewajiban. Dan manakala seseorang menggunakan hak dan kewajib- annya dalam menyatakan sesuatu pendapat atau sikap dalam kaitan dengan statusnya dalam masyarakat, maka berarti dia sedang memainkan perannya. Di sini nampak sekali hubungan antara status dengan peran, sebab tak ada peran tanpa adanya status, demikian pula tak ada status kalau tak dinyatakan dengan peran. Dalam kenyataan, status dan peran tak dapat dilepaskan dari pola-pola masyarakat maupun perorangan yang bersangkutan. Misalnya, meskipun status maupun peran tersebut bermula dari pola-pola masyarakat yang ada, namun pada tingkat tertentu tergantung pada perorangan itu sendiri. Ketika seseorang individu memainkan perannya atas dasar status yang didudukinya dalam masyarakat, sebenarnya orang tersebut telah mengambil pilihan sikap ataupun tingkah laku tertentu sesuai dengan pertimbangannya. Meskipun demikian tak dapat dipungkiri peranan pola-pola masyarakat, yang memberi batasan terhadap status maupun peran tersebut. Kembali di sini nampak perlunya penyesuaian terhadap pola-pola masyarakat pada setiap penampilan seseorang dalam memainkan peran sesuai dengan status yang sesuai. Jadi jelas, manakala tidak ada faktor dari luar yang menyela, maka makin sempurna seseorang warga dalam melakukan penyesuaian dengan status dan peran mereka dalam masyarakat, makin lancar kehidupan masyarakat berjalan. Namun proses penyesuaian itu tidak mudah terjadi, karena setiap individu memiliki berbagai kebiasaan yang telah tertanam sejak masa kanak-kanak, karakteristik individual, baik yang di- peroleh karena kelahiran maupun yang diperoleh karena usaha. Faktor yang menguntungkan ialah sifat manusia yang bisa diubah (mutable), yang memungkinkan seseorang yang normal dapat dilatih untuk dapat secara tepat menampilkan peran apapun yang diserahkan kepadanya. (Selo Soemardjan, 1961+, h. 261-267). 46
  • 47. Pengertian-pengertian tersebut di atas memungkinkan kita dapat memahami berbagai kecenderungan pendapat para remaja dalam menghadapi berbagai masalah sosial, seperti yang dikehendaki oleh studi ini. Namun kita akan mendapat wawasan yang lebih luas kalau kita mengikuti konsep-konsep psikologi sosial berikut ini, mengenai masalah yang sama. b. Role Enactment Istilah 'role' atau peran dipinjam dari dunia drama atau teater, yang berarti ikut ambil bagian atau posisi tertentu dalam sesuatu lakon. Dan orang yang ikut memainkan peran tertentu atau ‘playing a role’ dalam lakon tersebut disebut pemain, pelakon atau aktor, menurut Sarbin (1954). Dalam kehidupan sesungguhnya dalam masyarakat setiap warga masyarakat tidak lain merupakan pemain dalam drama masyarakat, karena masing-masing harus memainkan perannya sesuai dengan statusnya. Layaknya sebuah drama, maka setiap pemain akan tampil dengan mengikuti skenario tertentu. Theodore R. Sarbin menyajikan teorinya mengenai peran tersebut, yang dianggap dapat menjembatani antara individu dengan kelompok, dan dikenal sebagai ‘Role Theory’. Masalah utama yang dihadapi oleh setiap warga masyarakat, menurut teori peran tersebut, ialah bagaimana seharusnya setiap warga masyarakat memainkan perannya. Pertanyaan tersebut mencakup tiga macam pertanyaan, yaitu masalah-masalah ‘appropriateness’, ‘propriety’ dan ‘convincing’ (Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 490- 491). Dengan ‘appropriateness’, dimaksudkan apakah perilaku yang diperbuat oleh seseorang sesuai dengan posisi atau status yang didudukinya? Dengan perkataan lain, apakah penampilannya tepat? Dengan ‘propriety’, dimaksudkan apakah penampilan yang dilakukan itu patut. dilihat dari penilaian orang lain? Artinya, apakah penampilan itu menurut penilaian baik atau buruk? Sedangkan ‘convencing’ mengandung makna, apakah penampilan itu meyakinkan atau tidak? Pertanyaan tersebut bertolak dari keraguan akan keabsahan posisi yang diduduki seseorang individu. Ketiga pertanyaan disekitar penampilan (role enactment) tersebut di atas, 47
  • 48. sebenarnya timbul karema adanya kesenjangan di antara struktur sosial dengan perilaku sebagai seseorang dalam memainkan peran sosialnya. Kesenjangan itu terjadi kalau setiap warga masyarakat mengetahui dengan pasti harapan-harapan sosial mengenai apa-apa yang ‘boleh’ dan yang ‘tidak boleh’ dilakukan, serta ‘bagaimana seharusnya’ melakukannya. Dengan mengetahui harapan-harapan sosial tersebut, setiap warga masyarakat akan mengetahui peran apa yang ‘paling sesuai’ dengan psosisinya dalam masyarakat, ‘agaimana sepatutnya’ harus tampil, serta ‘bagaimana cara’ tampil agar dapat meyakinkan. Harapan-harapan sosial tersebut dalam kaitan dengan teori peran, disebut ‘role expectations’. Selanjutnya perlu kita ketahui, bahwa ‘role expectations’ merupakan kumpulan kognisi, yang terdiri dari keyakinan-keyakinan tentang hak dan kewajiban, serta kemungkinan-kemungkinan yang subyektif mengenai bagaimana seharusnya dilakukan, berkenaan dengan status atau peran yang disandangnya (Lindzey anld Aronson, I, 1968, h. 498). Dalam hal status ataupun posisi yang sifatnya formal, seperti jabatan maupun jenis pekerjaan tertentu, tidak terlalu sukar untuk mengetahui harapan-harapan sosial yang mengenai peran (role expectations’, sebab hampir setiap orang dapat membaca uraian tugas (job description) yang dimaksud. Namun dalam hal-hal yang bersifat informal, kesulitan itu mulai-nampak. Misalnya, dalam hubungan persahabatan. Dalam hal mi amat terbatas warga masyarakat yang mengetahui uraian mengenai tugas dan kewajiban sesuatu peran, karena biasanya tidak tertulis, sehingga hanya di kalangan tertentu saja harapan-harapan sosial itu berlaku. Misalnya, terhadap jabatan ‘guru’ dituntut ‘role expectations’ yang sudah pasti, namun sementara itu orang tersebut juga ‘badut’, sehingga ‘role expectations’ terhadapnya menjadi bersifat khusus pula. Proses sosialisasi dalam kaitan dengan teori ini, ialah suatu proses sosial di mana anak belajar dari kehidupan masyarakat untuk dapat menghayati tata nilai masyarakat, sehingga dapat memainkan peran sosial mereka dengan tepat, pantas, serta meyakinkan sesuai dengan ‘role expectations’. Jadi sosialisasi tidak lain adalah suatu ‘role learning’, yang merupakan hakekat dari ‘social and cultural learning’. Peran atau ‘role’ diartikan sebagai organized set or behaviors that belongs to an ident- ifieble position, and this behaviors are activated when the position is occupied' (Lindzey and Aronson, I, 1968, hal. 545). Jelas di sini bahwa peran itu merupakan peri1aku sosial, 48
  • 49. dan perilaku itu berkaitan dengan posisi dalam masyarakat. Selanjutnya dijelaskan, bahwa peran itu harus diperoleh melalui proses belajar dalam kaitannya dengan pola kognisi yang teratur dari keseluruhan peran warga masyarakat lainnya sebagai suatu keutuhan. Oleh karenanya peran baru dapat dimengerti dan berrungsi kalau sudah terlibat dengan interaksi sosial. Di sini pula selanjutnya dapat dimengerti mengapa peran disangkut pautkan dengan hak dan kewajiban dalam kaitan dengan posisi seseorang sebagai warga masyarakat. Sebelum rnunculnya teori peran, sosialisasi hanya dikaitkan dengan proses pengasuhan masa kanak- kaak, yang tertuju pada gejala idendifikasi, agresi, serta dependensi anak. Untuk itu pembahasan banyak bertumpu pada teori-teori Freud mengenai psikoanalisis yang berkaitan dengan urusan perkembangan kepribadian, sehingga orang lebih banyak berbicara dengan menggunakan studi motivasi. Selain itu orang banyak menggunakan teori tingkah laku (behavioral theory), yang mendasarkan pada prinsip S-R (Stimuli and respons). Teori tentang ‘learning’ yang mendasarkan pada pendekatan tingkah laku itu dipelopori oleh Waston, yang mengartikan unit S-R itu sebagai suatu refleks, sementara Hill mengartikannya dalam artian kebiasaan (habit), dan Skinner mengartikan sebagai suatu dominasi lingkungan atas respons. Pendekatan- pendakatan psikologis semacam itu ternyata bersifat sempit, sebab hanya menganggap gejala atau kecenderungan kepribadian manusia itu semata-mata sebagai aktivitas psikis (internal), dan memandang manusia sebagai mesin yang dapat dikontrol dengan rangsangan tertentu. Saupai akhirnya Bandura dan Walter (1963) mengemukakan pandangannya mengenai peranan lingkuugan sosial dalam proses ‘learning ( L.A. Parvin, 1975, h. 363 - 390). Menurut Bandura dan Walter, dalam sosialisasi anak-anak secara bertahap belajar dari orang dewasa bagaimana seharusnya berperilaku dalam situasi dan kondisi tertentu. Dengan perkataan lain, mereka belajar bagaimana harus berperan dalam kondisi, dan situasi tertuntu. Dengan jelas mereka nengatakan bahwa ‘The learning is shaped in large part by reinforcement from parents and by imitation of the behavior of others'. Sementara itu yang terjadi di kalangan orang-orang dewasa, ialah mereka bertanya dan akhirnya mengetahui bagaimana seharusnya mereka bertingkah laku. 49
  • 50. Pencarian itu dilakukan sebelum orang-orang tersebut menduduki sesuatu posisi. Dikatakan oleh Merton, misalnya, bahwa “… individual can acquire role expect- ations by learning, long before he is ready to occupy the social position, through the process of anticipatory socialzation” (Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 547). Nampaknya dari sudut teori belajar ini dapat dipetik sebuah pengertian, bahwa sosialisasi dipisahkan dengan enkulturasi, meski dua-duanya berkaitan dengan peran juga. Sosialisasi diartikan sebagai suatu proses untuk penguasaan atas peran (role) dari posisi yang diturunkan (ascribed position), seperti jenis kelamin, usia dan sebagainya, sedang enkulturasi diartikan sebagai proses penguasaan atas peran (role) dan posisi seseorang yang diperoleh sebagai hasil belajar (achieved posision). Kecuali itu, terkanduug juga pengertian, bahwa proses sosialisasi berlangsung dalam lingkungam keluarga, sedangkan enkulturasi berlangsuug manakala anak sudah hidup di dalam pergaulan dalam masyarakat yang lebih luas. c. Konformitas dalam Berperan Tinjauan proses sosialisasi, baik dalam tingkat hubungan dalam keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas, adalah terjadi keserasian di antara penampilan seseorang dalam memainkan peran sosial (role enactment) dengan harapan- harapan sosial mengenai bagaimana seharusnya seseorang tampil memainkan peran sosial (role expectations). Kondisi semacam itu dikenal sebagai konformitas. Kegagalan dalam memenuhi kondisi semacam akan menimbulkan adanya celaan, bahkan tindakan pengucilan yang datang dari kelompok terhadap orang atau wargaa masyarakat yang bersangkutan. Dengan begitu, misalnya, seorang ayah akan tampil sesuai dengan kedudukannya sebagai ayah. Kalau keseraaian itu tidak terjadi, maka ayah tersebut akan mendapat celaan mengenai ketepatan, kelayakan dan tingkat meyakinkan dalam nemainkan peranan sebagai ayah. Contoh lain lagi berupa kekalahan PSSI pada hampir seluruh pertandingam internasional, akan dianggap sebagai tidak adanya konformitas di antara ‘role enactment’ dengan ‘role expectations’ yang berkenaan dengan PSSI tersebut. Lalu masyarakat pecinta persepakbolaan di Indonesia menjadi teramat kecewa, sehingga tercetuslah 50
  • 51. berbagai bentuk keluhan maupun celaan terhadap PSSI tersebut. Kesalahfahaman sering terjadi di dalam masyarakat, karena masyarakat sering salah memperkirakan keadaan, terutama yang berkaitan dengan keadaan warga masyarakat yang lainnya. Salah satu akibatnya, ialah warga masyarakat adakalanya menuntut terlampau banyak dalam penampilan warga masyarakat, sehingga akan sering terjadi jarak yang terlampau besar. Untuk itu dirasakan perlunya kejelasan dalam ‘role expectations’ agar terjadi perilaku yang jelas pula. Paling tidak ada tiga hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan masalah tersebut di atas, yaitu : 1). kejelasan informasi, 2). kesamaan pengertian, dan 3). kesamaan tafsir. (Lindzey and Aronson, I, 1968,h.503). Menurut Bateson (1956), salah satu hambatan bagi terjadinya konformitas dalam penampilan warga masyarakat, ialah tidak jelasnya informasi mengenai harapan- harapan sosial berkenaan dengan peran-peran warga masyarakat tersebut dalam masyarakat. Kemungkinan yang terjadi sebagai akibatnya ialah terjadinya hambatan bagi terjadinya komunikasi. Ini sama dengan kesalahfahaman yang dapat menjauhkan dari terjadinya saling pengertian. Bagi sipelaku sendiri, keadaan tersebut menimbulkan keragu-raguan dalam melaksanakan peran selanjutnya. Kemungkinan lain yang dapat terjadi, ialah bahwa pada sub kelompok yang satu informasi itu diterima secara jelas, sementara pada sub kelompok yang lain informasi tidak diterima secara jelas. Ini berarti , bahwa di antara warga masyarakat tidak terdapat konsensus atau kesamaan pengertian terhadap informasi yang seharusnya sama. Bilamana ‘role dissensus’ tersebut terjadi di antara dua generasi atau dua kelompok warga masyarakat, ataupun warga masyarakat yang telah mapan dengan yang baru datang, maka salah faham dapat saja terjadi. Dan konformitas menjadi sesuatu yang tipis sekali kemungkinan terjadinya. Studi Corner, Greene, dan Walter (1958), menemukan, bahwa makin kecil unit interaksi, makin besar kemungkinan konsensus dapat terjadi. Misalnya, pada pasangan suami istri lebih besar kemungkinan terjadi konsensus, dibanding dalam unit interaksi antara ayah dengan anak. Demikian pula kemungkinan terjadi konsensus lebih banyak terjadi pada unit interaksi ibu dan anak, bila dibanding dengan yang terjadi dalam unit interaksi antara ayah dan anak. 51
  • 52. Selanjutnya, peranan perseepsi atau penafsiran terhadap informasi yang datang, yang berisi harapanharapan sosial mengenai peran sosial yang seharusnya, juga besar dalam memahami seauatu peran. Terutama yang dimaksud oleh Slater (1960), ialah perbedaan tafsir yang terjadi di antara sesama warga dengan karakteristik yang berbeda. Sehingga misalnya, sama-sama remaja akan mempunyai kecenderungan penampilan yang berbeda, karena pemahaman mengenai hak dan kewajiban berkenaan dengan status dan posisi mereka dalam masyarakat berbeda. Sebaliknya, konformitas dapat terjadi karena motivasi yang berbeda-beda pula, dan bahkan barangkaii tidak ada hubungannya dengan sesuatu peranan yang dimainkan, namun terjadi karena adanya sensitivitas seseorang dengan kemungkinan reaksi yang timbul dari orang lain. Jadi dalam hal ini, konformitas terjadi sebagai akibat adanya pengamatan dari fihak lain, menurut hasil studi Stouffer dan Toby pada 1951 (Lindzey and Aronson, I ,1968, h. 502-503) Kemungkinan yang lain, konformitas juga dapat terjadi, karena orang merasa berkewajiban untuk dapat menyelesaikan tugas sebaik-baiknya, atau karena merasa terikat dengan posisi serta statusnya dalam masyarakat. Dalam hal ini konformitas terjadi karena ada kesejajaran antara tugas dengan pelaksanaannya. Dalam sektor informal, yaitu pada unit interaksi sosial di luar lembaga persekolahan, hambatan untuk terjadinya konformitas itu lebih besar, karena tingkat kejelasan pada informasi mengetahui ‘role enactment’ dengan ‘role expectations’ sangat rendah. Oleh karenanya diperlukan kehati- hatian dalam memberikan analisis ataupun penjelasan terhadap gejala yang timbul di sekitar konformitas kaum remaja. 9. PENDAPAT MENGENAI MASALAH SOSIAL Pada bagian ini akan dikemukakan pembicaraan di sekitar pendapat, remaja, dan masalah sosial, yang merupakan pengejawantahan dan keterlibatan remaja sebagai bagian dari warga masyarakat . a. Pendapat sebagai Ekspresi Kebersamaan 52